Upload
danghuong
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
618/SEJARAH (ILMU SEJARAH)
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN FUNDAMENTAL
MASYARAKAT MULTIKULTURAL KOTA ENDE:
TINJAUAN SEJARAH DAN INTEGRASI
Tahun ke-1 dari penelitian 1 tahun
TIM PENELITI
Ketua : Drs. F.X Soenaryo,M.S (0004025204)
Anggota : Fransiska Dewi Setiowati S,S.S,M.Hum (0026098002)
Anggota : Anak Agung Inten Asmariati,S.S,M.Si. (0024127303)
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
ii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena
atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri (BPOPTN) dengan Surat Perjanjian Penugasan
Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi Tahun Anggaran 2014 Nomor:
103.24/UN14.2/ PNL.01.03.00/2014 dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul :
“Masyarakat Multikultural Kota Ende: Tinjauan Sejarah dan Integrasi”. Penelitian
ini telah kami lakukan sesuai dengan tahapan dalam perencanaan yang telah kami
ajukan.
Keberhasilan pelaksanaan penelitian dan laporan ini sudah tentu karena
mendapat dukungan moral dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu
melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas
kesempatan yang diberikan untuk melakukan penelitian ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada LPPM Universitas Udayana
dan jajarannya yang telah memfasilitasi penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi para pemegang otoritas
untuk mengelola keberagaman menjadi salah satu modal dalam memajukan
kehidupan masyarakat yang multikultural di berbagai daerah di Indonesia.
Denpasar, 25 November 2014
Penulis
iii
RINGKASAN
Kota Ende dewasa ini dihuni oleh beragam etnis dan agama. Berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa penduduk Ende terdiri atas
beragam etnis yaitu: 47% etnis Lio, 32,17% etnis Ende, 3% etnis Arab, 2,13%
etnis Nga, 1,5% , 1,5% etnis Ngada, 1,2 etnis Manggarai, etnis Cina, 1% etnis
Padang, 1% etnis Bali, 1% etnis Madura, 1% etnis Flores Timur, 2% etnis-etnis
lain. Apabila dilihat dari jumlah pemeluk agama : 69,46% pemeluk agama
Katolik, 28,46% pemeluk agama Islam, 1,4% pemeluk agama Kristen Protestan
dan selebihnya pemeluk agam Hindu dan Buda. Kebhinekaan etnis di Ende
bahkan sudah terjadi sejak abad ke-17.
Pengembangan wawasan multikultural masyarakat Kota Ende beberapa
tahun terakhir telah giat dilakukan. Misalnya kegiatan yang dilakukan oleh
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende. Kegiatannya berupa seminar yang
diadakan pada tanggal 3 - 5 Oktober 2011 di Ende. Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Panitia kerja sama Penyelanggara Bimas Kristen (Soleman Baun, S.Pd) dan
Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende (Plt. John
B. Seja, S.Fil). Para pesertanya yaitu para guru agama se-Kabupaten Ende.
Tujuannya untuk memberikan kepada para guru agama agar memiliki wawasan
yang luas tentang kehidupan kebersamaan dan saling menghargai dalam
masyarakat yang heterogen.
Demikian pula kegiatan pernah dilakukan oleh para pemuka agama
Katolik yakni para pastor. Mereka melakukan kegiatan berupa penghijauan di
lingkungan pesantren Walisanga. Aktivitas ini memberikan inspirasi bagi
masyarakat bahwa perbedaan agama tidak menghalangi terjalinnya hubungan
yang harmonis, saling membantu dan menghargai pihak lain. Hal yang tidak
pernah terjadi di daerah lain di Indonesia, para pastor bahkan menjadi Pembina
dan pengajar di pesantren Walisanga.
Dalam bidang seni dan budaya upaya menghidupkan kembali situs-situs
yang ada di Ende patut diapresiasi. Usaha ini telah rampung dilakukan dengan
merevitalisasi situs-situs peninggalam Bung Karno semasa dalam pengasingan di
Ende. Di samping mempercantik Kota Ende juga dapat menarik wisatawan
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang
sejahtera hidupnya tentu tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu negatip sepeti isu
sara yang akan memecahbelah persatuan dan kekompakan yang telah terjalin pada
masyarakat Kota Ende.
Peran lembaga-lembaga keagamaan, para pemimpin agama, dan para
ketua adat juga sangat penting dalam menjaga kehidupan masyarakat
iv
multikultural Ende. Kehadiran Misi dengan berbagai usahanya seperti sekolah-
sekolah pertukangan, mendirikan percetakan Nusa Indah Ende dan penerbitan
buku tentu tidak kecil sumbangannya bagi kehidupan masyarakat. Peran para
Ulama juga telah dimulai sejak kedatangan para pedagang dari Bugis dari
Makasar. Demikian pula peran para Pastor juga telah dimulai sejak kedatangannya
di Ende sampai sekarang.
Berkaitan dengan usaha mewujudkan integrasi sosial pada masyarat Ende,
sesuai dengan pendapat Dr. phl. Norbert Jegalus, MA menekankan pentingnya
pendidikan agama dalam alam multikulturalitas dengan semangat
multikulturalisme. Pendidikan Multikultural merupakan suatu model pendidikan
yang kontekstual.
Hal yang perlu dilakukan atas fakta keberagaman di Indonesia khusunya di
Ende ini adalah perlunya membangun kesadaran bersama bahwa keberbedaan itu
adalah suatu fakta. Dengan demikian peran pemerintah dan tokoh agama mutlak
perlu dalam mensejahterakan masyarakat. Masyarakat yang multikulturalitas perlu
ditumbuhkan secara terus-menerus di Ende agar tetap dapat disebut miniatur
Indonesia dengan masyarakat multikultur.Berbagai usaha untuk menanamkan
sikap multikultural dapat dilakukan antara lain lewat pendidikan baik di sekolah
maupun di luar sekolah.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL …………………………………………...….. i
HALAM PENGESAHAN ………………………………………..… ii
RINGKASAN ……………………………………………………...…. iii
PRAKATA …………………………………………………… ...… v
DAFTAR ISI …………………………………………………..…... vi
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………………… …......... 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 4
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………....... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ………………………………………………... 5
1.6 Metode Penelitian ……………………………………………….. 9
II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERBENTUKNYA
MASYARAKAT MULTIKULTURAL …………………………. 14
2.1 Faktor Sejarah ……………………………………………………. 15
2.2 Faktor Fisik ……………………………………………………….. 32
2.3 Faktor Pengaruh Budaya Luar ……………………….…………… 40
2.4 Faktor Geografis……………………………………………..…..… 45
III KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL ……….… 50
3.1 Etnis Lio dan Etnis Ende ………………………………………..… 49
3.2 Sarana Transportasi ……………………………………………….. 52
3.3 Interaksi Sosial …………………………………………………… 53
3.4 Kehidupan Masyarakat Kota Ende ………………………….…… 55
3.5 Penduduk dan Mobilitas Sosial ………………………………….. 58
3.6 Urbanisasi dan Urbanisme ………………………………………. 61
IV PERAN PEMUKA MASYARAKAT DAN
INTEGRASI MASYARAKAT……………………………….……. 63
4.1 Struktur Sosial Masyarakat Etnis Lio – Ende …………………….... 63
4.2 Sistem Perkawinan ………………………………………..………… 65
4.3 Solidaritas Sosial ……………………………………………………. 75
4.4 Integrasi Sosial ………………………………………………………. 79
4.5 Hubungan Struktur Sosial dengan Proses Integrasi ………………… 83
vi
V KESIMPULAN ………………………………………..… ……….... 85
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 90
DAFTAR INFORMAN ………………………………………………….. 92
LAMPIRAN
- Foto …………………………………………………. . .. 93
- Artikel Ilmiah ………………………………….… … . 98
- Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian ………… … 99
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan tentang masyarakat multikultural di Indonesia dapat
dikatakan sampai sekarang masih terus dilakukan, walaupun sudah ada yang
mendefinisikan pengertian masyarakat multicultural di antaranya tulisan Ketut
Ardhana dkk yang membahas masyaralat multikultural di Bali (2011). Hal ini
menjadi relevan mengingat Indonesia terdiri atas berbagai agama, suku bangsa
dan budaya. Dalam hal ini yang ditekankan bukan hanya keanekaragaman
kebudayaan dan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk tetapi
penekanan adanya pengakuan dan penghargaan pada kesedrerajatan atas
perbedaan kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Nasikun (2006) bahwa
di dalam masyarakat multikultural berpotensi muncul konflik-konflik sosial maka
pemahaman yang tepat tentang masyarakat multikultural perlu terus dilakukan.
Masyarakat multikultural mempunyai pengertian adanya kesederajatan dalam
kedudukan (satus sosial) walaupun berbeda-beda dalam budaya dan suku, agama
maupun ras. Di samping itu perlu mengakui perbedaan dan kopleksitas dalam
masyarakat, menjunjung tinggi kebersamaan, menghargai hak azasi manusia,
toleransi terhadap perbedaan dan tidak mempersoalkan kelompok minoritas dan
mayoritas.
Dalam dunia yang semakin terbuka, perjumpaan dan pergaulan antar suku
semakin mudah. Diperlukan sikap multikultural yaitu sikap terbuka pada
perbedaan. Orang yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan bahwa
perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang dapat menimbulkan konflik,
tetapi bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan justru
memperkaya dan dapat sangat produktif. Salah satu syarat agar sikap multikultural
efektif yaitu bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa manusia bukan
2
makluk sempurna. Manusia adalah makluk yang selalu “menjadi” , dan agar dapat
“menjadi”, manusia membutuhkan sesamanya (Ujan, 2011:16-17).
Kota Ende dewasa ini dihuni oleh beragam etnis dan agama. Berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa penduduk Ende terdiri atas
beragam etnis yaitu: 47% etnis Lio, 32,17% etnis Ende, 3% etnis Arab, 2,13%
etnis Nga, 1,5% , 1,5% etnis Ngada, 1,2 etnis Manggarai, etnis Cina, 1% etnis
Padang, 1% etnis Bali, 1% etnis Madura, 1% etnis Flores Timur, 2% etnis-etnis
lain. Apabila dilihat dari jumlah pemeluk agama : 69,46% pemeluk agama
Katolik, 28,46% pemeluk agama Islam, 1,4% pemeluk agama Kristen Protestan
dan selebihnya pemeluk agam Hindu dan Buda (BPS Ende 2010). Kebhinekaan
etnis di Ende bahkan sudah terjadi sejak abad ke-17 (Soenaryo, 2012: 20).
Kecenderungan kehidupan komunitas kota ialah adanya kecenderungan
masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan
identitas pribadinya. Individu tidak lagi mampu membuat keputusan-keputusan
secara pribadi, melainkan bertindak menurut dorongan massa. Individu cenderung
kehilangan cipta, rasa dan karsa sendiri, atau seperti dikatakan oleh Daldjoeni,
terjadi ”kekosongan budaya” (Menno, Mustamin Alwi, 1992: 45).
Di dalam komunitas kota Ende terdapat fenomena multikultural tercermin
dengan adanya perkumpulan-perkumpulan atau kelompok-kelompok etnis
maupun kedaerahan. Rogers & Steinfatt (1999:238) dalam Rahardjo (2005:84)
berpendapat bahwa masyarakat multikultural akan melahirhan multikulturalisme
yaitu adanya pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam
lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain atau pengakuan dan
promosi terhadap pluralisme kultural. Multikulturalisme menurut Suryadinata
(2000) yang dikutip Rahardjo (2005:84) juga berarti menghargai dan berusaha
melindungi keragaman kultural.
Masyarakat yang ada di Ende tergabung dalam berbagai perkumpulan
yang mendasarkan pada kesamaan daerah asal. Apabila kelompok-kelompok etnis
ini bersikap ekstrim yang berdasarkan kesamaan nasib, seringkali dapat
berkembang menjadi kekuatan kolektif yang secara kohesif berpotensi untuk
3
menggelorakan sentimen kelompok dan dapat menjadi benih terjadinya
persengketaan bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Lebih
ekstrim lagi bila kelompok-kelompok semacam ini terinternalisasi ajaran-ajaran
agama yang mengarah pada ideologi yang bersifat militan dan radikal (Arsana,
2006 : 10). Padahal, sesungguhnya keragaman SARA merupakan hakikat
masyarakat Indonesia yang multikultural. Namun, bila kemultikulturalan
diabaikan bahkan disertai dengan pengelolaan kemajemukan melalui
penyeragaman dapat berakibat terancamnya identitas suatu etnik (Atmadja, 2006:
16). Di samping faktor sengketa yang bernuansa SARA, perkembangan ekonomi
juga dapat menimbulkan kesenjangan dengan kehidupan ekonomi penduduk dari
kelompok satu satu dengan kelompok lainnya sehingga berkontribusi terhadap
timbulnya konflik sosial seperti kasus di Poso, Papua, Halmahera Utara dan
Sambas (Bandiyono,2006:35-36). Kelompok-kelompok yang ada di Ende terdiri
atas orang-orang tua dan muda yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda
etnis, agama dan adat-istiadatnya serta beragam dalam latarbelakang
pendidikannya. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan terjadi perselisihan
faham baik antar komunitas yang dapat mengakibatkan ketidakharmonisan atau
konflik dalam kehidupan sosial. Dengan demikian perlu dikaji dan dicarikan
berbagai alternatif pencegahannya.
Pluralitas penduduk perkotaan di Indonesia termasuk Kota Ende, pada
hakekatnya menjadi faktor pendorong bagi berlangsungnya proses integrasi dan
Indonesianisasi. Proses integrasi berlangsung tidak hanya melalui kegiatan dalam
segi-segi administrasi dan politik pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga
melalui proses interaksi sosial dan dialog budaya (Suryo, 2004: 1). Etnis-etnis
pendatang di Kota Ende bersosialisasi dengan masyarakat setempat dengan
membawa adat dan budayanya. Dalam proses interaksi etnis dari luar Ende di
Kota Ende tidak terhindarkan lagi terjadi pertukaran budaya, persilangan dan
adaptasi budaya. Perlu diteliti juga apakah telah ada upaya-upaya hegemoni dari
kelompok dominan yang justru diterima secara konsesual oleh mereka yang
terhegemoni. Istilah hegemoni diperkenalkan oleh Gramsci (1977) untuk mengacu
pada cara dimana kelompok dominan mendapatkan dukungan dari kelompok
4
subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral. Hal ini telah
dibahas dalam tulisan Chris Barker (2006: 61-62). Pengaruh budaya global
terutama berkembangnya media komunikasi masuk dalam kehidupan masyarakat
kota Ende baik berpengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif tampak
dalam kemajuan di berbagai bidang baik politik, ekonomi maupun budaya.
Berbarengan dengan pengaruh positif, pengaruh negatif juga sulit dihindarkan.
Agar penduduk yang datang dari luar Ende dapat bertahan di Ende sudah tentu
harus mampu beradaptasi terhadap lingkungan setempat.
1.2 Perumusan Masalah
Masyarakat multikultural di Kota Ende telah ada sejak berkembangnya
wilayah Kota Ende sehingga mereka telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari berbagai segi kehidupan baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi maupun
budaya. Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnik yang sudah tentu
mempunyai sejarahnya sendiri yang panjang sehingga sampai keadaan yang
sekarang ini.
Berdasarkan uraian pada latarbelakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu : (1) Faktor-faktor apa yang
mendorong terbentuknya masyarakat multikultural di Kota Ende?; (2) Bagaimana
masyarakat Kota Ende meramu seluruh perbedaan yang ada dalam satu kesatuan
yang harmonis?; (3) Bagaimana peran pranata sosial dalam mengelola perbedaan-
perbedaan budaya yang ada ke arah integrasi masyarakat?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan utama untuk mengkaji dan
memahami masyarakat multikultur di Kota Ende. Di samping itu bermaksud
untuk mengungkap berbagai cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperkokoh
dan mempertahankan kondisi multikulturalisme yang harmonis di Ende. Secara
khusus dari penelitian ini adalah: (1) ingin mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi masyarakat Ende dalam usaha membuat kondisi multikultural
menjadi satu kesatuan yang harmonis; (2) mengetahui peran pranata sosial
5
maupun pihak pemerintah dalam usaha menjaga sehingga tidak terjadi konflik-
konflik sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh keanekaragaman budaya,
agama, dan etnis; (3) mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai makna
dan dampak situasi dan kondisi multikulturalisme terhadap perkembangan
pembangunan masyarakat di Kota Ende.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis dari npenelitian yaitu: (1) temuan dalam penelitian ini
dapat menambah khasanah pengetahuan tentang kehidupan masyarakat
multikultural di Kota Ende; (2) kajian tentang masyarakat multikultural Kota
Ende ini dapat dijadikan referensi peneliti selanjutnya. Manfaat Praktisnya yakni:
(2) dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pemegang otoritas untuk
menyusun kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan keragaman
budaya sebagai aset penting yang akan dilakukan baik di tingkat lokal maupun
nasional; (3) dapat dijadikan bahan acuan bagi siapa saja yang berminat untuk
merekonstruksi kembali secara kritis dan objektif berbagai peristiwa masa lampau
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat multikultural di Kota Ende.
1.5 Tinjauan Pustaka
Pembicaraan tentang konsep multikulturalisme sesungguhnyan telah
banyak dibicarakan baik oleh para tokoh agama maupun sosial. Masyarakat
multikultural tidak lagi hanya sebatas keanekaragaman kebudayaan, suku bangsa,
ras maupun agama sebagai ciri masyarakat majemuk tetapi lebih menekankan
pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Mengenai pengertian
masyarakat multikultural dikemukakan oleh Nasikun yakni masyarakat bersifat
majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur mempunyai sub-
subkebudayaan yang bersifat diverse yang menurutnya ditandai oleh kurang
berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan
juga sistem nilai dari satu kesatuan sosial, dan ditandai seringnya muncul konflik-
6
konflik sosial (Nasikun, 2006). Faktor penyebab terbentuknya masyarakat
multikultural paling sedikit ada 4 (empat) faktor sebagai berikut.
1. Faktor Iklim. Indonesia terdiri atas pulau-pulau dan daerah pegunungan,
dataran dan daerah pantai. Hal ini mempengaruhi budaya masyarakat seperti
orang yang tingal di pegunungan, hawanya sejuk membentuk budaya masyarakat
yang ramah, sedangkan orang yang tinggal di daerah pantai dengan iklim yang
panas dapat membentuk kontrol emosi seseorang lebih cepat marah.
2. Faktor Geografis. Letak Indonesia yang strategis yang menjadi jalur
pergadangan internasional menyebabkan banyak pedagang asing yang dating
seperti India, Cina, Arab dan bangsa-bangsa Eropa. Keadaan seperti ini
menambah keragaman budaya sehingga terbentuk masyarakat multikultur.
3. Faktor Fisik dan Geologi. Keadaan pulau-pulau di Indonesia yang beragam
besar kecil serta ada yang kaya sumberdaya alam dan ada yang miskin
sumberdaya alamnya menyebabkan budaya masyarakat di tiap pulau berbeda.
4. Faktor Sejarah. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah
sehingga banyak Negara-negara asing yang tertarik untuk menguasai seperti
Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Kehadiran mereka menambah kekayaan
budaya dan sekaligus ras;
5. Faktor Pengaruh Kebudayaan Asing. Berkembangnya globalisasi
merupakan proses penting dalam penyebaran budaya global. Indonesia dengan
system demokrtasinya menjadi suatu Negara yang lebih terbuka sehingga
masyarakat mudah menerima budaya yang dating dari luar baik yang positif
maupun negatif. Masuknya budaya ini menjadi salah satu faktor yang melahirkan
masyarakat multikultural (http://khairulazharsaragih.blogspoot.com).
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber tertulis,
baik dokumen pemerintah Belanda, termasuk sumber-sumber yang berupa tulisan
atau karangan yang dibuat oleh orang pribumi atau orang asing. Salah satu sumber
yang ditulis oleh orang asing dari Jerman yaitu karya Max Weber dengan judul
7
Ethnographische Notizen uber Flores und Celebes. Walaupun tulisan diterbitkan
tahun 1890, namun sangat berguna untuk mengetahui latarbelakang etnografi
masyarakat Ende yang waktu itu disebut dengan nama “Endeh” khususnya, dan
Flores pada umumnya yang oleh Max Weber disebut juga “Pulau Bunga”. Dalam
tulisan ini telah diungkapkan berbagai penduduk yang telah ada di Ende.
Tulisan yang dikarang oleh pejabat Belanda yakni JHR. B. C.C. M.M.
van Suchtelen dengan judul Endeh (Flores) tahun 1921. Suchtelen adalah
Controleur Binenland Bestuur Endeh. Tulisan Suchtelen ini dilihat dari jenis
permasalahan yang diungkapkan cukup banyak mulai dari sejarah onderafdeeling
Ende, keadaan tanah, klimatotologi, flora dan fauna, pemerintahan, keadaan
politik, keadaan penduduk, kepercayaan, bahasa serta budayanya. Untuk
mendapatkan gambaran etnis-etnis dan budaya masyarakat Ende cukup memadai,
Walaupun rentang waktu yang disajikan hanya sampai Oktober 1920. Dengan
demikian sumber ini dapat digunakan untuk mengetahui keadaan Ende secara
umum pada awal pernjajahan Belanda di Ende.
Informasi tentang pengaruh budaya yang dikembangkan oleh Misi di Ende
penulis gunakan buku tulisan Pater L. Lame Uran dengan judul Perkembangan
Misi Flores Dioses Agung Ande. Tulisan ini menguraikan karya Misi di Flores
umumnya dan di Dioses Ende yang mencakup wilayah Ende Lio, Ngada dan
Kabupaten Sikka. Perkembangan agama Katolik yang dikembangkan oleh Misi
telah mempengaruhi budaya lokal yang ada. Kehadiran para misionaris juga
menambah luas pergaulan bukan hanya antar penduduk setempat tetapi juga
dengan orang-orang yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda.
Tulisan lain tentang Nusa Tenggara Timur pernah ditulis dengan judul
Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur yang diterbitkan tahun 1980 Tulisan ini
merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, Pusat penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978/1979 yang dipimpin oleh Bambang
Suwondo. Sumber ini menyajikan keadaan masyarakat Nusa Tenggara Timur
8
mulai dari zaman prasejarah sampai zaman kemerdekaan dan diakhiri tahun 1975.
Walaupun tidak menyajikan secara detail namun dapat memberikan gambaran
secara umum kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Sumber berupa
buku, khusus tentang Pulau Flores yang digunakan yaitu tulisan P.Sareng Orin
Bao (Pater Piet Petu svd) berjudul Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores
(Warisan Purba). Buku yang terbit tahun 1969 berisi antara lain uraian tentang
nama-nama purba suku-suku, kepercayaan masyarakat dan ungkapan-ungkapan
khas Nusa Nipa.
Untuk mengungkap keadaan Ende setelah kemerdekaan, digunakan data-
data statistik terbitan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende seperti Ende Dalam
Angka, Indikator Ekonomi Kabupaten Ende, Indikator Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Ende dan sebagainya. Data-data statistik digunakan terutama untuk
mendukung dan memperkuat informasi yang diperoleh dari hasil wawancara.
Buku karya Aron Meko Mbete dkk yang berjudul Khazanah Budaya
Lio-Ende yang terbit tahun 2006 menyajikan berbagai data tentang sistem religi,
sistem sosial dan budaya masyarakat Kabupaten Ende. Masyarakat religius Ende-
Lio mengonsepsikan serta meyakini bahwa Tuhan sebagai sesuatu yang hadir
tidak hanya besifat abstrak melainkan juga nyata dan konkrit. Masyarakat Lio-
Ende mempunyai konsep tentang Wujud Tertinggi Keilahian yang menciptakan
bumi dan langit dengan sebutan Du’a Nggae (Aron dkk, 2006:46-47).
Buku lainnya yaitu tulisan F.X. Soenaryo dkk yang berjudul: Sejarah
Kota Ende. Tulisan ini mengungkap perkembangan lingkungan kota, penduduk
dan pengaruh-pengaruh budaya dari luar seperti pengaruh Majapahit, Portugis,
Belanda dan etnis-etnis dari luar Flores. Berbagai etnis dan budaya yang masuk
ke Kota Ende seperti Bugis, Makasar, Jawa, Madura, Minang, Timor, Bali dan
sebagainya. Di samping itu pengaruh agama Islam, Hindu dan Kristen. Khusus
Agama Katolik telah berkembang dan berpengaruh di Ende sejak masa penjajahan
Portugis (Soenaryo dkk, 2006: 65).
9
Di samping sumber tertulis seperti yang disebutkan di atas untuk untuk
melengkapi informasi yang tidak terdapat dalam sumber tertulis, penulis gunakan
hasil wawancara dengan para informan yang ada. Dalam penelitian ini sejumlah
orang yang mewakili masing-masing etnis dipilih untuk dijadikan informan.
Sebagai informan utama dipilih para tetua adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan budayawan. Mereka pada dasarnya sekaligus menjadi pelaku adat dan
budaya.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,
wawancara, dan penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa
pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini
lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Melalui penelitian kualitatif
budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan
mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian
kualitatif ini akan membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang
tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru (Endraswara,
2003: 14-15).
1.6.2 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di wilayah Kota Ende.
Kota Ende terdiri atas empat kecamatan yakni :
(1) Kecamatan Ende Selatan yang terdiri atas 5 (lima) Kelurahan;
(2) Kecamatan Ende Tengah terdiri atas 4 (empat) Kelurahan;
(3) Kecamatan Ende Timur terdiri atas 2 (dua) Kelurahan dan 3 (tiga) Desa;
10
(4) Kecamatan Ende Utara terdiri atas 3 (tiga Desa dan 4 (empat) Kelurahan.
Jumlah penduduk di empat kecamatan berjumlah 79.719 jiwa, sedangkan luas
Kota Ende yaitu 107,39 km2 (BPS Kabupaten Ende Tahun 2010).
1.6.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif.
Pengumpulan sumber datanya dilakukan dengan cara penelitian langsung di
lapangan dan penelitian kepustakaan. Data kualitatif berupa informasi terutama
dari para narasumber, sedangkan data kuantitatif antara lain berupa jumlah
penduduk, komposisi jumlah penduduk, komposisi mata pencaharian, jumlah
sarana ibadah. yang didapat dari berbagai sumber. Data kuantitatif dimaksud
untuk mempertajam dan sekaligus memperkaya analisis kualitatif itu sendiri
(Bungin, 2003: 84). Data primer diperoleh di samping pengamatan langsung
mengenai kehidupan masyarakat Ende, juga menggunakan metode wawancara
yang dimulai dari informan kunci (key informan), selanjutnya dengan para tokoh
agama dan tokoh masyarakat yang betul-betul memahami keberagamaan
masyarakat. Keterangan dihimpun melalui pedoman wawancara yang telah
disiapkan dan dikembangkan selama mengadakan wawancara. Data sekunder
untuk mendapatkan bahan-bahan dalam penelitian ini, peneliti peroleh dengan
melakukan studi pustaka, dokumen, dan arsip-arsip yang relevan dengan masalah
yang diteliti.
1.6.4 Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan
seberapa besar informan mampu menyumbangkan data untuk pengembangan
penelitian ini. Penunjukkan informan diawali dengan informan kunci (key
informan ) berperan sebagai pemberi informan utama dan paling awal yang
dikenal dengan prinsip snowball (Endraswara, 2006 : 115-116). Dari informan
kunci ini peneliti akan mendapat beberapa informan lain yang direkomendasikan
mampu memberikan informasi lebih lanjut tentang masalah yang akan diteliti.
11
1.6.5 Instrumen Penelitian
Pengertian instrumen atau alat penelitian ini menjadi segalanya dari
keseluruhan proses penelitian, instrumen penelitian di sini dimaksudkan sebagai
alat pengumpul data. Ciri manusia sebagai instrumen mencakup segi responsif,
dapat menyesuaikan diri, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses dan
mengikhtisarkan, dan memanfaatkan kesempatan mencari respon yang tidak lazim
(Moleong, 2004:168-169). Di samping peneliti sebagai instrumen penelitian,
dalam proses pengumpulan data juga ditunjang dengan menggunakan alat-alat
elektronik, yaitu camera photo, tape recorder dan berupa catatan-catatan, dan
pedoman wawancara yang telah disiapkan.
1.6.6 Cara Memperoleh Data
Penelitian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan data lewat penelitian
arsip, riset kepustakaan (library riset) , majalah-majalah dan penelitian lapangan
dengan melakukan wawancara, dan pengamatan. Telaah pustaka dimaksudkan
untuk mendapatkan landasan teoritik supaya dapat memberikan jawaban
sementara secara ilmiah terhadap permasalahan. Sedangkan untuk membuktikan
jawaban teoritik diperlukan landasan metodologi. Penelitian arsip dan pustaka
dilakukan di Kantor pemerintah Kabupaten Ende, dan di Kelurahan yang ada di
Kota Ende.Untuk mendapatkan informasi tentang keberagaman budaya, adat
istiadat dan agama selain dari sumber tertulis, peneliti juga melakukan wawancara
dengan para tokoh masyarakat seperti Ketua MUI, pastor, dan pengurus
paguyuban yang ada di Kota Ende. Peneliti tentu tidak cukup hanya mendengar
dan menerima informasi dari para informan, perlu juga melakukan pengamatan
secara langsung di lapangan. Hal ini untuk melihat berbagai aktivitas
kemasyarakatan yang dilakukan oleh penduduk Kota Ende.
1.6.7 Observasi Partisipasi
Sebagai peneliti observasi partisipasi, peneliti bergaul dalam
segala segi dengan para subyeknya dan memandang mereka sama dengan dirinya
12
dalam segala hal. Jadi dalam situasi observasi partisipasi peneliti mengalami
hidup bersama, memasuki fenomena yang lebih dalam, sehingga akan terjadi
interaksi sosial, psikologis, seni dan kultural antara subyek penelitian dengan
peneliti. Observasi adalah pengamatan langsung terhadap gejala yang diteliti
serta mengadakan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang diteliti
(Sutrisno Hadi, 1977: 135-136).
Bogdan dalam Moleong (2001: 117) menegaskan bahwa pengamatan
merupakan penelitian berciri interaksi sosial yang memerlukan waktu yang cukup
lama, dan data dalam bentuk catatan lapangan diverivikasi secara sistematis.
Dalam observasi ini peneliti mengamati langsung aktivitas kehidupan sehari-hari
kehidupan masyarakat baik sikap, perilaku dalam komunikasi, beragama dan
berbudaya.
1.6.8 Wawancara Mendalam (indepth interview)
Informan utama dalam penelitian ini adalah para tokoh masyarakat yang
mengetahui seluk beluk tentang keberagaman kelompok-kelompok etnis dan
agama kota di Ende. Teknik wawancara secara mendalam dilakukan memakai
pola wawancara yang bebas dan terbuka. Peneliti menggunakan pedoman
wawancara (interview guide) dengan substansi pertanyaan yang telah disiapkan
agar mudah dimengerti oleh informan sehingga peneliti dapat menjaring data,
keterangan lewat pengetahuan, pendapat atau gagasan informan mengenai
berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Berbagai pertanyaan yang
telah disiapkan dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan konteks masalah
yang dihadapi. Dalam hal ini titikberatnya adalah menjaring pandangan yang
direpresentasikan oleh informan (pandangan emik), jadi bukan berdasarkan
pandangan etik atau dari perspektif dan pemahaman peneliti.
1.6.9 Studi Kepustakaan
Studi pustaka dalam penelitian ini untuk mendapatkan sumber data dari
buku-buku yang berkaitan dengan kegiatan para migran dalam bidang
13
keberagamaan di samping dari jurnal, karya ilmiah dan buku lainnya yang
menunjang dalam penelitian ini. Pengumpulan data di samping lewat studi
kepustakaan, melalui wawancara, observasi maupun penelusuran arsip juga akan
penulis lakukan dengan penelusuran dokumentasi foto yang mengabadikan
berbagai peristiwa yang berkaitan dengan obyek penelitian. Studi kepustakaan
dimaksudkan agar mendapatka data-data sekunder yang berupa laporan atau karya
tulis dari para jurnalis, buku-harian maupun catatan pribadi yang dapat digunakan
untuk melengkapi sumber-sumber lainnya (Singarimbun & Effendi, 1989:70)
1.6.1 Cara Mengolah Data
Untuk mengetahui dan memahami kehidupan multikultural masyarakat
Ende, peneliti menggunakan analisis diskriptif etnografik. Peneliti berusaha
mengungkap dan melukiskan fenomena masyarakat multukultural masyarakat
Ende yang peneliti pandang spesifik dan langsung pada sasaran. Di antaranya
mengenai faktor-faktor yang menjadi pendorong terwujudnya masyarakat
multikultural, kehidupan masyarakat, dan peran para pemuka.
Sumber-sumber atau informasi yang diperoleh baik lewat penelitian
perpustakaan, wawancara maupun hasil pengamatan kemudian diklasifikasikan
sesuai dengan tema permasalahannya secara kronologis. Selanjutnya peneliti
melakukan kritik atau analisis terhadap sumber. Setiap sumber mempunyai dua
aspek yaitu ekstern dan intern. Dalam mengungkap keragaman budaya suatu
masyarakat tidak cukup hanya menyajikan apa yang tampak di permukaan
kejadian saja. Yang tidak kalah pentingnya ialah mampu menjelaskan apa yang
terjadi di balik peristiwa itu dengan menerapkan metode verstehen. Penjelasan
akan menjadi lebih lengkap lagi dengan usaha peneliti untuk mengungkap setiap
kejadian dengan menggunakan pendekatan dari berbagai aspek (multidimensional
approach) (Kartodirdjo, 1992: 87).
14
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERBENTUKNYA
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Dalam suatu masyarakat pasti akan menemukan banyak kelompok
masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan
karakteristik itu berkenaan dengan tingkat diferensiasi dan stratifikasi sosial.
Masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat multikultural. Masyarakat
Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu masyarakat, multi, dan kultural.
“masyarakat” artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat terus menerus dan
terikat oleh rasa toleransi bersama, “multi” berarti banyak atau beranekaragam,
dan “kultural” berarti budaya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur
kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang
memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang
lainnya. Pengertian masyarakat multikultural (multicultural society) yakni
masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung
kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Jadi, masyarakat multikultural
merupakan masyarakat yang menganut multikulturalisme, yaitu paham yang
beranggapan bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang
sederajat.
Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup
menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang
mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap
masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan
menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Faktor-faktor yang dapat mendorong
terbentuknya masyarakat multikultural adalah faktor iklim, faktor geografi, faktor
15
fisik-geografis, faktor sejarah, dan faktor pengaruh kebudayaan asing. Dari
berbagai faktor itu di bawah ini akan dikemukakan faktor-faktor yang cukup
dominan memberikan dorongan terwujudnya masyarakat multikultural di Ende.
2.1 Faktor Sejarah.
Sejarah masyarakat Kota Ende dapat dilacak dari mulculnya kata ende,
mengingat masyarakat Ende telah ada sebelum nama ende diperkenalkan dan
menjadi popular sampai saat ini. Kata ende diperkirakan berasal dari kata cindai.
Dalam kamus disebutkan bahwa cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-
bunga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:168). Pendapat lain mengatakan
kemungkinan ende berasal dari kata cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa
adalah ular yang agak besar (python) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan
Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang yang kulitnya berbunga-
bunga seperti warna Cindai.
Menurut ceritera yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria
yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau
python reticulatus. Ular ini disamakan dengan sawa cindai. Jadi pada awalnya
pendunduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu
dan pendatang dari Goa, Makasar, Bajo Bima menyebut Sawa Cindai sesuai
dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya. Lama kelamaan penduduk
juga menyebut Sawa Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan
juga bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau
gunung Pui dan di di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar
Kaburia, nama tempat, nama teluk, pulau dan gunung di pesisir utara juga
menggunakan nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh,
Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciendeh (Lihat Schetskaart van de
Onderafdeeling Endeh,1918).
16
Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan
Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga
kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh dan Ende memang
ada hubungannya dengan Sawa Cindai. Dapat ditandaskan di sini, apabila nama
Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai, tentu disebabkan sudah
mengalami banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama-nama Cendau, Cindau,
Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh, dan Ende adalah nama yang
setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah cindai atau
Sawa Cindai. Orang dari Haminte Rembong, Manggarai Timur mengatakan
bahwa nenek moyang mereka menyebut seluruh Nusa ini Pulau Cendau atau
Cindau. Di Riung nama untuk seluruh pulau yaitu Sandau. Abdul Hakim dalam
bukunya Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa menyebut Nuca Cendau, Nuca Cindau
dan Nuca Sandau (P. Sareng Orinbao, 1969: 157-159).
Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah
dikemukakan dalam beberapa tulisan. Van Suchtelen menulis nama-nama yang
berkaitan dengan ende sebagai berikut ini. Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo
dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejaan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk
Ciendeh dan Nusa cilik itu dieja menjadi Ciendeh. Tulisan ejaan ini digunakan
untuk tempat-tempat di pantai utara. Sedangkan nama-nama di pantai selatan yaitu
tanjung, teluk, nusa dan kota, diejakan sebagai Endeh. Nama tanjung menjadi
Tanjung Endeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa
Endeh. Apabila dibandingkan cara penulisan nama-nama tempat di utara dan di
selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau
sama yaitu ciendeh dan endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu
cindai dalam pengertian sawa cindai. Ini berarti sama-sama berlatar belakang ular
sakti (Orinbao, 1969: 160).
Penulis E.F. Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis
nama Nusa Eru Mbinge tetap ditulis Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat
Kota Jogo ditulis dengan ejaan cinde. (Kleian, 1875: 529-532). Ini berarti huruf h
17
pada kata ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Namun demikian nama Endeh
untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.
Penulis lainnya, C.C.F.M. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang
bermacam-macam sesuai dengan ejaan yang ada pada sumber yang digunakan.
Beberapa tulisan itu antara lain Endeh, Ende, Ynde, Inde, sehingga agak sulit
untuk menghubungkan dengan istilah sawa Cindai. Dilihat dari istilah Endeh
masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehigga melalui istilah Ciendeh
semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang
sama ialah istilah (sawa) cindai yang berkaitan dengan ular raksasa ( Orinbao,
1969: 160).
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan
bahwa kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai
dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh
penduduk dalam upacara-upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan
yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan
Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciedeh, dalam perkembangannya
menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).
Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan pulau
Ende yang disinyalir dari istilah sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam
perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian
sebutan. Tulisan dan ucapan nama Kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa
huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata ende dalam ejaan
latin masih biasa ditulis dengan huruh h menjadi Endeh.
Penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai
kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende
kadang-kadang di tulis Endeh. Orang-orang Portugis memberikan nama juga
semau-maunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot
yang sebenarnya adalah Nusa cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam
Kakawin Negara Kertagama dari zaman Kerajaan Majapahit seperti telah di
18
uraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de
Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat
pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamai Endeh Ilha Grande
yang artinya Nusa Gede.
Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat
dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini
dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854,
halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya
berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceriterakan
keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang
keadaan di Bali pada tahun 1638 (Bijdragen Taal Land-en volkenkunde
Neerlandsch-Indie, (Gravenhage : Tjidschrift van het Koninklijk Instituut, 1854),
pp. 250-262
Setelah masa penjajahan Belanda nama Ende yang sering juga ditulis Endeh
dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende.
Sejak itu nama Ende atau Endeh selalu digunakan dalam buku-buku untuk sekolah-
sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal
Residen Timoer dan daerah ta”koeknja karangan Arn. J. H. van der Velden yang
diterbitkan tahun 1914 (Velden, 1914: passim )
Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga
menulis bahwa pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu
Pater Taveira telah membaptis orang-orang di Timor dan Endeh sebanyak 5000
orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan ada bajak laut dari Jawa yang membajak
dan membunuh di Pulau Endeh.(Suchtelen, 1921:1). Orang-orang Kristen
mengungsi dan dikumpulkan oleh Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng
“Fortolessa de Ende minor” di Pulau Ende untuk melindungi para misionaris
Dominican dari Solor. Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama
Ende seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nama Ende sekurang-
kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang.
Dalam usaha memahami keberadaan suatu kota para sarjana telah
19
menggunakan perspektif sejarah dalam pendekatannya. Tidak dapat diabaikan
begitu saja bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga
ikut berperan dalam menentukan perkembangan sebuah kota. Secara umum dapat
dikatakan bahwa lahan yang luas dan subur merupakan salah satu faktor utama
yang mendukung tumbuhnya pusat-pusat urban. Wilayah dengan tanah yang
subur akan mampu menghasilkan bahan makanan yang cukup untuk keperluan
penduduk yang cukup besar. Untuk mengungkap sejarah pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat kota Ende, akan dikemukakan terlebih dahulu
beberapa teori tentang pertumbuhan sebuah kota.
Mengenai kota-kota yang ada di Indonesia menurut Koentjaraningrat,
berawal dari adanya, kota pelabuhan, kota istana dan pusat keagamaan
(Koentjaraningrat, 1982: 20). Kota pelabuhan terdiri atas bagian-bagian tempat
tinggal para penguasa pelabuhan dan beberapa perkampungan tempat
bermukimnya para pedagang asing yang lokasinya terpisah-pisah. Walaupun di
Ende tidak dijumpai nama-nama perkampungan sesuai dengan tempat asal
mereka, namun ternyata di Ende dijumpai para pedagang asing yang sejak
sebelum kedatangan Belanda telah bermukim di Ende seperti dari Arab, Cina,
Bugis, Jawa dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa Ende telah lama menjadi
tempat perdagangan yang cukup ramai sehingga pedagang asing pun datang di
tempat itu.
Kota istana dicirikan oleh adanya susunan spasial yang mencerminkan
konsepsi rakyat tentang alam semesta. Raja dan istana dipandang sebagai pusat
alam semesta dan penjaga keseimbangan. Kota pusat keagamaan, susunan
spasialnya berkisar di sekitar makam raja-raja, sebuah bangunan suci berupa
candi, stupa dan sebagainya. Bangunan itu dikelilingi perumahan para pandita,
biku atau mereka yang bertugas memelihara bangunan dan pusat keagamaan itu
(Koentjaraningrat, 1982, 21). Dalam hal ini Ende menjadi pusat Misi dan agama
Islam dengan adanya bangunan suci berupa gereja dan mesjid.
20
Ende tidak tergolong ke dalam kota istana karena raja beserta bangunan
istana tidak dianggap menjadi pusat alam semesta dan penjaga keseimbangan.
Walaupun di Ende pernah ada raja, namun keberadaannya sangat singkat sehingga
tidak cukup kuat atau mengakar pada kehidupan masyarakat. Di samping itu
karena raja Ende bekerjasama dengan Belanda yang ditunjukkan dengan
keberangkatan 7 (tujuh) penguasa kerajaan Ende pada bulan Mei tahun 1839 yang
pergi ke Kupang untuk menyampaikan pernyataan kepada Residen Kupang
Gronovius, bahwa mereka rela menjadi rakyat Belanda. Penyerahan kerajaan
Ende ini disahkan oleh Gubernur Jenderal. Penyerahan ini dilakukan terdorong
oleh keberhasilan Belanda yang mendatangkan 2 (dua) buah kapal perang untuk
membasmi bajak laut pada tahun 1838. Kedudukan raja semakin lemah setelah
Portugis menyerahkan pulau Flores, Solor dan pulau-pulau sekitarnya kepada
Belanda melalui perjanjian tahun 1851 dan disahkan tahun 1859 di Belanda
( Indisch Staadblaad tahun 1859, No. 101).).
Sejak penyerahan pulau Flores kepada Belanda tahun 1851 sampai awal
abad XX keadaan kacau. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan keamanan,
pembajakan di laut, peperangan yang terjadi antar penduduk pegunungan
melawan penduduk pantai. Kekacauan semakin meningkat setelah raja daerah
pantai menyerahkan haknya kepada Belanda. Rupanya sebagian rakyat tidak
setuju atas tindakan rajanya maka beberapa kali raja Ende justru mendapat
serangan dari raja-raja kecil di pedalaman sehingga Ende tidak pernah
aman.Beberapa peperangan yang terjadi misalnya pada tahun 1878 terjadi perang
antara raja Ende melawan desa-desa sekitarnya. Tahun 1890 terjadi serangan oleh
seorang mosalaki besar yaitu Bhara Nuri yang berkuasa di Manu Ngoo, sebelah
utara Ende. Kemudian tahun 1904 terjadi peperangan, dua mosalaki dari Watusipi
dan Nangaba menyerang Ende dan Brai sekutu Belanda. Tiga tahun kemudian
Ende diserang oleh raja Woloare di bawah pimpinan Mosalaki Rapo Oja. Pada
waktu itu posthouder meminta bantuan kepada raja Ndona Mbaki Bani dan
mendapat seratus pucuk senjata bedil. (Uran, 1985: 91-92). Hal ini ikut
memperlemah kedudukan raja sehingga tidak sempat untuk membangun istana.
21
Belanda sendiri mengabil posisi tidak ikut campur dalam kekacauah antar
wilayah, kecuali mendesak kepada raja untuk adil terhadap rakyat dan berusaha
mengambil hati rakyat dengan cara melarang raja-raja memperdagangkan hamba
dan harus taat kepada Belanda.(Uran, 1985: 89-90).
Mulai tanggal 10 Juli 1907 Belanda mulai melancarkan aksi-aksi militer
untuk menghadapi para perusuh dari daerah pedalaman dan pada tanggal 10
Agustus 1907 Kapten Christoffel tiba di Ende. Setelah selesai melakukan operasi
militer di Ende mulai tanggal 10 Desember 1907 Kapten Christoffel mengadakan
operasi militer ke arah barat yaitu wilayah Ngada dan Manggarai. Kerajaan Riung
sejak tanggal 17 November takluk kepada Belanda, sehingga sejak tanggal 10
Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dapat dikuasai Belanda. Setelah
berhasil menguasai Manggarai, Kapten Christoffel kembali ke Ende terus
bergerak ke timur untuk menguasai Tanah Kunu V, Ndori dan Mbuli. Dan pada
tangal 22 Desember 1907 pasukan Christoffel kembali ke Ende dan mulai
menduduki daerah Jea dan Ute di sebelah barat Ende.
Mulai tanggal 1 April 1915 Flores ditetapkan menjadi sebuah afdeeling
yang diperintah oleh seorang Asisten Resident berkedudukan di Ende. Afdeeling
Flores dibagi atas 7 (tujuh) onderafdeeling, Flores Timur dan Solor, Adonara dan
Lomblen, Maumere, Ngada, Manggarai Utara dan Barat, Manggarai Tengah dan
Selatan, serta onderafdeeling Ende. Setiap onderafdeeling itu diperintah oleh
seorang civiel Gezaghebber atau controleur. Sejak tahun 1915 itu pulau Flores
resmi menjadi jajahan Belanda sampai Jepang berkuasa di Indonesia.
Ditinjau dari segi fisik, kota merupakan suatu pemukiman yang
mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan yang
mempunyai prasarana dan sarana atau berbagai fasilitas yang relatif memadai
guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Ciri lainnya yaitu terdapat bangunan-
bangunan atau gedung-gedung penting seperti gedung pemerintahan, gedung
gereja, bank, mesjid, rumah tahanan dan sebagainya. Pada lingkaran kedua dari
22
lapangan terdapat rumah-rumah para pamong praja atau pejabat eselon berikutnya
dalam pemerintahan, barulah pemukiman-pemukiman lainnya.
Bila diamati dari rumusan tersebut di atas ternyata terlepas dari jumlah
penduduk. Dari segi penduduk, The State Bureau of the Cencus menentukan
jumlah jiwa 2.500 jiwa; sedangkan PBB mengajukan 100.000 jiwa untuk syarat
jumlah penduduk sebuah kota. Ternyata memang tidak ada suatu kesepakatn
mengenai jumlah minimum populasi yang dapat digunakan untuk
mengkualifikasikan suatu pemukiman sebagai suatu kota. Dengan demikian
agaknya tidak mungkin terdapat suatu kesepakatan mengenai setiap fenomena
kualitatif yang dapat dijadikan variabel dalam menemukan suatu penilaian
obyektif mengenai ciri-ciri kota atau urban yang pasti. Atas dasar itu, maka J.H.
Goode mengajukan pendapat sejumlah ciri yang dipandang sangat menentukan
watak khas tata kehidupan sebuah kota yaitu: (1) Adanya peranan yang cukup
besar yang dipegang oleh sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam
kehidupan ekonomi; (2) Jumlah penduduk yang relatif besar; (3) Heterogenitas
susunan penduduknya; dan (4) Kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Dalam
ciri di atas ternyata jumlah penduduk serba relatif, dan dari segi fisik yang penting
di sini yaitu adanya gedung-gedung atau bangunan yang letaknya berdekatan serta
mempunyai prasarana dan sarana umum seperi jalan, penerangan, sarana ibadah,
pemerintahan, rekreasi dan olah raga, ekonomi, komunikasi, serta lembaga-
lembaga yang mengatur kehidupan bersama penduduknya.
Keadaan Masyarakat Ende pada awal abad XX. Setelah Belanda secara
resmi berkuasa di pulau Flores dan dibentuknya Onderafdeeling Ende pada tangal
1 April 1915 yang tertuang dalam Indisch Staadblad no 743, selanjutnya
pemerintah Belanda mulai mengatur administarsi pemerintahan di wilayah Ende.
Usaha yang dilakukan dimulai dengan mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil
menjadi beberapa kerajaan besar yang diperintah oleh seorang raja yang
berpengaruh menjadi zelfbestuuder berdasarkan korte verklaring dari Ratu
Belanda Wihelmina. Zelfbestuurder merupakan raja yang otonom yang
23
memerintah kerajaannya sesuai dengan adat-istiadat, namun tetap diawasi oleh
seorang pegawai Belanda yaitu controleur atau gezaghheber.
Menurut ARN. J.H. van Velden dalam bukunya yang diterbitkan tahun
1914 di onderafdeeling Ende terdapat 20 kampung dan yang utama yaitu
Ambugaga. Sedangkan penduduknya selain penduduk setempat juga orang
Makasar, Bugis dan orang-orang dari pulau-pulau sekitarnya termasuk para
hamba sahaya atau budak yang dirompak atau dibeli dari Sumba. Orang-orang
yang tinggal di daerah pantai beragama Islam, sedangkan yang tinggal digunung
dikatakan masih kafir (Velden, 1914: 28-29).
Van Suchtelen mengungkapkan bahwa pada tahun 1917 di seluruh
wilayah onderafdeeling Ende yaitu Tanah Rea, Ende, Ndona dan Tanah Kunu V,
penduduknya berjumlah 68.653 jiwa. Penduduk di ibukota Ende sendiri berjumlah
19.687 jiwa yang terdiri atas 7435 orang laki-laki, 4752 orang perempuan, 3985
anak laki-laki dan 3515 anak perempuan. Di Ibukota Ende selain penduduk
setempat terdapat orang Eropa, Cina, dan orang Arab (Suchtelen,1921: 173).
Perdagangan oleh masyarakat Ende dilakukan melalui pelabuhan yang
dalam dan disinggahi oleh kapal-kapal KPM. Pemerintah Belanda yang tinggal di
Ende terdiri atas Asisten Residen, Controleur, seorang Kommis, Civiel
Gezaghebber, seorang Kapitein dan dua orang opsir, 120 orang tentara, seorang
dokter tentara dan agent KPM. Di Ende juga disebutkan telah ada sebuah sekolah,
sebuah rumah sakit tentara dan Civiel, kantor pos (hulpposkantoor) gudang batu
arang dan toko-toko Cina (Velden, 1914: 28).
Prasarana jalan di Ende mulai dirintis pada tahun 1910 dengan pembuatan
jalan raya dengan sistem kerja rodi. Pembukaan jalan yang dilakukan dengan
kerja rodi itu menghubungkan satu kerajaan dengan kerajaan lain dan satu desa
dengan desa lain. Bersamaan dengan itu dibuka pula jalan raya yang
menghubungkan Larantuka di Flores Timur dengan Reo di Manggarai Utara
(Flores Barat) sepanjang 600 km. Kerja besar dengan menelan korban ratusan
jiwa itu berhasil diselesaikan dan diresmikan pada hari ulang tahun Ratu
24
Wihelmina tanggal 31 Agustus 1925. Untuk menunjang keuangan pemerintah,
mulai tahun 1912 setiap penduduk diwajibkan untuk membayar pajak kepada
pemerintah Belanda.
Keadaan Ende dengan tempat-tempat prasarana dan sarana pemerintahan
seperti kantor pos, rumah sakit, kantor telepon, kuburan umat Kristen (Kerkhof
voor Christenen), tempat tinggal Asisten residen, Mesjid, sekolah, dan berbagai
fasilitas lainnya yang dapat dilihat pada peta Kota Ende tahun 1917. Dengan
datangnya Belanda di Ende, maka sistem administrasi yang teratur mulai
diterapkan. Dari sumber-sumber yang diperoleh telah menunjukkan tersedianya
berbagai prasarana dan sarana di Ende sebagai berikut. Prasarana tranportasi
berupa jalan yang menghubungkan antar wilayah yang mulai dibangun sejak
tahun 1910. Dalam bidang komunikasi telah tersedia kantorpos dan kantor telepon
di Ende. Heterogenitas penduduk juga terpenuhi dengan adanya orang-orang
Arab, Bugis, Sumba dan etnis lain yang berasal dari pulau-pulau sekitar Ende.
Kehidupan penduduk tidak hanya mengandalkan bidang pertanian saja, tetapi
sudah ada yang hidup dari berdagang sebagai tukang, kuli di pasar atau
pelabuhan, bekerja sebagai pegawai di kantor-kantor pemerintah dan sebagainya.
Hal ini berarti telah ada diferensiasi kerja atau terdapat spesialisasi non agararis.
Di samping itu juga mulai ada golongan yang berpendidikan dengan dibangunnya
sekolah di Ende. Seperti dikemukakan oleh Gideon Sjoberg bahwa ciri utama
yang menjadi titik awal gejala kota adalah munculnya spesialisasi non agraris dan
munculnya golongan yang berpendidikan (Sjoberg, 1965: 25-31).
Berdasarkan informasi yang telah diuraikan di atas, maka pada awal abad
XX atau sekurang-kurangnya sejak tanggal 1 April 1915, dapat dikatakan Ende
telah tumbuh menjadi sebuah kota berupa kota administrasi. Letak kota itu
mengambil lokasi di sekitar pusat kerajaan Ende yang letaknya strategis dan
memiliki prospek ke depan yang baik. Susunan spasial kota administrasi ini
berkisar di sekitar lapangan Perse. Di sekeliling atau lingkaran lapangan itu
terdapat rumah tempat tinggal kepala pemerintahan seperti asisten residen,
kontrolir, dan pejabat lainnya.
25
Bertitik tolak dari teori Gideon Sjoberg, persyaratan timbul dan
tumbuhnya kota selain timbulnya spesialisasi non agraris dan adanya golongan
yang berpendidikan juga memiliki basis ekologi yang memadai. Wilayah Ende
memiliki lingkungan alam yang cukup memadai. Untuk melihat bagaimana basis
ekologi masyarakat Kota Ende, di bawah ini akan dikemukakan keadaan fisik
kota.
Secara umum lingkungan masyarakat kota dapat dilihat dari tanda-tanda
pengenal kota. Tanda pengenal sebuah kota paling sedikit dapat dilihat dari 2
(dua) kenampakan yaitu ciri fisik dan ciri sosial. Dari segi fisik yaitu adanya
bangunan yang langsung dapat dilihat bila seseorang datang di Kota Ende. Tanda
pengenal Kota Ende antara lain tempat-tempat untuk pasar, tempat untuk rekreasi
dan olah raga, bangunan-bangunan pemerintahan, perumahan, prasarana dan
sarana transportasi, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjukkan ciri
kekotaannya.
Tempat untuk pasar dan pertokoan. Pasar atau tempat untuk orang yang
mengadakan jual beli di kota Ende telah ada sejak sebelum kedatangan Belanda
di Ende. Hal ini telah ditulis oleh Suchtelen yaitu seorang Controleur Binenland
Bestuur di Ende yang mengatakan bahwa kapal-kapal KPM milik pemerintah
Belanda sering singgah Ende untuk berdagang. Selain itu juga dijumpai beberapa
tempat untuk pasar dan pertokoan. Tempat pasar dan pertokoan terletak di daerah
pantai selatan yaitu di sekitar Kelurahan Kotaratu yang disebut pasar Ende. Pasar
selalu merupakan titik api atau fokus point dari sebuah kota. Pada awalnya pasar
merupakan daerah terbuka di mana para petani, para nelayan, dan para pengrajin
membawa dan melaksanakan perdagangan secara barter atau tukar barang dengan
barang. Dengan adanya kemajuan sistem barter perlahan-lahan berubah menjadi
sistem uang, sehingga sistem barter diganti sistem jual beli. Sifat pasar kemudian
berubah pula dari daerah terbuka menjadi bangunan-bangunan atau kios-kios yang
relatif tertutup yang memperjualbelikan hasil pertanian, hasil penangkapan ikan
dan hasil-hasil kerajinan seperti kain dan sebagainya (Soenaryo dkk, 2006: 39-
40).
26
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kota Ende menjadi
pusat perdagangan. Hal ini telah terjadi sejak sebelum kedatangan bangsa Barat
menetap di Ende yaitu dengan singgahnya kapal-kapal laut KPM dari Jawa ke
Pulau Ende dan terus ke Timur. Mengingat semakin banyaknya barang dagangan,
maka diperlukan tempat untuk menyimpan sehingga dibangunlah gudang-gudang
terutama gudang kopra dan toko-toko seperti Toko Woloare, Toko Bangkalan,
Toko Awat Lanjar, Toko Bata , Toko Kelimutu dan sebagainya.Tempat-tempat
semacam itu lama-kelamaan semakin banyak pengunjungnya sehingga menjadi
pusat perdagangan. Daerah itu menjadi inti kota yang merupakan akumulasi dari
toko-toko, kantor pos, gedung bioskop yang biasa disebut Pusat Daerah Kegiatan
atau jantung kota yang pada siang hari sangat ramai dikunjungi warga kota,
namun menjadi sunyi pada malam hari, kecuali di gedung bioskup satu-satunya di
Kota Ende. Tempat semacam itu yakni daerah pantai yang biasa disebut Ende
Kota, dan sekitar lapangan bola yang terletak di Jalan Ir. Sukarno (Soenaryo dkk,
2006: 40-41).
a. Pasar dan Pertokoan
Pertokoan dan pasar di Ende rupanya terkonsentrasi di pusat kota yaitu di
wilayah Kecamatan Ende Selatan. Pada tahun 2012 jumlah toko grosir ada 4
(empat) buah, pedangan pengecer 164 buah. Berdasarkan SIUP yang diterbitkan
sampai akhir Desember 2011 jumlah pengecer di seluruh Kabupaten Ende
berjumlah 174 buah. Menurut data yang ada di Kantor Perindustrian, Perdagangan
dan Penanaman Modal Kabupaten Ende, pedagang yang ada di pusat kota
berjumlah 1.008 buah dari keseluruhan di Kabupaten Ende yang berjumlah 2751
orang tahun 2011 dan tahun 2012 meningkat menjadi 2854 orang. Jumlah ini
sudah termasuk para pedagang informal. Sedangkan jumlah pasar yang bersifat
harian pada tahun 2012 berjumlah 4 (empat) buah dan pasar mingguan berjumlah
28 buah.
b. Tempat Olah raga dan Rekreasi
Di Kota Ende telah ada tempat rekreasi dan olah raga yaitu di pinggir
pantai yang disebut Lapangan Perse. Tempat rekreasi dan olah raga di kota
27
ataupun di desa sangat penting bagi umat manusia. Ruang untuk tempat rekreasi
dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : (1) lapangan bermain untuk play
field yang disediakan untuk para remaja dan orang-orang dewasa. Kota Ende telah
memiliki lapangan ini dan biasa digunakan untuk bermain sepakbola maupun olah
raga yang lain serta untuk tempat upacara pada perayaan-perayaan hari besar
nasional. Lapangan ini telah ada sejak masa penjajahan Belanda yang dibangun di
depan kantor Asisten Residen Onderafdeeling Flores; (2) halaman bermain yang
dimanfaatkan oleh anak-anak yang masih di taman kanak-kanak sampai umur 14
tahun. Halaman tempat bermain ini di Ende dibangun di pantai diberi nama
Taman Rendo. Tempat rekreasi atau halaman bermain ini dilengkapi dengan
pelbagai permainan seperti ayunan, putaran dan lapangan hijau untuk berlari-lari
dan sebagainya (Soenaryo, 2006:42).
Pada hari libur seperti hari Minggu warga kota Ende juga biasa pergi ke
Wolowona yaitu sebuah sungai yang cukup lebar dan airnya jernih. Di tempat ini
orang dapat berenang, sambil menangkap udang, mencari kepiting, mencari ikan
dan biasanya mereka membawa bekal makanan. Tempat ini cukup strategis, dekat
dengan pantai dan sekarang telah dibangun fasilitas untuk para wisatawan berupa
bar dan tempat karaoke. Anak-anak mengisi hari-hari libur di tempat ini karena
tempatnya relatip dekat dengan kota hanya sekitar 5 (lima) km ke arah timur.
Namun sangat disayangkan karena dewasa ini tempat itu sudah tidak sebersih dulu
karena para penghuni desa-desa di bagian hulu sungai banyak yang membuang
sampah ke sungai itu.
Tempat rekreasi yang lain yaitu di daerah pantai Nanga Nesa. Di tempat
ini banyak tanaman kelapa sehingga para penunjung dapat menikmati kelapa
muda setelah selesai berenang. Fasilitas jalan juga sudah memadai, sudah dapat
dicapai dengan kendaraan roda empat. Pantai yang biasa untuk rekreasi selain
yang telah disebut di atas yakni pantai Nanga Panda
Pada km 14 dari Ende ke arah timur terdapat air terjun yang berasal dari
pegunungan yang mengalir ke sungai, dengan tebing-tebing curam di
sekelilingnya. Tempat ini banyak dikunjungi para pelancong lebih-lebih pada
28
waktu liburan. Tempat tersebut dapat dicapai dengan kendaraan umum jurusan
Ende ke Wolowaru, maupun kendaraan pribadi baik roda empat atau sepeda
motor.
Di samping pantai, tempat rekreasi bagi warga Ende yaitu di daerah
pegunungan yang jauhnya sekitar 50 km arah timur dari Kota Ende yaitu Danau
Kilimutu atau Danau Triwarna. Disebut demikian karena di tempat ini terdapat 3
(tiga) danau yang saling berdekatan dengan warna air yang berbeda satu sama
lain. Satu danau berwarna merah yang disebut tiwu atapolo, menurut kepercayaan
adalah tempat roh-roh jahat. Danau yang kedua berwarna putih yamg disebut tiwu
atabuku, yaitu tempat roh orang-orang tua; dan yang ketiga berwarna biru yang
disebut tiwu koofai nuwamuri. Danau yang airnya biru ini diyakini merupakan
tempat roh-roh anak remaja. Warna danau itu sekarang sudah berubah menjadi
warna hitam, coklat dan biru kehijauan. Danau Kilimutu ini terletak di daerah
pegunungan yang cukup tinggi, namun dapat dicapai dengan naik kendaraan roda
empat atau sepeda motor. Selain itu ada pula penduduk yang menyediakan
tranportasi hewan yaitu kuda. Kuda sangat cocok untuk sarana transportasi di
tempat ini karena kuda dapat melewati jalan yang menanjak dan berliku-liku.
Untuk menunjang pengembangan daerah pariwisata di pinggir jalan pertigaan
jalan Ende Maumere dan jalan menuju Danau Kelimutu telah dibangun oleh
Pemda Tingkat II Ende rumah makan dan tempat penginapan bagi para
pengunjung. Apabila pengunjung berangkat dari Ende, sebelum sampai Danau
Kilimutu melewati desa Dua Ria. Di daerah itu dikenal banyak hasil buah-buahan
dan sayur-sayuran, seperti buah jeruk, pisang, sayur col, labu, sawi, dan
sebagainya. Demikian pula hasil pertanian misalnya jagung, ubi kayu, ketela dan
sebagainya. Dengan demikian para wisatawan yang ke Danau Kelimutu dapat
pulang sambil belanja sayur-sayuran dan buah-buahan. Danau Kilimutu tidak
hanya dikunjungi warga Kota Ende dan wisatawan domestik saja, tetapi banyak
juga wisatawan asing dari berbagai negara.
c. Pusat Pemerintahan dan Bangunan Monumen.
Memasuki Kota Ende melalui Pelabuhan Udara Arubusman akan
29
melewati Jalan El Tari dan di sebelah kanan jalan dijumpai bangunan yang
megah yaitu Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ende. Bangunan ini telah
mengalami beberapa kali renovasi, dan yang terakhir mulai tahun 2001 dibangun
Gedung baru yang lebih besar dengan arsitektur gaya bangunan Lio yang terdiri
atas 2 (dua) lantai, letaknya di belakang kantor yang lama. Di gedung inilah
kegiatan roda pemerintahan Kota Ende dan Kabupaten Ende berpusat. Bila
perjalanan dilanjutkan akan dijumpai sebuah monumen yang terletak
diperempatan jalan. Monumen ini berupa bangunan yang disebut Monumen
Pancasila. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Soepardjo
Rustam pada tanggal 1 November 1985 dengan tujuan untuk mengingatkan
seluruh warga Kota Ende dan siapapun yang datang di Ende, bahwa di Kota inilah
direnungkan dan dilahirkan butir-butir mutiara yang kemudian menjadi sila-sila
dalam Pancasila, dasar Negara Republik Indonesia oleh Bung Karno (lihat
Soenaryo dkk, 2006: 49-50).
Di samping Monumen Pancasila, tempat-tempat yang dulu pernah menjadi
tempat tinggal Soekarno, tempat permenungan sehingga mencetuskan butir-butir
pancasila, gedung tempat pementasan sandiwara karya Soekarno saat ini telah
dipugar. Tempat-tempat bersejarah itu selain menjadi ikon Kota Ende juga
menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat Ended an sekitarnya maupun dari luar
Pulau Flores( Sunaryo dan Nuryahman, 2012: 101- 120).
Apabila kita berkeliling di Kota Ende selain Monumen Pancasila masih
dijumpai bangunan lain yang menjadi saksi sejarah dan tanda untuk mengenal
kota ini. Bangunan itu di antaranya rumah raja Ende yang terletak di Kelurahan
Kotaratu Ende. Walaupun bangunan ini terkesan sederhana, namun dapat menjadi
bukti bahwa pada masa lampau di Ende pernah berdiri suatu kerajaan Ende
dengan berbagai perannya.
Bangunan monumental lainnya yaitu bekas kantor Afdeeling Flores dan
Onderafdeeling Ende yang terletak di depan Lapangan bola Perse, bersebelahan
dengan Kampus Universitas Flores sekarang menjadi Kantor Dinas Pariwisata
Kabupaten Ende. Bangunan ini menjadi bukti sejarah bahwa Kota Ende pada pada
masa penjajahan Belanda telah menjadi pusat pemerintahan untuk wilayah Flores
30
dan Onderafdeeling Ende. Sedangkan bangunan lainnya yaitu Museum Bung
Karno yang dibicarakan tersendiri.
Di seputar Kota Ende juga telah dibangun beberapa patung untuk
mengenang para pejuang, memberikan motivasi dan semangat bagi warganya
seperti patung Mari Longa dan patung Bhara Noeri . Patung Mari Longa dibangun
di Wolowona, 6 (enam) km dari pusat Kota ke arah timur, sedangkan patung
Bhara Noeri dibangun di Kota Ende bagian barat. Kedua patung itu dibangun oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende semasa Drs. Anis Pake menjadi Bupati Ende.
Dalam memajukan bidang pendidikan di Kota Ende juga dibangun monumen
pelajar dalam wujud dua orangtua yang menggandeng putranya untuk pergi ke
sekolah.
Kota Ende sebagai pusat Misi dengan mudah dapat dilihat dengan adanya
bangunan Gereja Katedral yang megah menghadap ke pantai Ende. Bangunan
gereja ini menjadi saksi sejarah bahwa di wilayah ini telah sejak awal abad ke-20
warga Ende telah mengenal ajaran Kristus secara mendalam. Selain gereja
Katedral juga terdapat gereja-gereja lain yang cukup besar seperti gereja Santo
Josef di Onekore, Gereja Santo Josef Freinademetz di Mautapaga, istana Uskup
di Ndona dan sebagainya.
Ciri-ciri sosial kota dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) pelapisan
sosial ekonomi; (2) individualisme; (3) toleransi sosial; (4) jarak sosial; dan (5)
penilaian social (Lihat Bintarto,1983: 45-470).
Pelapisan sosial ekonomi. Adanya perbedaan tingkat pendidikan dan status
sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas itu dapat
berkembang dan mempercepat timbulnya persaingan. Lebih-lebih dengan semakin
banyak penduduknya di kota Ende dan dengan adanya sekolah-sekolah baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta dengan berbagai spesialisasinya.
Sebagaimana diketahui di kota Ende terdapat sekolah-sekolah kejuruan seperti
STM, SMKK, SMEA dan SPM Spesialisasi selain di bidang ketrampilan juga
bidang mata pencaharian. Pelapisan sosial ekonomi merupakan salah satu ciri
sosial di kota Ende yang dapat dilihat dari lokasi pemukiman dan bentuk
bangunan tempat tinggalnya (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 23 Juli 2014).
31
Individualisme. Terjadinya perbedaan dalam status sosial ekonomi
maupun kultural dapat menumbuhkan sifat individualisme. Di Kota Ende hidup
gotong-royong mulai berkurang tergeser oleh sistem upah. Pertemuan tatap muka
dalam hubungan pergaulan dalam ukuran waktu yang cukup lama sudah mulai
berkurang. Hal ini dapat dimengerti karena kehidupan di kota, waktu adalah
sangat berharga. Komunikasi secara langsung sudah diganti dengan sarana
telepon. Selain praktis, tidak perlu transport juga menghemat waktu. Sarana
telepon tidak lagi menjadi barang mewah akan tetapi sudah menjadi kebutuhan
sehari-hari. Dengan menigkatnya pendidikan, berbagai persoalan lebih banyak
dapat diselesaikan secara perorangan sehingga tidak lagi memerlukan nasehat atau
pertimbangan pihak ketiga atau keluarga. Banyaknya pelanggan telepon di Ende
setiap tahun semakin meningkat. Sampai bulan Desember tahun 2010 jumlah
pelanggan telepon ada 2034 dan tahun 2012 sudah meningkat menjadi 2174
pelangan (BPS Kabupaten Ende, 2012: 230).
Toleransi sosial. Perhatian terhadap sesama dapat berkurang oleh
kesibukan warga kota yang semakin meningkat. Keadaan yang demikian bila
semakin bertambah akan berakibat warga kota memiliki sifat acuh tak acuh dan
kurang memiliki toleransi sosial; dan sifat saling peduli terhadap orang lain
berkurang. Warga kota biasanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehingga seakan-akan tidak ada waktu untuk memperhatikan
sesama. Hal ini di Ende belum banyak terjadi sehingga dapat dikatakan toleransi
sosial warga kota masih cukup tinggi.
Jarak Sosial. Kepadatan penduduk kota Ende cukup tinggi bila
dibandingkan dengan daerah lainnya. Banyaknya penduduk yang sebagian ingin
tinggal di daerah perkotaan mengakibatkan secara fisik di manapun berada baik di
pasar, di jalan, di toko dan di tempat-tempat umum lainnya orang selalu
berdekatan, akan tetapi dari segi sosial berjauhan. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan, kebutuhan dan perbedaan tujuan. Tegur sapa dilakukan
hanya kalau kenal atau kalau ada kepentingan. Sebaliknya kalau tidak kenal atau
tidak ada hubungan kepentingan orang akan cuek saja dan tidak saling
menghiraukan. Hal ini menjadi ciri kota lebih-lebih di kota-kota besar. Di Ende
32
hal ini belum terasa benar, karena pada umumnya antar warga, terutama yang tua-
tua sebagian masih saling mengenal satu sama lain.
Penilaian sosial. Adanya perbedaan kepentingan, perbedaan status serta
situasi dan kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem
penilaian yang berbeda mengenai gejala yang timbul di kota. Perbedaan penilaian
ini dapat disebabkan oleh latar belakang filsafat, pendidikan dan pengalaman
seseorang. Pendidikan dan pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara
pandang seseorang. Sikap yang merasa statusnya tinggi akan sangat merugikan
dan mengurangi rasa persatuan sesama warga kota. Masalah yang dipandang hal
sepele bagi orang yang mampu atau kaya dapat dinilai sebaliknya oleh warga kota
yang kurang mampu.
Demikian ciri-ciri sosial yang pokok bagi sebuah kota. Sudah tentu tidak
ada dua kota yang sama benar struktur dan keadaannya. Baik ciri-ciri fisis maupun
ciri sosial terjalin menjadi satu unit yaitu tata kehidupan dikota. Ciri-ciri fisis kota
Ende akan lebih mudah dikenali daripada ciri-ciri sosialnya. Hal ini disebabkan
ciri sosial kota besar belum begitu terasa di kota Ende.
2.2 Faktor Fisik Kota.
Wilayah Kota Ende terdiri atas tujuh kecamatan yaitu sebagai berikut.
1. Kecamatan Ende Selatan
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende SelatanKota Ende:
Kelurahan/Desa Mbongawani (Kodepos : 86313)
Kelurahan/Desa Rukunlima (Kodepos : 86314)
Kelurahan/Desa Paupanda (Kodepos : 86315)
Kelurahan/Desa Tetandara (Kodepos : 86316)
Kelurahan/Desa Tetandara I (Kodepos : 86316)
2. Kecamatan Ende Tengah
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Tengah :
33
Kelurahan/Desa Potulando (Kodepos : 86312)
Kelurahan/Desa Onekore (Kodepos : 86318)
Kelurahan/Desa Paupire (Kodepos : 86318)
Kelurahan/Desa Kelimutu (Kodepos : 86319)
3. Kecamatan Ende Timur
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Timur :
Kelurahan/Desa Mautapaga (Kodepos : 86317)
Kelurahan/Desa Rewarangga (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Kedebodu (Kodepos : 86361)
Kelurahan/Desa Ndungga (Kodepos : 86361)
Kelurahan/Desa Tiwutewa (Kodepos : 86361)
4. Kecamatan Ende Utara
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Utara :
Kelurahan/Desa Borokanda (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Gheoghoma (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Kota Raja (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Kota Ratu (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Roworena (Kodepos : 86319)
Kelurahan/Desa Watusipi (Kodepos : 86319)
Pemekaran fisik kota Ende masih tampak hanya meluas secara mendatar
belum menegak, belum tampak adanya perluasan menegak dengan gedung-
gedung bertingkat sebagaimana menjadi ciri khas untuk kota yang modern.
Namun demikian permasalahan yang timbul akibat bertambahnya penduduk dan
kemajuan masyarakat sudah mulai terasa. Masalah yang timbul akibat pemekaran
kota yaitu masalah perumahan, sampah, lalu-lintas, terdesaknya lahan pertanian,
keterbatasan air minum dan masalah administratif pemerintahan. Perlu diketahui
bahwa masalah yang bersifat fisis ini ternyata juga berkaitan dengan masalah
sosial ekonomi. Seperti halnya permasalahan yang ada di hampir setiap kota di
34
Indonesia di Ende pun masalah kekurangan daya tampung perumahan bagi
penduduk berpenghasilan kecil dan meningkatnya jumlah para penganggur sudah
terasa. Dampak yang muncul antara lain timbulnya kriminalitas. Untuk mengatasi
hal ini, peranan aparatur pemerintah kota sangat menentukan keberhasilan
program-program pembangunan.
Perkembangan kota tentu memiliki segi-segi positif seperti kelancaran
komunikasi sehingga memudahkan bepergian dengan kendaraan bermotor, mudah
berkomunikasi lewat pembicaraan telpon, mudah mendapatkan hiburan atau
rekreasi dan mudah mendapatkan barang-barang yang diperlukan, dan masih
banyak kemudahan-kemudahan lainnya. Pemekaran kota mempunyai arah yang
berbeda-beda yang sangat tergantung pada kondisi kota dan kondisi alam
sekitarnya.
Daerah Kota Ende ke arah utara berupa perbukitan, sedangkan ke arah
selatan berupa lautan. Daerah perbukitan, jurang dan rintangan-rintangan alam
lainnya dapat menghambat atau bahkan menghentikan laju pemekaran kota
sehingga dapat disebut daerah lemah. Daerah Kota Ende hanya memiliki daerah
yang datar relatif kecil, selebihnya berupa lautan, perbukitan dan pegunungan
yang terjal dan jurang-jurang yang dalam. Daerah-daerah di sekitar perbukitan dan
laut yang merupakan daerah lemah tidak berarti tidak menarik sama sekali bagi
penduduk. Daerah semacam itu masih juga menarik penduduk terutama bagi
penduduk yang berpenghasilan kecil. Mereka mencari tanah-tanah yang harganya
relatif murah. Bahkan dalam perkembangan dewasa ini dan ke depan daerah
perbukitan justru banyak dilirik orang-orang berduit. Di tempat itu dibangun villa
atau tempat-tempat peristirahatan yang ditempati pada hari-hari libur untuk
rekreasi karena kejenuhan di tengah kota.( Sebagai contoh Kota Semarang). Di
Kota Ende dapat dilihat pemukiman penduduk mulai merambat ke daerah
perbukitan di sebelah utara termasuk pembangunan Kampus Universitas Flores
(UNFLOR) yang baru.
35
Daerah sebelah timur Kota Ende sampai Ndona tanahnya relatif datar dan
terdapat pasar dan terminal sehingga potensial untuk pengembangan ekonomi
sehingga memiliki daya tarik untuk pengembangan kota. Daerah ini dapat
dikategorikan daerah kuat. Secara umum dapat dikatakan bahwa daya tarik dari
luar kota yaitu daerah-daerah yang kegiatan ekonominya cukup menonjol seperti
daerah di sekitar pelabuhan laut dan pelabuhan udara, daerah sepanjang jalan
protokol, daerah pertokoan, serta daerah hinterland yang subur tanahnya. Di Kota
Ende telah tampak bahwa harga-harga tanah disepanjang jalan protokol yaitu
Jalan Garuda, Jalan El Tari dan di sekitar pusat pemerintahan, harga tanah lebih
mahal di bandingkan daerah-daerah lainnya.
Daerah-daerah sekitar pasar dan pusat-pusat rekreasi seperti lapangan olah
raga, rumah-rumah makan, tempat permainan anak-anak, taman-taman rekreasi
merupakan daerah yang cepat berkembang. Dengan demikian dapat dipahami bila
Kota Ende pada tahap awal perkembangannya dimulai dari pemukiman di sekitar
pantai dan lapangan Perse.
Dengan perkembangan kota yang berjalan ke segala arah dan adanya daerah
kuat yang potensial untuk pengembangan ekonomi dan tanah yang relatif datar,
mulai timbul gejala pertumbuhan kota satelit yaitu di Ndona. Hal ini ditunjang
dengan keberadaan istana Uskup Agung Ende di Ndona. Istana Uskup dengan
berbagai prasarana dan sarana penunjangnya telah menjadikan Ndona sebagai
wilayah yang memiliki ciri-ciri sebuah kota.
Kota-kota kecamatan, yang termasuk wilayah Kota Ende juga memiliki
peran ganda karena selain sebagai pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan sosial
budaya juga sebagai pusat pemerintahan atau pusat kegiatan politik. Dapat
dikatakan kota kecamatan itu menjadi pintu gerbang kehidupan dan penghidupan
serta motor penggerak berbagai aktivitas pengembangan kota dan daerah
sekitarnya. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat 13 kota kecamatan.
Kota Ende dapat dikatakan telah mulai berkembang, baik dari segi fisisnya,
segi ekonomi maupun segi sosial budayanya. Hal ini merupakan hasil
36
perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Banyak fasilitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat dipenuhi di kota, antara lain : (1) Bermacam-
macam kebutuhan pakaian atau sandang; (2) Perumahan penduduk, mulai dari
yang sangat sederhana, sederhana berupa Perumnas sampai yang cukup mewah;
(3) Makanan juga tersedia mulai dari makanan masyarakat klas rendah seperti
untuk para kuli, buruh bangunan, tukang yang disediakan oleh para pedagang di
emperan toko dengan harga yang relatif murah sampai makanan untuk para
pejabat atau pengusaha tingkat atas yang tersedia di rumah-rumah makan atau
restaurant; (4) Fasilitas kendaraan bermotor milik pribadi, perusahaan ataupun
kendaraan dinas mulai dari sepeda motor sampai mobil, bahkan banyak yang
memiliki mobil lebih dari satu buah satu keluarga, kendaraan umum seperti Bemo,
Bus sampai sepeda motor untuk ojek. Mengingat wilayah Kota Ende tanahnya
berbukit-bukit tidak banyak yang datar sudah tentu alat transportasi seperti becak,
andong atau gerobak tidak mungkin diusahakan; (5) Prasarana jalan cukup
tersedia sehingga memudahkan orang yang akan bepergian; (6) Sarana
komunikasi juga tersedia seperti surat kabar Flores Pos, telepon, radio, televisi
bahkan yang akhir-akhir ini berkembang di Ende yaitu telepon seluler.
Di sisi lain, kemunduran atau kemerosotan dalam berbagai bidang juga terjadi seperti
dalam hal-hal seperti di bawah ini.
a. Meningkatnya sifat individualistis. Penduduk semakin banyak dan hunian
juga rapat, namun secara sosial sebenarnya semakin renggang. Orang di kota
sebagian lebih senang menggunakan sistem upah dalam mengerjakan sesuatu
pekerjaan. Selain sifatnya yang praktis, juga sangat efisien dan mudah dalam
mengkalkulasi biaya. Kebiasaan kerja gotong-royong mulai menipis di kota.
Orang kota biasanya disibukkan dengan kerja masing-masing. Konsep gotong-
royong yang kita nilai tinggi itu merupakan suatu konsep yang berkaitan erat
dengan kehidupan rakyat sebagai petani dalam masyarakat agraris
( Koentjaraningrat, 1975: 11-12).
37
Dalam kehidupan masyarakat di Ende, gotong-royong merupakan suatu
sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi
kekurangan tenaga pada masa sibuk bercocok tanam di sawah. Dalam hal ini
petani hanya menyiapkan makan siang atau sore untuk orang-orang yang datang
membantu. Kompensasi lain tidak ada, kecuali pada suatu saat ia dimintai
bantuan, orang yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan
membantu. Kerja gotong-royong semacam ini hanya cocok dan fleksibel untuk
kerja bercocok tanam dalam skala usaha kecil, dan terbatas, terutama pada waktu
unsur uang belum banyak masuk ekonomi pedesaan.
Masyarakat di Kota Ende yang tergolong kurang mampu seperti buruh atau
orang yang bukan pegawai, kerja gotong-royong masih berlaku, misalnya
membangun rumah yang atapnya dari alang-alang dan dinding bambu (yang
bukan menggunakan tembok). Ada juga yang membangun dengan mengupah
tukang tetapi para pembantunya didatangkan dari kampung asal yang terdiri atas
sanak familinya. Kerja dengan sistem gotong-royong yang tetap berlaku di kota
yaitu kerja dalam rangka pesta perkawinan, upacara keagamaan di tempat ibadat
dan di tempat orang yang sedang kedukaan.
b. Meningkatnya kenakalan dan kejahatan di Kota. Adanya indikasi
semakin meningkatnya kejahatan dan kenakalan di kota dapat dilihat darti
banyaknya perkara, tertuduh dalam tindak pidana kejahatan. Dari data tahun 2012
dapat diketahui bahwa pelaku tindak kejahatan yang terjadi mulai dari umur 16
tahun sampai di atas umur 21 tahun. Terpidana yang telah diputus pengadilan
yang dipenjara berumur antara 16 sampai 21 tahun berjumlah 11 orang,
sedangkan umur di atas 21 tahun berjumlah 59 orang. Pelaku kejahatan yang
dikenai hukuman bersyarat atau percobaan umur di atas 21 tahun berjumlah 31
orang. (BPS Kabupaten Ende, 2013: 110)
Pelanggar ketertiban umum tahun 2010 berjumlah 10 orang, pencurian
tahun 2000 berjumlah 9 orang, tahun 2011 berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun
2012 berjumlah 10 orang. Untuk kasus pembunuhan tahun 2010 berjumlah 5
38
(lima) orang, tahun 2012 berjumlah 8 (delapan) orang dan tahun 2012 berjumlah 3
(tiga) orang. Kasus kesusilaan tahun 2010 berjumlah 3 (tiga) orang, tahun 2011
berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun 2012 berjumlah 3 (tiga) orang.
Dari berbagai kasus kejahatan, yang menarik ternyata penguni Lembaga
Pemasyarakatan di Ende kasus terbanyak adalah karena kasus pembunuhan yaitu
tahun 2010 berjumlah 66 orang, tahun 2011 naik menjadi 77 orang dan tahun
2012 berjumlah 57 orang. Terbesar kedua yaitu jenis kejahatan kesusilaan, tahun
2010 berjumlah 32 orang, tahun 2011 menjadi 34 orang dan tahun 2012
meningkat lagi menjadi 40 orang. Kejahatan terbesar ketiga yaitu penganiayaan,
tahun 2000 berjumlah 11 orang, tahun 2011 berjumlah 12 orang dan tahun 2002
berjumlah 14 orang. Selanjutnya berupa kasus pencurian, tahun 2010 berjumlah 7
(tujuh) orang, tahun 2011 berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun 2012 naik menjadi
12 orang (Ende Dalam Angka, 2010:116).
c. Menurunnya kesadaran alam lingkungan. Menurut pengamatan penulis,
kesadaran lingkungan masyarakat di Kota Ende dapat dikatakan masih kurang.
Indikasinya tampak dari kurang terjaganya kebersihan lingkungan terutama di
komplek perumahan, jalan-jalan umum, tempat-tempat fasilitas umum, pasar,
sungai dan sebagainya. Lingkungan yang cukup bersih masih terbatas di jalan-
jalan protokol dan di komplek perkantoran, dan perumahan golongan menengah
ke atas. Contoh lainnya yaitu sangat kotornya sungai di Wolowona. Masyarakat
masih membuang sampah dan bahkan membuang kotoran di sungai sehingga
menimbulkan pencemaran dan tidak layak lagi sebagai tempat untuk mandi,
mencuci dan sebagainya. Pembuangan sampah dan limbah yang masih
sembarangan oleh sebagian warga kota menunjukkan masih kurangnya kesadaran
terhadap kebersihan lingkungan.
Masuknya arus modernisasi telah memberikan pengaruh baik pengaruh
positip maupun yang merugikan kota dan warganya. Untuk itu diperlukan aparatur
kota yang memiliki pengetahuan tentang administrasi kota dan perencanaan kota.
Masalah keamanan kota harus dapat ditangani dengan sebaik-baiknya, sebab
kelalaian sedikit saja dapat menimbulkan kegelisahan penduduk yang akhirnya
menimbulkan masalah baru. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu kelancaran
39
dalam pelaksanaan pembangunan dan pengaturan tata kota harus dikerjakan
dengan cepat, tepat sebelum muncul masalah yang lain. Dalam rangka pemekaran
kota Ende, mesti diperhatikan adanya kerjasama yang baik antara aparatur
pemerintah mulai dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat kecamatan-kecamatan
dan desa, para wakil rakyat, dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar
pemekaran kota Ende tidak hanya menguntungkan kota Ende saja tetapi juga
bermanfaat dan memberikan nilai tambah bagi wilayah-wilayah lain sekitarnya.
Dengan cara itu maka dapat dihindari pembangunan yang hanya terpusat di
wilayah tertentu saja. Dengan kata lain dapat ditekankan bahwa pemekaran kota
harus dilihat tidak hanya secara mikro saja, tetapi juga harus dilihat secara makro.
Salah satu sumber pencemaran lingkungan hidup kota ternyata tidak dapat
dilepaskan dari akibat perkembangan kota dan kemajuan teknologi. Aktivitas
manusia baik dengan teknologi yang sudah maju ataupun teknologi yang
sederhana telah ikut menggoyahkan lingkungan karena kurangnya kesadaran
terhadap lingkungan dan kurang perhitungan dalam memanfaatkan teknologi.
Perlu diingat bahwa ketenangan hidup penduduk kota akan menurun bila terjadi
peningkatan dalam pencemaran fisis kota tidak terjaga seperti pencemaran air,
kebisingan suara, dan pencemaran udara. Selain bersifat fisis, degradasi
lingkungan kota dan desa, juga bersifat sosial. Misalnya rasa jenuh, rasa kesal
yang berkepanjangan, rasa jijik untuk tinggal di suatu tempat, rasa tidak aman,
tidak tenang dan sebagainya. Pembangunan perumahan yang tidak didukung oleh
studi kelayakan sehinga tidak sesuai dengan daya dukung kota, atau bertambahnya
kendaraan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, bertambahnya jumlah penduduk
yang tidak terkendali akan dapat mengurangi ketenangan hidup penduduk kota,
karena akan mengurangi kualitas hidup warga kota. Kota Ende dapat dikatakan
penduduknya belum terlalu padat. Luas wilayah Ende 2.046,60 km2 pada tahun
2011 penduduknya berjumlah 237.156 jiwa; pada tahun 2012 jumlah penduduk
Ende naik menjadi 240.675 jiwa. Ini berarti kepadatan penduduknya mencapai
116 tahun 2011 dan 118 pada tahun 2012. (BPS Kabupaten Ende, 2013: 37).
Sebelum kepadatan penduduk semakin meningkat ada baiknya mulai
dengan perencanaan pengembangan kota dibuat sedini mungkin agar di waktu
40
yang akan datang tidak perlu terjadi penggusuran yang berakibat menimbulkan
masalah sosial dan merugikan semua pihak baik pemerintah maupun warga kota.
Menata kota yang sudah ada akan lebih sulit dari pada membangun kota di lokasi
yang masih jarang penduduknya.
2.3 Pengaruh Budaya Luar.
Sebelum Belanda datang dan berkuasa di Ende dan Flores pada umumnya,
masyarakat di wilayah ini telah mendapat pengaruh budaya luar seperti dari
Kerajaan Majapahit di Jawa, pengaruh Islam dari Kerajaan Ternate, Bugis-
Makasar dan dari Bima. Selain itu juga mendapat pengaruh dari bangsa Portugis.
Dalam kesempatan ini berbagai pengaruh di atas akan disingung secara garis besar
saja untuk memahami latar belakang budaya pada masyarakat di wilayah Ende.
Pengaruh dari Majapahit. Pengaruh dari Kerajaan Majapahit di daratan
Flores lebih banyak dalam bidang kebudayaan seperti nama-nama pulau, nama
orang, nama gelar dan sebagainya. Nama pulau Solot, pulau Sumba dan pulau
Timur itu telah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam Kakawin Negara Kertagama
pupuh ke-14 atau bab XIV. Bunyi pupuh itu sebagai berikut :
“ Ikang sakasanusanusa Makasar Butun Banggawi
Kunir Galiyano mwang i Salaya Sumba Solot Muar
Muwah tikang I Wandan Ambwan athawa Maloko Wwanin
Ri Seran i Timur makadi ning angeka nusatutur ” (Kolit,1982: 33)
C.C. Berg berpendapat bahwa Prapanca sebagai penulis babad disebut
sebagai pujangga kesusasteraan sakti ( “piesters van de literaire magic”). (Putra
Agung, 2001: 10). Supomo dan Sutjipto Wiryosuparto mengatakan bahwa
Papanca lebih tepat disebut sebagai penulis sejarah. Ia dikatakan sudah cukup
kritis, telah menggunakan wawancara dengan bertanya kepada orang yang
dianggap tahu dengan memilih informan yang harus memenuhi kriteria tertentu
41
yakni: Satya, yang berati bertindahbenar; Susila yang berati berakhlak yang benar;
Satkula berarti dari keluarga baik-baik; Kadang haji yaitu masuk keluarga raja;
dan Suyasa yang berarti telah berbuat jasa baik (Wirjosuparto,1960:20).
Selain nama-nama pulau juga nama tempat yang disebut mendapat
pengaruh dari Majapahit seperti Bajawa yang merupakan ibukota Kabupaten
Ngada. Benteng Jawa nama sebuah desa yang menjadi ibukota Kecamatan
Lamba Leda di Ruteng ibukota Manggarai. Jawa dalam bahasa Lio-Ende dan
bahasa Nage dan Keo berarti jagung. Ini berarti kata jawa bukan saja berarti nama
tempat atau nama orang akan tetapi juga dapat berarti nama jenis makanan. Di
Kabupaten Sika dan Ende terdapat orang yang bernama Embu seperti Embu Iru,
Embu Rema, Embu Rahi dan sebagainya. Walaupun Embu sekarang untuk nama
orang, tetapi pada masa lampau kata Embu diberikan kepada orang yang memiliki
kesaktian atau keahlian dalam peperangan. Kata Embu diperkirakan juga dari
zaman Majapahit yaitu Empu. Empu yang semula berarti “tuan’ merupakan gelar
atau sebutan untuk para pengarang atau pujangga istana yang melakukan
pekerjaan sakral. (Kartodirdjo, 1968: 23). Apabila melihat berbagai pengaruh
seperti tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa nama-nama pulau, nama
tempat dan gelar yang ada di Ende dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya
telah ada sejak menjelang akhir abad ke-14.
Pengaruh Portugis. Sebelum masyarakat Ende berkenalan dengan bangsa
Belanda, bangsa Barat yang datang di Sunda Kecil adalah bangsa Portugis. Para
pedagang Portugis masuk ke Ende melalui perjalanan yang panjang yaitu dari
Malaka ke Maluku kemudian baru ke Sunda Kecil yaitu daerah Larantuka dan
Pulau Solor. Dari Pulau Solor Portugis menuju Pulau Ende, setelah itu baru masuk
ke Ende di Pulau Flores.
Kedatangan orang Portugis di wilayah Indonesia terjadi setelah Alfonso de
Albuquerque pada tahun 1511 berhasil merebut Malaka. Dalam bulan Desember
tahun yang sama Albuquerque mengirim ekspedisi ke Maluku. Ekspedisi terdiri
atas 3 (tiga) kapal dan 120 orang Portugis dipimpin oleh Antonio de Abreu,
42
sedangkan Francisco Serrao sebagai komandan salah satu kapal. Portugis berlayar
sepanjang pantai Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Flores, kemudian
belok ke utara dan sampai di Banda pada pertengahan tahun 1512. Dengan adanya
pelayaran ke Maluku ini mulailah terjadi kontak antara orang Portugis dengan
orang Indonesia. Hubungan yang dijalin mengambil beberapa bentuk yaitu
militer, kebudayaan, etnis, komersial dan keagamaan di setiap wilayah dan waktu.
Dari Maluku orang-orang Portugis terus ke Kepulauan Sunda Kecil yaitu ke
Solor, Larantuka di Pulau Flores, dan Timor. Flores menurut orang Portugis
diartikan Flowers yang berarti bunga. Disebut demikian oleh para pelaut Portugis
karena pada sisi sebelah Timur pulau tertutup oleh Flamboyan yang sedang
berbunga ( Franca, 1970: 48).
Mulai tahun 1522, pendeta/imam bekerja dengan tekun di Timor dan Solor
selama bertahun-tahun. Hasilnya dapat dikatakan sangat membesarkan hati. Pada
tahun 1561 Uskup Malaka mengirim misionaris Dominican untuk mendapatkan
tempat misi yang tetap di sana. Pada tahun 1566, Fray Antonio da Cruz mulai
membangun sebuah benteng di Solor dengan biaya dari Macao. Benteng itu
digunakan untuk mempertahankan misi dari serangan orang-orang muslim dari
Jawa dan Sulawesi. Di dalam benteng dibangun 4 (empat) gereja dan di sekeliling
tembok banyak rakyat hidup dengan makmur. Pasukan dibayar oleh Dominican.
Komandan pasukan juga dipilih oleh Dominican, walaupun pilihannya harus
dikonfirmasikan dengan penguasa yang berkedudukan di Malaka.
Pada waktu yang bersamaan Fray Asntonio da Cruz membangun Seminari
di kota tetanganya yaitu Larantuka (Flores). Pada tahun 1596 Seminari itu
memiliki 50 orang murid. Akan tetapi pada tahun 1577 telah ada 5000 orang
Katolik di Sunda Kecil. Misi mulai berkembang dan pada tahun 1596 benteng
lainnya dibangun untuk melindungi misi yang baru berdiri di Pulau kecil bernama
Ende di depan pesisir pantai selatan Flores. Di pulau ini dibangun (3) tiga buah
gereja.
43
Pada awalnya ahli waris raja Sika dan Larantuka yang dikirim untuk
belajar ke Malaka. Setelah menerka mengalami peribahan mereka mengadosi
gelar “Dom”dan sederetan nama-nama dari bangsawan Portugis yang kemudian
mereka melanjutkan menggunakannya bahkan sampai sekarang. Pada tahun 1613
Belanda bersekutu dengan kelompok-kelompok Muslim, conquered benteng Solor
dan Fled Portugis di Larantuka. Pada Tahun 1629, komandan Belanda
mengundurkan diri ke Larantuka. Di tempat itu mereka pindah ke agama Katolik,
dan beberapa waktu sesudahnya Belanda melepaskan tanggungjawabnya atas
Solor. Mereka tidak mendapatkan kepentingan komersial di wilayah itu. Pada
tahun 1630, benteng-benteng dipugar dan waktu itu datang 12 orang misionaris.
Kehadiran orang-orang Portugis sampai sekarang masih ada pengaruhnya.
Melalui perkawinan antara serdadu dan para pedagang Portugis dengan
penduduk asli lahirlah golongan Indo-Portugis yang dalam sejarah dikenal dengan
nama “Portugis-Hitam” atau Topasses. Demikian pula nama-nama orang di Flores
terutama di daerah Flores Timur juga masih menggunakan nama-nama seperti
nama orang Portugis.
Pengaruh Agama Katolik di Kota Ende. Usaha untuk merintis
perkembangan agama Katolik di wilayah Ende dimulai dengan singgahnya
Pimpinan Gereja di Perfektur Apostolik Nusa Tengara Timur yaitu Mgr. Noyen di
Ende untuk mencari kontak dengan Cotroleur Hens di Ende. Mgr Noyen pada
waktu itu akan mengadakan pejalanan ke Jawa untuk beruding dengan Gubernur
Jendral Idenburg di Jakarta. Mgr. Noyen ditemani Mgr. Luypen dan Superior
Engbers. Pertemuannya dengan Controleur Hens di Ende dimaksudkan untuk
berkenalan dan minta nasihat tentang beberapa masalah, berkonsultasi
menyangkut bruder guru, dan yang terpenting adalah mencari tempat sentral untuk
misi di Ende (Laan, SVD, 1969: 1095).
Pertemuan tidak dapat diadakan karena Controleur Hens sedang bepergian.
Namun demikian pada waktu Mgr. Noyen masih di atas kapal ia mendapat berita
44
dari Nyonya Hens yang isinya minta agar Mgr Noyen datang di Ende.
Disampaikan bahwa keadaan Ende cukup sehat, ada hubungan telepon yang baik,
jalan-jalan sedang dibuat dan suaminya memang pernah membicarakan suatu
tempat untuk Misi. Ada satu hal yang ditanyakan oleh Nyonya Hens yakni apakah
Residen Maijer di Kupang dapat menyetujui adanya pusat Misi di Ende,
mengingat di Ende masyarakatnya seluruhnya beragama Islam. Dan menurut Mgr.
Noyen dengan Residen Meijer di Kupang sudah tidak ada masalah yang berarti
dapat disetujui. Salah satu pendapat yang bernada pesismis datang dari Pater
Superior yang berpendapat bahwa Ende sebagai tempat kedudukan Misi tidak
baik dan tidak akan banyak hasilnya. Tempatnya tidak subur, dan bahkan
disarankan agar jangan dijadikan sentral. Lebih baik agak ke pedalaman, di tempat
yang lebih sehat dan lebih dingin dan penduduknya lebih baik dan sebagainya”
Tempat “Ende” mempunyai nama buruk di kalangan Yesuit.
Pada tanggal 27 April 1914 P. Noyen tiba di Ende lagi dan tiga hari
kemuidian yaitu tanggal 30 April 1914 Controleur tiba. P. Noyen menginap di
pesanggrahan, dan untuk makan ia mendapat kiriman makanan dari Nyonya Hens.
Lebih jauh lagi P. Noyen juga ditawari oleh Controleur Hens agar selama berada
di Ende tinggal di rumah controleur. Menurut penilaian P. Noyen keluarga Hens
adalah suatu keluarga Katolik yang baik. Hens memang sudah banyak berjasa
untuk Misi di Flores. Hens berusaha untuk menempatkan guru-guru Katolik di
bagian Barat, dan juga dengan mengirim anak raja dan anak ketua-ketua adat
pergi bersekolah di Lela, Maumere. Putera raja Ndona, yang tadinya bersekolah
di Kupang dan selama empat tahun di sana tinggal dengan orang Islam,
dipanggilnya pulang dan dihantar ke Lela (Arsip Regio SVD Ende.) p. 1111).
Sampai bulan April tahun 1914 sudah ada 75 anak laki-laki dan 6
perempuan dari onderafdeeling Ende yang mengenyam pendidikan di Lela
termasuk juga Pius Rasi Wangge yang kemudian diangkat menjadi raja. Pada
waktu Pius Rasi Wangge akan menikah dengan Yohana Boka di Lela, pada
tanggal 25 April 1914 diadakan pesta besar, bahkan yang menjadi saksi adalah
Gezahebber Ende Van Suchtelen dan Gezahebber Maumere yaitu Dannenberger.
45
Pada hari Minggu, tanggal 3 Mei 1914. P. Noyen menyelenggarakan
ibadat di dalam sekolah di Ende. Ibadat itu juga dihadiri oleh Tuan dan Nyonya
Hens. Ibadat itu dimeriahkan dengan nyanyian yang bagus yang dilakukan oleh
para guru dan orang Kristen. Dikatakan bahwa Hens mendapat kesan yang
mendalam dan menyatakan bahwa agamanya mengena di hati dan sesuai dengan
rakyat di Ende. Dia berpendapat bahwa Residen sendiri mempunyai perasaan
yang sama mengenai hal ini.
2.4 Faktor Geografis
Perkembangan Ende menjadi sebuah kota dapat dikatakan berawal dari
masuknya Pemerintahan Belanda. Seperti kebanyakan kota-kota di Asia, demikian
pun Kota Ende berkembang dari pusat pemerintahan kolonial. Pada mulanya kota
tradisional hanya dihuni para elit pemerintah dan religius. Mereka mendapat
dukungan surplus pertanian dari kantong-kantong desa sekitarnya yang dikeruk
melalui kombinasi kekuatan militer dan moral (Gilber dan Gugler, 1996:2).
Kolonial menempati daerah tertentu, membangun pusat pemerintahan dan sarana-
prasana demi kepentingan kelancaran urusan mereka. Pada saat yang sama daerah
itu mulai dikembangkan menjadi pusat pasar dan perdagangan, pusat sarana
transportasi (darat dan laut) dan pusat layanan informasi (telepon, media cetak).
Berbeda dengan pola perkembangan kota yang lain, Ende berkembang
dengan kombinasi antara hubungan pedagang Islam dan Portugis, Cina dan Arab,
dan antara keterlibatan gereja dan pemerintahan kolonial. Pada saat Belanda
masuk, misalnya di pusat perdagangan Ende sudah ada kelompok Cina dan Arab.
Lokasi tempat tinggal mereka menempati daerah strategis dekat pelabuhan dan
pasar sementara penduduk lain mendiami daerah pinggiran di utara dan selatan
(Suchtelen, 1921: 55-56). Boleh dikatakan bahwa Ende sejak sebelum masuknya
Belanda telah menjadi pusat bisnis dan menjadi pelabuhan antar pulau-pulau di
wilayah Nusa Tenggara.
46
Dari letaknya yang tampan, Kota Ende menjadi bagian dari sistem
ekonomi pasar Nusa Tenggara dan perlahan-lahan berkembang menjadi bagian
sistem perdagangan nasional bahkan internasional. Sejak awal pendudukannya
Belanda telah membangun sebuah dermaga sepanjang 165m di pelabuhan Ende
(Suchtelen, 1921: 55). Pembangunan pelabuhan ini tentu mempertimbangkan
aspek ekonomis penjajah di samping demi pertimbangan praktis keamanan.
Pembangunan sarana transportasi ini menjadi rencana program perdana
karena sejak awal masuknya (kira-kira tahun 1907) Belanda mulai mengerahkan
penduduk untuk membangun jalan raya dari kota Ende menunju Nangaba dan ke
arah timur. Setelah jalan raya, kemudian dibangun pula sebuah dermaga yang
menjadi dermaga tertua di wilayah Flores tengah. Pada saat kini, kota Ende telah
dilewati jalur komunikasi yang cukup lancar. Dengan memiliki 2 pelabuhan laut,
satu lapangan terbang serta jalan raya yang memadai mobilitas manusia dan arus
peredaran barang diduga cukup tinggi.
Pembangunan sarana transportasi memperlancar arus perdagangan ke
wilayah Ende. Namun sejak awal sektor perdagangan dikuasai kaum Cina dan
Arab. Penduduk asli masih tetap mempertahankan sektor primer di bidang
pertanian dan perikanan (nelayan). Sampai sekarang, seperti digambarkan dalam
figur sektor matapencaharian di atas, penduduk Ende yang asli masih memiliki
lahan pertanian atau bekerja sebagai nelayan kecil untuk menyambung hidup
mereka.
Kedatangan Belanda kemudian dilihat sebagai peluang baik bagi gereja
Katolik yang mulai mengembangkan sayapnya ke wilayah tengah dan barat Pulau
Flores. Setelah beberapa abad bermisi di wilayah timur Flores (misi Pulau Solor
dan sekitarnya), gereja telah menyiapkan banyak kader agama. Karena itu
pengembangan misi ke Flores tengah dan barat ikut menyebarluaskan tokoh-tokoh
katolik yang menjadi guru-guru dan penyebar agama di samping tukang dan
tenaga trampil yang mendukung karya pembangunan fisik gereja. Di Ende
47
kelompok Flores Timur misalnya yang datang bersama kegiatan misi kemudian
membangun enclave khusus di wilayah Kurubege, seperti juga kelompok Sabu-
Rote di wilayah Ipi. Segregasi etnis ini amat mencolok dalam pola pemukiman.
Orang-orang dari kelompok etnis yang sama cenderung membangun pemukiman
di tempat yang sama. Pola pemukiman demikian membuktikan bahwa orang
merasa lebih efektif berkomunikasi dengan kelompoknya daripada dengan
kelompok lain. Fenomena ini mungkin pula menggambarkan bahwa prasangka
antar etnis masih cukup tinggi. Sungguh merupakan suatu yang ironis bahwa
dalam masyarakat yang makin heterogen kohesi intra etnis justru semakin kuat
(bdk. Liliweri, 1994: 19).
Prasangka dan kecemburuan antar etnis membuat kondisi amat rentan
terhadap konflik sosial. Dalam kekuasaan kapitalisme, kesenjangan sosial
semakin tidak terbendung. Kelompok yang kecil akan semakin tidak berdaya
karena tetap dalam kondisi sebagai mangsa. Meskipun gejala prasangka etnis di
kota Ende kurang terasa, namun kecemburuan sosial di kalangan kelas bawah
cukup mencolok. Kasus pembakaran dan penjarahan toko-toko Cina yang terjadi
tahun 1979 dan 1987 membuktikan bahwa kondisi kesenjangan sosial amat rentan
bagi konflik (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 24 juli 2014).
Kehadiran gereja katolik dengan sistem organisasi yang rapi turut
menggusur penduduk asli yang beragama islam dan yang sejak beberapa abad
sebelumnya menjadi tuan tanah di Kota Ende. Gereja membeli tanah-tanah dalam
jumlah besar lalu membangun pusat-pusat pendidikan, usaha dan latihan kerja.
Secara struktural, gereja mendirikan sekolah-sekolah yang menciptakan kader-
kader perubahan. Selain itu dibangun pula sekolah ketrampilan (Ambactschool)
pada tahun 1926 (bdk. Uran: 173).
Pembangunan sekolah ketrampilan mengubah pula tatanan social kota
Ende. Dengan adanya sekolah ini mulai dihasilkan tenaga-tenaga trampil yang
perlahan-lahan meninggalkan sektor primer dan menggantungkan hidup pada
sektor-sektor sekunder. Lapangan kerja baru segera tercipta dengan ketrampilan
48
yang dimiliki dan secara alamiah mulai muncul persaingan yang menuntut
profesionalisme.
Pada masa sekarang kota Ende telah menjadi pusat pendidikan. Dengan
memiliki satu-satunya universitas dan 3 perguruan tinggi dari 9 perguruan tinggi
di Flores, kota Ende tetap menjadi incaran kaum muda. Di samping perguruan
tinggi, di Kota Ende terdapat 4 sekolah menengah kejuruan. Dua di antaranya
berstatus negeri dengan fasilitas yang memadai untuk menampung ribuan siswa.
Di balik kenyataan ini bisa diasumsi bahwa setiap tahun telah dihasilkan ratusan
tenaga trampil yang diharapkan bisa mengembangkan sektor usaha di kota Ende.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa differensiasi dan
stratifkasi sosial di kota Ende cukup heterogen. Dari data sensus 2010 terlihat
jumlah penduduk dari berbagai kelompok etnis menampilkan angka yang
mencolok. Figur yang sama terlihat juga dalam kategori agama. Sedangkan dalam
tingkatan sosial, kaum pedagang dan pengusaha ekonomi kelas atas masih
dikuasai kelompok Cina dan segelintir etnis Jawa dan Sumatra (Padang-Batak).
Mayoritas kelompok etnis lain menduduki strata sektor jasa khususnya pegawai.
Kelompok etnis Cina membuka tempat usaha di daerah dekat pantai di pinggir
jalan Sukarno-Hatta. Sementara di sektor informal serta buruh kasar dikuasai
kelompok kurang trampil. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari orang-orang
yang urbanisasi ke kota dan tak mendapat kesempatan yang layak.
Pada masa lalu, orang Ende sebagai orang asli dan memiliki tanah luas
menjadi tuan tanah yang berstatus lebih tinggi. Namun persaingan untuk
memperebutkan tempat-tempat strategis dalam ekologi urban menyebabkan
banyak pihak yang tergusur. Tempat-tempat strategis telah beralih ke tangan para
penguasa dan pengusaha. Sementara bagian kota lain telah diperjualbelikan di
antara penduduk.
Faktor letak geografis tempat tinggal penduduk Ende menunjukkan
kalangan yang mampu mendapat lokasi yang lebih strategis. Bagi penduduk yang
kurang mampu akan tinggal di daerah-daerah pinggiran seperti daerah pantai
49
untuk para nelayan dan daerah pegunungan untuk masyarakat etnis Lio.
Kecenderungan baru muncul dari kalagan etnis Cina. Mereka membuka usaha,
buka took-toko di daerah perkotaan yang ramai lalu-lintasnya, namun mereka
tinggalnya di rumah-rumah yang letaknya kearah pedalaman yang relatif sepi dari
kebisingan.
50
BAB III
KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL ENDE
3.1 Etnis Lio dan Etnis Ende.
Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnis, namun yang terbesar ada
2 (dua) yaitu etnis Lio dan Etnis Ende yang tinggal di daerah pantai Ende. Etnis
Lio merupakan etnis terbesar di Kabupaten Ende. Mengenai asal-usul nama Lio
ada beberapa pendapat.
Pertama, Lio merupakan singkatan dari bahasa Belanda Land in oorlog
yang dapat diartikan wilayah perang. Dengan pengertian ini dimaksudkan ada dua
orang perampok yang unggul yang bermental perang.orang Lise yaitu Woda dan
Wangge yang dijuluki gudu Woda budu, biga Wangge rago. Artinya Woda
menggemparkan dan Wangge menggegerkan. Rupanya dua orang bersaudara ini
memperluas wilayah Lise dengan cara menimbulkan kepanikan. Pendapat ini
kiranya kuamng tepat mengingat nama Lio sudah dikenal jauh sebelum Belanda
datang di wilayah ini.
Kedua, pendapat P. Rowa, Dinas Kebudayaan Kabupaten Ende yang
menyatakan bahwa Lio berasal dari suatu ungkapan Li Ine One atau sa Li, sa Ine,
dan sa One yang berarti sebaya, seibu dan sekeluarga. Ini bertai sama dengan di
atas Lio merupakan suatu kependekan yang menonjolkan adanya kesamaan atau
kesedrajatan dari tingkat usia, dari satu ibu yang melahirkan dan satu keluarga
besar yakni suku bangsa Lio. Walaupun terbagi dalam berbagai tanah
persekutuan, namun memiliki satu kesatuan dalambahasa, adat-istiadat, dan
kebudayaan. Jadi sebutan ini memiliki daya pemersatu. (Ketiga, pendapat dari
Simon Seko, Ria Bewa tanah persekutuan Lika Telu, Mautenda yang menyatakan
Lio merupakan kependekan dari Lise Ila Obo yang berarti Lise cahaya obor.
Pengertian semacam ini diperkenalkan sejak Raja Pius Rasi Wangge putra Ria
Bewa Wangge Mbete dinobatkan menjadi raja Tana Kunu Lima. Tana Kunu Lima
51
maksudnya ada lima wilayah tanah persekutuan yang disatukan menjadi Kerajaan
Lio untuk dikuasai oleh raja persekutuan Lise. perluasan wilayah Lise merupakan
akibat politik kolonial Belanda (Orinbao, 1992: 29-30). Melihat pelacakan asal-
usul kata Lio seperti diuraikan di atas masih terbatas pada perpanjangan kata Lio,
untuk lebih tepatnya masih perlu diadakan pengusutan lebih lanjut agar mendekati
kebenaran.
Atas dasar linguistik dapat diusut dasar nama Lio adalah O bukan sebagai
vokal tunggal, melainkan O sebagai nama lengkap sesuai dengan tata bicara suku
bangsa ini yang terarah untuk menyebut dirinya O. Dalam hal ini Li tidak berarti
sebaya melainkan berarti bunyi. Jadi rupanya nama Lio itu paduan kata Li dan O
menjadi Li O. Dalam membenarkan sesuatu orang Lio menyebut O yaitu Oo dan
Hoo yang dapat diartikan OK. Dalam pentasan tandak atau gawi, vokal O
diucapkan dengan elastis di mana vokal O diucapkan oleh ata sodha atau solis
untuk merapikan koor . Vokal o dibunyikan panjang kalau mungkin tanpa putus.
Sehubungan dengan pentasan tandak dapat dipertegas bahwa nama Lio mungkin
paduan kata Li berarti bunyi dan O untuk nama dasarnya. (Orinbao, 1992:30-31).
Pengusutan nama Lio atas dasar linguistik lebih cocok tetapi belum memperjelas
arti fungsional, jadi perlu dasar lain. Sejak zaman dulu orang Lamaholot
menyebut penduduk Kabupaten Ende Ata Soge Watan Lio Kiwang, yaitu orang
Ende penduduk pantai dan orang Lio penduduk pedalaman. Sebagai pemnduduk
pedalaman, orang Lio kurang berkontak dengan orang luar sehingga
menjadinisolationistis. Dikaitkan dengan letak geografis yang ganas, dapat
dikatakan orang Lio korban determinisme geografi. (Koentjaraningrat, 1969; 89).
Di samping pendapat di atas ada sementara informasi yang mengatakan bahwa
Lio itu berasal dari nama orang yaitu pimpinan rombongan pendatang yang
berasal dari Malaka sekitar 20 generasi yang lalu. Bila dihitung berarti orang-
orang Malaka yang datang sebelum atau bersamaan dengan kedatangan bangsa
Portugis abad ke-15 – 16.
52
3.2 Sarana Transpotasi
Sarana transportasi yang digunakan untuk hubungan antar pulau atau antar
daerah di kepulauan Sunda Kecil pada masa penjajahan Belanda yang utama
adalah transportasi laut.. Maskapai pelayaran milik Belanda yang besar pada
waktu itu yaitu Koninkijk Paketvaart Maatscappij (KPM). Kapal-kapal KPM ini
membawa hasil-hasil bumi ke luar Karesidenan dan juga sebaliknya dari luar
Karesidenan. Rute pelayaran kapal KPM diatur sebagai berikut ini.
1. Tiap-tiap 2 (dua) minggu sekali kapal KPM berlayar mulai dari
Surabaya, Ampenan, Taliwang, (Labuhan Haji), Sumbawa Besar, Bima,
Waingapu, Ende, Sawu, Roti (pelabuhan Korobafo), Kupang, Atapupu, Timor
Dili, Ilwaki, Dammar, Moa, Serwaru, Kisar, Timor, Dili, Atapupu, Kupang, Roti
(Pelabuhan Korobafo), Sawu, Endeh, Aimere, Waingapu, Labuhan Bajo, Bima,
Sumbawa Besar (Labuhan Haji), Taliwang (Ampenan), kembali ke Surabaya.
2. Tiap-tiap 3 (tiga) mingu sekali berangkat dari Makasar, Bima, Waihelo,
Waingapu, Aimere, Endeh, Sawu, Roti (Pelabuhan Korobafo), Kupang, Atapupu,
Timor Dili, Kalabahi, Larantuka, Maumere, Reo, Labuhan Bajo, Sapeh. Bima,
Makasar; dan sekali dari : Makasar, Bima, Labuhan Bajo, Reo, Waingapu,
Wathelo, Sapeh, Bima, dam kembali ke Makasar. Selain kapal-kapal KPM ada 2
(dua) kapal Gouvernement Marine yang diperuntukkan bagi pegawai pemerintah
yang bertugas di pulau-pulau atau daerah-daerah lain.
Di laut sebelah selatan Sumbawa, antara Sumba dan Flores, dan antara
Semau (Timoer dan Roti telah dihubungkan dengan hubungan telegraf oleh
British Australia yang menghubungkan Banyuwangi (Jawa Timur) dengan Port
Darwin (Australia). Hubungan komunikasi ini telah dirintis sejak tahun 1871 yang
kemudian menjadi milik Eastern Extension Australia dan China.( Velden, 1914:
6).
Jalan-jalan yang ada di wilayah Ende sebagian sudah dibuat pada masa
penjajahan belanda. Pembuatan jalan antara Ende ke Maumere cukup berat karena
medanya berbukit-bukit dan di sana sini dijumpai jurang yang dalam. Di Daerah
53
Wolowaru pernah terjadi kecelakaan yang meminta korban jiwa. Pad tanggal 7
Juli 1930 ada beberapa kuli mengali saluran air dekat gereja untuk mengairi
sawah seorang haji. Ketika sedang mengeluarkan batu-batu kecil yang menahan
batu besar yang letaknya lebih tinggi, tiba-tiba 3 (tiga ) orang sekaligus terindih
batu itu. Dua oprang meninggal seketika karena dadanya tertindih sedangkan
bagian kepala luka terbuka. Satu orang lagi masih dapat bertahan hidup untuk
beberapa menit saja. Salah satu dari8 mereka yang meninggal adalah seorang
yang beragama Islam yang meninggal karena luka pada tengkuknya. ( Bintang
Timoer Djilid VI No.3 September 1930, p. 47).
3.3 Interaksi Sosial
Bila diamati dengan saksama, maka penduduk kota Ende sebagian masih
gidup sebagai petani atau nelayan. Etnis Lio biasanya kehidupannya sebagai
petani, sedangkan etnis Ende yang beragama Islam lebih banyak berprofesi
sebagai nelayan. Dengan demikian maka masyarakat Kota Ende sebagian masih
hidup dalam suasana pedesaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka
masih tergantung pada desa atau daerah-daerah sekitarnya, misalnya kebutuhan
sayur-sayuran, air minum, buah-buahan dan sebagainya.
Apabila ada kontak atau hubungan antara dua wilayah atau lebih dan dari
hasil kontak itu dapat timbul sesuatu kenyataan yang baru dalam wujud tertentu,
maka hubungan yang sedang atau sudah terjadi itu dapat diartikan sebuah
interaksi (Bintarto, 19084: 61). Dengan pengertian seperti itu interaksi dapat
dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya ataupun proses
politik yang lama kelamaan akan menimbulkan suatu kenyataan atau realita baru.
Interaksi antara masyarakat Kota Ende dengan desa sekitarnya terjadi karena
beberapa unsur baik yang terjadi di dalam kota, di dalam desa ataupun di antara
kota dan desa. Interaksi dapat dipercepat dengan adanya berbagai kemajuan yang
terdapat dalam masyarakat desa sebagai akibat dibangunnya jaringan jalan dari
kota ke desa atau adanya saling pengaruh dan saling membutuhkan. Dengan
adanya perluasan jaringan jalan dan kemajuan dalam bidang perhubungan serta
54
lalulintas antar wilayah menyebabkan isolasi daerah pedesaan secara bertahan
akan berkurang. Hal ini berdampak pula semakin menuruinnya persentase
penduduk desa yang menggantungkan hidupnya dari bertani. Penduduk di
pedesaan tidak lagi bergantung pada bidang pertanian saja, akan tetapi mulai
menekuni bidang-bidang atau mata pencaharian yang bersifat non agraris.
Wilayah perbatasan antara desa dan kota yang dipengaruhi oleh tata kehidupan
kota disebut rural urban areas yangdisingkat rur-ban areas.
Walaupun kehidupan masyarakat daerah rur-ban ini masih hidup dari
pertanian, namun pada umumnya keadaannya lebih maju dari petani yang tinggal
di daerah rural. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (1). Kesempatan
untuk memperoleh mata pencaharian tambahan di Kota Ende sangat
dimungkinkan karena jaraknya dengan kota tidak terlalu jauh; (2) jarak yang dekat
dengan kota menyebabkan frekuensi pergaulan antara warga kota dengan warga
desa dapat lebih intensif; (3) kemungkinan untuk dapat menyekolahkan anak-
anaknya ke sekolah yang berkualitas lebih besar apabila dibandingkan dengan
penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari kota.
Pembangunan berbagai prasarana seperti jalan-jalan dan sarana
transportasi lainnya bus, kendaraan pribadi, sepeda motor dan sebagainya dapat
mengurangi terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi).
Orang dari daerah pedesaan yang bekerja di kota tidak perlu lagi harus tinggal di
kota, mereka tetap tinggal di desa dengan memanfaatkan transportasi yang ada
untuk pergi bekerja di kota. Dengan adanya jaringan penerangan seperti listrik di
daerah pedesaan, masyarakat di desa dapat memanfaatkannya untuk berbagai
keperluan seperti penerangan, lemari es, peternakan, televisi dan sebagainya. Di
daerah Ende tampak di ibukota-ibukota kecamatan dan pusat-pusat misi seperti
sekolah-sekolah, susteran atau biara-biara dan pastoran.
Hubungan desa dan kota tampak pula dalam pemenuhan kebutuhan di kota
Ende terhadap hasil-hasil pertanian dan perkebunan seperti sayur-sayuran yang
didatangkan dari daerah Nduaria, ubi dari daerah Nuabosi, padi dan buah-buahan
dari daerah Moni dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat kota Ende dapat
55
suplai buah-buahan dan sayur-sayuran segar dari daerah-daerah pedesaan sekitar
kota Ende. Untuk memenuhi kebutuhan daging di kota juga dipenuhi dari desa-
desa seperti daging sapi, kambing, dan babi. Barang-barang kerajinan juga
didatangkan dari daerah pedesaan seperti kain tenun khas Ende Lio yang
kebanyakan diproduksi oleh masyarakat di pedesaan sebagai pekerjaan sampingan
kaum wanita dikala senggang. Bahan perdagangan berupa tanaman perkebunan
juga berasal dari daerah pinggiran, misalnya Kelapa, Kemiri, Jambu Mete, Kopi,
dan Kakao. Sedangkan hasil hutan berupa Asam biji, Kemiri kupas, dan rotan.
Hasil kelapa banyak dijumpai di Kecamatan Nangapanda, Wolowaru, Ende,
Maurole, Ndona, dan Detusoko.
Sebaliknya kebutuhan masyarakat pedesaaan juga dipenuhi dari kota.
Barang-barang keperluan yang diperoleh dari kota seperti pakaian, alat-alat
keperluan rumah tangga, keperluan dapur, bumbu-bumbu, ikan asin, barang-
barang elektronik, alat-alat transportasi, mesin-mesin dan sebagainya.
3.4 Kehidupan Masyarakat Kota Ende
Berbicara tentang masyarakat kota selalu dikaitkan dengan imaginasi yang
bertentangan dengan masyarakat desa. Struktur sosial masyarakat kota cenderung
menampilkan variasi heterogenitas seperti digambarkan Louis Wirth,
...kota merupakan sebuah pemukiman individu yang heterogen,
permanen, padat dan relatif luas....Kepadatan melibatkan diversifikasi
dan spesialisasi, spontanitas kontak fisik yang dekat dan jarak hubungan
sosial, kontras yang menyolok, pola segregasi yang kompleks, kontrol
sosial formal yang kuat, dan menguatnya friksi antara fenomena.
Heterogenitas cenderung merusak struktur-struktur sosial yang kaku dan
menciptakan mobilitas, ketidakstabilan, situasi yang tidak aman.....”
(dalam Gilbert dan Gugler, 1996:158).
Lukisan Wirth di atas menyoroti dimensi kota yang cenderung negatif. Seperti
diketahui, tidak semua kehidupan kota sekian muram dan tanpa hal positif. Ada
banyak hal menarik dari kehidupan kota terlebih di kota kecil seperti Ende.
Bila fenomena kota di atas dipertentangkan dengan Kota Ende, hampir
dipastikan bahwa berdasarkan struktur sosial masyarakatnya, Ende belum bisa
56
dikategorikan sebagai kota. Namun fenomena sosial bukanlah satu-satunya
kriteria. Masih terdapat banyak kriteria lain yang mengkategorikan suatu tempat
sebagai kota misalnya matapencaharian masyarakatnya, arus komersil dan jumlah
penduduk. Dalam bab ini secara garis besar dipaparkan keadaan masyarakat dan
kehidupan kota Ende. Fokus perhatian penulisan lebih diarahkan pada situasi
sekarang meski di sana-sini disisipkan pula data historis sebagai perbandingan.
Untuk membahas masyarakat dan kehidupan Kota Ende, penulis bertolak
dari pemikiran Schoorl yang mengajukan tiga pertanyaan, yaitu: (1) sampai
seberapa jauh hidup di lingkungan kota itu berpengaruh atas manusia dan tingkah-
lakunya; (2) sampai berapa jauh ada tata kehidupan kota yang berbeda dari tata
kehidupan di[pedesaan, dan (3) sampai seberapa jauh ada tata kehidupan kota
yang seragam (Modernisasi, 1981) Walaupun hanya disebutkan tiga pertanyaan,
namun sesungguhnya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dikemukakan
seperti karakteristik lingkungan urban, masalah kelembagaan, kekeluargaan,
kekerabatan, pranata-pranata yang ada dan sebagainya.
Berbagai pertanyaan di atas bertolak dari kenyataan yang ada di
lingkungan masyarakat kota pada umumnya dan yang ada di Ende khususnya.
Dari keadaan yang ada di Kota Ende dapat dikatakan bahwa banyaknya relasi
yang terjalin di kota dapat mengakibatkan semakin berkurang atau bahkan tidak
mungkin terjadi kontak-kontak yang lengkap di antara pribadi-pribadi. Di dalam
masyarakat yang besar akan terjadi segmentasi hubungan-hubungan di antara
sesama manusia. Bersarnya relasi akan menyebabkan orang hanya saling
mengenal dalam hal yang terbatas, misalnya hanya satu peran saja seperti antara
pelayan toko dan pembelinya. Relasi itu tidak sampai mengenal lebih jauh, tidak
mengetahui bagaimana keadaan keluarga, pandangan hidupnya dan sebagainya.
Ada kecenderungan masyarakat sengaja menjaga untuk tidak terlalu banyak
berhubungan dengan orang lain dengan pertimbangan adanya konsekuensi-
konsekuensi terhadap waktu dan tenaga yang dimilikinya. Ia akan menjaga dirinya
terhadap potensi yang membahayakan atau merugikan dirinya dan keluarganya.
Dengan demikian ada kecenderungan orang kota untuk melindungi dirinya.
Apabila terjadi hubungan pribadi, hubungan itu dimanfaatkan sebagai sarana
57
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja. Hubungan yang lebih dominan terjadi
adalah hubungan sekunder, individualisme, toleransi, berpikir abstrak,
universalisme, berorientasi pencapaian (achievement), terbuka terhadap perubahan
(prospensity for change), instrumentalisme dan sebagainya.
Kehidupan masyarakat di Kota Ende dapat diketahui ada beberapa ciri
yang tampak. Ciri-ciri itu antara lain terdapatnya orang asing dan orang luar yang
telah diterima sebagai kondisi hidup yang normal di pemukiman-pemukiman.
Juga terdapat hubungan-hubungan yang impersonal, rasionalistik, berorientasi
tujuan atau interpersonal tunggal. Namun di sisi lain hubungan mereka juga
multipleks dan intens secara personal dengan kawan-kawan,. keluarga, dan
tetangga. Terutama pada generasi muda ternyata mudah terpengaruh oleh
perubahan-perubahan lebih-lebih dalamhal yang secara ekonomis tampak
mengungtungkan,maka akan segaera diikuti oleh masyarakat luas. Misalnya trend
anak muda Ende yang bergerak dalam bidang jasa sebagai ojek sepeda motor
yang semarak 3-4 tahun belakangan ini. Hal ini pun dengan cepat direspon oleh
para pemilik modal dengan menyediakan fasilitas kredit sepeda motor dengan
angsuran yang relatip ringan, sekitar Rp 25.000,00 per hari. Oleh karena sama-
sama menguntungkan, maka pemenuhan persyaratan menjadi lebih longgar, tanpa
SIM dan tanpa penyelidikan mengenai kelayakan secara ekonomis dan
ketrampilan, demi mengejar waktu dan kesempatan. Dampaknya tentu ada baik
positip maupun negatipnya. Dampak positipnya adalah meningkatnya mobilitas
penduduk. Masyarakat dapat bergerak ke segala penjuru masuk dalam gang-gang
di daeah perkotaan dalam waktu yang relatip singkat dan biaya yang cukup murah
yakni antara Rp 1.000-Rp 2.000,00. Sisi negatipnya, karena pengemudi
kebanyakan baru dan belum mahir mengendarai sepeda motor, dan juga banyak
yang tidak memiliki SIM maka kecelakaan banyak terjadi. Kecelakaan
diakibatkan kurang mahirnya pengemudi, kecepatan kendaraan yang tidak
terkontrol dalam situasi jalan yang berkelok-kelok, kesadaran berlalu-lintas yang
rendah, dan berpacu dengan waktu demi mendapatkan pemasukan agar dapat
menutupi setoran hariannya kepada pemilik kendaraan dan ada hasil yang
memadai untuk di bawa pulang. Sangat disayangkan masih banyak anak-anak
58
muda yang sering kebut-kebutan tanpa mengindahkan keselamatan baik dirinya
maupun orang lain (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 24 Juli 2014).
3.5 Penduduk dan Mobilitas Sosial
Jumlah penduduk kota pada umumnya bertambah karena migrasi masuk
seperti urbanisasi. Daya tarik kota menawan orang untuk mengadu nasibnya ke
sana. Meskipun banyak orang yang hidup tanpa harapan di kota karena tak
mampu bersaing atau mesti berhadapan dengan raksasa ekonomi-politik, banyak
yang seakan terbius untuk tetap tinggal di kota dan tak ingin kembali ke desanya.
Data pertumbuhan penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
penduduk di wilayah kota lebih tinggi dari wilayah desa. Hal ini disebabkan
karena hampir semua kota mengalami angka migrasi masuk lebih besar
dibandingkan dengan yang migrasi keluar (Hugo dkk, 1987: 101, 193).
Perkembangan Ende menjadi sebuah kota bermula dari suatu
perkampungan Ende yang dihuni sekelompok penduduk asli ata Ende. Pada tahun
1920 kampung Ende hanya berukuran 2 pal dengan lebar kira-kira 150m
(Suchtelen, 1921: 55). Jumlah penduduk kampung tersebut pun pasti tidak
seberapa karena pada saat Belanda mulai menguasai wilayah Ende, total
penduduk, termasuk di wilayah sekitarnya dalam distrik Ende sebanyak 19.687
(Suchtelen, 1921: 173). Jumlah ini belum memenuhi kriteria populasi urban
seperti yang dikemukakan berapa pakar. Menurut beberapa pendapat yang
diterima pula oleh PBB, jumlah total penduduk yang disebut populasi urban
minimal 20.000; di atas 100.000 dinamakan populasi kota, lebih dari 500.000
populasi kota besar, di atas 2.500.000 disebut multi milion dan lebih dari
12.500.000 dinamakan daerah metropolitan atau megacity (Marbun, 1979: 12-13).
Kriteria ini akan cocok dengan jumlah penduduk kota Ende sekarang yang
identik dengan Kecamatan Ende Selatan. Setelah kurang lebih satu kurun
dasawindu, jumlah penduduk meningkat menjadi 71.706 jiwa. Bila jumlah ini
dibandingkan dengan luas wilayah kota sebesar 74,02 km2 maka kepadatan
penduduk kota Ende hanya mencapai 957 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2003:
59
xiii, 22). Kepadatan ini amat rendah bila dibandingkan dengan kepadatan kota-
kota lain di Indonesia.
Menurut usia, jumlah populasi angkatan muda kelihatan jauh lebih besar
dari kelompok dewasa. Pada tahun 2011 jumlah umur 0 – 14 tahun sebanyak
12.004 jiwa (36,1%), usia 15 – 29 tahun sebanyak 10.821 (32,6%), sedangkan
yang dewasa 9.978 jiwa (35,3%) (BPS, 2011, 42). Salah satu faktor yang
menyebabkan komposisi yang tidak seimbang, dimana jumlah angkatan muda
jauh lebih besar ialah banyaknya jumlah sekolah di kota Ende. Anak-anak dari
wilayah desa dan daerah lain berpindah ke kota untuk mengenyam pendidikan
yang dipandang lebih bermutu.
Mobilitas penduduk kota Ende sekarang nampaknya cukup tinggi. Angka
migrasi neto kota Ende menunjukkan positif 33,69 (BPS, 2012:90). Hal ini
menggambarkan bahwa selisih jumlah migran yang masuk per seribu penduduk
lebih besar daripada migran keluar. Bila perubahan angka ini tetap dari tahun ke
tahun maka jumlah angka pertumbuhan akan terus naik.
Migrasi masuk ke Kota Ende dimulai sejak masuknya pemerintahan
Belanda. Untuk melayani sistem pemerintahannya Belanda membutuhkan
pegawai dan pekerja. Pada waktu yang hampir sama gereja katolik pun
mengembangkan misinya di kota Ende. Para misionaris pioner ikut membawa
serta guru-guru, tukang dan penginjil dari wilayah Flores bagian timur yang telah
lebih dulu dikristenkan. Namun patut disadari bahwa perkembangan penduduk
kota Ende tidak hanya dipengaruhi kedatangan kolonial dan gereja. Sejak awal
abad 20 kota Ende telah dihuni oleh berbagai kelompok etnis dan ras yang cukup
heterogen. Selain penduduk Ende yang asli, suku bangsa Lio dan berbagai etnis
lainpun sudah mulai menghuni kota Ende. Catatan Suchtelen menunjukkan bahwa
pada waktu itu sudah ada 61 jiwa orang Eropa, 199 Cina, 47 orang Arab dan 114
kaum pendatang dari wilayah Indonesia yang lain (Suchtelen,1921: 173).
Pada masa sekarang komposi jumlah menurut etnis pasti sudah berubah.
Seperti digambarkan hasil sensus tahun 2010, jumlah etnis Lio sebanyak 12.808
60
jiwa, Ende 25.917 jiwa, Bajawa 2.432 jiwa, Sabu-Rail Lawu 2.367 jiwa, Sika
1.181 jiwa, Manggarai 1.071 jiwa, Larantuka 1.034 jiwa, Jawa 1.570 jiwa dan
lain-lain termasuk Cina 8.227 jiwa (BPS 2010: 28). Kelompok etnis Cina masih
menunjukkan jumlah yang mencolok dan pengaruh mereka terasa amat kuat
karena mayoritas sektor perdagangan dikuasai kelompok ini. Kelompok Arab
yang pada awal abad 20 menunjukkan angak signifikan, sekarang jumlah meraka
menjadi minoritas yang hampir tak diperhitungkan.
Berdasarkan kategori agama, jumlah penganut islam dan katolik
merupakan yang terbesar disusul oleh Kristen dan sedikit penganut Hindu. Data
sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa di kota Ende terdapat 12.448 penganut
islam, 12.890 katolik, 1.939 kristen protestan, 159 hindu dan lainnya 15 jiwa
(BPS, 2010:13). Jumlah penganut agama cenderung mengikuti kategori etnis.
Pada umumnya etnis Lio, Ende pedalaman dan Flores lainya menganut agama
katolik. Etnis Ende pesisir menganut agama islam, sedangkan kristen diidentikkan
dengan etnis Sabu-Rote dan Hindu dengan orang Bali.
Berdasarkan lapangan kerja, penduduk kota Ende dengan kategori umur
15 tahun ke atas, yang bekerja berjumlah 25.209 jiwa, mencari pekerjaan 2.047,
bersekolah 8.506, lainnya 8.782 jiwa. Berdasarkan jumlah ini, prosentase yang
bekerja terhadap penduduk ialah 61,19% (BPS, 2010:72). Jumlah ini
menunjukkan bahwa angka ketergantungan di kota Ende cukup tinggi.
Lebih lanjut jumlah yang bekerja bila dikategorikan lagi menurut lapangan
usaha akan terlihat figur sebagai berikut: jumlah yang bekerja di sektor pertanian
tanaman pangan masih cukup signifikan yaitu 2.294 orang, perkebunan 97,
perikanan 1.092, peternakan 77, pertanian lainnya 552, industri pengolahan 4.417,
perdagangan 2.992, jasa 7.599, angkutan 931, lainnya 931 orang (BPS, 2000:81).
Mata pencaharian di sektor primer masih cukup menonjol. Hal ini
mengindikaskan bahwa wilayah kota Ende masih memiliki lahan pertanian dan
kurang mencerminkan situasi urban dimana penduduknya harus
bermatapencaharian di sektor sekunder.
61
3.6 Urbanisasi dan Urbanisme
Sebagai suatu kota, Ende telah menjadi sasaran urbanisasi. Mengalirnya
migrasi masuk ke kota Ende selain memperbesar jumlah penduduk namun di lain
pihak menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas dan anonimitas yang secara
perlahan mengubah wajah kota dengan cara hidup baru. Cara hidup baru sebagai
akibat kesuksesan eknomi di satu pihak namun dari segi sosial menjadi kekuatan
destruktif disebut dengan istilah urbanisme (Bintarto, 1986:13).
Ada 4 kriteria urbanisme yaitu adanya penduduk yang bermatapencaharian
nonagraris, sistem pendidikan yang menyebarkan pendidikan ketrampilan, suatu
kekuasaan politik yang stabil dan ada golongan pedagang dan pelayananan yang
mensuplai kebutuhan (Bintarto, 1986:13). Bila dibandingkan dengan Kota Ende,
kriteria ini amat sesuai dengan kenyataan sekarang. Jumlah matapencaharian yang
mayoritas di sektor jasa, adanya kelompok pedagang serta sekolah-sekolah
kejuruan telah memberikan peluang untuk berkembangnya polah hidup baru yang
dikenal dengan urbanisme.
Proses urbanisme pada mulanya dipicu oleh adanya urbanisasi. Paparan
figur migrasi masuk di atas membuktikan bahwa angka urbanisasi ke kota Ende
cukup mencolok. Daya tarik kota Ende sebagai kota pelajar amat mungkin
menjadi faktor pemikat utama. Data persekolahan yang ada di kabupten Ende
meninjukkan bahwa sebagian besar sekolah lanjutan tingkat atas berada di kota
Ende. Dari 57 SLTP se-kabupaten Ende, 18 SLTP (31,6%) berada di kota Ende.
Untuk tingkat SMU, dari 19 SMU di kabupaten, 13 (68,4%) berada di kota Ende.
Enam SMK di kabupaten Ende semuanya bertempat di kota Ende (BPS 2001, 82-
93). Pada tingkat Perguruan Tinggi, bila dibandingkan dengan situasi pendidikan
tinggi di Flores pada umumnya, mayoritas PT atau 6 dari 9 PT Flores (termasuk
satu-satunya universitas di Flores) berada di Ende. Tidak mengherankan bila
banyak orang melihat Ende sebagai pusat pendidikan yang menyebabkan arus
urbanisasi terus meningkat.
62
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, muncul kebutuhan akan
lapangan kerja yang makin besar. Sebagai contoh, maraknya sektor informal di
kota Ende mulai dari penjaja keliling (vendors), home industry dan berbagai
usaha lain yang tidak berbadan hukum mengindikasikan bahwa persaingan kerja
semakin kompleks. Dalam persaingan hidup yang keras, kecendurangan
individualisme akan semakin kuat dan di lain pihak muncul pula ekses-ekses
pengangguran, kriminalitas dan berbagai bentuk kejahatan. Benar bahwa
urbanisme di satu pihak menyajikan gaya hidup yang lebih modern dengan
jaminan ekonomi yang menentramkan namun di lain pihak merusakkan tatanan
sosial yang ada.
63
BAB IV
PERAN PRANATA SOSIAL DAN PEMUKA MASYARAKAT
4.1 Struktur Sosial Masyarakat Lio-Ende
Pada umumnya masyarakat dibagi-bagi atas strata (tingkat atau kelas)
sosial. Masing-masing strata mempunyai orang yang dituakan dan bertindak
sebagai panutan atau pemimpin. Strata tersebut menjadi suatu pola struktur
ketidaksetaraan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ada kelompok
yang secara sosial dianggap lebih tinggi, yang lain dilihat sebagai lebih rendah
atau kelas menengah. Tingkatan sosial yang terpola ini bisa bervariasi dalam
jumlah dan kriteria/standard pembedaannya. Dalam masyarakat yang sangat
hirarkis, tingkat sosial bisa mencapai jumlah 9 kelompok. Namun pada umumnya
hanya terdapat 3 atau 4 kelas sosial. Dalam masyarakat Hindu terdapat 4 strata
dan masyarakat lain seperti Lio-Ende terdapat 3 yakni kelas atas, menengah dan
bawah.
Pembagian strata (tingkatan) sosial didasarkan pada beberapa kriteria seperti
ekonomi (kelas yang memiliki dan tidak memiliki, yang kaya, menengah, miskin), kriteria
bisa dibuat dan tidak bisa (pemimpin dan bawahan), kriteria akses dan kesempatan
hidup (lahir dari keluarga bangsawan dan miskin), posisi-posisi sosial yang lebih disukai
(artis, religius, trampil/skilled dan awam).
Dalam praktek sehari-hari kelas-kelas sosial ini sangat dibedakan dalam
penentuan pola laku atau hanya sebatas fungsi atau peran-peran tertentu. Sebagai
contoh, dalam masyarakat berkasta, hampir seluruh aspek sosial dan bahkan
dalam pergaulan sosial selalu terjadi pemisahan (segregasi) sosial antara kasta
yang satu dengan yang lain. Kasta bawah harus menempati posisi duduk di bawah
kalau ada bersama kasta atas. Fungsi-fungsi sosial lainpun amat dibatasi untuk
kelas bawah.
Masyarakat Lio mengenal pula pembedaan kelas-kelas sosial. Pada
umumnya terdapat dua kelas sosial yaitu kelas atas yang dikenal sebagai
64
pemimpin (mosa laki, ata ngga’e, ata ria) dan kelas bawah yakni khalayak umum
yang disebut sebagai ana kalo fai walu. Di beberapa tempat terdapat pula kelas
bawah yang disebut sebagai aji ana (adik-anak). Dalam pemahaman Lio-Ende, aji
ana dikaitkan dengan orang-orang yang nasib hidupnya ditebus atau dijamin oleh
orang lain yang seakan menjadi orang tua asuh atau majikan. Berdasarkan status
ini sering kali aji ana diidentikan sebagai kelompok hamba (budak).
Pengelompokan strata didasarkan pada kesempatan hidup karena kelahiran
misalnya seorang yang lahir dari golongan mosalaki akan tetap menjadi mosalaki.
Hal yang sama terjadi pula dengan kelompok menengah (ana kalo fai walu) dan
aji ana. Ana kalo fai walu memiliki makna etimologis yatim piatu dan janda
namun yang dimaksudkan ialah masyarakat umum selain mosalaki. Ungkapan ini
merupakan simbol dari golongan yang perlu mendapat perlindungan karena tidak
punya hak dan kewajiban sosial yang memadaiDengan demikian mobilitas
vertikal antar strata amat sulit terjadi dalam masyarakat Lio-Ende. Namun kedua
kelompok strata atas yaitu mosalaki/ata ria dan ana kalo fai walu bisa bergerak ke
strata terendah karena alasan-alasan tertentu seperti:
a. Kalah perang atau tawanan perang. Masyarakat Lio-Ende tradisonal
merupakan masyarakat yang suka berperang. Kecenderungan ini
mendorong masyarakat Lio-Ende untuk membangun perkampungan yang
sekaligus berfungsi strategis sebagai benteng pertahanan melawan musuh.
Struktur kampung dibangun dengan mempertimbangkan kondisi ini. Amat
masuk akal bisa kampung-kampung dulu dibangun di atas puncak bukit
dengan pagar batu yang kuat.
b. Utang dari orang tua yang tidak bisa dilunaskan lalu anak-anak dijadikan
sebagai pekerja (aji ana) yang mengabdikan seluruh hidup bagi si tuan.
c. Yatim piatu yang secara ekonomis tidak mampu mempertahankan hidup
dan mesti bergantung pada pihak yang lebih mampu. Peran ekonomis dari
orang tua asuh ini terlihat dalam urusan belis perkawinan. Aji ana akan
mendapat bantuan belis dari orang yang mampu. Dengan demikian seluruh
65
hidupnya mesti menjadi kesempatan membalas kembali jasa dari orang tua
asuh.
d. Pendatang dari wilayah (kampung) lain yang meminta tinggal di kampung
itu lalu diadopsi sebagai anak atau anggota keluarga oleh salah seorang
anggota masyarakat yang memiliki status sosial atau ekonomi cukup
tinggi.
e. Tuntutan ekonomis yang tidak bisa dipenuhi lalu ditebus oleh seorang
yang mampu. Dalam banyak kasus, orang yang melakukan kesalahan
misalnya menyebabkan kebakaran kampung atau lumbung dan sebagainya
mendapat sanksi untuk membayar seluruh kerugian. Orang yang tidak
mampu membayar lalu meminta bantuan dengan jaminan haknya untuk
dipekerjakan sebagai aji ana bagi si penebusnya itu (Hasil wawancara
dalam FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014).
Dalam kenyataan pada umumnya kelompok aji ana tetap mandiri dengan
mendiami rumah sendiri dan cuma sesekali membantu si majikan. Dalam praktek
lain di mana aji ana mendiami sa’o ria yang sama, tuntutan bagi mereka menjadi
lebih besar karena mereka menjadi amat dependen. Mereka tidak memiliki hak
yang sama dengan anggota klan yang lain misalnya tidak memiliki hak atas tanah
dan warisan, mendiami bagian yang tidak terlalu penting dalam rumah seperti
tidur di tenda luar, dan sering diperlakukan tidak adil.
Semua ketentuan yang mengatur dan memimpin setiap lapisan masyarakat
sudah ditentukan. Ia ditaati sebagai tetua adat sehingga masyarakat mau tunduk
dan taat pada apa yang telah diputuskan. Demikian pula bila ada perselisihan
maka akan diselesaikan secara adat. Dengan ketaatan semacam itu maka
perbedaan dan perselisihan dapat diatasi sehingga kerukunan baik antar sesama
mereka maupun dengan pendatang akan dapat terjaga.
4.2 Sistem Perkawinan
Perkawinan menjadi salah satu cara untuk mempersatukan masyarakat
antar suku, antar agama maupun antar budaya pada masyarakat Ende. Perkawinan
66
merupakan suatu yang kodrati. Namun sebagai makluk sosial yang berakal budi,
praktek perkawinan diatur sebagai kontrak sosial dan dilegitimasi dalam institusi
keluarga. Secara terselubung, perkawinan dan hidup keluarga sebenarnya
memberikan legitimasi hubungan sex di samping fungsi-fungsi lain.
Masyarakat Kota Ende pada prinsipnya menganuti tujuan yang sama di
atas. Namun dalam praktek hidup sosial, fungsi reproduksi amat diutamakan.
Kesuburan dikaitkan dengan peran istri (tuka nge kambu wonga) sehingga istri
yang tidak memiliki anak dipandang rendah dalam kedudukan sosial. Dalam
setiap ritus perkawinan dan wacana perkawinan selalu disisipkan harapan untuk
mendapatkan keturunan (nge bhondo beka kapa; mora sa wonga benu sa bhoa).
Sebagai konsekuensi mengutamakan tujuan ini, masyarakat Lio-Ende cenderung
mentolerir poligini. Suami menikahi lagi istri kedua atau menceraikan istri mandul
dan mengawini wanita lain demi mendapatkan keturunan.
Selain mengutamakan keturunan, perkawinan bertujuan mengikat
hubungan antara dua keluarga besar yaitu keluarga besar si istri dan si suami.
Ikatan ini dibuktikan dalam hubungan pertukaran (wuru mana) yang tidak hanya
terjadi saat proses pernikahan melainkan seumur hidup pada setiap moment-
moment penting. Praktek ini seakan menuntun kita pada suatu kesimpulan bahwa
masyarakat Lio-Ende lebih mengutamakan hubungan perkawinannya (afinitas)
daripada hubungan darah (consanguinitas). Namun ikatan ini berbeda dengan
praktek di wilayah Melanesia yang sengaja menikahi wanita dari suku yang
menjadi musuh sebagai strategi untuk menjalin kekuatan dalam berperang. Tujuan
perkawinan bukan sekedar mendapatkan keturunan melainkan untuk mendapatkan
saudara ipar yang akan memperkuat pembelaan diri suku saat berperang atau
diserang musuh (Burguire cs. 1996: 4).
Tujuan lain dari perkawinan pada masyarakat Kota Ende (Lio-Ende) ialah
memperoleh kesejahteraan hidup yang nyata dalam kesehatan fisik dan
kesuksesan karya: kolo ma’e ro, ote ma’e node; tu’a ngere su’a wua, maku ngere
watu wanda. tedo tembu wesa wela, peni nge wesi nuwa, tuka nge kambu wonga,
tebo keta lo ngga, gne bhondo beka kapa. dhawe bo’o kewi ae; so sai gepa gena
67
(semoga sehat walafiat, luput dari penyakit dan gangguan pikiran, tegar bertahan
seperti batu wadas; Semoga usaha berhasil, sukses dalam usaha pertanian dan
memelihara ternak, sehat sejahtera, berkembang subur, dan sukses dalam segala
usaha).
Perkawinan mengenal berbagai bentuk dan praktek namun secara umum
dibedakan bentuk perkawinan endogami yaitu antara orang yang sesuku atau sama
klan, ras atau agama dan eksogami yang berbeda klan, ras atau agama.
Berdasarkan warisan dan garis keturunan, perkawinan dibedakan atas patrilineal
yaitu yang mengikuti garis bapa, perkawinan matrilineal yang mengikuti garis
mama, perkawinan bilateral yang mengikuti garis keturunan yang paling dekat
tanpa mempertimbangkan garis genealogis dan bilineal yang mengikuti dua garis
keturunan bapa dan mama.
Mayarakat Lio-Ende pada umumnya mengenal bentuk perkawinan
patrilineal dimana garis keturunan dan aliran warisan ditentukan menurut garis
bapak. Dalam sistem ini, tempat tinggal keluarga biasanya di rumah keluarga laki-
laki. Selain itu dalam praktek dulu, perkawinan masyarakat Lio-Ende mengadopsi
perkawinan endogami dimana perkawinan ana eda (anak om atau cross cousin)
menjadi bentuk yang paling ideal. Ketika terjadi mobilitas yang makin tinggi dan
juga karena larangan agama Katolik untuk menikahi sepupu tingkat pertama, jenis
perkawinan endogami ini mulai perlahan-lahan ditinggalkan (Hasil Wawancara
FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014)
Bila dibandingkan dengan masyarakat lain seperti di Eropa yang melihat
perkawinan sebagai kontrak, masyarakat Lio-Ende membangun perkawinan yang
berlangsung melalui proses pertukaran terus-menerus dan terjadi sepanjang hidup
kedua insan nikah. Melihat praktek ini, perkawinan tidak menjadi semacam
kontrak melainkan semacam proses pertukaran antara dua aliansi keluarga besar.
Proses pertukaran yang terjadi dalam urusan perkawinan awal akan terus
dilanjutkan dalam seluruh proses hidup khususnya dalam peristiwa atau hajatan
tertentu seperti kematian, perkawinan anggota keluarga dekat, pembangunan
rumah, pengerjaan kebun, dll. Peristiwa perturakan antara pihak keluarga laki-laki
dan wanita dikenal sebagai wuru mana.
68
Dalam proses perkawinan dan wuru mana, pihak laki-laki memberikan
belis berupa emas yang berbentuk seperti vulva, gading, hewan besar (kerbau,
kuda, sapi, dan babi) dan uang. Pihak wanita membalas pemberian ini dengan
materi yang berhubungan dengan peran wanita seperti makanan (beras, kue) dan
pakaian (ragi, lawo, lambu, luka). Pertukaran ini berlatarbelakangkan
pertimbangan kosmologis yakni pihak wanita yang memberikan anak gadis
sebagai darah atau kehidupan kepada pihak laki-laki mesti diimbangi dengan
sejumlah barang. Namun dalam tradisi Lio-Ende penerimaan ini mesti diimbangi
dengan sedikit balasan penghargaan. Kalau dilihat secara ekonomis jumlah materi
yang diberikan pihak wanita hampir seimbang dengan yang diberikan pihak laki-
laki. Dengan demikian dalam masyarakat Lio-Ende sebenarnya tidak terjadi
pembayaran mas kawin (belis) atau bridewealth (barang untuk kesejahteraan
wanita seperti dalam masyarakat Timur Tengah atau India). Perkawinan menjadi
suatu proses pengikatan hubungan antara dua keluarga besar dan pertukaran ini
diteruskan dalam seluruh proses hidup melalui wuru mana.
Pada prinsipnya perkawinan bersifat monogami seperti dalam pesanan
adat yang menuntut kesetiaan dan keutuhan ikatan sampai selamanya: boka rapa
modha. Rike ma’e towa bowa. Ndawi ngere koti dati, boka rera modha du bopa,
lai raka lala du mata. Dhembi ngere muku sepi, ma’e wika wi’a ngere muku lika.
Namun dalam hidup sosial, terdapat praktek perkawinan poligami (poligini) yaitu
satu suami dengan istri lebih dari satu. Masyarakat Lio-Ende tidak menganggap
praktek ini sebagai warisan tradisi melainkan suatu demonstrasi status sosial-
ekonomis. Biasanya orang yang memiliki status sosial tinggi atau karena
kemampuan ekonomis mempraktekkan perkawinan poligini (bdk. Prior,
1988:221).
Dalam praktek masyarakat Lio-Ende dikenal berbagai bentuk perkawinan
menurut proses pemilihan pasangan atau tahap-tahap peresmian perkawinan.
Secara umum dibedakan perkawinan yang mengikuti proses resmi dengan
dukungan dan restu keluarga besar dan perkawinan yang tidak melalui proses
resmi dimana si calon istri dan suami memilih jalan pintas sebagai siasat
memaksakan kehendak mereka kepada pihak orang tua atau keluarga besar.
69
Perkawinan Dhuku Tu Lengge Lima (nika ana eda doa atau cross
cousin). Perkawinan ini terjadi antara anak wanita dari saudara dengan anak lelaki
saudari. Dalam masyarakat Lio-Ende dulu, dimana mobilitas masih terbatas dan
kuatnya eksklusivisme, bentuk perkawinan ini merupakan perkawinan ideal.
Tujuan perkawinan ini ialah mempertahankan ikatan kedua keluarga besar
(keluarga pemberi istri dan penerima istri) dan sekaligus menjaga keharmonisan
aliran belis dari satu pihak ke pihak yang lain. Belis yang diberi oleh pihak lelaki
kepada si wanita, tidak boleh dibalikkan lagi dari pihak wanita kepada si lelaki.
Dengan demikian, hubungan antara pemberi istri dan pengambil istri tetap sama
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun sejak masuknya gereja Katolik
perkawinan ini mulai dilarang karena bertentangan dengan hukum gereja
meskipun sampai sekarang masih terdapat praktek di sana-sini. Bentuk
perkawinan ini biasanya melewati proses negosiasi yang lebih sederhana dan
tuntutan belis yang lebih mudah. Namum seringkali status sosial yang tinggi serta
gengsi keluarga menjadi alasan untuk memperumit proses dan tingginya belis.
Perkawinan Pa’a Tu’a . Bentuk perkawinan ini diatur kedua belah pihak
orang tua tanpa persetujuan kedua insan. Biasanya pihak orang tua wanita yang
seakan menyerahkan anak gadis mereka kepada pihak laki-laki karena telah
menerima belis jauh hari sebelum terjadi perkawinan itu bahkan ketika anaknya
masih kecil. Bentuk ini seakan memaksakan kehendak orang tua kepada anak-
anak. Kadang-kadang dalam perkawinan ini diperhitungkan belis dari si ibu gadis
tersebut yang telah diberikan melebihi tuntutan dan kemudian dianggap sebagai
piutang yang harus dibayar dengan menyerahkan anak gadisnya kepada pihak
keluarga laki-laki.
Perkawinan Ana Ale. Perkawinan antara dua insan melalui proses
peminangan dan didasarkan pada jodoh kedua insan tersebut. Dalam perkawinan
ini, pilihan jodoh ditentukan oleh kedua insan laki dan wanita itu sendiri. Dalam
ungkapan Lio perkawinan ini disebut sebagai perkawian dei ngai pawe ate.
Bentuk perkawinan ini melewati proses adat yang cukup panjang dan jumlah belis
disepakati kedua belah pihak. Proses perkawinannya menggunakan perantara atau
70
jembatan yang dikenal dengan bheto bewa tali nao (bambu dan tali ijuk panjang
sebagai simbol penghubung). Secara teoretis, bentuk perkawinan ini merupakan
perkawinan ideal bagi kawula muda dulu.
Perkawinan Mera No’o Tebo Nika No’o Weki (Poto Kolo Renggi Eko)
Dalam perkawinan ini pihak pria tidak memberikan belis atau hanya memberikan
sedikit belis dengan akibat si pria menjadi anggota keluarga wanita (kawin
masuk). Biasanya disebabkan karena pihak wanita tidak memiliki keturunan atau
karena pihak lelaki tidak sanggup membayar sejumlah belis yang dituntut pihak
wanita.
Perkawinan Paru Dheko atau Paru Kaki (lari ikut). Perkawinan terjadi
setelah si wanita melarikan diri dan menyerahkan diri ke keluarga laki-laki.
Setelah penyerahan diri langsung diproses peresmian perkawinan mereka. Belis
pada umumnya tidak dituntut karena seluruh hak keluarga wanita dianggap hilang
dengan penyerahan diri si gadis itu. Setelah wanita menyerahkan diri ke rumah
orang tua wanita, pihak keluarga wanita akan mengikutinya dengan nama ndu tei
leti deki untuk menuntut urusan anaknya. Biasanya perkawinan ini terjadi karena
si gadis ingin memaksakan pilihannya kepada orang tua atau keluarganya. Dalam
proses adat dulu perkawinan semacam ini sulit diterima karena belis sebagai
faktor utama dalam adat telah diabaikan. Dalam praktek sekarang, bentuk
perkawinan ini menjadi semacam taktik dari si gadis untuk memaksakan orang tua
menyetujui pilihan jodohnya.
Proses Perkawinan (bdk. Muspas III, 1994: MN/B1/I/1). Perkawinan
biasanya dimulai dengan perkenalan antara kedua calon nikah dan dilanjutkan
dengan proses lamaran lalu peresmian ikatan perkawinan. Dalam masyarakat
tradisional Lio-Ende, perkenalan terjadi dalam pergaulan antara kawula muda
yang menggunakan ungkapan-ungkapan kiasan (sena neka, simbi sena) sebagai
bentuk pernyataan isi hati kepada calon kekasih. Bentuk kiasan ini menyatakan isi
hati dan ditanggapi si gadis dengan pola yang sama. Bila ada semacam gayung
bersambut keduanya akan meneruskan kepada ikatan jodoh (dei ngai pawe ate).
71
Namun seringkali tidak terjadi interaksi perkenalan secara formal antara kedua
insan. Hubungan perkenalan mereka terjadi lewat keluarga atau kedua pihak orang
tua. Dengan demikian calon istri atau suami pasrah kepada keluarga untuk
dijodohkan. Berdasarkan tahap perkenalan ini, sebagai tahap awal selanjutnya
mengantar kedua insan kepada urusan selanjutnya yaitu tana ale (perkawinan
dengan proses peminangan resmi), lari ikut (paru dheko), mera no’o tebo, atau
kawin pintas (langga dowa lopa lelo dowa lani; mba do oto witu lora do kaju
karo; atau be’i leka lisa muku ngare leka naku ae).
Secara umum perkawinan adat Lio-Ende melewati tahap-tahap berikut:
Tahap lamaran: Dalam tahap ini dikenal beberapa ritus seperti
peminangan, ruti nata (ajakan untuk makan sirih) atau teo lambu
(menggantungkan baju sebagai tanda ikatan) atau tipu tanda (ru’u tu’u jaga rara).
Lamaran dari pihak keluarga laki-laki biasanya dilakukan oleh seorang utusan
yaitu orang tua atau anggota keluarga dekat namun pada umumnya digunakan
seorang perantara yang dinamakan hai jala atau poka pada wela leta atau beto
bewa tali nao. Utusan atau hai jala bersama keluarga mempersiapkan emas
pusaka yang akan dibawa sebaga tipu tanda (bukti kalau si gadis menerima
lamaran) disertai doa (batu na’u) yang memohon perlindungan nenek moyang
untuk mempermulus proses lamaran. Setelah tiba di rumah wanita, hai jala akan
diterima pido pu’u rete kamu (saudara laki-laki dari ibu si gadis yang menjadi
penanggung jawab pihak wanita dalam urusan ini). Si hai jala akan memulai
pembicaraan setelah disuguhkan sirih pinang atau rokok (nata mbako). Dia akan
menggunakan bahasa kiasan untuk mengungkapkan maksudnya misalnya
menanyakan lahan kosong untuk digarap (ngebo eo ndu’a dowa). Bila dia
menerima jawaban positif maka proses lamaran akan dilanjutkan dengan tipu
tanda yaitu peresmian lamaran. Seekor ayam akan disembelih disertai doa mohon
restu nenek moyang. Pada waktu itu diserahkan pula emas pusaka sebagai tanda
peresmian ikatan tunangan antara si pria dengan si gadis itu. Proses ini disebut
sebagai tipu tanda (pemberian cap resmi atas dimulainya proses perkawinan), atau
72
ruti nata (ajakan untuk makan sirih), atau ru’u tu’u jaga rara. Bila kemudian si
wanita menerima lagi lamaran pria lain maka ia akan didenda untuk membayar
pihak lelaki liwu lima eko lima (lima liwut emas dan hewan besar lima ekor).
Sebaliknya bila pihak pria mengkianati cintanya, emas tipu tanda dianggap hilang
(ngawu lewa). Setelah proses tipu tanda maka diadakan kesepakatan untuk
meresmikan perkawinan (pere kobe leku leja) dengan membawa belis besar (Hasil
wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 23 juli 2014).
Tahap Peresmian Pernikahan: tu ngawu ria, mera duri ka sama pesa bela,
weka te’e soro lani. Setelah tahap lamaran, pihak keluarga pria mengumpulkan
keluarga besar untuk menghimpun barang-barang yang akan dibawa sebagai belis
inti (belis besar, ngawu ria). Yang terlibat dalam pengumpulan belis ialah orang
tua, weta ane dan eja kera (saudari dan ipar, suami saudari), serta anggota
keluarga besar lain yang terkait dengan pihak pria. Setelah semuanya tersedia,
pihak laki-laki yang disebut ana embu akan beramai-ramai menghantar belis ke
pihak wanita (ine ame). Mereka akan disambut di tenda yang telah disiapkan,
disuguhkan mbako, keu-mota dan filu-kibi (rokok, sirih pinang dan peganan serta
emping) sebelum perundingan tentang belis dimulai. Pembicaraan tentang belis
dimulai setelah suguhan kekeluargaan. Bila kedua pihak telah sepakat dengan
belis yang dibawa, maka diteruskan dengan upacara makan bersama sebagai
peresmian perkawinan antara si pria dan wanita. Pada kesempatan itu si wanita
dipersilahkan masuk ke tenda didampingi ibu dan seorang teman wanita sebaya.
Ia membawa piring berisi sirih pinang yang disuguhkannya kepada kedua orang
tua menantu. Kemudian si pria mengambil piring yang sama, menaruh emas di
atasnya lalu menyerahkannya kembali kepada orang tua wanita. Pada waktu itu
keduanya dipersilahkan untuk duduk bersanding lalu makan dari satu piring dan
minum dari satu mangkuk. Acara peresmian ini dilanjutkan dengan makan
bersama dan weka te’e soro lani (membentang tikar dan bantal). Pihak pido pu’u
rete kamu (paman di gadis) membentangkan tikar dan bantal di kamar pengantin,
merecikinya dengan darah ayam lalu mempersilahkan mereka masuk sambil
diiringi pesanan. Keduanya dipersilahkan untuk tidur bersama selama 4 malam.
73
Selama waktu itu keduanya mesti menuruti beberapa ritus misalnya berpantang
atau makan sekali sehari, si pria mesti menyerahkan kepada mertuanya setiap hari
seekor ayam, sebilah pisau dan seikat sirih pinang simbol kesuburan.
Upacara Penutup: semu fu (semu kolo), rio ae (rio weki), ka kepo lalu
menghantar pengantin ke rumah orang tua pria. Setelah berbulan madu selama 4
hari, pengantin diperkenankan lagi kembali ke situasi hidup normal. Namun
proses ini dilewati dalam ritus semu kolo (meminyaki kepala pengantin dengan
santan kelapa diserta doa, rio ae (mandi) di sungai atau pancuran dengan ditemani
sepasang muda-mudi dan ditutup dengan acara ka kepo (makan nasi yang
digumpalkan). Acara ini melambangkan kesatuan keluarga. Rangkaian acara
persemian ini diakhiri dengan mengantar pengantin ke rumah orang tua laki-laki.
Dengan dihantarnya pengantin maka berakhir pula proses peresmian perkawinan
ana ale (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 24 Juli 2014).
Hubungan perkawinan yang dilarang yaitu incest. Perkawinan incest atau
nia mila mata ke’o (mata gelap) hampir diharamkan oleh setiap kelompok
masyarakat. Sebagai gejala universal, incest juga diharamkan dalam masyarakat
Lio-Ende. Yang dimaksudkan dengan incest ialah hubungan sex antara anak
dengan orang tuanya atau saudara dengan saudari kandung/tiri. Arndt menulis
bahwa incest antara saudara dengan saudara (sala ka weta nara wale wea ome
mbulu telu) didenda dengan hiasan emas (sejenis anting) sebanyak 30 buah (1932:
vale). Pela pani yaitu perselingkuhan di luar pernikahan selain incest. Bila terjadi
hubungan sex (perselingkuhan) antara seorang lelaki dengan istri saudaranya
dinamakan ka are sala pesa sala uta (salah makan nasi dan sayur). Incest dan
perselingkuhan dianggap mengganggu keseimbangan sosial dan kosmis. Untuk
memulihkannya harus dibuat ritus. Kedua orang itu harus memberi makan para
tua adat dan pihak laki-laki mesti membayar sejumlah barang kepada si wanita.
Perkawinan secara adat dipimpin oleh tetua adat, namun dalam
perkembangannya setelah masuknya agama Islam maupun Katolik atau Kristen
maka perkawinan dilakukan sesuai dengan agama yang dfianut dan sicatatakan di
74
pencatatan sipil untuk pengesahan secara hukum. Bila perkawinan menurut agama
Islam dilakukan di KUA sedangkan bila beragama Kristen/Katolik dilakukan di
gereja, setelah itu baru pencatatan sipil. Dalam hal ini lembaga keagamaan baik
Islam maupun Katolik yaitu gereja memegang peran sangat penting. Dalam aturan
gereja persyaratan untuk menikah sangat ketat. Sebelum melangsungkan
pernikahan kedua pasangan harus mengikuti persiapan perkawinan yang disebut
kursus pra nikah. Tujuannya untuk memberikan pendidikan kepada calon
pengantin agar setelah menikah masing-masing mengetahui tugas dan
tanggungjawabnya sebagai suami maupun isteri. Kursus biasanya dilakukan
selama 1-2 bulan. Perhatian terhadap sesama dapat berkurang oleh kesibukan
warga kota yang semakin meningkat. Keadaan yang demikian bila semakin
bertambah akan berakibat warga kota memiliki sifat acuh tak acuh dan kurang
memiliki toleransi sosial; dan sifat saling peduli terhadap orang lain berkurang.
Warga kota biasanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehingga seakan-akan tidak ada waktu untuk memperhatikan sesama. Hal ini di
Ende belum banyak terjadi sehingga dapat dikatakan toleransi sosial warga kota
masih cukup tinggi (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 23 Juli 2014).
Perkawinan juga menjadi salah satu sarana untuk mempersatukan berbagai
pihak yang berbeda suku, agama atau adat-istiadat. Dengan perkawinan salah satu
proses integrasi bangsa terwujud. Ikatan perkawinan terutama antar etnis/suku
(amalgamasi) mampu mempersatukan dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian diharapkan setelah menikah bila ada perselisihan
agar dapat diselesaikan dengan baik sehingga tidak terjadi perceraian karena
dalam agama Katolik tidak diperbolehkan bercerai kecuali salah satu pasangan
meninggal. Dalam hal ini lembaga adat, lembaga keagamaan dan para
pemimpinnya mempunyai tugas untuk membimbing pasangan calon pengantin
agar tetap bersatu.
d. Jarak Sosial. Kepadatan penduduk kota Ende cukup tinggi bila
dibandingkan dengan daerah lainnya. Banyaknya penduduk yang sebagian ingin
tinggal di daerah perkotaan mengakibatkan secara fisik di manapun berada baik di
75
pasar, di jalan, di toko dan di tempat-tempat umum lainnya orang selalu
berdekatan, akan tetapi dari segi sosial berjauhan. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan, kebutuhan dan perbedaan tujuan. Tegur sapa dilakukan
hanya kalau kenal atau kalau ada kepentingan. Sebaliknya kalau tidak kenal atau
tidak ada hubungan kepentingan orang akan cuek saja dan tidak saling
menghiraukan. Hal ini menjadi ciri kota lebih-lebih di kota-kota besar.Di Ende hal
ini belum terasa benar, karena pada umumnya antar warga, terutama yang tua-tua
sebagian masih saling mengenal satu sama lain.
e. Penilaian sosial. Adanya perbedaan kepentingan, perbedaan status serta
situasi dan kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem
penilaian yang berbeda mengenai gejala yang timbul di kota. Perbedaan penilaian
ini dapat disebabkan oleh latar belakang filsafat, pendidikan dan pengalaman
seseorang. Pendidikan dan pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara
pandang seseorang. Sikap yang merasa statusnya tinggi akan sangat merugikan
dan mengurangi rasa persatuan sesama warga kota. Masalah yang dipandang hal
sepele bagi orang yang mampu atau kaya dapat dinilai sebaliknya oleh warga kota
yang kurang mampu.
Demikian ciri-ciri sosial yang pokok bagi sebuah kota. Sudah tentu tidak
ada dua kota yang sama benar struktur dan keadaannya. Baik ciri-ciri fisis maupun
ciri sosial terjalin menjadi satu unit yaitu tata kehidupan dikota. Ciri-ciri fisis kota
Ende akan lebih mudah dikenali daripada ciri-ciri sosialnya. Hal ini disebabkan
ciri sosial kota besar belum begitu terasa di kota Ende.
4.3 Solidaritas Sosial
Dari realita yang ada menunjukkan bahwa keberbedaan (diversity) dalam
kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat ini,
paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Termasuk di Kabupaten
Ende, dan ironisnya, justru konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau
ideologi pemikiran keberagamaan-lah yang masih mendominasi.
76
Mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan
di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan
agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera
menampilkan ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan
tujuan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam
konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara
kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusivisme kelompok
agama dan budaya yang sempit.
Pendidikan memiliki peran strategis untuk membangun serta
mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang
mengerti kemajemukan bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah
pendidikan yang empati dan simpati terhadap problem kemanusiaan seperti
penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan sebagainya. Pendidikan agama yang
berlangsung bukan sekadar penanaman wacana melalui proses indoktrinasi otak,
tetapi sesungguhnya melatih terampil beragama dan kesiapan menghadapi
masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan-perbedaan. Dengan
demikian, kerukunan hidup yang dicita-citakan dapat terwujud menjadi kekhasan
dan prasyarat terselenggaranya pembangunan di negeri ini.
Menyikapi hal tersebut maka perlu upaya atau terobosan baru dalam usaha
pencapaian tujuan tersebut di atas. Kementerian agama sebagai yang membidangi
pendidikan agama dan keagamaan berkepentingan untuk menanggapi situasi ini.
Hal ini semakin urgen, mengingat visi Kantor Kementerian Agama Kab. Ende
adalah Masyarakat Ende Beriman, Cerdas, Rukun dan Sejahtera (BERNAS). Agar
visi ini terwujud, yang patut ditempuh adalah salah satunya melalui optimalisasi
peran guru pendidikan agama dengan pengembangan wawasan multikulturalisme.
Berkaitan dengan itu, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende
mengagendakan Kegiatan Pengembangan Wawasan Multikulturalisme Bagi Para
Guru Pendidikan Agama Lintas Agama tingkat Kabupaten Ende tahun 2011.
77
Kegiatan ini berlangsung di Hotel Safari, Jalan Ahmad Yani, Ende pada
tanggal 3-5 Oktober 2011. Kegiatan strategis ini menghadirkan tiga orang
pembicara yakni: Dr. phl. Norbert Jegalus, MA (dosen Seminari Tinggi St. Mikael
Kupang), Rm. Dr. Dominikus Nong, Pr (Ketua STIPAR Ende) dan Dr. Natsir
Kotten, M.Pd (Dosen Universitas Flores, Ende (http://kemenagkabende.
blogspot.com)
Tindakan konkrit yang mencerminkan kehidupan masyarakat multicultural
di Ende telah dilakukan oleh para pemimpin baik pemerintah maupun pemimpin
agama. Sebagai contoh Komunitas Biara Santu Yosef (BSY) Ende mengadakan
kegiatan penghijauan di perkebunan milik Pesantren Walisanga Ende. Kegiatan
ini dilakukan pada tanggal 5 Desember 2011. Kegiatan penghijauan ini
melibatkan seluruh warga komunitas pesantren Walisanga yang begitu antusias
dengan kegiatan ini. Selain menanam beberapa pohon, kegiatan ini diisi juga
dengan pembekalan dan penyadaran kepada para santri tentang pentingnya
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Rektor Komunitas BSY Pater Yosef Seran SVD dalam sambutannya
mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bukti cinta dan perhatian
yang tulus dari komunitas BSY kepada warga komunitas Walisanga. Di samping
itu untuk menumbuhkan kecintaan pada alam, kegiatan ini juga merupakan upaya
bersama untuk bisa memanfaatkan lahan dan potensi yang dimiliki secara baik.
Pada mulanya inisiatif ini lahir dari beberapa orang yang tergabung dalam
kelompok syering kitab suci sebagai bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap
sesa. Komunitas Pesantren Wallisanga, menurut Pemimpin Umum SVD (Pater
Heinz Kuluke SVD) mendapat tempat yang istimewa. Dengan alasan itu, Pater
Yosef membantu dan membagikan apa yang bisa diberikan kepada komunitas
pesantren ini.
Ketua Yayasan Walisanga Ende Siti Halimah bersyukur dan berterima
kasih karena mendapat perhatian dan cinta kasih yang telah ditunjukkan oleh
komunitas BSY. Siti Halimah berharap agar kegiatan dan bantuan seperti ini dapat
membuka mata dari pihak lain untuk juga membantu. Penghuni komunitas
78
pesantren berasal dari berbagai daerah di Flores, termasuk dari Kalimantan
dengan latar belakang keluarga yang tidak mampu. Selama ini kehidupan mereka
bersandar pada kemurahan hati dan kerelaan dari berbagai pihak yang
memberikan bantuannya untuk. Mereka hidup dari sedekah. Oleh karena itu,
komunitas pesantren sangat bersyukur telah dibantu.
Kerukunan dan saling menghargai yang diwujudnyatakan dalam kegiatan
ini juga mendapat apresiasi oleh Camat Ende Selatan. Camat Ende Selatan
Mohamad Syahrir mengapresiasi kerja sama yang telah terjalin dengan baik
antara Pesantren Walisanga dan Komunitas BSY. Kerjasama seperti ini dapat
menjadi contoh yang baik dalam membangun dialog dan kerja sama antaragama,
antaretnis dan antarbudaya.
Kegiatan seperti ini kiranya dapat menjadi embrio awal untuk
menanamkan kesadaran dalam diri para santri akan pentingnya menjaga
kelestarian dan keutuhan alam. Melalui kegiatan ini juga, para santri diajarkan
untuk bisa memanfaatkan perkebunan dan lahan yang mereka miliki secara baik,
khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Kepala
asrama sekaligus pembina di Pesantren Walisanga Frater Baltasar Asa SVD
mengharapkan agar kegiatan penghijauan seperti ini dapat membuka mata para
santri sekaligus menumbuhkan kesadaran dalam diri para santri untuk senantiasa
mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kegiatan seperti ini, apalagi antaragama, kiranya dapat membuka mata dan
menumbuhkan kesadaran dalam diri para santri untuk senantiasa menghargai
saudara-saudaranya dari agama lain. Selain itu, kegiatan bersama ini dapat
menjadi pelajaran bagi para santri untuk menumbuhkan kemandirian dan
meningkatkan wawasan ekonomi yang baik. Sebagai Pembina, kepala asrama dan
pemimpin agama para Pastor telah memberikan contoh kerukunan dalam
masyarakat yang heterogen (Fr. Kristo Suhardi,SVD “Penghijauan di Pesantren
Walisanga” dalam http://provinsisvdende.weebly.com/blog-berita).
Dengan fakta di tersebut di atas akan memberikan contoh konkrit
bagaimana kehidupan masyarakat multikultural dalam praktek. Selama ini
multikultural di satu pihak lebih banyak dipahami sebagai konsep normatif, yaitu
79
bagaimana memandang orang lain. Hal yang lebih mendasar adalah bagaimana
memandang perbedaan itu ”harus bagaimana”, dan bagaimana mewujudnyatakan
dalam kehidupan bermasyarakat seperti contoh kebersamaan dan kesetaraan
dalam kegiatan di atas.
4.4 Integrasi Sosial
Kata “integrasi” berasal dari kata “integration” yang berarti keseluruhan
atau kesempurnaan. Maurice Duverger mendefinisikan integrasi sebagai
dibangunnya interdependensi (kesalingketergantungan) yang lebih rapat antara
bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota – anggota di dalam
masyarakat. Jadi, di dalam integrasi terjadi penyatuan atau mempersatukan
hubungan anggota masyarakat yang dianggap harmonis.
Integrasi sangat penting, tetapi keanekaragaman juga membanggakan kita.
Masyarakat beraneka ragam (multikultural) memiliki beragam keinginan yang
berbeda sehingga sukar mempersatukan semua potensi yang dimiliki untuk
mencapai hasil pembangunan yang maksimal. Oleh sebab itu, diperlukan upaya
yang sungguh-sungguh untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
Mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat bukan berarti menghilangkan
keanekaragaman itu, bahkan idealnya integrasi adalah penyatuan bangsa
Indonesia yang tetap menjaga keanekaragaman fisik dan sosial budaya sebagai
bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Beranjak dari kenyataan di atas maka dasar suatu integrasi sosial adanya
perbedaan-perbedaan tersebut. Setiap anggota kelompok atau individu yang
berbeda disatu padukan untuk mencapai tingkat yang harmonis, stabil, dan
terjamin ketenangan hidupnya.
Proses integrasi sosial di dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik
apabila masyarakat betul-betul memperhatikan factor-faktor sosial yang
mempersatukan kehidupan sosial mereka dan menetukan arah kehidupan
masyarakat menuju integrasi sosial. Faktor-faktor sosial tersebut antara lain tujuan
80
yang ingin dicapai bersama, sistem sosial yang mengatur tindakan mereka, dan
sistem sanksi sebagai pengentrol atas tindakan-tindakan mereka.
Proses integrasi sosial akan berjalan dengan baik apabila anggota
masyarakat merasa bahwa mereka berhasil mengisi kebutuhan satu sama lain dan
mencapai konsensus mengenai norma norma dan nilai- nilai sosial yang konsisten
dan tidak berubah-ubah dalam waktu singkat. Dengan demikian anggota- anggota
masyarakat selalu berada dalam keadaan yang stabil dan terikat dalam integrasi
kelompok.
Menurut R. William Lidle (dalam Efendy,2005), integrasi masyarakat
yang kokoh akan terjadi apabila :
1. Sebagian besar anggota suatu masyarakat sepakat tentang batas – batas
tertitorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik.
2. Sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur
pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses politik dan sosial yang berlaku
bagi seluruh masyrakat di seluruh wilayah negara tersebut.
Faktor-faktor yang mendukung integrasi sosial di Indonesia antara lain :
Penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pemersatu
yang dipelajari, digunakan, dan bahkan dijadikan sebagai simbol kebanggaan
negara Indonesia. Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnis dan bahasa,
namun mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi kecuali di
atara sesama etnis atau dalam keluarga. Di samping itu adanya sumpah pemuda,
satu nusa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia sehingga diharapkan tidak ada
satu suku bangsa pun yang ingin memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Adanya kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama, yaitu
Pancasila yang butir-butir pancasila lahir di Ende mampu berfungsi sebagai
ideologi sosial politik bersama. Adanya jiwa dan semangat gotong royong yang
kuat serta rasa solidaritas dan toleransi keagamaan yang tinggi yang terbukti
dengan adanya saling membantu dalam setiap perayaan keagamaan di Ende
81
sehingga mudah untuk mewujudkan kerukunan nasional dan kerukunan umat
beragama khusunya masyarakat di Ende.
Dengan adanya rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan yang
diderita cukup lama oleh seluruh suku bangsa di Indonesia dapat melahirkan
perasaan senasib untuk merdeka serta bebas membangun dan mewujudkan jati diri
bangsa Indonesia.
Tujuan Integrasi. Tujuannya yakni mempersatukan masyarakat yang
beranekaragam dengan berbagai perilaku sosial di dalam masyarakat dan cara –
cara mengendalikan bentuk-bentuk perilaku masyarakat sehingga tercipta
masyarakat yang ideal dan harmonis. Beberapa faktor pendorong terjadinya
proses integrasi adalah sebagai berikut. (1) Pengakuan kebhinekaan, apabila
homogenitas telah tercapai, dalam arti bahwa setiap anggota masyarakat
mengakui, menerima dan memberikan toleransi yang besar terhadap unsur-unsur
yang berbeda dengan diri dan kelompoknya, maka kelangsungan hidup kelompok
akan terpelihara. Perlu diketahui bahwa integrasi erat hubungannya dengan
disorganisasi dan disintegrasi sosial karena menyangkut unsur psikologs yang
diwujudkan dalam bentuk ikatan norma sebagai pedoman bersikap dan bagi setiap
anggota masyarakat. (2) Adanya kesamaan dalam heterogenitas. Kesamaan dalam
heterogenitas timbul karena faktor pengalaman histories atau pengalaman nasib
yang sama, persamaan faktor geografis, persamaan faktor ekologis. (3) Perasaan
saling memiliki. Apabila setiap anggota masyarakat merasa bahwa mereka
berhasil memenuhi kebutuhannya serta mampu membantu memenuhi kebutuhan
orang lain, yakni kebutuhan material dan nonmaterial (kebutuhan biologis,
psikologis, sosiologis), perasaan saling memiliki akan tumbuh dan berkembang
dalam setiap sektor kehidupan.
Meningkatkan kesadaran tentang arti pentingnya integrasi dan partisipasi,
dapat dilakukan dengan berbagai upaya, diantaranya sebagai berikut:
(1) Menanamkan pengertian dan pemahaman tentang saling ketergantungan
antar individu atau kelompok sehingga timbul kesadaran darii masing-
82
masing pihak.
(2) Mempertahankan dan meningkatkan motivasi setiap kelompok atau
golongan untuk membentuk masyagrakat yang besar.
(3) Memberitahukan atau mensosialisasikan prestasi dan prestise yang telah
dicapai kepada masyarakat, agar kenyakinan untuk bersatu semakin kuat.
(4) Memperkuat dan memperluas kesadaran dalam berpartisipasi aktif bagi
seluruh komponen masyaratkat.
Faktor-Fator Penghambat Integrasi Sosial. Faktor-faktor yang
menghambat tercapainya integrasi dalam masyarakat adalah gejala atau fenomena
sosial yang dikatagorikan sebagai proses sosial yang disosiatif. Sebagai contoh
adalah hal- hal di bawah ini: (1) konflik atau pertentangan akibat tidak tuntasnya
penyelesaian suatu masalah; (2) persainagan tidak sehat dan mengarah pada
pertentangan atau konflik; (3) prasangka buruk yang dilatarbelakangi oleh
kecemburuan sosial; (4) fanatisme yang berlebihan karena perbedaan ras, etnis,
kebudayaan, agama dan kepercayaan, daerah tempat tinggal, mayoritas, dan
minoritas; (5) pembedaaan perlakuan para pemimpin terhadap warga masyarakat,
baik secara individual maupun kelompok; dan (6) rendahnya sikap toleransi dalam
hidup bermasyarakat.
Integrasi sangat diperlukan di dalam masyarakat yang multikultural agar
tercapai suatu kehidupan masyarakat yang harmonis. Untuk mencapai tujuan
tersebut harus ada rasa saling membutuhkan akan kelebihan yang dimiliki oleh
anggota masyarakat yang lain. Selain itu harus ada rasa saling menghargai akan
perbedaan yang timbul dalam masyarakat. Apabila itu bisa dijalankan dengan baik
maka integrasi akan tercapai (Efendy, 2005).
83
4.5 Hubungan Struktur Sosial dengan Proses Integrasi Sosial
Dalam struktur sosial masyarakat multikultural dapat terjadi proses interseksi
sosial dan konsolidasi sosial. Pengertian interseksi sosial : persilangan
keanggotaan masyarakat. Contoh interseksi sosial :
Keterangan :
A : Suku Lio I : Katolik
B : Suku Ende II : Islam
Penjelasan :
Si A dan B, berbeda suku bangsa tapi sama agamanya. Contoh interseksi sosial
dengan parameter agama dan pendidikan: Pak Buyung: suku Lio, sarjana,
beragama Katolik, pengusaha. Pak Hasan: suku Ende, sarjana, beragama Katolik,
Pegawai Negeri Sipil Bila terjadi proses interseksi sosial dalam struktur sosial
masyarakat multikultural, akan mendukung tercapainya integrasi sosial. Interseksi
sosial berdampak positif terhadap integrasi sosial.
Pengertian konsolidasi sosial yaitu penguatan keanggotaan masyarakat.
Contoh konsolidasi sosial : Ikatan Keluarga Manggarai, Persatuan Masyarakat
Betawi, Flobamora. Bila terjadi proses konsolidasi sosial dalam struktur sosial
masyarakat multikultural, akan menghambat tercapainya integrasi sosial.
Konsolidasi sosial, tanpa diiringi perasaan nasionalisme, berdampak negatif
terhadap integrasi sosial (Andry Pramudya dalam http://sosialsosiologi.
blogspot.com).
84
Atas dasar itu maka berbagai kelompok masyarakat yang ada di Ende perlu
mendapat perthatian terutama dari pihak pemerintah agar tidak salah arah
sehingga dapat mengganggu terwujudnya integrasi sosial. Masalah persatuan yang
sudah baik dalam kehidupan masyarakat Ende perlu terus dijaga (Hasil
wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014).
85
BAB IV
KESIMPULAN
Ende dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
komposisi penduduknya yang beragam baik agama, etnis, budaya dan adat-
istiadat. Agama yang berkembang pada masyarakat Ende yaitu agama Katolik,
Islam, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan etnis yang ada sebagian besar
etnik Lio, kemudian etnis Ende, Cina, padang, sabu, Ngada, Manggarai, Sikka,
Flores Timur, sabu, Rote, Jawa, Bali dan Madura.
Komposisi penduduk yang beragam ini oleh masyarakat ende diyakini
menjadi ilham bagi Ir. Soekarno dalam merumuskan butir-butir Pancasila selama
masa pengasingannya di Ende antara tahun 1935-1938. Pada setiap butir Pancasila
ternyata memberikan ruang bagi kehidupan keanekaragaman budaya. Pada sila
pertama khususnya telah memberikan ruang khusus bagi eksistensi agama-agama
dan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang berwawasan multikultural.
Masyarakat Kota Ende yang telah menjadi masyarakat multikultural perlu
terus dijaga agar tidak terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan
damai. Selain itu, perlu terus dibangun sikap yang harus dilakukan dalam
masyarakat multikultural. Sejalan dengan hasil diskusi multikulturalisme
masyarakat Ende-Lio yang dipandu oleh Prof Dr. Felisianus Sanga dan Nilai-nilai
Kearifan Lokal Ende yang dipandu oleh Dr. Rer Soc Ignas Kleden, sikap-sikap
yang perlu dijaga antara lain adanya (1) pengakuan terhadap berbagai perbedaan
dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat; (2) perlakuan yang sama terhadap
berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas; (3)
kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik
secara individu ataupun kelompok serta budaya; (4) penghargaan yang tinggi
terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan, dan ;
86
(5) unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam
perbedaan.
Sikap yang harus dihindari untuk membangun masyarakat multikultural
yang rukun dan bersatu yaitu primordialisme-primordialisme artinya perasaan
kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling
unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat
yang multikultural seperti Ende khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan
mereka untuk bisa menerima keberadaan suku bangsa yang lain. Sikap
etnosentrisme- etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada
masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan
pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain.
Indonesia dan khususnya masyarakat Ende dapat maju dan berkembang
dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang muncul adalah disintegrasi
sosial. Apabila sikap dan pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan
provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang bersifat kedaerahan dan
eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan
diri dari masyarakat. Demikian pula sikap diskriminatif -diskriminatif yaitu sikap
yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan
warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini
sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati
terhadap sesame warga negara.
Sikap yang harus dihindari lainnya yaitu stereotip-tereotip adalah konsepsi
mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak
tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing
suku bangsa memiliki cirri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-
besarkan hingga membentuk sebuah kebencian.
Pengembangan Wawasan Multikultural di Kota Ende beberapa tahun
terakhir semakin giat dilakukan. Misalnya kegiatan yang dilakukan oleh para
87
guru Pendidikan Agama Lintas Agama, Tingkat Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Ende. Kegiatannya berupa seminar yang diadakan pada tanggal 3 - 5
Oktober 2011, bertempat di Hotel Safari, Jalan Ahmad Yani Ende. Kegiatan ini
diselenggarakan oleh Panitia kerja sama Penyelanggara Bimas Kristen (Soleman
Baun, S.Pd) dan Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Ende (Plt. John B. Seja, S.Fil).
Demikian pula kegiatan penghijauan oleh komunitas Gereja Katolik di
Pesantren Walisanga. Aktifitas ini memberikan inspirasi bagi masyarakat bahwa
perbedaan agama tidak menghalangi terjalinnya hubungan yang harmonis, saling
membantu dan menghargai pihak lain.
Usaha yang telah dilakukan dan baik untuk terus dikembangkan adalah
berbagai dialog tentang nilai-nilai kearifan local yang ada di Ende. Dialog
semcam ini dapat menggali situsi dan kondisi kearifan lokal masyarakat Kota
Ende yang mampu memberikan ilham pada Soekarno dalam merumuskan butir-
butoir Pancasila. Di samping itu agar mampu mendapatkan bentuk nyata kondisi
kearifan lokal masyarakat Kota Ende yang terbukti dapat memberikan inspirasi
bagi tergalinya lima butir mutiara dalam Pancasila.
Dalam bidang seni dan budaya upaya menghidupkan kembali situs-situs
yang ada di Ende patut diapresiasi. Usaha ini telah rampung dilakukan dengan
merevitalisasi situs-situs peninggalam Bung Karno semasa dalam pengasingan di
Ende. Di samping mempercantik Kota Ende juga dapat menarik wisatawan
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang
sejahtera hidupnya tentu tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu negatip sepeti isu
sara yang akan memecahbelah persatuan dan kekompakan yang telah terjalin pada
masyrakat Kota Ende.
Peran lembaga-lembaga keagamaan, para pemimpin agama, dan para
ketua adat juga sangat penting dalam menjaga kehidupan masyarakat multicultural
Ende. Kehadiran Misi dengan berbagai usahanya seperti sekolah-sekolah
pertukangan, mendirikan percetakan Nusa Indah Ende dan penerbitan buku tentu
88
tidak kecil sumbangannya bagi kehidupan masyarakat. Peran para Ulama juga
telah dimulai sejak kedatangan para pedagang dari Bugis dari Makasar. Demikian
pula peran para Pastor juga telah dimulai sejak kedatangannya di Ende sampai
sekarang.
Berkaitan dengan usaha mewujudkan integrasi social pada masyarat Ende,
sesuai dengan pendapat Dr. phl. Norbert Jegalus, MA menekankan pentingnya
pendidikan agama dalam alam multikulturalitas dengan semangat
multikulturalisme. Pendidikan Multikultural merupakan suatu model pendidikan
yang kontekstual. Persoalan selama ini adalah globalisasi menciptakan
ketidakpastian. Orang lalu mencari kepastian baru yakni dengan membentuk
kelompok eksklusif. Eksklusivisme agama dan fanatisme agama akan melahirkan
intoleransi. Kemudian muncullah fundamentalisme agama, dengan ciri-ciri :
segala-galanya dilihat secara eksklusif dari aspek agama. Kaum fundamentalis
tidak pernah toleran, di samping itu mengklaim kemutlakan sendiri bagi
pandangannya dan menganggap diri tidak ada bidang yang dikecualikan dari
penguasaannya. Hal sebaliknya dari fundamentalisme agama adalah puritanisasi
agama. Membersihkan kehidupan agama dari semua unsur yang tidak berasal dari
dasar asaliah agama itu. Hal ini akan mengarah kepada primordialisme agama:
Menolak modernitas dan mau kembali kepada suasana yang dulu, yang asli
(primordial).
Hal yang perlu dilakukan atas fakta keberagaman di Indonesia khusunya di
Ende ini adalah perlunya membangun kesadaran bersama bahwa keberbedaan itu
adalah suatu fakta. Masyarakat perlu sadar bahwa proses pembentukan kesadaran
bersama itu tidak luput dari pengaruh adanya ketidakadilan politik dan ekonomi.
Dengan demikian peran pemerintah dan tokoh agama mutlak perlu dalam
mensejahterakan masyarakat. Di samping itu perlu disadari bahwa bersamaan kita
membangun nasionalisme kita berhadapan dengan globalisme. Asimilasi dan
integrasi tidak mencukupi untuk menjawabi persoalan kemajemukan budaya.
Masyarakat yang multikulturalitas perlu ditumbuhkan secara terus-menerus di
Ende agar tetap dapat disebut miniatur Indonesia dengan masyarakat multikultur.
89
Berbagai usaha untuk menanamkan sikap multikultural dapat dilakukan antara
lain lewat pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah.
90
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I Ketut, F.X. Soenaryo. 2011. Masyarakat Multikultural Bali. Denpasar
: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende, Ende Dalam Angka 2012
Bandiyono, Suko, “Relevansi Karya penelitian Migrasi dalam Pembangunan”,
Makalah yang disampaikan pada orasi Ilmiah untuk pengukuhan professor
riset bidang kependudukan, Widyagraha LIPI, 23 Maret 2006
Barker, Chris. 2004. Culture Studies Teori & Praktek (Nurhadi Penerjemah)
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Bungin, Burhan, 2003. Analisis data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Bintang Timoer 1928-1929 Soerat Bulanan Katholik yang bergambar. Ndona-
Ende: R.K. Missie.
Bintarto, S. 1984. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Diskusi Kelompok Dialog Budaya penggalian Nilai Sejarah-Kearifan Lokal Senoi
dan Budaya Ende-Lio Flores dalam http://endeliodanpancasila. com/
diskusi.html
Efendi, Rusman. 2005. Sosiologi 2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Franca, A. Pinto da. 1970. Portuguese Influence in Indonesia. Djakarta: Gunung
Agung
Gilbert alan dan Gugler Josef. Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga. Jokya:
Tiara Wacana, 1996
Hugo J. Graeme, Hull Terence, Hull Valerie, Jones Gavin. The Demographic
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Kolit, D.K. 1982. Pengaruh Kerajaan Majapahit Atas Kebudayaan Nusa
Tenggara Timur. Kupang: Seri IPS.
Liliweri, Alo. Prasangka sosial dan komunikasi antar etnik. Prisma: 12, 1994hlm
3-21
Marbun, B.M. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek. Jakarta:
Erlangga, 1979
91
“Masyarakat Multikultural di Indonesia, pengertian, karakteristik, dan faktor
penyebabnya” dalam http://khairulazharsaragih.blogspoot.com
Mbete dkk, Aron Meko. 2006. Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende.
Menno, S. , Mustamin Alwi. 1992. Antropologi Perkotaan. Jakarta: CV. Rajawali
Pers.
Mochsen, Pua, 2004. “Tinjauan Tentang Kota Ende”. Makalah berdasarkan
Skripsi IIP Tahun 1984 di Jakarta berjudul Penataan Lingkungan
Pemukiman Kota Ende.
Moleong, I J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitaif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nasikun, J. Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta: Penerbit: Rajawali Pers
Orinbao, P. Sareng. 1992. Tata berladang Tradisional dan Pertanian Rasional
Suku-Bangsa Lio. Ledalero-Nita-Flores: Seminari Tinggi St. Paulus.
Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan
Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia
Soenaryo dkk, F.X. 2006. Sejarah Kota Ende. Denpasar: Pustaka Larasan dan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende
Soenaryo, F.X, Nuryahman, 2012. Sukarno di Pengasingan Ende 1934-1938.
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
Sjoberg, Gideon, l965. The Preindustrial City. New York: Macmillan Publishing
Co. Inc.
Suchtelen, JHR. B.C.C.M.M. Van.1921. Endeh (Flores). Leiden : Mededeelingen
Van Het Bureau voor de Bestuurszaken der Buitengewesen, Bewerkt
Door Het Encyclopedisch Bureau. Aflevering XXVI.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dankebudayaan, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Balai Pustaka.
Ujan, Andre Ata dkk,2011. Multikulturalisme : Belajar Hidup Bersama dalam
Perbedaan. Jakarta: PT Indeks
Uran, L. Lame. 1984. Sejarah Singkat Dioses Agung Ende.
Velden, Arn. J.H. van, 1914. Kitab Pengetahoean dari hal Residenan Timoer dan
daerah ta’kloeknja oentoek sekolah-sekolah boemi poetera dalam
Residenan itoe. Menadosche Drukkerij-Gebrs.Que.
92
DAFTAR INFORMAN
No. Nama Umur Jabatan Alamat
1. Agil Parera
Ambuwaru
76 Pengawas Yayasan
Ende-Flores
Jl. Banteng Ende
2 Yakobus Ari 73 Pnsiunan PNS Jl. Garuda-Ende
3. H.A. Djamal
Humris,BBM
64 Ketua
MUI/Pengawas
Yayasan Ende-
Flores
Jl. Aebonga I
No.3 RT
001/Rw.007 Kel.
Mbongawani,
Kec. Ende Selatan
4 Filmon A. Mogilaa 63 Pensiunan PNS Jl. A. Yani-Ende
5 Robert Riwu, S.Pd. 54 Guru Jl. A. Yani-Ende
6 Amatus Peta 54 Guru / PNS Jl. Udayana-Ende.
7 Nyo Kosmas, S,H. 54 Kadis Kebudayaan
dan Pariwisata
Kab,. Ende
Ende-Flores
8 Yohanes Pela 46 Anggota DPRD Jl. Anggrek-Ende
9 Maria Goreti
Sigasare
44 Sekretaris Partai
Golkar
Jl. El Tari, Ende
10 Heribertus Gani 41 Anggota DPRD Jl Anggrek-Ende
11 Lambertus Sigasare 39 PNS Jl. Yos Sudarso
no. 19 Ende
93
LAMPIRAN FOTO
Foto 1
Seminar bertema”Pendidikan Multikultural sebagai Strategi
Menghindari Disintegrasi Bangsa” di Biara Bruderan
St. Konradus Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sumber: http://bectrustfund.wordpress.com/2011/05/11/)
Foto 2
(Tampak dalam gambar: Dr.phl. Norbert Jegalus, MA sedang
menyampaikan materi didampingi oleh John B. Seja, S.Fil
(Plt Kasubag Kantor Kemenag Kab. Ende)
Pengembangan Wawasan Multikultural Bagi Guru Agama Ende
Pada tanggal 3-5 Oktober 2011 (http://hierobokilia.blogspot.com)
94
Foto 3
Br. Pankras Hayon bersama anak-anak pesantren membawa
anakan untuk penghijauan. (Foto: Br. Gaby wangak, svd)
5 Desember 2011
Foto 4
Pater Rektor P. Yosef Serah dan anggota komunitas BSY
bersama anak-anak pesantren. (Foto: Fr. Kristo Suhardi, SVD)
95
Foto 5
Fr. Adi, SVD bersama dua anak puteri pesantren sedang
menanam anak Mangga. (Foto: br. Gaby Wangak, SVD)
Foto 6
Para siswa-siswi SMA Syuradikara dari berbagai agama dan etnis foto bersama
dilatari pohon Sukun di Lapangan Pancasila Ende. Di bawah pohon sukun ini
Bung Karno merumuskan Pancasila ketika diasingkan pemerintah kolonial
Belanda.
96
Foto 7
Monumen Pancasila di Ende (foto koleksi penulis)
Difoto tanggal 23 Agustus 2014
Foto 8
Mesjid Raya di Ende (foto koleksi penulis)
97
Foto 9
Pohon Sukun tempat Bung Karno merenungkan
butir-butir Pancasila (foto koleksi penulis)
98
LAMPIRAN
ABSTRAK ARTIKEL ILMIAH
Penelitian ini bertujuan akan mengungkap proses terbentuknya masyarakat
multikultural di Kota Ende dan peran pranata sosial dalam mengatasi potensi
konflik yang ada dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Kota Ende
merupakan masyarakat multikultural dengan sangat beragamnya budaya, etnis,
dan agama sehingga Kota Ende dikenal sebagai miniatur Indonesia. Masyarakat
multikultural menjadi kajian yang relevan untuk ditelaah sesuai dengan
semboyan Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika. Beragamnya pemeluk agama
seperti penganut Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha serta beragamnya
etnis masyarakat Ende seperti etnis Lio, etnis Padang, etnis Bali, etnis Madura,
etnis Timor, etnis Arab, etnis Cina, etnis Ende dan sebagainya, di satu sisi
menjadi kekayaan bangsa, namun bila tidak dikelola secara baik akan
memunculkan konflik-konflik sosial yang menghambat terwujudnya integrasi
bangsa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sejarah
menggunakan sumber-sumber tertulis seperti studi pustaka dan dokumen untuk
menjelaskan teori dan konsep-konsep tentang masyarakat multikultural juga
melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat maupun pihak-
pihak yang berkompeten. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui proses
terbentuknya masyarakat multikultural di Kota Ende serta nilai-nilai budayanya
dalam hubungannya dengan ikatan kekerabatan kelompok-kelopok etnis yang ada
di Ende. Dengan demikian tidak terjadi kecemburuan sosial ekonomi dalam
masyarakat multikultural serta dapat mencari solusi terhadap terjadinya
persaingan yang membawa unsur-unsur primordial.
Kata kunci : multikultural, kota, integrasi
99