63
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan cucut (Dermongenys collettei) merupakan ikan yang termasuk ke dalam kelas Actinopterygii .Ikan ini memiliki tubuh langsing keabu-abuan yang tumbuh sampai sekitar 6 cm. Ikan betina dewasa lebih besar dari laki- laki.sirip punggung dari Dermogenys collettei berasal dari sirip belakang dekat dubur dan terkadang memiliki warna merah pada spesies jantan (Barker, 2008) dalam (Meisner, 2014). Dermongenys colletteimempunyai distribusi yang luas umumnya di seluruh Asia Tenggara termasuk di Indonesia.Dermongenys colletteimemiliki rahang bawah panjang yang khusus dan menonjol melebihi rahang atasnya. Poliploidi merupakan penggandaan perangkat kromosom secara keseluruhan.Peristiwa ini dapat terjadi secara spontan maupun sebagai akibat perlakuan.Poliploidi sering terjadi sebagai akibat rusaknya aparatus spindel selama satu atau lebih pembelahan meiosis, ataupun selama pembelahan mitosis (Corebima, 2000).Poliploidisasi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi, 2007). 1

Laporan Genetika Ikan Alami

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Proyek

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIkan cucut (Dermongenys collettei) merupakan ikan yang termasuk ke dalam kelas Actinopterygii .Ikan ini memiliki tubuh langsing keabu-abuan yang tumbuh sampai sekitar 6 cm. Ikan betina dewasa lebih besar dari laki-laki.sirip punggung dari Dermogenys collettei berasal dari sirip belakang dekat dubur dan terkadang memiliki warna merah pada spesies jantan (Barker, 2008) dalam (Meisner, 2014). Dermongenys colletteimempunyai distribusi yang luas umumnya di seluruh Asia Tenggara termasuk di Indonesia.Dermongenys colletteimemiliki rahang bawah panjang yang khusus dan menonjol melebihi rahang atasnya.Poliploidi merupakan penggandaan perangkat kromosom secara keseluruhan.Peristiwa ini dapat terjadi secara spontan maupun sebagai akibat perlakuan.Poliploidi sering terjadi sebagai akibat rusaknya aparatus spindel selama satu atau lebih pembelahan meiosis, ataupun selama pembelahan mitosis (Corebima, 2000).Poliploidisasi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi, 2007).Untuk mengukur tingkat ploidi pada ikan, digunakan metode penghitunganjumlah nukleolus.Metode ini merupakan metode pengukuran jumlah kromosom secara tidak langsung. Menurut Philips, dkk., (1986) dalam Firdaus (2002) dalam penelitiannya disebutkan bahwa dengan menghitung jumlah nukleolus, jumlah set kromosom dapat diperkirakan sehingga tingkat ploidi dapat diketahui. Pengukuran melalui metode ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu: relatif murah, mempunyai peluang besar untuk diterapkan terutama pada berbagai spesies ikan, sel yang diperlukan dapat diperoleh dari berbagai jaringan, dan dilakukan tanpa membunuh ikan yang diteliti.Berdasarkan pernyataan diatas, dilakukan penelitian tentang tingkat keragaman ploidi pada ikan Cucut alami, dengan metode penghitungan jumlah nukleolus.Hal yang dipertimbangkan untuk penelitian ini adalah daerah yang digunakan dalam memperoleh sampel penelitian, yakni daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.Ketiga daerah ini memiliki keadaan geografis yang berbeda, yakni memiliki ketinggian yang berbeda.Jombang memiliki ketinggian yang terendah yakni 20 mdpl, Trenggalek memiliki ketinggian yakni 90 mdpl, dan Wendit memiliki ketinggian tertinggi yakni 420 mdpl.Oleh karena itu disusunlah laporan dengan judul Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Jumlah Ploidi Ikan Cucut (Dermogenys Collettei ) di Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana pengaruh ketinggian tempat terhadap jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit?2. Bagaimana perbedaan frekuensi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit?3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit?

1.3 Tujuan1. Untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.2. Untuk mengetahui perbedaan frekuensi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.

1.4 Kegunaan Penelitian1.4.1 Bagi penelitiSebagai sarana latihan dalam melakukan penelitian dalam bidang genetika, menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jumlah poliploidi pada ikan cucut (Dermogenys collettei), serta menambah informasi tentang jumlah nukleolus sebagai metode analisis ploidi pada ikan cucut (Dermogenys collettei)

1.4.2 Bagi mahasiswaDiharapkan penelitian ini dapat membantu mengembangkan disiplin ilmu Genetika bagi mahasiswa dalam berbagai penelitian, sebagai media pembelajaran agar terampil melakukan penelitian khususnya dalam bidang genetika, menambah wawasan pengetahuan mahasiswa tentang jumlah maksimal nukleolus yang dimiliki setiap ploidi dan frekuensi persebaran nukleolus, serta sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.4.3 Bagi masyarakatDiharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi bagi masyarakat

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan MasalahAdapun ruang lingkup dan batasan masalah dalam penelitian yang dapat dipaparkan sebagai berikut.1. Penelitian hanya dilakukan pada ikan Cucut (Dermogenys collettei).2. Bagian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sirip ekor atau sirip kaudal3. Jenis ploidi yang digunakan dalam penelitian ini adalah haploid, diploid, triploid, dan tetraploid.4. Preparat dalam satu kaca benda adalah dua lingkaran (ring), setiap ring diamati sebanyak tiga bidang pandang.5. Aspek yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah nukleolus pada setiap ploidi dalam satu bidang pandang.

1.6 Asumsi PenelitianAdapun asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Setiap ikan Cucut (Dermogenys collettei) yang digunakan dianggap memiliki umur yang sama.2. Setiap ikan Cucut (Dermogenys collettei) yang digunakan dianggap memiliki jenis kelamin yang sama.3. Setiap ikan Cucut (Dermogenys collettei) yang digunakan dianggap memiliki kesehatan yang sama.4. Dalam melakukan pengamatan pada masing-masing ring dianggap 3 bidang pandang yang sama.5. Dalam meneteskan larutan A dan larutan B dianggap dalam jumlah yang sama.

1.7 Definisi OperasionalBeberapa hal yag dijadikan definisi operasional dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:1. Ikan poliploid adalah ikan yang mempunyai perangkat kromosom lebih dari dua, misalnya triploid dan tetraploid.2. Jumlah nukleolus adalah banyaknya nukleolus yang terdapat pada setiap sel ikan Cucut3. Pada penelitian ini dilakukan teknik dengan menggunakan metode penghitungan jumlah nukleolus tanpa memperhatikan ukuran nukleolus.4. Metode penghitungan jumlah nukleolus adalah metode secara tidak langsung yang digunakan untuk menentukan tingkat ploidi ikan dengan cara menghitung jumlah nukleolus per sel.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Cucut (Dermogenys collettei Meisner)Di Indonesia Dermogenyscollettei umunya disebut ikan Cucut ataupun ikan Cucuk.Menurut Encyclopedia of Life(Tanpa tahun) ikan Cucut (Dermogenys collettei)memiliki klasifikasi sebagai berikut:Kingdom: AnimaliaPhylum: ChordataClass: ActinopterygiiOrder: BeloniformesFamily: ZenarchopteridaeGenus: DermogenysSpecies: Dermogenys colletteiMeisner

Gambar 2.1 Ikan Cucut (Dermogenys collettei Meisner)Sumber: Dokumen Pribadi, 2014

Gambar 2.2 Ikan cucut (Dermogenys collettei Meisner)Sumber: Meisner, 2014

2.2 Karakteristik Dermongenys colletteiIkan cucut (Dermongenys collettei) merupakan ikan yang memiliki tubuh langsing keabu-abuan yang tumbuh sampai sekitar 6 cm. Ikan betina dewasa lebih besar dari laki-laki.sirip punggung dari Dermogenys collettei berasal dari sirip belakang dekat dubur dan terkadang meniliki warna merah pada spesies jantan (Barker, 2008) dalam (Meisner, 2014). Dermongenys colletteimempunyai distribusi yang luas umumnya di seluruh Asia Tenggara (Meisner, 1997) dalam (Meisner, 2014). Dermongenys colletteimemiliki rahang bawah panjang yang khusus dan menonjol melebihi rahang atasnya.Rahang bawah yang memanjang ini mengandung reseptor sensorik (neuromasts mechanoreceptive) agar ikan dapat merasakan lingkungan sekitarnya. Semakin dewasa ikan maka bentuk mulut setengah paruh ini akan semakin panjang (Collette, 1984) dalam (Meisner, 2014). Dermongenys colletteiadalah penghuni air permukaan yang memakan sebagian besar larva kecil yang mengambang dan serangga yang melayang atau mendarat di permukaan air .Dermogenys collettei sering ditemukan berkelompok di permukaan perairan di dekat tepi sungai.Dermogenys collettei jantan umumnya memiliki perilaku agresif seperti menggigit, melakukan pertempuran mulut, dan mengejar saingan(Greven, 2006) dalam (Meisner, 2014).

2.2.1 Reproduksi dan perkembanganDermongenys colletteiProses pacaran dari Dermogenys collettei dimulai ketika jantan berenang menuju betina dan menggigit sirip betina tersebut. Tujuan dari menggigit sirip adalah untuk menghentikan atau memperlambat gerakan betina. Proses kopulasi Dermogenys collettei terjadi sangat cepat. Proses spesifik inseminasi ini belum diketahui apakah pembuahan terjadi secara internal maupun eksternal ( Greven, 2010 ) dalam (Meisner, 2014). Larva Dermogenys colletteimemiliki rahang pendek tanpa adanya bentuk mulut panjang membentuk setengah paruh, tetapi dalam perkembangannya bentuk mulut setengah paruh itu berkembang (Lovejoy, 2004) dalam (Meisner, 2014).

Gambar 2.3 Perkembangan bentuk mulut Dermogenys colletteibertipe setengah paruhSumber: Meisner, 2014

2.3 PoliploidiPoliploidi merupakan penggandaan perangkat kromosom secara keseluruhan.Peristiwa ini dapat terjadi secara spontan maupun sebagai akibat perlakuan.Dinyatakan lebih lanjut bahwa poliploidi sering terjadi sebagai akibat rusaknya aparatus spindel selama satu atau lebih pembelahan meiosis, ataupun selama pembelahan mitosis (Corebima, 2000).Untuk organisme yang mempunyai jumlah kromosom dari kelipatan jumlah kromosom dasar (n) disebut haploid.Bila jumlah kromosom individu bukan merupakan kelipatan n disebut aneuploid, misalnya 2n+1 atau 2n-1. Jumlah yang lebih kecil daripada kelipatan n disebut hyperploid, sedang yang lebih besar disebut hypoploid ( Yatim, 1990 ). Poliploidisasi adalah suatu metode manipulasi kromosom untuk menghasilkan ikan dengan jumlah kromosom yang lebih banyak dari jumlah kromosom normal atau diploid (2n), yaitu triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid (5n) dan seterusnya (Purdom, 1983 dalam Kadi, 2007).Poliploidisasi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi, 2007). Dengan jarang dijumpainya poliploidi di kalangan hewan dikemukakan alasan atau penjelasan (Ayala, dkk, 1984) dalam (Corebima, 2000) :1. Poliploidi mengganggu keseimbangan antara autosom dan kromosom kelamin yang bermanfaat untuk determinasi kelamin2. Kebanyakan hewan melakukan fertilisasi silang, dalam hal ini satu individu poliploidi yang baru terbentuk tidak dapat bereproduksi sendiri.3. Hewan memiliki perkembangan yang lebih kompleks, yang dapat dipengaruhi oleh perubahan yang disebabkan poliploidi, misalnya dalam kaitan dengan ukuran sel yang mengubah ukuran organ.4. Jika dikalangan tumbuhan, individu piliploidi sering timbul dari duplikasi pada hybrid, tetapi dikalangan hewan hybrid biasanya inviabel atau steril.

Rottman et al. (1991) menyatakan bahwa poliploidisasi secara alami terjadi akibat pencemaran perairan, radiasi sinar ultraviolet ataupun akibat pengaruh hormon berlebihan, sehingga menyebabkan kasus nondisjungsi pada kromosom.Nondisjungsi adalah kondisi dimana pasangan kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada waktu fase pembelahan meiosis I atau dimana sister chromatid gagal berpisah selama fase meiosis II (Campbell et al., 2000).Poliploidi terbentuk dalam dua kelompok, yaitu : Kelompok pertama autopoliploidi yaitu penggandaan ploidi melalui penggabungan genom-genom yang sama. Ploidi yang dihasilkan dari proses ini adalah aneuploid (kromosom abnormal) yakni dalam bentuk triploid, tetraploid dan pentaploid. Kelompok kedua alopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang terjadi melalui penggabungan genom-genom yang berbeda (Jusup, 1988) dalam (Kadi, 2007)Individu poliploidi secara fenotif, berbeda dengan diploid maupun haploid.Sel darah merah triploid dan tetraploid lebih besar dibandingkan sel darah diploid dan haploid.Kelebihan individu poliploid adalah tumbuh lebih cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan, dibandingkan dengan individu diploid dan haploid. Individu triploid dan tetraploid dapat berperan mengontrol pertumbuhan organisme lain di lingkungan habitat yang sama (Sistina, 2000) dalam (Kadi, 2007). Individu normal di alam pada umumnya memiliki 2 set kromosom yang biasa disebut diploid (2n). Individu diploid yang menghasilkan mutan gamet haploid (n) biasanya berumur pendek.Apabila telur dari organisme diploid dirangsang untuk menjalani embriogenesis tanpa fertilisasi oleh sperma, lebih dahulu aka menghasilkan individu haploid yang menyimpang (Adisoemarto, 1988).Manipulasi poliploidi menghasilkan individu triploid, tetraploid dan ploid yang lebih tinggi.Poliploid ini dapat tumbuh lebih pesat dibandingkan individu diploid dan haploid.Individu triploid memiliki sifat steril dan individu tetraploid bersifat fertil (Sistina, 2000).Organisme poliploid awalnya diperoleh akibat terjadinya polusi perairan yang mengandung berbagai bahan kimia dan radiasi sinar ultraviolet atau akibat pengaruh hormon berlebihan (Rottman et al., 1999 dalam Kadi, 2007).Bahan kimia, penyinaran dan efek kerja hormon ini berpengaruh terhadap organisme yang sedang mengalami reproduksi pada fase pembelahan kromosom garnet oosit I dan oosit II, tepat pada saat terjadi fertilisasi oleh spermatozoa.Pada pembelahan kromosom, idealnya benang gelondong kromosom pada fase meiosis mendistribusikan kromosom pada sel-sel anakan tanpa kesalahan, tetapi ada kalanya terjadi kecelakaan yang disebut nondisjungsi.Nondisjungsi adalah kondisi dimana bagian-bagian dari pasangan kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada waktu fase pembelahan meiosis I, atau dimana kromatid saudaranya gagal berpisah selama fase meiosis II (Kadi, 2007).

2.3.1 Poliploidi Secara AlamiKasus nondisjungsi (gagal berpisah), terjadi pada saat satu garnet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu garnet lain tidak mendapat salinan (copy) sama sekali. Salah satu garnet yang menyimpang ini bersatu dengan garnet normal.Poliploidi secara alami relatif lebih banyak pada tumbuhan dengan pemunculan yang spontan.Individu poliploid ini memainkan peran penting dalam evolusi tumbuhan (Kadi, 2007).

Proses ploidisasi alami terjadi sebagai berikut :a. Jika kromosom di dalam telur yang dibuahi hadir dalam bentuk triplikat (rangkap tiga), sehingga sel mempunyai jumlah total kromosom 2n + 1 = 3 set kromosom maka sel aneuploid yang terbentuk (sel abnormal) disebut trisomik (Kadi, 2007).b. Jika satu kromosom hilang dan sel memiliki jumlah kromosom 2n - 1 = 1 set kromosom maka sel aneuploid yang terbentuk haploid dan disebut monosomik (Kadi, 2007).c. Jika nondisjungsi (gagal berpisah) terjadi selama mitosis, kesalahan berlangsung di awal perkembangan embrionik, kondisi aneuploid ini diteruskan di fase mitosis untuk sebagian besar sel dan ini bisa berdampak besar pada organisme tersebut (Kadi, 2007).d. Organisme yang memiliki dua set kromosom lengkap, didalam sel telur yang telah dibuahi secara umum dapat berubah sehingga terbentuk kromosom poliploidi, dengan istilah spesifik triploid (3n) dan tetraploid (4n), masing-masing menunjukkan 3 atau 4 set kromosom (Kadi, 2007).e. Organisme triploid bisa dihasilkan dari fertilisasi telur diploid abnormal yang mengalami nondisjungsi (gagal berpisah) pada semua kromosomnya. Kecelakaan berikutnya menghasilkan kromosom tetraploid yang tebentuk akibat kegagalan zigot 2n dalam membelah diri setelah replikasi kromosom-kromosomnya pada pembelahan mitosis berikutnya. Proses ini akan menghasilkan embrio (Kadi, 2007).

Di bawah ini merupakan dua tipe kesalahan meiosis yang akan menghasilkan gamet dengan jumlah kromosom tidak normal.

Gambar 2.4 (a) Pembelahan kromatid homolog dapat gagal berpisah selama anafase meiosis I; (b) Pembelahan kromatid gagal berpisah selama anafases dari meiosis IISumber: Campbell et. al., 2009

Pada umumnya untuk pembentukan organisme baru diawali dengan proses fertilisasi antara ovum dan sperma dari dua induk, ovum terbentuk dari proses oogenesis dan sperma terbentuk dari proses spermatogenesis. Pada pembentukan ikan poliploidi tidak dapat dipisahkan dari proses fertilisasi, oogenesis dan spermatogenesis. Ovum yang telah dibuahi pada fertilisasi akan melanjutkan pembelahan meiosis II dan terbentuklah sel polar bodi II, sehingga pada zigot terdapat pronukleus jantan (1n) dan pronukleus betina (1n) yang akhirnya membentuk zigot diploid, dan selanjutnya zigot akan melakukan pembelahan mitosis (Firdaus, 2002).

2.3.2 Analisis ploidiAnalisis poliploidisasi merupakan teknik penentuan tingkat ploidi untuk mengetahui ploidi dari suatu organisme.Penentuan tingkat ploidi pada ikan dapat dilakukan dengan berbagai metode, baik secara langsung maupun tidak langsung.Teknik langsung merupakan metode yang dapat digunakan pada semua makhluk hidup terutama eukariotik dan merupakan teknik yang paling tepat untuk menentukan ploidi atau jumlah perangkat kromosom dibandingkan dengan teknik tidak langsung (Firdaus, 2002).Lebih lanjut dijelaskan bahwa teknik tidak langsung, penentuan ploidi atau jumlah perangkat kromosom ditentukan atas dasar kuantitas materi genetik yang diukur secara tidak langsung, prinsip penggunaan teknik tidak langsung adalah bahwa kuantitas materi genetik berhubungan dengan kuantitas karakter yang diukur.Metode langsung dapat dilakukan dengan perhitungan jumlah kromosom dan penentuan kandungan DNA, metode tidak langsung dapat dengan pengukuran volume inti atau sel, elektrophoresis protein, pengamatan morfologi dan perhitungan jumlah nukleolus. Terdapat hubungan antara jumlah nukleolus dengan jumlah set kromosom pada tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu, jumlah nukleolus dapat digunakan untuk menentukan tingkat ploidi pada ikan. Alasan lain penggunaan metode nukleolus ini adalah seperti diuraikan oleh (Davidson, 1995 dalam Firdaus, 2002) bahwa jumlah maksimal nukleolus pada setiap spesies hewan atau tumbuhan adalah tertentu, dengan demikian jumlah nukleolus pada setiap sel dari suatu organisme mempunyai kemampuan membentuk nukleolus yang maksimal sesuai dengan jumlah materi genetiknya.

2.4 NukleolusNukleolus adalah struktur yang paling menonjol dari sebuah inti eukariotik. Nukleolus ini berperan dalam sintesis rRNA dan biogenesis dari subunit ribosom ( Busch dan Smetana, 1970 dalam Raska, 2004). Organel inti ini mengandung relative sedikit DNA kromosom tetapi kaya protein dan kompleks ribonukleoprotein (RNP) termasuk subunit pre-ribosom besar dan kecil.Individu haploid mempunyai satu nukleolus, diploid mempunyai satu atau dua nukleolus per sel, dan triploid mempunyai satu, dua atau tiga per sel dan seterusnya. Nukleolus terbentuk di sekitar diskrit lokus kromosom yang dikenal sebagai NOR. Pengertian Nucleolus Organizer Region (NOR) adalah suatu daerah disekitar kromosom yang berfungsi membentuk nukleolus, disebut juga nucleolar organizer, daerah yang berisi beberapa tempat gen pengkode ribosom RNA (RNA-r). Keterangan lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap satu set kromosom hanya mengandung satu kromosom dengan satu Nucleolar Organizer Region (NOR) dan inti diploid normal mengandung dua nukleolus. Pendapat yang senada diungkapkan Carman dkk. (1991) dalam Firdaus (2002) menjelaskan satu NOR mempunyai kemampuan untuk tidak membentuk lebih dari satu nukleolus, berdasar atas pernyataan tersebut diharapkan sel diploid yang mumpunyai sepasang NOR hanya mampu membentuk maksimal dua nukleolus, sel triploid hanya mampu membetuk tiga nukleolus demikian pula pada tetraploid hanya mampu membentuk empat nukleolus.

2.4 Karakteristik Wilayah Pengambilan Sampel2.4.1 JombangKondisi topografi Kota Jombang sebagian besar merupakan wilayah yang datar yaitu terdapat di jalur lintas regional dan merupakan lahan wilayah perkotaan. Untuk wilayah yang bergelombang terdapat di sebagian kecil wilayah kota sebagian arah barat laut kota. Kondisi geologi Kota Jombang dan sekitarnya termasuk jenis Holosen Alluvium dan sebagian plistosen fasein Jombang gamping. Untuk jenis tanah kota Jombang dan sekitarnya bertekstur lempung, lempung pasir dan napal atau termasuk jenis tanah pada kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol. Kota Jombang sebagian besar lahannya sudah dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman yaitu seluas 704,634 Ha atau sekitar 21,76 %. Sedangkan untuk kegiatan pertanian (sawah dan tegalan) seluas 1.262,991 Ha, industri pergudangan sebesar 93,82 Ha, transportasi sebesar 515,25 Ha, fasilitas sosial sebesar 648,355 Ha dan yang lainnya sebesar 12,52 Ha (Ciptakarya1, Tanpa Tahun).Wilayah Kota Jombang dipengaruhi oleh iklim tropis dengan angka curah hujan rata-rata berkisar 1.800 mm/tahun dan temperatur antara 20 C - 32 C. Iklim yang ada di Kota Jombang sebagian besar masuk dalam tipe B (klasifikasi berdasarkan Schmdt Fergusson) dengan curah hujan 1500 2000 mm/tahun (Ciptakarya1, Tanpa Tahun).Secara hidrologis Kota Jombang dipengaruhi oleh beberapa aliran sungai yang melintasi wilayah kota. Sungai-sungai tersebut yaitu Sungai Wangkal Kepuh, Sungai Jombang Kulon, Sungai Jombang Wetan dan Sungai Putih. Kedalaman air bawah tanah pada satuan ini bervariasi antara 0,4 4 meter. Kondisi air bawah tanah bebas yang dangkal ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum, yang diambil secara sederhana (melalui sumur gali atau dengan sumur pompa biasa) (Ciptakarya1, Tanpa Tahun).Salah satu sungai yang dijadikan tempat pengambilan sampel ikan Cucut berada di Desa Candimulyo kabupaten Jombang.Lokasi ini berada pada ketinggian 20 dpl.Di sekitar sungai merupakan perumahan penduduk dan samwah serta kebun.Sungai ini cukup lebar namun keadaannya cukup kotor karena banyak sampah dan kotoran yang dibuang sembarangan di tempat ini.Di lokasi ini dapat ditemukan cukup banyak ikan cucut yang biasanya suka berada di permukaan air.Selain ikan cucut, dapat ditemukan pula banyak sekali ikan gatul, lele, sepat, wader dan lain sebagainya.

Gambar 2.5 Lokasi Pengambilan Ikan Desa Candimulyo, Kabupaten JombangSumber: Dokumen Pribadi, 2014

2.4.2 TrenggalekKabupaten Trenggalek merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang terletak di bagian selatan dari wilayah Provinsi Jawa Timur.Kabupaten ini terletak pada koordinat 1110 24 hingga 1120 11 Bujur Timur dan 70 53 hingga 80 34 Lintang Selatan.Dengan luas wilayah 126.140 Ha, Kabupaten Trenggalek sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan, dimana luasnya meliputi 2/3 bagian luas wilayah.Sedangkan 1/3 bagian merupakan dataran rendah.Ketinggian tanah diantara 0 hingga 690 meter diatas permukaan laut (Digilib, Tanpa Tahun).Struktur tanah terdiri dari lapisan tanah Andosol dan Latosol, Mediteran, Grumosol dan Regosol, Alluvial dan Mediteran. Lapisan tanah Alluvial terbentang di sepanjang aliran sungai di bagian wilayah timur dan merupakan lapisan tanah yang subur, luasnya berkisar antara 10 % hingga 15 % dari seluruh wilayah. Pada bagian selatan, barat laut dan utara, tanahnya terdiri dari lapisan Mediteran yang bercampur dengan lapisan Grumosol dan Latosol. Lapisan tanah ini memiliki daya serap yang rendah terhadap air yang menyebabkan lapisan tanah ini kurang subur (Digilib, Tanpa Tahun).Sebagai daerah tropis, dimana Kabupaten Trenggalek berada di sekitar garis katulistiwa, maka seperti daerah lain di Indonesia, Kabupaten Trenggalek mengalami perubahan iklim sebanyak dua kali setiap tahunnya, yakni musim kemarau dan musim penghujan. Bulan September April merupakan musim penghujan, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan MeiAgustus (Digilib, Tanpa Tahun).Pada wilayah Kabupaten Trenggalek terdapat banyak aliran sungai, baik besar maupun kecil.Di bagian utara terdapat 2 sungai besar yang mengalir ke selatan, yaitu Sungai Bagong dan Sungai Pinggir.Sungai Ngasinan merupakan muara beberapa sungai yang cukup besar, yaitu dari utara Sungai Bagong yang bermuara di Kelurahan Tamanan dan Sungai Prambon yang bermuara di Kecamatan Tugu, dan barat Sungai Pinggir yang bermuara di Kecamatan Tugu dan dari selatan Sungai Nglongah (Mlinjon) yang bermuara di Kecamatan Trenggalek. Sebelum masuk DAM Dawung menyatu dengan Sungai Munjungan.Sungai-sungai yang berada di DAS Brantas sebagian besar digunakan untuk irigasi, dan sebagian masuk ke PLTA Niyama.Sedangkan di bagian selatan terdapat sungai besar yang mengalir ke Samudera Indonesia, yaitu Sungai Gedangan berhulu di Kecamatan Pule, Dongko dan Panggul; Sungai Konang di Kecamatan Dongko dan Panggul; Sungai Tumpak Nongko di Kecamatan Munjungan; Sungai Ngemplak di Kecamatan Watulimo (Digilib, Tanpa Tahun).Salah satu sungai kecil di Desa Karangan, kabupaten Trenggalek merupakan tempat pengambilan sampel ikan Cucut.Lokasi ini berada pada ketinggian 90 dpl.Sungai ini dikelilingi oleh sawah dan cukup jauh dari rumah penduduk. Sungai ini termasuk cukup kecil namun terdapat cukup banyak ikan antara lain cucut, wader, dan gatul. Gambar 2.6 Lokasi Pengambilan Ikan Desa Karangan, Kabupaten TrenggalekSumber: Dokumen Pribadi, 2014

2.4.3 WenditSecara geografis wilayah Kota Malang berada antara 0746'48" - 846'42" Lintang Selatan dan 11231'42" - 11248'48" Bujur Timur, dengan luas wilayah 110,06 km2. Kota Malang memiliki udara yang sejuk dengan suhu rata-rata 24,13C dan kelembaban udara 72% serta cerah hujan rata-rata 1.883 milimeter per tahun. Secara geologi daerahnya disusun oleh batuan hasil kegiatan gunung api yang terdiri dari tufa, tufa pasiran, breksi gunung api, aglomerat, dan lava. Kota Malang terdiri dari 5 Kecamatan yaitu Kedungkandang, Klojen, Blimbing, Lowokwaru, dan Sukun serta 57 kelurahan. Di salah kabupaten Blimbing tepatnya di kecamatan Wendit dilakukan pengambilan sampel ikan Cucut (Ciptakarya2,, Tanpa Tahun).

Gambar 2.7 Lokasi Pengambilan Ikan Wendit, Blimbing, MalangSumber: Dokumen Pribadi, 2014

Lokasi pengambilan ikan yang berada disamping tempat wisata Wendit.ini berada pada ketinggian 420 dpl. Lokasi ini berada di antara rumah-rumah penduduk.Di sekelilingnya terdapat persawahan dan semak-semak yang cukup tinggi. Penduduk di sekitar lokasi ini menggunakan air untuk mandi, mencuci baju, keramas, dan beberapa hal lain. Di tempat ini bisa ditemukan cukup banyak ikan cucut meski jumlahnya tidak sebanyak ikan gatul yang juga hidup bebas di tempat ini.

BAB IIIKERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

1. 1. 1. 2. Kerangka KonseptualPenentuan ploidi sering menggunakan teknik perhitungan jumlah nukleolus atau perhitungan secara tidak langsung.Hewan yang diuji pada penelitian kali ini adalah ikan Cucut (Dermogenys collettei)dengan melihat ploidi alaminya dengan menggunakan perhitungan jumlah nukleolus.

1. 1. 1. 3.2 Hipotesis PenelitianHipotesis penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.0. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.0. Ada perbedaan frekuensi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.0. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah ploidi ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit adalah suhu, ketinggian, nondisjunction dan beberapa lainnya.

BAB IVMETODE PENELITIAN

4.1 Rancangan dan Jenis PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap jumlah ploidi dan perbedaan frekuensi jumlah nukleolus dari masing-masing ploidi alami ikan Cucut (Dermogenys collettei) dengan metode perhitungan jumlah nukleolus.

4.2 Waktu dan Tempat PelaksanaanKegiatan pengamatan ini dilaksanakan mulai pada tanggal 24 Januari sampai pada tanggal 17 April 2014 di Gedung Biologi O5 ruang 310 Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.

4.3 Populasi dan Sampel4.3.1 PopulasiPopulasi dalam penelitian ini adalah ikan Cucut (Dermogenyscollettei) yang diambil dari daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.4.3.2 SampelSampel dari penelitian ini adalah 12 ekor ikan Cucut (Dermogenys collettei) yang diambil dari ketiga daerah.Ikan Cucut dari daerah Jombang diambil di sungai Desa Candimulyo.Dari daerah Trenggalek diambil di sawah Desa Karangan. Sedangkan dari daerah Wendit diambildi kolam sumber mata air Jl. Sumberasih, Malang.

4.4 Instrumen Penelitian4.4.1 Alat dan BahanAlat yang digunakan pada kegiatan ini yaitu :1. Altimeter berfungsi sebagai pengukur ketinggian suatu tempat atau daerah1. Jaring digunakan untuk menangkap ikan di daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit1. Aquarium digunakan sebagai tempat hidup ikan 1. Aerator berfungsi sebagai pengganti udara dalam air1. Gunting digunakan untuk menggunting sirip ekor ikan1. Botol vial digunakan sebagai tempat untuk perendaman atau fiksasi sirip ekor ikan1. Botol selai digunakan sebagai tempat menyimpan larutan yang telah di buat 1. Pipet tetes merupakan alat yang digunakan untuk mengambil larutan saat praktikum berlangsung1. Gelas arloji digunakan sebagai tempat pencacahan sirip ekor ikan1. Silet merupakan alat yang digunakan untuk mencacah sirip ekor ikan1. Beaker glass digunakan untuk mengukur larutan yang akan dibuat1. Kaca benda merupakan tempat yang digunakan untuk hasil pencacahan sirip ekor ikan1. Gelas ukur digunakan untuk mengukur larutan yang akan dibuat1. Plastik, digunakan untuk menutup larutan 1. Spidol digunakan untuk menandai kaca benda yang sudah di buat dan larutan yang telah dibuat1. Mikroskop cahaya, alat yang digunakan untuk mengamati nukleolus

Bahan yang digunakan pada kegiatan ini yaitu:1. Ikan cucut merupakan ikan yang diambil sirip kaudalnya1. Larutan A (AgNO3 + aquades) digunakan untuk mewarnai nukleolus1. Larutan B (gelatin + aquades + gliserin) digunakan untuk pengganti kaca penutup1. Larutan asam asetat (asam asetat glasial + aquades) digunakan untuk pencacahan sehingga tidak kering1. Larutan Carnoy (asam asetat glasial + alkohol absolut + kloroform) digunakan untuk perendaman atau fiksasi sirip ekor ikan1. Tissue digunakan untuk membersihkan kaca benda yang telah di rendam alcohol sebelumnya.1. Kertas label digunakan untuk menandai atau melabeli nama larutan1. Minyak emersi digunakan untuk memperjelas hasil amatan 1. Alkohol 70% digunakan untuk merendam kaca benda (mensterilkan kaca benda)1. Xilol digunakan untuk membersihkan lensa mikroskop.

4.5 Prosedur Kerja4.5.1 Pembuatan Larutan4.5.1.1 Larutan CarnoyPembuatan larutan ini dilakukan dengan mencampur asam asetat glasial jenuh, alkohol absolut, dan klorofom dengan perbandingan 1:1:14.5.1.2 Larutan Asam AsetatPembuatan larutan ini dilakukan dengan mencampur asam asetat glasial 50 ml dan aquades hingga 100 ml dengan perbandingan 1:2.4.5.1.3 Larutan APembuatan larutan ini dilakukan dengan mencampur AgNO3 dan aquades dengan perbandingan 1:24.5.1.4 Larutan BPembuatan larutan ini dilakukan dengan mencampur 22 gram gelatin, 50 mL aquades hangat (600C) dan 50 mL gliserin jenuh.

4.5.2 Pembuatan Preparat1. Memotong sirip kaudal ikan2. Memfiksasi sirip kaudal di dalam larutan Carnoy, setelah 30 menit mengganti larutan Carnoy lama dengan larutan Carnoy yang baru. Melanjutkan fiksasi selama 24 jam3. Setelah di fiksasi, meletakkan jaringan pada gelas arloji dan menetesi asam asetat4. Mencacah jaringan dengan menggunakan silet yang tajam hingga terbentuk suspensi sel (tiap jaringan yang di cacah, melakukan pencacahan selama 60 menit).5. Mengambil dan meletakkan suspensi di kaca benda dan meratakkannya dengan tusuk gigi (1 kaca benda terdapat 2 ring suspensi. Sebelum digunakan, merendam kaca benda pada alkohol 70% (1 hari sebelum digunakan)6. Mengangin-anginkan kaca benda yang ada suspensi7. Menambahkan larutan A dan meratakannya dengan tusuk gigi8. Menetesi ring dengan larutan B dan meratakannya dengan tusuk gigi9. Meletakkan preparat dalam box staining bersuhu 400C-500C selama 20-30 menit sampai agak kering 10. Mengambil dan membilas preparat dengan air secara halus11. Mengangin-anginkan preparat hingga kering12. Mengamati preparat dengan perbesaran 1000x, menggunakan 2 ring dan 3 bidang pandang

4.6 Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data pada kegiatan penelitian yaitu dengan cara perhitungan banyaknya nukleolus untuk penentuan ploidi masing-masing ikan di setiap daerah. Hasil perhitungan jumlah nukleolus dimasukkan ke dalam tabel berikut.1. Tabel pengamatan ploidi ikan cucut dari JombangUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1N

2n

3n

4n

2N

2n

3n

4n

Dan seterusnya sampai 12 preparat

1. Tabel pengamatan ploidi ikan cucut dari TrenggalekUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1n

2n

3n

4n

2n

2n

3n

4n

Dan seterusnya sampai 12 preparat

1. Tabel pengamatan ploidi ikan cucut dari WenditUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1n

2n

3n

4n

2n

2n

3n

4n

Dan seterusnya sampai 12 preparat

4.7 Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varian tunggal untuk mencari pengaruh ketinggian tempat terhadap jumlah ploidi dari masing-masing ikan Cucut (Dermogenys collettei) dan digunakan analisis persentase dari masing-masing ploidi pada setiap daerah kemudian menggambarkan dalam bentuk diagram lingkaran.

1. 1. BAB VDATA DAN ANALISIS DATA

5.1 Data Pengamatan Tabel 5.1 Data Ploidi Ikan Cucut di Daerah WenditUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1n1115991113

2n234134

3n000011

4n000000

2n12101315820

2n264215

3n023212

4n000000

3n2110971412

2n433131

3n210000

4n000000

4n81315201814

2n121114

3n001000

4n000000

5n14161311198

2n731331

3n100100

4n000000

6n93111151012

2n221112

3n000000

4n000000

7n108911910

2n011321

3n000000

4n000000

8n15991278

2n722203

3n010110

4n000000

9n5812161713

2n311222

3n100001

4n000101

10n810716138

2n112223

3n000101

4n001000

11n352817252621

2n895764

3n320241

4n000000

12n252325212420

2n577487

3n012123

4n000000

Tabel 5.2 Data Ploidi Ikan Cucut di Daerah TrenggalekUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1n20251911188

2n357364

3n100011

4n000000

2n241317222019

2n526511

3n111201

4n000000

3n191617161517

2n341324

3n100100

4n000000

4n11149212518

2n130254

3n022002

4n000000

5n121711202411

2n213321

3n000101

4n000000

6n272324251420

2n113221

3n000010

4n000000

7n161917231521

2n101102

3n010010

4n000000

8n231521151912

2n111221

3n000010

4n000000

9n914520910

2n110633

3n000101

4n011010

10n332925282125

2n671091011

3n433421

4n000000

11n202219211918

2n10681097

3n335413

4n010010

12n231827151119

2n867958

3n234314

4n010011

Tabel 5.3 Data Ploidi Ikan Cucut di Daerah JombangUlanganPloidiRing 1Ring 2

123123

1n251527212217

2n3310634

3n111431

4n000110

2n14171615721

2n1342324

3n131212

4n000000

3n252023151922

2n753252

3n213121

4n011000

4n151710111310

2n223214

3n011001

4n000100

5n14121791114

2n323102

3n101001

4n000000

6n161516121114

2n164543

3n111203

4n020000

7n101611201011

2n318623

3n211200

4n001000

8n91715111018

2n276334

3n111230

4n100000

9n10119151413

2n434432

3n112010

4n000200

10n810716138

2n112223

3n000101

4n001000

11n311428254320

2n1485583

3n412121

4n100000

12n392815159284

2n147562317

3n214353

4n110000

5.2 Analisis Data5.2.1 Jumlah Ploidi pada Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit0. Analisis Haploid (n)Tabel 5.4 Data hasil Transformasi Haploid (n)

1.1

Tabel 5.5 Anava Haploid (n)

Hasil analisis dari tabel anava menunjukkan bahwa Fhit (2,256) < Ftabel (3,443) pada taraf signifikansi 5%. Artinya hipotesis penelitian ditolak. Sehingga ketinggian tidak berpengaruh terhadap ploidi haploid ikan Cucut di Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.

0. Analisis Diploid (2n)Tabel 5.6 Data Hasil Transformasi Diploid (2n)

Tabel 5.7 Perhitungan Anava Diploid (2n)

Hasil analisis dari tabel anava menunjukkan bahwa Fhit (1,65) < Ftabel (3,443) pada taraf signifikansi 5%. Artinya hipotesis penelitian ditolak. Sehingga ketinggian tidak berpengaruh terhadap ploidi diploid Ikan Cucut di Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.

0. Analisis Triploid (3n)Tabel 5.8 Data Hasil Transformasi Triploid (3n)

Tabel 5.9 Perhitungan Anava Triploid (3n)

Hasil analisis dari tabel anava menunjukkan bahwa Fhit (3,973) > Ftabel (3,443) pada taraf signifikansi 5%. Artinyahipotesis penelitian diterima. Sehingga ketinggian berpengaruh terhadap ploidi triploid Ikan Cucut di Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.

Uji BNTNilai BNT= 3,120503Tabel 5.10 BNT Triploid (3n)

Dari uji BNT ini menunjukkan jumlah triploid (3n) pada daerah Jombang merupakan sumbangan paling besar dalam tingkat ploidi.

0. Analisis Tetraploid (4n)Tabel 5.11Data Hasil Transformasi Tetraploid (4n)

Tabel 5.12Perhitungan Anava Tetraploid (4n)

Hasil analisis dari tabel anava menunjukkan bahwa Fhit (4,67) > Ftabel (3,44) pada taraf signifikansi 5%. Artinya hipotesis penelitian diterima. Sehingga ketinggian berpengaruh terhadap ploidi triploid Ikan Cucut di Daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit.

Uji BNTNilai BNT=2,055689Tabel 5.13 BNT Tetraploid (4n)

Dari hasil uji BNT menunjukkan bahwajumlah tetraploid di ketiga daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit tidak memiliki perbedaan nyata.

5.2.2 Persentase Frekuensi Ploidi pada Daerah Jombang, Trenggalek dan WenditTabel 5.14Persentase Frekuensi Ploidi Daerah JombangPloidiJumlahRata-RataPersentase (%)

N1304108,666767,28586

2n52443,6666727,03818

3n957,9166674,901961

4n151,250,773994

Total161,5100

Grafik 5.1 Presentase Ploidi Daerah Jombang

Dari hasil persentase di atas menunjukkan bahwa ploidi yang paling banyak ditemukan di Ikan Cucut Daerah Jombang adalah haploid dengan persentase sebesar 67,28%. Kemudian disusul dengan diploid dengan persentase sebesar 27,04%, triploid dengan persentase sebesar 4,9%, dan tetraploid dengan persentase sebesar 0,77%.

Tabel5.15Persentase Frekuensi ploidi Daerah TrenggalekPloidiJumlahRata-RataPersentase (%)

N1318109,833378,63962

2n27522,9166716,40811

3n786,54,653938

4n150,4166670,298329

Total139,6667100

Grafik 5.2 Presentase Ploidi Daerah Trenggalek

Dari hasil persentase di atas menunjukkan bahwa ploidi yang paling banyak ditemukan di Ikan Cucut Daerah Trenggalek adalah haploid dengan persentase sebesar 78,64%. Kemudian disusul dengan diploid dengan persentase sebesar 16,4%, triploid dengan persentase sebesar 4,65%, dan tetraploid dengan persentase sebesar 0,3%.

Tabel 5.16Persentase Frekuensi ploidi Daerah WenditPloidiJumlahRata-RataPersentase (%)

n101684,6666779,56147

2n21217,6666716,60141

3n463,8333333,602193

4n30,250,234926

Total106,4167100

Grafik 5.3 Presentase Ploidi Daerah Wendit

Dari hasil persentase di atas menunjukkan bahwa ploidi yang paling banyak ditemukan di Ikan Cucut Daerah Wendit adalah haploid dengan persentase sebesar 79,56%. Kemudian disusul dengan diploid dengan persentase sebesar 16,6%, triploid dengan persentase sebesar 3,6%, dan tetraploid dengan persentase sebesar 0,23%.

BAB VIPEMBAHASAN

5. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Jumlah Ploidi Ikan Cucut (Dermogenys Collettei) dari Daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data dengan perhitungan anava tunggal, diperoleh Ftabel lebih besar dari Fhitung pada haploid (n) dan diploid (2n). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh ketinggian tempat terhadap ploidi haploid dan diploid ikan cucut (Dermogenys collettei) di daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit (hipotesis penelitiannya ditolak dan hipotesis nolnya diterima). Sedangkan hasil analisis data triploid (3n) dan tetraploid (4n) menunjukkan Fhitung lebih besar dari pada Ftabel, sehingga hipotesis penelitian diterima yang menunjukkan adanya pengaruh ketinggian tempat terhadap ploidi triploid (3n) dan tetraploid (4n) ikan cucut (Dermogenys collettei) di daerah Jombang, Trenggalek, dan Wendit. Hal ini disebabkan individu normal di alam pada umumnya memiliki 2 set kromosom yang biasa disebut diploid (2n). Dan individu diploid menghasilkan mutan gamet haploid (n) (Adisoemarto, 1988 dalam Kadi, 2007). Sedangkan adanya individu triploid dan tetraploid tersebut menunjukkan adanya poliploidi.Poliploidi terbentuk dalam dua kelompok, yaitu : kelompok pertama autopoliploidi yaitu penggandaan ploidi melalui penggabungan genom-genom yang sama. Ploidi yang dihasilkan dari proses ini adalah aneuploid (kromosom abnormal) yakni dalam bentuk triploid, tetraploid dan pentaploid. Kelompok kedua alopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang terjadi melalui penggabungan genom-genom yang berbeda (Jusup, 1988 dalam Kadi,2007).Ketinggian tempat sangat berhubungan dengan suhu suatu daerah tersebut. Semakin tinggi suatu tempat maka suhunya akan semakin rendah begitu sebaliknya. Dari ketiga daerah tersebut daerah yang merupakan daerah tertinggi adalah Wendit yaitu 400 mdpl. Pada daerah Trenggalek memiliki ketinggian 90 mdpl. Sedangkan pada daerah Jombang memiliki ketinggian 20 mdpl. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah ploidi khususnya triploid dan tetraploid yang ditemukan dari ketiga daerah tersubut. Jumlah poliploidi paling banyak ditemukan di daerah Jombang karena Jombang memiliki ketinggian terendah. Sehingga Jombang memiliki suhu paling tinggi diantara ketiga daerah tersebut. Dengan suhu yang tinggi ini akan meningkatkan terjadinya poliploidi. Hal ini disebabkan suhu dapat mengiduksi terjadinya peristiwa nondisjungsi (gagal berpisah) yang terjadi pada saat satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet lain tidak mendapat salinan (copy) sama sekali. Hal ini yang menyebabkan adanya poliploidi. Salah satu garnet yang menyimpang ini bersatu dengan gamet normal.Pada hewan poliploidi secara alami jarang terjadi, namun terjadi pada katak dan ikan. Organisme yang memiliki dua set kromosom lengkap, didalam sel telur yang telah dibuahi secara umum dapat berubah sehingga terbentuk kromosom poliploidi, dengan istilah spesifik triploid (3n) dan tetraploid (4n), masing-masing menunjukkan 3 atau 4 set kromosom. Organisme triploid bisa dihasilkan dari fertilisasi telur diploid abnormal yang mengalami nondisjungsi (gagal berpisah) pada semua kromosomnya.Kecelakaan berikutnya menghasilkan kromosom tetraploid yang tebentuk akibat kegagalan zigot 2n dalam membelah diri setelah replikasi kromosom-kromosomnya pada pembelahan mitosis berikutnya. Proses ini akan menghasilkan embrio yang memiliki kromosom 4n.

5. Perbedaan Frekuensi Jumlah Ploidi Ikan Cucut (Dermogenys Collettei) dari Daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.Hasil penelitian menunjukkan ikan cucut memiliki sebaran jumlah dan distribusi frekuensi nukleoli yang berbeda. Ada ikan yang memiliki distribusi jumlah nukleoli masing-masing 1 dan 2; 1, 2 dan 3; dan 1, 2, 3 dan 4. Bentuk dan ukuran nukleoli antara diploid, triploid dan tetraploid relatif tidak menunjukkan perbedaan. Dari praktikum yang dilakukan dalam satu preparat ditemukan berbagai jumlah nukleoli. Variasi jumlah nukleolus yang ditemukanada hubungannya dengan kemampuan pewarnaan AgNo3 yang hanya mewarnai nukleolus (dalam hal ini NOR) yang sedang aktif melakukan sintesis ribosom dan protein sebelum dilakukan fiksasi (Gold, 1984 dan Hubbel, 1985 dalam Carman, 1997 dalam Firdaus, 2002).Pada Ikan Cucut setiap sel individu diploid memiliki satu atau dua nukleolus, individu triploid memiliki satu, dua, atau tiga nukleolus pada inti setiap selnya. Sedangkan individu tetraploid memiliki satu, dua, tiga, atau empat nukleolus dalam setiap inti selnya. Perbedaan jumlah nukleolus yang ditemukan tersebut berkaitan dengan NOR (Nukleolar Organizer Region). Sedangkaninti diploid normal mengandungduanukleolus. Hal initerjadikarenadarisatu set kromosomhanyaadasatusajadarikromosom yang memiliki NOR ((Nukleolar Organizer Region).Nucleolar Organizer Region (NOR) adalahsuatudaerahdisekitarkromosom yang berfungsimembentuknukleolus, daerah ini berisibeberapatempat gen pengkoderibosom RNA (RNA-r). Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa ikan diploid memiliki 1 dan atau 2 nukleoli dalam setiap selnya, triploid memiliki 1, 2 dan atau 3 nukleoli dan tetraploid memiliki 1, 2, 3 dan atau 4 nukleoli.NOR dapat mempengaruhi jumlah ploidi yang berbeda, protein di NOR membantu transkripsi sehingga membutuhkan ribosom yang lebih banyak. NOR merupakan daerah kromosom sekitar bentukan nucleolus. Daerah ini merupakan bagian tertentu dari kromosom yang terkait dengan nucleolus setelah inti membagi. Wilayah ini berisi beberapa salinan tandem gen DNA ribosom. Pada manusia, NOR mengandung gen untuk 5.8S, 18S, 28S rRNA dan berkerumun di lengan pendek kromosom 13, 14, 15, 21 dan 22 (kromosom akrosentrik).NOR termasuk rRNA gen aktif, yang menimbulkan konstriksi sekunder kromosom metafase, dan gen rRNA diam, yang sering sangat dipadatkan dalam heterochromatin padat. Pada metafase, sisa-sisa protein dari nucleolus sering tetap berhubungan dengan penyempitan sekunder. Setiap gen rRNA pada NOR hampir identik secara berurutan, meskipun variasi dalam ukuran karena perbedaan jumlah elemen DNA berulang di wilayah spacer intergenik umum. NOR telah diidentifikasi melalui teknik argyrophilic (Ag-NOR) Metode ini mengungkapkan NOR sebagai titik hitam dalam inti sel, berdasarkan dari argyrophilia protein NOR terkait. Jumlah Ag-NOR telah dianggap terkait dengan aktivasi seluler. Dalam analisis kariotipe, perak dapat digunakan untuk mengidentifikasi NOR. Menyisipkan perak nitrat ke dalam protein NOR terkait di tangkai dan satelit, pewarnaan protein menjadi hitam gelap. Jadi semakin meningkatnya aktifitas ikan akan menyebabkan kebutuhan akan ribosom untuk mensintesis protein lebih banyak. Sehingga NOR menjadi aktif, dalam keadaan inilah dapat diwarnai dengan AgNo3. Sehingga belum tentu jumlah nukleoli terbanyak yang ditemukan dapat mewakili jumlah set kromosom individu.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Ploidi Ikan Cucut (Dermogenys Collettei) dari Daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pembentukan individu poliploidi pada ikan yang hidup di alam ada faktor ekologis (ekstrinsik) dan faktor intrinsik dari ikan (yang dapat menimbulkan garis keturunan poliploid) yang membuat mereka lebih rentan terhadap pembentukan awal poliploids. Sebagian besar kejadian poliploidisasi di hewan dianggap telah dihasilkan dari pembentukan gamet unreduced (Winge 1917, Hagerup, 1932; Rabe & Haufler, 1992; Ramsey & Schemske, 1998; Suami & Schemske, 2000; Ramsey, 2007 dalam Mable, 2011) namun mekanisme lain, seperti polispermia juga mungkin. Tidak seperti tanaman, poliploidisasi somatik belum dijelaskan pada hewan.Ada pertimbangan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan peluang untuk pembentukan individu poliploid, seperti produksi gamet, lingkungan reproduksi dan kecenderungan untuk hibridisasi.

6.3.1 Frekuensi gamet unreduced Meskipun gamet unreduced terjadi secara spontan di sebagian besar vertebrata, mereka muncul untuk menghasilkan keturunan yang layak terutama dalam ectotherms. Eksperimen buatan menunjukkan bahwa kemudahan pembentukan gamet unreduced sangat tinggi pada ikan dan amfibi (Fankhauser, 1945 dalam Mable, 2011). Tidak adanya pos pemeriksaan pakiten, yang merupakan sistem surveilans meiosis hadir dalam banyak hewan yang biasanya akan mencegah pembentukan gamet unreduced, telah diduga sebagai alasan yang mungkin untuk tingginya prevalensi poliploidi pada tanaman (Li, Barringer & Barbash 2009 dalam Mable, 2011). Mungkin juga ada faktor lain dari gametogenesis atau proses pembuahan yang meningkatkan potensi untuk memproduksi gamet unreduced.Pada ikan, meskipun 37 cara yang berbeda untuk merangsang poliploidi telah dijelaskan (Pandian & Koteeswaran, 1998 dalam Mable, 2011), poliploid yang paling umum telah diinduksi dengan kejutan suhu atau tekanan, dengan kejutan dingin biasanya dilakukan untuk spesies air hangat dan kejutan panas dilakukan untuk ikan air dingin spesies (Donaldson et al., 2008 dalam Mable, 2011). Kejutan suhu menginduksi poliploidi oleh salah satu dari dua mekanisme: (1) menyebabkan retensi badan kutub meiosis kedua atau (2) memblokir pembelahan mitosis pertama (Tiwary, Kirubagaran & Ray, 2004 dalam Mable, 2011). Tekanan tinggi antara 400 dan 600 atmosfer juga dapat menyebabkan poliploidi.Sementara kejutan tekanan tidak relevan dengan pembentukan poliploidi pada ikan yang hidup liar di alam.Dingin atau guncangan panas dapat terjadi secara alami melalui perubahan thermoclines, gerakan air seperti banjir atau salju mencair, hujan lebat atau perubahan yang cepat dalam suhu musiman (Donaldson et al, 2008 dalam Mable, 2011).

6.3.2 Polispermia Salah satu faktor penyebab poliploidi yang tidak melibatkan gamet unreduced adalah melalui polispermia yaitu pembuahan telur tunggal dengan lebih dari satu sperma. Dalam banyak ikan dan amfibi ada banyak kesempatan untuk beberapa sperma untuk datang ke dalam telur.Namun, dalam ikan sebenarnya dengan pengecualian dari elasmobranchs, hanya satu sperma yang dapat menembus.Berbagai mekanisme fisik dan kimia mencegah polispermia pada hewan (Wong & Wessel, 2006 dalam Mable, 2011).Polispermia fisiologis adalah kondisi di mana beberapa sperma menembus ke dalam telur, tetapi hanya satu pronukleus sperma yang bergabung dengan sel telur haploid inti.Polispermia umumnya banyak terjadi pada urodeles, dimana 90-100% dari semua telur mungkin polyspermic (Elinson, 1986; Iwao, 1989 dalam Mable, 2011).Namun, meskipun beberapa sperma menembus sel telur, hanya satu pronukleus sperma yang bergabung dengan pronukleus ovum dan tambahan sperma sitoplasma inti yang kemudian ditekan (Fankhauser, 1932; Elinson, 1986; Iwao, 1989; Iwao & Elinson, 1990 dalam Mable, 2011).

6.3.3 Produksi Gamet Gamet unreduced tidak selalu mengarah pada pembentukan individu poliploid. Masalah cenderung timbul akibat aneuploidi, ketidakseimbangan dalam jumlah kromosom, dosis diubah protein orangtua, dan tidak kompatibel genom orangtua.Menduplikasi komplemen kromosom meningkatkan risiko masalah selama meiosis, terutama jika lebih dari dua salinan dari setiap kromosom yang dapat memasangkan. Aneuploidi cenderung menjadi lebih umum untuk set kromosom tidak seimbang (triploid atau pentaploid), jadi jika sebagian poliploid timbul melalui tahap triploid menengah, aneuploidi akan diharapkan menjadi faktor penghambat. Generasi garis keturunan poliploid berkelanjutan dengan demikian dibatasi oleh kemampuan untuk menghasilkan keturunan dengan jumlah salinan yang tepat dari setiap kromosom di kedua nenek moyang diploid dan poliploid baru timbul. Karena sifat stokastik kromosom pasangan, mungkin diharapkan bahwa, meskipun sebagian kecil dari gamet akan berakhir dengan set seimbang, jika mereka adalah satu-satunya bentuk yang normal, seleksi kromosom penuh melengkapi akan menjadi kuat. Ini berarti bahwa organisme (seperti mamalia) yang menghasilkan beberapa gamet betina pada satu waktu tidak akan diharapkan untuk membentuk garis keturunan poliploid stabil (Mable, 2004 dalam Mable, 2011). Ikan dan amfibi baik cenderung menghasilkan sejumlah besar dari kedua gamet jantan dan betina, yang dapat memfasilitasi generasi keturunan poliploid (Mable, 2011).

6.3.4 Lingkungan reproduksi Faktor yang paling jelas dimiliki oleh ikan poliploid dan amfibi adalah bahwa, hampir tanpa kecuali, mereka bereproduksi dalam lingkungan air tawar.Reproduksi di lingkungan perairan secara umum menghadapkan ectotherms dengan fluktuasi kondisi lingkungan selama musim kawin dan air tawar habitat diketahui lebih bervariasi dari lingkungan laut.Selama masa ketidakstabilan lingkungan seperti periode postglacial, variasi suhu selama musim kawin sehingga bisa sangat besar dan sejumlah besar dapat terkena fluktuasi suhu di daerah lokal.Fertilisasi eksternal di lingkungan perairan juga meningkatkan pencampuran gamet pria dan wanita, yang akan memfasilitasi kemungkinan menghasilkan keturunan dengan seimbang kromosom set kombinasi. Deposisi sperma disebarkan di lingkungan perairan, ketika beberapa individu berkembang biak pada saat yang sama, juga mempromosikan beberapa sperma, yang selanjutnya dapat memungkinkan pemilihan kombinasi gamet menguntungkan atau polispermia (Mable, 2011).

6.3.5 Kecenderungan untuk Hibridisasi Meskipun perkiraan frekuensi relatif autopoliploidisasi dan allopoliploidisasi tetap rendah, bahkan pada tanaman, poliploidi sering dikaitkan dengan hibridisasi. Kedua hibridisasi dan poliploidi dapat melibatkan perubahan dramatis dan langsung dalam struktur genom (McClintock, 1978;. Gaeta et al, 2007; Landry, Hartl & Ranz, 2007;. Buggs et al, 2010; Chelaifa, Monnier & Ainouche, 2010; Gaeta & Chris Pires, 2010;.Marmagne et al, 2010 dalam Mable, 2011), yang dapat mengubah respon adaptif terhadap perubahan lingkungan, sehingga tidak jelas apakah itu adalah hibridisasi atau poliploidi yang mungkin memungkinkan invasi lingkungan.Banyak kasus hewan hybrid telah dikaitkan dengan poliploidi, banyak juga telah dikaitkan dengan reproduksi aseksual (ditinjau oleh Putih, 1973; Dowling & Secor, 1997 dalam Mable, 2011).Dari faktor-faktor yang dijelaskan di atas masih tidak dapat diprediksikan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya poliploidi di alam.

BAB VIPENUTUP

7.1 Kesimpulan1. Ketinggian tempat tidak berpengaruh terhadap ploidi haploid dan diploid ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit. Dan ketinggian tempatberpengaruh terhadap ploidi triploid dan tetraploid ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Jombang, Trenggalek dan Wendit.2. Frekuensi jumlah ploidi pada ketiga daerah (Jombang, Trenggalek, dan Wendit) menunjukkan bahwa ploidi yang frekuensi kemunculan paling banyak dari ketiga daerah adalah haploid.3. Faktor yang menyebabkan terjadinya keragaman ploidi pada ikan Cucut (Dermogenys collettei) dari daerah Wendit, Selorejo, dan Songgoriti adalah frekuensi gamet unreduced, polispermia, produksi gamet, lingkungan reproduksi, dan kecenderungan untuk hibridisasi dan masih tidak dapat diprediksi faktor mana yang paling mempengaruhi poliploidi secara alami.

7.2 Saran1. Dalam melakukan fiksasi sirip kaudal, untuk mengganti larutan Carnoy 30 menit pertama sebaiknya tepat waktu.1. Dalam pembuatan preparat, sebaiknya saat pengeringan hasil cacahan sebelum diberi larutan A dan B tidak terlalu lama sehingga preparat tidak menjadi sangat kering.1. Dalam pemasukan preparat dalam box straining sebaiknya tidak melebihi 30 menit karena dapat menyebabkan kerusakan preparat.1. Lebih teliti dalam menghitung nukleolus yang ploidi (n, 2n, 3n, dan 4n) agar mendapatkan data yang lebih akurat.1. Menggunakan mikroskop yang baik agar preparat bisa diamati dengan jelas.18