64
BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di dunia. Hal tersebut teramati pula di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI (2009) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor 1 diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. Peningkatan kejadian stroke secara jelas teramati di Negara Asia (terutama RRC, India, dan Indonesia). Peningkatan kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan faktor risiko stroke (hipertensi, merokok, kolesterol tinggi, diabetes, dan sebagainya). Perubahan pola hidup (urbanisasi dan westernisasi) dalam bentuk peningkatan stres, peningkatan inaktivitas fisik, merokok, peningkatan stres emosional, dan perubahan pola konsumsi makanan berkontribusi sangat besar terhadap peningkatan kejadian stroke. Organisasi stroke sedunia (2012) mengingatkan bahwa 1 diantara 6 orang di seluruh dunia akan terkena stroke selama hidupnya. Angka yang sedemikian besar ini menuntut langkah nyata dari semua pihak yang terkait. Kepedulian semua pihak sangat ditunggu untuk menurunkan angka catat dan kematian akibat stroke. Pada masa penyembuhan pasca stroke telah banyak dilakukan usaha untuk membantu rehabilitasi pasca stroke. Pada tahun 2010 Zainal Fanani dan kawan-kawan melakukan penelitian yaitu “Perancangan Alat Bantu Permainan Pasca Stroke”. Penelitian ini hanya melatih otak penderita pasca stroke dalam bentuk permainan gambar. Pada penelitian ini penderita pasca stroke tidak bisa melatih otot kaki dan otot tangan secara maksimal. Disamping itu juga banyak dikembangkan alat terapi pabrik bagi penderita pasca stroke. Namun demikian seluruh alat bantu yang dibuat bersifat statis, dimana penderita hanya bisa bergerak atau melakukan latihan terapi disuatu tempat, misalkan didalam ruangan atau didalam rumah juga. Padahal penderita pasca stroke juga membutuhkan mobilitas untuk menambah motivasi hidupnya. Pada

Laporan Akhir

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Akhir

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

Saat ini stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di

dunia. Hal tersebut teramati pula di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI

(2009) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor 1

diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. Peningkatan kejadian stroke secara

jelas teramati di Negara Asia (terutama RRC, India, dan Indonesia). Peningkatan

kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan faktor risiko stroke (hipertensi,

merokok, kolesterol tinggi, diabetes, dan sebagainya).

Perubahan pola hidup (urbanisasi dan westernisasi) dalam bentuk

peningkatan stres, peningkatan inaktivitas fisik, merokok, peningkatan stres

emosional, dan perubahan pola konsumsi makanan berkontribusi sangat besar

terhadap peningkatan kejadian stroke. Organisasi stroke sedunia (2012)

mengingatkan bahwa 1 diantara 6 orang di seluruh dunia akan terkena stroke

selama hidupnya. Angka yang sedemikian besar ini menuntut langkah nyata dari

semua pihak yang terkait. Kepedulian semua pihak sangat ditunggu untuk

menurunkan angka catat dan kematian akibat stroke. Pada masa penyembuhan

pasca stroke telah banyak dilakukan usaha untuk membantu rehabilitasi pasca

stroke. Pada tahun 2010 Zainal Fanani dan kawan-kawan melakukan penelitian

yaitu “Perancangan Alat Bantu Permainan Pasca Stroke”. Penelitian ini hanya

melatih otak penderita pasca stroke dalam bentuk permainan gambar. Pada

penelitian ini penderita pasca stroke tidak bisa melatih otot kaki dan otot tangan

secara maksimal.

Disamping itu juga banyak dikembangkan alat terapi pabrik bagi penderita pasca

stroke. Namun demikian seluruh alat bantu yang dibuat bersifat statis, dimana

penderita hanya bisa bergerak atau melakukan latihan terapi disuatu tempat,

misalkan didalam ruangan atau didalam rumah juga. Padahal penderita pasca

stroke juga membutuhkan mobilitas untuk menambah motivasi hidupnya. Pada

gambar 1.1 di bawah ini ditunjukan salah satu contoh sepeda statis yang

digunakan di dalam ruangan.

Gambar 1.1 Sepeda Statis

(http://www.distributor001.com/2012/03/jual-sepeda-statis-murah-platinum-

bike.htm1)

Kekurangan dari sepeda statis ini adalah tidak dapat berpindah tempat saat

pemakai mengayuh dan penderita pasca stroke hanya bisa melatih otot kaki

sedangkan otot tangan tidak dapat dilatih.

Untuk itu dirancang dan dibuat sebuah sepeda roda tiga–sepeda pasca stroke

tahun 2014. Sepeda yang dibuat harus diuji fungsi dan kemampuannya. Untuk itu

pada tesis ini akan dilakukan uji fungsi terhadap sepeda pasca stroke yang telah

dibuat, yang meliputi uji risiko cedera tubuh dengan metode RULA dengan alat

bantu goneoset, uji jumlah detak jantung (detak/menit) dan konsumsi energi

(kkal/menit) menggunakan alat bantu heartrate. Disamping itu dilakukan evaluasi

kegunaan dari sepeda pasca stroke, yaitu dengan rekaman gerakan pengendara

(pengayuh) sepeda roda tiga oleh responden pasca stroke dengan video. Untuk

melengkapi uji coba tersebut akan diukur tegangan otot kaki responden sehat

sebelum dan sesudah mengayuh dengan alat ukur leg dynamometer.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengukuran Detak Jantung

Detak jantung merupakan getaran dari jantung selama dia melakukan

aktifitasnya. Detak jantung ini dapat direpresentasikan dengan denyut nadi,

Pengukuran denyut nadi dan tekanan darah merupakan hal yang sangat penting

dalam bidang kesehatan. Karena denyut nadi dan tekanan darah merupakan faktor

yang digunakan untuk sebagai indikator untuk menilai sistem cardiovaskuler.

Denyut nadi dan tekanan darah seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor,

diantaranya adalah perubahan posisi tubuh dan aktifitas fisik. Berdasarkan gambar

grafik 2.1 dapat diketahui berbagai kondisi kerja yang dapat menaikkan denyut

nadi

Gambar 2.1 Meningkatnya detak jantung yang berhubungan dengan berbagai

macam kondisi kerja. (Grandjean, 1986 )

Berdasarkan gambar 2.1 diketahui bahwa setiap kerja yang dilakukan

mempunyai pengaruh tertentu terhadap detak jantung. Sehingga pengukuran

kebutuhan kalori untuk suatu pekerjaan dapat direpresentasikan dengan perubahan

detak jantung. Karena itulah detak jantung digunakan sebagai salah satu metode

untuk mengukur energi yang dikonsumsi selama melakukan suatu kerja.

Dynamic under hot

Condition Static muscular

work Dynamic work including

few muscles

Dynamic work including

many muscles

Penelitian lain yang dilakukan oleh Astrand dan Christensen menyebutkan bahwa

terdapat hubungan langsung antara pengeluaran energi dari tingkat detak jantung,

sehingga tingkat pulsa dan detak jantung per menit dapat digunakan untuk

menghitung pengeluaran energi [Retno Megawati, 2003]..

Pengukuran detak jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara

1. Merasakan detak jantung yang ada pada arteri radial pada pergelangan

tangan

2. Mendengarkan detak jantung dengan stethoscope.

3. Menggunakan ECG ( Electrocardiograph ), yaitu mengukur sinyal l

elektrik yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada

4. Menggunakan cyclometer, yaitu alat yang digunakan untuk mengetahui

kecepatan dan jarak ketika sepeda dikendarai namun bisa juga digunakan

untuk mengetahui detak jantung pengendara sepeda dengan hasil

pengeluaran berupa kalori.

Cara yang lebih mudah untuk mengetahui detak jantung dapat dilakukan

dengan perhitungan denyut nadi nadi dapat diketahui dengan menggunakan

metode 15 atau 30 detik. Penggunaan denyut nadi kerja untuk menilai berat

ringanya beban kerja memiliki beberapa keuntungan, yaitu mudah, cepat, murah,

tidak memerlukan peralatan yang mahal, dan tidak menggangu aktivitas obyek

yang dilakukan pengukuran. Selain itu kepekaan denyut nadi akan segera berubah

dengan perubahan pembebanan. [Muller,1962] mendefinisikan jenis-jenis. Denyut

nadi untuk mengestimasi index beban kerja, antara lain :

1. Detak jantung pada saat istirahat (resting pulse) adalah rata-rata denyut

jantung sebelum suatu pekerjaan dimulai.

2. Detak jantung selama bekerja (working pulse) adalah rata-rata denyut

jantung pada saat seseorang bekerja.

3. Detak jantung untuk bekerja (work pulse) adalah selisish antara detak

jantung selama bekerja dan selama istirahat.

4. Detak jantung selama istirahat total (recovery cost or recovery cost) adalah

jumlah aljabar detak jantung dan berhentinya detak pada suatu pekerjaan

selesai dikerjakannya sampai dengan detak berada pada kondisi

istirahatnya.

5. Detak jantung kerja total (total work pulse or cardiac cost) adalah jumlah

detak jantung dari mulainya suatu pekerjaan sampai dengan detak berada

pada kondisi istirahatnya (resting level ).( Nurmianto, 2004)

Setelah besaran kecepatan detak jantung dikonversi dalam bentuk energi, maka

konsumsi energi untuk kegiatan kerja tertentu dapat diketahui menggunakan

persamaan :

KE = Et - Ei ………………………………………………………………….( 2.1)

Dimana :

KE = Konsumsi energi (kkal/menit)

Et = Pengeluaran energi pada saat melakukan kerja (kkal/menit)

Ei = Pengeluaran energi pada saat istirahat (kkal/menit)

2.2 Biomekanika

Biomekanika menggunakan hukum-hukum fisika dan konsep-konsep

teknik untuk mendeskripsikan gerakan yang dialami oleh berbagai segmen tubuh

dan gaya-gaya pada bagian-bagian tubuh selama melakukan aktivitas [Frankel dan

Nordin (1980) dalam Chaffin and Andersson (1984)]. Biomekanika dapat dibagi

lagi ke dalam dua bagian utama yaitu biostatika dan biodinamika. Biostatika

adalah metode analisis yang memfokuskan pada besarnya gaya dan momen yang

terjadi pada bagian tubuh tertentu saat tubuh dalam kondisi tanpa gerakan,

sedangkan biodinamika adalah metode analisis yang memfokuskan besarnya gaya

dan momen yang terjadi pada bagian-bagian tubuh tertentu saat tubuh dalam

kondisi bergerak.

Proses analisa biodinamika dapat dilakukan dengan menggunakan

peralatan photography atau cinemathography untuk merekam gerakan tubuh pada

saat sedang melakukan kegiatan atau pekerjaan. Berdasarkan foto atau rekaman

video ini yang kemudian digunakan untuk menganalisa gaya-gaya pada setiap

posisi segmen tubuh. Menurut Chaffin and Andersson (1984), tubuh manusia

terdiri dari enam link, yaitu :

1. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan siku.

2. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu

3. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul

4. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut

5. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki

6. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki

Enam macam link yang telah disebutkan diatas mewakili segmen-segmen tubuh

tertentu. Sedangkan tiap jointnya menggambarkan sendi yang ada. Berikut

merupakan gambar tiap segmen tubuh sesuai dengan yang disebutkan diatas

Gambar 2.2 Tubuh sebagai sistem enam Link (Eko Nurmanto, 2004)

Setelah ditetapkan link-link tubuh mana saja yang akan dianalisa, maka

harus diketahui gaya-gaya yang terjadi pada link-link tubuh tersebut dan

ditentukan FBDnya (Free Body Diagram) yang nantinya digunakan sebagai

parameter dalam perhitungan. Dari parameter-parameter yang telah diketahui

maka perhitungan biomekanika dilanjutkan menggunakan hukum Newton I

tentang kesetimbangan gaya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

∑Fy = 0………………………………………………………..(2.2)

∑Fx = 0………………………………………………………..(2.3)

∑MC = 0……………………………………………………….(2.4)

Dimana :

∑Fy = Resultan gaya-gaya yang terjadi pada sumbu y (vertical)

∑Fx = Resultan gaya-gaya yang terjadi pada sumbu x (horizontal)

∑MC = Resultan momen yang terjadi pada segmen yang dianalisa

2.3 Kekuatan Tegangan Otot

Tegangan otot adalah kemampuan maksimal dari otot berkontraksi. Kekuatan

otot ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, ukuran coss section otot, jenis

serabut, tipe kontraksi otot, ketersediaan energi dalam darah, hubungan antara

panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi dan recruitment unit. Untuk

meningkatkan kekuatan tegangan otot berbagai cara latihan,diantaranya dengan

metode De Lorme dan Metode Oxford. Metode De Lorme dan metode Oxpord

merupakan metode “isotonic resistance exercise adalah suatu bentuk latihan

dengan melakukan gerakan dinamis melawan tahanan sepanjang lingkup gerak

sendi” (Nancy Keiser,1998). Pada pelatihan metode De Lorme dilakukan dengan

memberikan beban dari rendak ke tinggi, Sebaliknya latihan metode Oxford

memberikan beban dari tinggi kerendah.

2.4 Otot Kaki

Setiap bagian tubuh mempunyai otot-otot yang berperan penting dalam

mendukung peran kerja dari masing-masing bagian tubuh. Kaki merupakan

bagian tubuh yang penting dalam melakukan aktivitas seperti berjalan dan

bersepeda. Beberapa otot utama yang terdapat pada kaki adalah sebagai berikut :

1. Quadriceps

Merupakan gabungan dari otot-otot yang menempel pada lutut dan pinggul

(terdiri dari 4 otot, dimana 3 otot yang dapat terlihat secara langsung

sedangkan 1 otot yang lain berada tepat dibelakang otot rectus femoris).

Berfungsi untuk melakukan gerakan mengayun kaki kedepan.

2. Biceps femoris /hamstrings

Merupakan gabungan 4 otot yang terletak di paha bagian belakang.

Hamstrings berfungsi untuk melakukan gerakan memutar lutut.

3. Triceps Surae

Merupakan gabungan dari 2 otot, yaitu gastrocnemius dan soleus dimana

kedua otot tersambung ke tumit dengan Achilles tendon.

4. Tibialis anterior & peroneus longus

Tibialis anterior terletak disamping tulang kering, sedangkan peroneus

longus sangat jarang terlihat. Pada gambar berikut dijelaskan bagian-

bagian otot kaki serta posisinya

(a) (b)

Gambar 2.3 Otot pada kaki [Muscles of the leg (a); Back of the leg (b)]

(http://hippie.nu)

2.5 Indek Massa Tubuh (IMT)

Indek massa tubuh biasa dikenal dengan IMT merupakan suatu

pengukuran yang menunjukan hubungan antara berat badan dan tinggi badan dan

salah satu cara untuk menganalisa bagaimana berat badan memiliki risiko

terhadap penyakit. Untuk menghitung indek masaa tubuh menggunakan rumus

sebagai berikut [Marekenssen,2004]

Klasifikasi indek massa tubuh (IMT) berdasarkan WHO seperti tabel 2.5 berikut

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT (WHO,2004)

Klasifikasi IMT ( kg/m2)

Berat badan (kg)

Tinggi badan (m)2 IMT = ……………………………….(2.5)

Nilai Batas Dasar Nilai Batas Tambahan

Kurus < 18.50 < 18.50

Sangat Kurus < 16.00 < 16.00

Kurus 16.00 - 16.99 16.00 - 16.99

Agak Kurus 17.00 – 18.49 17.00 – 18.49

Normal 18.50 – 24.99 18.50 – 22.99

23.00 – 24.99

Kegemukan 25.00 – 29.99 25.00 – 27.49

Pra- obesitas 25.00 – 29.99 25.00 – 27.49

27.50 – 29.99

Obesitas >=30.00 >=30.00

Obesitas kelas I 30.00 – 34.99 30.00 – 32.49

32.50 – 34.99

Obesitas kelas II 35.00 – 39.99 35.00 – 37.49

37.50 – 39.99

Obesitas kelas III >=40.00 >=40.00

Keterangan :

Ukuran IMT untuk pengayuh/responden yang bisa dimasukan/dikatagorikan boleh

mengayuh adalah berkisar antara 19 – 25

2.6 Teori Kegagalan (Failure Theories)

Ada dua jenis kegagalan mekanis pada material, yaitu: peluluhan

(yielding) dan patah (fracture). Yielding atau deformasi permanen adalah bentuk

sliding sepanjang bidang sudut tertentu pada material. Fracture adalah terpisahnya

luas penampang akibat adanya beban tarik. Beberapa teori yang digunakan untuk

menghitung kegagalan diantaranya:

Teori Tegangan Normal Maksimum (Rankine)

Teori Tegangan Geser Maksimum (Tresca)

Teori Energi Distori (Von Mises)

2.6.1 Teori Tegangan Normal Maksimum (Rankine)

Teori ini berdasarkan hasil eksperimen insinyur Inggris W.J.M. Rankine.

Kegagalan suatu material terjadi bila tegangan normal maksimum mencapai suatu

harga tegangan luluh atau tegangan patahnya, tanpa memperhatikan tegangan

utama (principal stress) lainnya. Kriteria ini cocok untuk material getas (brittle

materials).

Secara sederhana, kegagalan terjadi apabila :

dimana

σ1 ≥ σ2 ≥ σ3 = tegangan normal utama

Sut = kekuatan ultimate material terhadap tarik

Suc = kekuatan ultimate material terhadap tekan

2.6.2 Teori Tegangan Geser Maksimum (Tresca)

Ide tentang tegangan geser yang berperan dalam menimbulkan kegagalan

pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Perancis, Coulomb (1376-1806).

Formula kriteria tegangan geser maksimum dipublikasikan oleh Tresca (1864) dan

Guest (1900) membuktikannya lewat experimen. Sehingga teori ini sering disebut

teori Tresca atau Guest law.

Teori ini menyatakan bahwa “Kegagalan diprediksi terjadi pada keadaan

tegangan multiaksial jika nilai tegangan geser maksimum sama atau lebih besar

dibandingkan tegangan geser maksimum pada saat terjadinya kegagalan dalam

pengujian tegangan uniaksial sederhana yang menggunakan spesimen dengan

material yang sama”.

Secara sederhana, kegagalan terjadi apabila :

di mana Su adalah Kekuatan material pada saat uji tarik. Jadi kegagalan akan

terjadi jika salah satu persamaan di atas terpenuhi.

2.6.3 Teori Energi Distori (Von Mises)

Kriteria lain untuk menyatakan tegangan dua dimensi adalah teori energi

distorsi yang menyatakan sebuah formula.

S2 = σ12 + σ2

2 − σ1σ2

Dari lingkaran Mohr diperoleh persamaan untuk dua tegangan, yaitu:

σ1 =σx + σy

2+ √(

σx − σy

2)

2

+ τxy2

σ2 =σx + σy

2− √(

σx − σy

2)

2

+ τxy2

Dengan demikian dapat diperoleh persamaan baru, yaitu:

Sy2 = σx

2 − σxσy + σy2 + 3τxy

2

(2.4)

Kegagalan akan terjadi bila :

2.7 Faktor Keamanan (Safety Factor)

Faktor keamanan merupakan rasio dari tegangan maksimum dengan

tegangan kerja atau desain, yang secara matematis sebagai berikut :

DesainatauKerjaTegangan

MaksimumTeganganananFaktorKeam

Pada kasus material yang ulet misalnya baja lunak dimana tegangan luluhnya

telah diketahui maka dibagi dengan tegangan kerja. Sedangkan pada material yang

getas misalnya besi tuang dimana tegangan luluhnya sulit diprediksi maka faktor

keamanannya diambil dari tegangan maksimum (Ultimate Strength) material

dibagi dengan tegangan kerja. Rumus tersebut di atas hanya berlaku pada

pembebanan statis.

(Sunardi, Diktat Tegangan Kerja)

BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah, merancang sepeda

untuk pasien pasca stroke sebagai alat bantu terapi fisik yang diharapkan dapat

digunakan untuk membantu proses pemulihan penderita pasca stroke.

3.2 Manfaat

Manfaat yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah sepeda yang dirancang dan dibuat dapat membantu penderita

pasca stroke meningkatkan kesehatan tubuhnya, sehingga dapat menjadi sehat

kembali seperti orang normal.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Langkah-Langkah Penelitian

Sebagai lanjutan dari penelitian I, maka langkah-langkah dalam penelitian

ini dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a) Persiapan Penyunan Prosedsur Pengujian

b) Persiapan Peralatan Uji

c) Uji kayuh

d) Uji manfaat Sepeda

e) Pengambilan data komsumsi energi, jumlah detak jantung, tegangan otot

kaki dan rekaman video anggota tubuh pada saat pengayuh

f) Pengolahan data

g) Kesimpulan dan saran

4.1.1 Penyusunan Prosedur Pengujian Sepeda Pasca Stroke

Penyusunan prosedur pengujian bertujuan untuk memudahkan pada saat

proses pengambilan data pengukuran/pengujian sepeda pasca stroke. Prosedur

pengujian terdiri dari uji fungsi, evaluasi risiko cedera tubuh dengan metode

RULA, uji kayuh dan uji tegangan otot kaki pengayuh sepeda pasca stroke dan

pengambilan gambar gerakan kaki saat responden penderita pasca stroke

mengayuh sepeda dengan video gambar (rekaman)

4.1.2 Persiapan Peralatan Uji

Pada tahapan ini dipersiapkan peralatan pengujian yang terdiri dari ;

a) Heart rate

b) Cyclometer

c) Leg dynamometer

d) Camera digital

e) Goneoset

4.1.3 Uji Kayuh

Pada tahapan ini dilakukan pengayuhan pedal sepeda oleh responden yang

sehat (orang normal) dan penderita pasca stroke, tujuannya untuk mengetahui

kebutuhan energi oleh responden. Uji kayuh dibantu dengan Tabel 3.4 dan Tabel

3.5 dimana denyut nadi responden diukur dengan alat ukur heart rate, sedangkan

pengukuran tegangan otot dilakukan dengan bantuan Tabel 3.6 dan Tabel 3.7

dimana setiap otot kaki responden diukur pada saat sebelum dan sesudah

mengayuh dengan alat bantu leg dynamometer

Tabel 4.1 Uji Detak Jantung Orang Sehat (Normal)

Lembar Pengujian Denyut Nadi

No Responden Kecepatan

(Km/H)

Detak jantung dengan

Heart rate

(detak/menit)

Enegi kayuh

(kkal/menit) Keterangan

Tabel 4.2 Uji Detak Jantung Penderita Pasca Stroke

Lembar Pengujian Detak Jantung

No Responden Kecepatan

(Km/H)

Detak jantung dengan

Heart rate

(detak/menit)

Enegi kayuh

(kkal/menit) Keterangan

Uji tegangan otot pengayuh dilakukan dengan bantuan batuan alat leg

dynamometer dan hasilnya ddicatat ke tabel berikut

Tabel 4.3 Uji Tegangan Otot Kaki Pengayuh Orang Sehat

Lembar Pengujian Tegangan Otot Kaki

No Responden

Waktu

(menit)

Tegangan ( kgs)

Keterangan Sebelum

Percobaan

Sesudah

Percobaan ∆ Tegangan

4.1.3.1 Prosedur Uji Kayuh

Peralatan yang digunakan sebagai berikut:

a) Heart rate

b) Cyclometer

- Tahapan mengukur detak jantung pemakai sepeda

1. Siapkan heart rate

2. Siapkan cyclometer

3. Pasangkan heart rate pada pergelangan tangan pemakai sepeda

4. Pasangkan cyclometer pada rangka sepeda

5. Pasangkan penyangga letakkan sepeda diatas penyangga

6. Lakukan kayuhan dalam selama waktu yang telah ditentukan

7. Catat hasil denyut nadi pemakai sepeda

4.1.3.2 Uji Tegangan Otot

Peralatan yang digunakan

- Leg dynamometer

Tahapan uji

1. Siapkan leg dynamometer

2. Lakukan uji tegangan otot kaki masing-masing responden

3. Catat hasil uji (kg)

4.1.3.3 Pengambilan Gambar dengan Video Gambar

Peralatan yang digunakan

- Kamera digital

Tahapan pengambilan gambar video

1. Pasang penyangga, letakan sepeda diatas penyangga

2. Pasangkan cyclometer pada rangka (frame) sepeda dan pencatat digital di

tuas

3. Pasangkan peralatan digital

4. Catat hasil ukur kecepatan gerak kayuh

5. Ambil gambar rekaman kayuh dengan kamera digital video

6. Simpan rekaman gerak kayuh

4.1.4 Pengolahan Data

Pada tahapan ini dilakukan pengolahan data yang telah diperoleh dari hasil

uji RULA, komsumsi energi, jumlah detak jantung, tegangan otot kaki pengayuh,

dan hasil dari rekaman video gambar gerakan kayuhan kaki responden penderita

pasca stroke dalam selang waktu tertentu

4.2. Diagram Alir Penelitian

Untuk melakukan penelitian pengujian sepeda pasca stroke, maka dibuat diagram

alir sebagai berikut

Gambar 4.1 Diagram alir penelitian

Studi pustaka dan lapangan

Penyusunan prosedur pengujian sepeda pasca stroke

Uji fungsi

Pengukuran posisi risiko cedera anggota tubuh saat

mengayuh (RULA)

Uji kayuh

Persiapan peralatan uji

Evaluasi Rancangan

Kesimpulan dan saran

Pengambilan Data

- Denyut nadi

- Tegangan otot kaki

- Gambar anggota tubuh pengayuh yang bergerak

Mulai

Selesai

BAB 5

HASIL YANG DICAPAI

5.1 Performansi Sepeda

5.1.1 Hasil Percobaan Kayuh Penderita Pasca Stroke

5.1.1.1 Pengumpulan Data dan Perhitungan Indek Massa Tubuh Responden

Sesuai dengan standar pengujian sepeda, maka sebelum uji kayuh

dilakukan, harus dievaluasi nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) pengayuh, yang

didapat dari pembagian berat badan pengayuh (kg) dengan tinggi badan (m)

kuadrat. IMT pengayuh yang memenuhi standar mempunyai nilai 18 – 22,50.

Data pengayuh dan hasil perhitungan IMT masing-masing pengayuh dari 4

responden pasca stroke dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Data pengayuh dan indek masa tubuhnya

No Nama

Responden Umur

Berat Badan

(kg)

Tinggi

Badan (m)

Indek Masa

Tubuh

A Fuad 49 81 1,63 20,78

B Surya 51 84 1,59 21,91

C Nasru 43 70 1,64 20,4

D Afkan 52 54,4 1,69 20,1

Dari hasil perhitungan IMT masing-masing responden, didapat bahwa semua

responden memenuhi standar uji kayuh dan boleh melakukan kayuhan sepeda.

5.1.1.2 Pengukuran Energi Kayuh dan Denyut Jantung

Energi kayuh dan denyut nadi (jantung) pengayuh diukur selama

mengayuh. Dari 4 responden pasca stroke (A, B, C dan D), dapat diketahui bahwa

secara umum makin banyak penderita stroke melakukan gerakan kaki atau tangan

dan semakin tinggi kecepatan, makin besar energi kayuh yang dibutuhkan oleh

responden. Energi kayuh diukur dengan alat ukur heart rate. Disamping itu heart

rate bisa dipakai untuk mengukur detak jantung pengayuh. Hal tersebut

dimanfaatkan untuk mengevaluasi sekaligus membandingkan, bagaimana

hubungan kecepatan kayuh dengan energi kayuh dan intensitas jantung pengayuh

sepeda. Pengukuran energi kayuh dilakukan untuk mendapatkan besar jumlah

komsumsi energi (kkal/menit) yang dibutuhkan oleh masing-masing penderita

pasca stroke saat mengayuh sepeda, mulai dari kecepatan 3 km/h, 5 km/h, 8

Km/h, 10 km/h hingga kecepatan 11 km/h. Dengan standar uji lama waktu

pengayuhan pada masing-masing kecepatan adalah 6 menit. Hasil lengkap uji

kayuh dan perhitungan energi kayuh dapat dilihat pada gambar 5.1.

Gambar 5.1. Grafik rata-rata komsumsi energi (kkal/menit) terhadap kecepatan

(Km/h) 4 responden penderita pasca stroke

Untuk mengevaluasi dan mengalisis efek pada jantung seorang pengayuh

dilakukan pengukuran detak jantung responden selama 6 menit mengayuh.

Sebelumnya, diawal percobaan detak jantung masing-masing responden diukur

dan berada dalam kondisi normal, yaitu 90 – 110 detak/menit. Hasil pengukuran

detak jantung presponden – penderita pasca stroke saat mengayuh seperti

ditunjukkan oleh gambar 5.2.

Kom

sum

si e

ner

gi

(kkal

/men

it)

Kecepatan (Km/H)

Rata-rata komsumsi energi (kkal/menit) responden

terhadap kecepatan (Km/H)

Gambar 5.2. Rata-rata jumlah detak jantung (detak/menit) terhadap kecepatan

(km/h)

Berdasarkan grafik pada gambar 5.2, peningkatan rata-rata jumlah detak

jantung (detak/menit) yang terjadi dari 4 responden penderita pasca stroke saat

melakukan kayuhan sepeda dengan kaki adalah sebagai berikut, pada kecepatan 3

km/h hingga 5 km/h peningkatan jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar

4,84%, pada kecepatan 5 km/h hingga 6 km/h peningkatan jumlah detak jantung

(detak/menit) sebesar 5,62%, pada kecepatan 6 km/h hingga 8 km/h peningkatan

jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar 23,79%, pada kecepatan 8 km/h

hingga 10 km/h peningkatan jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar 2,46%.

Sedangkan pada kecepatan 10 km/h hingga 11 km/h peningkatan jumlah detak

jantung (detak/menit) sebesar 7,54%.

Dari hasil kedua pengukuran diatas menunjukkan, bahwa makin tinggi

kecepatan mengayuh, makin tinggi energi yang dibutuhkan (dikonsumsi) oleh

pengayuh, dan detak jantungnyapun meningkat dan masih dalam batas normal,

yaitu masih dibawah 160 detak/menit.

5.1.1.3 Pengukuran Kecepatan Putar Kaki Mengayuh

Uji kecepetan putar (kecepatan mengayuh) dimaksudkan untuk

mengetahui efek langsung (efek positif) dari latihan mengayuh penderita pasca

110

120

130

140

150

160

170

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Heart Rate (pulse/minute)

Velocity (Km/h)

Respondents A

Respondents B

Respondents C

Respondents D

stroke terhadap kesehatannya, khususnya efek gerakan kaki terhadap kelenturan

otot penderita pasca stroke. Makin lama latihan (secara periodik) akan

memberikan efek positif bagi kesehatan penderita, dimana dalam 30 hari

kecekapan kaki menggerakan pedal sepeda mengalami kenaikan yang signifikan,

yaitu kenaikan kecepatan rata-rata 4 orang responden sebesar 139%. Artinya

setiap melakukan latihan mengayuh dalam 3 hari, kecepatan mengayuh kaki

penderita naik 15-20%. Hasil lengkap dari pengukuran kecepatan kaki penderita

pasca stroke dalam 30 hari dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Jumlah kayuhan kaki penderita pasca stroke tiap menit dalam 30 hari

Responden

(pasca

stroke)

Percobaan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jumlah kayuhan (putaran/menit)

A 10 12 14 17 20 21 22 24 26 32

B 12 15 16 18 20 21 23 26 29 31

C 13 14 17 19 20 21 22 24 25 26

D 21 22 25 26 31 32 33 41 44 46

Berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan oleh tabel 5.2, dari

percobaan ke 1 hingga ke 10 dalam selang waktu 30 hari (1 bulan) dapat

dikatakan secara umum ada kenaikan kecepatan kayuh cukup mengembirakan,

yaitu; responden A kenaikannya adalah 220 %, responden B kenaikannya adalah

158,33%, responden C kenaikannya adalah 100% dan responden D kenaikannya

adalah 119,05. Artinya kecepatan mengayuh penderita pasca stroke dalam 1 bulan

meningkat diatas 100%. Dengan kata lain jumlah kayuhan setiap kali percobaan

(latihan mengayuh setiap 3 hari sekali) meningkat cukup signifikan, dan jika

dianalisa kenaikan tersebut dalam 1 hari, berturut-turut adalah; responden A

adalah 7,33%, responden B adalah 5,28 %, responden C adalah 3,33 % dan

responden D adalah 3,97 %. Peningkatan putaran kayuh terhadap kecepatan dapat

dilihat pada Gambar 5.3

Gambar 5.3. Peningkatan putaran kayuh terhadap kecepatan

Dari hasil yang ditunjukan di atas, dimana semakin lama kecepatan kayuh

semakin naik, hal ini dapat dikatakan ada kemajuan kesehatan pada penderita

pasca stroke, dimana dengan latihan tersebut otot-otot dan kekakuan tubuh

(badan) penderita sudah mulai menurun.

5.2 Evaluasi Rancangan Sepeda

5.2.1 Analisis Intensitas Jantung Pengayuh

Salah satu faktor penting yang digunakan untuk mengevaluasi apakah terapi

phisik seseorang pasca stroke adalah menghintung intensitas jantung penderita

selama melakukan aktifitas. Pada saat mulai kegiatan (ber olahraga), intensitas

yang dianjurkan untuk pasien pasca stroke adalah sekitar 50-80% dari detak

jantung maksimal (maximum Heart Rate). Intensitas masing-masing orang

berbeda-beda didasarkan pada umur. Berikut adalah perhitungan skala intensitas

dari responden A, B, C dan D.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Cycle/Minute

Day

Respondents A

Respondents B

Respondents C

Respondents D

Tabel 5.3 Intensitas responden pasca stroke

No Nama

Responden Umur

Berat

Badan

(kg)

Tinggi

Badan

(m)

Indek

Masa

Tubuh

(IMT)

HR

max

(220-

umur)

Batas

Bawah

Intensitas

(50%*HR

max)

Batas Atas

Intensitas

(80%*HR

Max)

A Fuad 49 81 1,63 20,78 171 85.5 136,8

B Surya 51 84 1,59 21,91 169 84.5 135,2

C Nasru 43 70 1,64 20,4 177 88.5 141,6

D Afkan 52 54,4 1,69 20,1 168 84 134,4

Hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.4.

80

90

100

110

120

130

140

150

160

170

0 2 4 6 8 10 12

He

art

Rat

e (

pu

lse

/min

ute

)

Velocity (km/h)

INTENSITAS RESPONDEN A

bottom limit

upper limit

heart rate

Gambar 5.4. Intersitas Jantung 4 responden pasca stroke saat mengayuh

Berdasarkan perubahan detak jantung setelah mengayuh sepeda, dapat

dilihat bahwa Responden A,B dan D telah melebihi batas maksimum yang

disarankan pada kecepatan 6 km/h. Sedangkan responden C melebihi batas

maksimum yang disarankan pada kecepatan 8 km/h. Sehingga dapat disimpulkan

bahwasannya sepeda yang dikayuh cukup berat sehingga detak jantung yang

dihasilkan juga semakin tinggi seiiring dengan bertambahnya kecepatan. Selain

itu perlu dilakukan perbaikan dalam terapi dan desain sepeda yang ringan, tetap

kuat dan nyaman.

80

130

0 5 10 15

He

art

Rat

e (

pu

lse

/min

ute

)

Velocity (km/h)

INTENSITAS RESPONDEN B

bottom limit

upper limit

heart rate

80

130

0 5 10 15He

art

Rat

e

(pu

lse

/min

ute

)

Velocity (km/h)

INTENSITAS RESPONDEN C

bottom limit

upper limit

heart rate

80

0 5 10 15

He

art

Rat

e

(pu

lse

/min

ute

)

Velocity (km/h)

INTENSITAS RESPONDEN D

bottom limit

upper limit

heart rate

5.2.2 Rancangan Baru – Sepeda Pasca Stroke Lipat

Sesuai dengan analisis sebelumnya, maka dilakukan perubahan rancangan sepeda

roda tiga seperti terlihat pada gambar 5.5. Sepeda yang dirancang memiliki ukuran

panjang 1645 mm, lebar 615 mm dan tinggi 1035 mm, setelah dilipat ukurannya

menjadi panjang 725 mm, lebar 460 mm dan tinggi 1035 mm. material yang

digunakan adalah Aluminium Alloy. Berat dari sepeda jika dihitung menggunakan

software CATIA P3 V5R20 adalah sekitar 15 kg.

(a)

(b)

Gambar 5.5. Dimensi dan Geometri Sepeda Konsep Baru (a) saat membuka (b)

saat terlipat

Gambar 5.6 Susunan Lengkap Sepeda Pasca Stroke

Keterangan Gambar:

1. Rangka Depan

2. Engsel lipat samping kanan

3. Pengunci samping kiri

4. Engsel lipat samping kiri

5. Pengunci samping kanan

6. Rangka samping kiri

7. Rangka samping kanan

8. Engsel roda kanan

9. Engsel roda kiri

10. Roda kanan

11. Roda kiri

12. Engsel kemudi

13. Batang penghubung

14. Kepala kemudi

15. Stang kemudi

16. Sarung kemudi

17. Pengunci kepala kemudi

18. Rumah kayuh tangan

19. Kayuh tangan independent

20. Pedal pengayuh kayuh

tangan

21. Pelindung rantai

22. Rantai penghubung kayuh

tangan dengan kayuh kaki

23. Sproket utama

24. Rumah kayuh kaki

25. Kayuh kaki

26. Pedal kayuh kaki

27. Rantai penghubung

kayuh kaki dengan roda

28. Engsel lipat belakang

29. Pengunci belakang

30. Rangka tengah

31. Ping tengah

32. Sadel

33. Sandaran

34. Suspensi

35. Rangka belakang

36. Roda belakang

37. Sprocket roda

5.2.3 Hasil Rancangan Sepeda Baru

Gambar.5.7 a) Desain baru sepeda pasca stroke lipat b) Prototipnya

5.2.4 Mekanisme Lipat

Sepeda ini dirancang bisa dilipat agar mudah dipindahkan dan diangkat serta

ditaruh di bagasi mobil. Langkah-langkah untuk melipat sepeda ini dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Buka pengunci lipatan belakang dan lipat lipatan ke atas

Setelah sadel dan rantai belakang dilepas, buka pengunci belakang rangka. Sambil

memegang rangka utama, lipat rangka belakang ke depan atas seperti terlihat pada

gambar 4.8.

Gambar 5.8 Melipat Rangka Belakang Sepeda

2. Buka pengunci lipatan kiri dan kanan, lalu lipat lipatan

Pengunci pada lipatan kanan dan kiri dibuka seperti gambar 4.9 dan lipat

rangka lipatan kiri dan kanan. Roda diatur untuk selalu lurus ke depan dengan

mengatur sudut dan jarak engsel belok roda dengan engsel pembelok pada

kemudi.

Gambar 5.9 Melipat Rangka Kiri dan Kanan

Dari mekanisme lipatan ini dimensi sepeda menjadi sebagai berikut:

panjang 810 mm, lebar 785 mm, dan tinggi 1020 mm. jika steering dapat dilepas

maka lipatan akan lebih sederhana.

5.2.5 Evaluasi Ergonomi Rancangan

Selain mengevaluasi ke-ergonomian dari rancangan sepeda, pada tahap ini dapat

juga diketahui fungsi beberapa mekanisme penting seperti mekanisme kayuh baik

dengan tangan maupun dengan kaki. Ada lima mode kayuhan yang bisa

dilakukan, yaitu: steering, alternate, synchron, left side dan right side. Ergonomi

rancangan dievaluasi dengan metode RULA dengan bantuan software CATIA

V5R20.

Sistem kayuh tangan yang awalnya menggunakan kemudi untuk mengayuh

diganti dengan sistem pedal yang dapat diputar secara Independent. Pada sistem

pedal tangan diberi One-way baring yang bertujuan agar pedal pada tangan kanan

dan kiri tidak saling mempengaruhi (Independent). Mode kayuhan pada sepeda ini

bermacam-macam, tujuannya untuk memudahkan pasien untuk memilih mode

atau jenis terapi mana yang diinginkan. Berikut macam-macam mode kayuhan

dengan nilai ergonominya:

1. Steering

Pada mode ini pasien mengayuh dengan kaki dan melakukan kemudi seperti

sepeda pada umumnya. Kemudi diatur tepat dengan posisi tubuh pengendara.

Kursi dari sepeda dapat diatur maju dan mundur sesuai jangkauan tangan dari

pengendara, sehingga memudahkan bagi pasien yang jangkauan tangannya masih

belum terlalu jauh. Nilai RULA pada mode ini adalah 3. Artinya masih desain

sepeda khususnya pada mode steering dapat diterima, seperti terlihat pada gambar

4.10.

Gambar 5.10 Mode Kayuh Steering

2. Alternate

Seperti terlihat pada gambar 4.11. Mode ini disebut juga bergantian (alternate),

artinya antara tangan kiri dan kanan mengayuh secara bergantian seperti yang

biasa dilakukan pada kayuh kaki. Kayuhan ini bisa dilakukan bersamaan dengan

kayuhan kaki (full body alternate) maupun hanya kayuhan tangan saja. Pada mode

ini melatih otot-otot tangan dan punggung pasien untuk bergerak bergantian

secara periodik dan juga menyelaraskan gerakan tangan dan kaki. Gerakan dari

sepeda diatur cenderung lurus saat berjalan, sehingga tangan pada kemudi dapat

dilepas untuk mengayuh. Nilai RULA pada mode ini adalah 3, artinya rancangan

sepeda saat mode alternate dapat diterima.

Gambar 5.11 Mode Kayuh Alternate

3. Synchron

Posisi pada mode ini tangan mengayuh pedal secara bersamaan (synchron) antara

kanan dan kiri. Pada mode ini juga bisa dilakukan dengan kayuhan tangan saja

atau besamaan dengan kayuhan kaki (syncrhon full body). Mode ini juga bisa

dilakukan dengan posisi tubuh yang berbeda. Posisi yang pertama adalah tubuh

stabil, artinya gerakan tangan tidak diikuti gerakan tubuh, sedangkan posisi tubuh

yang kedua adalah dinamis, artinya gerakan tangan diikuti gerakan tubuh. Tujuan

dari mode ini adalah untuk membantu pasien menyelaraskan antara bagian tubuh

yang kanan dengan yang kiri, juga dengan seluruh tubuh. Nilai RULA pada mode

ini seperti terlihat pada gambar 4.12 adalah 3, artinya rancangan sepeda dapat

diterima.

Gambar 5.12 Mode Kayuh Synchron

4. Left Side

Mode ini menggunakan tangan kiri untuk mengayuh dan tangan kanan untuk

mengemudikan sepeda/dilepas. Hal ini memudahkan bagi pasien yang masih

kesulitan untuk menggerakkan separuh anggota tubuhnya. Nilai RULA pada mode

ini adalah 3, hal itu menunjukkan desain dapat diterima.

Gambar 5.13 Mode Kayuh Left Side

5. Right Side

Mode ini sama dengan left side hanya saja menggunakan tangan kanan untuk

mengayuh dan tangan kiri untuk mengemudi/dilepas. Nilai RULA pada mode ini

juga 3, artinya desain sepeda masih dapat diterima.

Gambar 5.14 Mode Kayuh Right Side

5.2.6 Uji Fungsi Prototipe

(a) (b)

Gambar 5.15 (a) Sepeda Berdiri (b) Sepeda Terlipat di dalam bagasi

BAB 6

UJI PERFORMANSI

6.1 Uji Keselamatan

Sepeda pasca stroke yang dirakit telah dilakukan uji keselamatan. Uji

keselamatan merupakan pengecekan seluruh komponen sepeda. Pengecekan

dilakukan dari segi fisik maupun performance. Uji keselamatan dilakukan

berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI) 1049:2008 dan 7519:2009.

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui keamanan sepeda yang dirancang saat

digunakan oleh pasien pasca stroke. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian

rem kering dan basah, uji kekuatan statis dan dinamis, dan pengujian kestabilan.

Hasil uji yang telah dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1.

6.1.1 Uji Pengereman

Menurut SNI tahun 2008, uji pengereman sepeda dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu uji rem kering dan uji rem basah. Uji rem kering ialah pengujian

rem yang dilakukan dengan mengkondisikan sepeda dalam keadaaan kering atau

tidak terkena hujan. Sedangkan uji rem basah adalah pengujian rem yang

dilakukan dengan mengkondisikan sepeda dalam keadaan basah seperti terkena

hujan.

Uji rem kering dilakukan dengan mengayuh sepeda pada kecepatan

konstan 25 km/jam. Pengujian dinyatakan berhasil apabila sepeda mampu

berhenti dengan wajar dan aman pada jarak tidak lebih 7 m dari saat awal

pengereman. Setelah dilakukan pengujian pada sepeda pasca stroke lipat, sepeda

mampu berhenti dengan wajar dan aman. Jarak awal pengereman hingga sepeda

berhenti bergerak adalah 262 cm atau 2,62 m. Uji rem kering dapat dilihat pada

Gambar 6.1

Gambar 6.1 Uji Rem Kering

Sedangkan untuk uji rem basah, dilakukan dengan cara mengayuh sepeda

pada kecepatan 15 km/jam. Pengujian dinyatakan berhasil apabila sepeda mampu

berhenti dengan mulus dan aman pada jarak tidak lebih dari 5 m dari saat awal

pengereman. Setelah dilakukan pengujian pada sepeda pasca stroke lipat, ternyata

sepeda mampu berhenti dengan mulus dan aman. Jarak awal hingga akhir

pengereman yang terjadi adalah sebesar 145 cm atau 1,45 m. Uji rem basah dapat

dilihat pada Gambar 6.2 berikut ini

Gambar 6.2 Uji Rem Basah

Dari hasil uji pengereman, sepeda telah memenuhi syarat pengujian dan

dapat berfungsi dengan baik sehingga aman untuk digunakan.

6.1.2 Uji Kekuatan Sepeda Dalam Kondisi Statis

Menurut SNI tahun 2009, pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi statis

dilakukan dengan meletakkan sepeda diatas lantai yang datar. Kemudian sepeda

diberikan beban 50 kg. Sepeda dinyatakan aman apabila tidak terjadi patah atau

bengkok pada bagian pipa terutama pada bagian sambungan sepeda seperti

lipatan. Setelah dilakukan pengujian, sepeda pasca stroke yang dibuat telah

memenuhi syarat. Namun rancangan sepeda Syifa’ ditargetkan mampu menerima

beban hingga 100 kg. Sehingga uji coba ditambahkan dengan beban 2 kali lipat

dari beban sebelumnya. Dalam kondisi statis pada lantai datar sepeda mampu

memenuhi desain. Hasil pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi statis menurut

SNI tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 6.3 berikut ini.

Gambar 6.3 Uji Kekuatan Sepeda dalam Kondisi Statis

6.1.3 Uji Kekuatan Sepeda Dalam Kondisi Dinamis

Pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi dinamis menurut SNI tahun

2009, dilakukan dengan meletakkan sepeda diatas lantai yang datar. Kemudian

sepeda diberikan beban 50 kg dan diberikan gaya dorong dengan ketinggian 40-50

cm sehingga menghasilkan kecepatan 2 m/detik atau 7 km/jam. Kecepatan sepeda

saat berjalan dikontrol dengan cyclometer. Sepeda dinyatakan aman apabila tidak

terjadi patah atau bengkok pada bagian pipa terutama pada bagian sambungan

sepeda seperti lipatan dan sepeda tidak terguling. Dari hasil pengujian, sepeda

pasca stroke lipat tetap kuat dan tidak ada bagian pipa yang patah dan bengkok.

6.1.4 Uji Kestabilan Sepeda

Pengujian kestabilan sepeda pasca stroke menurut SNI tahun 2009

dilakukan dengan meletakkan sepeda dalam 3 kondisi yang berbeda. Sepeda

diletakkan menghadap ke atas, ke bawah, dan ke samping di atas papan yang

memiliki sudut kemiringan 100. Kemudian diberikan pembebanan sebesar 50 kg

dan diletakkan diatas jok sepeda. Sepeda dinyatakan aman atau memenuhi syarat

apabila sepeda mampu menahan beban dalam kondisi yang telah ditentukan tanpa

terguling. Hasil Pengujian dapat ditunjukkan pada Gambar 6.4 berikut.

(a) (b) (c)

Gambar 6.4 Pengujian Kestabilan Sepeda (a) Posisi Menghadap ke Bawah (b)

Posisi Menghadap ke Atas Dan (c) Posisi Menghadap ke Samping.

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan menurut SNI tahun 2009,

sepeda pasca stroke yang dibuat telah memenuhi syarat. Sepeda pasca stroke

mampu menahan beban 50 kg dalam kondisi yang telah ditentukan tanpa

terguling. Namun berdasarkan pengembangan sepeda yang dirancang, sepeda

ditargetkan mampu menahan beban sebesar 100 kg. Sehingga pengujian dilakukan

lagi dengan beban seberat 100 kg. Sepeda terguling ketika posisi menghadap ke

samping. Hal ini dikarenakan posisi tempat duduk yang tinggi sehingga beban 100

kg yang diletakkan diatas sepeda menimbulkan adanya momen yang cukup besar

dan menyebabkan sepeda terguling. Jadi sepeda tidak aman digunakan oleh

seseorang dengan beban 100 kg pada kemiringan 100.

6.1.5 Aksessibilitas Menaiki Sepeda

Responden pasca stroke yang mengalami lumpuh pada bagian kaki

mengalami kesulitan ketika naik maupun turun dari sepeda pasca stroke saat

melakukan uji kayuh ditempat. Seperti terlihat pada Gambar 6.5. Hal ini

dikarenakan bentuk rangka yang cukup tinggi. Selain itu, jarak antara rantai pedal

tangan dengan sadel cukup sempit. Sehingga perlu adanya suatu perbaikan

terhadap bentuk rangka sepeda pasca stroke yang telah dibuat.

Gambar 6.5 Responden Pasca Stroke saat Menaiki Sepeda

6.1.6 Uji Performansi

Uji performansi bertujuan untuk mengetahui performa sepeda saat

digunakan dilapangan. Uji performansi dilakukan dengan cara mengayuh sepeda

secara langsung dilapangan. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, sepeda pasca

stroke lipat yang dibuat mampu digunakan di gang-gang sempit perkotaan. Hal ini

sesuai dengan konsep rancangan Syifa’ dan latar belakang pembuatan sepeda

pasca stroke. Syifa merancang dimensi sepeda pasca stroke lebih kecil dari

rancangan sepeda sebelumnya. Penggunaan sepeda pada gang sempit dapat dilihat

pada Gambar 6.6. Selain itu, sepeda pasca stroke yang dibuat juga cukup stabil

digunakan dijalan lurus, menurun, menanjak dan dan miring namun sulit

digunakan untuk berbelok atau berbalik arah untuk jalan yang sempit. Hal tersebut

dapat dilihat pada Gambar 6.7.

Gambar 6.6 Penggunaan Sepeda pada Gang-gang Sempit Perkotaan

a) b) c)

Gambar 6.7 Penggunaan Sepeda pada Lintasan a) Menanjak b) Menurun dan c)

Miring

6.2 Pengukuran Postur Anggota Tubuh dengan Menggunakan Metode

RULA

Pengukuran postur anggota tubuh dengan menggunakan metode RULA

dilakukan kepada lima orang responden sehat. Pengukuran postur anggota tubuh

bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko cedera tubuh pengendara sepeda pasca

stroke yang telah dibuat. Pengukuran dilakukan secara langsung dengan

menggunakan alat goneometri seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.

Gambar 6.8 Set Up Pengukuran Resiko Cidera Anggota Tubuh

Sebelum dilakukan pengukuran postur anggota tubuh, kelima responden

sehat telah diukur Indeks Massa Tubuh (IMT) masing-masing untuk mengetahui

kondisi responden dalam keadaan normal. Adapun hasil pengukuran IMT masing-

masing responden sehat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.1 berikut ini.

Tabel 6.1 Indeks Masa Tubuh Responden Sehat

No Nama

Umur

(th)

Berat Badan

(kg)

Tinggi Badan

(m) IMT Kondisi

1 Endah 23 48 1,58 19,22769 Normal

2 Gallih 22 72 1,74 23,78121 Normal

3 Dani 23 47,5 1,58 19,0274 Normal

4 Dini 22 53 1,61 20,44674 Normal

5 Raisa 23 54 1,61 20,83253 Normal

Berdasarkan hasil pengukuran IMT diatas, seluruh responden memenuhi

syarat untuk dilakukan pengujian. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan

pengukuran postur anggota tubuh responden pada saat mengendarai sepeda

dengan kayuhan tangan maupun kayuhan kaki. Sepeda dikondisikan dalam

keadaan diam (statis). Responden dikondisikan dalam keadaan nyaman.

Pengukuran postur anggota tubuh dengan menggunakan metode RULA terbagi

menjadi 3 tahap penilaian yang terdiri dari penilaian postur kerja tubuh, penilaian

kelompok postur kerja tubuh dan penunjukan nilai total. Panduan pengukuran

postur tubuh dengan menggunakan metode RULA terlampir pada Lampiran 6.

Setiap pergerakan yang diukur akan menghasilkan nilai yang didasarkan pada

diagram sikap tubuh.

Hasil pengukuran postur tubuh responden sehat beserta penilaian untuk

anggota tubuh bagian atas (Grup A) kayuhan tangan dan maupun kaki dapat

dilihat pada Lampiran 2. Setelah penilaian postur kerja selesai dilakukan, tahap

selanjutnya adalah dengan melakukan penilaian kelompok postur kerja tubuh.

Dengan menggunakan tabel matrikulasi penilaian untuk grup A, semua responden

memiliki nilai kelompok postur kerja tubuh 4. Hal tersebut dapat dilihat pada

Lampiran 4.

Setelah pengukuran postur tubuh bagian atas selesai, selanjutnya adalah

dengan melakukan pengukuran postur tubuh bagian bawah (Grup B). Hasil

pengukuran postur tubuh bagian bawah kelima responden sehat dapat dilihat pada

Lampiran 3. Setelah penilaian berdasarkan postur tubuh bagian bawah selesai

dilakukan, langkah berikutnya adalah dengan melakukan penilaian kelompok

postur kerja tubuh bagian bawah (Grup B). Berdasarkan matrikulasi yang

dilakukan, semua responden memiliki nilai akhir 2 untuk postur anggota tubuh

bagian bawah kayuhan kaki sedangkan kayuhan tangan memiliki nilai akhir 3. Hal

tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

Setelah nilai dari grup A dan grup B didapatkan, langkah selanjutnya

adalah dengan melakukan penilain terhadap sistem otot dan gaya berat. Karena

pada saat mengayuh sepeda tidak ada aktivitas yang membebani otot dan tidak

ada gaya atau beban yang diterima responden maka nilai untuk sistem otot dan

gaya berat adalah 0.

Nilai postur A ditambahkan dengan nilai sistem otot dan nilai beban untuk

mendapatkan nilai C. Selanjutnya Nilai postur B ditambahkan dengan nilai sistem

otot dan nilai beban untuk mendapatkan nilai D. Selanjutnya dengan melakukan

matrikulasi nilai C dan D didapatkan nilai akhir. Nilai akhir (grand score) dari

pengukuran risiko cedera anggota tubuh masing-masing responden sehat dapat

ditunjukkan pada Tabel 6.2 berikut ini.

Tabel 6.2 Nilai Akhir Pengukuran Risiko Cedera Tubuh

No Responden Nilai Akhir Kayuhan Tangan

(Grand Score)

Nilai Akhir Kayuhan Kaki

(Grand Score)

1 A 3 3

2 B 3 3

3 C 3 3

4 D 3 3

5 E 3 3

Berdasarkan pengukuran risiko cedera anggota tubuh yang dilakukan,

semua responden sehat memberikan penilaian akhir 3. Menurut McAtamney ada

beberapa tindakan yang harus dilakukan berdasarkan nilai akhir dari pengukuran

risiko cedera anggota tubuh seperti yang telah diuraikan pada tabel 2.3

sebelumnya.

Berdasarkan tabel 2.3, sikap kerja berada diantara rentang gerakan yang

cukup aman (risiko cedera cukup kecil) namun masih diperlukan adanya

investigasi lebih lanjut terhadap sepeda pasca stroke yang telah dibuat.

6.3 Uji Kayuh

Uji Kayuh dilakukan untuk mengetahui perubahan detak jantung sebelum

dan sesudah kayuhan. Perubahan detak jantung tersebut akan digunakan untuk

menghitung konsumsi energi yang dikeluarkan saat mengayuh sepeda. Uji kayuh

dilakukan pada responden sehat dan responden pasca stroke untuk mengetahui

perbandingan konsumsi energi. Selain itu, uji kayuh juga dilakukan untuk

mengetahui perubahan yang terjadi pada kekuatan otot kaki sebelum dan sesudah

mengayuh. Pengukuran kekuatan otot kaki hanya dilakukan pada responden sehat.

Set up uji kayuh dapat dilihat pada Gambar 6.9

Gambar 6.9 Set Up Uji Kayuh Responden Sehat

Uji kayuh dilakukan selama 6 menit dengan beberapa variasi kecepatan

yaitu 6 km/h, 8 km/h, 10 km/h, 12 km/h, 14 km/h, 16 km/h dan 18 km/h. Terdapat

waktu istirahat selama 6-10 menit disela-sela pergantian kecepatan agar detak

jantung reponden kembali normal. Waktu 6 menit dipilih berdasarkan waktu yang

disarankan pada zona latihan menurut jurnal ISSA (Indonesian Sport Scientist

Association). Bersepeda dalam kondisi statis termasuk aktivitas siklik, yaitu

aktivitas olahraga yang dilakukan dengan gerakan berulang ulang. Level intensitas

yang dipilih adalah level medium. Menurut America Heart Association waktu

olahraga yang disarankan untuk pasien pasca stroke adalah 10-30 dalam sehari

dan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Berikut ini merupakan Tabel 4.3 yang

menunjukkan zona intensitas olahraga siklik yang disarankan oleh ISSA.

Tabel 6.3 Lima Zona Intensitas Olahraga Siklik

Zone No Durasi Kerja Level Intensitas Sistem Produksi Energi

1 1-15 detik Up to Maximum Limit ATP-CP

2 15-60 detik Maximum ATP-CP dan LA

3 1-6 menit Submaximum LA dan Aerobik

4 6-30 menit Medium Aerobik

5 >30 menit Low Aerobik

6.3.1 Pengaruh Detak Jantung Terhadap Konsumsi Energi Responden Sehat

Hasil pengukuran detak jantung responden sehat dilakukan sebelum dan

sesudah melakukan kayuhan dengan menggunakan kaki. Data perubahan detak

jantung sebelum dan sesudah kayuhan dapat dilihat pada Lampiran 7. Setelah

delta detak jantung diketahui, maka perhitungan konsumsi energi dapat dilakukan

dengan menggunakan rumus pada bab 2 yaitu

𝑌 = 1.80 − 0,022𝑥 + (4,71 × 10−4)𝑥2

Selanjutnya, besarnya konsumsi energi yang ada dapat dihitung dengan

menggunakan rumus matematis dibawah ini

KE = Et – Ei

Contoh perhitungan;

Detak jantung sebelum = 64

Y = Et = 1.80 − 0,022𝑥 + (4,71 × 10−4)𝑥2

= 1.80 − 0,022(64) + (4,71 × 10−4)(64)2

= 2,270485168

Detak jantung sesudah = 72

Y = Ei = 1.80 − 0,022𝑥 + (4,71 × 10−4)𝑥2

= 1.80 − 0,022(72) + (4,71 × 10−4)(72)2

= 2,600500272

Konsumsi Energi

KE = Et – Ei

= 2,600500272 – 2,270485168

= 0,330015104

Hasil perhitungan konsumsi energi semua responden sehat dapat dilihat

pada Lampiran 8. Detak jantung sebelum dan sesudah kayuhan akan mengalami

kenaikan seiring bertambahnya kecepatan. Jantung akan bekerja lebih cepat

memompa darah keseluruh tubuh agar pasokan oksigen dalam tubuh terpenuhi.

Hubungan antara detak jantung dan kecepatan kayuh masing-masing responden

sehat dapat dilihat pada Gambar 6.10 berikut ini

a)

b)

64 64 64 64 64 64 6472 76 76 80 84 84

96

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

Dea

tk J

antu

ng

(pu

lse/

men

it)

kecepatan kayuh (km/h)

sebelum sesudah

68 6876 76

68 64 6476

8896 100 100 100 104

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

Dea

tk J

antu

ng

(pu

lse/

men

it)

kecepatan kayuh (km/h)

sebelum sesudah

68 68 72 7264 64 64

88 92 96 96 96 100 100

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

Dea

tk J

antu

ng

(pu

lse/

men

it)

kecepatan kayuh (km/h)

sebelum sesudah

c)

d)

e)

Gambar 6.10 Diagram Perubahan Detak Jantung Sebelum dan Sesudah Mengayuh

a) Responden A, b) Responden B, c) Responden C, d) Responden D, dan e)

Responden E terhadap Kecepatan Kayuh

Kecepatan denyut jantung seseorang akan mempengaruhi konsumsi energi

yang dikeluarkan. Semakin cepat denyut jantung seseorang saat berolahraga maka

energi yang dikeluarkan pun juga akan semakin besar. Kecepatan detak jantung

saat berolahraga bergantung pada beban kerja yang diterima. Dalam uji kayuh

yang dilakuakan oleh responden sehat, detak jantung semakin meningkat seiring

dengan bertambahnya kecepatan. Detak jantung yang semakin meningkat seiring

bertambahnya kecepatan menyebakan energi yang dikeluarkan untuk mengayuh

80 8088 84 84 84 8884 84

92 96 100 100106

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

Dea

tk J

antu

ng

(pu

lse/

men

it)

kecepatan kayuh (km/h)sebelum sesudah

64

7684

76 72 7264

72

8492 92 94 96 100

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

Dea

tk J

antu

ng

(pu

lse/

men

it)

kecepatan kayuh (km/h)sebelum sesudah

juga semakin besar. Hal tersebut dapat terlihat pada trendline grafik yang

ditunjukkan pada Gambar 6.11 berikut ini

Gambar 6.11 Grafik Pengaruh Kecepatan Kayuh terhadap Konsumsi

Energi (Responden A,B,C,D dan E)

6.3.2 Perbandingan Konsumsi Energi Kayuhan Kaki dengan Kayuhan

Tangan

Uji kayuhan tangan dilakukan oleh lima orang responden sehat dengan

kecepatan 18 km/h untuk mengetahui perbandingan konsumsi energi kayuhan

kaki dengan kayuhan tangan pada kecepatan maksimum yang digunakan pada

penelitian ini.

Setelah dilakukan perhitungan, konsumsi energi yang dikeluarkan untuk

mengayuh sepeda dengan kayuhan tangan lebih besar jika dibandingkan dengan

energi yang dikeluarkan dengan menggunakan kayuhan kaki seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4 Perbandingan Konsumsi Energi Kayuhan Tangan dengan Kayuhan Kaki

No Responden

Konsumsi enrgi kayuhan

kaki (kkal/menit)

Konsumsi enrgi

kayuhan tangan

(kkal/menit)

1 A 1,68235136 1,960574832

2 B 2,25389376 2,40484832

3 C 1,960574832 2,25389376

4 D 1,235023236 1,2401628

5 E 1,960574832 2,096433936

Grafik perbandingan konsumsi energi antara kayuhan tangan dan kaki

masing-masing responden dapat dilihat pada Gambar 6.12

0

0.5

1

1.5

2

2.5

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Ko

nsu

msi

En

ergi

(kk

al/m

)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Responden A

Responden B

Responden C

Responden D

Responden E

Linear (Responden A)

Linear (Responden B)

Linear (Responden C)

Linear (Responden D)

Linear (Responden E)

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

2.2

2.4

2.6

A B C D E

KO

NSU

MSI

EN

ERG

I (K

KA

L/M

ENIT

)

RESPONDEN

Kayuhan Kaki Kayuhan Tangan

Gambar 6.12 Diagram Perbandingan Konsumsi Energi Antara Kayuhan Tangan

dan Kaki

6.3.3 Hubungan Kekuatan Otot Kaki Sebelum dan Sesudah Kayuhan

Responden Sehat

Selain pengukuraan detak jantung dan konsumsi energi, pengukuran

kekuatan otot kaki juga dilakukan pada responden sehat seperti yang terlihat pada

Gambar 6.13. Pengukuran kekuatan otot kaki pada responden sehat dilakukan

sebelum dan sesudah melakukan uji kayuh. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan alat leg dynamometer. Hasil pengukuran kekuatan otot kaki

responden sehat sebelum dan sesudah mengayuh sepeda dapat dilihat pada

Lampiran 9.

Gambar 6.13 Set Up Pengukuran Kekuatan Otot Kaki

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa kekuatan otot kaki

akan semakin meningkat setelah melakukan kayuhan. Semakin cepat kayuhan

yang dilakukan, peregangan yang terjadi juga akan semakin meningkat. Otot-otot

kaki yang tegang dan kaku semakin meregang setelah melakukan kayuhan sepeda.

Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 6.14 dibawah ini.

a)

b)

c)

80 80 80 80 80 80 8080 80 90 90 90 90 100

6 8 10 12 14 16 18

keku

atan

Oto

t K

aki (

kgs)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum Sesudah

220 220 230 240 240 240 250230 240 250 260 260 260 280

6 8 10 12 14 16 18

keku

atan

Oto

t K

aki (

kgs)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum Sesudah

120 120 120 120 120 130 130120 130 140 140 150 160180

6 8 10 12 14 16 18

keku

atan

Oto

t K

aki (

kgs)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum Sesudah

d)

Gambar 6.14 Grafik Perubahan Kekuatan Otot Kaki Sebelum dan Sesudah

Kayuhan (a) Responden A, (b) Responden B, (c) Responden C, (d) Responden D

dan (e) Responden E terhadap Kecepatan

Berdasarkan kenaikan kekuatan otot kaki yang terjadi pada responden

sehat setelah melakukan kayuhan, diharapkan responden pasca stroke yang

menggunakan sepeda pasca stroke akan mengalami peregangan dan kenaikan

kekuatan otot kaki setelah mengayuh sepeda pasca stroke. Kenaikan kekuatan otot

kaki akan membantu proses penyembuhan pasca stroke karena otot-otot kaki

semakin meregang.

6.3.4 Pengaruh Detak Jantung Terhadap Konsumsi Energi Responden Pasca

Stroke

Pada penelitian ini, responden pasca stroke yang bersedia untuk mengikuti

terapi ini berjumlah tiga orang. Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki.

Berikut ini merupakan penjabaran kondisi ketiga pasien pasca stroke tersebut

4060

80 70 60 60 7040

7090 90 90 90 100

6 8 10 12 14 16 18

keku

atan

Oto

t K

aki (

kgs)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum Sesudah

80 80 80 80 80 90 9080 80 90 100 100 110 110

6 8 10 12 14 16 18

keku

atan

Oto

t K

aki (

kgs)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum Sesudah

Tabel 6.5 Kondisi Pasien Pasca Stroke

Kondisi Pasien Pasca Stroke

Nama Salfiah

Umur 75 tahun

Berat Badan 68 kg

Tinggi 156 cm

IMT 26,23 (obesitas)

Kondisi Sakit pada kaki sebelah kiri akibat

stroke yang dideritanya. Pada saat

berjalan masih sempoyongan. Rutin

mengikuti terapi di salah satu rumah

sakit di Mojokerto tapi jarang

berolahraga

Nama Suliati

Umur 52 tahun

Berat Badan 55 kg

Tinggi 162

IMT 20,96 (normal)

Kondisi Stroke ringan, mengeluh sakit pada kaki

sebelah kanan dan berat saat digunakan

untuk berjalan. Tidak pernah mengikuti

terapi dan jarang berolahraga

Nama Sugianto

Umur 57 tahun

Berat Badan 65 kg

Tinggi 165

IMT 23,87 (normal)

Kondisi Anggota tubuh bagian kanan

mengalami lumpuh, tangan sudah

membaik dan dapat digerakkan namun

kaki kanan masih agak sulit untuk

digerakkan. Rutin berolahraga dan

mengikuti terapi di Rumah Sakit Anwar

Medika

Ketiga responden melakukan kayuhan selama 6 menit seperti yang

dilakukan responden sehat sebelumnya dengan beberapa variasi kecepatan yang

telah ditentukan. Waktu istirahat disela-sela jeda pergantian kecepatan sekitar 10-

15 menit sampai detak jantung responden kembali normal. Perubahan detak

jantung responden pasca stroke sebelum dan sesudah kayuhan ditunjukkan pada

Lampiran 10. Setelah perubahan detak jantung sebelum dan sesudah kayuhan

diketahui, maka perhitungan konsumsi energi dapat dilakukan. Hasil perhitungan

konsumsi energi responden pasca stroke dapat dilihat pada Lampiran 11. Set up

uji kayuh responden pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 6.15

Gambar 6.15 Set Up Uji Kayuh Responden Pasca Stroke

Seperti halnya responden sehat, detak jantung responden pasca stroke juga

akan semakin mengalami kenaikan sebelum dan sesudah mengayuh seperti yang

terlihat pada Gambar 6.16

a)

64 72 68 64 64 64 6484

96 104 104 108 112 116

0

50

100

150

6 8 10 12 14 16 18

DET

AK

JA

NTU

NG

(P

ULS

E/M

ENIT

)

KECEPATAN KAYUH (KM/H)

Sebelum Sesudah

80 84 84 84 76 72 80

104 108 112 112 112 116 124

0

50

100

150

6 8 10 12 14 16 18

DET

AK

JA

NTU

NG

(P

ULS

E/M

ENIT

)

KECEPATAN KAYUH (KM/H

Sebelum Sesudah

b)

c)

Gambar 6.16 Diagram Perubahan Detak Jantung a) Responden A, b) Responden

B, dan c) Responden C terhadap Kecepatan

Detak jantung masing-masing responden pasca stroke akan menglami

kenaikan seiring dengan kenaikan kecepatan kayuh dan akan menyebabkan

konsumsi energi yang tejadi juga semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat

pada Gambar 6.17

Gambar 6.17 Grafik Hubungan Konsumsi Energi terhadap Kecepatan Kayuh

Responden Pasca Stroke.

Namun kenaikan detak jantung pada responden sehat dan responden pasca

stroke memiliki perbedaaan. Kenaikan detak jantung pada responden pasca stroke

lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden sehat. Hal ini dikarenakan salah

satu anggota tubuh responden pasca stroke masih kaku atau berat untuk

digerakkan. Sehingga usaha yang diperlukan untuk menggerakkan kakipun juga

cukup besar. Semakin tinggi usaha yang dilakukan untuk mengayuh maka detak

64 6476 76 76 80

7284 84

96 96 100 104 104

0

20

40

60

80

100

120

6 8 10 12 14 16 18

DET

AK

JA

NTU

NG

(P

ULS

E/M

ENIT

)

KECEPATAN KAYUH (KM/H

Sebelum Sesudah

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Ko

nsu

msi

En

ergi

(kk

al/m

enit

)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Responden A Responden B Responden C

jantung akan semakin meningkat dan konsumsi energi juga akan semakin

meningkat. Grafik perbandingan kenaikan detak jantung responden sehat dan

pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 6.18

Gambar 6.18 Grafik Perbandingan Kenaikan Detak Jantung Responden Sehat

dengan Responden Pasca Stroke terhadap Kecepatan

Kenaikan detak jantung responden A dan B pasca stroke lebih tinggi jika

dibandingkan dengan responden sehat. Namun kenaikan responden C pasca

stroke masih berada dibawah dibawah responden sehat C dan B. Hal ini

dikarenakan responden pasca stroke C sering melakukan olahraga jika

dibandingkan dengan responden pasca stroke A dan B. Sehingga kenaikan yang

terjadi tidak terlalu tinggi.

Jika dibandingkan dengan responden sehat, konsumsi energi responden

pasca stroke berada pada rentang 0,9 - 3,2 kkal/menit sedangkan responden sehat

berada pada rentang 0,2 – 2,2 kkal/menit. Berdasarkan Tabel 2.2, energi yang

dikeluarkan oleh responden sehat tergolong dalam level pekerjaan sangat ringan-

ringan (very low-low) begitu pula dengan responden pasca stroke tergolong level

sangat ringan-ringan (very low-low). Sehingga dapat disimpulkan sepeda ringan

dikayuh, karena energi yang dikeluarkan untuk mengayuh kecil. Berbeda dengan

sepeda rancangan sebelumnya, energi yang dikeluarkan berada pada level berat

(heavy) yang menunjukkan sepeda berat untuk dikayuh.

6.3.5 Intensitas Olahraga untuk Responden Pasca Stroke

Untuk mengetahui manfaat sepeda pasca stroke bagi responden pasca

stroke pada saat terapi, maka diperlukan perhitungan intensitas detak jantung. Hal

ini penting dilakukan untuk mengontrol kecepatan detak jantung yang dianjurkan

pada saat terapi. Intensitas setiap orang berbeda-beda bergantung umur. Menurut

America Heart Association (AHA), intensitas yang disarankan untuk pasien pasca

stroke adalah 50-80% dari denyut nadi maksimum. Denyut nadi maksimum

diperoleh dengan cara 220-umur (AHA). Perhitungan skala intensitas akan

menghasilkan batas minimum dan maksimum detak jantung yang disarankan pada

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19Ko

nsu

msi

En

ergi

(kk

al/m

enit

)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Responden Sehat A

Responden Sehat B

Responden Sehat C

Responden Sehat D

Responden Sehat E

Responden Pasca Stroke A

Responden Pasca Stroke B

Responden Pasca Stroke C

saat berolahraga bagi seseorang. Apabila pada saat berolahraga kenaikan detak

jantung tidak melebihi batas minimum intensitas, maka olahraga yang dilakukan

sia-sia karena hasil yang didapatkan kurang optimal (tidak ada efek/manfaat

latihan). Namun sebaliknya apabila melebihi batas maksimum detak jantung yang

disarankan dapat membahayakan kesehatan jantung.

Contoh Perhitungan

Umur = 75

Detak Jantung Maksimum = 220 – umur

= 145

Intensitas

Batas Bawah Detak Jantung = 50% x 145 = 72,5

Batas Bawah Detak Jantung = 80% x 145 = 116

Perhitungan intensitas untuk masing-masing responden pasca stroke dapat

dilihat pada Lampiran 12. Untuk Responden Pasca Stroke A, intensitas kenaikan

detak jantung yang disarankan adalah adalah mulai dari 72,5-116 denyut/menit,

sedangakan Responden Pasca Stroke B, intensitas kenaikan detak jantung yang

disarankan adalah adalah mulai dari 84-134,4 denyut/menit dan Responden Pasca

Stroke C, intensitas kenaikan detak jantung yang disarankan adalah adalah mulai

dari 81,5-130,4 denyut/menit.

Berdasarkan uji kayuh yang dilakukan, diketahui kenaikan detak jantung

masing-masing responden pasca stroke setelah melakukan pengayuhan. Kenaikan

detak jantung responden pasca stroke tersebut kemudian diplotkan berdasarkan

intensitas masing-masing untuk mengetahui bahwa detak jantung responden

masih berada pada zona yang disarankan pada saat berolahraga atau melakukan

terapi. Gambar 4.19 berikut menunjukkan grafik pengontrolan detak jantung

masing-masing responden pasca stroke.

a)

60

70

80

90

100

110

120

130

140

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

De

tak

Jan

tun

g (p

uls

e/m

en

it)

Kecepatan (km/h)

Batas Atas

Batas Bawah

Detak Jantung

b)

c)

Gambar 6.19 Grafik Intensitas Responden Pasca Stroke a) Responden A, b)

Responden B, dan c) Responden C

Berdasarkan grafik diatas dapat ditarik suatu kesimpulan. Responden

Pasca Stroke A sangat berbahaya apabila melakukan kayuhan dengan kecepatan

melebihi 18 km/h. Setelah mengayuh dengan kecepatan 18 km/h, detak jantung

Responden Pasca Stroke A sudah mencapai batas maksimum yang disarankan.

Begitu pula Responden Pasca Stroke B, setelah mengayuh dengan kecepatan 18

km/h sudah mulai mendekati batas maksimum detak jantung yang disarankan.

Sehingga juga disarankan untuk mengayuh tidak melebihi kecepatan 18 km/h.

Sedangkan Responden Pasca Stroke C, detak jantung setelah mengayuh pada

kecepatan 18 km/h masih berada jauh dibawah batas maksimum. Sehingga untuk

melakukan kayuhan dengan kecepatan lebih dari 18 km/h masih tergolong aman.

6.3.6 Perkembangan Putaran Kayuh Responden Pasca Stoke

Untuk mengetahui dan memantau perkembangan kesehatan responden

pasca stroke, telah dilakukan perekaman perkembangan jumlah putaran kayuh

sebanyak 5 kali pengambilan data dalam waktu 2 minggu. Proses pengkayuhan

sepeda oleh responden pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 4.20

60

70

80

90

100

110

120

130

140

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

De

tak

Jan

tun

g (p

uls

e/m

en

it)

Kecepatan (km/h)

Batas Atas

Batas Bawah

Detak Jantung

60

80

100

120

140

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

De

tak

Jan

tun

g (P

uls

e/m

en

it)

Kecepatan (km/h)

Intensitas Olahraga Responden C

Batas Atas

Batas Bawah

Detak Jantung

a) b) c)

Gambar 6.20 Responden a) Salfiah b) Suliati dan c) Sugianto Melakukan

Kayuhan saat Terapi

Perekaman dilakukan dengan menggunakan bantuan kamera digital.

Setelah hasil rekaman didapatkan, putaran kayuh masing-masing responden pasca

stroke dihitung untuk mengetahui besarnya peningkatan yang terjadi. Berikut ini

merupakan tabel hasil perhitungan putaran kayuh masing masing reponden seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 6.6

Tabel 6.6 Jumlah Putaran Kayuh Responden Pasca Stroke

No Nama Putaran Kayuh (RPM)

I II III IV V

1 Salfiah 28 31 34 50 55

2 Suliati 42 45 48 49 53

3 Sugianto 29 34 37 39 42

Apabila diperhatikan perkembangan jumlah putaran kayuh masing masing

responden pasca stroke semakin meningkat mulai dari perekaman yang pertama

hingga perekaman yang terakhir. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan,

kayuhan responden A mengalami kenaikan 96% dari 28 rpm menjadi 55 rpm,

sedangkan responden B mengalami kenaikan 26% dari 42 menjadi 53 rpm dan

responden C mengalami kenaikan 45% dari 29 rpm menjadi 42 rpm. Grafik

kenaikan kayuhan responden pasca stroke ditunjukkan pada Gambar 4.17 berikut

ini.

Gambar 6.21 Grafik Jumlah Putaran Kayuh Responden Pasca Stroke

Semakin bertambahnya putaran kayuh responden pasca stroke

menunjukkan bahwa kesehatan responden pasca stroke semakin membaik,

dengan ditunjukkannya otot-otot kaki yang semakin meregang. Semakin

meregangnya otot kaki responden pasca stroke, maka kekuatan otot kaki juga

akan semakin meningkat.

Selain uji kayuh ditempat (kondisi statis) atau indoor, Responden B juga

telah melakukan percobaan uji kayuh outdoor (dilapangan) untuk mengetahui

performa sepeda. Uji kayuh dilapangan hanya dilakukan oleh Responden B saja,

hal ini dikarenakan kondisi Responden B lebih baik (stroke ringan) jika

dibandingkan dengan Responden A, dan B. Setelah dilakukan pengkayuhan

dilapangan, responden B mampu mengayuh sepeda dengan kecepatan hingga 14

km/h. Dengan perubahan detak jantung dari 82 detik/menit menjadi 112

detik/menit. Responden Pasca Stroke B menyatakan lebih nyaman mengayuh di

lapangan daripada ditempat, namun sepeda yang dinaiki dirasa masih belum rigid

karena pada saat dikayuh masih terasa belum stabil. Selain itu, Responden B

masih merasa kesulitan menggunakan sepeda saat berbelok, sehingga perlu turun

dari sepeda. Percobaan outdoor sepeda pasca stroke oleh reponden B dapat dilihat

pada Gambar di bawah

202530354045505560

0 1 2 3 4 5 6

Jum

lah

Kay

uh

an (

pu

tara

n/m

en

it)

Rekaman

Putaran kayuh

Responden A Responden B Responden C

Gambar 6.21 Uji Lapangan Penggunaan Sepeda Pasca Stroke oleh Responden

Pasca Stroke B (Outdoor)

Sepeda rancangan Syifa 2015 memiliki sudut camber negatif pada roda

bagian depan. Sudut yang dibentuk antara kemiringan roda dan garis vertikal

tersebut berfungsi untuk mengutamakan kendaraan agar dapat berjalan lurus dan

stabil. Namun pada saat sepeda diberikan beban (pengemudi) dan dikayuh

dilapangan, sudut camber negatif bertambah besar sehingga mengakibatkan

kemudi menjadi berat dan sulit untuk digerakkan saat berbelok. Sudut camber

negatif terlalu besar mengakibatkan keausan roda terjadi pada bagian dalam roda.

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian sepeda pasca stroke dan analisa yang

dilakukan dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut

1. Berdasarkan uji keselamatan yang dilakukan menurut SNI 1049:2008 dan

SNI 7519:2009, sepeda dinyatakan aman digunakan. Sepeda pasca stroke

tidak diperuntukkan bagi pasien pasca stroke dengan berat 100 kg ke atas,

karena setelah dilakukan pengujian pada lintasan miring dengan beban 100

kg sepeda terguling.

2. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat penggunaan sepeda

oleh responden pasca stroke, didapatkan beberapa evaluasi desain sepeda

pasca stroke antara lain.

Aksessibilitas penggunaan sepeda masih kurang, karena responden

pasca stroke yang mengalami lumpuh pada bagian kaki masih kesulitan

ketika menaiki sepeda maupun turun dari sepeda.

Letak kayuhan tangan yang kurang tepat menyebabkan posisi punggung

membungkuk. Sehingga kurang nyaman untuk digunakan oleh

responden pasca stroke.

Sepeda sulit digunakan untuk berbelok karena camber negatif yang

semakin membesar saat sepeda diberikan beban (pengendara), selain itu

radius belok roda bagian depan yang cukup besar sehingga tidak dapat

digunakan berbelok pada tikungan yang tajam.

3. Berdasarkan pengukuran posisi anggota tubuh responden sehat dengan

metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) saat mengayuh

menggunakan kaki maupun tangan didapatkan nilai akhir 3. Sehingga

menurut McAtamney sepeda cukup aman digunakan (resiko cidera kecil).

Tetapi masih diperlukan investigasi dan pengembangan.

4. Hasil pengukuran kekuatan otot kaki responden sehat dengan

menggunakan leg dynamometer semakin naik sesudah mengayuh sepeda.

Sehingga dapat diprediksi bahwa responden pasca stroke nantinya juga

akan mengalami peregangan otot kaki setelah mengayuh sepeda pasca

stroke.

5. Besarnya energi yang dikeluarkan oleh responden pasca stroke lebih besar

jika dibandingkan dengan responden sehat. Konsumsi energi responden

pasca stroke berada pada rentang 0,9 - 3,2 kkal/menit sedangkan

responden sehat berada pada rentang 0,2 – 2,2 kkal/menit. Energi yang

dikeluarkan oleh responden sehat dan responden pasca stroke tergolong

level sangat ringan-ringan (very low-low). Sehingga dapat disimpulkan

sepeda ringan untuk dikayuh.

6. Perubahan putaran kayuh responden pasca stroke dari hasil 5 kali

pengambilan rekaman selama 2 minggu semakin meningkat. Hal ini

menunjukkan kekuatan otot kaki responden semakin meningkat karena

adanya peregangan akibat terapi yang diberikan. Responden A mengalami

peningkatan kayuhan hingga 96%, sedangkan responden B mengalami

peningkatan kayuhan 26% dan responden C mengalami peningkatan

kayuhan 45 %.

7. Sepeda pasca stroke dapat memberikan manfaat bagi pasien pasca stroke

karena mampu memenuhi intensitas detak jantung masing-masing

responden dalam terapi yang diberikan. Dari hasil uji kayuh, detak jantung

ketiga responden pasca stroke masih berada pada intensitas terapi yang

disarankan oleh America Heart Association (50-80% Denyut Nadi

Maksimum).

7.2 Saran

1. Dalam pengembangan sepeda pasca stroke lipat selanjutnya, aksessibilitas

sepeda pasca stroke lebih diperhatikan. Bentuk rangka dibuat lebih rendah

dari rancangan sebelumnya sehingga memudahkan pasien dalam

menggunakan sepeda.

2. Perlu dilakukan perbaikan konsep dari segi peletakan kayuhan tangan

yang tepat. Sehingga posisi punggung pasien pasca stroke tidak

membungkuk saat menggunakannya.

3. Penentuan wheel alignment yang tepat akan menghasilkan sistem kemudi

yang baik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain setting

camber, caster dan toe. Sepeda yang dibuat memiliki camber negatif yang

semakin besar apabila diberikan beban sehingga roda sulit untuk

dibelokkan maka perlu adanya pengaturan toe yang tepat sehingga kemudi

bagian depan dapat dikendalikan dengan mulus.

4. Setiap responden pasca stroke harus mengetahui intensitas detak jantung

sebelum menggunakan sepeda pasca stroke agar hasil yang diperoleh

dalam terapi maksimal, tidak kurang maupun melebihi batas intensitas

yang disarankan.

5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan ada kerjasama dengan pihak

rehabilitasi atau tempat untuk terapi pasien pasca stroke. Sehingga

pencarian responden pasca stroke lebih mudah dan penelitian dapat

berjalan dengan lancar

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2013), Yayasan stroke Indonesia. “Perkembangan Stroke di Indonesia

yang Semakin Meningkat”.

Anonim. (2012). http//www.Sepeda-statis.com.

Badan Standarisasi Nasional nomor 7519:2009. “Keselamatan Roda Tiga”.

Batan, I Made Londen. (2012). “Desain Produk Edisi Pertama”. Guna Widya:

Surabaya

Chadry, Rivanol dan Yusri. (2012). “Pengujian Dinamis Pada Desain Sepeda

Lipat Dengan Pemodelan Software”. Politeknik Negeri Padang

Fanani Rosala, Zaenal dkk (2010). “Perancangan Alat Permainan Untuk Pasien

Pasca Stroke”. Universtas Diponegoro. Semarang

Fitriendi, Eki dkk. (2012). “Kekuatan Otot Fisiologi Manusia”.

Irawan, Agustinus Putra dkk. (2006). “Perancangan Ulang Sepeda Elektrik

Menggunakan Metode VDI 221”.

Nurmianto, Eko. (2003). “Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya”. Guna

Widya: Surabaya

Riva’i, M. (2013). Pengujian Sepeda Pasca Stroke, Tesis Magister, Institut

Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Rodika, (2013), Rancang Bangun Sepeda Untuk Pasien Pasca Stroke, Tesis

Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Tirtawirya, Devi. (2012). Jurnal ISSA (Indonesian Sport Scientist Association)

“Intensitas dan Volume Dalam Latihan Olahraga. ISSA.

Wignjosoebroto, Sritomo. (2003). “Ergonomi Studi Gerak dan Waktu”. Guna

Widya: Surabaya