59
LAPORAN KASUS RHINOSINUSITIS KRONIS DOKTER PEMBIMBING : dr. I Wayan Marthana, Sp. THT OLEH : Rianita Nursanti (20100310164) BAGIAN THT RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015

Laporan Kasus Tht

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tht

Citation preview

LAPORAN KASUS

RHINOSINUSITIS KRONIS

DOKTER PEMBIMBING :

dr. I Wayan Marthana, Sp. THT

OLEH :

Rianita Nursanti

(20100310164)

BAGIAN THT RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang

berjudul Rinitis Alergi.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. I Wayan Marthama,

Sp.THT, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Panembahan Senopati Bantul

dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak

terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para

pembaca.

Yogyakarta, Agustus 2015

Penulis,

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : EA

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 28 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Tanggal berobat : 30/07/2015

2.2 Anamnesis

Keluhan utama

Hidung terasa tersumbat sejak 1 minggu terakhir.

Keluhan tambahan

Bersin-bersin, pusing, mata sakit dan berair terutama di pagi hari sejak 1

tahun terakhir.

Riwayat penyakit sekarang

Seorang wanita (28 tahun) datang ke RSUD Panembahan Senopati Bantul,

dengan keluhan hidung tersumbat terutama pada saat pagi hari. Pasien sering

mengalami kejadian ini berulang-ulang kali dalam 1 tahun terakhir. Hidung kadang

terasa sakit, bersin-bersin, kepala pusing dan mata menjadi berair.

Riwayat penyakit dahulu

Ketika kecil, pasien pernah alergi terhadap debu dan kulit menjadi merah-

merah dan gatal.

Riwayat keluarga

Ayah pasien menderita asma.

Riwayat pengobatan

Pasien berobat ke dokter umum, minum obat namun tidak sembuh juga.

2.3 Pemeriksaan Fisik

• KU : Sakit ringan

• Kesadaran : Compos mentis

• Tanda Vital

- Nadi : 84 x/menit

- Pernapasan : 20 x/menit

- Suhu : afebris

- TD : 110 / 70 mmHg

Status Generalis

• Kepala

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik .

Hidung : status lokalis

Telinga : status lokalis

Mulut : status lokalis

Leher : status lokalis

Toraks :

Pulmo : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/-

COR : S1 - S2 murni reguler, murmur -, Gallop -

Ekstremitas

Atas : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

Bawah : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

Status Lokalis THT

Auricula Dextra Sinistra :

▫ MAE : Tenang, Sekret -/-

▫ MT : Intak +/+, hiperemis -/-, Reflek Cahaya +/+

▫ Nyeri tekan tragus : Negatif

Kavum Nasi

▫ Mukosa : Hiperemis, sekret +/-

▫ Konkha : hipertropi +/+

▫ Septum Nasi : Lurus

▫ Massa : - / -

Nasofaring / Orofaring

▫ Mukosa : tenang, granul (-), post nasal drip (-)

▫ Tonsil : T I – T I , kripte lebar -/-, dedritus -/-, perlengketan

-/-

▫ Gigi : dalam batas normal

Maksilo Fasial : Simetris, tidak terdapat parese N. kranialis

Leher

▫ Pembesaran KGB submental -/-, submandibula -/-, rantai juguler -/-,

supraklavikula -/-

Pemeriksaan Transluminasi : Sinus Maksilaris kiri terlihat lebih gelap dibandingkan sinus

maksilaris dextra.

Usulan Pemeriksaan Penunjang :

▫ Hitung eusinofil

▫ Prick test

Diagnosa Kerja

▫ Rhinosinusitis kronis

Penatalaksanaan

Non farmakologis

• Hindari alergen

• Olah raga

• Mandi dengan air hangat

• Menggunakan masker

Farmakologis

• Antibiotik

• Antihistamin

• Denkongestan

• Kortikosteroid

• Imunomodulator

Prognosis

Quo Ad Vitam : bonam

Quo Ad Functionam : bonam

Quo Ad Sanantionam : bonam

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa

hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami

peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial

masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi

saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi

kelompok akut, subakut dan kronik.2

Rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita

sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor

ditambah 2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006;

Setiadi M, 2009). Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal

drip, gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham,

nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto, 2006;

Setiadi M, 2009).

Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis

maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai

beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal

disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000). Sinusitis yang paling sering

ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis

sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait

termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist,

dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis

rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan

rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi

kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada,

maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip nasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan

sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4

minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan

rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.3

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu

maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus

disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut

pansinusitis.8

2.2 Anatomi Sinus Paranasalis

2.2.1. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore yang telah ada saat lahir. Saat lahir

sinus bervolume 6-8 ml kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai

ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di

maksila pada pipi yang berbentuk segitiga terbalik. Dinding anterior sinus adalah

permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah

permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral

rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya

adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada disebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis

yang terbesar. Letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari

sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Dasar dari anatomi sinus maksila

sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1, P2, M1, M2 dan M3,

kadang-kadang juga gigi caninus bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke

dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. Ostium

sinus maksila terletak di meatus medius disekitar hiatus semilunaris yang sempit

sehingga mudah tersumbat.3

2.2.2. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai

sarang tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid dan terletak

diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus

maksilaris bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior

ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5

ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi

sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior

yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut

resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.

Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis

frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid.3

Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina

papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya

pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.9

2.2.3. Sinus Frontalis

Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi

di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan

dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada usia 8

tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya

berada dekat garis tengah tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior

sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara

ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus

frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus.9

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut

dengan tulang kompakta dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal

mudah menjalar ke daerah ini.8

2.2.4. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid

posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis dimulai

pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak di garis

tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat

sinus berkembang pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan

menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada

dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis di

medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk oleh os

sfenoidales. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri karotis interna,

nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus sfenoidalis dapat

mengganggu struktur-struktur penting ini dan pasien dapat mengalami gejala-gejala

oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial dibentuk oleh septum sinus

tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari yang kanan. Superior terdapat

fosa serebri media dan kelenjar hipofisa serta sebelah inferiornya atap nasofaring

(Hilger, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus 6

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid

anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari

ethmoid

5. Sinus etmoid

posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Gambar 2.3.  Dinding lateral hidung 10

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan

sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan

rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000). Volume pertukaran

udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali

bernafas sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total

dalam sinus. Padahal mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan

kelenjar sebanyak mukosa hidung 3.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan

organ-organ yang dilindungi 3.

3. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat

tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya

akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala sehingga

teori ini dianggap tidak bermakna.3

4. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara akan tetapi ada yang berpendapat posisi sinus

dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang

efektif, padahal tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus

pada hewan tingkat rendah 3.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus 3.

6. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus

ini keluar dari meatus medius.3

2.3 Etiologi Rinosinusitis Kronis

Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-

antibiotik rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang

dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf,

hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum rinosinusitis

kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh

yang tidak bugar dan penyakit umum sistemik perlu dipertimbangkan dalam etiologi

rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan misalnya dingin,

panas, kelembapan dan kekeringan. Demikian pula polutan atmosfer termasuk asap

tembakau dapat merupakan faktor predisposisi.

Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi

sebelumnya misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis

alergika.

Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit rinosinusitis

kronis berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma.

Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus

adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis, faringitis dan

sinusitis akut.

2.3.1 Virus

Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke

sinus termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus.

Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya

rinosinusitis kronik.

2.3.2 Bakteri

Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang

menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya

berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang

terganggu maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab

rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob maupun yang aerob, proporsi

terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram negarif11. Bakteri aerob

yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians,

haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus

pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain

peptostreptococcus, corynebacterium, bacteroide, dan veillonella. Infeksi campuran

antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga terjadi. Pada kasus Rinosinusitis

kronik akut eksaserbasi bakteri penyebab yang terbanyak adalah bakteri anaerob.

Bakteri gram negatif dan bakteri aerob termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering

diisolasi pada pasien yang sudah pernah melakukan operasi sinus.

2.3.3 Fungi

Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun jarang

terjadi. Jamur penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus, Cryptococcus

neoformans, Candida, Sporothrix Schhenckii, Alternaria, Misetoma.

Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan

imunologik atau metabolik seperti diabetes.

2.3.4 Deviasi septum

Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah

banyak diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi menyebabkan penyakit sinus

kronis dengan menimbulkan obstruksi pada kompleks osteomeatal (KOM) dan

mempengaruhi pola transport mukosilier. Messerklinger seperti yang dikutip oleh

Chao3 telah mengidentifikasi perubahan pada dinding lateral hidung dan konka media

yang merangsang perubahan pada mukosa dan penurunan aerasi sinus paranasal dan

secara signifikan meningkatkan potensi penyakit sinus.2 Deviasi septum merupakan

variasi anatomi yang sering ditemukan sedangkan doubel concha merupakan variasi

anatomi yang jarang ditemukan.3

Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina

perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan

kolumela. Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada

orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah sehingga

dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Bila kejadian ini

tidak menimbulakn gangguan respirasi maka tidak dikategorikan sebagai keadaan

yang patologis. Deviasi septum dapat merupakan predisposisi obstruksi KOM yang

dapat menimbulkan komplikasi rinosinusitis kronis.

Prosesus Unsinatus (PU) bukan hanya sebuah tonjolan pada dinding lateral

kavum nasi tetapi juga mempunyai peran penting dalam ventilasi kavum nasi dan

sinus paranasal anterior dari partikel bakteri dan alergen serta mengalirkan udara

inspirasi menjauh dari sinus paranasal. Prosesus unsinatus di anterior melekat pada

aparatus lakrimalis, di inferior melekat pada konka inferior, di posterior mempunyai

batas bebas dan di superior bervariasi ke lamina papirasea, dasar tengkorak dan konka

media. Perlengketan di superior yang bervariasi ini memberikan implikasi klinis yang

berbeda.

Double concha adalah variasi anatomi dari prosesus unsinatus dimana PU

melekuk ke medial dan terus ke anterior sehingga dalam temuan endoskopi atau

tomografi komputer menyerupai konka media atau disebut double konka media.

Beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda untuk variasi anatomi PU yang

melekuk ke ke medial dan terus ke anterior ini namun istilah yang kita pakai di RS.

M. Djamil ini adalah double concha seperti yang diungkapkan oleh Stammberger.

Kaufman seperti yang dikutip oleh Stammberger mengatakan bahwa PU dapat sangat

melekuk dan membentuk lipatan ke anterior sangat jauh menyerupai pinggiran topi

sehingga memberikan kesan dua konka media atau menurut istilah Kaufman doubled

middle turbinate atau double concha. Stammberger & Wolf seperti yang dikutip oleh

Pinas mengatakan bahwa pinggir bagian atas PU yang deviasi ke anterior sehingga

berhubungan dengan meatus media tampak sebagai konka media kedua (second

middle concha).8 Deviasi PU ke medial yang menyerupai konka media ini kadang

disebut dengan istilah PU paradoks, yang lain mengatakan sebagai konka media

asesoris. Prosessus unsinatus yang membesar juga dapat memberikan gambaran

seperti konka media.

Deviasi PU dapat mengganggu fungsi mukosilier sehingga mengganggu

ventilasi dan drainase sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid. 7,9,10,12 Chao3

menemukan 1 kasus (1%) pada 100 pasien rinosinusitis kronis dengan double concha.

Dua K dkk13 menemukan 6 % kasus (3 pasien) dari 50 pasien rinosinusitis kronis.

Insiden ini sedikit lebih tinggi dari kasus yang pernah dilaporkan Bolger (2.5%) dan

Asruddin (2%) sedangkan Maru melaporkan kasus yang lebih tinggi (9.8%).

Diagnosis dari variasi anatomi ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik rinoskopi anterior, nasoendoskopi maupun tomografi komputer.

Variasi anatomi ini hendaklah diidentifiasi secara jelas sebelum melakukan tindakan

pembedahan untuk mencegah komplikasi operasi dan tatalaksana yang adekuat

sehingga mencegah timbulnya gejala sisa ataupun rekurensi penyakit.

2.4 Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung dan

pelapis sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit

rinosinusitis kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio

meatus medius akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap

infeksi traktus respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus karena

epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan

epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung sehingga hal-hal yang

terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus. Hidung akan

mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial yang

kemudian bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam

rongga-rongga sinus dan berkembangbiak didalamnya.

Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu

sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan maka akan

terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena

gangguan ventilasi maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus sehingga silia

menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga

merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006;

Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).

Menurut Sakakura (1997) patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal

dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya

mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit,

imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa,

2001).

Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik yang

merupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997). Walaupun gejala

klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal

dan maksila tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri

melainkan pada dinding lateral rongga.3

Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior

yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang

peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah

KOM seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan

gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis.3 Bila ada kelainan anatomi

seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media

maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat

gangguan yang ditimbulkannya.3

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan

akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi

mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan

infeksi inflamasi akan kembali terjadi ( Katsuhisa, 2001).

Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya

sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi

lendir sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik.3

Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.

Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau

terbentuk polip dan kista.3 Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga

hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam

rongga sinus.

Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus

kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel

mast dan limfosit kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti

histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi

kapiler. sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah

udema di submukosa .

Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan

rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik.

Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis

alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang

faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran nafas atas

oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol

dan iritasi udara sekitar.

Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan

pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus.

Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah

sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium .

Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler

submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah

didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan

vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat

dan terjadilah proses transudasi.

Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa

sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan

terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan

mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah

timbunan transudat didalam rongga sinus.12

Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia

yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk

pertumbuhan kuman.

Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai

aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan

medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.3

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak sehingga terjadi

perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan

alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan

mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila

pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna 3

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase

sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan

silia rusak dan seterusnya.3

Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang

letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga sekretnya ini menebal dan

bila ditunggangi kontaminasi bakteri maka mukosanya akan mengandung

purulen. Virus juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan

mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini

menyebabkan silianya menjadi kurang aktif dan sekret yang dihasilkan

mukosa sinus menjadi kental sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi

gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung

berulang atau terus-menerus yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis

sehingga akan terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian timbul

infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan

jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM

berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini

berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini

dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.3

Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.

Polipoid berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi dimana stroma

akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi

polipoid. Bila proses terus berlanjut mukosa yang sembab makin membesar

dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai

sehingga terjadilah polip.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di

bagian atas hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus

maksila dan sinus etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling

berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi mungkin tempat

asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80%

polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus,  konka media dan

infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di

nasofaring disebut polip koanal. Polip koanal kebanyakan berasal dari dalam

sinus maksila dan disebut juga polip antrokoanal. Menurut Stammberger polip

antrokoanal biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus

maksila. Ada juga sebagian kecil polip koanal yang berasal dari sinus etmoid

posterior atau resesus sfenoetmoid. 

Polusi,

Zat kimia

Sumbatan Alergi,

Mekanis defisiensi

imun

Sepsis residual

Hilangnya silia

Perubahan mukosa

Drenase yg tidak

memadai

Infeksi

Pengobatan yang tidak memadai

Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis

2.5 Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor

atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria

mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:

a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri

khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara

atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau

seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid

nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.

Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.13

b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip).

c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret

kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan pada

rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

e. Hyposmia atau anosmia.

f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan

gastroenteritis (sering terjadi pada anak).

Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:

a. Nyeri atau sakit kepala.

b. Demam.

c. Halitosis.

d. Kelelahan (fatigue).

e. Sakit gigi (dental pain).

f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan

komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial

sehingga terjadi penyakit sinobronkial.

g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

eustachius.4

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan

akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui

dengan pasti tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus

dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.3

Pada sinusitis yang disebabkan oleh jamur para ahli membagi sebagai

bentuk invasif dan non infasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut

fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif kronik sering terjadi

pada pasien dengan gangguan imunologik maupun metabolik seperti diabetes

melitus. Sifatnya kronik progresif yang juga bisa menginvasi sampai ke orbita atau

intra kranial tetapi gambarannya tidak sehebat yang fulminan karena perjalanan

penyakitnya lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial tetapi sekretnya kental

dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop berupa koloni

jamur.

Sinusitis jamur non invasif atau misetoma merupakan kumpulan jamur

dalam rongga sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang.

Tidak mengenai sinus maksila. Gejala krinis berupa sinusitis kronis dengan rinore

purulen, post nasal drip dan nafas bau. Kadang ada masa jamur di kavum nasi.

Pada operasi dapat ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor

dengan atau tanpa pus di dalam sinus.

2.8 Diagnosis Rinosinusitis Kronis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak

berdasarkan gambaran klinik, yaitu:

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis

Dewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda < 12

minggu

< 12

minggu

> 12

minggu

> 12

minggu

2 Jumlah episode serangan

akut, masing-masing

berlangsung minimal 10

hari

< 4 kali /

tahun

< 6 kali /

tahun

> 4 kali /

tahun

> 6 kali /

tahun

3 Jumlah episode serangan

akut, masing-masing

berlangsung minimal 10

hari

Dapat sembuh

sempurna dengan

pengobatan

medikamentosa

Tidak dapat sembuh

sempurna dengan

pengobatan

medikamentosa

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

International Conference on Sinus Disease 2004

Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of

Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah

rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor

atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.8

Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis gejala mayor skor

diberi skor 2 dan gejala minor skor 1 sehingga didapatkan skor gejala klinik

sebagai berikut; Gejala Mayor:

Nyeri sinus = skor 2

Hidung buntu = skor 2

Ingus purulen = skor 2

Post nasal drip = skor 2

Gangguan penghidu = skor 2

Sedangkan Gejala Minor:

Nyeri kepala = skor 1

Nyeri geraham = skor 1

Nyeri telinga = skor 1

Batuk = skor 1

Demam = skor 1

Halitosis = skor 1

Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;

sedang-berat (skor ≥8) dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik:

skala nominal.

Dari gambaran klinik ini barulah kita dapat menentukan langkah

diagnosis dari rinosinusitis kronis yang dibuat berdasarkan anamnesis yang

cermat dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus

paranasalis yang dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi,

rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan transiluminasi. Transiluminasi hanya

dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila

fasilitas radiologis tidak tersedia.

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin

yang dipakai adalah posisi Waters. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus

maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari

jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus

medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan

pemeriksaan CT-Scan. (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan

merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada

sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan

mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada

kasus-kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan

komplikasi, evaluasi preoperatif dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic

Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam

resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rinosinusitis karena

jamur, neoplasma dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak

tergambar baik dan harganya mahal.14

Selain score tersebut diatas juga dapat menggunakan VAS (visual

analog score) dimana setelah menggunakan VAS score dapat dilanjutkan

dengan menggunakan alur diagnostik dan terapi sesuai European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.

Keluhan rinosinusitis berdasarkan VAS score dideskripsikan

menjadi ringan, sedang hingga berat.

Ringan : VAS 0-3

Sedang : VAS > 3-7

Berat : VAS >7-10

Tidak terlalu mengganggu 10cm sangat

mengganggu

2.9 Alur diagnostik

2.9.1 Rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi

Gejala lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan

Nasoendoskopi – tidak terlihat adanya polip di meatus medius jika diperlukan

setelah pemberian dekongestan. Definisi ini menerima bahwa terdapat

spektrum dari rinosinusitis kronik termasuk perubahan polipoid pada sinus dan

atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat

pada rongga hidung untuk menghindari tumpang tindih.

melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan

primer

mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum

dilakukan penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala

tentukan tingkat keparahan gejala menggunakan VAS

2.9.2 Rhinosinusitis kronik dengan polip nasi

Gejala selama lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah / rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan

Nasoendoskopi – polip bilateral yang terlihat dari meatus medius dengan

menggunakan endoskopi

Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan

primer

Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum

dilakukan

Tingkat Keparahan Gejala

• (dinilai berdasar skor VAS) ringan/ sedang/ berat

2.9.3 Skema penatalaksanaan Rinosinusitis kronik pada anak

Diagnosis:

Gejala selama lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu

Informasi diagnostik tambahan

• pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus

dilakukan

• faktor predisposisi lain harus dipertimbangkan seperti defisiensi imun

{dapatan, innate, GERD (gastro-esophageal reflux disease)}.

Pemeriksaan

• pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus

• pemeriksaan mulut: post nasal drip

• singkirkan infeksi gigi geligi

Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi

Pencitraan (foto polos sinus paranasal tidak disarankan)

Tomografi komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:

• penyakit parah

• pasien imunokompromais

• tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial)

Pengobatan haruslah berdasarkan tingkat keparahan sakitnya

2.10 Komplikasi Rinosinusitis Kronis

Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak

ditemukannya antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis

kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah

osteomielitis dan abses subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan

kelainan paru.

Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada

tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat

berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya

ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul

fistula oroantral.

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan

dengan mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang

dikelilingi pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial

dan maksilaris di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat

meluas untuk melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal

dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis,

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Selain itu juga semua sinus mempunyai

hubungan sirkulasi di mata melalui pembuluh pterigodea serta cabang-cabang

arteri yang mempunyai nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan

berdampingan dengan vena yang menghubungkannya dengan mata. Seperti

cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus

dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika

menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus

maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang

infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang

faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis.

Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah

membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior

serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase

vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,

seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya

yang terlibat langsung adalah termasuk juga divisi oftalmikus misalnya bagian

depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis yang

berasal dari nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada

mata tetapi hanya karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat

lewatnya saraf otak ketiga (okulomotorius), keempat (troklearis), kelima

(trigeminus) dan keenam (abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat

timbul antara lain:

a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga

proptosis yang makin bertambah.

d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:

a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara etmoidalis.

b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,

selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.11 Terapi Rinosinusitis Kronis

Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan

operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret

dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya maka dapat

dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan

pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-obatan

simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau preparat kodein dan

kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa sakit

tersebut. Dekongestan misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti

fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga

dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik

dan antihistamin (Piccirillo, 2004).

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Agen Antibiotika Dosis

SINUSITIS AKUT

Lini pertama

Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3

dosis

Dewasa: 3 x 500 mg

Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 – 60 mg SMX/

kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 2 tab dewasa

Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6

jam

Dewasa: 4 x 250-500mg

Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mg

Lini kedua

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosis

Dewasa: 2 x 875 mg

Cefuroksim 2 x 500 mg

Klaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 250 mg

Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama

4 hari berikutnya.

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mg

SINUSITIS KRONIK

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosis

Dewasa: 2 x 875 mg

Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti

5mg/kg selama 4 hari berikutnya

Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x

250mg selama 4 hari

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

Tabel 2.2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004)

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short

Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu

memperbaiki drainase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis

maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal

atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali

dalam seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap

banyak sekret purulen berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal

(perubahan irreversibel), maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari

komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui perubahan mukosa masih reversibel atau tidak

dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum sinus

maksila secara langsung dengan menggunakan endoskopi.3

Bila penanganan konservatif gagal maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan

cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang

terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc sedangkan untuk sinus

etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal)

atau dari luar (ekstranasal).3

Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat

operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-

rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan

ostium sinus yang tersumbat diperlebar yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik

Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah

kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga

ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami. Dengan

demikian sinus akan kembali normal.3