LAPORAN KASUS

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

EKSTRAKSI FORCEPS ATAS INDIKASI SUPERIMPOSED PREECLAMPSIAOleh:

Miako Pasinggi060111208

Pembimbing :

Dr. Joice Sondakh, SpOG

BAGIAN/SMF OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI/ RSUP PROF DR. R.D. KANDOU MANADO 2011

LEMBAR PENGESAHANLaporan Kasus dari Bagian Obstetri Ginekologi dengan Judul :

EKSTRAKSI FORCEPS ATAS INDIKASISUPERIMPOSED PREECLAMPSIATelah dikoreksi, dibacakan, dan disetujui pada tanggal November 2011

Mengetahui, Pembimbing

dr. Joice Sondakh, Sp.OG

BAB I PENDAHULUANEkstraksi forceps adalah suatu persalinan buatan untuk melahirkan janin dengan tarikan pada kepala dengan menggunakan alat yang disebut cunam atau forcep.1,2 Cunam dipakai untuk membantu atau mengganti his, akan tetapi sekali-kali tidak boleh digunakan untuk memaksa kepala janin melewati rintangan dalam jalan lahir yang tidak dapat diatasi oleh kekuatan his yang normal. Jika ini tidak diindahkan, maka ekstraksi dengan cunam akan mengakibatkan luka pada ibu dan terutama pada anak. Cunam ialah suatu alat yang sangat berguna untuk melahirkan janin, akan tetapi berbahaya bagi ibu dan janin apabila disalahgunakan. Kesalahan yang dibuat dalam hal ini ialah tidak diindahkannya syarat-syarat yang harus dipenuhi dan kesalahan dalam cara pemasangan dan ekstraksi. Cunam yang banyak dipakai di Indonesia adalah cunam Naegele yang mempunyai lengkungan kepala, lengkungan panggul, dan sejenis kunci yang menghubungkan kedua sendok dalam dalam posisi yang tetap. 1,3 Ekstraksi forcep dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu: Forcep letak tinggi, apabila kepala janin dengan ukuran terbesar belum melewati pintu atas panggul. Forcep letak tengah, apabila kepala janin dengan ukuran terbesar sudah melewati pintu atas panggul. Forcep letak rendah, apabila kepala janin sudah turun sampai di dasar panggul Indikasi dalam pelaksanaan ekstraksi forcep, yaitu: Indikasi ibu: preeclampsia/eklampsia, ruptur uteri imminens, penyakit jantung, edema paru, dan kelelahan ibu. Indikasi janin: tali pusat menumbung, solution plasenta, dan gawat janin. Indikasi waktu: multigravida bila jam setelah dipimpin mengedan janin belum lahir, dan primigravida bila 1 jam setelah dipimpin mengedan janin belum lahir. Sedangkan kontra indikasi dari pelaksanaan ekstraksi forcep yaitu bila syaratsyarat pelaksanaan ekstraksi forcep tidak terpenuhi. 4 Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan forceps ialah pembukaan serviks sudah lengkap, kepala janin sudah cakap, tidak ada disproporsi sefalopelvik, kepala janin sudah dapat dipegang oleh forceps,janin hidup dan ketuban

sudah pecah. Ekstraksi forceps dinilai gagal apabila cunam tidak dapat dikunci meskipun pemasangan cunam sudah benar dan tiga kali dilakukan traksi tetapi janin tidak dapat lahir. 1,3 Pre-eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda adanya hipertensi dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, umumnya terjadi pada umur kehamilan 20 minggu atau lebih.4,5 Faktor predisposisi dari terjadinya pre-eklampsia antara lain adalah primigravida, molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes melitus, hidrops foetalis, bayi besar, umur lebih dari 35 tahun, penyakit ginjal dan hipertensi sebelum kehamilan serta obesitas.6 Dahulu, disebut PE jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Insidens preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9% pada wanita hamil, 3-7% terjadi pada nullipara, dan 0,8-5% pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar antara 3-10%. Penelitian terakhir di Medan oleh Girsang ES (2004), melaporkan angka kejadian PEB di RSUP. H. Adam Malik dan RSU. Dr. Pirngadi Medan periode 20002003 adalah 5,94%, sedangkan eklamsia 1,07%.7 Pre-eklampsia dibagi atas dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tapi 35 tahun disertai hipertensi kronik. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa faktor predisposisi dari terjadinya supperimposed anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan kebidanan, pemeriksaan laboratorium, serta observasi persalinan, maka penderita didiagnosis

preeklampsiaa antara lain adalah multigravida, molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes melitus, hidrops foetalis, bayi besar, umur lebih dari 35 tahun, penyakit ginjal dan hipertensi sebelum kehamilan serta obesitas.6 12 Pada penderita diambil sikap dari awal yaitu partus pervaginam dengan percepat kala II dengan cara ekstraksi forcepss. Langkah ini diambil berdasarkan indikasi dari ibu dan waktu. Indikasi dari ibu yaitu supperimposed preeklampsia dan indikasi waktu yaitu percepat kala II. Pada ibu dengan supperimposed preeklampsia dipilih ekstraksi forcepss dengan memperhitungakan keuntungannya yaitu ibu tidak perlu mengejan. Yang dikhawatirkan pada ibu dengan supperimposed preeklampsia yaitu akan masuk ke stadium eklamsia dimana ibu akan mengalami kejang. 3,5,12 Teknik pemasangan cunam dan ekstraksinya yaitu ibu dalam posisi litotomi, dilakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan telah lengkap. Kandung kencing dikosongkan Setelah itu prekonstruksi di depan vulva sesuai kepala janin. Pada posisi ubun-ubun kecil (UUK) di depan, kanan lintang, kanan depan, dan kiri belakang, dipasang cunam kiri terlebih dahulu. Sedangkan pada posisi UUK di kiri lintang, kiri depan, dan kanan belakang, dipasang cunam kanan terlebih dahulu. Pada kasus ini presentasi belakang kepala dengan UUK di depan. Empat jari tangan kanan penolong dimasukkan ke dalam vagina sebelah kiri. Sendok kiri dengan tangkainya di kanan atas yang dipegag oleh ibu jari, jari telunjuk, serta jari tengah tangan kiri seperti memegang pensil, dimasukkan dengan daunnya ke sebelah kiri vagina. Sambil menurunkan tangkai, daun terus dimasukkan ke dalam antara kepala janin dan empat jari tangan penolong dengan bantuan ibu jari. Tangkai cunam kiri dipegang oleh asisten dan kemudia daun cunam kanan dimasukkan dari kiri atas dengan cara yang sama ke dalam vagina sebelah kanan dengan melewati depan sendok kiri. Sesudah itu cunam dikunci lalu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan bahwa tidak ada jaringan lunak ibu terjepit antara cunam dan kepala janin. Kini cunam dalam posisi bilateral terhadap kepala janin dan melintang terhadap panggul ibu. Selanjutnya dilakukan tarikan percobaan untuk mengetahui apakah kepala janin terpegang baik oleh cunam. Jika tarikan percobaan gagal, cunam dibuka kemudian dipasang kembali. 1,3 Setelah tarikan percobaan berhasil, barulah dilakukan esktraksi. Penolong melakukan penarikan dengan kekuatan terkendali. Jurusan tarikan mengikui arah sumbu panggul. Apabila kepala janin sudah di dasar panggul, cunam ditarik mendatar sampai tampak batas rambut kepala janin di bawah simpisis; kemudian sambil dengan

satu tangan menahan perineum, cunam digerakkan ke atas untuk melahirkan ubun-ubun kecil, ubun-ubun besar, dahi, muka, dan dagu. 1,3 Sesudah kepala lahir, cunam dibuka, dan sendok dilepas satu persatu. Setelah muka dan hidung dibersihkan, bayi selanjutnya dilahirkan seperti biasa dan jalan lahir diperiksa untuk mengetahui ada atau tidak ada luka yang berarti. 1,3 Penanganan Setelah diagnosis ditegakkan pada kasus ini maka penderita secepatnya ditangani dengan mengobservasi tanda vital disertai dengan pemberian MgSO4, hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kejang (Eklampsi), disamping itu juga dapat menurunkan tekanan darah dan menambah diuresis.5,6,11 Cara pemberian:4 Dosis awal 4 gram MgSO4 20 % (20 cc) IV, kecepatan 1 gram permenit disusul 8 gram MgSO4 40 % (20 cc) IM diberikan pada bokong kiri dan kanan masingmasing 4 gram. Dosis pemeliharaan diberikan 4 gram IM setelah 6 jam pemberian dosis awal, selanjutnya diberikan 4 gram IM tiap 6 jam. Syarat-syarat pemberian:6 1. Harus tersedia antidotum, yaitu calsium glukonas 10 % (1 gram dalam 10 cc) diberikan IV pelan-pelan 2. Refleks patella (+) kuat 3. Frekuensi pernapasan > 16 kali permenit 4. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya. Konsul penyakit dalam berhubungan dengan penyakit dasar ibu dengan hipertensi kronik yang memiliki komplikasi yang sangat berhubungan dengan bidang ilmu penyakit dalam. Konsul mata untuk melihat ada tidaknya kelainan pada mata berhubungan dengan retinopati hipertensi. Dan konsul EKG dimaksudkan untuk mengetahui adanya kelainan pada jantung berhubungan dengan riwayat hipertensi.12

Penanganan aktif berupa ekstraksi forceps dilakukan berdasarkan indikasi ibu dan indikasi waktu. Dalam kasus ini indikasi ibu yaitu dengan supperimposed preeklampsia dan usia ibu > 35 tahun, dan berdasarkan indikasi waktu yaitu percepat kala II.. Berdasarkan kepustakaan, ekstraksi dengan forceps untuk mengakhiri persalinan dilakukan apabila keadaan ibu atau janin memerlukan

penyelesaian waktu singkat. Penyakit jantung, preeklampsi/eklampsi, seksio sesarea pada persalinan sebelumnya, merupakan antara lain indikasi dari ibu. 4 Penanganan aktif berupa terminasi kehamilan. Cara terminasi kehamilan:4 Belum inpartu Induksi persalinan Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop 6 2. Seksio sesarea bila syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi tetes oksitosin, atau bila 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk kedalam fase aktif. Sudah inpartu Kala I Fase laten: Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop 6 Fase aktif: Dilakukan amniotomi, bila his tidak adekuat diberikan tetes oksitosin dan bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap, dilakukan seksio sesarea. Kala II Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. Pada pasien ini telah dilakukan rencana partus pervaginam dengan percepat kala II menggunakan partus buatan yaitu ekstraksi forcepss. Konseling sterilisasi postpartum pada pasien ini melihat usia pasien yang sudah 37 tahun disertai jumlah anak yang sudah lebih dari cukup dan kemungkinan kehamilan berikutnya dapat membahayakan jiwa ibu. Sterilisasi postpartum dilakukan dengan cara laparatomi mini yaitu laparatomi khusus untuk tubektomi pada 1-2 hari postpartum. Pada pasien ini menolak untuk dilakukan sterilisasi dengan alasan tidak mau dilakukan tindakan pembedahan. Komplikasi Komplikasi yang biasa terjadi pada pre-eklampsia adalah perdarahan otak, solutio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis, kelainan mata, edema paru, nekrosis hati, sindroma HELLP, dan kelainan ginjal.11

Komplikasi yang biasa ditemukan pada ibu akibat ekstraksi forceps yaitu perlukaan jalan lahir, perdarahan, dan infeksi. Sedangkan pada bayi yaitu tejadinya fraktur pada tengkorak, perlukaan pada kepala janin, dan paresis nervus fasialis. 3 Pada kasus ini tidak ada komplikasi pada ibu maupun anak. Prognosis Prognosis ibu sebelum persalinan adalah dubia karena keadaan ibu dengan superimposed preeclampsia dengan sikap partus buatan yaitu ekstraksi forceps. Pada kasus ini keadaan ibu dan anak setelah persalinan baik, dimana tekanan darah post partum menurun dan apgar score pada anak adalah 7-9, serta selama perawatan di ruangan ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Pada bayi juga tidak ditemukaan keadaan yang ditakutkan terjadi akibat ekstraksi forceps seperti fraktur pada tengkorak, luka pada kepala janin, dan paresis nervus fasialis. Maka prognosisnya adalah dubia ad bonam.

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan Pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis ekstraksi forcepsss atas indikasi supperimposed preeklampsia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta observasi persalinan. Dasar diagnosis supperimposed preeklampsia untuk kasus ini adalah adanya riwayat hipertensi kronik disertai gejala dan tanda preeklampsi yaitu tensi 170/110 mmHg, proteinuria kualitatif +4, serta adanya gejala penyerta seperti pusing dan sakit kepala. Pada kasus ini penanganan dengan pemberian MgSO4 sesuai protokol dan partus pervaginam percepat kala II dengan ekstraksi forcepss. Penanganan dengan ekstraksi forcepss atas indikasi ibu yaitu adanya hipertensi kronik (supperimposed preeclampsia) dan indikasi waktu yaitu percepat kala II. Konseling sterilisasi pada kasus ini adalah sterilisasi postpartum dengan cara laparatomi mini pada 1-2 hari postpartum. Namun karena pasien menolak maka di konseling KB. Saran Pada penderita pre-eklampsia baik ringan maupun berat sebaiknya disarankan melakukan PAN yang teratur dan teliti untuk mencegah terjadinya eklampsi waktu persalinan. Pada penderita ini perlu untuk pengawasan yang ketat sebelum dan sesudah persalinan. Pada penderita ini menolak dilakukan sterilisasi postpartum sehingga sebaiknya dikonseling penggunaan KB.

DAFTAR PUSTAKA1. Roshni P, Deirdre M. Forceps Delivery in Modern Obstetric Pratice. In: British Medical Journal. 1302-5 : 2004. 2. Tim Pengajar Obstetri dan Ginekologi FK UNSRAT. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNSRAT. Manado: 36-38.1996. 3. Wiknjosastro, Hanifa. Usaha Melahirkan Janin Hidup per Vaginam. Dalam: Buku Ilmu Kebidanan, edisi ketiga cetakan kesembilan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 808-853: 2007. 4. Tim Pengajar Obstetri dan Ginekologi FK UNSRAT. Pedoman diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi. Manado: Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNSRAT. Manado; 67-78 1996. 5. Wiknjosastro H. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Buku Ilmu kebidanan. Edisi ketiga cetakan kesembilan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 281-300: 2007. 6. Pengurus Besar POGI. Gestosis. Dalam: Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi, bagian I. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 1-8: 2000. 7. Roeshadi R. Hipertensi dalam kehamilan. Dalam: Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi perdana. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 494-499: 2004. 8. Bagian Obstetri dan Ginekologi UNPAD. Gestose. Dalam: Obstetri patologi. Bandung: 84-108;1984. 9. Hasan H. Hipertensi dalam Kehamilan/Preeklamsi dan Eklamsi (Gestosis). Dalam: Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran USU. 2005. 10. Mochtar R. Persalinan Lama. Dalam: Lutan G, editor. Sinopsis Obstetri jilid I. Jakarta: EGC. 207: 1998. 11. Rachimhadi T. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Ilmu kebidanan, edisi ke3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 281-300:1997. 12. Hipertensi selama kehamilan. Dalam: Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC. 235-45: 1994.