37
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS Nama : An. A / A173984 Umur : 12 tahun Alamat : Langensari, Sukaraja, Sukabumi Pekerjaan : Pelajar SMP Agama : Islam Suku : Sunda Tanggal MRS : 9 – 6 – 2014 II. ANAMNESIS Keluhan Utama : Nyeri menelan, sejak 1 minggu yang lalu Anamnesa Khusus: Os mengeluh nyeri menelan dirasakan ± 1 minggu. Nyeri dirasakan bertambah saat makan dan minum. Pasien hanya dapat memakan bubur. Os juga merasakan nyeri pada bagian leher kiri sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus terutama saat menelan, membuka mulut, dan menoleh. Ibu Os mengatakan bahwa pasien mendengkur saat tidur terutama apabila posisi terlentang dan melihat 1

Laporan Kasus THT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Abses Peritonsillar dengan Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut

Citation preview

Page 1: Laporan Kasus THT

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : An. A / A173984

Umur : 12 tahun

Alamat : Langensari, Sukaraja, Sukabumi

Pekerjaan : Pelajar SMP

Agama : Islam

Suku : Sunda

Tanggal MRS : 9 – 6 – 2014

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Nyeri menelan, sejak 1 minggu yang lalu

Anamnesa Khusus :

Os mengeluh nyeri menelan dirasakan ± 1 minggu. Nyeri dirasakan bertambah saat

makan dan minum. Pasien hanya dapat memakan bubur. Os juga merasakan nyeri

pada bagian leher kiri sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus

terutama saat menelan, membuka mulut, dan menoleh. Ibu Os mengatakan bahwa

pasien mendengkur saat tidur terutama apabila posisi terlentang dan melihat leher Os

bagian kiri membengkak. Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, namun suhu

tidak diukur selama 6 hari, pasien merasakan bengkak pada leher bagian kiri semakin

membesar hingga saat ini, nyeri semakin bertambah terutama saat menoleh, hari ini

pasien tidak mengeluhkan demam.Riwayat sakit gigi disangkal.

1

Page 2: Laporan Kasus THT

Riwayat Penyakit Dahulu :

Saat kecil os pernah merasakan gejala yang seperti ini (nyeri menelan), dan

mengganjal pada daerah tenggorokan, namun sembuh setelah diberikan obat dari

puskesmas

Os juga merasakan keluhan yang sama apabila memakan mie instant.

Riwayat Pengobatan :

Os pernah berobat kepuskesmas saat kecil, dan keluhan membaik saat diberikan obat.

Riwayat Psikososial :

Os gemar mengkonsumsi mie instant saat kecil, dan saat ini gemar membeli jajanan

seblak dan makanan berlada dikantin Sekolahnya.

Riwayat Keluarga :

Keluhan yang sama pada anggota keluarga disangkal

Riwayat Alergi :

Alergi makanan, obat, dingin, dan kontak lainnya disangkal

III.PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis

Tanda – tanda vital : TD = 110/80 mmHg RR = 20x/mnt

N = 80x/mnt S = 36,2 C afebris

Antropometri : BB 45 kg TB : 150 IMT : 20 (normal)

2

Page 3: Laporan Kasus THT

STATUS GENERALIS

Kepala

- Bentuk : normocephal

Mata

- Konjungtiva tidak anemis, ikterik -/-.

Thoraks

Paru

- Inspeksi : Pergerakan dada simetris dextra-sinistra

- Palpasi : fokal fremitus dextra-sinistra sama

- Perkusi : sonor diseluruh lapang paru

- Auskultasi : VBS dextra-sinistra, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V sinistra, kuat angkat

- Perkusi : batas jantung dalam batas normal

- Auskultasi : bunyi jantung I–II, murni, regular, Murmur (-), Gallop

(-)

Abdomen

- Inspeksi : datar

- Palpasi : supel, asites (-)

- Perkusi : timpani

- Auskultasi : bising usus (+) normal

Splen

- Splenomegali (-)

Hepar

- Hepatomegali (-)

Ekstremitas

- Atas : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

- Bawah : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

3

Page 4: Laporan Kasus THT

STATUS LOKALIS THT

1. Telinga

AD AS

normotia, tanda radang (-), nyeri

tarik aurikula (-), nyeri tekan

tragus (-)

Aurikula

normotia, tanda radang (-), nyeri

tarik aurikula (-), nyeri tekan

tragus (-)

hiperemis(-), udem(-), sekret(-),

serumen(+)minimal, tanda

radang(-), massa(-)

CAE

hiperemis(-), udem(-),sekret(-),

serumen(+)minimal, tanda

radang(-), massa(-)

intak (+), tenang, reflek cahaya

(+) Membran timpani

intak (+), tenang, reflek cahaya

(+)

2. Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Rinoskopi Anterior

Mukosa Cavum nasi

Edema - -

Hiperemis - -

Sekret - -

Massa - -

Laserasi - -

Konka Inferior Eutrofi Eutrofi

4

Page 5: Laporan Kasus THT

3. NPOP

Bagian Pemeriksaan Keterangan

NPOP

Faring Mukosa

Granula

Post nasal drip

hiperemis

sulit dinilai

sulit dinilai

Tonsil Mukosa

Besar

Kripta

Detritus

Perlengketan

tenang

T3T3 hiperemis

Melebar +/+

-/-

-/-

Mulut Mukosa mulut

Lidah

Palatum molle

Gigi geligi

Uvula

tenang

bersih, basah

edema bagian sinistra

caries (-)

hiperemis, lateralisasi

kearah kanan

4. MF : Simetris

5. Leher : Nyeri tekan pada submandibular sinistra,

Pembesaran KGB Jugulo-digastrika sinistra, konsistensi lunak,

mobile, nyeri tekan, ±1cm

5

Page 6: Laporan Kasus THT

Diagnosis Kerja : Abses Peritonsilar Sinistra

Diagnosis Tambahan : Tonsilitis Kronik Eksaserbasi akut

Th/ Pemberian cairan maintenance (IVFD RL 20 tetes/menit)

Antibiotik (terfasef 2x1gr bolus iv & triconazole 3x500mg drip iv)

Analgetik (rativol 2x30mg bolus iv)

acran (2x1 ampul iv)

Follow Up

S O A PPemeriksaan

penunjang

10/6 /2014

Nyeri saat menelan

berkurang,

keluhan bengkak

dileher dan bagian

rongga mulut kiri

berkurang,

nyeri tekan pada

daerah

submandibula kiri

berkurang,

massa

submandibula

sinistra mengecil

dan nyeri berkurang

Diet Lunak

Kesadaran :

Komposmentis

Keadaan Umum :

Tampak Sakit Sedang

TD : 110/80 mmHg N :

83x/mnt RR 18x/menit

S : 35,3 C

NPOP : Tonsil T3/T3,

hiperemis, detritus -/-,

kripta melebar +/+,

Edema palatum molle

sinistra berkurang, uvula

: hiperemis, lateralisasi

kearah kanan berkurang

Leher : Tampak edema

region submandibula

sinistra, Nyeri tekan

Abses

Peritonsilar

sinistra

Tonsilitis

kronik

eksaserbasi

akut

Diet cair TKTP

IVFD RL 20 tpm

Terfasef 2x1 gr IV

Triconazole 3x500 mg

IV

Rativol 2x30 mg

Acran 2x1 ampul IV

Lab : Hb:14,5

(14-18)

Leukosit

12.200 (4000-

9000)

Trombosit :

547.000

6

Page 7: Laporan Kasus THT

submandibula sinistra,

lunak, mobile, nyeri

tekan, ±1cm

11/06/ 2014

Nyeri saat menelan

hilang,

keluhan bengkak

dileher dan bagian

rongga mulut kiri

berkurang,

nyeri tekan pada

daerah

submandibula kiri

hilang,

massa

submandibula

sinistra mengecil

dan tidak nyeri

pasien

mengungkapkan

dapat memakan nasi

sejak kemarin sore

Kesadaran :

Komposmentis

Keadaan Umum :

Tampak Sakit Ringan,

Os terlihat aktif

TD : 110/80 mmHg N :

80x/mnt RR 18x/menit

S : 36,5 C

NPOP : Tonsil T3/T3,

hiperemis - , detritus -/-,

kripta melebar +/+,

Edema palatum molle

sinistra berkurang,

Uvula : lateralisasi kea

rah kanan berkurang

Leher : tidak ada nyeri

tekan submandibula

sinistra, KGB

submandibula mengecil

½ cm dan tidak ada

nyeri tekan

Abses

Peritonsilar

sinistra

Tonsilitis

kronik

eksaserbasi

akut

Diet cair TKTP

o IVFD RL 20 tpm

o Ceftiaxone 3x1 IV

o Metronidazole 3x1 IV

o Ketrolac IV bila nyeri

o Ranitidin 2x1 IV

TINJAUAN PUSTAKA

7

Page 8: Laporan Kasus THT

PERITONSILLAR ABSES

Abses pertonsilar adalah infeksi profunda dari kepala dan leher yang paling sering

mengenai orang dewasa. Infeksi ini diawali oleh infeksi superfisial dan meluas hingga

selulitis tonsilar

Epidemiologi

Abses peritonsilar paling sering terjadi pada usia 20 – 40 tahun. Anak – anak jarang

terkena penyakit ini kecuali mengalami gangguan kekebalan tubuh, tetapi infeksi ini

dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas pada anak – anak. Infeksi ini mengenai pria dan

wanita sama banyaknya. Ada bukti yang menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau

pernah mengonsumsi beberapa jenis antibiotik untuk mengatasi tonsillitis akut dapat

menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi abses peritonsilar.

Anatomi

Dua pilar tonsil menbagi tonsil palatina menjadi dua, anterior dan posterior. Otot

glosopalatina dan faringopalatina adalah otot utama dari pilar anterior dan posterior.

Tonsil terletak tertekan diantara palatoglosal dan arkus palatofaringeal.

Selama masa embriologi, tonsil muncul dari kantung kedua faringeal yang merupakan

penonjolan dari sel endoderm. Tidak lama setelah lahir, tonsil tumbuh secara ireguler dan

mencapai ukuran dan bentuk akhirnya, tergantung dari jumlah jaringan limfoid.

8

Page 9: Laporan Kasus THT

Setiap tonsil memiliki beberapa permukaan epithelium yang tumbuh ke dalam disebut

dengan kripta tonsilar. Tonsil dikelilingi oleh kapsul, yang merupakan aponeurosis

intrafaringeal yang menutupi bagian tengah dari tonsil dan merupakan jalur pembuluh

darah dan saraf.

Abses peritonsilar muncul di antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berkembang,

dapat juga mengenai anatomi disekitarnya, termasuk otot maseter dan otot pterigoid. Jika

berat, infeksi dapat menembus sarung carotid.

Etiologi

Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic streptococcus) adalah organisme aerob

yang paling sering berhubungan dengan abses peritonsilar. Sedangkan organism anaerob

yang paling sering adalah Fusobacterium. Pada kebanyakan abses merupakan gabungan

dari organism aerob dan anaerob.

Organisme yang berhubungan dengan abses peritonsilar

Aerobic Anaerobic

Streptococcus pyogenes Fusobacterium

Staphylococcus aureus Peptostreptococcus

Haemophilus influenzae Prevotella

Neisseria species Bacteroides

Diagnosis

Informasi penting yang didapatkan selama anamnesa adalah lokasi nyeri tenggorokan,

yang dapat memperkirakan lokasi abses. Anamnesa lebih lanjut harus dilakukan jika

pasien disertai dengan demam, memiliki gangguan menelan atau memiliki kemungkinan

menelan benda asing. Selama pemeriksaan fisik, trismus ( ketidakmampuan atau kesulitan

untuk membuka mulut ) sering muncul disebabkan karena inflamasi dari ruang

faringomaksilaris dan otot pterigoid. Gambaran yang membedakan dari pemeriksaan fisik

9

Page 10: Laporan Kasus THT

adalah pergeseran inferior medial dari tonsil yang terinfeksi dengan deviasi kontralateral

dari uvula. Sebagai tambahan, kebanyak pasien memiliki muffled voice dan digambarkan

sebagai “hot potato”.

Common Symptoms and Physical Examination Findings in Patients with Peritonsillar

Abscess

Symptoms Physical examination

Progressively worsening sore throat,

often localized to one side

Fever

Dysphagia

Otalgia

Odynophagia

Erythematous, swollen tonsil with

contralateral uvular deviation

Trismus

Edema of palatine tonsils

Purulent exudate on tonsils

Drooling

Muffled, “hot potato” voice

Cervical lymphadenopathy

Differential Diagnosis of Peritonsillar Abscess

Peritonsillar cellulitis Cervical adenitis

Tonsillar abscess Dental infections

Mononucleosis Salivary gland infection

Foreign body aspiration Mastoid infection

Neoplasms (lymphoma, leukemia) Aneurysm of internal carotid artery

Pemeriksaan radiologis dapat membantu membedakan peritonsillar abscess dari diagnosis

lainnya. Ultrasonography juga dapat digunakan. Ultrasound diletakkan trancutan dengan

meletakkan transducer di atas kelenjar submandibular dan scanning seluruh area tonsillar.

Jika terdapat PTA, bentuk abses didapatkan sebagai echo-free cavity dengan batas tegas

dan irregular. Ultrasound jga dapat diletakkan intraoral dengan pasien dalam possi duduk.

Dengan menggunakan spatula lidah, Probe dapat digunakan untuk scanning tonsil dengan

echo-free area. Tetapi pada pasien dengan trismus dapat menyulitkan penggunaan

sonography intraoral.

10

Page 11: Laporan Kasus THT

Penggunaan CT scan juga dapat digunakan untuk identifikasi pembentukan abses. CT

dapat digunakan dengan kontras untuk mendapatkan gambatan yang optimal dari abses.

Area dengan low attenuation pada CT kontras sugestif untuk pembentukan abses. Indikasi

PTA menggunakan CT adalah pembengkakan difus dari jaringan lunak dengan tidak

adanya lemak dan adanya edem disekitarnya.

NEEDLE ASPIRATION

Gold standard untuk diagnosis PTA adalah dengan ditemukannya pus dari abses dengan

needle aspiration. Untuk melakukan hal ini, area tersebut harus di anestesi dengan 0.5

percent benzalkonium (Cetacaine spray) diikuti dengan 2 percent lidocaine (Xylocaine)

dengan epinephrine. Jarum spinal 18-gauge dengan spuit 10 ml digunakan untuk

mengambil material dari benjolan dengan suspek abses. Cairan yang didapat kemudian

dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan

pengoatannya.

Komplikasi dari tindakan ini adalah aspirasi dari pus dengan darah dan perdarahan. Jika

abses berlokasi di bagian distal tonsil, tusukan ke arteri carotis dapat terjadi.

Pengobatan

Pengobatan dari PTA memerlukan antibiotik dan pengangkatan materi abses. Pemilihan

antibiotik tergantung dari hasil pewarnaan gram dan kultur xairan yang didapatan dari

needle aspiration. Penicillin dulu digunakan sebagai antibiotik pilihan untuk mengobati

PTA, tetapi baru-baru ini dengan ditemukannya organisme yang memproduksi beta-

laktamase terjadi perubahan terapi. Dari hasil penelitian bahwa 500 mg clindamycin dua

kali perhari atau sefalosporin oral generasi kedua atau ketiga dapat digunakan

menggantikan penicillin.

Penelitian lain merekomendasikan penggunaan Penicillin sebagai agen lini pertama, dan

jika tidak ada respon dalam 24 jam, diberi tambahan 500 mg metronidazole dua kali

perhari.

Tiga prosedur operasi dapat digunakan untuk PTA : needle aspiration, incision and

drainage, and immediate tonsillectomy. Kebanyakan ahli menyatakan bahwa insisi dan

drainage adalah gold standard untuk pengobatan, dan immediate tonsillectomy tidak

11

Page 12: Laporan Kasus THT

dibutuhkan untuk pasien PTA. Tonsilektomi baru dilaukan 3-6 bulan setelah pasien

mengalami tonsilitin rekuren atau PTA.

DEFINISI

Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus

atau bakteri yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.

ANATOMI

a. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsil berfungsi membantu menyaring

bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam

rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil

lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinsing faring /

Gerlach’s tonsil). Tonsil palatina, yang biasanya disebut tonsil saja, terletak di dalam

fossa tonsilaris. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang

merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat

pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan

mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel

skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,

limfosit, epitel yang terlepas, bakteri,dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil

melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak

melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Tonsil mendapat perdarahan dari a. palatina minor, a. palatina asendens, cabang tonsil

a. maksila eksterna, a. faring asendens, dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak

di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis

tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut

yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan

penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada

massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.

12

Page 13: Laporan Kasus THT

b. Fossa Tonsilaris

Fossa tonsilaris dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas

lateralnya adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub

atas terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsil. Fossa ini berisi

jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila

terjadi abses.

Gambar 1. Rongga mulut beserta bagian-bagiannya

Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil

berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut

dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk

membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak

dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis.

Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis

membranosa, dan tonsillitis kronis.

1. Tonsilitis akut

a. Tonsilitis viral

13

2

Page 14: Laporan Kasus THT

Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa

nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.

Hamofilus influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi

infeksi coxchakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka kecil

pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.

Terapi

Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberika jika gejala berat.

b. Tonsilitis bakterial

Etiologi

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus β

hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus pyogenes.

Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.

Patofisiologi

Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan

epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial

bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear

sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri

yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil

dan tampak sebagai bercak kuning.

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.

Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan

terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk

membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.

Manifestasi klinik

14

Page 15: Laporan Kasus THT

Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi

demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu

menelan, nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan,

dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih

(referred pain) melalui saraf n.glosofaringius (n.IX). Pada pemeriksaan juga akan

nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,

lacuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak

dan nyeri tekan.

Komplikasi

Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,

toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.

Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,

tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang

dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

Pemeriksaan

Tes Laboratorium

Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam

tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam

reumatik, glomerulonefritis.

Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

Terapi

Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan

obat kumur yang mengandung desinfektan.

Perawatan

15

Page 16: Laporan Kasus THT

Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan

sendiri dan dengan menggunakan antibiotic. Tindakan operasi hanya dilakukan jika

sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri.

a. Perawatan sendiri

Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang

dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak

istirahat, minum minuman hangat.

b. Antibiotik

Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan dalam

proses penyembuhan. Antibiotic oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari.

c. Tindakan operasi

Tonsillectomy biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama tujuh kali

atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau lebih dalam dua

tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.

2. Tonsilitis membranosa

Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa

beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut

Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,

neutropenia maligna serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan

tuberculosis, infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta infeksi

virus morbili, pertusis, dan skarlatina.

a. Tonsilitis difteri

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi

dan anak.

Etiologi

16

Page 17: Laporan Kasus THT

Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diphteriae yaitu suatu

bakteri gram positif pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat

menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.

Patofisiologi

Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada

permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang

merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu

pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2

fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal

yang disatukan melalui ikatan disulfide.

Manifestasi klinis

Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.

Penularan melalui udara, benda atau makanan, dan uang terkontaminasai dengan

masa inkubasi 2-7 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:

1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris, nyeri

menelan, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat.

2. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih

kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu.

Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.

Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat

akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung, kelenjar limfa leher akan

membengkak menyerupai leher sapi (bull neck).

3. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada

jantung berupa miokarditis sampai decompensation cordis, mengenai saraf kranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan pada ginjal

menimbulkan albuminoria.

Diagnosis

17

Page 18: Laporan Kasus THT

Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena

penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat

langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan

seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada

media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR

(Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi

pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk

menggunakan secara luas.

Pemeriksaan

1. Tes Laboratorium

Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah membrane

semu). Medium transport yang dapat dipakai adalah agar Mac conkey atauLoffler.

2. Tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria)

Terapi

Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis

20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.

Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara

istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.

Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian :

a. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

b. Antibiotik : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu Penisilin atau Eritromisin

25 – 50 mg/KgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.

c. Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran

nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Dengan dosis 1,2

18

Page 19: Laporan Kasus THT

mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini

menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2 –

3 minggu.

d. Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik

oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.

e. Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.

Komplikasi

Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring

dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul

komplikasi ini.

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis.

Kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot faring laring

sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan.

Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal.

Pencegahan

Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan

pada diri anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak.

Selain itu juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan

carrier.

Tes kekebalan

1. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi

dengan toksoid diphtheria.

2. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap

diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).

b. Tonsillitis septic

19

Page 20: Laporan Kasus THT

Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat

dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena itu perlu adanya

pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.

c. Angina plaut vincent

Etiologi

Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C

serta kuman spirilum dan basil fusi form.

Manifestasi klinis

Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nyeri

kepala, badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di

mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.

Pemeriksaan

Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas

tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan

kelenjar submanibula membesar.

Pengobatan

Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu,

juga pemberian vitamin C dan B kompleks.

d. Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan infeksi

mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang

– kadang terdapat perdarahan diselaput lendir mulut dan faring serta pembesaran

kelenjar submandibula.

Leukimia akut

20

Page 21: Laporan Kasus THT

Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan dimukosa mulut, gusi dan

dibawah kulit sehingga timbul bercak kebiruan. Tomsil membengkak ditutupi

membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.

Angina agranulositosis

Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan

arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar

ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan digenitalia dan

saluran cerna.

Infeksi mononukleosis

Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran

semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat

pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas

yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain

adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah

domba (reaksi Paul Bunnel).

3. Tonsilitis kronis

Etiologi

Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun

terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.

Faktor predisposisi

Hygiene mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,

rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.

Patofisiologi

Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid

terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan

jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar

21

Page 22: Laporan Kasus THT

yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan

akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.

Terapi

Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur

atau obat isap.

Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum,

endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala

sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

INDIKASI TONSILEKTOMI

Indikasi absolute. Indikasi – indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolute

adalah sebagai berikut :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur

3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan

penyerta.

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)

5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan

sekitarnya.

22

Page 23: Laporan Kasus THT

Indikasi Relatif

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi

medis

c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus β hemoliticus yang

tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Kontraindikasi

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang

2. Infeksi sistemik atau kronis

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

4. Pembesaran tonsil tanpa gejala – gejala obstruksi

5. Rinitis alergika

6. Asma

7. Diskarsia darah

8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh

9. Tonus otot yang lemah

10. Sinusitis

23

Page 24: Laporan Kasus THT

Indikasi tonsilektomi yang dapat diterima pada anak – anak :

1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan

penatalaksanaan medis yang adekuat).

2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan patogenik

(keadaan karier).

3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)

4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi

mononucleosis (biasanya pada dewasa muda).

5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan

tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotic yang buruk.

6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap

penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).

7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial

dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.

8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal

persisten.

Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89

Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com.

Accessed at Juli 2007

Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta,

1986; 296, 308- 09

E, Steyer, Terrence, M.D, Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment. Available

at: www.aafp.org/afp, Accesed on Juli, 2007

Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan Orofaring dalam Adams GL, Boeis LR,

Hilger PA, (eds). BOEIS Buku ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta,1996.320, 327-37

24

Page 25: Laporan Kasus THT

Anonim. Abses Peritonsiler. Available from : www.medicastore.com Accessed at Juli

2007.

Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan

Leher. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55

Jevuska O. Abses peritonsiler. Available from:

http://oncejevuska.blogspot.com/2007/03/abses-peritonsiler.html. Accessed at Juli

2007

Putz R., Pabst R. Rongga mulut dan Cavitas Oris. Dalam : Atlas Anatomi Manusia

Sobotta. Jilid I. Edisi 21. Jakarta : EGC. 2000. 95 dan 108.

Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and

Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia.

P :1224, 1233-34

Richardson, Mark A. Pediatric Otolarynngology. : Cumming CW, et Al.

Otolaryngology Head & Neck Surgery. Mosby ear Book 4143-144

Daley BJ. Peritonsilar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at

Juli 2007

Ghorayeb, Bechara Y. MD. Picture Tonsillectomy. Available from :

www.ghorayeb.com/TonsillectomyPic.html. Accessed at Juli 2007.

Hatmansjah, Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21

Lee, K. J. MD, FACS. The Oral Cavity, Pharynx, and Esophagus. In : Essential

Otolaryngology. McGrawHill

Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of Adenotonsilla Disease. In

Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck

Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 340-7.

25

Page 26: Laporan Kasus THT

Gambar Os

26