25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek Apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti “penyimpanan”. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut apotheek, yang berarti tempat menjual atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel. Sementara, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/Menkes/SK/X/2002, tentang Perubahan atas Peraturan Menkes RI No.922/Menkes/PER/X/1993 mengenai Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentan Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian temp\at dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Secara umum, apotek mempunyai dua fungsi, yaitu memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, sekaligus sebagai tempat usaha yang menerapkan prinsip laba. Dengan kata lain, apotek merupakan perwujudan dari praktik kefarmasian yang berfungsi melayani 3

Laporan KIE - Yanie (BAB II)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Apotek dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek

Apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah

berarti “penyimpanan”. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut apotheek,

yang berarti tempat menjual atau meramu obat. Apotek juga merupakan

tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi

peritel. Sementara, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.1332/Menkes/SK/X/2002, tentang Perubahan atas

Peraturan Menkes RI No.922/Menkes/PER/X/1993 mengenai Ketentuan

dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek

adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan

kefarmasian berupa penyaluran penyaluran perbekalan farmasi kepada

masyarakat. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun

2009 tentan Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan

kefarmasian temp\at dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.

Secara umum, apotek mempunyai dua fungsi, yaitu memberikan

layanan kesehatan kepada masyarakat, sekaligus sebagai tempat usaha

yang menerapkan prinsip laba. Dengan kata lain, apotek merupakan

perwujudan dari praktik kefarmasian yang berfungsi melayani kesehatan

masyarakat sambil mengambil keuntungan secara finansial dari transaksi

kesehatan tersebut. Kedua fungsi tersebut bisa dijalankan secara

beriringan tanpa meninggalkan satu sama lain. Meskipun sesungguhnya

mencari laba, namun apotek tidak boleh mengesampingkan peran

utamanya dalam melayani kesehatan masyarakat .

1. Tugas dan Fungsi Apotek

Apotek adalah suatu tempat atau terminal distribusi obat dan

perbekalan farmasi yang dikelola oleh apoteker. Selain itu, apotek juga

menjadi tempat pengabdian profesi apoteker sesuai dengan standar dan

3

Page 2: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

4

etika kefarmasian. Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi

apotek adalah:

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker.

b. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan

sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan

kosmetika

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau

penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan

obat tradisional.

Keberadaan apotek tidak bisa dipisahkan dengan pekerjaan seorang

apoteker. Kedua-duanya saling membutuhkan dan memerlukan satu

sama lain. Dalam manajemen pengelolaan, keberadaan apoteker mutlak

diperlukan. Bahkan, dalam peraturan pemerintah pun disebutkan bahwa

apotek harus dikelola oleh seorang apoteker. Dengan kata lain, apoteker

merupakan pengelola wajib dalam sebuah apotek di mana pun berada.

2. Apoteker Pengelola Apotek

Menurut ISFI (2003), apoteker merupakan tenaga ahli yang

mempunyai kewenangan di bidang kefarmasian melalui keahlian yang

diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat kewenangan

yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya semacam otoritas

dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki

oleh tenaga kesehatan lainnya. Menurut Surat Keputusan Menteri

Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang apoteker berbunyi,

apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia

Page 3: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

5

sebagai seorang apoteker. Dengan kata lain, apoteker adalah seseorang

yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang kefarmasian, baik di

apotek, rumah sakit, industri, pendidikan dan bidang lain yang masih

berkaitan dengan bidang kefarmasian.

a. Kewajiban dan Kewenangan Apoteker

Kewenangan dan kewajiban apoteker telah diatur dalam undang-

undang dan peraturan pemerintah. Berikut adalah poin-poin kewenangan

dan kewajiban yang tercantum dalam berbagai peraturan:

1. Kewajiban Apoteker di Apotek

a) Menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi

yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin (Permenkes No.

922 tahun 1993 pasal 12 ayat 1)

b) Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian

profesinya yang dilandasi oleh kepentingan masyarakat

(Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 1)

c) Berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat

(Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 13 ayat 3)

d) Memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan obat yang

disarankan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat,

aman dan rasional atas permintaan masyarakat (Permenkes No.

992 tahun 1993 pasal 15 ayat 4)

e) Apabila apoteker menganggap bahwa terdapat kekeliruan resep

atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus

memberitahukan kepada dokter penulis resep (Permenkes No. 992

tahun 1993 pasal 16 ayat 1)

f) Menunjuk apoteker pendamping atay apoteker pengganti jika

berhalangan melaksanakan tugasnya (Kepmenkes No. 1332 tahun

2002 pasal 19)

g) Bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh

apoteker pendamping atau apoteker pengganti dalam pengelolaan

apotek (Permenkes No. 992 tahun 1993 pasal 20)

Page 4: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

6

h) Menyerahkan resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lain;

kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika; serta

berita acaranya jika menyerahkan tanggung jawab pengelolaan

kefarmasian

i) Mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku jika SIA-nya dicabut.

2. Kewenangan Apoteker

a) Berhak melakukan pekerjaan kefarmasian (Permenkes No. 922

tahun 1993)

b) Berwenang menjadi penanggung jawab pedagang besar farmasi

penyalur obat dan/atau bahan baku obat (Permenkes No. 1191

tahun 2002 pasal 7)

c) Berhak menjalankan peracikan obat (pembuatan atau penyerahan

obat-obatan untuk maksud kesehatan) (UU obat keras No. 419

tahun 1949 pasal 1)

d) Berwenang menyelenggarakan apotek di suatu tempat setelah

mendapat SIA dari menteri (Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal

1)

e) Berwenang menjadi penanggung jawab usaha industri obat

tradisional (Permenkes No. 246 tahun 1990 pasal 8)

f) Berwenang menjadi penanggung jawab pengawas mutu di industri

farmasi jadi dan bahan baku obat (SK Menkes No. 245 tahun 1990)

g) Berwenang menerima dan menyalurkan obat keras melalui

pedagang besar farmasi atau apotek (Permenkes No. 918 tahun

1993 pasal 16)

b. Peranan Apoteker

Sebagaimana diketahui, sebagai sarjana farmasi, seorang apoteker

mempunyai kewenangan dan kewajiban yang besar. Dalam

menjalankan kewajiban dan kewenangan itulah, apoteker memegang

peranan vital bagi sebuah apotek atau lembaga yang menampungnya,

Page 5: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

7

meskipun peran tersebut berbeda-beda tergantung dari posisi atau

bidang keahlian yang dikerjakannya. Menurut peraturan pemerintah

melalui keputusan Menteri Kesehatan Indonesia, setidaknya ada tiga

peranan apoteker dilihat dari posisinya, yaitu peranan apoteker sebagai

tenaga profesional, manajer dan retailer.

1. Peranan Apoteker sebagai Tenaga Profesional

Apoteker memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegiatan

pelayanan kefarmasian yang bermutu dan efisien di apotek,

berdasarkan pharmaceutical care. Adapun standar pelayanan

kefarmasian di apotek telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, terutama

pada bab III.

2. Peranan Apoteker sebagai Manajer

Apoteker juga bisa bertindak sebagai manajer. Dalam menjalankan

fungsinya sebagai manajer dalam apotek, seorang apoteker harus

mampu mengerjakan tugas-tugas manajerial, seperti merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengendalikan penggunaan

sumber daya untuk mencapai tujuan bersama. Tugas apoteker sebagai

seorang manajer didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, khususnya pada bab

II, yaitu tentang beberapa sumber daya di apotek yang perlu dikelola

oleh seorang apoteker.

3. Peranan Apoteker sebagai Retailer

Apotek merupakan salah satu tempat pengabdian profesi

kefarmasian. Selain menyediakan obat dan pelayanan kesehatan,

apotek juga menjadi salah satu badan usaha retail, yang tidak jauh

berbeda dengan badan usaha retail lainnya. Sebagai badan usaha

retail, apotek bertujuan menjual komoditinya, yaitu obat dan alat

kesehatan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan profit. Profit

memang bukanlah tujuan utama dan satu-satunya dari tugas

Page 6: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

8

keprofesian apoteker. Tetapi, tanpa profit, apotek sebagai badan usaha

retail tidak dapat bertahan.

Oleh sebab itu, segala usaha untuk meningkatkan profit perlu

dilaksanakan, di antaranya mencapai kepuasan pelanggan. Pelanggan

merupakan sumber profit. Sebagai seorang retailer, seorang apoteker

berkewajiban mengidentifikasi barang-barang yang menjadi kebutuhan

pelanggan, menstimulasi kebutuhan pelanggan agar menjadi

permintaan, dan memenuhi permintaan tersebut sesuai atau bahkan

melebihi harapan pelanggan.

B. Penggolongan Obat

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, obat

di bagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

1. Obat Bebas

Gambar 1. Penandaan Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter

(disebut obat OTC = Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan obat

bebas terbatas. Ini merupakan tanda obat yang paling "aman". Obat

bebas, yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung,

tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam.

Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan.

Contohnya adalah sediaan-sediaan vitamin/multi vitamin

2. Obat Bebas Terbatas

Gambar 2. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Page 7: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

9

Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W) yakni obat-obatan

yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep

dokter, memakai tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat

anti mabuk (Antimo), anti flu (Antiza). Pada kemasan obat seperti ini

biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil berdasar warna

gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut :

P.No.1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pakai

P.No.2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur

P.No.3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan

P.No.4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

P.No.5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan

P.No.5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

3. Obat Keras

Gambar 3. Penandaan Obat Keras

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya)

yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan

resep dokter,memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan

tulisan huruf K didalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan

ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), obat-obatan

yang mengandung hormon obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain.

Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa

berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau

menyebabkan mematikan.

Psikotropika yaitu zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak

atau merangsang susunan saraf pusat dan mempengaruhi fungsi psikis,

menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi

(menghayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan

Page 8: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

10

dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi

(merangsang) bagi para pemakainya.

Menurut pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang

psikotropika menyatakan bahwa psikotropika yang mempunyai potensi

mengakibatkan sindrom ketergantungan sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 digolongkan menjadi :

a. Psikotropika golongan I.

Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk

terapi dan mempunyai potensi kuat sebagai penyebab sindrom

ketergantungan.

Contoh : lisergida (LCD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Metil

Amfetamin), meskalina, psilosibina, katinona.

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat sebagai penyebab

sindrom ketergantungan.

Contoh : Amfetamin, metamfetamin (sabu-sabu), metakualon,

sekobarbital, metamfetamin, fenmetrazin.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang sebagai penyebab

sindrom ketergantungan.

Contoh : fenobarbital, amobarbital, siklobarbital.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan sangat banyak digunakan untuk terapi dan/atau untuk

tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan sebagai

penyebab sindrom ketergantungan.

Page 9: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

11

Contoh : Diazepam (frisium), allobarbital, barbital, bromazepam,

klobazam, klordiazepoksida, meprobamat, nitrazepam, triazlam,

alprazolam.

4. Narkotika

Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 22 tahun 1997

dijelaskan bahwa narkotika adalah zat kimia atau bahan obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

kehilangan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan. Narkotika hanya digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu

pengetahuan.

Gambar 4. Penandaan narkotika

Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI No.

35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 6 digolongkan menjadi :

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan, contoh : tanaman Papaver somniferum

L., opium mentah, opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain

mentah, kokaina, tanaman ganja, tetrahydrocannabinol, heroin, dan

lainnya.

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

dan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh :

Page 10: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

12

alfasetilmetadol, difenoksilat, dihidromorfina, ekgonina, fentanil,

metadon, morfin, opium, pethidin, tebain, tebakon, dan lain-lain.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dala terapi dan atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

menyebabkan ketergantungan. Contoh : asetilhidrokodein,

dekstroproksifena, dihidrokodein, kodein, nikodikodina, norkodein,

propiram, dan lain-lain.

C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Saat ini pemerintah telah menyusun standar pelayanan

kefarmasian yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1027/Menkes/SK/IX/2004. Standar pelayanan ini dibentuk karena dunia

kefarmasian sebagai pelayanan kesehatan kepada masyarakat sudah

sedemikian berkembang. Kegiatan kefarmasian yang semula hanya

berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, kini berubah menjadi

pelayanan komprehensif, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

hidup dari pasien.

Oleh karena itu, sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,

maka apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,

dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.

Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi,

monitoring penggunaan obat agar mengetahui tujuan akhirnya sudah

sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Selain itu, apoteker juga

harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan

pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Karena itu,

apoteker harus menjalankan kerja kefarmasiannya sesuai standar yang

telah ditetapkan. Salah satunya adalah mampu berkomunikasi dengan

tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi dalam rangka

mendukung penggunaan obat yang rasional

Page 11: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

13

1. Pengelolaan Sumber Daya

Di dalam apotek, pengelolaan sumber daya menjadi sebuah

keharusan jika menginginkan apotek mengalami kemajuan dan

perkembangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI, sumber

daya yang penting dalam apotek adalah sebagai berikut:

a. Sumber daya manusia

Sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebuah

apotek harus dikelola oleh apoteker profesional. Dalam pengelolaan

apotek itu, seorang apoteker harus memiliki kemampuan-kemampuan

berikut:

1) Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik

2) Mengambil keputusan yang tepat

3) Mampu berkomunikasi antarprofesi

4) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner

5) Mampu mengelola SDM secara efektif

6) Selalu belajar sepanjang karir

7) Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

b. Sarana dan Prasarana

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di

apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa :

1) Apotek berlokasi di daerah yang dengan mudah dikenali oleh

masyarakat.

2) Di halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis

kata “Apotek”.

3) Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.

4) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah

dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal ini berguna

untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi

resiko kesalahan penyerahan obat.

Page 12: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

14

5) Masyarakat menerima akses langsung dari apoteker untuk memperoleh

informasi dan konseling.

6) Lingkungan apotek selalu dalam keadaan bersih. Apotek harus sbebas

dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang

konstan, terutama untuk lemari pendingin.

7) Apotek harus memiliki beberapa hal berikut :

Ruang tungu yang nyaman bagi pasien

Tempat untuk menyediakan informasi bagi pasien, termasuk

penempatan brosur/materi informasi

Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien, yang dilengkapi

dengan meja, kursi dan lemari untuk menyimpan catatan medikasi

pasien

Ruang racikan

Tempat pencucian alat dan keranjang sampah yang tersedia untuk

staf maupun pasien

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak

penyimpanan obat dan barang-barang lain yang terlindungi dari

debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan, serta diletakkan

pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

c. Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

yang dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu

perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Sementara itu,

pengeluaran obat menggunakan sistem FIFO (first in first out) dan FEFO

(first expire first out).

1) Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan

farmasi, yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit, kemampuan

masyarakat dan budaya masyarakat

Page 13: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

15

2) Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian, maka

pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku

3) Penyimpanan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan saat

melakukan penyimpanan

Dalam hal pengecualian atau darurat, di mana isi dipindahkan pada

wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus

ditulis informasi yang jelas pada wadah

Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrk

Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch, dan

tanggal kadaluarsa

Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak

dan menjamin kestabilan bahan

d. Administrasi

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, seorang

apoteker perlu melaksanakan kegiatan administrasi berikut:

1) Administrasi umum, yang meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan

narkotik, psikotropik dan dokumentasi sesuai aturan yang berlaku.

2) Administrasi pelayanan, yang meliputi pengarsipan resep, pengarsipan

catatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring

penggunaan obat.

2. Pengelolaan Pelayanan

Pelayanan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh pasien

dalam apotek. Pelayanan ini menjadi hal yang sangat penting untuk

dikelola dan ditingkatkan kinerjanya karena berhubungan dengan

kepuasan pelanggan dan berimbas pada keuntungan bagi apotek sendiri.

Berikut ini pengelolaan pelayanan yang sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan :

Page 14: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

16

a. Pelayanan Resep

1) Skrining Resep

Skrining resep yang dilakukan oleh apoteker pengelola apotek

meliputi hal-hal berikut :

a) Persyaratan administratif yang terdiri dari:

Nama, SIP dan alamat dokter

Tanggal penulisan resep

Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep

Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

Nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta

Cara pemakaian yang jelas, dan

Informasi lainnya

b) Kesesuaian farmasetik, yaitu bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,

inkompatibilitas dan cara serta lama pemberian

c) Pertimbangan klinis, misalnya adanya alergi, efek samping, interaksi,

kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat), dan sebagainya. Apabila ada

keraguan terhadap resep, hendaklah apoteker mengkonsultasikan

kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan

alternatif seperlunya, bila perlu menggunakan persetujuan setelah

pemberitahuan.

2) Penyiapan dan Penyerahan Obat

Berikut beberapahal yang perlu diperhatikan saat menyiapkan dan

menyerahkan obat:

a) Peracikan, yaitu kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,

mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan

peracikan obat, harus dibuat suatu prosedur tetap dengan

memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat, serta penulisan etiket

yang benar.

b) Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca

Page 15: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

17

c) Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dibungkus dengan

rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya

d) Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan kepada pasien, terlebih

dahulu harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara

obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai

pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien

e) Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas

dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, serta terkini.

Informais obat yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya

meliputi:

Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat digunakan dalam

sehari (pagi, siang, sore atau malam) dan kapan harus diminum

(sebelum atau sesudah makan)

Lama penggunaan obat, misalnya apakah selama keluhan masih

ada atau harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh.

Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan

pengobatan. Oleh karena itu, pasien harus mendapat penjelasan

mengenai cara penggunaan obat yang benar, terutama untuk

sediaan farmasi tertentu, seperti obat oral, tetes mata, salep mata,

tetes hidung, semprot hidung, tetes telinga, suppositoria, krim/salep

rektal dan tablet vagina

f) Konseling. Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan

farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga

dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan

terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan yang salah

terhadap sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk

penderita penyakit tertentu, seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes,

TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan

konseling secara berkelanjutan.

Page 16: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

18

b. Pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA)

OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan APA kepada

pasien. Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk

masyarakat. Obat-obat yang digolongkan ke dalam OWA merupakan

obat-obat yang diperlukan bagi penyakit yang sering diderita pasien,

antara lain obat anti-inflamasi, alergi kulit, infeksi kulit, anti alergi sistemik,

obat KB hormonal dan lain-lain.

1. Syarat diberikannya OWA

Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada

persyaratan yang harus dipenuhi dalam menyerahkan OWA ini,

diantaranya :

a) Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data

pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita

b) Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh

diberikan kepada pasien. Misalnya, hanya jenis oksitetrasiklin salep

saja yang termasuk OWA dan hanya boleh diberikan 1 tube

c) Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar, yang

mencakup indikasi, kontraindikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan,

efek samping obat yang mungkin timbul, serta tindakan yang

disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.

2. Kriteria OWA yang diberikan

Sesuai Permenkes No.919/Menkes/Per/X/1993, kriteria OWA yang

dapat diserahkan kepada pasien adalah sebagai berikut:

a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun

b) Pengobatan dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit

c) Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus

dilakukan tenaga kesehatan

d) Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang mempunyai prevalensi

tinggi di Indonesia

Page 17: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

19

e) Obat tersebut memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

c. Pelayanan Obat Generik

Obat generik adalah obat yang mengandung zat aktif sesuai nama

generiknya, misalnya parasetamol generik berarti obat yang dibuat

dengan kandungan aktif parasetamol, dipasarkan dengan nama

parasetamol, bukan nama merek yang lain. Dengan kata lain, obat generik

adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope

Indonesia dan International Nonproprietary Name (INN) untuk zat

berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik juga dapat diartikan sebagai

obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh

semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Kewajiban

menuliskan resep atau menggunakan obat generik pada fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah didasarkan pada Peraturan Menteri

Kesehatan No. 085/Menkes/Per/I/1989. Jadi, apotek harus bisa

menunjukkan obat generik apabila pasien memintanya.

d. Pelayanan Informasi Obat dan Konseling

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

922/Menkes/Per/X/1993, apoteker wajib memberikan informasi berkaitan

dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien, penggunaan

obat yang tepat, aman, dan rasional atas permintaan pasien. Dalam

memberikan informasi kepada pasien, minimal mencakup informasi obat

yang diberikan kepada pasien.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan

mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi

obat kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat,

cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta

makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Selain itu,

Page 18: Laporan KIE - Yanie (BAB II)

20

apoteker harus memberikan konseling, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya.

e. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker juga harus

memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri

(swamedikasi) untuk penyakit ringan, yaitu dengan memilihkan obat yang

sesuai. Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan

edukasi ini. Dalam hal ini, apoteker juga ikut membantu diseminasi

informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster,

penyuluhan, dan lain-lain.

f. Pelayanan Residensial (Home Care)

Sebagai care giver, seorang apoteker diharapkan dapat melakukan

pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk

kelompok usia lanjut dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis

lainnya. Untuk aktivitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa

catatan pengobatan (medication record).