5
Laporan Bacaan I: Johnstone (Chapter I) dan Renkema (Chapter II) Susi Fauziah S2 Linguistik 0906500002 Menurut Renkema, kajian wacana adalah suatu disiplin ilmu yang menganalisis hubungan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal (2004: 1). Dalam hal ini, bentuk adalah pernyataannya sedangkan fungsi adalah maksud si pembicara. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Johnstone, yaitu: kajian wacana adalah studi tentang bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini, sesuai dengan pandangan orang- orang pada umumnya, yaitu pembicaraan, komunikasi dan wacana. Lebih jauh lagi, Johnstone menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan wacana dan analisis. Wacana adalah contoh nyata dari komunikasi yang menggunakan medium bahasa. Komunikasi di sini tidak terbatas hanya pada lisan atau tulisan tetapi juga meliputi gestur, seperti American Sign Language (2002: 2-3). Selain itu, wacana adalah kumpulan ide juga cara- cara berbicara yang dipengaruhi dan mempengaruhi ide lainnya (2002: 2). Sedangkan analisis atau kajian adalah meneliti aspek- aspek dari struktur dan fungsi dari bahasa yang digunakan. Sedangkan arti analisis yang paling dikenal adalah proses untuk membedah sesuatu (2002: 4). Menurut Johnstone, kajian wacana memiliki banyak kegunaan. Kajian wacana menjelaskan bagaimana suatu makna dapat disampaikan melalui penyusunan bagian- bagian informasi yang disampaikan dalam bentuk susunan kalimat atau melalui detail tentang bagaimana para pembicara dan pendengar memahami dan merespon pembicaraan. Kajian wacana juga menjelaskan tentang bagaimana pembicara dapat menyampaikan maksud semantiknya dan bagaimana pendengar menginterpretasikan apa yang didengarnya, dan menjelaskan tentang kemampuan kognitif yang mendasari penggunaan simbol oleh manusia. Kontribusi atau pemanfaatan kajian wacana dapat dilihat pada bidang pembelajaran bahasa. Selain itu, kajian wacana juga bisa membantu menjawab pertanyaan mengenai peranan bahasa dalam kognisi manusia, seni dan kehidupan sosial (2002: 6 -7). Singkatnya, kajian wacana sangat berguna dalam berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan bahasa. Dalam kajian wacana, wacana yang dikaji biasa disebut sebagai “teks.” Teks dapat berupa tulisan maupun non tulisan.

Laporan Bacaan Kajian Wacana I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

It is a summary from two books concerning analysis discourse

Citation preview

Page 1: Laporan Bacaan Kajian Wacana I

Laporan Bacaan I: Johnstone (Chapter I) dan Renkema (Chapter II)

Susi Fauziah S2 Linguistik 0906500002

Menurut Renkema, kajian wacana adalah suatu disiplin ilmu yang menganalisis hubungan antara bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal (2004: 1). Dalam hal ini, bentuk adalah pernyataannya sedangkan fungsi adalah maksud si pembicara. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Johnstone, yaitu: kajian wacana adalah studi tentang bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini, sesuai dengan pandangan orang- orang pada umumnya, yaitu pembicaraan, komunikasi dan wacana. Lebih jauh lagi, Johnstone menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan wacana dan analisis. Wacana adalah contoh nyata dari komunikasi yang menggunakan medium bahasa. Komunikasi di sini tidak terbatas hanya pada lisan atau tulisan tetapi juga meliputi gestur, seperti American Sign Language (2002: 2-3). Selain itu, wacana adalah kumpulan ide juga cara- cara berbicara yang dipengaruhi dan mempengaruhi ide lainnya (2002: 2). Sedangkan analisis atau kajian adalah meneliti aspek- aspek dari struktur dan fungsi dari bahasa yang digunakan. Sedangkan arti analisis yang paling dikenal adalah proses untuk membedah sesuatu (2002: 4).

Menurut Johnstone, kajian wacana memiliki banyak kegunaan. Kajian wacana menjelaskan bagaimana suatu makna dapat disampaikan melalui penyusunan bagian- bagian informasi yang disampaikan dalam bentuk susunan kalimat atau melalui detail tentang bagaimana para pembicara dan pendengar memahami dan merespon pembicaraan. Kajian wacana juga menjelaskan tentang bagaimana pembicara dapat menyampaikan maksud semantiknya dan bagaimana pendengar menginterpretasikan apa yang didengarnya, dan menjelaskan tentang kemampuan kognitif yang mendasari penggunaan simbol oleh manusia. Kontribusi atau pemanfaatan kajian wacana dapat dilihat pada bidang pembelajaran bahasa. Selain itu, kajian wacana juga bisa membantu menjawab pertanyaan mengenai peranan bahasa dalam kognisi manusia, seni dan kehidupan sosial (2002: 6 -7). Singkatnya, kajian wacana sangat berguna dalam berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan bahasa.

Dalam kajian wacana, wacana yang dikaji biasa disebut sebagai “teks.” Teks dapat berupa tulisan maupun non tulisan. Teks tulisan biasanya berbentuk buku, surat, essay, artikel dan lain- lain. Sedangkan teks non tulisan biasanya berbentuk transkrip dari audio atau videotape. Contohnya adalah transkrip dari pidato, pembicaraan (talk show), lagu dan lain- lain (2002: 19).

Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisis/ mengkaji wacana. Teori yang pertama adalah model Organon yang diperkenalkan oleh Karl Bűhler. Melalui model ini, ia menggambarkan bahasa sebagai alat yang digunakan oleh orang- orang untuk berkomunikasi dengan satu sama lain.

Page 2: Laporan Bacaan Kajian Wacana I

Menurut Bűhler, setiap tanda bahasa (S) memiliki tiga fungsi, yaitu:

1) Sebuah tanda berfungsi sebagai symptom karena mengatakan sesuatu tentang maksud pengirim (pembicara).

2) Sebuah tanda berfungsi sebagai symbol karena mengacu pada objek dan states of affairs (situasi).

3) Sebuah tanda berfungsi sebagai signal karena penerima (pendengar) harus menginterpretasikan tanda atau bereaksi terhadap apa yang telah dikatakan oleh pengirim (2004: 11- 12).

Sebagai contoh:

A: “Temenmu yang tadi cantik sekali.”

B: “Iya. Besok aku kenalkan deh!”

Dari percakapan di atas, kita bisa menyimpulkan kalau pernyataan A adalah suatu tanda bahasa. Pernyataan A adalah symbol karena mengacu pada suatu objek, yaitu teman A dan situasi, yaitu teman A cantik sekali. Pernyataan A adalah symptom karena menunjukkan maksud A, yaitu selain memberikan informasi bahwa teman B cantik sekali, A juga menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap teman B. Sedangkan jawaban atau respon B terhadap pernyataan A adalah signal. Akan tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan, miskomunikasi dapat terjadi jika symptom dari pengirim tidak sama dengan signal penerima.

Teori selanjutnya adalah teori tindak tutur (speech act theory). Menurut teori ini, bahasa dilihat sebagai suatu bentuk tindakan (2004: 12). Oleh karena itu, John Austin menyimpulkan kalau semua ekspresi bahasa harus dianggap sebagai tindakan- tindakan. Ia membagi tiga macam tindakan yang ada dalam tiap ujaran, menjadi 1) lokusi, yaitu ujaran yang dihasilkan oleh pembicara 2) ilokusi, yaitu maksud pembicara, dan 3) perlokusi, yaitu hasil atau tindakan yang dilakukan oleh pendengar (2004: 13).

Sebagai contoh:

Lokusi Ilokusi Perlokusi

Dia cantik dan lucu.

Dia cantik dan lucu.

Dia cantik dan lucu.

Bersifat informatif

Ingin berkenalan

Saran

Iya. Saya setuju sekali.

Iya. Besok saya kenalkan.

Iya. Sayang, saya sudah punya pacar.

Dari contoh di atas, terlihat kalau satu lokusi dapat memiliki bermacam- macam ilokusi. Sebagai akibatnya, perlokusi juga akan berbeda. Akan tetapi, apabila pendengar tidak memahami ilokusi pembicara, maka perlokusi yang dilakukan pendengar akan berbeda dengan perlokusi yang diharapkan oleh pembicara. Oleh karena itu, John Searle merumuskan empat felicity conditions supaya lokusi dan ilokusi pembicara (pengirim) dapat sukses diterima oleh pendengar (penerima) sehingga dapat menghasilkan perlokusi yang sesuai dengan lokusi dan ilokusi tersebut, yaitu: 1. Isi proposisi 2. Keadaan yang cocok untuk perlokusi 3. Keadaan yang tulus, dan 4) Esensi suatu keadaan.

Page 3: Laporan Bacaan Kajian Wacana I

Teori yang ketiga adalah prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Herbert Grice. Menurut Grice, suatu implikatur percakapan, yaitu maksud pembicara (pengirim) atau arti di balik lokusi, akan sampai kepada penerima (pendengar) jika pembicara (pengirim) mengikuti prinsip kerja sama. Singkatnya, prinsip kerja sama adalah berbicara seperlunya dan sesuai kebutuhan. Lalu, berdasarkan prinsip ini, ia merumuskan empat buah bidal utama, yaitu: I) Bidal kuantitas, II) Bidal kualitas, III) Bidal relevansi, dan IV) Bidal sikap.

Teori yang keempat adalah teori revelansi (relevance theory) yang dikemukakan oleh Dan Sperber dan Deirdre Wilson. Pada intinya, suatu ujaran bisa direalisasikan secara “tidak lengkap” atau tidak spesifik asalkan relevan karena didukung oleh konteks situasi. Contoh: “Di sini, jam malamnya pukul 10.” Ujaran ini tidak spesifik tetapi karena yang diajak bicara mengerti tentang konteks situasi, maka ujaran ini dianggap relevan.

Sedangkan yang terakhir adalah teori kesopanan yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Menurut Goffman, dalam komunikasi verbal, setiap partisipan ingin dihargai dan tidak diganggu. Oleh karena itu, partisipan dalam percakapan hendaknya tidak mencoreng muka lawan bicaranya, atau melakakuka tindakan FTA (face threatening acts).

Maka, teori kesopanan digunakan untuk mencegah atau memperbaiki dampak buruk yang diakibatkan oleh FTA. Teori kesopanan terbagi dua, yaitu 1) solidarity politeness, contohnya: “Anda baik sekali” (memberikan pujian). 2) respect politeness, contohnya: “Saya setuju dengan tindakan anda.” (tidak mencampuri urusan dan “domain” orang lain).

Dalam bab I buku Discourse Analysis, Johnstone memberikan satu buah contoh kajian wacana, yang berbentuk teks tulisan. Wacana yang dianalisis adalah wacana popular Egyptology , yang berbentuk iklan tentang sebuah pameran museum yang disebut “Splendors of Ancient Egypt.” Metodologi yang digunakan untuk mengkaji wacana tersebut adalah metode heuristik. Heuristik bukanlah sebuah teori tetapi heuristik adalah tahapan dalam analisis/ kajian wacana yang akan membantu peneliti untuk melihat teori apa yang diperlukan untuk menghubungkan antara wacana yang dikaji dengan pernyataan umum tentang bahasa, kehidupan manusia atau masyarakat (2002: 9).

Menurut Johnstone, enam aspek yang membentuk teks adalah sebagai berikut:1. Wacana dibentuk oleh realitas, dan wacana membentuk realitas. 2. Wacana dibentuk oleh bahasa, dan wacana membentuk bahasa. 3. Wacana dibentuk oleh partisipan, dan wacana membentuk partisipan. 4. Wacana dibentuk oleh wacana sebelumnya, dan wacana dapat membentuk wacana selanjutnya. 5. Wacana dibentuk oleh mediumnya, dan wacana membentuk kemungkinan mediumnya. 6. Wacana dibentuk oleh tujuan, dan wacana membentuk tujuan- tujuan yang mungkin. (2002: 9).

Berdasarkan keenam aspek di atas, maka Johnstone mendeskripsikan bagaimana institusi (museum) mengkonstruksi wacana dan memanipulasi publik, atau tentang bagaimana peradaban kuno dikomersialisasikan, dieksotiskan, atau dibuat supaya terkesan menakutkan melalui cara bicara sang pembuat wacana (2002: 7).

Kajian wacana dapat bersifat deskriptif atau kritis. Kajian wacana yang deskriptif bertujuan untuk menganalisis teks dan menjelaskan bagaimana teks tersebut dapat mengungkap realitas yang ada (2002: 25). Sedangkan kajian wacana yang bersifat kritis bertujuan untuk menganalisis teks dan mengkritisi realitas yang digambarkan oleh teks tersebut (2002: 26).