Upload
nguyenque
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bidang Ungulan Ketahanan Pangan
Kode/Nama Bidang Ilmu 163/ Mekanisasi Pertanian
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH RISET INVENSI UDAYANA
Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi
Secara In-Situ Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.)
Varietas Granola
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, MP. (NIDN 0016106307)
Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, M.S (0017085910)
Dr. Ir. Dewa Gede Mayun Permana, MS. (NIDN 0007115904)
Ir I Gusti Ayu Lani Triani, S.TP, M.Si (NIDN 0029057705)
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Januari 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
RINGKASAN iv
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus 2
1.3 Urgensi Penelitian 2
II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida) 4
2.2 Kesuburan Lahan Percobaan 7
2.3 Produktivitas Lahan Percobaan 9
III METODE PENELITIAN 10
3.1 Roadmap Penelitian 10
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 13
3.3 Bahan Penelitian 13
3.4 Prosedur Penelitian 13
3.4.1 Rancangan penelitian 13
3.4.2 Prosedur pengamatan parameter-parameter 16
3.5 Luaran Penelitian 19
3.6 Indikator Capaian Penelitian 19
IV BIAYA DAN JADWAL PELAKSANAAN 20
DAFTAR PUSTAKA 22
Lampiran 1. Justifikasi anggaran penelitian 25
Lampiran 2. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas 29
Lampiran 3. Ketersediaan sarana dan prasarana penelitian 34
Lampiran 4. Biodata Ketua dan anggota tim 36
Lampiran 5. Surat Pernyataan Peneliti 49
RINGKASAN
Tujuan jangka panjang adalah model bioremidiasi secara in-situ menggunakan sistem
pertanian dengan sistem low external input on sustainable agriculture (LEISA) di lahan
pertanian budidaya kentang, sehingga kentang (Solanum Tuberosum L.) konsumsi yang
dihasilkan (1) meningkat, (2) berkualitas, (3) berdaya saing tinggi, dan (4) terjamin mutunya.
Ruang lingkup penelitian adalah (1) identifikasi reduksi cemaran insektisida dan fungisida,
(2) identifikasi efektifitas mikroba melakukan proses bioremediasi secara in-situ di lahan yang
dibudidayakan kentang konsumsi akibat penerapan sistem LEISA dan (3) optimasi kuantitas
dan kualitas kentang konsumsi yang dihasilkan.
Penelitian tahun 2017 merupakan lanjutan penelitian hibah yang sama yang didanai di
tahun 2015 dan 2016. Kegiatan penelitian 2017 adalah kajian dampak implementasi sistem
LEISA dan model bioremediasi in-situ pada : (1) dampak LEISA pada sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, (2) produktivitas lahan, (3) kualitas umbi kentang yang dihasilkan, dan (4)
kandungan logam berat dan residu pestisida di lahan dan di umbi kentang. Penelitian uji sistem
LEISA dilakukan pada sepuluh petani kentang dengan luasan budidaya masing-masing 200 m2.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan insektisida dan fungisida dalam budidaya kentang (Solanum Tuberosum L.)
varietas granola adalah untuk mereduksi gagal panen akibat serangan hama dan penyakit
tanaman, hal ini masih dilakukan petani Desa Candikuning Kab. Tabanan (Setiyo et al.,
2014). Petani kentang Desa Candikuning sangat intensif menggunakan fungisida jenis :
Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan
petani adalah Curacron dan Detacron. Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur
14 minggu setiap seminggunya disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut. Praktek
pemberantas hama dan penyakit tanaman tersebut mampu menekan susut hasil karena umbi
kentangakibat tanaman terserang penyakit layu batang (Setiyo et al., 2013).
Pemupukan menggunakan kompos adalah salah satu praktek budidaya yang baik
(Good Agriculture Practices atau GAP, praktek ini juga sesuai sistem low external input on
sustainable agriculture atau LEISA. Pada penelitian Hibah Invensi 2015 dan 2016, mikroba
yang pada kompos memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan unsure hara makro
sampai pada tingkatan tinggi s/d sangat tinggi (Setiyo et al., 2016). Rasio karbon-nitrogen
(C/N) di lahan budidaya kentang granola menurun dari 10,5 – 12,6 (awal tanam kentang)
menjadi 8,5 – 9,4 (saat panen), hal ini menunjukan bahwa mikroba pada kompos selama
budidaya masih melakukan perombakan unsure hara untuk penyusunan selnya.
Mikroba Pseudomonas luteola yang ada pada kompos pada pH netral memiliki
kemampuan mendegradasi residu fungisida dan insektisida organophosfat dengan tingkat
degradasi sebesar 85.44%, hal ini diiringi dengan tingkat pertumbuhan tertinggi yakni dengan
nilai absorbansi 1.752 (Setiyo et al., 2014). Populasi mikroba di awal budidaya kentang di
lahan yang sudah lama dibudidayakan kentang antara 2,2 x 104 – 4,7 x 10
4 cfu, sedangkan
popilasi mikroba di lahan yang baru dibudidayakan kentang adalah 8,8 x 103 – 2,8 x 10
4 cfu
(Setiyo et al., 2016).
Aplikasi sistem LEISA pada budidaya kentang berdampak pada (1) penurunan
konsentrasi residu fungisida (Setiyo et al., 2010); (2) perbaikan sifat fisik tanah (Arsa et al.,
2013); (3) peningkatan kesuburan lahan (Setiyo, et al., 2014) dan (4) peningkatan kualitas umbi
kentang konsumsi (Setiyo et al., 2014). Optimasi sistem LEISA yang dikombinasikan dengan
optimasi proses bioremediasi residu fungisida dan insektisida secara in-situ untuk
meningkatkan produktifitas dan kualitas kentang perlu kajian lebih lanjut.
1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah optimasi penerapan sistem LEISA dan optimasi proses
bioremidiasi in-situ pada budidaya kentang varietas granola, sehingga hasil per satuan luas
optimal dan berkualitas. Tujuan dan manfaat lain dari penelitian adalah :
1. Peningkatan efektiifitas model bioremediasi residu fungisida dan insektisida pada
budidaya kentang akibat implementasi sistem LEISA, sehingga kentang yang dihasilkan
berkualitas dan terjamin mutunya.
2. Peningkatan ketersediaan unsure hara makro bagi tanaman kentang dengan tingkat
ketersediaan pada status tinggi sampai sangat tinggi atau lahan memiliki nilai kapasitas
tukar kation di atas 25 me/ 100 g.
3. Optimalisasi sistem LEISA pada budidaya untuk menghasilkan kentang konsumsi
berkualitas (kentang ukuran super di atas 20 % dan yang rusak di lahan kurang dari 5
%) dengan produksi persatuan luas lebih dari 30 ton/ha sesuai dengan standar Bapenas.
4. Secara ekonomi sistem LEISA lebih menguntungkan untuk diterapkan di budidaya
kentang.
1.3 Urgensi Penelitian
Isu-isu strategis nasional : (1) ketahanan dan kemanan pangan; (2) pertanian
berwawasan lingkungan dengan praktek baik dalam budidaya atau GAP; (3) penggunaan
pestisida yang berdampak pada pencemaran lahan; (4) kandungan bahan organik yang rendah
di lahan pertanian yang berdampak pada menurunnya daya tahan tanaman terhadap hama dan
penyakit; dan (5) kualitas dan daya saing hortikultura di bawah produk import menjadi
landasan pengembangan roadmapp penelitian di atas. Berlandaskan hal tersebut, maka pada
tahun 2007 sampai 2008 peneliti melakukan penelitian (1) pengembangan model proses
pengomposan dan (2) aplikasi kompos sebagai pupuk untuk peningkatan kesuburan lahan dan
perbaikan sifat fisik tanah
Penerapan sistim LEISA mampu mendegradasi residu pestisida yang disemprotkan ke
lahan dengan dosis 100 – 160 ppm. Degradasi residu pestisida menjadi sekitar 0,041 – 0,0767
ppm, sedangkan di umbi kentang di bagian kulit saat di panen masih mengandung residu
pestisida sebanyak 0.027 – 0,0476 ppm (Setiyo et al., 2016). Berdasarkan hasil penelitian
Setiyo et al., 2016, pemberian kompos pada demplot budidaya kentang sangat efektif
mendukung proses bioremediasi residu pestisida.
Selain itu, mikroba pada kompos juga memiliki kemampuannya mendegradasi bahan
organik menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman. sehingga dapat meningkatkan
kandungan unsure hara makro dan mikro di lahan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam
dengan dosis 10- 20 ton/ha menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot
percobaan terjadi peningkatan kandungan bahan organic dan peningkatan kapasitas tukar kation
(KTK) dalam tanah terutama di zone perakaran tanaman kentang. Kandungan hara utama
(karbon, nitrogen, phospat, kalium) dari plot-plot percobaan setelah kentang di panen tetap
pada level tinggi sampai sangat tinggi (Setiyo, et al., 2016).
Penggunaan kompos sebagai pupuk organik merupakan upaya implementasi sistem
LEISA, penerapan sistem ini dapat (1) meningkatkan proses perbaikan kesehatan lahan dengan
proses bioremediasi secara in-situ, (2) peningkatan kesuburan lahan dengan proses biodegradasi
kompos oleh mikroba menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman, dan (3) perbaikan sifat
fisik tanah. Secara umum sistem LEISA akan secara tidak langsung mendukung program
swasembada dan ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah RI terutama
peningkatan produktifitas dan kualitas hasil budidaya tanaman pangan. Optimalisasi sitem
LEISA dan bioremediasi secara in-situ di lahan budidaya kentang konsumsi perlu suatu kajian
secara mendalam.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida)
Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian selalu
berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak bahan-bahan kimia tersebut
dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahan bahan kimia pertanian yang disemprotkan
jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di
atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah
(Uehara, 1996).
Pestisida kelompok organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan
dan meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui
rantai makanan. Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh
yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, pestisida kelompok organofosfat antara
lain : Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, dan Gophacide (Sudarmo, 1991).Dalam
penerapan di bidang pertanian, kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran
sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut
mengakibatkan pencemaran lahan pertanian (Armes et al., 1995 dan Tengkano et al. 1992).
Menurut Vidali, 2001 bioremediasi adalah usaha perbaikan tanah dan air permukaan
dari residu pestisida atau senyawa rekalsitran lainnya dengan menggunakan jasa
mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari tanah namun karena jumlahnya
masih terbatas sehingga masih perlu pengkayaan serta pengaktifan yang tergantung pada
tingkat rekalsitran senyawa yang dirombak (Sa’id, 1994). Menurut Katsivela, 2005 konsursium
mikroba yang mampu mendegradasi polutan pada tanah sangat terbatas.
Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Menurut Vidali, 2001 pestisida kelompok Atrazine, Carbaryl, Carbofuran, Coumphos,
Diazinon, Glycophosphate, Parathion, Profenofos, dan 2,4-D dapat diremidiasi oleh mikroba
dalam proses aerobik. Mikroba kelompok aerobik adalah Pseudomonas, Alcaligenes,
Sphingomonas, Rhodococcus, and Mycobacterium. Mikroba ini mendegradasi pestisida dan
hydrocarbons alkana dan polyaromatic. Pestisida adalah sumber hydrokarbon dan sumber
energi.
Pengomposan adalah salah satu teknik bioremidiasi secara in-situ, karena dengan
pengomposan mampu meningkatkan populasi mikroba dan mengatur suhu tanah sehingga
proses bioremidiasi optimal. Menurut Vidali, 2001 dengan pengomposan menghemat biaya
dalam penurunan residu pestisida secara in-situ. Indrayani (2006), melakukan penelitian
bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan pengomposan, hasil penelitian
adalah mikroorganime awal populasinya 108 sel g
-1 bahan kering, puncak populasi
mikroorganisme 1010
sel per g kering bahan organik. Mikrorganisme yang aktif pada proses
bioremidiasi adalah kelompok mesofilik jenis kapang dan bakteri selulotik dan populasinya
mencapai puncak di minggu ke dua.
Mikroba kelompok Bacillus menurut Irianto et al. (1998) berpotensi melakukan
bioremidiasi. Sebagai gambaran, dari 10 area terlindungi di Jawa seperti Taman Nasional
Ujung Kulon, Gede-Pangrango, Merubetiri dan Baluran didapatkan ratusan isolat. Masing-
masing isolat dapat dikembangkan untuk penelitian beragam aspek seperti enzim, produksi
senyawa antibiotik, kemampuan mengikat logam berat, dan potensinya untuk bioremidiasi.
Hasil penelitian Setiyo et al. 2011, residu pestisida di lahan hortikultura yang tidak
dipupuk kompos lebih lambat teremediasi dibandingkan dengan lahan yang dipupuk dengan
kompos. Gambar 1 adalah gambar akumulasi residu pestiisida yang dapat diremidiasi oleh
mikroba dalam proses bioremidiasi in-situ di lahan pertanian yang dibudidayakan hortikultura.
Pada penelitian ini introduksi mikroba dengan cara pemberian kompos di lahan yang
dibudidayakan hortikultura, karena kompos mengandung mikroba kelompok Pseudomonas.
a. Penyemprotan dosis tinggi
Penyemprotan dosis sedang
Gambar 1 Akumulasi residu pestisida yang teremediasi (Sumber Laporan Akhir Penelitian Strasnas
(Setiyo, et al, 2009))
Menurut Setiyo et al. (2009) penggunaan kompos sebagai pupuk organik pada tanaman
jahe merah juga dapat memperbaiki sifat fisik, dan sifat kimia tanah. Penelitian Sudyastuti
(2007) pada tanah pasiran yang dibudidayakan cabai, kompos juga dapat memperbaiki sifat
fisik, sifat kimia, sifat biologis dan bakan sifat thermis tanah. Hasil penelitian Setiyo, 2009
aplikasi kompos dengan dosis 10 ton/ha di zone perakaran tanaman jahe merah (0 – 20 cm)
menghasilkan : suhu (27 – 32 oC), pH ( 6,5 – 6,8), kadar air tanah (30 – 50 %) dan porositas
24.2 %. Menurut Sudiastuti, 2007, kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman cabai di daerah
pasiran yang dipupuk kompos di kedalaman 0 – 20 cm memiliki suhu (27,5 – 32,5 oC), dan
kadar air volumetrik (0,13 – 0,17). Suplai oksigen di zone perakaran pada lahan dengan
porositas merndekati ideal sangat baik, sehingga potensi berlangsungnya proses bioremediasi
mikrobial di zone perakaran juga berlangsung secara sempurna (Setiyo et al., 2009). Kondisi
lahan yang dipupuk dengan kompos dari hasil penelitian Setiyo dan Sudiatuti (2007) sesuai
dengan standar ideal untuk proses bioremidiasi in-situ yang ditetapkan oleh Vidali (2001).
Kompos dari kotoran sapi dan kotoran ayam yang diberikan pada lahan yang
dibudidayakan kentang mengandung mikroorganisme aktif antara 106.8
– 10.8.5
cfu sedangkan
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu pengamatan, hari
Res
idu p
estisi
da
yan
g
terrem
idia
si, ppm
Lahan tidak dipupuk kompos
Lahan dipupuk kompos kotoran sapi
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 20 40 60 80
Waktu pengamatan, hari
Akum
ula
si res
idu p
estisi
da
terrem
edia
si, ppm
Lahan dipupuk kompos kotoran sapi
Lahan tidak dipupuk kompos
lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 101.9
– 105.9
cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan
pertanian kentang. Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2. Kedua kondisi
ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis acrobat
dan dactonil, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipupuk kompos
kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil
penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada
proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara pengomposan.
Gambar 2 Populasi mikroba di lahan percobaan budidaya kentang (Sumber : Laporan akhir
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)
Hasil skrining mikroba pada media Mineral Salt Peptone Yeast yang mengandung 100
ppm profenofos mempunyai ciri-ciri seperti koloni bakteri yakni berlendir dan mengkilap.
Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni-
koloni tersebut baru mampu beradaptasi dengan media Mineral Salt Peptone Yeast yang
mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa-senyawa
kompleks yang terdapat dalam yeast ekstract. Foto koloni yang berbeda secara fisik dapat
dilihat pada Gambar 3 (Setiyo, et al., 2014).
Gambar 3. Foto koloni yang tumbuh pada media selektif MSPY (Sumber : Laporan akhir
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)
0.02.04.06.08.0
10.0P
op
ula
si,
x 1
00
00
0 c
fu
Pemupukan Dengan Kompos
Bakteri
Kapang
Total Mikroba
2.2 Kesuburan Lahan Percobaan
Penambahan bahan organik berupa pupuk kompos akan berdampak pada peningkatan
kesuburan lahan selain itu juga memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah (
Sutanto, 2002 dan Setiyo et al. 2010). Perubahan sifat fisik tanah terutama pada struktur,
kemampuan tanah menanahan air bagi tanaman, dan porositas tanah. Menurut Sutedjo (2002)
tanah-tanah berat jika dipupuk dengan kompos akan menjadi lebih ringan, sedanglan tanah-
tanah ringan akan menjadi lebih baik strukturnya.
Perubahan sifat kimia tanah akibat pemupukan dengan kompos adalah pada
meningkatnya ketersediaan unsure hara mikro dan makro, meningkatnya kapasitas tukar kation
(KTK). Asam-asam yang dikandung kompos membantu proses pelapukan bahan menjadi
mineral-mineral tanah (Sutanto, 2002). Proses pelapukan material kompos menjadi mineral-
mineral berakibat pada perubahan pH tanah. Kenaikan pH karena ada demineralisasi bahan
organik terutama unsur mikro Mg2+
, K+, Ca
2+. Kation-kation ini akan berikatan dengan asam-
asam yang terbentuk selama proses demineralisasi (Setiyo et al, 2007).
Tabel 1. Kandungan N, P, K dan KTK Pada Plot Penelitian Pemupukan dengan kotoran ayam
(Sumber : Laporan akhir penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014))
Kode BULAN C/N
KTK,
me/100g
Keterangan kandungan hara utama
C N P K
A10M
1 10.02 27.35 S ST ST T
2 9.11 28.71 S ST ST T
3 9.63 29.00 S ST ST T
A15M
1 9.48 27.64 S ST ST T
2 9.15 25.16 S ST ST T
3 9.43 25.37 S ST ST T
A20M
1 10.00 22.97 S ST ST T
2 11.28 24.24 S ST ST T
3 10.73 23.84 S ST ST T
A25M
1 10.61 20.80 S ST ST T
2 8.54 26.61 S ST ST T
3 10.67 26.19 S ST ST T
KOM
1 12.64 24.64 S ST ST T
2 12.06 23.53 S ST ST T
3 10.74 23.11 S ST ST S
Berdasarkan data di Tabel 1 kandungan bahan bahan organic (pada sampel tanah yang
diambil dari plot-plot penelitian sebelum penanaman kentang dan setelah panen kentang
cenderung mengalami peningkatan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam dengan dosis
10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/hayang dikombinasikan dengan budidaya di lahan
ditutup mulsa plastic menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan
terjadi peningkatan kandungan bahan organic. Kompos kotoran ayam yang diberikan secara
kontinu selama tiga tahun terakhir dalam setiap tahapan budidaya mineral-mineral hasil
dekomposisinya tidak semua diserap oleh tanaman yang dibudidayakan termasuk tanaman
kentang (Setiyo, et al., 2014).
Menurut Sutedjo, 2002 pada pH 6,5 – 7,5 (pada kondisi reaksi netral) unsur-unsur hara
hasil dekomposisi kompos dan unsure-unsur dari pupuk NPK semua tersedia secara optimal
bagi tanaman kentang. Sisa kandungan hara C, N, P dan K merupakan hasil dari dekomposisi
kompos. Hal ini ditunjukan oleh nilai KTK di plot-plot percobaan yang bervariasi dari 23.11
sampai 29.0.
2.3 Produktivitas Lahan Percobaan
Hubungan antara dosis pemupukan kompos (kotoran ayam dan kotoran sapi) untuk
budidaya di lahan yang ditutup mulsa plastic hitam dan yang tidak ditutup mulsa plastic dengan
rerata total berat umbi kentang yang dihasilkan adalah seperti Gambar 3. Adanya
kecenderungan total produksi umbi kentang untuk perlakuan budidaya menggunakan mulsa
plastic lebih jumlahnya lebih sedikit dibandingkan total produksi pada perlakuan budidaya
menggunakan mulsa plastic hitam. Pada budidaya menggunakan mulsa plastic gulma, kadar air,
dan pH tanah selama masa budidaya dapat dikontrol (Setiyo et al., 2014).
Peningkatan penggunaan pupuk kompos kotoran sapi pada perlakuan budidaya
menggunakan mulsa plastic maupun tanpa mulsa plastic memiliki kecenderungan
meningkatnya jumlah produksi umbi kentang tiap pohon, kondisi ini berlawanan dengan
penggunaan pupuk kompos kotoran ayam. Kondisi ini diduga karena kotoran sapi lebih tersedia
dari pada kotoran ayam, karena kotoran sapi yang digunakan sudah terdekomposisi lebih dari 2
bulan, sedangkan kotoran ayam baru terfermentasi selama sebulan. Hasil sidik ragam pada
selang kepercayaan 1 % menunjukan bahwa dosis pemupukan berpengaruh tidak sangat nyata
terhadap total produksi umbi kentang untuk tiap pohonnya (Setiyo et al., 2014).
Gambar 3 Rerata berat umbi kentang yang dihasilkan tiap pohon
250
350
450
550
650
0 10 20 30
Re
rata
Be
rat
Um
bi
Ke
nta
ng
pe
r p
oh
on
, g
Dosis pupuk kompos, ton/ha
Kompos
Kotoran Sapi
dan Budidaya
Tanpa Mulsa
Plastik
Gambar 4 Rerata jumlah umbi kentang yang diproduksi tiap pohon
Jumlah umbi kentang yang dihasilkan pada semua perlakuan budidaya yang tertuang
pada Gambar 4 sudah sesuai dengan standar produktiivitas kentang bibit berkualitas, standar
produktivitas kentang bibit adalah 8 – 15 umbi per pohon, selain itu bibit. Perlakuan
pemupukan menggunakan kompos kotoran sapi pada budidaya penutupan lahan menggunakan
mulsa plastic menghasilkan jumlah umbi yang lebih banyak dibandingkan ketiga perlakuan
lainnya. Jumlah umbi kentang yang dihasilkan ini juga mendekati hasil penelitian Supartha et
al. 2012 pada budidaya di musim basah. Kondisi ketersediaan unsur hara yang didukung oleh
sifat psikokimia tanah yang baik menyebabkan jumlah umbi kentang menjadi lebih banyak.
Sifat psikokimia tanah meliputi porositas, struktur tanah, kadar air, pH, dan ketersediaan unsur
hara.
7
9
11
13
15
0 10 20 30
Jum
lah
um
bi
ke
nta
ng
pe
r p
oh
on
Dosis pemupukan dengan kompos, ton/ha
Kompos
Kotoran Sapi
dan Budidaya
Tanpa Mulsa
Plastik
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Roadmap Penelitian
Gambar 5 Peta Jalan Penelitian
Untuk menghasilkan kentang konsumsi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi,
maka teknik budidaya mengikuti pola standar atau GAP dengan implementasi sistem LEISA
sangat dianjurkan. Oleh karena itu pada langkah selanjutnya peneliti merencanakan penelitian
dengan topik “Optimasi Sistem LEISA dan pengembanga Model Bioremediasi Secara In-Situ
Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.) Varietas Granola”.
2013-2014
Kajian Bioremidiasi
Residu Pestisida Se-
cara In-Situ Meng-
gunakan Proses
Pengomposan De-
ngan Beberapa Jenis
Kompos
2009
Publikasi
Ilmiah“Bioremidiasi
secara In-Situpada
lahan
tercemarpestisida
kelompok mankozeb
dengan mikroba dari
beberapa jenis
kompos” (Perhorti,
2010 – 2012
Penerapan Proses
Bioremidiasi Resi-du
Pestisida Secara In-
Situ Mengguna-kan
Proses Pengomposan
pada budidaya
kentang granola
Publikasi Ilmiah
(1) Optimalisasi
Proses Bioremi-diasi
Secara In-Situ Pada
lahan Tercemar
Kelom-pok
Mankozeb (Jurnal
Teknik Industri UM
Malang 2011)
(2) Bioremidiasi In-
Situ Lahan
Tercemar pestisida
oleh mikroba yang
ada pada kompos
(The excelence
Unud 2011)
-IbM Petani Bibit
Kentang Varietas
Granola-
-Pengembangan
Model Bioremediasi
In-situ menggunakan
mikroba dari kompos
untuk meningkatkan
produktivitas dan
daya saing
1) SOP dan GAP
dalam budidaya
hortikultura 2)
Publikasi Ilmiah:
(1) Publikasi di
Jurnal Karya UNUD
untuk anak bangsa
“Optimalisasi
Produktivitas
Kentang Bibit
Varietas Granola G3
Dengan Manipulasi
Dosis Pemupukan”
(2) Makalah Seminar
SENASTEK
2015 - 2017
Optimasi Sistem
LEISA dan
pengembanga
Model
Bioremediasi
Secara In-Situ
Pada Budidaya
Kentang
(Solanum
Tuberosum L.)
Varietas Granola
1.Buku GAP
Budidaya kentang
bibit varietas
granola
2.Publikasi ilmiah
3. HAKI
Luaran
Luaran
Luaran
Luaran
Pengembangan
good
agriculture
practices
(GAP)
3.2 Metode Penelitian
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015-2017. Tempat penelitian plot budidaya
kentang di lahan milik Bp Wayan Ada di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti Kabupaten
Tabanan, Propinsi Bali. Analisis tanah bertempat di Lab. Sumber Daya Alam PS. Teknik
Pertanian, pengamatan mikroba di Lab. Bioindustri PS. Teknologi Industri Pertanian
3.2.2. Bahan Penelitian
Bahan untuk penelitian di demoplot adalah : benih tanaman (kentang, brokoli, bawang
pre), kompos kotoran ayam terfermentasi 21 hari, dan pestisida. Zat kimia yang digunakan
untuk analisis C-organik, K2O, N-organik, P2O5 dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dari
sampah dan kompos adalah K2Cr2O7, Fe2SO4, H2SO4, CuSO4, Na2SO4, NaOH, HCl, NH4OH,
Na2SO5, BaCl2, alkohol 80%, aquades, dan NH4-asetat. Bahan untuk uji perkembangbiakan
bakteri dan kapang pada proses pengomposan adalah nutrient agar (NA), aquades, potato
dextrose agar (PDA). Bahan – bahan kimia untuk analis aktivitas mikroba adalah : NaCl faali,
Alkohol, Supernatan, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O, NaCl, CaCl2.2 H2O, FeSO4. 7H2O,
yeast extract, Bacto agar, Flourescent Diacetance Assay (FDA), larutan buffer fosfat, aseton,
Na2MoO4 dan NaWO2.
3.2.3 Alat-alat
Kolom gelas, pendingin balik, labu, “mantleheater”, corong pemisah, timbangan
analitik, inkubator, “autoclave”, oven, freezer, lemari pendingin,“laminarflow”, “shaker
waterbath”, pHmeter, magnetic stirrer, sentrifuge vortex, stopwatch, penangasair,
spektrofotometer, mikroskopelektron, sequencer, PCR, elektroforesis, “gas chromatography”:
GC-FID, GC-SCD/GC-FPD, GC-MS, HPLC, Instalasi biodesulfurisasi proses kontinyu,
fermentor dan alat-alat gelas.
3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian secara keseluruhan digambarkan pada Gambar 6, sedangkan
Gambar 7 merupakan detail diagram alir penelitian tahun ke-1.
Optimalisasi sistem LEISA dengan manipulasi dosis pupuk kompos (10 – 25
ton/ha) dan budidaya di musim hujan serta kemarau
Pengamatan Konsentrasi Residu Pestisida (Proses
Bioremediasi Secara In-Situ)
Sistem LEISA yang optimum untuk
proses bioremediasi secara in-situ
Analisis Data
Uji Sistem LEISA dan proses bioremediasi secara
in-situ pada budidaya kentang
Penelitian
Tahun I
Pengamatan Mikroba
Yang Aktif Dalam
Proses Bioremediasi
Pengamatan Kuantitas dan
kulitas umbi kentang konsumsi
yang dihasilkan
GAP Budidaya Kentang Konsumsi Varietas
Ganola
Pengamatan keterse-
diaan N, P, K, C-or-ganik,
dan KTK di lahan
Gambar 6 Diagram alir penelitian keseluruhan
selesai
Penelitian
Tahun 2
Pengamatan Kualitas Kentang
mulai
Uji Sistem LEISA untuk efektifitas penggunaan sarana produksi pupuk
kimia dan obat-obatan, uji sitem dilakukan di lahan 10 petani kentang
Pengamatan keterse-diaan N, P,
K, C-or-ganik, dan KTK di lahan
Pengamatan Kuantitas dan kulitas umbi
kentang konsumsi yang dihasilkan
Efektifitas sistem LEISA pada budidaya kentang
konsumsi yang berpenjaminan mutu Penelitian
Tahun 3
mulai
Mulai umur 30 hari, setiap seminggu tanaman disemprot dengan fungisida
jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45 dengan dosis sedang
Selesai
Gambar 7 Diagram alir penelitian tahun ke-3
Budidaya kentang granola kelompok G2 pada demoplot
ukuran 10 m x 20 m dengan perlakuan : dosis pengomposan (20, 22,5 dan
25 ton/ha), jenis kompos (kotoran ayam, kotoran sapi), dan waktu budidaya
(musim hujan, dan kemarau)
Pengamatan produktifitas umbi
kentang persatuan luas, diambil 20
sampel dari setiap guludan
Analisis residu pestisida dan
kandungan logam berat di tanah dan
umbi kentang
Pengambilan sampel tanah,
tanaman dan umbi kentang pada
umur tanaman 1 dan 2 bulan
Analisa Keandalan Sistem LEISA : (1) proses bioremediasi, (2) konsentrasi residu pestisida
dan logam berat di tanah, (3) produktifitas lahan, (4) kulaitas kentang dan (5)kandungan
residu pestisida dan logam berat pada umbi kentang
berkualitas dan berdaya saing
Sistem LEISA yang handal dan mendukung sitem pertanian
berkelanjutan
Pengamatan pertumbuhan dan
kesehatan tanaman setiap 2 minggu
dengan sampel 20 tanaman per plot
Pengamatan perkembangan umbi
kentang setiap 2 minggu dengan
sampel 20 tanaman per plot
Pengamatan perkembangan umbi
kentang setiap 2 minggu dengan
sampel 20 tanaman per plot
Pengamatan kualitas
umbi kentang selama
penyimpanan 2 bulan
Pengamatan konsentrasi residu
pestisida dan kandungan logam
berat di umbi kentang
3.4 Sistimatika Kegiatan
Gambar 8. Diagram sistimatika kegiatan
3.4 Rancangan percobaan
Penelitian tahun ke-3 dengan perlakuan : (1) dosis pemupukan dengan kompos yang
dikombinasikan dengan pemupukan dengan NPK majemuk dosis 250 ton/ha, (2) jenis kompos
yang digunakan dan (3) musim tanam. Dosis pemupukan dengan kompos digunakan empat
level, yaitu 20 ton/ha, 22.5 ton/ha, dan 22.5 ton/ha. B Jenis kompos yang digunakan adalah
kompos kotoran ayam dan kompos kotoran sapi dengan musim tanam musim kemarau (Juni s/d
Optimasi Sistem
LEISA dan
pengembanga
Model
Bioremediasi
Secara In-Situ
Pada Budidaya
Kentang
(Solanum
Tuberosum L.)
Varietas Granola
Sumber Daya
Tahapan Penelitian
(2)uji keandalan proses bioremediasi
residu pestisida secara in-situ
(1) identifikasi
cemaran pestisida
(3)optimasidosis penggunaan
kompos yang efektif medukung
proses bioremediasi (4)pengembangan proses
bioremi-diasi in situ (5)optimalisasi produktivitas
dan kualitas kentang
(2)Analis tingkat cemaran residu
pestisida (Lani Triani, S.TP, M.Si
+ mhs PS. TIP)
(3)Analis kualitas
kentang (Dr. I
D.G. Mayun P. +
mahasiswa FTP)
(1)pengembangan proses
bioremi-diasi di lahan (Dr.
Yohanes Setiyo + mhs S2 PS.
Kimia)
Lahan Bpk Wayan Ada (Desa
Candikuning) dan alat
budidaya untuk budidaya
kentang
Bibit kentang, kompos,
pestisida, mulsa
plastik, pupuk NPK
Laboratorium Bioindustri
(Glassware, inkubator,
cawan petri, shaker, ruang
isolatasi, spektrofoto meter,
autoclub)
NA, PDA, aquadest,
KH2PO4,MgSO4.7H2O, NaCl,
Na2Mo O4, NaWO2. Bakto
peptone, dan yeast extract,
buffer fosfat, larutan FDA,
aseton
Sampel tanah dan
kompos
Laboratorium Kimia Analitik
(GC, Shaker, glassware)
Acetonitril,
Na2SO4 anhidrat
granuler,
petroleum eter,
heksan, metanol,
Laboratorium Teknik
Pascapanen (timbangan
analitik, chromameter, tektur
analiser, cold storage)
Sampel
kentang
Bahan-bahan Laboratorium dan peralatan
Mitra Bpk
Wayan Ada
Agustus) dan musim hujan (Oktober s/d Desember). Setiap unit percobaan diulang 3 kali,
sehingga secara keseluruhan ada 51 unit percobaan.Setiap unit percobaan berukuran 5 m x 10
m.
Tanaman kentang di plot-plot percobaan dipelihara pertumbuhannya dan disemprot
dengan insektisida dan fungisida. Fungisida jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane
M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan adalah Curacron dan Detacron.
Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur 14 minggu setiap seminggu tanaman
disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut.
3.4.1 Prosedur pengamatan parameter-parameter
1. Konsentrasi residu pestisida di lahan
Kadar residu di lahan, di tanaman dan di umbi kentang diukur Gas Chromatografi (GC)
dengan standart Mancozeb murni yang diperoleh dari PT. Tanindo Subur Prima. Pengambilan
sampel tanah, tanaman dan umbi kentang dilakukan setelah penyemprotan 3 hari. Pengambilan
sampel dilakukan dengan mengambil sampel secara diagonal dengan lima titik pengambilan.
Ekstraksi sampel dilakukan secara langsung, langkah ini dilakukan sesuai dengan sifat pestisida
yang tidak stabil dan mudah hilang pada sampel yang akan dihitung secara kuantitatif.
Pengujian dengan GC melalui tahapan: penyaringan, pemurnian dan injeksi ke dalam
kolom. Pada Proses penyaringan, sample tanah ditimbang sebanyak 250 gram dan ditambahkan
Acetonitril serta 5 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kemudian diblender dan disaring. Proses
selanjutnya adalah memasukkan sebanyak 93 ml filtrat dalam corong pisah yang berisi 100 ml
petroleum eter, dikocok selama 5 menit, dan membuang lapisan air yang terpisah pada bagian
bawah. Pada sisa larutan ditambahkan 200 ml Na2SO4 2 %, dikocok selama 2 menit, dan
membuang lagi sisa air yang terpisah. Pada corong biasa diberi glass wool dan Na2SO4 anhidrat
granuler pada lapisan atas dan kemidian zat dilewatkan pada corong untuk disaring, kemudian
selanjutnya adalah proses pemurnian.
Pada proses pemurnian glass wool ditempatkan pada bagian bawah kolom kromatografi
dan ditambahkan 1.6 gram fluoricyl serta 1.6 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kolom dicuci
dengan 50 ml heksan, kemudian dengan 50 ml metanol, dan membuang cairan pencuci. Elusi
dengan 11 ml heksan, ditampung masing-masing dalam labu erlemeyer dan diuapkan sampai
0.5 ml di atas water bath. Sampel yang telah diuapkan di atas water bath diambil sebanyak 10
mikroliter dengan menggunakan syringe, kemudian di injeksikan ke dalam kolom melalui
septum secara bersamaan dengan menekan tombol start. Diagram kromatogram yang terbentuk
dapat diamati di layar monitor, sedangkan perhitungan nilai kuantitatif residu yang terdapat
pada sampel menggunakan rumus :
μg/L (ppm) = ExFxG
AxBxCxD
(3.1)
Dimana :
A : Konsentrasi larutan standart pestisida (μg/ μl)
B : Tinggi puncak hasil pemurnian (mm)
C : Volume akhir hasil ekstraksi (μl)
D : Faktor pengenceran (bila ada)
E : Tinggi puncak larutan standart (mm)
F : Volume hasil pemurnian yang disuntikkan ( μl)
G : Volume atau berat dari contoh atau spesimen yang di ekstrak (ml atau gram).
2. Analisis Cemaran Logam Berat Pb dan Cd (Apriantono et al., 1988)
Preparasi Sampel . Sampel umbi kentang dikecilkan ukurannya kemudian dioven sampai kering
dengan suhu ± 60 oC selama ± 6 jam. Bahan kering dihancurkan/diblender dengan kecepatan
rendah, lalu diayak dengan ayakan 60 mesh untuk kemudian bahan menjadi bubuk. Bubuk seberat
0,5 g dimasukkan dalam tabung teaksi besar dan ditambah dengan 5 ml campuran larutan HNO3
pekat dan HCl pekat (3:1). Kemudian digesti dengan ultrasonic bath dengan suhu 140 o selama 45
menit. Cairan atau larutan yang tersisa ditabung reaksi dibilas sampai dengan tanda tera dengan
aquades, lalu disaring. Larutan siap diuji dengan menggunakan Atomic Absorption
Spectofotometry/AAS.
Pembuatan Larutan Standar Cd. Larutan induk Cd 100 ppm dibuat dengan menimbang teliti
CdSO4.8H2O 0,0799 g, kemudian dilarutkan dalam HCl 5 ml dalam labu ukur 500 ml. Dari larutan
induk Cd 100 ppm ini dibuat larutan standar Cd dengan konsentrasi 0,0,0,5, 0,75, 1,0, 1,5, dan 2,0
ppm dengan cara dipipet sebanyak 0,0, 0,5, 0,75, 1,0, 1,5, dan 2,0 ml larutan induk Cd 100 ppm,
kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan HCl hingga tanda tera.
Pembuatan Larutan Standar Pb. Larutan induk Pb 100 ppm dibuat dengan menimbang teliti
Pb(NO3)2 0,0799 g, kemudian dilarutkan dalam HNO3 1% dalam labu ukur 500 ml. Dari larutan
induk Pb 100 ppm ini dibuat larutan standar Pb dengan konsentrasi 0,0, 0,5, 0,75, 1,0, 1,5, dan 2,0
ppm dengan cara dipipet sebanyak 0,0, 0,5, 0,75, 1,0, 1,5, dan 2,0 ml larutan induk Pb 100 ppm,
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan HNO3 1% hingga tanda tera.
Persiapan AAS. Persiapan Atomic Absorption Spectofotometry/AAS sebelum analisis yaitu lampu
elemen yang digunakan untuk analisis dinyalakan, gas argon diputar dan kemudian dinyalakan
cooler, selanjutnya AAS dan purnace dinyalakan dan dihubungkan ke komputer. Panjang
gelombang yang digunakan untuk analisis Cd yaitu 228,8 nm dan lebar celah yaitu 0,5 nm. Untuk
analisis Pb, pada panjang gelombang 217,0 nm dan lebar celah 0,5 nm.
Pertama-tama larutan Cd/ Pb dengan konsentrasi tertentu dimasukkan ke dalam tabung reaksi
(kuvet) untuk analisis AAS. Nilai absorbansi (mg/L) yang diperoleh berturut-turut lalu dilakukan
pencatatan hasil pembacaan ini, dan kemudian dibuatkan gambar supaya menunjukkan garis lurus/
linear dan diperoleh persamaan regresinya. Setelah linear lalu dilanjutkan analisis blanko untuk
perhitungan kadar Pb, Cd dan dicatat nilai absorbansi blanko yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan
analisis sesuai sampel yang telah dipersiapkan. Nilai absorbansi sampel dari pembacaan AAS
tersebut dicatat dan dilanjutkan perhitungan kadar dengan rumus (3.2)
)(
))(())(()(
kglBeratsampe
LrVolumeakhixL
mgba
ppmK−
= (3.2)
Keterangan:
a = nilai absorbansi sampel (mg/L)
b = nilai absorbansi standar (mg/L)
K = kandungan/ kadar logam berat pada sampel (ppm)
3. Produktifitas Tanaman
Produktifitas tanaman diukur dengan cara mengamati total produksi tiap satuan luas
(1 m2) dan total umbi per pohon. Jumlah sampel untuk pengamatan total jumlah umbi adalah 20
batang untuk setiap plot, sedang pengamatan total produksi diambil 5 sampel untuk tiap plot.
4. Kualitas Produksi
Parameter kualitas produksi adalah (1) prosentase umbi yang busuk atau rusak selama
penyimpanan, dan (2) distribusi berat umbi berdasarkan berat per umbi (Kelas B (berat 30-60
g), A/B (berat 60 – 100 g), A (berat 100 – 200 g), dan super (berat lebih dari 200 g). Pengamtan
distribusi berat umbi berdasarkan kelas dilakukan dengan mengambil sampel 20 pohon dan
kemudian umbinya ditimbang. Sedangkan prosestase umbi kentang yang rusak atau busuk
dihitung berdasar umbi yang rusak.
5. Analisis Mikroba
Mikroba yang dianalisis adalah kelompok bakteri, karena pada penelitian sebelumnya
populasi kapang lebih kecil dari populasi bakteri.
a. Pengambilan sampel tanah
Pengambilan sampel tanah pada masing-masing demplot dilakukan pada 5 titik sampel
setelah 3 hari dari waktu penyemprotan pestisida, kedalaman pengambilan adalah 0 -10 cm.
Pengambilan sampel dengan soil range sample dengan posisi titik-titik pengambilan sampel
menyilang dan jarak antar titik 1 m.
b. Pengenceran
Setiap 1 g sampel ditambahkan dengan 9 ml NaCl faali (0.85 %) ke dalam tabung
reaksi. Larutan ini pengencerannya 10-1
dan pengenceran dilakukan sampai 10-9
. Setiap kali
melakuan pengenceran larutan dihomoginisasi menggunakan vortek.
c. Populasi Bakteri (TPC)
Setiap 0.1 ml larutan untuk pengenceran 10-4
sampai 10-9
dituang ke media PCA
menggunakan ependorf dari stip steril. Selanjutnya larutan disebar dengan sprider yang telah
dicelupkan pad alkhohol dan dipanaskan. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48
jam. Koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 30 – 300 koloni.
Pembuatan PCA dengan melarutkan 15 g agar, 1 g dextrosa, 5 tripton, 1.5 g yeast ke
dalam 1000 ml aquadest. Larutan tersebut dipanaskan sambil diaduk dengan magnetic stirer
sampai mendidih dan homogen. Selanjutnya larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121
oC selama 15 menit. Setelah agak dingin dituangkan ke dalam cawan petri steril ± 15 – 20 ml
dan didinginkan. Setelah padat cawan petri ditutup dalam posisi terbalik.
6. Kesuburan lahan
1) Penetapan karbon organik dengan metode AOAC 1995.
Sampel tanah diambil dari demplot pada kedalaman 0 – 10 cm dan sampel kemudian
dikeringkan sampai kadar air mendekati titik kesetimbangan (EMC). Prosedur penetapan C-
organik adalah :
Duplo 0.5 g media tanah kering udara yang lolos saringan 0.5 mm (gunakan sampel 1 g
jika kandungan karbon organik < 1 %), kemudian ditempatkan pada erlenmeyer 500 ml. Duplo
ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 sambil erlenmeyer digoyang perlahan, kemudian ditambahkan 20
ml H2SO4 pekat dengan gelas ukur di ruang asam sambil digoyang.
Campuran dibiarkan di ruang asam selama 30 menit supaya dingin, kemudian larutan
diencerkan dengan 100 ml air bebas ion/destilata dan ditambahkan tetes indikator ferroin 0.025
M. Larutan dititrasi dengan FeSO4 0.5 M sampai larutan tetap berwarna merah anggur. Blangko
ditetapkan seperti prosesur di atas, tetapi tidak menggunakan sampel.
(me K2Cr2O7 – me FeSO4) x 0.003 x f x 100
% C organik = _____________________________________ (3.3)
BKM
F = 1.33, me = N x V dengan N = normalitas, V = volume; BKM = bobot kering oven
sampel tanah
% bahan organik = % C organik x 1.724 (3.3)
2) Kadar Nitrogen organik
Sampel tanah kering diambil 500 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 25
ml. Sampel ditambah 1.9 g campuran Se, CuSO4 dan Na2SO4, kemudian sampel ditambahkan 5
ml H2SO4 pekat ke dalam labu, kemudian digoyang secara perlahan agar sampel basah, dan
dijaga agar sampel tidak memercik kedinding labu. Sampel yang sudah dimasukan labu
ditambah 5 tetes parafin cair, kemudian labu dipanasi di kamar asam dengn api kecil dan secara
perlahan api diperbesar, sehingga diperoleh cairan berwarna hijau atau biru. Dipanaskan 15
menit lagi kemudian didinginkan.
Sampel ditambahkan air sebanyak 50 ml, goyangkan sebentar kemudian isi labu
dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi. Bahan cairan di labu destilasi tidak boleh
melebihi ½ dari isi labu. Kedalam labu destilasi ditambahkan 5 ml NaOH 50 %, dilakukan
destilasi, tampung hasil destilasi ke dalam erlenmeyer 125 ml yang telah diisi campuran 100 ml
H3BO4 4 % dan 5 tetes indikator Conway. Isi deatilat 100 ml.
Distilat dititrasi dengan HCl yang sudah dibakukan sampai terjadi perubahan warna
hijau menjadi merah. Lakukan penetapan blangko seperti prosedur di atas
Isi HCl (contoh – blangko) x N HCl x 14 x 100
Kadar N % = _________________________________________ (3.4)
Bobot Sampel (mg)
3) Kadar K2O dengan metode AOAC, 1995.
Hasil saringan pada cara kerja penetapan kapasitas tukar kation diambil 1 ml, dan dimasukan
pada tabung reaksi kemudian diencerkan menjadi 10 kali lipat (mungkin bisa lebih encer).
Sampel kemudian dimasukan kedalam tabung pengukur (terbuat dari plastik) dan diukur
dengan alat ukur foto nyala dengan filter K, namun bila larutan masih terlalu pekat pengenceran
kedua perlu dilakukan dengan air. Kadar K ditetapkan dari larutan baku, dan juga ditetapkan
blangko.
Larutan baku yang mempunyai konsentrasi 0, 0.05, 0.1, 0.2, 0.4 dan 0.5 me K/liter (sudah
tersedia) diukur dengan alat ukur fotonyala. Nilai kadar K dihitung dengan persamaan :
Kadar K (me/100 g) = kadar K dalam larutan (me/l) x fp x 2 x (100 + KA)/100 x 10-1
(3.4)
4). Penentuan Kadar P2O5
Larutan pengekstrak (P-A) yaitu : Larutan baku (HCL 0.25 N + HF 1.5 N) : 54 ml HF
48 % + 600 ml air. Larutan ditambahkan NH4OH sampai pH = 7.0. Larutan ditambahkan 108
ml HCl pekat dan diencerkan menjadi satu liter. Larutan untuk bekerja (larutan Bray 1 atau P-
A) : (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N) : larutan 20 ml larutan P-A menjadi satu liter atau : 1.11 g
NH4F + 4.16 ml HCl 6 N per liter.
Larutan pewarna (P-B). NH4-molibdat 3.8 g dilarutkan dalam 300 ml H2O pada suhu
60 oC kemudian didinginkan. Asam asorbat 5.0 gdilarutkan dalam 500 ml H2O dan
ditambahkan 75 ml HCl pekat, kemudian ditambahkan larutan molibdat dan diencerkan sampai
menjadi satu liter.
Larutan Pewarna (P-C) : Serbuk pereduksi baku ditumbuk dan dicampur dengan 2.5 g atau 1-
amino-2naftol-4sulfanat, 5.0 g Na2SO3 dan 146 g Na2SO5 di dalam lubang porselin Serbuk
pereduksi sejumlah 8 g dilarutkan di dalam 50 ml air panas dan dibiarkan 12 sampai 16 jam
sebelum dipakai dan . diganti setiap 3 minggu.
Metode Bray no 1. Sampel tanah sebanyak 1.5 g dimasukan kedalam labu ekstrasi
dan kemudian ditambahkan 15 ml larutan P-A, sampel dikocok 15 menit dengan mesin
pengocok kemudian disaring. Sampel tersebut dipipet sejumlah 5 ml dan kemudian dimasukan
kedalam tabung reaksi/kuvet, kemudian ditambahkan 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan
pereduksi P-C, setelah 15 menit dikocok kemudian dibaca kerapatan optik dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 mµ.
Penetapan K menggunakan alat ukur fotonyala dengan cara memipet sejumlah hasil
penyaringan sampel. Satu seri larutan baku dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P.
Larutan ini dibuat dari larutan baku yang larutan Bray no 1 di dalam labu takar 50 ml. Diambil
5ml larutan baku dan dimasukan ketabung reaksi, kemudian ditambahkan 5 ml P-B dan 5 tetes
P-C dan seterusnya sampai sesuai dengan metode yang diuraikan untuk penetapan contoh.
Dibuat kurva baku dengan ppm P sebagai sumbu X dan % T atau A sebagai sumbu Y.
P sampel (ppm) = P dalam larutan (ppm) x10 x (100 +KA)/100 (3.5)
5) Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Sampel tanah kering ukuran 2 mm Ditimbang 5 g dan dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuse 100 ml. Sampel ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc pH 7.0 dan kemudian diaduk
sampai merata, kemudian dibiarkan selama 24 jam. Sampel diaduk kembali kemudian
disentrifuse selama 10 – 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrat ditampung di dalam
labu takar.penambahan NH4OAc pH 7.0 diulangi sampai 4 kali lagi. Setiap penambahan
diaduk sampai merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi kedalam labu ukur 100 ml
sampai tanda tera. Ekstrak ini digunakan di dalam penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat
dipertukarkan serta untuk penetapan kejenuhan basa.
Pencucian NH4+ ditambahkan 20 ml alkhohol 80 % ke dalam tabung sentrifuse yang
berisi endapan sampel, diaduk sampai merata, disentrifuse, didekantasi dan filtratnya dibuang.
Pencucian NH4 dengan alkohol ini dilakukan sampai sekitar 7 kali sampai bebas NH4. Hal ini
diketahui dengan cara menambahkan beberapa tetes pereaksi Nester pada filtrat tersebut.
Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4+.
Sampel yang bebas dari ion NH4+ dipindahkan secara kuantitatif dari tabung
sentrifuse ke dalam labu didih. Kemudian ditambahkan air 450 ml, ditambahkan beberapa butir
batu didih, 5 – 6 tetes parafin cair dan 20 ml NaOH 50 % kemudian didestilasi. Destilat
ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang sudah berisi 25ml H2SO4 0.1 N dan 5 – 6 tetes
indikator Conway. Destilasi dihentikan jika destilat mencapai 150 ml. Kelebihan asam dititrasi
dengan NaOH 0.1 N, titik akhir titrasi dicapai jika warna berubah menjadi hijau. Distilasi
blangko
KTK (me/100 g) = ovenhsetelahdiBeratconto
xNNaOHmlsampelmlblangko )( −
(3.6)
BAB IV.
1. Sifat Fisik Tanah
Penerapan sistem LEISA pada budidaya kentang tahun 2017 di lahan milik enam petani
kentang di Kec. Baturiiti (3 di desa Candikuning dan 3 di desa Antapan) dengan
mempergunakan pupuk kompos kotoran ayam dosis 15 - 25 ton/ha mampu memberikan
dampak terjadinya peningkatan kesuburan lahan. Namun, mineral-mineral organic pendukung
kesuburan lahan ini tidak mampu menyatukan partikel-partikel tanah jenis andosol, sehingga
struktur tanah di lahan percobaan tetap tidak berstruktur, partikel-partikel tanah saling lepas dan
tidak membentuk sebuah agregat tanah.
Porositas tanah, kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen untuk tanaman
kentang, kapasitas penahanan air, serta berat jenis tanah di zone perakaran yanaman kentang
disajikan pada Tabel 1. Secara umum dosis penggunaan kompos sebagai pupuk organic jika
penggunaannya semakin banyak maka parameter-parameter sifat fisik tanah akan semakin
membaik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Arsa et al., 2013, Setiyo et al. 2013, Setiyo et
al., 2014). Sekam pada kompos kotoran ayam agak sulit terdekomposisi menajadi mineral-
mineral penyusun fraksi debu, hal ini mengakibatkan jumlah pori-pori makro meningkat dan
diikuti dengan penurunan berat jenis tanah. Sedangkan mineral-mineral seperti K+, Ca
+, Fe
+2,
Al+ dan kation lainnya sebagai penyusun fraksi debu meningkatkan jumlah pori mikro yang
diikuti dengan peningkatan kadar air kapasitas lapang dan kapasitas penahanan air oleh tanah.
Jumlah porositas tanah untuk lahan yang dipupuk menggunakan kompos kotoran ayam
pada tahun 2016 mencapai di atas 50 %, hal ini disebabkan karena petani sudah sekitar 3
tahun menggunakan kompos kotoran ayam sebagai pupuk dalam budidaya hortikultura.
Jumlah porositas tanah di desa Candikuning hamper semua blok mendekati 50 %, sedang di
desa Antapan hanya beberapa blok saja. Namun jumlah porositas yang dicapai adalah
porositas yang ideal untuk budidaya hortikultura termasuk kentang. Selain itu, keseimbangan
jumlah pori makro dan pori mikro di zone perakaran menyebabkan keseimbangan ketersediaan
air dan oksigen bagi tanamanan hortikulture. Jumlah pori mikro yang ideal untuk budidaya
hortikultura adalah 60 % dari total porositas tanah.
Jumlah air kapasitas lapang yang diserap oleh partikel tanah pada pori mikro sebesar
27,5 – 36,5% w.b, peningkatan ketersediaan air setelah tanah dipupuk dengan kompos dosis 15
- 25 ton / ha sebesar rata-rata 1,5 % untuk penambahan dosis pupuk kompos 2,5 ton/ha, hasil
ini hampir sama dengan hasil penelitian Sutedjo, 2002; Setiyo, et al, 2009;. Arsa, et al, 2013;..
Setiyo et al, 2013; Setiyo et al, 2014;. Rosen et al, 1993 dan Giusquiani et al.. , 1995. Menurut
Sutedjo (2002), jika tanah-tanah berat dipupuk mempergunakan kompos berat jenisnya akan
meningkat dan kapasitas menahan air akan meningkat, tetapi pemupukan pada tanah ringan
mempergunakan kompos menyebabkan struktur tanah menjadi lebih baik. Tanaman kentang
yang diairi setiap 13-17 hari dengan 200 cc / tanaman budidaya iklim kering, karena rata-rata
evaporasi dan transpirasi tingkat tanaman kentang adalah 0,5-0,7 cm / hari.
Table 1.Chicken manure compost and soil physical properties
Parameters of soil
physical properties
Dose of compost , ton ha-1
20 17.5 15 12.5 10
Specific gravity, kg m-3
541±29a 561±42a 573±19a 673±84e 736±42e
Soil porosity, % 56±1,6a 55±1,9a 52±0,7a 50±1,2a 44±5,1c
Moisture at field
capacity, g cc-1
21,8±1,5a 21,3±0,7a 20,9±0,7a 20.2±0,7a 19.7±1,1a
Gravity water, g cc-1
25,3±5,0a 23,1±4,3a 21,3±2,4a 20±3,2b 20±1,6b
Water holding capacity, g
cc-1
14,8±0,7a 14,6±0,5a 13,2±1,7a 11.9±1,2a 10.2±0,9a
Note : soil samples were taken at a depth of 5 - 10 cm at soil pH was close to neutral and soil CEC was
23-27 me (100g soil)-1
and different letter notations on each line explain the differences
between treatments
2. Sifat Kimia Tanah
Kandungan unsure hara pada tanah untuk lahan milik tiga petani yang digunakan untuk
budidaya kentang diekspresikan pada Tabel 2. Kandungan karbon, nitrogen, K2O, dan P2O5
dalam tanah sebelum ditanami kentang dan setelah pane nada peningkatan, sehingga unsure
hara hasil dekomposisi kompos sebagian tidak dipergunakan tanaman kentang. Namun,
kandungan unsure N-organik dan P2O5 kondisinya sebaliknya atau mengalami penurunan,
sehingga input unsur-unsur ini dari kompos dan pupuk NPK majemuk tidak cukup untuk
pertumbuhan tanaman.
Ketersediaan air sebesar 34,53 – 40,69 % w.b , kecukupan oksigen, suhu tanah 26 – 29
oC dan pH tanah 6,8 – 6,9 adalah faktor pendukung optimalnya proses dekomposisi kompos di
lahan. Asam organic di kompos pada pH netral mempercepat proses dekomposisi (Sutanto,
2002).
Dengan jumlah unsure-unsur hara tersebut dan kapasitas tukar kation 24,53 – 28,05
me/100 g, maka tanah di lahan percobaan diklasifikasikan dalam kategori tanah yang subur.
Tanah yang subur memiliki kandungan bahan organic lebih dari 5 % dengan kapasitas tukar
kation lebih dari 25 me/100 g.
Table 2. Average soil fertility with chicken manure compost fertilization
Parameters of soil
fertility at the root
zone
Dose of compost fertilizer, ton ha-1
20 17.5 15 12.5 10
Content of P2O5, ppm 594±80a 668±81a 815±56b 790±60c 750±39c
Content of K2O, ppm 754±148a 718±132a 734±139a 724±125a 686±82a
Content of Ca mg kg-1
3572±61e 2101±46e 1906±85e 1776±98b 1688±92a
Content of Mg, mg kg-
1 246±13e 239±12e 238±28e 208±4b 196±6a
Content of Fe, mg kg-1
1911±78e 1769±98e 1170±61e 203±9b 168±41a
Content of Al, mg kg-1
5678±78e 4944±87e 3790±65e 2169±89b 2063±87a
Soil pH 6,8±0,03c 6.7±0,03c 6,7±0,04a 6,6±0,07a 6,6±0,02a
CEC, me (100g soil)-1
27,6±1,2f 24,1±0,7a 23,2±1,2a 24±0,8a 23,2±0,7
Note : soil samples were taken at a depth of 5 - 10 cm at soil pH was close to neutral and different
letter notations on each line explain the differences between treatments
Kandungan karbon tanah meningkat rata-rata 1,59% jika dosis kompos pupuk kandang
ayam meningkat menjadi 1 ton ha-1, penelitian ini mendekati penelitian oleh Magdoff dan
Weil, 2004 ;. Zinati et al., 2001; Sementara itu, jumlah rata-rata peningkatan karbon di dalam
tanah mencapai 1,98% dan puncak perbaikan terjadi pada minggu ke 6 dimana nilai
peningkatan kadar karbon di dalam tanah yang dicapai adalah 2,4%. Sampai 6 minggu sampai
proses penguraian kompos menjadi senyawa, CO2 dilepaskan ke atmosfer.
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa kompos secara signifikan meningkatkan
kandungan karbon tanah (Flavel T.C dan Murphy, 2006). Peningkatan kadar karbon di dalam
tanah dari minggu 0 sampai minggu ke 6 (fase vegetatif tanaman kentang) adalah hasil dari
penguraian kompos oleh mikroba, dekomposisi menghasilkan senyawa dengan rantai karbon
yang lebih pendek dan beberapa elemen karbon diserap oleh tanaman. akar dan beberapa di
antaranya digunakan oleh mikroba untuk menyiapkan sel. Tingkat dekomposisi kompos lebih
cepat dari pada jumlah karbon yang digunakan oleh tanaman kentang dan mikroba. Namun,
mulai dari minggu ke 6 sampai minggu ke 12 (fase generatif tanaman kentang), jumlah karbon
di dalam tanah cenderung menurun. Hal ini terjadi karena kecepatan dekomposisi senyawa
selulosa, hemiselulosa dan lignin menurun sedangkan asupan karbon oleh akar tanaman
meningkat. Total N dalam uji coba lapangan yang dilakukan oleh Sally Brown dan Matt Cotton
pada 2011 meningkat 0,1%. Pada penelitian ini, total nitrogen di lapangan meningkat rata-rata
0,11% jika dosis kompos meningkat 1 ton ha-1.
Pada pemupukan dengan dosis lebih dari 17,5 ton ha-1, kandungan nitrogen tanah pada
akhir panen lebih tinggi dari pada awal budidaya. Hal ini disebabkan ketidakmampuan akar
untuk menyerap nitrogen. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Flavel T.C dan Murphy, 2006; dan Nunes et al, 2006. Sebaliknya, jika dosis kompos kurang
dari 17,5 ton ha-1, jumlah nitrogen di dalam tanah pada akhir budidaya lebih rendah dari
jumlah awal nitrogen .
C / N dari tanah untuk budidaya kentang sangat dinamis dalam kisaran 9,4 sampai 12,2. C
/ N tanah cenderung meningkat setelah tanah dibuahi dengan kompos dengan dosis 12,5 sampai
20 ton / ha dari minggu 1 sampai minggu 6 (fase vegetatif), sedangkan dari minggu ke 6 sampai
minggu ke 12 (fase generatif) nilai C / N mengalami penurunan. Nilai C / N yang ditingkatkan
dihasilkan dari meningkatnya kandungan karbon dalam proses penguraian kompos yang lebih
besar dari pada kandungan nitrogen. Sementara itu, penurunan nilai C / N disebabkan oleh
konsumsi karbon oleh kentang yang diubah menjadi karbohidrat untuk disimpan dalam bentuk
umbi kentang.
Rasio karbon-nitrogen pada tanah di kedalaman 0 – 15 cm(zone perakaran tanaman
kentang) diilustrasikan pada Gambar 9.
Gambar 9. C/N tanah di kedalaman 0 – 15 cm
3. Proses Bioremediasi Residu Oleh Mikroba
a. Populasi Mikroba
Kompos dari kotoran ayam yang diberikan pada lahan yang dibudidayakan kentang
mengandung bakteri aktif mendegradasi kompos dan residu pestisida antara 2,0 x 104 – 6,7 x
104 sedangkan bioactivator (EM4, Bio-kompos dan Isolat) memiliki mikroba aktif 5,1 x 10
2 –
2,7 x 103. Media tanam untuk budidaya kentang yang dijadikan kontrol memiliki populasi
bakteri aktif 1,7 x102 – 6,2 x 10
2. Populasi mikroba di media tanam kentang mengalami
dinamika seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Nutrien yang ada pada media tanam budidaya
kentang yang bersumber dari bahan organic dari kompos dan residu pestisida menjadi makanan
utama bakteri. Hasil penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian
Indrayani, 2006 pada proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan
cara pengomposan.
Pada lahan yang dipupuk mempergunakan kompos kotoran ayam dari awal sampai
akhir budidaya memiliki jumlah populasi bakteri lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Nutrisi yang ada pada kompos menyebabkan bakteri mudah berkembangbiak, selain
itu pupuk kompos yang diberikan pada media tanam mampu memperbaiki sifat fisik tanah
sampai kondisi ideal untuk perkembangbiakan bakteri (Setiyo, et al., 2014). Perkembangbiakan
bakteri di lahan yang diberi bioactivatorf EM4, Bio-kompos dan Isolat lebih lambat
dibandingkan lahan yang dipupuk dengan kompos. Hal ini karena kandungan nutrisi tanahnya
lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang dipupuk dengan kompos (Setiyo et al.2016).
Dinamika populasi bakteri berubungan erat dengan perubahan C/N bahan organik.
Kenaikan populasi bakteri di awal proses bioremediasi residu pestisida diikuti dengan
9.0
9.5
10.0
10.5
11.0
11.5
12.0
12.5
0 2 4 6 8 10 12
Nu
mb
er
C/N
of
the
so
il
Age of potatoes (week)
Dose of compost 20 ton/ha
Dose of compost 17.5 ton/ha
Dose of compost 15 ton/ha
Dose of compost 12.5 ton/ha
Dose of compost 10 ton/ha
penurunan C/N tanah, hal ini disebabkan nutrien C, H, O, N yang ada pada residu pestisida dan
tanah diurai oleh mikroba untuk dimanfaatkan sebagai bahan penyusun selnya. Sedangkan,
puncak populasi bakteri terjadi bersamaan dengan titik minimum C/N tanah. Pada proses
selanjutnya sebagian bakteri mati terurai menjadi unsur hara, unsur hara C dan N organik
sebagian menaikan C/N dan sebagian lagi diserap perakaran tanaman.
Phase menurunnya populasi bakteri dengan proses menurunnya C/N media tanam terjadi
secara bersamaan. Hal ini disebabkan oleh suplai unsur hara untuk tanaman kentang dari
bakteri yang mati belum cukup, sehingga tanaman mengambil unsur hara dari tanah. Hal inilah
yang menyebabkan C/N tanah mengalami penurunan. Dinamika populasi bakteri dan C/N pada
proses bioremidiasi in-situ di Bedugul identik dengan penelitian Indrayani (2006) di Ciawi,
Bogor).
Gambar 10 Populasi mikroba di lahan budidaya kentang varietas granola
Total tanaman kentang yang mati karena serangan penyakit layu fusarium pada bulan
ke 2 sebanyak secara umum mengalami penurunan dengan meningkatnya doseis bioactivator.
Mikroba yang aktiv pada bioactivator mampu menghambat serangan penyakit layu fusarium,
hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suaryanti, 2014. Laju penurunan tingkat serangan
penyakit layu fusarium pada percobaan penggunaan bioactivator jenis bakteri Isolat lebih tajam
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Isolat mengandung mikroba yang sudah terseleksi.
Hasil uji morfologi terhadap bakteri yang aktif memiliki bentuk sel batang (bacilli), termasuk
kelompok bakteri gram negatif, dan bersifat motil. Hasil uji biokimia menggunakan API 20E
menunjukkan bahwa bakteri tersebut termasuk Pseudomonas luteola.
Menurut Rani dan Lalithakumari (1994) bakteri jenis Pseudomonas putida mampu
mengurai pestisida organofosfat metal parathion dan dijadikan sebagai sumber karbon serta
sumber fosfor. Selain itu, genus Pseudomonas telah ditemukan dalam mendegradasi logam
berat seperti chromium, lead, cadmium, zinc, nickel (Jayabarath et al.,2009).
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
0 5 10 15
Po
pu
lati
on
of
mic
rob
e,
log
cfu
Age of potatoes plant, week
Dose compost 20
ton/ha
Dose compost 17,5
ton/ha
Dose compost 15
ton/ha
Dose compost 12,5
ton/ha
Dose compost 10
ton/ha
b. Kandungan beberapa jenis logam
Akibat proses bioremediasi, sintesa oleh mikroba untuk penyusunan sel dan diserap oleh
tanaman kentang maka beberapa jenis logam di dalam tanah terutama di zone perakaran
mengalami penurunan. Logam alumunium, magnesium dan besi mengalami penurunan masing-
masing sebesar 63.6 %, 72.6 % dan 91.2 %. Konsentrasi beberapa jenis logam selama budidaya
kentang di zone perakaran diilustrasikan pada Gambar 11. Proses bioremediasi oleh mikroba
pengurai besi lebih dominan dibandingkan penguraian logam lainnya, hal ini karena pada
kompos juga ada mikroba-mikroba bakteri yang berperan adalah Thiobacillus ferrooxidans.
Reaksi oksidasi dituliskan :
2FeS2 + 7O2 + H2O 2Fe2+
+ 4H+ + 4SO4
2-
2FeS2 + 7.5O2 + H2O 2Fe3+
+ 2H+ + 4SO4
2-
Gambar 11 Kandungan beberapa jenis logam di lahan budidaya kentang varietas granola
Setelah logam-logam tersebut terurai, maka mikroba mempergunakannya untuk menyusun sel.
Sedangkan perakaran tanaman akan menyerap kation logam untuk disentesa dalam proses
photosintesis di daun.
c. Kandungan residu pestisida di lahan dan akar tanaman kentang
Tanaman yang dibudidayakan pada umur 35 hari memiliki karakteristik prosestase
penutupan daun pada lahan pertanian di atas 50 %. Luas penutupan daun pada lahan sangat
berpengaruh pada total pestisida yang jatuh ke tanah dan yang teritercepsi oleh bagian-bagian
tanaman.
Jumlah pestisida yang jatuh ke lahan budidaya kentang adalah 400 l perstisida yang
sudah diencerkan dan untuk setiap liter air dilarutkan 3 – 5 ml pestisida. Residu pestisida yang
jatuh ke permukaan lahan akan berdifusi dan terinfiltrasi ke lapisan 5 cm, 10 cm karena adanya
perbedaan konsentrasi larutan, porositas tanah dan gaya gravitasi. Konsentrasi residu pestisida
pada kedalaman 5 – 10 cm setelah 2 hari dari penyemprotan Porositas tanah menyebabkan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
0 5 10 15
Ka
nd
un
ga
n L
og
am
, p
pm
Umur tanaman kentang, minggu
Kandungan Mg, ppm
Kandungan Fe, ppm
Kandungan Al, ppm
residu pestisida pada tanah dengan porositas lebih tinggi menginfiltrasi secara lebih cepat
sebelum ia diremidiasi oleh mikroba.
Profil konsentrasi residu pestisida pada lapisan 0 cm, 5 cm dan 10 cm saat 2 hari dari
penyemprotan untuk masing-masing dosis penyemprotan seperti Gambar 12.
Gambar 12 Profil konsentrasi residu pestisida di lahyan setelah penyemprotan
Hubungan residu pestisida untuk masing-masing dosis penyemprotan dan perlakuan
pemupukan dengan kompos pada kedalaman 0 – 5 cm, dan 5 – 10 cm diilustrasikan pada
Gambar 13. Terinfiltrasinya residu pestisida ke lapisan 5 – 10 cm memberikan peluang residu
terserap oleh perakaran tanaman dan terakumulasi di batang, daun, umbi dan bunga dari
tanaman hortikultura. Residu pestisida terserap oleh perakaran tanaman bersamaan dengan air
dan unsur hara. Tanaman menyerap air senilai dengan nilai evapotranspirasi, yaitu sebesar 60 –
75 g/hari.
Selain terserap oleh akar tanaman residu pestisida di zone perakaran akan terbawa air
hujan masuk ke dalam tanah dan kemudian mencemari air tanah. Residu pestisida di
permukaan berpeluang terbawa limpasan permukaan menuju Danau Buyan. Penelitian
Manuaba, 2007 pada beberapa jenis ikan yang hidup di Danau Buyan teridentifikasi adanya
cemaran pestisida pada tubuh ikan, hal ini menunjukkan bahwa residu pestisida dari lahan
pertanian saat musim hujan sebagian terbawa run off menuju ke Danau Buyan.
Penyemprotan pestisida pada tanaman hortikultura sawi, wortel, tomat, strabery dan
cabai pada lahan tidak dipupuk kompos menujukan bahwa residu lebih lambat teremediasi
dibandingkan dengan residu pestisida pada lahan yang dipupuk dengan kompos. Kondisi ini
memperkuat hasil penelitian Manuaba, 2007 bahwa cemaran pestisida lahan pertanian di
Kawasan Wisata Bedugul memberikan dampak negatif pada perairan Danau Buyan. Peluang
residu pestisida terbawa run off ke Danau Buyan untuk lahan pertanian tidak diberi kompos
adalah hampir 45 hari dari waktu penyemprotan, sedangkan jika lahan dipupuk dengan kompos
peluangnya hanya 7 hari.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.2
0 2 4 6 8 10 12
Kedalaman tanah, cm
Kon
sen
trasi
resid
u p
estisid
a,
ppm
D.Rendah D.Sedang D.Tinggi
D. Rendah ( 0 – 5 cm)
D. Rendah (5 – 10 cm)
D. Sedang (0 – 5 cm)
D. Sedang (5 – 10 cm)
D. Tinggi (0 – 5 cm)
D. Tinggi (5 – 10 cm)
Gambar 13. Hubungan antara waktu dengan konsentarasi residu pestisida
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu, hari
Re
sid
u p
es
tis
ida
, p
pm
P-0 P-3 P-4 P-6 P-8
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu, hari
Re
sid
u p
es
tis
ida
, p
pm
P-0 P-3 P-4 P-6 P-8
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu, hari
Resid
u p
esti
sid
a,
pp
m
P-0 P-3 P-4 P-6 P-8
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu, hari
Re
sid
u p
es
tis
ida
, p
pm
P-0 P-3 P-4 P-6 P-8
Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Pada bioremediasi mikrobial terdapat faktor-faktor utama yang menentukan: yaitu populasi
mikroba, konsentrasi nutrien, pasokan oksigen, suhu dan kelembaban. Bioremidiasi yang
melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu merangsang pertumbuhan mikroba endogenik
(biostimulasi), menambahkan mikroba yang sudah beradaptasi pada daerah yang tercemar
sehingga meningkatkan kemampuan populasi mikroba endogen (bioaugmentasi) dalam
biotransformasi, dan terakhir bioremidiasi tanpa campur tangan manusia (bioremediasi
intrinsik). Proses bioremadiasi in situ pada lapisan surface juga ditentukan oleh faktor bio-
kimiawi dan hidrogeologis.
Kompos hasil dekomposisi tanaman atau kotoran hewan mengandung mikroorganisme
kelompok selulotik berupa kapang, bakteri dan fungi. Identifikasi awal mikroba yang ada pada
kompos adalah kelompok Bacillus, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Irianto et al. (1998),
sehingga bakteri ini memiliki potensi melakukan bioremidiasi. Sedangkan hasil identifikasi
pada kapang ditemukan kelompok yang domian adalah aktinomisetes.
Mikroba endogenik yang ada pada kompos akibat adanya nutrien baru dari residu
pestisida terangsang untuk aktif, sehingga bioremediasi ini dikelompokan pada kelompok
biostimulasi. Tanah yang dipupuk kompos memiliki C/N lebih tinggi dibanding tanah yang
tidak dipupuk dengan kompos, akibatnya pada proses bioremediasi residu pestisida tanah yang
dipupuk dengan kompos memiliki total nutrien atau bahan organik lebih besar dibanding
perlakuan kontrol. Kandungan bahan organik di awal proses bioremediasi sebesar : 3.7 – 5 %.
Berdasarkan kondisi awal nutrien, maka proses bioremediasi pada perlakuan pemupukan
dengan kompos akan lebih berhasil.
Lahan pertanian yang dipupuk dengan kompos memiliki porositas lebih dari 50 %.
Suplai oksigen di zone perakaran pada lahan dengan porositas merndekati ideal sangat baik,
sehingga potensi berlangsungnya proses bioremediasi mikrobial di zone perakaran juga
berlangsung secara sempurna.
Tanah dengan porositas mendekati ideal, suhu dan kelembaban dalam tanah tidak akan
berbeda jauh dari suhu dan kelembaban udara lingkungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
perbedaan suhu lingkungan dan suhu tanah di kedalaman 10 cm bervariasi antara 0.5 – 1.0 oC,
dengan suhu tanah antara 25 – 31 oC. Pada kisaran suhu 25 – 31
oC mikroorganisme mesofilik
yang melakukan proses bioremediasi akan berkembang secara baik.
Gambar 14 Kandungan residu pestisida di lahan dan di akar tanaman kentang
d. Kandungan residu pestisida di batang, daun dan umbi kentang
Gambar 15 Kandungan residu pestisida di batang, daun dan umbi kentang
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 2 4 6 8 10 12
Ko
nse
ntr
asi
5re
sid
u p
est
isid
a,
pp
m
Umur tanaman, minggu
0-5 Cm
5-10 cm
Akar
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 5 10 15
Ko
nse
ntr
asi
re
sid
u p
est
isid
a,
pp
,m
Umur tanaman, minggu
Batang
Daun
Umbi
4. Produktivitas dan Kualitas Kentang
Hubungan antara dosis pemupukan kompos kotoran ayam untuk budidaya di lahan yang
ditutup mulsa plastic hitam dengan total berat umbi kentang per pohon dan per ha adalah
seperti Tabel 3. Adanya kecenderungan total produksi umbi kentang meningkat dengan
meningkatnya dosis pemupukan dengan kompos kotoran ayam, namun pada dosis pemupukan
kompos 20 ton/ha total produksi mulai tetap pada 30.7 ton/ha
Table 3 The productivity and quality of the potatoes
Parameter Dose of compost fertilizer, ton ha-1
20 17.5 15 12.5 10
Production, g plant-1
1164±40e 1111±38e 946±80e 701±51b 667±72b
Production, ton ha-1
30,7±0,3e 29,3±0,4e 25,6±0,5e 18,5±0,7b 17,6±0,5b
Super class, % 20,8±2,3e 16,7±3,9e 13,6±2,1e 6,3±3,4c 7,5±5e
Class A, % 44.4±5,5e 54,3±4,5f 39,5±5,7a 30,8±1,9a 33,5±0,9a
Class A/B, % 20,3±3,4a 20,0±3,4a 21,7±2,5a 29,4±4,0b 35,8±2,8b
Class B, % 10,3±1,7a 9,4±1,2a 14,7±2,5a 22,3±5,7b 22,1±4,3b
Small kelas, % 1.4±0,8a 1,0±0,4a 1,7±0,5a 6.5±1,1a 1.1±0,3a
Damage, % 3,2±0,2a 2,8±0,4a 3,1±0,3a 3,4±0,2a 4,2±0,3a
Note : the production of potatoes per tree was measured from 10 plant samples and repeated for
each groove, and different letter notations on each line explain the differences between
treatments
Sistim LEISA yang diterapkan oleh petani kentang Desa Candikuning dan Antapan
mampu memperbaiki total produksi kentang persatuan luas dari rerata 17 ton/ha (th 2010,
Supartha et al., 2012) menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan kesuburan lahan dan perbaikan
sifat fisik tanah sangat relevan dengan kenaikan jumlah umbi kentang per pohon dan persatuan
luas.
Pada pemupukan dengan kompos kotoran ayam dengan dosis 15 – 25 ton/ha dengan
budidaya di guludan yang ditutup mulsa plastic HPDE warna hitam dihasilkan kecenderungan
peningkatan produksi dan kualitas umbi kentang, hasil pengamatan seperti Tabel 3.
Peningkatan produksi juga diikuti dengan pergeserran kelas umbi kentang konsumsi yang
dihasilkan, jumlah umbi kentang konsumsi hasil penelitian 2015 adalah sebesar 16,43 – 30,44
%. Peningkatan kualitas produksi akibat terjadinya peningkatan kualitas lahan akibat budidaya
dengan sistim LEISA. Hasil penelitian Setiyo et al., 2014, pemupukan dengan kompos juga
berakibat terjadinya proses penyehatan lahan dengan proses bioremediasi secara in-situ oleh
mikroba-mikroba yang ada pada kompos.
Namun karena budidaya menggunakan bibit kelompok G4, maka produktivitas lahan
masih di bawah produktivitas jika mempergunakan bibit kelompok G3. Produktivitas lahan
untuk penggunaan bibit kelompok G3 adalah antara 28,7 – 34,3 ton/ha untuk dosis pemupukan
dengan kompos kotoran ayam 15 – 25 ton/ha (Setiyo et al., 2015).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulam
Sistim LEISA yang diterapkan pada budidaya kentang varietas granola kelas G4 dengan
teknik pemupukan menggunakan kompos kotoran ayam mampu meningkatkan produksi
kentang konsumsi varietas granola dari 17 ton/ha menjadi 23,22 – 27.8 ton/ha. Peningkatan
produksi juga diikuti dengan pergeserran kelas umbi kentang konsumsi yang dihasilkan, jumlah
umbi kentang konsumsi hasil penelitian 2015 adalah sebesar 16,43 – 30,44 %. Penyebab utama
kenaikan produksi kentang selain perbaikan sifat fisik tanah adalah terjadinya peningkatan
kandungan bahan organic dan kapasitas tukar kation, kandungan unsure hara utama dan
kapasitas tukar kation berada pada posisi tinggi sampai sangat tinggi.
5.2 Saran
Sistim LEISA dengan teknik pemupukkan menggunakan kompos sangat diperlukan
petani, karena produktivitas dan kualitas kentang yang dihasilkan meningkat. Selain itu kualitas
lahan untuk budidaya juga dapat diperbaiki, hal ini sudah ditunjukan dengan perbaikan sifat
fisik tanah dan kesuburan lahan di zone perakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W. S. 2009. Konservasi Sumber Daya Alam Guna Menunjang Revitalisasi
Pertanian Bali. Seminar Nasional “Revitalisasi Sektor Pertanian di Bali”, Universitas
Udayana 18 September 2009. Denpasar.
Armes, N.J., D.R. Jadhav, dan P.A. Lonergan. 1995. Insecticide resistance in Helicoverpa
(Hubner): status and prospects for its management in India. p. 522- 533. In Constable,
G.A. dan N.W. Forrester (Eds.) Challenging the future: Proceedings of the World Cotton
Conference I, Brisbane, Australia, February 14- 17 1994. CSIRO, Melbourne.
Arsa, W. 2013. Kajian relevansi Sifat Psikokimia Tanah Pada Kualitas dan Produktifitas
Kentang. Skripsi FTP Universitas Udayana. Badung-Bali.
Indrayani, N. 2006. Bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara
pengomposan. [Thesis}. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Katsivela, E, E.R.B. Moore, D. Maroukli, C. Stro¨ mpl, D. Pieper & N. Kalogerakis. 2005.
Bacterial community dynamics during in-situ bioremediation of petroleum waste
sludge in landfarming sites.Journal Biodegradation Vol 16: pp 169–180.
Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol.
2(1). IPB, Bogor, hal 71-72.
Setiyo, Y., Hadi K.P, Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S, 2007. Pengembangan Model Simulasi
Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol
30 (1) Januari 2007. Bogor.
Setiyo, Y. 2009. Aplikasi Kompos Dari Sampah Kota Sebagai Pupuk Organik Untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jahe Merah. Disajikan di Seminar Nasional
Basic Science VI Tanggal 21 Februari 2009 di Universitas Barawijaya, Malang.
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2010. Bioremediasi In-Situ Pada Lahan
Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb Dengan Mikroba Dari Beberapa Jenis
Kompos (Seminar Nasional Perhorti, Universitas Udayana)
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2011.Optimasi Proses Bioremediasi Secara
in-Situ Pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb. Jurnal
Teknologi Industri Universitas Muhamadiyah Malang, ISSN 1978-1431. Vol 12 No :
1 pg : 53-58, Februari 2011.
Setiyo, Y., I BW Gunam, Sumiyati, dan Manuntun Manurung. 2013. Optimalisasi Produktivitas
Kentang Bibit Varietas Granola G3 Dengan Manipulasi Dosis Pemupukan. KARYA
UNUD UNTUK ANAK BANGSA 2013 ISBN : 578-602-7774-76-0. Universitas
Udayana
Setiyo et al., 2014. Kajian Populasi Mikroba Pada Proses Bioremediasi Secara In-Situ Di
Lahan Budidaya Kentang. Prosiding SENASTEK ……..
Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 15-33.
Sudyastuti, T dan Setyawan, N. 2007. Sifat thermal tanah pasiran pantai dengan pemberian
bahan pengkondisi tanah dan biomikro pada budidaya tanaman cabai (capsicum
annuum). Prosiding seminar nasional teknik pertanian – yogyakarta 2007
Supartha U., Y. Setiyo, I Ketut Budi Sususra, IB Gunadnya, Ida Ayu Astarini. 2012.
Pengembangan Usaha Pertanian HortikulturaDataran Tinggi Untuk Mendukung
Daya Saing Produk di Era pasar Global Melalui Kemitraan Perguruan Tinggi,
Pengusaha dan Pemerintah Daerah. Laporan Hi-Link 2010-2012, Universitas
Udayana. Denpasar
Suwanto, A., 2002. Mikroorganisme Untuk Biokontrol : Strategi Penelitian dan Penerapannya
Dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 40-46.
Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992. Dampak negatif insektisida terhadap
musuh alami pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama
Terpadu. Kerjasama Program Nasional PHT, BAPPENAS dengan Faperta-IPB. 29 p.
Vidali, M.2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 7, pp. 1163–1172