Upload
michael-sumardi
View
229
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan merupakan salah satu dari tiga
penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin selain perdarahan dan
infeksi.1 Menurut National Centre for Health Statistics dalam William’s Obstetric,
hipertensi dalam kehamilan teridentifikasi pada 3,7% kehamilan.2 Tingginya
mortalitas dan morbiditas pada hipertensi dalam kehamilan disebabkan oleh
etiologi tidak jelas, perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non
medis seperti dukun dan sistem rujukan yang belum sempurna.1
Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria
disebut preeklamsia, jika disertai kejang disebut eklamsia.1,2 Pada 10-20% kasus
preeklamsia berat dapat terjadi komplikasi berupa sindrom HELLP.3 Sindroma
HELLP merupakan komplikasi serius dalam kehamilan yang dicirikan dengan
adanya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom HELLP
berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ibu dan
janinnya sehinggga diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada sindrom HELLP
penting untuk mencegah terjadinya mortalitas pada ibu maupun janinnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Preeklamsia
a. Definisi dan Klasifikasi
Preeklamsia merupakan suatu kondisi pada kehamilan yang dicirikan
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal berupa inflamasi
sistemik dengan aktivasi endothelium dan koagulasi. Preeklamsia secara
klinis ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu
kehamilan. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang dipakai di
Indonesia adalah :1
i. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
ii. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
iii. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/atau koma.
iv. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi
kronik disertai dengan tanda-tanda preeklamsia atau proteinuria.
v. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan
tanpa disertai proteinuria dan menghilang setelah 12 minggu
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi
tanpa proteinuria.
2
b. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah
sebagai berikut :1
i. Primigravida dan primipaternitas
ii. Hiperplasentosis, misalnya pada mola hidatinosa, kehamilan multipel,
diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
iii. Umur di atas 35 tahun
iv. Riwayat preeklamsia/eklamsia pada keluarga
v. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
vi. Obesitas
c. Etiologi1,2
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Berbagai teori telah dikemukakan namun belum ada teori yang
mutlak dianggap benar.
1. Kelainan invasi trofoblastik
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah
dari cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium berupa arteri arkuarta yang bercabang menjadi
arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis yang bercabang menjadi arteri spiralis.
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot arteri spiralis sehingga menimbulkan degenerasi lapisan otot dan
terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan
aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat. Proses ini dinamakan
3
remodeling arteri spiralis atau pseudovaskularisasi, berlangsung hingga
masa kehamilan 18-20 minggu.
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi invasi sel trofoblas yang
tidak sempurna. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoperfusi plasenta yang melepaskan molekul
vasoaktif sistemik sehingga menimbulkan respon inflamasi,
vasokonstriksi, kerusakan endotel, kebocoran kapiler, hiperkoagulasi,
dan disfungsi trombosit.
Gambar 1. Invasi trofoblas pada arteri spiralis
4
2. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti karena fakta primigravida
memiliki resiko lebih besar dibandingkan dengan multigravida. Ibu
yang multipara yang menikah lagi juga memiliki resiko lebih besar.
Pada ibu yang hamil normal, respon imun tidak menolak hasil
konsepsi yang bersifat asing karena terdapat human leukocyte antigen
protein G (HLA-G) yang berperan dalam modulasi respon imun
sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. HLA-G pada plasenta
dapat melind
Fungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu.
Pada preeklamsia terjadi gangguan adaptasi sel NK terhadap HLA-G
sehingga terjadi respon yang serupa dengan penolakan benda asing.
Disfungsi sel endotel yang merupakan ciri dari preeklamsia
disebabkan oleh aktivasi leukosit pada sirkulasi maternal.
3. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal, pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Hal ini
disebabkan oleh adanya sintesis prostasiklin pada sel endotel. Pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi peningkatan kepekaan terhadap
vasopresor.
4. Teori defisiensi gizi
Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh dapat mengurangi resiko
preeklamsia. Asam lemak tidak jenuh dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah.
5
5. Teori genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial pada preeklamsia.
Penelitian menunjukkan preeklamsia melibatkan banyak gen.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Penelitian menunjukan 20-40% anak perempuan dan 11-
37% saudara perempuan dari penderita preeklamsia juga mengalami
preeklamsia. Penelitian pada saudara kembar juga menunjukkan
korelasi yang tinggi, hingga 40%.
6. Teori stimulus inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas
sebagai sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi
stres oksidatif. Debris tersebut merangsang timbulnya proses
inflamasi. Proses apoptosis pada preeklamsia terjadi peningkatan stres
oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas
juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada
plasenta besar atau kehamilan multipel, maka reaksi stres oksidatif
akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan reaksi inflamasi dalam
darah ibu yang mengaktivasi sel endotel, sel makrofag sehingga
terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala
preeklamsia pada ibu.
d. Patofisiologi1,2,4
a) Otak
Nyeri kepala pada preeklamsia disebabkan oleh hiperperfusi otak
sehingga menimbulkan vasogenik edema. Kejang pada eklamsia
merupakan salah satu manifestasi dari preeklamsia dan merupakan salah
satu penyebab utama mortalitas pada ibu hamil. Etiologi pasti dari
eklamsia tidak diketahi tetapi diduga berhubungan dengan koagulopati,
6
deposit fibrin, dan vasopasme. Sering ditemukan edema otak yang
disebabkan oleh disfungsi autoregulasi vaskular. Pada perlukaan otak
yang disebabkan oleh preeklamsia ditemukan adanya nekrosis otak,
trombosis, infark dan perdarahan petekial dan yang sebagian besar
terdapat pada korteks serebri. Pada temuan CT-scan didapatkan daerah
hipodensitas pada daerah hemisfer serebri posterior, lobus temporalis,
dan batang otak. Pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan
subaraknoid atau peradarahan intraventikular.
b) Kardiovaskular
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsia disebabkan oleh
vasokonstriksi yang tejadi terutama pada arteriol dan diperkirakan
disebabkan oleh peningkatan reaktivitas vaskular. Mekanisme
peningkatan reaktivias vaskular diduga disebabkan oleh perubahan
interaksi antara substansi vasodilator (prostasiklin, nitrit oksida) dan
vasokonstriktif (tromboksan A2, endotelin). Perubahan tersebut
meningkatkan tekanan darah arterial (afterload).
Ciri utama lain preeklamsia adalah tidak adanya ekspansi volume
intravaskular yang normal terjadi pada kehamilan, penurunan volume
darah. Pada kehamilan normal volume plasma meningkat untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklamsi terjadi
penurunan volume plasma 30-40% dibandingkan pada kehamilan
normal. Kerusakan pada endotel diduga menyebabkan kebocoran cairan
intravaskular dan protein ke dalam ruang interstitial sehingga
menyebabkan menurunnya volume intravaskular.
c) Hepar
Lesi pada hepar dicirikan oleh adanya deposit fibrin sinusoid pada
area periportal dengan yang dikelilingi oleh perdarahan dan thrombus
kapiler portal. Nekrosis sentrilobular dapat terjadi karena adanya
vasospasme yang menyebabkan hipoperfusi darah dan iskemi pada hepar.
Subkapsular hematoma dapat terbentuk, bahkan pada kasus berat dapat
7
terjadi nekrosis hepatoselular yang dapat berlanjut menjadi ruptur hepar.
Nyeri abdomen kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium merupakan
gejala klasik yang disebabkan oleh teregangnya kapula Glisson.
Gambar 3. Gambaran subkapsular hematoma pada CT-Scan hepar.
d) Paru
Perubahan pada tekanan onkotik koloid, integritas endotel kapiler,
dan tekanan hidrostatik intravaskular pada preeklamsia dapat
menyebabkan terjadinya edema paru nonkardiogenik. Pemberian cairan
intravena berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya edema paru.
Pada eklamsia, cidera paru dapat terjadi akibat aspirasi isi lambung
sehingga menyebabkan pneumonia, pneumonitis atau sindrom distress
pernapasan.
e) Mata
Vasospasme retina dan edema retina dapat menyebabkan gangguan
visus. Gangguan visus pada preeklamsia dapat berupa pandangan kabur,
skotoma, amaurosis dan ablasio retina.
8
f) Ginjal
Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan glomerular filtration
rate (GFR) hingga 50%. Vasopasme pada preeklamsia menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi renal sehingga menurunkan GFR. Oleh
karenanya, pada pasien preeklamsia dapat terjadi oliguria bahkan anuria.
Terjadi peningkatan nilai kreatinin hingga di atas kadar kehamilan
normal (0,8 mg/dL). Monitoring ketat luaran urine penting pada pasien
preeklamsia karena oliguria dapat terjadi akiba insufisiensi ginjal.
Insufisiensi ginjal yang berat dapat menyebabkan nekrosis tubular akut
sehingga menyebabkan gagal ginjal aku.
Gambar 2. Glomerular Capillary Endotheliosis
Kerusakan pada sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir
kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklamsia tanpa proteinuria
karena janin terlebih dahulu lahir. Pada preeklamsia lesi pada ginjal
disebut glomeruloendoteliosis atau glomerular capillary endotheliosis
yang dicirikan oleh pembengkakan dan pembesaran sel endotel kapiler
glomerular sehingga menyebabkan penyempitan lumen kapiler. Terjadi
9
peningkatan jumlah vakuola yang mengandung lipid pada sitoplasma.
Sel-sel mesangial juga dapat membengkak.
g) Janin
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada
kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunya perfusi utero plasenta,
hipovolemia, vasopasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah
plasenta. Dampak preeklamsia dan eklamsia pada janin adalah dapat
terjadi pertumbuhan janin terhambat, prematuritas, oligohidramnion, dan
solusio plasenta.
e. Diagnosis1
i. Preeklamsia ringan
Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan berdasarkan timbulnya
hipertensi yaitu tekanan darah ≥ 140/90mmHg disertai proteinuria ≥
300mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik dan/atau edema setelah kehamilan 20
minggu.
ii. Preeklamsia berat
Preeklamsia digolongkan preeklamsia berat bila ditemukan satu
atau lebih gejala berikut : Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg, proteinuria lebih dari 5g/24 jam,
oliguria, kenaikan kadar kreatinin plasma, gangguan visus dan serebral,
nyeri epigastriu atau nyeri kuadran kanan atas abdomen, edema paru,
hemolisis mikroangiopatik, trombositopenia , gangguan fungsi hepar,
pertumbuhan janin intrauterin terhambat, atau sindrom HELLP.
iii. Eklamsia
Eklamsia merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan/atau koma. Eklamsia dapat timbul pada ante, intra dan
postpartum. Penderita preeklamsia yang akan kejang umumnya memberi
gejala atau tanda yang khas yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma
10
akan terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan tanda prodoma
disebut sebagai impending eklamsia .
f. Tatalaksana5,6
i. Preeklamsia ringan
Pada preeklamsia ringan, pasien dapat berobat rawat jalan dan
dilakukan follow-up dua kali dalam seminggu. Dilakukan monitoring
tekanan darah, urine, dan kondisi janin. Pasien dianjurkan untuk banyak
istirahat. Tidak perlu dilakukan restriksi garam. Pertumbuhan janin
membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Pada preeklamsia ringan
tidak perlu diberikan antikonvulsan, antihipertensi, atau sedativa.
Pada keadaan tertentu pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria
preeklamsia ringan dirawat ialah bila tidak ada perbaikan ekanan darah
atau proteinuria selama 2 minggu atau adanya sau atau lebih anda dan
gejala preeklamsia berat. Selama perawatan dirumah sakit dilakukan
monitoring tekan darah dua kali sehari dan urin setiap hari. Terapi
medikamentosa tidak perlu diberikan kecuali terdapat peningkatan tekan
darah atau kadar proteinuria. Diuretik hanya diberikan pada preeklamsia
dengan edema paru atau gagal ginjal kongestif.
Jika terjadi penurunan tekanan darah ke tingkat normal pasien
tatalaksana pasien dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dan dilakukan
follow up dua kali seminggu untuk pemeriksaan tekanan darah, urine,
kondisi janin, dan tanda-tanda preeklamsia berat. Berikan edukasi
mengenai gejala dan tanda preeklamsia berat.
Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, bila tekanan darah
stabil dan tidak terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
persalinan ditunggu hingga aterm. Sementara itu pada kehamilan aterm,
persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan, atau jika terdapat
tanda pertumbuhan janin terhambat dapat dilakukan induksi persalinan.
11
ii. Preeklamsia Berat dan Eklamsia
Penatalasanaan preeklamsia berat dan eklamsia sama, kecuali
persalinan harus segera terjadi dalam 12 jam setelah onset kejang pada
eklamsia. Semua kasus preeklamsia berat harus dirawat di rumah sakit
dan ditatalaksana secara aktif.
Manajemen Kejang
1) Berikan oksigen 4-6 L per menit.
2) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
3) Berikan obat antikonvulsan
Manajemen Umum
1) Lakukan pemasangan infus
2) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi
3) Pantau tanda tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap jam
4) Jika tekanan darah diastolik di atas 110mmHg, berikan obat
antihipertensi hingga tekanan darah diastolik kurang dari 100 mmHg
tetapi tidak di bawah 90mmHg.
5) Lakukan kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
proteinuria.
6) Jika pengeluaran urin kurang dari 30 mL per jam : hentikan sulfat
magnesium dan infus cairan IV sebanyak 1 L dalam 8 jam, pantau
kemungkinan edema paru.
7) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang yang disertai aspirasi
dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janin.
8) Auskultasi paru tiap jam untuk mencari tanda edema paru. Jika
terdengar ronki, hentikan infus cairan dan berikan furosemide 40mg
IV.
9) Lakukan penilaian pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside.
Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat
koagulopati.
12
Obat Antikonvulsan
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan
mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Jika tidak tersedia
magnesium sulfat, dapat digunakan diazepam. Meskipun diazepam dosis
tunggal jarang menyebabkan depresi neonatal, administrasi jangka panjang
melalui drip IV meningkatkan resiko depresi neonatal pada bayi. Efek
tersebut dapat berlangsung hingga beberapa hari.
Magnesium sulfat
Dosis awal
MgSO4 4 gram IV sebagai larutan 20% selama 5 menit.
Diikuti dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50% : berikan 5 gram
pada tiap bokong dalam injeksi IM dengan 1 ml lignokain 2% dalam
semprit yang sama.
Jika kejang terjadi kembali setelah 15 menit, berikan 2 gram larutan
magnesium sulfat 50% IV dalam 5 menit.
Dosis pemeliharaan
Berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% dengan 1 ml lignokain
2% dalam semprit yang sama melalui injeksi IM setiap jam. Lanjutkan
terapi hingga 24 jam pascapersalinan atau kejang terakhir.
Jika larutan 50% tidak tersedia, berikan 1 gram larutan magnesium
sulfat 20% IV tiap jam dalam drip infus.
Lakukan pemantauan ketat pada pasien untuk tanda tanda toksisitas.
Sebelum pemberian, pastikan bahwa :
Frekuensi pernapasan minimal 16 kali per menit.
Refleks pattela positif
Urin minimal 30 ml per jam dalam 4 jam terakhir.
Hentikan pemberian jika :
Frekuensi pernapasan kurang dari 16 kali per menit.
Refleks pattela negatif
Urine kurang dari 30 ml per jam selama 4 jam terakhir.
13
Siapkan antidotum
Jika terjadi henti napas, bantu pernapasan dengan alat dan berikan
kalsium glukonas 1 gram (10 ml dalam larutan 10%) IV secara lambat
hingga pernapasan kembali.
Diazepam
Dosis awal
Diazepam 10 mg IV secara lambat dalam 2 menit
Jika kejang berulang, ulangi dosis awal
Dosis pemeliharaan
Diazepam 40 mg dalam 500 mL cairan IV (Nacl 0,9% atau RL).
Depresi pernapasan dapat terjadi jika dosis melebihi 30 mg per jam,
lakukan penapasan bantuan jika perlu dan jangan berikan lebih dari 100
mg dalam 24 jam.
Administrasi per rektal
Berikan diazepam secara rektal jika pemberian IV tidak dapat
dilakukan. Dosis awal 20 mg dalam 10 mL semprit.
Jika kejang tidak terkontrol dalam 10 menit, berikan tambahan 10 mg
atau lebih, tergantung dari bera ibu dan respon klinik.
Antihipertensi
Batas tekanan darah dalam pemberian antihipertensi bervariasi.
Menurut WHO, antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg dengan target penurunan hingga tekanan diastolik mencapai 90-
100mmHg.5 Di RSU dr.Soetomo Surabaya, batas tekanan darah dalam
pemberian antihipertensi adalah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan
atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturnkan secara
bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik.1
Antihipertensi yang dipakai di Indonesia adalah Nifedipin dengan
dosis awal sebesar 10-20mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis
maksimum 120 mg dalam 24 jam.1 Menurut WHO nifedipin dapat
14
diberikan 5mg sublingual dan dapat diulang setelah 10 menit.5 Obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan berupa klonidine
(catapres). Cara pemberian 1 ampul dilarutkan dalam 10cc larutan garam
faal atau akuades untuk suntikan.1
Sikap Terhadap Kehamilan
Persalinan harus terjadi segera setelah kondisi ibu stabil.
Penundaan persalinan untuk meningkatkan maturitas janin dapat
meningkatkan resiko pada ibu dan janin. Pada preeklamsia berat,
persalinan harus terjadi dalam 24 jam setelah onset gejala. Pada eklamsia,
persalinan harus terjadi dalam 12 jam setelah onset kejang.
Lakukan penilaian serviks, jika serviks matang lakukan induksi
persalinan. Jika terdapat gawat janin atau serviks belum matang persalinan
dilakukan perabdominal. Jika fetus meninggal atau terlalu prematur,
persalinan dilakukan pervaginam, jika serviks belum matang, lakukan
pematangan serviks menggunakan misoprostol, prostaglandin atau kateter
Foley.
BAB III PENYAJIAN KASUS
15
STATUS PASIENI. ANAMNESA PASIEN
No RM : 11 50 33
Nama : Eka Prihyanti Prihse
Umur : 33 Tahun
Agama/Suku : Islam/Jawa
Pendidikan : S1
Alamat : Jl. Bambu runcing kec. Tanjung Pura
Tgl Masuk : 20 Maret 2015
Pukul : 13.40 WIB
II. ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Ingin melahirkan
Telaah : Os datang ke RSUD Djoelham dengan keluhan ingin
melahirkan. Os juga mengeluh sakit kepala bagian depan,
kedua kaki oedem. Mual (-) Muntah (-) riwayat kejang (-)
RPT : Riwayat Hipertensi (+)
RPO : Konsumsi amlodipin
III. RIWAYAT HAID
HPHT : 20-07-2014
TTP : 27-04-2015
Siklus Haid : 28 hari
Lama Haid : 7 hari
Menarche : 12 tahun
Dismenore : -
IV. RIWAYAT PERKAWINAN
Menikah pada usia 28 tahun
16
V. RIWAYAT KONTRASEPSI
Pasien tidak menggunakan kontrasepsi
VI. RIWAYAT PERSALINAN
Gravida 4 Paritas 1 Abortus 2
Anak ke 1 : prematur, bayi usia 3 hari meninggal, kelahiran SC
Anak ke 2 : kehamilan 5 bulan, abortus, kuret
Anak ke 3 : kehamilan 6 bulan, janin meninggal dalam kandungan, kuret
VII. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS PRESENT
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis Anemia : (-)
TD : 160/100 mmHg Sianosis : (-)
HR : 86 x/I Ikterik : (-)
RR : 24 x/I Dipsneu : (-)
T : 36,6 0C Edema : (-)
B. STATUS LOKALISATA
Kepala
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-)
Hidung : Simetris
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelanjar getah bening (-), Struma (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris kanan=kiri
17
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler. Suara tambahan (-)
Abdomen
Lihat status obstetri
C. PEMERIKSAAN OBSTETRI/GINEKOLOGI
Fundus Uteri : Diatas Pusat
Palpasi : Leopold I : 27 cm, Diatas Pusat
Leopold II : Punggung janin sebelah kiri
Leopold III : Letak bokong
Leopold IV : Belum masuk PAP
Auskultasi : Denyut jantung janin 129 x/i
Gerak Janin (+)
His (-)
Vaginal Toucher : Tidak ada pembukaan
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah rutin : WBC : 13,5 x 103 /µL
HGB : 10,6 gr/dL
RBC : 3,42 x 106 /µL
PLT : 293 X 103 /µL
HCT : 28,4 %
KGD : 158 mg/dL
Proteinuria : +2
RESUME
Keluhan Utama : Mau melahirkan
18
Telaah : Pasien datang ke ruang Pinang pukul. 13.40 dengan
keluhan mau melahirkan, pasien juga mengeluh sakit
kepala pada bagian depan, kedua kaki oedem, mual (-)
muntah (-) riwayat kejang (-). USG dipoli hasil :
PEB+MG+KDR(aterm)+AH+LS
HPHT : 20-07-2014
TTP : 27-04-2015
Gravida 4 Paritas 1 Abortus 2
STATUS PRESENT
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis Anemia : (-)
TD : 160/100 mmHg Sianosis : (-)
HR : 86 x/i Ikterik : (-)
RR : 24 x/I Dipsneu : (-)
T : 36,6 0C Edema : (-)
PEMERIKSAAN OBSTETRI/GINEKOLOGI
Fundus Uteri : Diatas Pusat
Palpasi : Leopold I :27 cm, Diatas Pusat
Leopold II : Punggung janin sebelah kiri
Leopold III : Letak Bokong
Leopold IV : Belum masuk PAP
Auskultasi : Denyut jantung janin 129 x/i
Gerak Janin (+)
His (-)
Vaginal Toucher : Tidak ada pembukaan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
19
Darah rutin : WBC : 13,5 x 103 /µL
HGB : 10,6 gr/dL
RBC : 3,42 x 106 /µL
PLT : 293 X 103 /µL
HCT : 28,4 %
KGD : 158 mg/dL
DIAGNOSA SEMENTARA
PEB + MG + KDR (Aterm) + AH + LS
RENCANA TINDAKAN
Section Caesaria pada tanggal 20 Maret 2015 jam 17.00WIB
Persiapan sebelum operasi :
IVFD RL 30gtt/i + MgSO4 40%, 30cc
Inj MgSO4 20% +20cc, iv bolus pelan-pelan
stabilisasi
Pasang Kateter
SIO (Surat Izin Operasi)
LAPORAN OPERASI POST SECTIO CAESARIA
Dilakukan incise pada abdomen
Dilakukan incise pada SBR (Segmen Bawah Rahim)
Lahir bayi dengan BB 2790 gr
Plasenta lahir lengkap
Dilakukan penjahitan pada uterus
Evaluasi perdarahan : tidak ada perdarahan
Dinding perut di jahit lapis demi lapis
KEADAAN PASIEN POST OPERASI : Baik
Terapi post operasi : Puasa
20
IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)
Inj ketorolac 1 amp/8j
Inj dexametason 1 amp/8j
Inj ranitidine 1 amp/8j
Inj cefotaxime 1gr/8j
FOLLOW UP
Follow Up Post Operasi (20 Maret 2015 jam 19.30 WIB)
KU : Nyeri bekas post operasi (+), perdarahan post SC (-)
TD : 160/100 mmHg
HR : 88 x/i
RR : 22 x/i
T : 36,5 0 C
Platus : Belum ada
BAB : Belum ada
Therapy :
IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)
Inj ketorolac 1 amp/8j
Inj dexametason 1 amp/8j
Inj ranitidine 1 amp/8j
Inj cefotaxime 1gr/8j
Follow Up Post Operasi Hari II (21 Maret 2015)
KU : Nyeri post operasi berkurang, perdarahan post SC (-)
TD : 160/90 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,10 C
Platus : Ada
BAB : Belum ada
21
Therapy :
IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)
Inj ketorolac 1 amp/8j
Inj dexametason 1 amp/8j
Inj ranitidine 1 amp/8j
Inj cefotaxime 1gr/8j
Captopril 4x1
Sohobion 2x1
Follow Up Post Operasi Hari III (22 Maret 2015)
KU : Nyeri bekas operasi berkurang, keadaan semakin membaik
TD : 130/80 mmHg
HR : 84 x/i
RR : 24 x/i
T : 36,6 0 C
Platus : Ada
BAB : Belum ada
Therapy :
IVFD RL + MgSO4 40%, 30 gtt/i (30cc)
Inj ketorolac 1 amp/8j aff
Inj dexametason 1 amp/8j aff
Inj ranitidine 1 amp/8j aff
Inj cefotaxime 1gr/8j aff
Captopril 4x1
Sohobion 2x1
Follow Up Post Operasi Hari IV (23 Maret 2015)
Pasien Berobat Jalan
BAB IV KESIMPULAN
22
Pasien datang ke RSUD DR.RM.DJOELHAM ke ruang pinang pukul
13.40 WIB, dengan keluhan ingin melahirkan dengan keluhan sakit kepala bagian
depan, disertai kaki oedem, mual muntah disangkal, riwayat kejang disangkal, os
juga mengalami tekanan darah tinggi dan sebelumnya telah mengkonsumsi obat
amlodipin.
Dari hasil lab diketahui hasil hemoglobin 10,6 gr/dL rendah, eritrosit 3,42
x 106 /µL rendah, trombosit 293 X 103 /µL rendah, dan proteinuria (+2).
Diketahui vital sign pasien saat datang adalah:
TD: 160/100mmhg
HR: 86x/i
RR: 24x/i
T: 36,6ºC
Pasien dirawat di RSUD DJOELHAM, selama 3 hari dengan diagnosa
Preeklamsi Berat.
BAB VDAFTAR PUSTAKA
23
1. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi Keempat. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.
2. Cunningham FG, et al. Williams Obstetrics, 23 th ed. New York : McGrawHill, 2010.
3. Haram K, et al. The HELLP syndrome: Clinical Issue and Management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:8.
4. McPhee SJ, et al. Current Medical Diagnosis & Treatment 2011. New York : McGraw Hill, 2011.
5. World Health Organization. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Department for Reproductive Health and Research, 2007.
6. Saifuddin AB, et al. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, edisi pertama. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.
7. Sibai BM. Diagnosis, Controversies, and Management of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Counts. Obstetric & Gynecology 2004, 103 (5) : 981-991.
8. McClatchey KD. Clinical Laboratory Medicine. Chap 21 Heme Synthesis and Catabolism. Lippincot Williams & Willkins, 2001.
24