Upload
heltacuy
View
63
Download
23
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lapsus
Citation preview
LAPORAN KASUS
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
PEMBIMBING :
dr. Zufrial Arief, Sp.OG
Disusun Oleh :
Ghayatrie Healthania
030.10.114
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 16 April 2015-22 Mei 2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Oleh:
Ghayatrie Healthania
030.10.114
Telah dipresentasikan tanggal : Mei 2015
Tempat : RSUD dr. Soeselo Slawi
Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing/Penguji
dr. Zufrial Arief, Sp.OG
2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
laporan kasus dengan judul P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound
Dehiscence
Ucapan terima kasih selayaknya penulis berikan kepada dr. Zufrial Arief, SpOG selaku
pembimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus ini.
Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi RSUD dr. Soeselo Slawi. Penulis jelas berharap semoga penulisan laporan kasus ini
dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya. Penulis juga mohon maaf sebesar-besarnya
apabila dalam penulisan ini masih ditemukan kesalahan dalam penulisan atau pengertian,
sekiranya dapat dimaklumi. Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih atas segala perhatiannya
dan selamat membaca.
Slawi, Mei 2015
Penulis
3
STATUS ILMU OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOESELO SLAWI
Nama Mahasiswa : Ghayatrie Healthania
NIM : 030.10.114
Dokter Pembimbing : Dr. Zufrial Arief, SpOG
Identitas
Nama : Ny. SW Tanggal masuk : 7 Mei 2015
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat rumah : Dukuh Salam RT 3 RW 2
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
I. Anamnesis
II. Keluhan utama : nyeri bekas operasi
III. Riwayat penyakit sekarang
Ny. SW, 32 tahun, P2A1, datang ke Poli Kandungan RSUD Dr. Seoselo dengan P2A1
post SC + IUD tanggal 25/4/15 dengan Nyeri bekas operasi. Hal ini dialami os sejak
tanggal 25/4/15. OS sebelumnya sudah menjalani operasi sesar ± 2 minggu yang lalu atas
indikasi PEB dan KPD. Os juga mengeluh terdapat sedikit nanah berwarana putih yang
keluar dari bekas luka op dan berbau menyengat Os menyangkal ada demam.. BAB
normal dan BAK normal.
Riwayat persalinan :
1. Lk. Aterm. 3300 gr.pervaginam.Klinik.Bidan 5 tahun. Sehat
4
2. Abortus
Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, darah tinggi, anemia, ataupun riwayat
darah sulit berhenti bila terjadi luka.
Riwayat penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
IV. Pemeriksaan Fisik tanggal 12/5/15
A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : sakit sedang
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
B. Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 82x/menit
Suhu : 36,10 C
Pernafasan : 18x/menit
C. Antropometri
BB : 60 kg
TB : 150 cm
BMI : 26.6 kg/m2
D. Kulit
Kulit berwarna kuning langsat tidak ikterik, dan tidak ada efluoresensi yang berarti
E. Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba membesar Ketiak: tidak teraba membesar
Supraklavikuler : tidak teraba membesar Inguinal : tidak teraba membesar
F. Kepala
Tampak normocephali, rambut hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut.
G. Wajah
Normal dan simetris
5
H. Mata
Konjungtiva : -/-
Sklera : tidak tampak kuning -/-
I. Hidung
Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak hiperemis,
konka normal, tidak ada sekret.
J. Telinga
Normotia, sekret -/-, serumen -/-, tidak ada nyeri tekan, liang telinga lapang, membran
timpani intak
K. Mulut
Bibir : kering
Gusi dan mukosa : tidak hiperemis, tidak ada perdarahan spontan, tidak pucat, tidak
sianosis
Gigi geligi : lengkap, tidak ada karies, tidak keropos
Lidah : tidak ada papil atrofi, tampak agak kotor
Uvula : simetris, letak tengah, tidak hiperemis
L. Tenggorokan
- Tonsil : T1-T1 tenang, tidak ada detritus, tidak ada kripta melebar
- Faring : arkus faring simetris, tidak hiperemis
- Laring : tidak dinilai
M. Leher
- JVP 5 ± 2 cmH2O
- Tiroid : tidak teraba benjolan
N. Thorax
Inspeksi:
Bentuk normal, mendatar, tidak terdapat retraksi saat statis dan dinamis.
Kulit : Kuning langsat, tidak terdapat spider nevi, tidak terdapat efluoresensi yang
bermakna
Costae : tidak ada retraksi sela iga, sela iga tidak melebar
Ictus cordis : tidak teraba pulsasi
Palpasi
6
- Gerak nafas kanan-kiri simetris antara dua hemithorax
- Vocal fremitus teraba sama kuat kanan dan kiri
- Thrill : tidak teraba thrill pada ke-4 katup jantung
- Ictus cordis teraba pada ± 1 cm medial garis midclavicula kiri
Perkusi Paru : Di dapatkan suara sonor pada hemithorax kanan dan kiri
Auskultasi Paru
Terdengar suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing dan ronkhi
Auskultasi Jantung
S1-S2 reguler, murmur - , gallop -, split -
O. Status Obstetrikus
Abdomen : Supel , peristaltic (+)
Luka operasi : Tampak luka basah , merah , tampak sedikit nanah
TFU : 1 jari bawah pusat
P/V : (-)
P. Ekstremitas
Inspeksi : lengan terlihat simetris, tidak ada deformitas, kulit kuning langsat, tidak ikterik,
tidak sianosis
Palpasi : Akral teraba hangat pada keempat ekstermitas, tidak terdapat oedem pada
keempat ekstremitas
Q. Genitalia : dalam batas normal
R. Anus/Rektum : dalam batas normal
S. Pemeriksaan Capillary Refill Test : > 2
V. Laboratorium
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 7 Mei 2015 ditemukan:
7
IV. Laporan hasil follow up
8
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 11.100 u/l 3.600-11.000 u/l
Eritrosit 4.2 juta /ul 3.80-3.20 juta/ul
Hemoglobin 11,9 g/dL 11,7-16,6 g/dL
Hematokrit 34 % (L) 35-47%
Trombosit 601.000 150.000-450.000
Diff Count
Eosinofil 2.90 3,00-4,00
Basofil 0.40 0-1
Neutrofil 65.30 60-70
Limfosit 9,50 33-40
Monosit 25.1 2-8
Golongan darah B
Rhesus Faktor Positif
HbsAG Non reaktif
Protein Urin Negatif
GDS 151
9
Tanggal S O A P7/5/1512.35 -Nyeri bekas
opTD : 130/90 N: 84x/m RR : 19x/m S : 37,00CMata : CA -/-, SI -/-Thorax : S1-S2 normal, reguler, gallop -, murmur -. Split –Abdomen : BU +, Extremitas : oedem (-), akral hangat(+)
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Ganti balut In ceftriaxon2x1
15.30 Nyeri bekas op TD : 140/90 N : 70x/m RR : 20x/m S : 360C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Terapi lanjut
18.00 Nyeri bekas op TD : 120/80 N : 70x/m RR : 20x/m S : 360C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Residen visit Advice:
Antibiotik lanjut + Metronidazole 3x1
As mef 3x500 Ganti balut pagi
sore
22.00 Nyeri bekas op TD : 140/90 N : 72x/m RR : 20x/m S : 360C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Terapi lanjut
Tanggal
14/5/15
jam 06.00
Keluhan
berkurang
TD : 130/90
N : 84x/m
RR : 18x/m
S : 36,40C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
post rehecting
- Residen
visit
- Amoxicilin
3x500
- As mef
3x1
10
08/05/2015
07.00 Nyeri bekas op TD : 140/100 N : 88x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Residen visitAdvice :
- Nebasetin powder
-terapi lain lanjut
15.00 - Nyeri bekas op
TD : 130/80 N : 80x/m RR : 18x/m S : 36,50C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Terapi lanjut
18.00 - Nyeri bekas op
TD : 130/90 N : 100x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Terapi lanjut
21.00 - Nyeri bekas op
TD : 130/90 N : 84x/m RR : 16x/m S : 36,60C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Terapi lanjut
09/05/2015
07.00 - Nyeri bekas op
TD : 140/100 N : 88x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Residen visit advis :
Pro rehecting Terapi lain
lanjut
15.00 -\ Nyeri bekas op
TD : 130/80 N : 80x/m RR : 18x/m S : 36,50C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
18.00 - Nyeri bekas op
TD : 130/80 N : 100x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
22.00 - Nyeri bekas op
TD : 130/90 N : 84x/m RR : 16x/m S : 36,60C
P2A1 32
tahun Post
SC+IUD
tanggal
25/4/2015
dengan
Wound
Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
10/15/2015
07.00 Pusing TD : 140/100 N : 88x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
15.00 - Pusing TD : 130/80 N : 80x/m RR : 18x/m S : 36,50C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
18.00 - Pusing TD : 140/80 N : 100x/m RR : 18x/m S : 370CHb : 11.8PU : -
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
21.00 - Pusing TD : 130/90 N : 84x/m RR : 16x/m S : 36,60C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
11/05/2015
07.00 - Pusing-Nyeri bekas op
TD : 140/100 N : 88x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
15.00 - Pusing-Nyeri bekas op
TD : 130/80 N : 80x/m RR : 18x/m S : 36,50C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
18.00 - Pusing-Nyeri bekas op
TD : 100/60 N : 100x/m RR : 18x/m S : 370C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
21.00 - Pusing-Nyeri bekas op
TD : 130/90 N : 84x/m RR : 16x/m S : 36,60C
P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
Pro rehecting
Terapi lain lanjut
dengan
Wound
Dehiscence
- Vit bc 2x1
- Os boleh
pulang
V. Diagnosis Kerja
VI. P2A1 32 tahun Post SC+IUD tanggal 25/4/2015 dengan Wound Dehiscence
VII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
VIII. Resume
Ny. SW, 32 tahun, P2A1, datang ke Poli Kandungan RSUD Dr. Seoselo datang untuk
control dengan keluhan utama Nyeri bekas operasi. Hal ini dialami os sejak tanggal
25/4/15. OS sebelumnya sudah menjalani operasi sesar ± 8 hari yang lalu atas indikasi
PEB dan KPD. Os juga mengeluh terdapat sedikit nanah berwarana putih yang keluar dari
bekas luka op dan berbau menyengat Os menyangkal ada demam.. BAB normal dan BAK
normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 82x/menit
Suhu : 36,10 C
Pernafasan : 18x/menit
Pada status generalis didapatkan kepala, leher, thoraks dan ekstermitas dalam batas
normal. Pada status obstetrikus didapatkan Abdomen : Supel , peristaltic (+) ..Luka
operasi : Tampak luka basah , merah , tampak sedikit nanah .TFU : 1 jari bawah pusat.
P/V : (-).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11.9 dan proteiun urin negative.
11
TINJAUAN PUSTAKA
1.Pendahuluan
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2007 Angka Kematian Ibu
(AKI) berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup. Di dalam rencana strategik nasional
Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia yaitu rencana pembangunan kesehatan menuju
Indonesia sehat 2015, visi MPS adalah kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman,
12
serta bayi yang dilahirkan hidup sehat. Sasaran yang ditetapkan sesuai dengan target MDGs
(Millenium Development Goals) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Salah satu cara menurunkan angka kematian ataupun angka kesakitan ibu adalah dengan
mengurangi atau mencegah terjadinya komplikasi pasca persalinan, lebih spesifik lagi adalah
mengurangi komplikasi pasca persalinan bedah sesar.
Seiring kemajuan teknologi dan teknik-teknik operasi, antibiotika dan anesthesia, penemuan
alat-alat elektronik pemantau janin dalam kandungan, angka kelahiran secara bedah sesar
semakin meningkat. Begitu pula dengan permasalahan-permasalahan pada saat bedah sesar
maupun pasca bedah sesar, salah satunya woun dehiscence. Untuk itu diharapkan persiapan pra
bedah, pelaksanaan bedah, serta perawatan yang baik terhadap luka bedah sesar serta
memperhatikan faktor-faktor yang dapat mengganggu penyembuhan luka seperti penyakit
diabetes mellitus, imunosupresi, anemia, dan gangguan hemostasis lainnya sehingga tidak terjadi
salah satu komplikasi berupa Infeksi Luka Operasi (ILO) pasca bedah sesar yang dapat berlanjut
menjadi wound dehiscence yang dapat berujung pada keadaan sepsis dan kematian.
2.1. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka terdiri atas 3 fase:
1. Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari ke lima. Pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha
menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus,
dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh
darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang
keluar dari pembuluh darah. Trombosis yang berlekatan akan berdegranulasi, melepas
kemoatraktan yang menarik sel radang, mengaktifkan fibroblas lokal dan sel endotel serta
vasokonstriktor. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi. Setelah hemostasis, proses
koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen yang kemudian akan mengeluarkan
bradikinin dan anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatassi dan
permeaabilitas vaskular meningkat sehingga eksudasi, penyebukan sel radang,, disertai
vasodilatasi setempat yang menyebabkan oedem. Gejala klinis yang tampak yaitu reaksi
radang berupa warna kemerahan, nyeri, dan pembengkakan.
13
2. Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proliferasi
fibroblas. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu
ketiga. Fibroblas berasal dari sel masenkim yang belum berproliferasi yang merupakan
bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase fibroplasia ini,
luka dipenuhi oleh sel radang, fobroblas, dan kolagen, serta pembentukan pembuluh
darah baru, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus
yang disebut jaringangranulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari
dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Proses ini terjadi sampai epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh pemukaan luka.
3. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan
yang berlebih,pengerutan yang sesuai gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan
yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan selesai jika tanda
peradangan telah menghilang. Oedem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang,
kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang erlebih diserap, dan sisanya
mengerut sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini berlangsung, dihasilkan
jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur serta mudah digerakkan dari dasar.
14
Gambar 1. Skema penyembuhan luka
Perawatan pertama yang dilakukan setelah selesai operasi adalah pembalutan
luka. Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin, lalu ditutup dengan
kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan luka dibersihkan. Dibuat
pula catatan kapan benang atau agrave dicabut dan dilonggarkan. Diperhatikan pula
apakah luka sembuh perprimum atau dibawah luka terdapat eksudat. Jika terdapat luka
dengan sedikit eksudat ditutup dengan band-aid operative dressing. Jika terdapat luka
dengan eksudat sedang ditutup dengan regal filmated swabs atau dengan pembalut luka
lainnya. Luka dengan eksudat banyak ditutup dengan surgipad atau dikompres dengan
betadin. Luka insisi dapat menyebabkan komplikasi. Sebagian luka sembuh dan tertutup
15
baik, sebagian lagi dengann eksudat dalam jumlah sedang atau banyak dan keluar melalui
lubang-lubang dan terinfeksi. Luka terbuka sebagian, bernanah dan terinfeksi. Luka
terbuka seluruhnya dan usus kelihatan atau keluar. Luka tersebut memerlukan perawatan
khusus sampai memerlukan reinsisi untuk membuat luka baru dan menutupnya kembali.
2.2. Wound Dehiscence
Infeksi dan wound dehiscence merupakan komplikasi dari penyembuhan suatu
luka yang salah. Biasanya wound dehiscence sering didahului oleh suatu infeksi luka
operasi berkelanjutan sehingga penyembuhan luka terganggu dan infeksi hanya
merupakan salah satu penyebab wound dehiscence selain faktor lokal, sistemik, dan
teknik. Apabila wound dehiscence telah terjadi maka infeksi akan terus berlanjut dan
komplikasinya semakin memburuk yand dapat berakhir menjadi sepsis.
Infeksi luka pada umumnya ditandai dengan tanda-tanda klasik meliputi
kemerahan (rubor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), peningkatan suhu (kalor) pada
jaringan luka dan demam. Pada akhirnya, luka akan terisi oleh jaringan nekrotik,
neutrofil, bakteri dan cairan plasma yang secara bersama-sama akan membentuk nanah
(pus).
Pedoman CDC (Center for Disease Control and Prevention) dalam mencegah
terjadinya infeksi luka operasi, yang dipublikasikan pada tahun 1999, merinci tentang
kriteria untuk mendefinisikan ILO. Seperti tercantum pada Gambar 1, ILO dibedakan
menjadi 3, berdasarkan dalamnya infeksi berpenetrasi pada luka, yaitu insisi dangkal
(superficial), insisi dalam dan organ/rongga. Luka yang mengalami infeksi dalam 30 hari
setelah operasi harus diklasifikasikan sebagai ILO. Namun jika tindakan operasi
menyangkut pemasangan implan atau prostesis, maka jangka waktu (window periode)
terjadinya infeksi menjadi lebih panjang, yaitu 1 tahun.
16
Gambar 2. Lapisan Daerah Insisi
Klasifikasi Luka
Risiko terjadinya infeksi bervariasi, tergantung pada lokasi dilakukannya operasi. Sebagai
contoh, tindakan invasif yang menembus daerah tubuh yang mengandung banyak koloni
bakteri, seperti usus, akan lebih rentan untuk mengalami infeksi. Klasifikasi luka menurut
CDC dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan tingkat kontaminasinya, yaitu:
- Luka bersih
Luka dianggap bersih ketika tindakan operasi tidak masuk ke dalam lumen tubuh yang
mengandung koloni bakteri normal. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini
kurang dari 2%, tergantung pada berbagai variabel klinis. Kontaminan sering berasal dari
lingkungan kamar operasi, tim bedah, dan yang paling umum adalah kontaminasi dari
kulit.
- Luka bersih terkontaminasi
17
Luka dianggap bersih terkontaminasi ketika prosedur operasi masuk ke dalam rongga
tubuh dengan koloni bakteri, namun prosedur operasi masih dalam situasi yang dapat
dikontrol dan direncanakan (elektif). Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini
berkisar dari 4% hingga 10%.
- Luka terkontaminasi
Ketika kontaminasi nyata didapatkan namun tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi
yang jelas, maka luka dianggap terkontaminasi. Seperti halnya pada luka bersih
terkontaminasi, yang menjadi kontaminan adalah bakteri yang ada pada daerah operasi itu
sendiri. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini dapat melebihi 20%.
- Luka kotor
Jika tanda-tanda infeksi aktif telah didapatkan secara nyata pada daerah operasi, maka
luka dianggap sebagai luka kotor. Bakteri patogen terlibat dalam terjadinya proses infeksi
pada luka. Tingkat kemungkinan terjadinya ILO pada kelas ini dapat melebihi 40%.
FAKTOR RISIKO
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM), khususnya DM tipe 2, prevalensinya semakin meningkat
di Amerika, dengan perkiraan sekitar 7%, atau 20 juta orang menderita penyakit ini,
dengan sepertiga dari mereka tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit DM.
Persentase pasien dengan DM yang menjalani operasi tinggi pada beberapa jenis operasi.
Satu studi mencatat bahwa 44% dari
pasien yang menjalani bedah jantung menderita DM, dimana 48% dari penderita tidak
terdiagnosis DM pada saat preoperatif. Diketahui bahwa 25% sampai 30% pasien yang
menjalani operasi CABG (coronary artery bypass graft) menderita DM. DM merupakan
18
prediktor utama yang menentukan morbiditas dan mortalitas pasien post operasi CABG,
dimana sekitar 35% sampai 50% komplikasi terjadi pada pasien dengan DM. Hasil yang
buruk pasca operasi pada pasien dengan DM diyakini terkait dengan komplikasi yang
sudah ada akibat adanya hiperglikemia kronis, yang meliputi penyakit aterosklerosis pada
pembuluh darah
dan autonomik neuropati perifer. Sangat penting untuk melakukan evaluasi preoperatif
pada semua pasien yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi kasus DM yang tidak
terdiagnosis dan/atau DM yang tidak terkontrol. Pasien yang akan menjalani operasi
harus dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dan juga sebaiknya
dilakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin A1c (HbA1c) untuk mengevaluasi apakah
pasien memiliki penyakit DM sebelumnya. Jika hasil dari salah satu atau kedua tes ini
menunjukkan adanya diabetes yang tidak terkontrol (GDP > 110 mg/dL atau HbA1c ≥
7% ), maka kadar glukosa pasien harus dikontrol terlebih dahulu sebelum dilakukan
operasi.
Hiperglikemia perioperatif
Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar pasien yang menjalani operasi mayor
mengalami keadaan hiperglikemia pada saat perioperatif. Tidak seperti DM, beberapa
ilmuwan masih mempertanyakan apakah hiperglikemia perioperatif merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk terjadinya efek samping yang merugikan pasca operasi.
Perioperatif hiperglikemia pada pasien non diabetes baru-baru ini diketahui sebagai
faktor risiko potensial untuk hasil yang merugikan post operasi besar. Namun hal ini
masih belum diketahui secara pasti apakah orang tersebut sebenarnya merupakan
penderita diabetes namun tidak terdiagnosis atau memang orang tersebut bukan penderita
19
diabetes dan mengalami hiperglikemia perioperatif sebagai respon terhadap stres operasi.
Juga tidak diketahui secara pasti apakah hiperglikemia merupakan penyebab terjadinya
hasil operasi yang buruk ataukah hiperglikemia memperburuk efek samping yang telah
terjadi, karena selama ini kadar glukosa serum sering diukur ketika hasil operasi yang
buruk telah terjadi. Studi lain berusaha untuk mengklarifikasi masalah ini dengan secara
khusus mengamati penderita hiperglikemia perioperatif yang mengalami infeksi pasca
operasi. Para peneliti ini beranggapan bahwa sewaktu terjadinya peningkatan kadar
glukosa serum perioperatif menunjukkan bahwa ini merupakan faktor risiko terjadinya
infeksi pasca operasi atau pertanda
dari suatu proses infeksi. Para penulis mengamati bahwa periode awal pasca operasi,
dimana pasien berada pada fase stres fisiologis terbesar, merupakan waktu dengan risiko
tertinggi untuk terjadinya ILO. Periode waktu ini juga merupakan periode dimana kadar
glukosa serum mencapai kadar tertinggi, baik pada pasien diabetes maupun pada pasien
non-diabetes. Mereka menyimpulkan bahwa tingkat terjadinya infeksi nosokomial akan
lebih tinggi ketika hiperglikemia ditemukan pada dua hari pertama pasca operasi, terlepas
dari diabetes yang sudah ada sebelumnya.
Ada dua mekanisme utama yang menempatkan pasien pada keadaan
hiperglikemia akut perioperatif yang berakibat meningkatnya risiko terjadinya ILO.
Mekanisme pertama adalah menurunnya sirkulasi di pembuluh darah, yang berakibat
berkurangnya perfusi jaringan dan terganggunya fungsi sel. Mekanisme kedua adalah
menurunnya aktivitas dari imunitas seluler dalam fungsi kemotaksis, fagositosis dan
membunuh pada sel polimorfonuklear serta monosit/makrofag yang telah terbukti terjadi
pada kondisi hiperglikemia akut. Kedua gangguan pertahanan host alami ini
20
meningkatkan risiko terjadinya infeksi jaringan pada pasien bedah dengan atau tanpa
diabetes.
Kegemukan
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana indeks massa tubuh
seseorang lebih dari atau sama dengan 30 kg/m2. Telah dilaporkan tingkat terjadinya
infeksi pasca operasi section caesarean lebih besar kemungkinannya pada wanita dengan
obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya ILO yang terbukti sulit untuk
ditekan.4 Seringkali tidak ada cukup waktu sebelum operasi untuk secara signifikan
menurunkan tingkat obesitas pasien. Namun, evaluasi mengenai adanya diabetes dan
pengontrolan kadar glukosa serum, akan meminimalkan risiko terjadinya ILO pada
pasien dengan obesitas. Selain itu, operasi besar sering dipandang sebagai peristiwa yang
mengubah hidup dan mungkin dapat memotivasi pasien agar menerapkan pola makan dan
gaya hidup positif lainnya. Edukasi secara perorangan dan pengaturan diet dari ahli gizi,
serta dukungan dari komunitas yang berusaha untuk menurunkan berat badan juga
menunjukkan efek positif jangka panjang.
21
GAMBAR 3. Skema terbentuknya wound dehiscence
22
E. Pencegahan ILO
Beberapa langkah yang terkait dalam menurunkan kemungkinan terjadinya ILO
berdasarkan pedoman dari NICE (National Institute for Health and Clinical Excellence), antara
lain:
1. Insisi dinding abdomen
Section caesarean harus dilakukan dengan menggunakan sayatan perut melintang karena
cara ini menimbulkan nyeri pasca operasi yang lebih minimal dan efek kosmetik yang lebih baik
dibandingkan dengan insisi garis tengah. Insisi melintang menurut Joel Cohen (insisi lurus, 3 cm
di atas simfisis pubis, lapis demi lapis jaringan berikutnya dibuka dan diperluas dengan gunting,
bukan pisau) merupakan pilihan karena terkait dengan waktu operasi yang lebih pendek dan
mengurangi morbiditas demam pasca operasi.
2. Instrumen untuk insisi kulit
Penggunaan pisau bedah yang berbeda untuk menginsisi kulit dan jaringan yang lebih
dalam tidak dianjurkan karena terbukti tidak menurunkan kemungkinan terjadinya ILO.
3. Penutupan dinding perut
Penutupan dinding perut pada insisi garis tengah dilakukan dengan cara jahitan kontinu
menggunakan benang yang lambat diserap karena dengan cara ini insidensi terjadinya hernia
insisional dan wound dehiscence lebih rendah dibandingkan dengan cara penutupan berlapis.
4. Penutupan jaringan subkutan
Penutupan jaringan subkutan tidak rutin dilakukan, kecuali pada wanita yang memiliki
tebal lemak subkutan lebih dari 2 cm, karena penutupan jaringan subkutan tidak menurunkan
insidensi terjadinya ILO.
5. Penggunaan drain superficial
23
Penggunaan drain superficial tidak boleh digunakan pada operasi section caesarean.
Penggunaan drain superficial terbukti tidak menurunkan kemungkinan terjadinya ILO.
6. Pemberian antibiotik
Berikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan insisi kulit pada operasi section
caesarean. Hal ini akan lebih menurunkan risiko terjadinya infeksi maternal pasca operasi jika
dibandingkan bila antibiotik profilaksis diberikan setelah insisi kulit, dan terbukti tidak
menimbulkan adanya efek pada bayi.
Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk diberikan pada semua operasi
yang melibatkan organ berongga. Pemberian antibiotik profilaksis diketahui merupakan faktor
protektif yang paling signifikan dalam menurunkan kejadian ILO pasca operasi section
caesarean. Antibiotik harus diberikan sebelum operasi, idealnya dalam waktu 30 menit dari
induksi anestesi. Konsentrasi antibiotik yang adekuat dalam serum dan jaringan akan
menurunkan risiko berkembangnya bakteri selama periode post operatif. Namun, pemberian
antibiotic profilaksis tidak akan mencegah kontaminasi yang terjadi selama operasi karena teknik
operasi yang buruk.
Dalam praktiknya, ditemukan variasi yang beragam mengenai cara pemberian antibiotik
profilaksis. Classen dkk membuktikan bahwa waktu diberikannya antibiotik profilaksis sangat
penting dalam mencegah ILO pasca operasi. Antibiotik profilaksis preoperatif sering tidak
diberikan pada waktu yang optimal sehingga konsentrasi obat selama periode operasi tidak
menimbulkan hasil yang efektif. Pedoman yang dipublikasikan dalam Surgical Infection
Prevention Guideline mengusulkan antibiotik profilaksis harus diberikan 60 menit sebelum
dilakukannya insisi dan dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi.
24
Redisinfeksi kulit di sekitar daerah insisi sebelum penutupan kulit telah dilaporkan dapat
mengurangi kejadian ILO pasca operasi. Telah dilaporkan pula bahwa irigasi dengan larutan
antibiotik pada daerah insisi aman untuk dilakukan, tidak menunjukkan adanya efek samping,
dan merupakan metode yang efektif dalam menurunkan morbiditas infeksi dan ILO pasca bedah
section caesarean.
7. Perawatan luka
Perawatan luka pada operasi section caesarean meliputi:
Dressing luka 24 jam setelah operasi
monitoring adanya demam
nilai tanda-tanda infeksi pada luka (seperti rasa sakit yang meningkat, kemerahan atau
keluarnya discharge) dan tanda-tanda luka yang tidak menutup (dehiscence)
beritahukan pada pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, nyaman, dan berbahan
katun agar mudah menyerap keringat
bersihkan luka secara lembut dan keringkan luka setiap hari
jika diperlukan, rencanakan untuk melepas jahitan
Risiko infeksi berlanjut bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Tenaga medis
harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai cara merawat luka bekas
operasi, bagaimana mengenali tanda-tanda terjadinya ILO dan pentingnya melaporkan gejala
tersebut ke dokter bedah mereka sebagai penyedia perawatan primer.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Setiap jam dua orang
ibu bersalin meninggal dunia. Terdapat dalam: URL,;http://www.depkes.go.id/index.php?
option=new&ask=vewarticle&sid=448. 18/06/2014.
2. Saifuddin AB. Pengantar. Dalam: Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Edisi Pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
2002.
3. Cunningham FG, Gilstrap LC, VanDorsten JP. Caesarean Delivery. In: Operative
Obstetrics. 2nd edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division, New York. 2002: 257-
73.
4. Sjamsuhidajat R, De Jong. Luka. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta. 2005: 95-
97.
5. Cunningham FG, Gilstrap LC, Van Dorsten JP. Anatomy incision and closure. In:
Operative Obstetrics. 2nd edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division, New York.
2002: 59-61.
6. Hermawan., G. A. SIRS, SEPSIS, & SYOK SEPTIK (imunologi, Diagnosis,
Penatalaksanaan). Surakarta: UNS Press. 2008.
7. Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committee. (2013). Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012.
Critical Care Medicine , 41 (2), 580-637.
8. Winkjosastro, Hanifa, dkk. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga,.Cetakan Keempat. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997 : 362-76 ; 606-22.
26
27