72
BAB I PENDAHULUAN Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti “serangan” dan menunjukkan, bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang menimpany, sehingga ia jatuh”. Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu di luar badan si penderita, biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib yang menimpa seseorang. Anggapan demikian masih ada dewasa ini, terutama dikalangan masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit ialah Hipocrates. Ia menduga, bahwa serangan epilepsi adalah akibat suatu penyakit otak yang disebabkan oleh keadaan yang dapat difahami dan bukan akibat kekuatan gaib. Penelitian-penelitian di seluruh dunia mengenai berbagai aspek epilepsi, termasuk dasar neurobiologi, neurokimia dan neurofisiologi serangan epilepsi, gambaran klinik, diagnosis, pengobatan, aspek psikososial dan lain-lain telah banyak memberi sumbangan dalam meningkatkan pengertian tentang epilepsi dan penanggulangannya. Namun masih banyak yang belum jelas mengenai dasar serangan epilepsi, terutama yang menyangkut patofisiologi seluler dan molekuler. Penanggulangan utama epilepsi ialah dengan obat-obat antiepilepsi. Namun epilepsi merupakan salah satu keadaan yang dapat menimbulkan masalah paling sulit dalam farmakoterapi. Kesukaran dalam penanggulangan epilepsi dengan obat-obat 1

laporan kasus epilepsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Epilepsi merupakan penyakit tersering yang sering dialami masyarakat yang dikenal dengan istilah ayan pada umumny. penyakit ini sering meresahkan dikarenakan dapat terjadi kekambuhan kapan saja dan dimana saja tanpa mengenal waktu dan situasi. pelajari lebih lanjut mengenai jenis-jenis epilepsi dan cara mendiagnosis dan menatalaksana dalam makalah ini.

Citation preview

Page 1: laporan kasus epilepsi

BAB I

PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti “serangan” dan

menunjukkan, bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang menimpany, sehingga ia jatuh”.

Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu di luar

badan si penderita, biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib

yang menimpa seseorang. Anggapan demikian masih ada dewasa ini, terutama dikalangan

masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit ialah Hipocrates. Ia

menduga, bahwa serangan epilepsi adalah akibat suatu penyakit otak yang disebabkan oleh

keadaan yang dapat difahami dan bukan akibat kekuatan gaib.

Penelitian-penelitian di seluruh dunia mengenai berbagai aspek epilepsi, termasuk

dasar neurobiologi, neurokimia dan neurofisiologi serangan epilepsi, gambaran klinik,

diagnosis, pengobatan, aspek psikososial dan lain-lain telah banyak memberi sumbangan

dalam meningkatkan pengertian tentang epilepsi dan penanggulangannya. Namun masih

banyak yang belum jelas mengenai dasar serangan epilepsi, terutama yang menyangkut

patofisiologi seluler dan molekuler.

Penanggulangan utama epilepsi ialah dengan obat-obat antiepilepsi. Namun epilepsi

merupakan salah satu keadaan yang dapat menimbulkan masalah paling sulit dalam

farmakoterapi. Kesukaran dalam penanggulangan epilepsi dengan obat-obat antiepilepsi

(OAE), diantaranya disebabkan oleh banyaknya jenis serangan epilepsi yang memerlukan

OAE tertentu, sifat individual pengobatan, prognosis mengecewakan pada sebagian kasus,

lamanya pengobatan, sering dengan lebih dari satu obat, interaksi obat-obat, efek samping,

toksisitas menahun, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pengobatan dan lain-lain.

Hasil penelitian-penelitian tentang mekanisme dasar serangan epilepsi di tingkat sel

dan molekul telah memungkinkan penemuan obat-obat yang dapat mencegah serangan.

Walaupun dewasa ini telah banyak jenis OAE tersedia, namun dalam 25% penderita terdapat

“intractable epilepsy” atau “refractory epilepsy”, yakni epilepsi yang tidak dapat atau sukar

diobati dengan OAE.

Kemajuan dalam penelitian tentang mekanisme dasar serangan epilepsi

memungkinkan, bahwa sebagian kasus “intractable epilepsy” dapat ditanggulangi dengan

jalan operasi (lobektomi,komisurotomi).

1

Page 2: laporan kasus epilepsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)

berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan

oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal,

didasari oleh berbagai faktor etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa

(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak , bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi

secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis

bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.

II.2. EPIDEMIOLOGI

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang

hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara

berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering

dijumpai pada anak pertama.

Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000

penduduk, sedengkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila

jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang

masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan

dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada

bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian

meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.

II.3. ETIOLOGI

Tiap kelainan yang mengganggu fungsi otak dapat membangkitkan bangkitan epilepsi

atau bangkitan kejang, tetapi untuk terjadi bangkitan epilepsi dibutuhkan beberapa faktor

yang berperan bersama-sama. Beberapa faktor bertindak serempak dalam mencetuskan

bangkitan epilepsi pada individu yang peka.

2

Page 3: laporan kasus epilepsi

Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga, yaitu idiopatik, kriptogenik dan simptomatik.

Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi

cacat otak dan juga tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh abnormalitas

konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik.

Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistim talamik-intralaminar dari substansia

kelabu basal dan mencakup Reticular Activating System dalam sinkronisasi lepas muatan

sebagai akibatnya dapat terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat atau lebih lama

dan disertai kontraksi otot tonik klonik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi

idiopatik.

Kriptogenik, dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.

Termasuk disini adalah sindroma West, sindroma Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

Gambaran klinik sesuia dengan ensefalopati difus.

Simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan

intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma

otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab

ekstrakranial misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme

(hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat,

gangguan hidrasi (dehidrasi). Jaringan patologis seperti jaringan tumor bukanlah

epileptogenik namun sel neuron disekitarnya yang menjadi terganggu fungsi dan

metabolismenya dapat merupakan fokus epileptik, jejas otak oleh trauma lahir dan defek

perkembangan dapat disertai epilepsi, pada usia lanjut tumor otak, penyakit degeneratif, dan

kelainan pembuluh darah merupakan penyebab tersering.

II.4. FAKTOR PENCETUS

Ada berbagai pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi. Pada

penyandang epilepsi ambang rangsang serangan/kejang menurun pada berbagai keadaan

sehingga timbul serangan.

Faktor-faktor pencetus dapat berupa:

1.Faktor Sensoris

a.Cahaya yang berkedip-kedip

b.Bunyi-bunyi yang mengejutkan

c.Air panas

2.Faktor Sistemik

a.Demam

3

Page 4: laporan kasus epilepsi

b.Penyakit infeksi

c.Obat-obatan tertentu

d.Hipoglikemi

e.Makan tidak teratur

f.Kelelahan fisik

3.Faktor Mental

a.Stress

Fotosensitif

Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar (flashing

lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat

merupakan pencetus serangan. Dalam hal ini hindarilah pergi ke diskotik dan bila menonton

pesawat TV harus ada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari pesawat dan ruangan

yang cukup terang.

Infeksi

Infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus

serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak,

sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini nyata

pada anak-anak.

Obat-obatan Tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat

antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiazin. Menghentikan obat-obat

penenang/sedatif secara mendadak seperti barbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang.

Alkohol

Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya

peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya.

Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.

Perubahan Hormonal

Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar

estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian

pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.

4

Page 5: laporan kasus epilepsi

Kurang Tidur

Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehinggadapat

mencetuskan serangan.

Stress Emosional

Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat bukanlah

merupakan pemecahan masalah, karena dapat menimbulkan efek samping obat. Penyandang

epilepsi perlu belajar menghadapi stress. Stress fisik yang berat juga dapat menimbulkan

serangan.

Setiap orang mempunyai ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan

oleh faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang yang

sama,hanya satu dua orang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak. Mereka

yang tidak mengalami serangan karena mempunyai ambang rangsang serangan yang cukup

tinggi. Ambang rangsang serangan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor non-spesifik

seperti tidak tidur untuk jangka waktu yang lama, atau terlalu letih.

Stress Fisik

Stress fisik dapat menimbulkna hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar CO2

dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat

merangsang terjadinya serangan epilepsi.

II.5. PATOFISIOLOGI

Dewasa ini sudah diketahui, bahwa dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi

membran neuron-neuron piramidal dan transmisi pada sinaps. Dapat dikatakan, bahwa

mekanisme serangan epilepsi ialah mekanisme fisiologik normal yang berlebihan.

Tiap sel yang hidup, termasuk neuron-neuron otak, mempunyai kegiatan listrik yang

disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada

permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari

ruang ekstra ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel

terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na dan Cl,sedangkan

keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion inilah yang

menimbulkan potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang

dapat dipertahankan oleh karena adanya suatu proses metabolisme aktif, “pompa sodium”

yang mengeluarkan ion Na dari dalam sel. Energi yang diperlukan untuk mendistribusi ion K

5

Page 6: laporan kasus epilepsi

dan Na serta mempertahankan potensial membran diperoleh dari hasil proses metabolisme

sel.

Dalam keadadan istirahat neuron mempunyai potensial listrik tertentu. Tiap neuron

yang aktif melepaskan muatan listriknya dan tergantung pada neuron-neuron otak mana yang

melepaskan muatan listriknya akan terjadi gerakan otot, rasa sesuatu atau timbul persa panca

indera. Dalam keadaan fisiologis neuron melepaskan muatan listriknya apabila potensial

membrannya diturunkan oleh potensial aksi yang tiba pada neuron tersebut. Potensial aksi itu

disalurkan melalui neurit asendens dan desendens yang bersinaps dengan dendrit-dendrit dan

badan sel neuron. Dendrit-dendrit dan neurit adalah bagian dari suatu neuron, sehingga

membran dendrit dan neurit adalah juga membran neuron.

Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan

neuron-neuron lain, membentuk sinaps dan melepaskan zat transmiter kimiawi yang melalui

sela sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Zat kimiawi tersebut dikenal

sebagai neurotransmiter. Ada dua jenis neurotransmiter asam amino yang berperan, yakni

neurotransmiter eksitatorik yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan

neurotransmiter inhibitorik yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron menjadi

lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik. Diantara neurotransmiter-

neurotransmiter eksitasi dapat disebut glutamat dan aspartat, sedangkan neurotransmiter

inhibisi yang terkenal ialah gama-amino-butirik-asid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh

kedua jenis neurotransmiter pada sinaps bersifat memudahkan, akan timbul lepas muatan

listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan

fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat membran neuron

mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan

mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan berlepas muatan listrik.

Hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps akan memungkinkan impuls

diteruskan ke neuron berikutnya. Segera setelah terjadi depolarisasi dalam waktu singkat

sekali (2-5 msec) keadaan potensial membran kembali seperti semula.

Berbagai faktor diantaranya keadaan patologik dan faktor genetik, dapat merubah atau

mengganggu fungsi membran neuron, sehingga mudah dilalui oleh ion Na dan Ca dari ruang

ekstra ke intraseluler. Dasar serangan epilepsi adalah depolarisasi berlebihan secara sinkron

pada sejumlah neuron piramidal dalam fokus epileptik. Potensial depolarisasi ini pada

elektroensefalogram dapat dilihat sebagai suatu gelombang tajam (spike), meskipun secara

klinis tidak terjadi serangan (EEG interictal).

6

Page 7: laporan kasus epilepsi

Potensial depolarisasi yang mendasari serangan epilepsi ini disebut penggeseran

depolarisasi (depolarizing shift atau DS). Setelah DS biasanya terjadi hiperpolarisasi hebat

dan berlangsung lama (post-DS HP), sehingga neuron-neuron secara bergantian terpacu pada

waktu DS dan mengalami inhibisi selama post-DS HP. DS mencerminkan kombinasi arus-

arus depolarisasi yang tergantungpada voltase (arus yang disebabkan oleh terbukanya

saluran-saluran di membran bila sel-sel mengalami depolarisasi, yakni arus Na dan Ca) dan

arus-arus pada sinaps akibat pengaruh neuro-transmiter eksitorik.

Influks Na dan Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran, sehingga terjadi

lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Pada sinaps-sinaps

neurotransmiter-neurotransmiter eksitatorik memacu saluran-saluran yang dapat

menimbulkan depolarisasi. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara

sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Sinkronisasi neuron-neuron terjadi karena

beberapa mekanisme, diantaranya peningkatan lingkaran-lingkaran (sirkuit) eksitatorik lokal

sebagai akibat reorganisasi lingkaran sinaptik secara menahun setelah terjadi suatu lesi atau

secara akutpeningkatan kekuatan sinaps-sinaps eksitatorik yang dihasilkan oleh aktivitas

berfrekuensi tinggi neuron-neuron. Peningkatan kekuatan sinaps eksitatorik dapat disebabkan

oleh pengerahan reseptor N,methyl-D-asprtat (NMDA) yang diaktifkan oleh glutamat atau

aspartat. Kompleks reseptor/ saluran ini selama tranmisi sinaps normal relatif tidak aktif,

karena dibendung oleh magnesiuam. Namun bila neuron-neuron mengalami depalarisasi

bendungan magnesium menjadi kurang efektif dan makin banyak saluran untuk depolarisasi

akan diaktifkan. Mekanisme tersebut di atas sebenarnya terdapat pada neuron-neuron normal

dalam korteks, namun aktivasi yang berlebihan dapat dikendalikan oleh mekanisme inhibisi

yang kuat.

Neuron-neuron juga dapat bersinkronisasi karena adnya arus-arus besar yang

mengalir di ruang ekstraseluler sekitar dendrit-dendritnya, adanya perubahan lingkungan

ekstraseluler selama kegiatan berlebihan (kadar K ekstraseluler meningkat dan Ca

ekstraseluler menurun) dan karena adnya perangkai listrik.

Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa setelah berapa saat, serangan berhenti

akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar

sarang epileptik, selain itu jugasistem-sistem inhibisi pre- dan post-sinaptik yang menjamin

agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan ikut berperan.

Hiperpolarisasi yang terjadi setelah DS (pada EEG terlihat sebagai gelombang lambat

dalam kompleks spike-wive) disebabkan oleh beberapa mekanisme. Misalnya inhibisi pada

sinaps yang disebabkan oleh GABA, interneuron-interneuron inhibisi yang diaktifkan karena

7

Page 8: laporan kasus epilepsi

lepas muatan sel-sel piramid dan melakukan inhibisi pada neuron-neuron dalam fokus

epileptik dan sekitarnya.selain itu arus-arus yang menyebabkan hiperpolarisasi (kebanyakan

arus K) diaktifkan selama DS influks Ca selam DS dapat mengaktifkan arus-arus yang

dibangkitkan oleh saluran-saluran ion (K dan CL ion) apabila konsentrasi Ca intraseluler

mencapai tingkat tertentu.

Keadaan lain yang menyebabkan suatu serangan terhenti, ialahkelelahan neuron-

neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak, diantaranya oksigen, ATP,

kreatin fosfat dan neurotransmiter serta tertimbunnya zat-zat yang dapat menyebabkan

inhibisi seperti CO2, sisa-sisa metabolisme dan zat asam amino.

Penyebaran Lepas Muatan Epileptik

Lepas muatan listrik epileptik dapat tetap bersifat lokal dan tidak menimbulkan gejala

klinikwalaupun mungkin pada EEG terlihat gelombang runcing atau lambat fokal. Lepas

muatan listrik epileptik dapat menjalar ke bagian-bagian lain otak dan menimbulkan serangan

yang sifatnya tergantung pada fungsi daerah otak yang tersangkut. Lepas muatan listrik dapat

langsung menyebar ke neuron-neuron sekitar fokus epileptogen dan berangsur-angsur

melibatkan makin banyak neuron seperti misalnya pada serangan motorik jackson atau dapat

menjalar ke neuro-neuron daerah lain otak yang berhubungan dengan fokus tersebut melalui

akson neuron-neuron. Penjalaran ini dapat berlangsung melalui beberapa jalur. Misalnya

fokus di korteks serebri dapat menjalarkan lepas muatan listriknya melalui serabut-serabut

asosiasi kortikal pendek ke daerah korteks lain di hemisfer yang sama, kemungkinan lain

ialah penjalaran ke hemisfer kontralateral melalui serabut-serabut transkalosal dan serabut-

serabt interhemisfer atau subkortikal lain, sehingga tercipta suatu fokus cermin. Lepas

muatan listrik apileptik yang terbatas pada daerah korteks tertentu dapat menimbulkan

serangan fokal. Gambaran klinik serangan fokal tergantung pada daerah korteks yang terlibat,

sehingga dapat dijumpai berbagai jenis serangan, misalnya yang bersifat motorik , sensorik

dan parsial kompleks. Lepas muatan epileptik dapat juga menjalar melalui serabut-serabut

kortikofugal ke formasioretikularis di batang otak, yakni ke inti-inti intralaminares talamus

dan mesensefalon. Inti-inti intralaminares talamus dengan demikian dapat digalakkan oleh

lepas muatan listrik epileptik sekelompok neuron kortikal, sehingga pada gilirannya

melepaskan muatan listriknya secara berlebihan serta tidak teratur dan merangsang seluruh

neuron otak melalui serabut-serabut yang menuju ke korteks kedua hemisfer. Hal ini

menjelaskan bagaimana serangan epilepsi yang pada permulaan bersifat lokal dapat menjadi

serangan umum kejang tonik klonik. Inti-inti intralaminares talamus merupakan pusat

8

Page 9: laporan kasus epilepsi

lintasan aferen aspesifik yang memberi masukan ke korteks serebri dan menentukan derajat

kesadaran. Terputusnya pengiriman impuls aspesifik ke seluruh korteks serebri akibat lepasan

muatan listrik berlebihan dan tidak terkendali neuron-neuron di talamus menyebabkan

hilangnya kesadaran.

Serangan epilepsi yang dari permulaan bersifat umum tanpa ada pencetusan fokal

disebut epilepsi umum primer atau kriptogenik. Pada epilepsi jenis ini tidak diketahui

etiologinya dan diduga ada faktor genetik. Serangan epilepsi umum primer bersifat serangan

kejang umum tonik klonik, serangan lena atau “absens” dan serangan miokloni. Diduga pada

serangan umum primer yang pertama melepaskan muatan listrik abnormal ialah inti-inti

intralaminares talamus, sehingga pada permulaan serangan sudah terdapat kehilangan

kesadaran.

Fokus Epileptogen

Sebagai telah dikemukakan gangguan lepas muatan listrik atau sifat mudah

terangsang neuron-neuron di korteks serebri dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Salah

satu keadaan ialah berkembangnya salah satu daerah otak yang mengalami cedera menjadi

suatu fokus epileptogen dalam waktu tertentu. Rupanya kerusakan jaringan pada daerah

tersebut menimbulkan reaksi dari neuron-neuron yang masih utuh berupa tumbhnya serabut-

serabutkolateral dari akson-aksonnya yang kemudian membentuk sinaps-sinaps

menggantikan sinaps-sinaps yang rusak. Sinaps-sinaps baru ini mudah terpacu, sehingga

menambah hubungan-hubungan antar neuron yang eksitatorik. Terjadi juga perubahan pada

reseptor-reseptor NMDA sehingga mudah diaktifkan. Selain itu interneuron-interneuron

inhibisi rentan terhadap hipoksi atau cedera, sehingga inhibisi akan berkurang. Keadaan

tersebut dapat dijumpai di daerah lobus temporalis berupa sklerosis hipokampus pada epilepsi

parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis).

II.6. KLASIFIKASI

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 terdiri

dari:

1.Bangkitan Parsial

1.1 Bangkitan parsial sederhana

a) Motorik

b) Sensorik

c) Otonom

9

Page 10: laporan kasus epilepsi

d) Psikis

1.2 Bangkitan parsial kompleks

a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan

1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

a) Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik

b) Parsial komplek menjadi umum tonik klonik

c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik

2. Bangkitan Umum

2.1 Lena (absence)

2.2 Mioklonik

2.3 Klonik

2.4 Tonik

2.5 Tonik-klonik

2.6 Atonik

3. Tak Tergolongkan

II.7. MANIFESTASI KLINIS

1. Epilepsi Parsial (Fokal)

Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan listrik di suatu

daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus di korteks serebri).

Dibagi menjadi 3 macam :

Epilepsi parsial sederhana (simpel)

Epilepsi parsial kompleks

Bangkitan umum sekunder

a) Epilepsi Parsial Sederhana (Simpel)

Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena,

bisa dengan gejala motorik, sensorik, autonom ataupunpsikis, dapat memprediksi

kemungkinan lokasi anatomik tetapi yang sering pada lobus frontalis dan temporalis,

merupakan penyakit serebral fokal, dapat mengenai berbagai umur, tidak terjadi

penurunan kesadaran.

10

Page 11: laporan kasus epilepsi

Epilepsiparsial sederhana dengan gejala motorik

Fokus epileptik biasanya terdapat di girus presentralis lobus frontalis (pusat

motorik). Kejang mulai di daerah yang mempunyai reprensetasi yang luas di

daerah ini. Dimulai dari ibu jari, meluas ke seluruh tangan,lengan, muka, dan

tungkai. Kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat

kuat, dapat meluas ke lengan atau tungkai yang lain, sehingga menjadi kejang

umum. Disebut sebagai jackson motorik epilepsi.

Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik

Fokus epileptik terdapat digirus postsentralis lobus parietalis.penderita merasa

kesemutan di daerah ibu jari, lengan, muka dan tungkai, tanpakejang motoris,

yang dapat meluas ke sisi lain. Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy.

Epilepsi parsial sederhana dengan gejala Autonom

Sering sebagai komponen generalized seizures atau partial complex seizures

yang berasal dari lobus Frontalis atau lobus Temporalis. Manifestasi klinisnya

dapat berupa : perubahan warna kulit, perubahan tensi darah, perubahan

denyut nadi, perubahan ukuran pupil, berdirinya bulu roma.

Epilepsi parsial sederhana dengan gejala Psikis

Fokus dapat di lobus temporalis, frontalis atau parietalis. Lebih sering sebagai

aura pada complex partial seizures. Manifestasi klinisnya ada 6 macam :

Dysphasic symptom

Korteks area bicara, paling banyak di lobus frontal, temporal atauparietal.

Gejala – gejalanya :bicara terputus, bicara berkurang berat, postictal

dysphasia. Repetitive kata-kata pada komplexs partial seizures yang

berasal dari Hemisfere non dominant.

Dymsnestic symptom (Gangguan Memori)

Fokus terdapat di lobus temporalis. Adanya deja vu dan deja entendí

(pernah melihat atau mendengar), Jamais vu dan jamais entendu (belum

pernah melihat atau mendengar).

Cognitive symptoms

11

Page 12: laporan kasus epilepsi

Focus terdapat di lobus temporalis. Mimpi, distorsi persepsi terhadap

realita ~ depersonalisasi.

Affective symptoms

o Focus di lobus temporalis : Symptom psikik (paling sering),

terutama: rasa takut/ menyeramkan, diikuti manifestasi autonom

(midriasis, perubahan warna kulit, bulu roma berdiri), lari

menghindar / mencari bantuan, anak-anak mendatangi orang

tuanya dengan wajah ketakutan, marah dan irritabiliti, depressi,

kegembiraan, perasaan erotic, tenang.

o Focus di lobus frontalis : tertawa tanpa kegembiraan.

Structured hallucination

Focus terdapat dilobus temporalis, parietal atau occipitalis

ILLUSI

Focus di lobus temporalis, parietalis atau occipitalis. Ukuran (Makropsia,

mikropsia), bentuk, berat, jarak, suara.

b) Epilepsi parsial kompleks

Fokus di lobus temporalis ± 60% dan di lobus frontalis ± 30%. Pada epilepsi parsial

kompleks terdapat3 komponen, yaitu : aura, penurunan kesadaran dan automatisms.

Epilepsi parsial kompleks disebut juga sebagai epilepsi psikomotor. Pada epilepsijenis

ini, meskipun terdapat gangguan kesadaran, penderita masih dapat melakukan

gerakan – gerakan otomatis. Penderita ini bila ditegur tidak menjawab. Umumnya

penderita tidak melakukan tindak kriminal atau menyerang orang lain, tetapi dapat

agresif bila dihalangi kemauanya. Setelah serangan berakhir penderita lupaapa yang

telah dilakukanya (amnesia). Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul

afasia sensorik dan hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis.pada

rekaman EEG,akan terdapat gambaran spike,kadang – kadang slow-wave di daerah

temporal.

Aura : Identik dg parsial sederhana dengan bermacam manifestasi (psikis :

affective ~ rasa takut/menyeramkan). Biasanya timbul dalam beberapa detik,

jarang dalam menit, jam atau hari.

Gangguan kesadaran dapat terjadi dengan gangguan kesadaran sejak onset

atau onset parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran. Dapat berupa :

12

Page 13: laporan kasus epilepsi

absence and motor arrest “The motionless stare”, pandangan kosong, kaku,

posturing, mild tonic jercking

Automatism

Gerakan involunter yang terjadi selama atau akibat seizures, dalam periode

tidak sadar. Paling sering, pada seizures lobus temporalis dan lobus frontalis.

Macam-macam Automatism

Oro-alimentary : mengunyah, menelan, mencucu, meludah

Mimicry : tertawa, marah, takut, heboh

Gestrual : mengetuk-ngetuk tangan, menggosok-gosok tangan, gerakan

menyuruh, mengatur/merapikan, membuka baju

Ambulatory Automatism : jalan berputar-putar, berlari

Verbal Automatisms : suara tak berarti, menderum/mendengung,

bersiul, mendengkur, kata yang diulang-ulang/kalimat

Responsive Automatism : bertujuan, merespon rangsang dari

lingkungan

Violent Behavior : bengis, tidak pernah diingat, tidak pernah

direncanakan, tidak mahir, jarang dengan tujuan yang jelas

c) Bangkitan umum sekunder

Partial seizures sering sebagai aura yang terjadi beberapa detik, sebelum generalized

seizures. Biasanya dalam bentuk :

Parsial sederhana tonik-klonik umum.

Parsial kompleks tonik-klonik umum.

Parsial sederhana parsial kompleks tonik-klonik umum.

2. Epilepsi Umum (Generalized)

Pada kelompok ini, gambaran klinik dan atau perubahan EEG menunjukan bahwa dari

awalnya cetusan epileptik melibatkan kedua hemisfer dengan serentak dan tidak ada petunjuk

adanya suatu fokus epilepik di korteks serebri.

A. Epilepsi Grandmal (Tonic – Clonic Seizures)

13

Page 14: laporan kasus epilepsi

Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Sebagian penderita beberapa

hari sebelum serangan grandmal merasa tegang, cepat tersinggung, perubahan emosi,

dll, sebagai gejala – gejala prodormal. Aura tidak terdapat pada grandmal dan bila ada

aura berarti bukan grandmal murni, tetapi ada suatu focus. Jadi adanya aura

menunjukan suatu tanda fokal (fokal sign).

Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 detik, dilanjutkan dengan

fase klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15 -30 menit.

o Fase Tonik

Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan

sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas (apnea) selama

± 30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil

melebar, refleks cahaya negatif, refleks patologis posotif. Kadang – kadang

ngompolkarenakontraksi tonik involunter. Inkontinensia ini bias sebagai

diagnosis banding organik atau histerik.

o Fase Klonik

Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang – kadang

lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada fase ini

wajah kembali menjadi normal, tekanan darah menurun, tanda – tanda vital

normal.

o Fase Post-ictal

Setelah kejang penderita tertidur. Waktu penderita bangun mula – mula

terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini penderita menjadi

normal kembali, dan dapat berjalan seperti biasa.

Serangan grandmal kadang – kadang terjadi berturut – turut sehingga

penderita tidak sadar untuk waktu yang lama. Bila antara kedua kejang

penderita tidak sadar disebut sebagai status epileptikus. Bila penderita sering

kejang dan diantara kedua kejang penderita sadar, disebut sebagai serial

epileptikus.

14

Page 15: laporan kasus epilepsi

B. Absence Seizure (Petit Mal / LENA)

Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh

terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10 detik), tiba-tiba kehilangan

kesadaran danaktivitas motorik, sehingga penderita tidak sampai jatuh (tonus otot

normal). Penderita berhenti dari aktifitas yang dilakukan, seakan – akan melamun,

kemudian melakukan aktivitas kembali. Gejala lain (pada serangan yang

lama) :berkedip, gerakan klonik ringan, automatisme yang singkat. Serangan kadang

– kadang dapat 10 – 20 kali dalam sehari (dapat berulang-ulang 100X/hari). Karena

singkat, biasanya tidak diketahui orang sekitarnya. Serangan bersifat mengelompok,

memburuk bila terbangun, dapat dicetuskan oleh : kelelahan, rileks, stimulasi fotik

atau hiperventilasi. Serangan sangat banyak pada idiopathik generalized epileptic

EEG menunjukan gambaran yang sangat khas, yaitu dalam 1 detik terdapat 3

kompleks gelombang tumpuldan runcing, disebut 3/sec spike slow wave (3/sec S-W).

Baik klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan hiperventilasi.

Epilepsi petit mal dapat tejadi pada masa anak-anak atau dewasa, akan tetapi

banyak terdapat pada anak-anak awal usia sekolah. Penderita sering dimarahi gurunya

karena melamun.

C. Mioklonik

Kontraksi otot sesaat, oleh karena lepas muatan listrik kortical. Dapat single atau

berulang, sangat ringan (twitch) sampai jerking, paling berat (the Flying Saucer

Syndrom). Dapat dicetuskan oleh : suara, kejutan, photic stimulation, perkusi. Dapat

terjadi pada semua umur, akan tetapi banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan

terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang aneh dari

sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut

myoclonic jerking.

D. Klonik

Epilepsi klonik jarang terjadi. Bangkitan ini selalu simtomatik. Bangkitan

berupa gerakan jerking ritmik (klonik jercking) pd kedua tangan dan kaki, asimetris

(sering), irreguler. Epilepsi klonik sering pada neonatus, bayi.

E. Tonik

15

Page 16: laporan kasus epilepsi

Kontraksi otot tonik mendadak, terjadi penurunan kesadaran tanpa klonik ( 20-

30 dtk), sering terjadi saat tidur, dapat terjadi pada semua umur. Terjadi kontraksi

otot-otot wajah; mata terbuka lebar; bola mata menarik keatas; extensi leher; spasme

otot-otot extremitas bagian proximal sampai ke distal lengan diangkat keatas seperti

menahan pukulan kepala; menangis sampai apneu (mungkin), kepala mengangguk-

angguk dan perubahan posture yang ringan.

F. Epilepsi Atonik

Pada epilepsi atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Hal ini

dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya

tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba

penderita terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung

singkat, disebut sebagai drop attact. Serangan berlangsung hanya sebentar dan segera

recovery.

3. Unclasified Epileptic Seizures

Jenis ini, tidak termasuk semua yang diatas, data tidak komplit, gejala-gejala yang

timbul tidak sesuai : gerakan bola mata ritmik, mengunyah-ngunyah., gerakan seperti

berenang, pernafasan berhenti. Banyak terjadi pada bayi

II.8. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

1. Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :

Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal

menunjukan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi

Langkah kedua: apabila benar – benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah

bangkian yang ada termasuk bangkitan apa (lihat klisifikasi)

Langkah ketiga : pastikan sindrom epilepsy apa yang ditunjukan oleh bangkitan tadi,

atau epilepsy apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakan atas dasar adanya gejala dan tandan klinik dalam bentuk

bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada

EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut :

16

Page 17: laporan kasus epilepsi

1. Anamnesis (auto dan allo-anamnesis)

Pola / bentuk bangkitan

Lama bangkitan

Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan

Frekuensi bangkitan

faktor pencetus

ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan

perkembangan bayi atau anak

riwayat terapi epilepsi sebelumnya

riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi

Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan

yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan obat terlarang

atau alkohol, dan kanker.

3. Pemerikasaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti–bukti klinik dan indikasi,

serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.

3.1 Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Rekaman EEG sebaiknya dilakukanpada saat bangun tidur, dengan stimulasi

fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai dengan pencetus bangkitan

( pada epilepsi refleks ). Kelainan epileptiform EEG interiktal (diluar

bangkitan ) pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada

pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.

Bila EEG pertama menunjukan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi

sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan minimal 24-48 jam setelah

bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya dengan

17

Page 18: laporan kasus epilepsi

mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti

epilepsi (OAE).

Indikasi pemeriksaan EEG :

Membantu menegakan diagnosis epilepsi

Menentukan prognosis pada kasus tertentu

Pertimbangan dalam kasus pemghentian OAE

Membantu dalam menetukan letak fokus

Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan

sebelumnya)

3.2 Pemeriksaan pencitraan otak (Brain Imaging)

Indikasi :

Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan

struktural

Adanya perubahan bentuk bangkitan

Terdapat defisit neurologik fokal

Epilepsi dengan bangkitan parsial

Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun

Untuk persiapan tindakan pembedahan

Magnetic Resonance Imaging (MRI): merupakan prosedur pencitraan

pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas yang tinggi dan lebih spesifik

dibandingkan dengan Computed Tomografi Scan (CT scan). MRI dapat

mendeteksi sclerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma

kavernosa. Pemeriksaan MRI di indikasikan untuk epilepsi yang sangat

mungkin memerlukan terapi pembedahan.

3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah meliputi, hemoglobin, leukosit, trombosit,

hapusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,

magnesium) kadar gula darah, fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma

GT, Alkali Fosfatase), ureum, kreatinin dan lain-lain atas indikasi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal,biladicurigai adanya infeksi SSP

18

Page 19: laporan kasus epilepsi

Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan bila ada indikasi misalnya

adanya kelainan metabolik bawaan.

2. Diagnosis Banding

Ada beberapa macam kelainan yang sering di salah diagnosis sebagai epilepsi. Salah

diagnosis biasanya disebabkan oleh karena anamnesis yang kurang teliti,adanya riwayat

epilepsi pada keluarga, adanya riwayat kejang demam sebelumnya, EEG abnormal, salah

interprestasi bentuk serangan, dan adanya inkontinens misalnya ngompol setelah serangan.

Pada makalah ini akan dibahas beberapa diagnosis banding epilepsi, daintaranya:

1.Sinkop

Sinkop adalah kehilangan kesadaran mendadak akibat kurangnya aliran darah ke

otak. Penyebab sinkop bermacam-macam, tetapi pada garis besarnya disebabkan oleh; 1)

refleks vascular abnormal menyebabkan asistole atau hipotensi, 2) kegagalan refleks

simpatetik menyebabkan hipotensi berat, 3) penyakit jantung intrinsik menyebabkan

aritmia atau asistole jantung.

Apapun penyebabnya, sinkop selalu disertai oleh penurunan tekanan darah yang

hebat (sampai nol atau sangat rendah). Dalam hal demikian mekanisme autoregulasi

pembuluh darah di otak tidak dapat bekerja secara efektif, dan mengakibatkan

terhentinya atau berkurangnya aliran darah di otak.

Jenis sinkop yang sering ditemukan ialah sinkop refleks, sinkop demam dan

sinkop jantung. Sinkop refleks timbul karena faktor pencetus berupa gangguan emosi,

melihat darah, rasa nyeri ringan, suntik, pemandangan atau kejadian yang tidak

menyenangkan dan kadang-kadang waktu masuk atau keluar kamar mandi. Sinkop

refleks terjadi pada waktu pasien berdiri atau duduk, terutama di tempat yang panas dan

pengap, sebelum pingsan jarang terjadi pada pasien yang sedang berbaring. Gejala

berupa: sebelum pingsan pasien merasa sesuatu misalnya dingin atau panas, pusing

nausea, perasaan seperti pergi jauh, penglihatan kabur/gelap, pasien menjadi lemas,

perlahan-lahan jatuh dan tidak sadar. Pasien tampak pucat dan berkeringat dingin. Bila

serangannya berat, badan menjadi akaku, mata melotot ke atas atau kebawah dan kejang

(convulsive syncope), kadang-kadang ngompol (urinary incontinence). Hal ini

menyebabkan salah diagnosis sebagai epilepsi.

Serangan sinkop kadang-kadang berlangsung cepat dan pasien segera sadar

kembali. Sinkop dapat terjadi pada segala umur, tetapi lebih sering pada anak besar atau

remaja dan tersering pada wanita. Kira-kira sepertiga pasien sinkop tidak dikenal atau

19

Page 20: laporan kasus epilepsi

disalah diagnosis sebagai epilepsi. Kebanyakan sinkop dengan kejang disalah diagnosis

sebagai serangan epilepsi umum atau parsial kompleks. Serangan sinkop tidak akan

merusak otak dan tidak perlu diberikan antikonvulsan.

Sinkop demam (febrile syncope atau febrile refleks anoxic seizure) terjadi pada

waktu demam. Gejala seperti kejang demam, terutama bentuk tonik. Untuk membedakan

demam-kejang dan sinkope demam dilakukan penekanan pada bola mata pasien

(oculocardiac refleks). Kalau timbul serangan berarti sinkop demam, bukan kejang-

demam, tetapi hal ini ada bahayanya, karena penekanan bola mata dilaporkan dapat

menyebabkan henti jantung lama (prolonged cardiac arrest) dengan koma sebentar.

Sinkop jantung (syncope of cardiac arigin) jarang pada anak. Terjadi pada kelainan

jantung misalnya tetralogi fallot. Kehilangan kesadaran karena anoksia anoksik,

sebenarnya jarang disalah diagnosis sebagai epilepsi.

Perbedaan bangkitan epilepsi dengan sinkop

Epilepsi Sinkop

Pencetus Tidak biasa Biasa (misal emosi)

Suasana apapun Posissi tegak, kondisi padat,

panas, stres emosi

Awal Mendadak, aura +/- Berangsur, merasa gelap/mual,

penglihatan buram, berkeringat

Warna kulit Pucat/merah (flushed) Biasanya pucat

Inkontinensia Sering terjadi Jarang

Lidah tergigit sering terjadi Sangat jarang

Muntah jarang Sering terjadi

Fenomena

motorik

Tonik/tonik-

klonik,klonik menonjol

dgn amplitudo &

frekuensi khas

Lemas tanpa gerakan, mungkin

ada sentakan klonik kecil

singkat, inkoordinasi atau tonik

Pernafasan Mendekur, mulut berbusa Dangkal lambat

Cedera Sering terjadi Jarang

Pasca

serangan

Bingung mengantuk,

tidur

Cepat siuman tanpa rasa

bingung

Lama Beberapa menit ± 10 detik

2. Drop Attack

20

Page 21: laporan kasus epilepsi

Penderita tiba-tiba jatuh karena ekstremitas inferior lemah akibat insufisiensi A.

Basilaris. Sering disertai vertigo dan bicara sulit. Berlangsung sementara dan dapat

sembuh sendiri.

3.Narcolepsi

Narcolepsi merupakan keinginan tidur yang tidak terkendali dan berulang dan

kehilangan tonus otot ekstremitas. Bersifat familial dan penyebabnya tidak diketahui.

4.Kelainan psikiatrik

Kelainan psikiatrik yang sering disalah diagnosis sebagai epilepsi ada 2 macam,

yaitu manifestasi psikiatri akut dan serangan pseudoepileptik.

Menurut jeavons kelainan psikitrik akut merupakan salah diagnosis sebagai

epilepsi urutan kedua setelah sinkop. Serangan gelisah dan panik yang kadang-kadang

disertai ngompol (urinary contince), serangan takut, sakit epigastrik disalah diagnosis

sebagai serangan parsial kompleks. Dengan pemeriksaan EEG, dapat dibedakan dengan

serangan epilepsi. Pasien ini betul-betul kasus dan pengobatan oleh psikiater.

Serangan pseudoepileptik (pseudoepileptic seizure, nonepileptic seizure,

hysterical seizure, atau psychogenic seizure) sering terjadipada dewasa muda,tetapi dapat

juga terjadi pada anak-anak berumur 4-6 tahun. Serangan biasanya terjadipada anak yang

menderita epilepsi, kadang-kadang dapat pula terjadi pada anak bukan pasien epilepsi.

Serangan serupa meniru serangan epilepsi seperti bentuk tonik klonik, tonik atau parsial

kompleks, tetapi tidak mirip betul dengan serangan epilepsi, lebih mirip gerakan-gerakan

yang diatur, serangan tidak mendadak, bertahap dan berulang-ulang. Biasanya didahului

oleh perasaan pusing, perasaan aneh, kelumpuhan sebelah atau kedua belah anggota

gerak. Biasanya tidak terdapat keadaan postiktal. Pasien segera bangun, dan bahkan pada

waktu serangan akan menghindari serangan sakit dan menolak apabila matanya dibuka.

Serangan tidakpernah terjadi pada waktu sedang tidur. Serangan sering terjadi pada anak

perempuan, dan dasarnya kelainan psikiatrik. Pada pasien epilepsi dengan intractable

epilepsy, pikirkan kemungkinan serangan pseudoepileptik. Pasien ini perlu pengobatan

psikiatrik.

Perbedaan epilepsi dengan kejang psikogenik

Epilepsi Kejang Psikogenik

Pencetus Tidak biasa Biasanya emosi

Suasana Saat tidur / sendirian Biasanya ketika bersama banyak

orang, jarang waktu tidur

21

Page 22: laporan kasus epilepsi

Prodroma Jarang Sering

Awal Mendadak, aura +/- Berangsur dengan meningkatnya

emosi

Jeritan pada

awal

Sering Jarang

Inkontinansia Sering Tidak terjadi

Lidah tergigit Sering Jarang

Cedera Sering Jarang

Vokalisasi Hanya saat autmatisme Biasa selama serangan

Fenomena

motorik

Stereotip Bervariasi

Kesadaran Menurun Normal

Pengekangan Tidak berpengaruh Melawan, kadang-kadang

menghentikan serangan

Durasi Pendek Dapat memanjang

Henti

serangan

Pendek (automatisme

memanjang) Bingung

mengantuk, tidur

Berangsur, seringkali dengan emosi,

seringkali siuman tanpa rasa bingung

5.Breath Holding Spells (Serangan Nafas Terhenti Sejenak)

Serangan nafas terhenti sejenak sering terjadi pada anak, yaitu 4% anak-anak

berusia kurang dari 5 tahun. Mereka membagi Serangan nafas terhenti sejenak menjadi 2

jenis, yaitu jenis sianotik (cyanotic breath-holding spell) dan jenis pucat (pallid breath-

holding spell atau white breath-holding spell).

Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik timbul karena adanya faktor

pencetus berupa marah, takut, sakit atau frustasi. Biasanya anak menangis kuat sebentar

kemudian menahan nafas panjang dalam ekspirasi, menjadi sianosis, lemas dan tidak

sadar. Pada waktu sianosis kadang-kadang diikuti kekakuan seluruh tubuh sebentar,

kadang-kadang diikuti oleh 2-3 sentakan (jerks), kemudian anak bernafas kembali dan

menjadi sadar. Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik dengan kekakuan badan dan

sentakan ini juga disebut juga jenis kejang dan kadang-kadang disalah diagnosis sebagai

epilepsi. Terjadinya serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik diduga disebabkan

berkurangnya aliran darah ke otak karena peninggian tekanan dalam rongga dada.

Serangan nafas terhenti sejenak jenis pucat sangat berbeda dengan serangan nafas

terhenti sejenak jenis sianotik. Serangan biasanya timbul karena trauma ringan terutama

22

Page 23: laporan kasus epilepsi

benturan pada kepala, anak menjadi frustasi dan marah, kemudian menjadi tidak sadar,

pucat, kaku dan atau opistotonus. Kadang-kadang tidak didahului oleh menangis atau

menangis singkat. Tidak terdapat sianosis, kadang-kadang disertai mata melirik ke

bawah dan sentakan-sentakan anggota gerak (jerking). Hal ini menyebabkan disalah

diagnosissebagai epilepsi. Mekanismenya berbeda dengan serangan nafas terhenti

sejenak sianotik. Terjadinya karena kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh karena

asistole. Asistole disebabkan oleh terangsangnya refleks vagal. Hal ini dapat dibuktikan

dengan melakukan penekanan pada biji mata, maka akan terjadi asistole dan timbullah

serangan serangan nafas terhenti sejenak sianotik. 75% serangan nafas terhenti sejenak

timbul pada umur 6-18 tahun. Serangan pada umur yang lebih muda dapat terjadi, tetapi

jarang. Serangan ini tidak berbahaya, tidak menyebabkan retardasi mental, tidak

menyebabkan epilepsi, dan tidak perlu pengobatan.

6.Tics

Tic berupa gerakan kepala, kadang-kadang disertai dengan gerakan mata

berkedip-kedip, kadang-kadang ada gerakan tangan dan pasien tetap sadar. Hal ini mudah

dibedakan dengan serangan epilepsi, karena gerakan-gerakan dapat dihentikan dengan

memanggil pasien.

7.Sindrom neurologis periodik tanpa gangguan kesadaran

Misalnya: TIA, migren, tetani, dan hiperventilasi.

II.9 Terapi

Tujuan Terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai dengan

perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk

tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain : menghentikan bangkitan,

mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka

kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE.

Prinsip terapi farmakologi :

1. OAE mulai diberikan bila :

Diagnosis epilepsy telah dipastikan (confirmed)

Setelah pasiendan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan

pengobatan

23

Page 24: laporan kasus epilepsi

Pasien dan atau keluargannya telah diberitahu tentang kemungkinan efek

samping OAE yang akan timbul.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis

bangkitan dan jenis sindrom epilepsi

3. pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis

efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila

bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

4. bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat megontrol

bangkitan,makaperlu ditambah OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar tarapi,

maka OAE pertama diturunka bertahap (tapering off),perlahan – lahan.

5. penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi

dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

6. pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila :

dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG

pada pemeriksan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan

bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes

pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak

terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan orang tua)

riwayat bangkitan simtomatik

Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi

SSP.

Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

efek samping obat perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi

farmakokinetik antar obat.

Keberhasilan suatu terapi pada hakekatnya didasarkan atas pemilihan obat yang

sesuai dan hubungan dosis dengan respon yang dihasilkan. Hubungan dosis dengan

respon ini melibatkan berbagai variabel, antara lain : farmakodinamik dan farmakokinetik

dari obat.

24

Page 25: laporan kasus epilepsi

Farmakodinamik yaitu kepekaan jaringan terhadap konsentrasi dari obat di serum. Pada

obat anti epilepsi farmakodinamik dapat diabaikan, misalnya kadar difenilhidantoin

serum 20 u/ml, ini efektif untuk kebanyakan individu.

Farmakokinetik, yaitu meliputi berbagai proses yang mempengaruhi konsentrasi obat

dalam serum. Misalnya penderita yang diberikan diphenilhidantoin dengan dosis 3×100

mg, pada beberapa individu dicapai level serum yang berlainan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi, antara lain : metabolisme, distribusi, dan ekskresi.

1.Absorbsi

Absorbsi dilantin per os lebih baik dalam bentuk garam sodium (garam

karena larut dalam air), dibandingkan dengan basa. Pada kapsul sering dimasukan

bahan pengisi (binding substance), yang seharusnya bahan inert tapisering

mengadakan reaksi dengan bahan dalam kapsul. Contoh diaustralia biasanya

bahan pengisi adalah ca glukonas, kemudian digantidengan laktulosa yang lebih

meningkatkan absorbsi dilantin, sehinga di australia pernah terjadi epidemi

intoksikasi.

Pada keadaan diare absorbsi oabat akan terganggu, sehingga pada diare dosis

perlu ditingkatkan.

2.Distribusi

Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh. Banyak obat yang

didistribusikan oleh serum protein, 10% dalam bentuk bebas. Bentuk bebas inilah

yang masukjaringan otak melalui blood brain barrier, sehingga merupakan bentuk

yang terpenting untuk pengobatan. Hal ini penting karena di indonesia banyak

obat yang dapat menurunkan protein plasma. Hal-hal yang mempengaruhi protein

plasma adalah :

Hipoalbumin

Obat yang di ikat protein serum berkurang, sehingga bentuk bebas

meningkat. Dengan dosis yang sama penderita hipoalbumin akan

mengalami intoksikasi.

Competitive binding protein

Biladiberikan tiga obat yang mengikat protein, maka protein yang

mengikat obat anti epilepsi akan berkurang, sehingga bentuk bebas akan

meningkat. Sedapat mungkin berikan obat anti epilepsitunggal

(monodrug).

25

Page 26: laporan kasus epilepsi

Bilirubin juga mengikat protein, sehingga pada penyakit hepar yang

meningkatkan kadar bilirubin darah, dosis obat anti epilepsi harus

diturunkan.

3.Metabolisme

Hampir semua obat anti epilepsi diubah melalui hepar, dan kemudian baru

dieliminasi melalui ginjal. Terdapat duakelompokdalam metabolismeini, yaitu :

1). Kelompok metabolisme cepat 2). Kelompok metabolisme lambat. Hal ini juga

ditentukan oleh umur, pada nak-nak biasanya masukdalam kelompokfast

metabolism, sehingga membutuhkan dosis lebih besar, sedangkan pada usia lanjut

masuk dalam kelompok slow metabolism, sehingga membutuhkan dosis lebih

kecil.

Sehubungan dengan metabolisme obat, dikenal istilah waktu paruh (serum half

life), yaitu waktu yang diperlukan sehingga konsentrasi obat di serum tinggal

separuh dari konsentrasi semula. Misalnya waktu paruh dilantin adalah 22 jam,

berarti setelah 22 jam level dilantindalam serum menjadi separuh dari semula.

Waktu paruh ini berguna untuk menentukan :

Frekuensi pemberian obat

Dengan waktu peruh dilantin 22 jam, sebetulnya cukuppemberian dilantin

1x sehari, tetapi oleh karena alasan mengganggu lambung, maka diberikan

2-3x sehari.

Plateau level

Pemberian obat akan meningkatkan ladar serum obat di darah

sampaitercapi kadar pleateu level. Pada keadaan ini, walaupun obat

diberikan terus, kadar obat dalam serum akan tetap.

Pateau level, pada tiap obat berbeda, oleh karena itu jangan mengganti

obat sebelum plateau level. Biasanya keadaan ini tercapaisetelah 5 kali

waktuparuh. Misalnya dilantin, oleh karena waktu paruh 22 jam, maka

setelah 5 X 22 jam = 110 jam, (5,5 hari), baru obat boleh diganti atau

dinaikan dosisnya.

Menentukan eliminasi obat

Berapa lama obat dikeluarkan semua, pada kasus-kasus intoksikasi obat,

misalnya luminal waktu paruh adalah 140 jam, berarti membutuhkan

waktu sekitar 700 jam (30hari) untuk mengubah dosis luminal.

26

Page 27: laporan kasus epilepsi

Pada keadaan tertentu harus hati-hati dalam menentukan dosis obat,

misalnya:

Neonatus : oleh karena metabolisme sangat cepat, dosis relatif lebih

besar.

Usia lanjut: dosis dikurangi.

Kehamilan : metabolisme lebih cepat, oleh karena perubahan hormonal

atau hepar janin dalam kandungan ikut dalam metabolisme. Jadi

obat lebih tinggi, tetapi kejang dalam kehamilan cenderung

menurun.

4.Ekskresi

Ekskresi obat anti epilepsi sebagian besar melalui urin, sebagian kecil di

ekskresi lewat feses. Penyakit ginjal akan mempengaruhi ekskresi, sehingga dosis

perlu diturunkan.

Jenis Obat Antiepilepsi

Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa obat anti epilepsi yang sering digunakan.

Asam valproat

Digunakan pada epilepsi motor minor (mioklonik), absens, tonik-klonik dan serangan

parsial maupun kompleks. Asam valproat dianggap meninggikan efek inhibisi postsinaptik

GABA, menghambat pembentukan gelombang paku dan menghambat jaras neuronal

eksitatorik. Dosis awal pada orang dewasa adalah 500-1000 mg/hari, kemudiandosis rumatan

500-2500 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 12-18 jam, waktu tercapainya steady state 2-4

jam.

Hubungan dosis dengan kadar serum cukup kompleks, karena masa paruh yang

pendek dan ikatan protein yang besar. Pada kadar plasma valproat yang rendah, ikatan

protein mencapai 90-95%, namun dengan meningkatkan dosis, maka ikatan proteinnya

menurun drastis, sehingga kadar serum tidak naik secara proporsional dengan dosis. Interaksi

dengan fenobarbital akan meningkatkan kadar fenobarbital sehingga menimbulkan sedasi

berat. Kombinasi dengan fenitoin dan karbamazepin dapat meningkatkan kadar kedua otot,

sedangkan kombinasi dengan aspirin akan menyebabkan kenaikan kadarvalproat.

Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis akut dan

diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala intoksikasi berupa

mengantuk, vertigo dan perubahan perilaku. Efek pemberian kronik adalah mengantuk,

27

Page 28: laporan kasus epilepsi

perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit

perdarahan dan gangguan lambung.

Karbamazepin

Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks) dan epilepsi

umum tonik-klonik. Dosis pada orang dewasa 400-600 mg/hari, kemudian dosis rumatan

400-1600 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 15-35 jam, waktu tercapainya steady state 2-7

hari. Efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia darah. Gejala intoksikasi berupa

diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi dan kadang-kadang gejala distonik. Akibat pemberian

kronik dapat menimbulkan hiponatremia, gangguan fungsi hati dan leukopenia. Karena

rumus kimianya serupa antidepresan trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan

enak dan peningkatan kesadaran.

Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsi minor

lainnya akan memperberat serangan status absens atau miokonus nonepilepsi yang terus

menerus. Pemberian bersama obat lain misalnya Ca channel blocker, INH dan erittromisin

dapat mempercepat timbulnya toksisitas karena menghambat metabolismenya.

Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah tepi lengkap dalam waktu 2 minggu, 1

bulan dan 2 bulan setelah dimulinya pengobatan, dan kemudian setiap 6 bulan.

Meskipun karbamazepin mempunyai banyak efek samping, tapi obat ini lebih unggul

dibanding fonobarbital dan fenitoin karena memperbaiki fungsi kognitif.

Fenobarbital

OAE ini berguna untuk mengatasi kejang tonik-klonik umum (grand mal), serangan

parsial sederhana-kompleks, sebagian besar kejang lain. Fenobarbital diberikan dengan dosis

awal 50-100mg/hari, dengan dosis rumatan 50-200 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 50-

170 jam. Efek samping idiosinkratik fenobarbital berupa ruam kulit dan diskrasia darah

(jarang), sedangkan efek intoksikasi terbanyak adalah mengantuk dan hiperaktivitas. Kadang-

kadang terdapat mual, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik

adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit

tulang metabolik dan gangguan jaringan ikat.

Pada PET Scan tampak adanya penurunan metabolisme glukosa lokal pada otak pada 37%

kasus dan secara klinis ditemukan adanya depresi, gangguan tidur, konsentrasik dan fungsi

kognitif. Meskipun banyak efek sampingnya, kelebihan fenobarbital adalah merupakan

antikonvulsan yang aman dan murah. Substitusi karbanazepin untuk fenobarbital atau

fenitoin akan memperbaiki memori, konsentrasi dan kecepatan mental-motor. Fenobarbital

dapat merangsang metabolisme dan mengurangi efektivitas antikonvulsan lain seperti

28

Page 29: laporan kasus epilepsi

karbamazepin dan fenitoin. Pemberian bersamaan dengan asam valproat dapat menimbulkan

somnolensi yang nyata. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak diperlukan.

Fenitoin

Berguna untuk kejang tonik-klonik umum, serangan parsial (sederhana-kompleks)

dan beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin tidak boleh diberikan pada serangan bangkitan

atonik, karena dapat memperberat serangan bangkitan atonik.

Dosis awal adalah 200-300 mg/hari, kemudian dosis rumatan 400-1600 mg/hari,

waktu paruh dalam plasma 10-80 jam, waktu tercapainya steady state 3-15 hari. Penggunaan

bersama fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH dan kloramfenikol dapat meningkatkan

kadar bebas fenitoin. Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, diskrasia darah dan

reaksi imunologis. Efek intoksikasi berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual,

nistagmus, sakit kepala, ataksia, letargi dan perubahan perilaku. Efek samping pemberian

kironik berupa hirsutisme, hipertrofi ginggiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat

terjadi peniggian SGOT-SGPT yang secara klinis kurang berarti.

Efek samping yang berat adalah kelainan hematologis (trombositopenia, leukopenia,

anemia) dan sindrom Steven Jhonson. Untuk pemeriksaan rutin diperlukan pemeriksaan

darah tepi lengkap setiap tahun.

Penghentian OAE

Dalam hal penghentian OAE maka ada dua halpenting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat

umumuntuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE

dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah

bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun.

Gambaran EEG normal

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25 % dari dosis semula, setiap

bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

Penghentian dimulaidari satu OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinanya pada

keadaan sebagai berikut :

Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan semakintinggi.

29

Page 30: laporan kasus epilepsi

Epilepsi simtomatik

Gambaran EEG normal

Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan

Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada sindrom

epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25

% pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsi partial kriptogenik /

simtomatik, 85-95 % pada epilepsi mioklonik pada anak.

Penggunaan lebih dari satu OAE

Masih mendapat satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan

selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali

Maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian di evaluasi

kembali.

II.11. Prognosis

Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti epilepsi,

sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan. Namun prognose

tergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama terjadi, saat dimulai pengobatan,

ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan faktor etiologik. Prognosis terbaik adalah

untuk serangan umum primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit mal, sedangkan

serangan parsial dengan simtomatologi kompleks kurang baik prognosenya. Juga serangan

epilepsi yang mulai pada waktu bayidan usia dibawah tiga tahun prognosenya relatih buruk.

30

Page 31: laporan kasus epilepsi

BAB III

STATUS EPILEPTIKUS

2.1. Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status

epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang

tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung

lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami

kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih dapat

dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

2.2. Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian

kira-kira 60.000 – 160.000 kasus status epileptikus tonik-klonik umum terjadi di Amerika

Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang

timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien

yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidak teraturan dalam mengonsumsi obat anti

konvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi

mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira

10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada

neonatus, anak-anak dan usia tua.

31

Page 32: laporan kasus epilepsi

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat

dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan

sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara

miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang

paling tinggi.

2.3. Etiologi

Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa,

penyebab utama adalah anti epileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular

(22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus

adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak),

alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan

yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus

dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset)

atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset) kategori utama lainnya bergantung pada

pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu

versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,

mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).

Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status

epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan

pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan

anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:

1.      Overt generalized convulsive status epilepticus

Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.

a.       Tonik klonik

b.      Tonik

c.       Klonik

d.      Mioklonik

32

Page 33: laporan kasus epilepsi

2.      Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive

status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.

3.      Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)

a.       Simple motor status epilepticus

b.      Sensory status epilepticus

c.       Aphasic status epilepticus

4.      Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)

a.       Petit mal status epilepticus

b.      Complex partial status epilepticus.

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat

sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau

inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas

reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam

kejang adalah glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat

akan menyebabkan terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis

GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,

kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah

menyebabkan kejang.

Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana

terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel

neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan

oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu

sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat

hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.

Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak

dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,

peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan

asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini.  Setelah 30 menit, ada perubahan ke

fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa

serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga

33

Page 34: laporan kasus epilepsi

aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),

perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang

yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan

yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari

seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan

otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal

pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat

efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan

melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan

pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium

dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

 

2.6. Manifestasi Klinis

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)

merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan

kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

A.    Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan

potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau

kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik

umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan

kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan

otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis

selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan

tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat

serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan

metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak

tertangani.

34

Page 35: laporan kasus epilepsi

 

B.    Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului

fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

C.     Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran

tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran

dari Lenox-Gestaut Syndrome.

D.    Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah

menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari

status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,

tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

E.     Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau

dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan

mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai“slow motion

movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang

umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3

Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status

epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

F.     Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,

karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan

stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat

marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada

beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave

discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

G.    Status Epileptikus Parsial Sederhana

35

Page 36: laporan kasus epilepsi

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada

satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang

menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara

unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu

menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan

(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.

Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau

gangguan berbahasa (status afasik).

       b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik

unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

H.     Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup

untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,

dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus

temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini

dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status

epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

2.7. Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan

anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera

mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status

epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan consensus Epilepsy Foundation of America

(EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.

Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam

(Ativan), dan Midazolam (Versed).Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-

aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-

Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang

mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di

bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil

menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

36

Page 37: laporan kasus epilepsi

Nama Obat Dosis (mg/KgBB) Persentase

Lorazepam 0,1 65%

Phenobarbitone 15 59 %

Diazepam + Fenitoin 0,15 + 18 56 %

Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam

dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan

akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi

Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal.Mula kerja dan kecepatan

depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih

dari 50 mg dengan infuse atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang.

Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi

Propilenglikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum

suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah local iritasi : tromboplebitis

dan“purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan

fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikro kristal.

Status EpileptikusRefrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.

Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang

cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau

hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan

psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat

tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan

menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan

memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau

Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada aktivitas kejang, maka

dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

37

Page 38: laporan kasus epilepsi

Pada : awal menit

1.     Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a.       Periksa tekanan darah

b.      Mulai pemberian Oksigen

c.       Monitoring EKG dan pernafasan

d.       Periksa secara teratur suhu tubu

e.       Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2.     Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,

hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA

(Analisa Gas Darah Arteri)

3.      Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4.     Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV

atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5.     Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6.     Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena

dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang

tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg

per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan

Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat

diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jkakejangtetapberlangsung

1.     Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2.     Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100

mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jikakejangtetapberlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus

intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg

per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah

berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg

per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

38

Page 39: laporan kasus epilepsi

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan

berdasarkan gambaran EEG.

BAB III

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn.H

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 24 tahun

Suku bangsa : Minangkabau

Alamat : Pariaman

Pekerjaan : Sopir

MR : 707435

Alloanamnesis : (Ibu Kandung Pasien)

Seorang pasien laki-laki, umur 24 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP

Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 18 Mei 2012 dengan :

Keluhan Utama : Kejang berulang

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Kejang berulang sejak 6 jam sebelum masuk Rumah Sakit, terjadi ± 5x, lama kejang ±

5 menit, interval antara kejang ± 30 menit. Kejang terjadi secara tiba-tiba, kejang

seluruh tubuh, ketika kejang pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien juga tidak

39

Page 40: laporan kasus epilepsi

sadar. Saat kejang pasien tidak mengompol dan tidak mengeluarkan buih dari mulut.

Setelah kejang pasien demam dan muntah sebanyak 1x, berisi makanan dan minuman,

muntah tidak menyemprot. Sebelum kejang terjadi pasien terlihat gelisah sedang

mencari sesuatu, nyeri kepala tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat kejang berulang sejak 3 tahun yang lalu setelah pasien mengalami cedera

kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan telah dilakukan operasi untuk cedera

kepalanya itu. Sejak saat itu, kejang terjadi tiap bulan dengan frekuensi yang berbeda

(4-5x) dengan gejala yang sama, tapi pasien sadar setelah kejang terjadi. Pasien

kontrol ke dokter Sp.S 1 kali dalam sebulan teratur dan mendapatkan obat Fenitoin

3x100 mg dan Asam Folat 2x5 mg.

- Riwayat minum obat anti kejang tidak teratur sejak 7 bulan yang lalu.

Riwayatpenyakitkeluarga :

Riwayat kejang dalam keluarga tidak ada.

Riwayat pribadi dan sosial :

Pasien seorang Sopir.

Riwayat minum alkohol (-)

Riwayat memakai obat-obat terlarang (-)

Pasien lahir dengan persalinan normal, perkembangan pada masa anak-anak baik.

PEMERIKSAAN FISIK

Umum

Keadaan umum : Buruk

Kesadaran : Somnolen GCS E3M5V3 = 11

Nadi/ irama : 82x/menit, nadi teraba kuat, teratur

Pernafasan : 22x/menit, torakoabdominal, teratur

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Suhu : 39oC

Turgor kulit : baik

40

Page 41: laporan kasus epilepsi

Status Internus

Kulit : Tidak ditemukan kelainan

Kelenjar getah bening

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Aksila : tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Pupil isokor Ө 3mm/3mm RC +/+

Thorak

Paru :

Inspeksi : simetris kiri = kanan

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama murni, teratur,bising (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) N

Korpus vertebrae

Inspeksi : deformitas (-)

Palpasi : gibus (-)

Alat kelamin : tidak diperiksa

Status Neurologikus

GCS E3 M5 V3 = 11

Tanda rangsangan meningeal

41

Page 42: laporan kasus epilepsi

Kakukuduk : (-)

Brudzinsky I : (-)

Brudzinsky II : (-)

TandaKernig : (-)

Tanda peningkatan tekanan intrakranial

Pupil isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

Muntah proyektil tidak ada

Pemeriksaan nervus kranialis

N. I (Olfaktorius) : Tidak bisa dinilai

N. II (Optikus) : Pupil isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

N. III (Okulomotorius), N. IV (Trochlearis), N. VI (Abdusen) :

Doll’s eyes movement bergerak

N. V (Trigeminus) : Refleks kornea (+)

N. VII (Fasialis) : Wajah simetris, plika naso labialis kiri = kanan

N. VIII (Vestibularis) : Refleks oculoauditorik (+)

N. IX (Glossopharyngeus), N. X (Vagus) :

refleks muntah (+), arkus faring simetris, uvula di tengah

N. XI (Asesorius) : Sukar dinilai

N. XII (Hipoglosus) : Sukar dinilai

Koordinasi : tidak bisa dinilai

Motorik

Dengan rangsangan nyeri, keempatanggotagerakbergerakaktif

Tonus : eutonus

Tropi : eutrofi

Sensorik

42

Page 43: laporan kasus epilepsi

respon (+) dengan ransangan nyeri

Fungsi otonom : neurogenic bladder (-)

Refleks

RF:

Biseps : ++/++

Triseps : ++/++

KPR : ++/++

APR : ++/++

RP :

Babinsky : -/-

Chaddok : -/-

Oppenheim : -/-

Gordon : -/-

Hoffman trommer : -/-

Fungsi luhur : sukar dinilai

Pemeriksaan laboratorium

Darah Rutin :

Hb : 13,1 gr/dl

Leukosit : 12.200/mm3

Trombosit : 213.000/mm3

Hematokrit : 38%

Kimia darah :

Ureum : 20 mg/dl

Kreatinin : 1,0mg/dl

Gula darah random : 115 mg/dl

Na/K/Cl : 140/4,7/110 mmol/L

Pemeriksaan penunjang

43

Page 44: laporan kasus epilepsi

EKG : Sinus rhytme, HR 82x /menit, ST elevasi (-), ST depresi (-)

Kesan :Tidak ditemukan kelainan

Diagnosis :

Diagnosis Klinis : Status Epileptikus

DianosisTopik : Intrakranial

Diagnosis Etiologi : Simptomatik Post Trauma Kapitis

Diagnosis Sekunder : Observasifebris

Penatalaksanaan :

Umum : O2 2 liter/menit

Diet ML TKTP

IVFD RL 12 jam/kolf

Khusus : Dilantin 3 x 100 mg IV

Ceftriakson 1 x2 gram Inj

PCT 3 x 500 mg k/p

Prognosis

Quo Ad vitam : bonam

Quo Ad functionam : bonam

Quo Ad sanactionam : bonam

FOLLOW UP

19 Mei 2012

S/ Kejang (-)

Demam (-)

Mual,muntah (-)

BAB dan BAK biasa

O/

KU Kesadaran TD Nd Nf T

sedang CMC 110/70 84 x/ menit 20 x/menit 36,80C

Status Neurologikus :

44

Page 45: laporan kasus epilepsi

GCS : E4 M6 V5 = 15

TRM : Kaku kuduk (-)

↑ TIK : (-)

N.Cranial : Pupil isokhor, Ø 3 mm/3 mm, RC +/+

Doll’s Eye Movement bergerak

Plica naso labialis kanan = kiri

Reflek muntah (+)

Motorik : aktif, eutonus,eutrofi

Sensorik : baik

RF : ++/++

RP : --/--

A/ Status Epileptikus

Th/ O2 2 liter/menit

Diet ML TKTP

IVFD RL 12 jam/kolf

Dilantin 3 x 100 mg IV

Ceftriakson 1 x2 gram Inj

PCT 3 x 500 mg k/p

45

Page 46: laporan kasus epilepsi

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 24 tahun sejak tanggal 18 Mei

2012 di RSUP Dr.M. Djamil Padang dengan diagnosis klinik pada saat pasien masuk adalah

Status Epileptikus. Diagnosa topic yaitu Intra kranial. Diagnosis etiologi adalah Post Trauma

Kapitis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan Kejang berulang sejak

6 jam sebelum masuk Rumah Sakit, terjadi ± 5x, lama kejang ± 5 menit, interval antara

kejang ± 30 menit. Kejang terjadi secara tiba-tiba, kejang seluruh tubuh, ketika kejang pasien

tidak sadar dan setelah kejang pasien juga tidak sadar. Saat kejang pasien tidak mengompol

dan tidak mengeluarkan buih dari mulut. Setelah kejang pasien demam dan muntah sebanyak

1x, berisi makanan dan minuman, muntah tidak menyemprot. Sebelum kejang terjadi pasien

terlihat gelisah sedang mencari sesuatu, nyeri kepala tidak ada. Adapun riwayat penyakit

dahulu yang mendukung ke arah diagnosis pada pasien ini adalah Trauma Kapitis 3 tahun

yang lalu.Saat itu telah dilakukan operasi terhadap cedera kepalanya tersebut.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Somnolen (GCS: E3M6V3),

tanda rangsang meningeal (-) ↑ TIK (-), pemeriksaann cranial: pupil isokhor, Ø 3 mm/3 mm,

RC +/+, Doll’s Eye Movement bergerak, plica naso labialis kanan= kiri, reflek muntah (+),

46

Page 47: laporan kasus epilepsi

motorik: keempat anggota gerak berespon (+) terhadap rangsangan nyeri, sensorik: respon

terhadap nyeri, RF : ++/++, RP : --/--

Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum adalah O2 2 liter/menit, Diet ML TKTP,

IVFD RL 12 jam/kolf. Penatalaksanaan khusus pada pasien ini adalah Dilantin 3 x 100 mg

IV, Ceftriakson 1 x2 gram Inj, PCT 3 x 500 mg k/p.

47