LAPORAN KOLELITIASIS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KOLELITIASIS

Citation preview

ABSTRAKLatar BelakangKolelitiasis merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat, namun di Indonesia baru mendapatkan perhatian di kalangan klinis. Sementara publikasi penelitian kolelitiasis masih terbatas. Dewasa ini di beberapa rumah sakit, kolesistektomi laparoskop telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Penemuan terbaru dalam laparoskopi kolesistektomi pun semakin berkembang, salah satunya dengan dikembangkannya penggunaan laparoskop manipulator Naviot. Makalah ini bertujuan untuk membandingkan penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT dengan kolesistektomi laparoskop (konvensional). MetodeMembandingkan antara jurnal yang berjudul Laparoscopic cholecystectomy using a newly developed laparoscope manipulator for 10 patients with cholelithiasis dengan tinjauan pustaka yang terkait dengan penanganan Cholelithiasis dengan laparoskopi.Hasil

Terdapat perbedaan yang tidak begitu signifikan antara kolesistektomi laparoskopi konvensional dengan system laparoscope manipulator NAVIOT. Dilihat dari waktu operasi, naviot membutuhkan 89,3 + 27,1 menit, sedikit lebih lama dibandingkan dengan kolesistektomi laparoskop konvensional yang berkisar 74,8 + 28,1 menit. Perkiraan hilangnya darah antara system naviot (7,1 + 13,5 gr) dan kolesistektomi laparoskop konvensional berkisar (15,1 + 52,4 gr). Namun, System laparoscope manipulator NAVIOT memungkinkan berjalannya solo-surgery sementara kolesistektomi laparoskop konvensional masih membutuhkan kerja berkelompok.

KesimpulanLiteratur kepustakaan yang menjelaskan tentang System Naviot sebagai suatu penanganan terhadap kolelitiasis belum ditemukan. Sedangkan pada literature yang didapat di internet terdapat beberapa artikel yang menjelaskan tentang System Naviot. Berdasarkan perbandingan antara hasil penelitian dalam jurnal tersebut dengan telaah lebih lanjut dalam tinjauan pustaka yang terkait, dapat disimpulkan bahwa penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT lebih praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan laparostomi konvensional walaupun perbedaan yang ada tidak begitu signifikan.

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu biasanya asimtomatis dan menyerang 10 20 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen (Morgan GE, 2006). Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu empedu (Sdrales, 2001).Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi (Zollinger, 2003). Karena teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan, bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun rawat jalan. Walaupun prosedur laparoskopi memiliki keuntungan untuk pasien, namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi (Cole, 2004). Di beberapa rumah sakit di Indonesia, kolesistektomi laparoskop telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan kandung empedu simtomatik. Dalam kurun waktu empat tahun (1991-1994) bedah laparoskopi telah dikerjakan pada 2687 pasien di empat senter di Indonesia dan kolesistektomi laparoskopi merupakan indikasi tersering dengan total sebanyak 2201 kasus.Penemuan terbaru dalam laparoskopi kolesistektomi semakin berkembang, salah satunya dengan dikembangkannya penggunaan laparoskop manipulator Naviot. Oleh karena itu, adanya perbandingan penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT dengan kolesistektomi laparoskop (konvensional) dianggap perlu guna perkembangan ilmu.

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah yang didapat adalah apakah penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT lebih baik dibandingkan dengan kolelitiasis laparoskopi yang sudah lazim dilakukan saat ini.

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Intruksional Umum ( TIU )Setelah menyelesaikan journal reading ini, para mahasiswa diharapkan dapat memahami, menjelaskan serta mengaplikasikan tentang definisi, indikasi, cara penggunaan dan komplikasi dari penanganan kolelitiasis dengan menggunakan kolelitiasis laparoskopi baik yang konvensional maupun penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT.1.3.2 Tujuan Instruksional Khusus ( TIK )Setelah selesai mempelajari modul ini, para mahasiswa diharapkan dapat :1. Mengetahui definisi dari kolesistektomi laparoskopi 2. Mengetahui indikasi dari kolesistektomi laparoskopi3. Mengetahui prosedur penggunaan dari kolesistektomi laparoskopi 4. Mampu membandingkan antara penggunaan system laparoscope manipulator NAVIOT dengan kolesistektomi laparoskopi konvensional.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Kolelitiasis sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu ( Schwartz,2000). Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain (Sjamsuhidajat R, 2005) : 1. Kolesistektomi terbukaOperasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.2. Kolesistektomi laparaskopiIndikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi 3. Disolusi medisMasalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.4. Disolusi kontakMeskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.6. KolesistotomiKolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.2.1 Definisi Kolesistektomi laparoskopiKolesistektomi laparoskopi adalah teknik pembedahan invasive minimal di dalam ronggga abdomen dengan menggunakan pneumoperitonium, system endokamera dan intrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung empedunya (Laurentius.A. Lesmana, 2006). Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS CedarSinai California AS mengadakanlive demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyahdari RS Cipto Mangunkusumomelakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997,Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberaparumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.2.2 Indikasi dan Kontraindikasi KolesistektomiIndikasi laparoskopi kolesistektomi sama dengan indikasi open kolesistektomi (Zollinger, 2003). Indikasi kolestektomi elektif konvensional maupun laparoskopik adalah (Sjamsuhidajat R, 2005) : Kolelitiasis asimtomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi berat Indikasi lain kandung empedu tidak terlihat pada kolesistografi oral yang menandakan stadium lanjut Kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2cm Kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan karsinoma Kontra indikasi pada Laparoskopi kolesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar. (Zollinger, 2003).2.3 Lamanya dan Banyaknya Perdarahan Pada Kolesistektomi laparoskopiPada Kolesistektomi laparoskop konvensional waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan yang berkisar 1-2 jam dan banyaknya perdarahan yang didapat pada kolesistektomi laparoskopi sekitar 3-5 cc. (Zoolinger, 2003)

2.4 Prosedur penggunaan dari kolesistektomi laparoskopi 2.4.1 Laparoskopi Kolesistektomi

Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna (Errawan, 2008).Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai mata dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja (Errawan, 2008).Pembedahan dilakukan tanpa melihat atau menyentuh langsung organ bersangkutan, tetapi bekerja melalui monitor video dengan kondisi dua dimensi. Kehilangan persepsi kedalaman, dan gerakan paradoksal pada manipulasi dan diseksi, memerlukan pelatihan khusus untuk memperoleh kemampuan dan ketrampilan melakukan bedah invasive minimal. (Wim de Jong, 2004)Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien (Errawan, 2008).Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk dilihat oleh semua operator karena menggunakan berbagai peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen dan laju gas (Zollinger, 2003). 2.4 Kelebihan laparoskopi kolesistektomi Kolesistektomi laparoskopi lebih memperlihatkan keungulannya dibandingkan dengan teknik bedah konvensional. Rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek, dan luka parut yang sangat minimal. Selain itu dari segi kosmetik, luka parut yang kecil yang akan tersembunyi di daerah umbilicus sehingga dianggap sebagai bedah yang lebih bersahabat (Laurentius A. Lesmana, 2006).

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 System Laparoscope Manipulator NAVIOTSystem laparoscope manipulator NAVIOT adalah robot laparoskop manipulator yang terdiri dari sebuah laparoskop khusus dengan sebuah optikal zoom, lengan fleksibel, sebuah actuator, sebuah system 5 buah tiang yang saling berkaitan dalam satu mekanisme dan sebuah pengendali tangan dengan menggunakan dua tombol. Lengan fleksibel mempunyai tiga sendi dan penggerak yang terdiri atas sebuah motor yang memungkinkan lengan untuk bergerak. Lima buah tiang yang bersambungan terhubung dengan penggerak dan lengan. Laparoskop khusus (hanya sepanjang 15cm) dan separuh laparoskop konvensional (dengan lensa optikal zoom) yang digerakkan dengan lengan. Daerah pergerakan adalah 450 arah horizontal dan 250 arah vertical. Zoom dapat bergerak 6 kali. Tangan pengendali terdiri dari dua tombol (satu untuk menggerakkan dan yang lainnya untuk mendekatkan) tersambung ke bagian forsep laparoskopik. Dengan menekan tombol-tombol ini, operator dapat mengendalikan kedekatan lensa dan menggerakkan laparoskop ke delapan arah. System baru ini memungkinkan operator untuk menggerakkan lapangan pandang lebih cepat ke tempat-tempat yang indin diamati. Tanda arah pergerakan dan kedekatan lensa dapat direkam dalam video. Dengan demikian operator dapat selalu mengidentifikasi pergerakan laparoskop.(K. Tanoue, 2005)Pembedahan dengan noviot mirip dengan laparoskop kolesistektomi konvensional. Pertama-tama, penggerak dan lima batang kisi diletakkan di sisi kanan pasien. Dilakukan insisi sekitar 12 cm diatas umbilicus. Laparoskop dimasukkan melalui trokar kedalam daerah yang diinsisi. Lalu laparoskop dihubungkan ke flexible arm. Dengan trocar 5mm pada garis tengah atas tangan kanan operator dan trokar 2 mm pada kuadran atas tangan kiri asisten operator. Kntrol noviat yang telah diletakkan pada forsep 2mm dekat pada pegangan tangan kanan operator dan operator mengontrol atau mengarahkan laparoskop dengan menekan tombol dengan jari tangan kiri. Prosedur operasi selanjutnya seperti menjepit artey dan duktus dan memisahkan kandung empedu sama dengan prosedur dalam operasi laparoskop konvensional.

Dalam jurnal dengan judul Laparoscopic cholecystectomy using a newly developed laparoscope manipulator for 10 patients with cholelithiasis dilakukan sebuah penelitian pada 10 pasien dengan kolelitiasis yang menjalani laparoskopi dengan Naviot system dan 41 pasien yang menjalani kolesistektomi laparoskopi konvensional dengan kamera holder (human camera group). Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan penggunaan klinis system naviot pada kolesistektomi dan membandingkan penggunaan system naviot dan laparoskopi konvensional. Hasil dari penelitian ini meyakini bahwa penggunaan system terbaru ini sangat mungkin dalam penggunaan klinik dan dapat digunakan secara solo oleh ahli bedah dengan bantuan video.

BAB IVHASILTerdapat perbedaan yang tidak begitu signifikan antara kolesistektomi laparoskopi konvensional dengan system laparoscope manipulator NAVIOT. Dilihat dari waktu operasi, naviot membutuhkan 89,3 + 27,1 menit, sedikit lebih lama dibandingkan dengan kolesistektomi laparoskop konvensional yang berkisar 74,8 + 28,1 menit. Perkiraan hilangnya darah antara dalam system naviot (7,1 + 13,5 gr) dan kolesistektomi laparoskop konvensional berkisar (15,1 + 52,4 gr). Namun, System laparoscope manipulator NAVIOT memungkinkan berjalannya solo-surgery sementara kolesistektomi laparoskop konvensional masih membutuhkan kerja berkelompok.

BAB VKESIMPULANLiteratur kepustakaan yang menjelaskan tentang System Naviot sebagai suatu penanganan terhadap kolelitiasis belum ditemukan. Sedangkan pada literature yang didapat di internet sudah ada yang menjelaskan.Berdasarkan dari penelitian pada jurnal Laparoscopic cholecystectomy using a newly developed laparoscope manipulator for 10 patients with cholelithiasis dan peninjauan ulang terhadap beberapa kepustakaan dapat disimpulkan bahwa penggunaan laparostomi konvensional tidak berbeda jauh dengan system naviot. Dari segi waktu system naviot sedikit lebih lama dan dibandingkan system konvensional. Jumlah perdarahan yang dapat dimimalisir pun tidak begitu berbeda dengan tekhnik konvensional. Hal yang paling menguntungkan dari system naviot adalah system pengoperasian yang tidak membutuhkan banyak ahli dan asisten.

DAFTAR PUSTAKACole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Mosby. 2004Errawan, Laparoscopyc surgery, from : http://www.mediaonline.com/Laparoscopyc surgery.asp K. Tonue, Laparoscopic cholecystectomy using a newly developed laparoscope manipulator for patients with cholelithiasis. From: http://www.proquest.umi.com/pqdwebLaparoskopi Cikal Bakal Bedah Masa Depan, from : http://www.kompas.com/LaparoskopiCikalBakalBedahMasaDepan.aspMorgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York. 2006.Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464. Sdrales, Loraine M., Miller, R D., Anesteshia Review: A Study Guide to Anesthesia, fifth edition and basic of anesthesia forth edition. Churchill Livingstone, USA. 2001Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.Sudoyo., Aru W.Ilmu Penyakit Bedah. Departement Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Jakarta.Yoshino, Ichiro, Interactive Cardio Vascular and Thoracic Surgery, from : http://www.icvts.ctsnetjournals.org Zollinger, Robert M., Zollingers Atlas of Surgical Operations 8th edition, international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2003

1