44
LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK Disusun oleh : Kelompok : I D3 MUP Antonio Ginting 23010211060008 Raissa Anugrah Puteri 23010213060001 Maria Angeline 23010213060003 M. Ryan Yanuariandi 23010213060036

Laporan mkt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gghj

Citation preview

BAB I

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK

Disusun oleh :Kelompok : ID3 MUP

Antonio Ginting

23010211060008

Raissa Anugrah Puteri

23010213060001

Maria Angeline

23010213060003

M. Ryan Yanuariandi

23010213060036JURUSAN D-3 PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2014BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan kesehatan pada ternak ruminansia dapat dilakukan dari hal yang paling mudah dilakukan seperti mengamati tingkah laku ternak.tingkah laku ternak adalah gerak-gerik fisik secara umum yang dilakukan oleh ternak dalam kondisi normal tanpa dipengaruhi oleh suatu sebab. Kelainan dari tingkah laku ternak yang nampak bisa mencerminkan kondisi tidak sehat dari ternak tersebut. Langkah pemeriksaan kesehatan ternak secara cermat dan mendalam dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk melakukan pemeriksaan diperlukan sampel atau spesimen yang benar. Sample yang dipakai dapat berupa sample darah, sample feses, dll.

Pemeriksaan kesehatan ternak juga dapat dilakukan dengan cara nekropsi. Nekropsi merupakan pemeriksaan kondisi jaringan tubuh ternak baik di permukaan tubuh maupun di dalam tubuh yang dilakukan dengan cara membedah, membuka rongga tubuh. Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan terutama pada ternak unggas karena perubahan tersebut kadang bersifat spesifik untuk penyakit tertentu pada unggas. Pengetahuan mengenai kesehatan ayam sangat penting diketahui dalam suatu ruang lingkup kerja di industri peternakan. Tujuan dari praktikum manajemen kesehatan ternak adalah agar mahasiswa mengerti bagaimana cara memeriksa status kesehatan ternak. Manfaat dari praktikum manajemen kesehatan ternak adalah untuk mengetahui status kondisi kesehatan pada ternak, baik ruminansia maupun non ruminansia dengan menggunakan metode anamnesa dan nekropsi. BAB II

MATERI DAN METODEPraktikum Manajemen Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia dilaksanakan pada hari minggu tanggal 24 Mei 2014 pukul 16.00-17.30 WIB di Peternakan Kambing Pak Hari di jalan mulawarman dalam selatan 1 nomor 113 Semarang, materi Pemeriksaan Mikroskopis Feses pada hari Sabtu tanggal 29 Mei 2014 pukul 07.00 - 09.00 WIB dan materi Pemeriksaan Kesehatan Unggas pada hari Sabtu tanggal 7 Juni 2014 pukul 09.00-11.00 WIB di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

2.1. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah stetoskop berfungsi untuk memeriksa gerak paru-paru, jantung, rumen dan usus. Termometer berfungsi untuk memeriksa suhu tubuh, dan stopwatch untuk menghitung waktu yang dibutuhkan dalam pemeriksaan, plastik yang digunakan untuk alas dalam mengamati organ dalam, pisau untuk mematikan atau membunuh ayam, sarung tangan, spuit 3 cc, tabung reaksi untuk menampung darah ayam.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah ternak domba sebagai ternak yang akan diperiksa kesehatannya, feses kambing induk dan anakan, NaCl sebagai pelarut gula jenuh, preparat awetan, ayam broiler (pedaging).

2.2. Metode

2.2.1. AnamnesaMetode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode anamnesa yaitu menanyakan riwayat hidup peternak dan ternaknya. Menanyakan kondisi ternak kepada peternak yang merawat ternak tersebut yang berisi semua aspek tentang kesehatan ternak. Mengamati tingkah laku ternak secara kasat mata atau mata telanjang, mengamati aktifitas gerak ternak, mengamati pergerakan dari anggota tubuh ternak, dan posisi berdirinya, mengamati kondisi permukaan tubuh, lubang-lubang tubuh seperti mulut, hidung, mata, telinga, anus. Memeriksa fisik tubuh ternak, seperti kondisi bulu, memeriksa kondisi fisiologis ternak seperti temperatur tubuh, kecepatan pernafasan, kecepatan pembuluh nadi, detak jantung, kontraksi usus, kontraksi rumen. Kemudian membuat kesimpulan sementara atas status kondisi kesehatan ternak.

2.2.2. Pemeriksaan mikroskopis feses 2.2.2.1. Metode Natif, langkah-langkah metode natif adalah mengambil sedikti tinja dan diletakkan di atas obyek glass, kemudian ditetesi air dan diratakan dengan kaca penutup. Langkah berikutnya mengamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 dan menggambar telur cacing yang diamati.2.2.2.2. Metode Sentrifuse, langkah-langkah metode sentrifuse adalah mengambil sedikit tinja dalam mortir dan menambahkan sedikit air, kemudian mengaduk sampai larut merata. Menuangkan ke dalam tabung centrifuse sampai tabung lalu memutar dengan alat centrifuse selama 5 menit. Kemudian membuang cairan jernih di atas endapan. Menuang NaCl jenuh di atas endapan sampai tabung dan mengaduk hingga tercampur merata. Memutar lagi dengan alat centrifuse selama 5 menit lalu meletakkan tabung diatas rak, posisi tegak lurus. Meneteskan NaCl jenuh di atas cairan dalam tabung, sampai penuh meluber dan dibiarkan selama 3 menit. Selanjutnya menempelkan obyek glass pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat obyek glass dibalik. Menutup obyek glass yang ditempeli cairan dengan kaca penutup lalu memeriksa di bawah mikroskop, dengan perbesaran 10 x 10.

2.2.3.Pengamatan preparat parasit

Langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan preparat parasit adalah dengan mengamati preparat awetan endoparasit dan ektoparasit yang telah disediakan kemudian gambar pada kertas yang telah disediakan bersama dengan ciri-cirinya.2.2.4. Pemeriksaan kesehatan ayam Pemeriksaan kesehatan ayam dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap unggas sebelum dilakukan pembedahan, pengamatan meliputi tingkah laku dari unggas tersebut, perubahan anatomi baik pada bagian kepala, tubuh, kaki dan kulit.Kemudian lakukan pengambilan darah ayam dapat melalui Vena Bracialis (Vena yang berada di bagian sayap dalam) atau vena jugularis dengan menggunakan spuit 3 cc, kemudian darah dimasukkan dalam tabung gelas secara hati-hati (darah dialirkan lambat melalui dinding tabung). Tabung penampung tanpa antikoagulan, biarkan selama setengah jam, amati perubahannya.Setelah itu lakukan nekropsi pada ayam yang diduga sakit dengan cara menyembelih ayam terlebih dahulu dengan cara memotong pembuluh darah arteri maupun vena jugularis, basahi bulu unggas terutama di bagian dada dan perut. Ayam yang sudah mati diletakkan di atas alas plastik dengan posisi punggung diatas, paksakan menekan kedua paha kearah bawah agar lebih leluasa dalam melakukan nekropsi, amati organ-organ dalam ayam dengan seksama dan teliti, setelah itu melihat kondisi organ apakah terdapat kelainan atau tidak dengan melihat dari warna organ, ukuran, konsistensi serta uji apung.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.

Anamnesa dan Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia3.1.1.Identifikasi Peternakan

Berdasarkan hasil praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, diperoleh data

sebagai berikut :

Sumber: Data Primer praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, 2014

Ilustrasi 1. Identifikasi Peternakan

Berdasarkan hasil wawancara teknik anamnesa diperoleh data pemilik peternakan Bapak Hari merupakan seorang peternak kambing, lulusan SLTA. Beliau tinggal di jalan mulawarman dalam selatan nomor 113. Beliau mulai beternak sejak tahun 2009, dengan ilmu peternakan yang didapat secara otodidak. Saat ini beliau memiliki 7 ekor kambing, 3 ekor kambing jantan dan 4 ekor kambing betina. Bapak Hari juga masih terus belajar tentang ilmu peternakan baik dari buku, ataupun media sosial lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui penyakit yang menyerang ternak pada peternakan rakyat diantaranya adalah teknik anamnesa yang dilakukan dengan wawancara tentang kondisi dan riwayat kesehatan ternak kepada peternak yang memelihara ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ludgate (2006), yang menyatakan bahwa anamnesa merupakan suatu metode untuk mengetahui riwayat suatu penyakit dengan cara menanyakan secara langsung kepada sumbernya.

Lingkungan kandang kambing milik Bapak Hari cukup baik karena jarak kandang dengan perumahan penduduk termasuk kumuh, karena jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah si pemilik. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna,et.al (2008 ) yang menyatakan bahwa lokasi kandang sebaiknya agak jauh minimal 10 m dari rumah penduduk. Bangunan kandang kondisinya tidak memadai karena kandang hanya dibatasi oleh papan kayu sebagai dinding yang sudah rapuh, lantai becek dengan campuran feses dan dinding sudah rapuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiadi (2002) yang menyatakan bahwa lokasi kandang sebaiknya tidak becek dan lembab serta cukup sinar matahari.

3.1.2. Lingkungan Kandang

Berdasarkan hasil praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:

Sumber: Data primer praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, 2014

Ilustrasi 2. Lingkungan kandang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di peternakan Bapak Hari dapat disimpulkan bahwa lingkungan kandang untuk pemeliharaan ternak cocok untuk ternak kambing, keadaan disekeliling kandang yang dipenuhi oleh tanam-tanaman membuat kandang tidak panas. Lingkungan kandang yang bersih dikarenakan pada kandang ternak terdapat panggung dan kotoran ternak jatuh ke lantai bawah panggung, sehingga keadaan kandang menjadi bersih dan membuat ternak nyaman serta terhindar dari penyakit.

3.1.3. Bangunan Kandang

Berdasarkan hasil praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:

Sumber: Data primer praktikum Manajemen Kesehatan Ternak, 2014

Ilustrasi 3. Bangunan Kandang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa bangunan kandang sangat sederhana dan boleh dikatakan sudah tidak layak lagi. Bangunan kandang ternak memberikan pengaruh pada kesehatan ternak. Bangunan kandang harus sesuai dengan ternaknya serta kondisinya tidak membuat ternak stress. Bangunan kandang yang memenuhi syarat akan membuat ternak lebih leluasa dan merasa nyaman.

3.1.4. Pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia

Bapak Hari dalam mengidentifikasi penyakit pada ternaknya dengan cara ada atau tidaknya penurunan nafsu makan serta melihat mata, mulut, anus serta permukaan kulitnya. Penyakit yang biasa menyerang ternak Bapak Hari adalah penyakit kulit dan diare yang diakibatkan oleh gangguan dalam sistem pencernaannya. Hal ini sesuai pendapat Subronto (2003) bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor mekanis, termis, nutrisi, pengaruh zat kimia, keturunan, dan sebagainya.

Kondisi kambing milik pak Hari sehat. Perawakan termasuk sedang, berdiri dengan tegap, nafsu makan baik, pandangan mata tajam dan bening, bulunya keriting, aktif dan lincah menggerakkan ekor dan mengusir lalat di sekitar kepalanya, gerakan pernafasannya juga teratur dengan kecepatan pulsus 82 kali/menit. Dengan temperature 35,8oC Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2006) yang menyatakan bahwa kambing yang sehat akan menamkan gerakan yang aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Kondisi tubuh kambing yang seimbang adalah tidak terlalu gemuk atau kurus, langkah kakinya mantap dan teratur. Sewaktu berdiri kambing dalam keadaan seimbang dan bertumpu pada keempat kakinya. Ekornya selalu aktif mengibas untuk mengusir lalat. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sugeng (2006) bahwa ciri ternak sehat adalah ekornya selalu aktif mengibas untuk mengusir lalat. Kulit dan bulu halus dan mengkilap.

Pakan yang diberikan berupa hijauan yang didapat di sekitar kandang kambing. Waktu pemberian pakan oleh peternak terhadap ternak hanya satu kali Hal ini sesuai dengan pendapat Sitepoe (2008) yang menyatakan bahwa pakan yang dapat diberikan kepada ternak dapat berupa hijauan yang meliputi hijauan segar atau kering dan juga konsentrat.

3.2.Pemeriksaan Mikroskopis Feses

3.2.1. Metode NatifSumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber : zayinfo.blogspot.comKesehatan Ternak, 2014

Ilustrasi 4. Aritellina centripunclala

Dari hasil pengamatan pada feses indukan dengan metode natif terdapat telur cacing yang berbentuk bulat dan pada bagian dalamnya terdapat lingkaran seperti cincin. Telur cacing tersebut tergolong Aritellina centripunclala. Cacing ini mengakibatkan kecernaan makanan dalam tubuh ternak berkurang karena cacing mengeluarkan zat antienzim. Hai ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2000) yang menyatakan bahwa apabila cacing genus Aritellina yang ditemukan dalam usus halus Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan menghambat jalannnya makanan. Fase hidup cacing berawal dari telur yang ada di hati ternak, yang keluar bersama feses, feses berada pada suhu lembab menetas menjadi larva dan mencari siput untuk kelangsungan siklus hidupnya, siput berada pada tempat yang lembap dan larvanya yang ada pada siput tertinggal pada tumbuhan yang digunakan untuk pakan ternak, sehingga sebagai pakan rumput harus di jemur dulu selama 4 jam Hadi dan Saviana (2000).

3.2.1.Metode Sentrifuse

Pada metode sentrifuse tidak ditemukan telur cacing hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya pemberian obat cacing yang teratur terhadap ternak . Hal ini sesuai dengan pendapat Beriayajaya dan Stevenson (1985) yang menyatakan bahwa pemakaian obat cacing dapat mencegah ternak terserang parasit cacing terutama pada domba dan kambing yang masih muda yang dimiliki oleh petani didesa, dimana sistem pemeliharaannya dilakukan secara tradisional yaitu dengan cara digembalakan. Menurut Waller dan Prichard (1986) ternak yang dipelihara dengan cara digembalakan umumnya terserang parasit cacing dan infeksi ini terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun.

3.3.Pengamatan Preparat Parasit

Parasit adalah hewan yang hidupnya menempel pada hewan lain sehingga dapat merugikan hewan yang ditempeli (hospes). Sugeng (2000) menyatakan bahwa Kelompok parasit adalah semua jasad yang hidup di dalam atau di luar individu lain atau yang disebut sebagai induk semang. Akoso (1996) menambahkan bahwa Parasit yang hidup di luar atau di permukaan tubuh induk semang digolongkan ke dalam ektoparasit, sedangkan parasit yang hidup di dalam tubuh individu disebut endoparasit.

3.3.1.Endoparasit

Endoparasit adalah parasit yang hidupnya berada dalam tubuh induk semang.hal ini sesuai dengan pendapat Yuliarti (2011) yang menyatakan bahwa endoparasit merupakan parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam inang. Suwandi (2001) menambahkan bahwa endoparasit merupakan parasit yang hidupnya menumpang didalam tubuh inangnya sehingga merugikan inangnya.3.3.1.1. Raillitena sp, Berdasarkan pengamatan parasit Raillitena sp diperoleh hasil

sebagai berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu

Sumber :www.fotolog.com

Kesehatan Ternak, 2014.

Ilustrasi 5. Raillietina sp

Parasit Raillietina sp, biasanya menyerang unggas. Penyebarannya melalui kotoran ayam. Sesuai dengan pendapat Levine dan Norman (2001) yang menyatakan bahwa Cestodosis menyerang ayam pada semua umur dan penyebarannya melalui kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan. Gejala yang terlihat antara lain lesu, pucat, kurus dan diikuti dengan sayap yang menggantung serta kondisi yang berangsur-angsur menurun dan selanjutnya diikuti kematian akibat komplikasi. Raillietina sp, yang juga bersifat sangat pathogen dan dapat membuat liang pada dinding duodenum. Ditambahkan dengan pendapat Noble (2004) yang menyatakan bahwa Raillietina sp dapat membuat liang pada dinding duodenum sehingga membentuk nodul-nodul, serupa dengan nodul-nodul pada penyakit TBC unggas. Cara pencegahan yaitu dengan menjauhkan unggas dengan inang perantaranya.

3.3.1.2. Haemonchus, Berdasarkan hasil pengamatan pada preparat parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2014.Sumber: www.jsfp.com

Ilustrasi 6. HaemonchusHaemonchus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh yang berwarna putih, berbentuk seperti serabut dan termasuk kedalam jenis cacing lambung karena hidupnya yang berada di saluran pencernaan. Hal ini sesuai dengan Akoso et al. (1990) yang menyatakan bahwa Hemonchus spp. adalah jenis cacing kawat yang hidup di saluran pencernaan, cacing ini berwarna merah berukuran 10-20 mm (jantan) dan bergaris merah dengan ukuran 18-30 mm (betina), dan biasanya mudah terlihat saat bedah bangkai. Cacing Haemonchussering ditemukan pada ternak kambing dan domba. Dampak yang ditimbulkan yaitu penurunan protein tubuh hingga kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Lastuti et al. (2006) yang menyatakan bahwa kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan produksi, karena sifat cacing adalah penghisap darah yang mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai jumlah eritrosit dan PCV, infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah cacing jika disertai nutrisi buruk maka berakibat penurunan berat badan dan disertai penurunan protein dalam tubuh.

3.3.1.3. Prostagonimus, Berdasarkan hasil pengamatan preparat parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2014.Sumber: www.rvc.ac.uk

Ilustrasi 7. Prosthogonimus

Prostogonimus memiliki bentuk tubuh yang pipih, tipis dan bagiannya ada yang lebar di salah satu sisinya, warnanya putih kecoklatan dan termasuk kedalam kelas trematoda. Hal ini sesuai dengan pendapat Elmer dan Glen (1989) yang menyatakan bahwa telur cacing prostogonimus umumnya memiliki panjang rata-rata 87 x 50 m, dan berwarna kecoklatan. Ditambahkan oleh Levine (1994) bahwa genus prosthogonimus ini adalah cacing berukuran sedang bagian paling lebar dibagian belakang pertengahan tubuh.Siput merupakan induk semang antara bagi cacing jenis trematoda ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutrisnawati (2011) yang menyatakan bahwa infeksi cacing trematoda yang tersebar luas dan kejadiannya sangat umum tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain iklim yang tropis dan sistem irigasi yang tidak teratur sehingga siput yang berperan sebagai ISA (induk semang antara) dapat berkembang biak dengan mudah.3.3.2.Ektoparasit

Ektoparasit yaitu parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar atau bagian tubuh yang berhubungan langsung dengan dunia luar dari hospes. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang menyatakan bahwa ekstoparasit merupakan parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar atau bagian tubuh dalam yang dapat berhubungan langsung dengan dunia luar dari hospes atau inang, seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor, dan mata. Ditambahkan oleh Andini (2008) yang menyatakan ektoparasit termasuk kelas insecta yang terdiri dari empat ordo, yaitu Phthiraptera (kutu), Siphonoptera (pinjal), Hemiptera (kutu busuk), Diptera (nyamuk dan lalat), dan kelas Arachnida itu sendiri terdiri dari ordo Acariformes (tungau) dan Parasitiformers (caplak).3.3.2.1.Tabannus sp, Berdasarkan pengamatan ektoparasit Tabanus sp diperoleh hasil sebagai berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber :veterinary.comKesehatan Ternak, 2014.

Ilustrasi 8. Tabannus sp

Tabanus sp dapat ditemukan pada ternak, parasit ini mempunyai sayap dan badan yang berbulu-bulu selain itu mempunyai mulut yang dapat menghisap darah. Siklus hidup tabanus sp dimulai dari telur yang biasanya berdada pada permukaan air yang berlumpur. Telur berkembang mengeluarkan larva. Larva jatuh kedalam air masuk kedalam lumpur berkembang menjadi pupa. Pupa berkembang menjadi lalat dewasa. Menurut Noble (2004), bahwa Tabanus dapat menularkan flagelata parasit darah, Trypanosoma evansi, yang menyebabkan penyakit sura pada ternak. Siklus hidup tabanus sp berawal dari telur yang menetas menjadi larva dan pupa kemudian berkembang menjadi lalat dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (2001) yang menyatakan bahwa siklus hidup tabanus sp dimulai saat induk meletakkan telur pada kotoran hewan, bangkai serta tempat sampah, lalu telur akan berubah menjadi larva tabanus sp, fase ini kira-kira selama 2 minggu, selanjutnya larva akan berubah manjadi tabanus sp. Pencegahan dapat dimulai dengan membersihkan kandang dari genangan lumpur, karena siklus hidup awal tabanus sp berasal dari air yang mengenang dalam kandang. 3.3.2.2. Chrysomya megachepala

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2014.Sumber: www.jsfp.com

Ilustrasi 9. Chrysomya megachepala

Chrysomya megachephala termasuk jenis ekstoparasit dari Ordo Dipetra dan Family Callphoridae. Ciri-ciri parasit ini antara lain tubuh yang berwarna biru kehitaman serta mengkilap, dan mata yang berwarna coklat. Ditambahkan oleh Suraini (2011) yang menyatakan bahwa hasil pengamatan terhadap tanda-tanda morfologi Chrysomya megachepala didapatkan bahwa warna tubuh hijau metalik, torak berwarna hijau metalik kecokelatan, abdomen berwarna hijau metalik

3.4. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas (Broiler)

Berdasarkan pemeriksaan kesehatan ternak unggas broiler dari segi riwayat hidup diperoleh hasil bahwa ayam tersebut berjenis kelamin betina dengan umur 20 hari. Ayam broiler didapatkan dari peternakan teman. Kondisi umum ayam yaitu sakit,lesu, pucat dan bulu kusam yang mungkin disebabkan oleh lingkungan kandang yang kurang memenuhi syarat dan pemberian pakan yang kurang memenuhi standar nutrisi . Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan kandang yang kurang memenuhi syarat dapat menyebabkan menyebabkan ayam menjadi stres, sehingga menurunkan produksi. Ditambahkan oleh Martono dalam Wahyudi et al. (2010) yang menyatakan bahwa kualitas pakan juga mempengaruhi produktivitas ayam.

3.4.1. Sistem Saluran Pernafasan

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan Trakea diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.jsfp.comKesehatan Ternak, 2014.Ilustrasi 10. Trakea

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum nekropsi, saluran pernafasan pada ayam tersebut mengalami gangguan. Hal ini dapat dilihat pada trakea ayam tersebut terdapat bercak merah, serta paru-parunya berwarna keruh dengan konsistensi yang masih kenyal serta daya apungnya masih baik. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa ayam tersebut menderita IB (infectious Bronchitis) dan CRD. Hal ini sesuai dengan pendapat King dan Cavanagh (1991) yang menyatakan bahwa Infectious Bronchitis (IB) merupakan penyakit saluran pernafasan pada ayam yang bersifat akut dan menular. Penyakit ini Penyakit ini dapat berlangsung tanpa terdiagnosis, kecuali jika ayam dalam kandang diperiksa secara teliti atau diperiksa pada malam hari pada saat ayam tenang sehingga suara ngorok ayam sakit dapat didengar.Hal ini didukung oleh pendapat Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa salah satu ciri-ciri kelainan atau penyakit pada ternak dapat dilihat dengan kantong udaranya. Suprijatna et al., (2005) menyatakan bahwa peyakit IB biasanya diderita bersamaan dengan CRD dan NCD.3.4.2.Sistem Peredaran Darah

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan sistem peredaran darah diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data primer praktikum Ilmu

Sumber: hannayuri.wordpress.comKesehatan ternak, 2014

Ilustrasi 11. JantungBerdasarkan hasil pengamatan pada praktikum nekropsi, organ-organ dalam sistem peredaran darah seperti jantung, selaput jantungnya kotor dan warnanya pucat dengan konsistensi buruk. Hal ini berkaitan dengan saluran pernafasannya karena mengalami kesulita bernafas, sehingga jantung tidak dapat mengedarkan darah dan oksigen keseluruh tubuh dengan baik sehingga selaput jantung kotor dan konsistensi jantung terganggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa gangguan sistem pernafasan dapat berpengaruh pada saluran saluran lainnya terutama sistem peredaran darah. 3.4.3.Sistem Pencernaan

Berdasarkan hasil pengamatan sistem pencernaan unggas diperoleh hasil sebagai berikut:

Sumber: Data primer praktikum Ilmu

Sumber : probiotik-sns-pro.blogspot.comKesehatan Ternak, 2014

Ilustrasi 12. Saluran pencernaan ayamBerdasarkan hasil pengamatan nekropsi diperoleh hasil bahwa saluran pencernaan ayam agak bermasalah. Hal ini dapat dilihat dari bercak-bercak merah yang terdapat pada usus Sedangkan proventrikulusnya masih baik diindikasikan bahwa ayam ini menderita penyakit yang disebabkan oleh protozoa. Hal ini sesuai dengan pendapat suprijatna et al.,(2005) yang menyatakan bahwa penyalit yang disebabkan oleh protozoa mengakibatkan ayam kurus dan bulu kusam, mencret, pucat, lesu, dan apabila dibedah akan kelihatan bintik bintik darah di ususnya. Didukung oleh pendapat diperkuat oleh pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa abnormalitas pada saluran pencernaan ayam meliputi gangguan usus, stomatitis, nekrosis pada paruh, impaksi (pemadatan tembolok), impaksi ventrikulus.3.4.4.Sistem Syaraf dan Kekebalan Tubuh

Berdasarkan hasil pengamatan sistem syaraf dan kekebalan tubuh diperoleh hasil sebagai berikut:

Sumber: Data primer praktikum Ilmu

Sumber: pertanian.uns.ac.idKesehatan Ternak, 2014Ilustrasi 13. Sistem syaraf ayamBerdasarkan hasil pengamatan pada pemeriksaan syaraf unggas yang merupakan sistem pusat dimana pada tingkah laku ternak berpusat pada sistem syaraf tersebut terlihat yaitu ukuran normal, warna biru, dan tidak ditemukan adanya gejala penyakit pada syaraf.Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang menyatakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat tiga macam sistem syaraf yaitu sistem syaraf pusat, sistem syaraf tepi, dan sistem syaraf simpatetik. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan pada syaraf yaitu Marek. Hal ini sesuai dengan pendapat Damayanti dan Wiyono (2003) bahwa kelainan pada marek dapat digolongkan ke dalam kerusakan syaraf dan tumor limfoid (limfoma).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.KesimpulanBerdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa pada analisis kondisi peternakan kambing milik Bapak hari yaitu bangunan kandang dan sanitasi kurang memenuhi syarat. Pemeriksaan parasit dengan metode natif didapatkan telur cacing pada anakan yaitu Aritellina punclala. Pengamatan sentrifuse tidak ditemukan cacing. Parasit terbagi menajadi dua, yakni ektoparasit dan endoparasit. Pengamatan pada ayam broiler didapatkan hasil bahwa ayam mengalami beberapa penyakit yang menyerang saluran penceranaan dan pernafasannya yakni Penyakit yang disebabkan oleh protozoa dan juga penyakit yang menyerang sistem pernafasan yakni IB dan CRD , namun sistem sarafnya masih baik dan tidak terdapat gangguan.

4.2.

Saran

Hendaknya waktu yang digunakan dalam praktikum Manajemen Kesehatan Ternak lebih lama, agar dalam pengamatan bisa dhasilkan data yang akurat. Pemeriksaan parasit melalui feses dengan metode natif dan sentrifuse sebaiknya dilakukan dengan teliti dan sungguh-sungguh, karena pengamatan tersebut sangat susah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKABambang I. C. 1992. The Physiologis of Domestic Animal. A Division of Cornell University Press, Ithaca New York.

CAVANAGH, D.and S.A.NAGI. 1997. Infectious Bronchitis. Diseases of Poultry. 10thed (ed B.W. Calnek, H.J. Barnes, Charles, W. Beard, LarryR, Mc Dougald, Y.M. Saif). P. 511-526. Damayanti, R., dan A. Wibowo.2003. Gambaran Histopatologi kasus Marek pada ayam pedaging di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis.8 (4) : 247-255.

Fadillah, R, Pollana, A. 2004. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agro Media Pustaka. Tangerang. FAO. 1990.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: Koen Praseno).

Hadi, U.K. 2012. Serangga Pengganggu Kesehatan. Istitut Pertanian Bogor, Bogor.

Hermana, W., D.I. Puspitasari., K.G. Wiryawan., dan S. Suharti. 2005. Pemberian tepung daun salam (Syzgium polyanthum (Weight) Walp.) dalam ransum sebagai bahan antibakteri Escherichia coli terhadap organ dalam ayam broiler. Media Peternakan. 31 (1) : 63-70.

KING,D.J.and D.CAVANAGH. 1991. Infectious Bronchitis. Diseases of Poultry. ninth edition. (ed. B.W. Calnek, H. John Barnes, C.W. Bread, W.M. Reid, and H.W. Yoder Jr). p. 471483. Ludgate, P. J. 2006. Sukses Beternak Kambing dan Domba. Agro Inovasi, Jakarta.

Mastika, M., Suaryana, K.G., Oka, I.G.L., Sutrisna, I.B. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Murni, M.C. 2009. Mengelola Kandang dan Peralatan Ayam Pedaging. Departemen Peternakan, Cianjur.

Murtidjo, B. A. 1993. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Putratama, R. 2009. Hubungan kecacingan pada ternak di sekitar taman nasional Way Kambas dengan kemungkinan kejadian kecacingan pada Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di suaka Rhino Sumatera. Skripsi. Bogor.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Santosa, U. 1995. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sariislamia. 2011. Jenis dan Tata Cara Pemeliharaan Sapi Perah. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013.

Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sugeng, Y. B. 2000.Ternak Potong dan Kerja. Edisi I. CV. Swadaya, Jakarta.

Suprijatna, Edjeng Dr., Prof. Dr. Umiyati Atmomarsono, Prof. Dr. Ruhyat Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sutama, I K. 2009. Productive and reproductive performances of female peranakan etawah (PE) goats in Indonesia. Wartazoa 19(1): 1-6.

Sutrisnawati. 2011. Infeksi Eschinostomatidae pada siput Bellamya javanica di Kecamatan Dolo Sulawesi Tengah. 9 (2) : 57-60.

Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Wahyudi, W.A., H. Afriani., dan N. Idris. 2010. Evaluasi adopsi tekhnologi peternakan ayam Broiler di Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi. 12 (2) : 23-28.

Wahyuwardhani,S., Y.Sani., L.Parede., dan M.Poeloengan. 2000. Sindroma kekerdilan pada ayam pedaging dan gambaran patologinya. 5 (2) : 125131.