Upload
hahanh
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IV
V
Daftar isi v
Kata Pengantar vii
Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II 9 Perekonomian Sumatera
Boks 1 20 Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya
Bagian III 23 Perekonomian Jawa
Boks 2 37 Implementasi Paket Kebijakan Pemerintah di Daerah (Hasil Survei Terhadap
Pelaku Usaha di Jawa)
Bagian IV 39
Perekonomian Kalimantan
Boks 3 52
Menuju Transformasi Ekonomi Kalimantan
Bagian V 55 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 4 69
Potensi Industri Perikanan KTI
Bagian VI 71 Isu Strategis :
Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan
Kepariwisataan
Lampiran 83
alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh
perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu
mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini
dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh
terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis
yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan
Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh
Indonesia1. Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi
makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian
penting dalam proses perumusan kebijakan.
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat sebesar 5,18%, lebih
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,91%. Akselerasi
pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini terutama didorong oleh meningkatnya ekonomi
Sumatera dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah tersebut tumbuh meningkat,
kecuali Aceh. Di sisi lain, perekonomian Kalimantan dan KTI tumbuh melambat bersumber
dari melambatnya laju ekonomi beberapa provinsi seperti Kalimantan Barat, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat; serta kontraksi cukup dalam yang
terjadi di Kalimantan Timur dan Papua. Pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pada
triwulan ini terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yang tumbuh meningkat
seiring pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih banyak berada pada triwulan II,
serta didukung membaiknya daya beli masyarakat karena Tunjangan Hari Raya (THR). Selain
itu, perbaikan ekspor dan konsumsi pemerintah juga menopang pertumbuhan pada triwulan
II 2016. Namun, masih terkontraksinya pertambangan dan melambatnya industri
pengolahan menahan pertumbuhan, terutama untuk wilayah di luar Jawa.
Perkembangan terkini indikator perekonomian di berbagai daerah secara agregat
mengindikasikan potensi berlanjutnya peningkatan perekonomian di triwulan III 2016.
Perbaikan tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik investasi bangunan maupun non-
bangunan, membaiknya ekspor, serta masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Membaiknya
kinerja investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi berbagai proyek infrastruktur
pemerintah berskala besar. Investasi swasta juga membaik seiring dengan intensifnya
kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim usaha di
daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor dapat mendorong kembali peningkatan kinerja
perekonomian di berbagai daerah, terutama ditopang oleh ekspor antar daerah.
Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan II 2016 (Juni 2016) secara agregat
berada pada level yang terjaga, yakni sebesar 3,45%. Realisasi inflasi pada periode
Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya dalam lima
tahun terakhir. Realisasi inflasi yang terendah pada akhir triwulan II 2016 terjadi di wilayah
Jawa (3,14%), diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur Indonesia (3,94%), dan Kalimantan
(4,87%). Terjaganya inflasi di sepanjang triwulan II 2016 dipengaruhi oleh masa panen padi
yang berlangsung di sejumlah daerah sentra produksi serta minimalnya kendala distribusi di
tengah mulai meningkatnya permintaan memasuki periode Ramadhan.
1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
D
Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara agregat
perekonomian akan tumbuh lebih tinggi dibanding 2015, yakni di kisaran 4,9-5,3%; sedikit
lebih rendah dari prakiraan sebelumnya yang sebesar 5,0-5,4%. Perbaikan perekonomian
diprakirakan akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera yang didorong
oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Sementara itu, prospek
perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan tahun 2016 tetap terkendali
dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%. Perkiraan masih terbatasnya perbaikan harga
komoditas global serta harga minyak dunia berdampak pada rendahnya tekanan inflasi.
Demikian halnya dengan tekanan permintaan domestik yang diperkirakan masih tumbuh
terbatas sejalan dengan belum kuatnya ekspektasi perbaikan ekonomi dari pelaku ekonomi
domestik.
Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat
Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang
Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”. Isu tersebut diangkat dengan
latar belakang fakta output kegiatan ekonomi di sektor maritim yang masih sangat jauh dari
potensi yang dimiliki yang bahkan mengakibatkan terjadinya defisit neraca jasa di industri
pelayaran dan perkapalan akibat sejumlah kendala seperti lemahnya industri galangan kapal
dan komponen kapal, dominasi asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya SDM maritim
yang berkualitas. Walaupun Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang besar juga
dalam sektor perikanan dan pariwisata bahari, namun kedua sektor tersebut masih relatif
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, strategi kebijakan
maritim yang terintegrasi perlu dirumuskan untuk mengatasi persoalan struktural di sektor
maritim, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta
sesuai dengan prioritas Pemerintah untuk mengembangkan industri maritim.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I-IV yang masing-masing
membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir
kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi
para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu
kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 25 Agustus 2016
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
1
Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah
Perekonomian nasional pada triwulan II 2016
tumbuh meningkat dibanding triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada
triwulan laporan tercatat sebesar 5,18%, lebih
tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang
tumbuh 4,91%2
. Akselerasi pertumbuhan
ekonomi pada triwulan II 2016 terutama
didorong oleh meningkatnya ekonomi Sumatera
dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah
tersebut tumbuh meningkat, kecuali Aceh.
Sementara itu, perekonomian Kalimantan dan KTI
tumbuh melambat bersumber dari melambatnya
laju ekonomi beberapa provinsi seperti
Kalimantan Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat,
Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat, serta
kontraksi cukup dalam yang terjadi di Kalimantan
Timur dan Papua.
Meningkatnya perekonomian Jawa dari 5,31%
menjadi 5,73% pada triwulan II 2016 terutama
bersumber dari konsumsi. Meningkatnya
konsumsi terjadi baik pada konsumsi rumah
tangga maupun konsumsi pemerintah.
Pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih
banyak berada pada triwulan II, didukung
membaiknya daya beli masyarakat karena
Tunjangan Hari Raya (THR) mendorong kenaikan
konsumsi rumah tangga. Sementara konsumsi
pemerintah juga menunjukkan kenaikan seiring
meningkatnya realisasi belanja pemerintah
terutama terkait penyaluran gaji ke-13 dan ke-14.
Masuknya masa panen tanaman bahan makanan
di sejumlah daerah sentra produksi juga turut
menjadi sumber meningkatnya pertumbuhan
ekonomi Jawa. Di samping itu, perbaikan ekspor
di Jawa Timur dan Jawa Barat turut mendorong
2 Berdasarkan angka rilis BPS pada 5 Agustus 2016
kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa secara
keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera juga
meningkat terutama didorong oleh konsumsi
rumah tangga, konsumsi pemerintah dan
investasi. Realisasi pertumbuhan ekonomi
Sumatera meningkat dari 4,18% menjadi 4,49%
pada triwulan II 2016. Seperti halnya di kawasan
Jawa, pola musiman di bulan Ramadhan yang
disertai dengan perbaikan daya beli akibat gaji
ke-13 dan ke-14 memberikan tambahan daya
dorong bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera. Di
sisi lain, kenaikan investasi di Sumatera lebih
dipengaruhi oleh investasi swasta, terutama
terkait replanting CPO dan industri karet, serta
berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah
berskala besar seperti di Sumatera Selatan.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi Sumatera juga
bersumber dari meningkatnya kinerja pertanian
seiring kenaikan produksi sawit yang didukung
membaiknya permintaan dan harga yang
mendorong ekspor, serta masa panen tanaman
bahan makanan di beberapa daerah sentra
produksi. Meski demikian, meningkatnya kinerja
Sumatera tertahan oleh masih berlanjutnya
kontraksi lifting migas di Riau dan produksi gas
alam cair (LNG) di Aceh, serta terbatasnya
produksi timah di Bangka Belitung.
Sementara itu, perekonomian Kawasan Timur
Indonesia (KTI) justru tumbuh melambat. Pada
triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi berbagai
daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,91% atau
lebih rendah dibanding periode sebelumnya yang
tumbuh 6,27%. Beberapa daerah di KTI yang
tercatat tumbuh melambat antara lain Gorontalo,
Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
Provinsi Papua bahkan tercatat mengalami
kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup
dalam hingga -5,91%. Secara umum,
2
melambatnya kinerja ekonomi KTI disebabkan
oleh turunnya kinerja tambang dan industri LNG,
khususnya di Papua dan Papua Barat, yang diikuti
menurunnya kinerja ekspor luar negeri dan
terbatasnya kinerja investasi swasta. Namun,
berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah
berskala besar di sejumlah daerah, meningkatnya
aktivitas perdagangan di masa Ramadhan-
Lebaran, serta panen tanaman bahan makanan di
beberapa daerah sentra produksi dapat menahan
perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut.
Perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2016
tercatat berada pada tingkat yang cukup rendah
yakni sebesar 1,13%; melambat dibanding
triwulan lalu yang sebesar 1,44%. Melambatnya
ekonomi Kalimantan terutama karena
perekonomian Kalimantan Timur yang
terkontraksi lebih dalam dibanding triwulan
sebelumnya. Kondisi ini terutama dipengaruhi
melambatnya kinerja industri LNG, masih
berlanjutnya pertumbuhan negatif di sektor
tambang, serta terbatasnya produksi sawit.
Perkembangan kinerja lapangan usaha utama di
Kalimantan yang kurang menguntungkan
tersebut juga diikuti terbatasnya investasi swasta
dan lebih mengandalkan investasi dari proyek
infrastruktur pemerintah. Selain itu, penyerapan
belanja pemerintah cenderung terbatas seiring
rasionalisasi belanja karena menurunnya Dana
Bagi Hasil (DBH).
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2016
Perkembangan terkini indikator perekonomian
di berbagai daerah mengindikasikan potensi
berlanjutnya perbaikan perekonomian secara
agregat pada triwulan III 2016. Perbaikan
tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik
investasi bangunan maupun non-bangunan,
membaiknya ekspor, serta masih kuatnya
konsumsi rumah tangga. Membaiknya kinerja
investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi
berbagai proyek infrastruktur pemerintah
berskala besar. Investasi swasta juga membak
seiring kondusifnya perekonomian seiring
intensifnya kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim
usaha di daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor
dapat mendorong kembali peningkatan kinerja
perekonomian di berbagai daerah, terutama
ditopang oleh ekspor antar daerah. Di Sumatera,
perbaikan ekspor antar daerah terutama untuk
pemenuhan sawit domestik di tengah masih
terbatasnya permintaan ekspor luar negeri. Di
Jawa, peningkatan ekspor lebih didorong ekspor
antar daerah terutama untuk komoditas
pertanian, produk makanan-minuman, dan tekstil
seiring dengan masih kuatnya permintaan
domestik. Di Kalimantan, ekspor alumina dan
batubara ke negara mitra dagang diperkirakan
membaik. Di KTI, perbaikan ekspor ke luar negeri
3
didukung oleh selesainya masa perbaikan mesin
tambang mineral di Papua, membaiknya produksi
perikanan di Maluku, serta masih tingginya
permintaan mitra dagang terhadap produk
industri.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2016*
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)
Stabilitas Keuangan Daerah
Kinerja keuangan sektor korporasi pada triwulan
II 2016 menunjukkan adanya perbaikan meski
masih terbatas karena belum cukup kuatnya
aktivitas di sektor swasta. Hal ini tercermin dari
penyaluran kredit ke sektor korporasi yang
tumbuh sebesar 17,39% (yoy), meningkat
dibanding triwulan lalu 15,38% (yoy).
Peningkatan penyaluran kredit korporasi tertinggi
terjadi di Jawa, yakni dari 16,0% di triwulan I
2016 menjadi 18,2% pada akhir triwulan II 2016,
terutama didorong kenaikan penyaluran kredit ke
sektor perdagangan dan konstruksi. Di sisi lain,
pertumbuhan penyaluran kredit korporasi di
Kalimantan masih sangat rendah, yakni sebesar
5,04%. Meski demikian, kenaikan penyaluran
kredit tersebut juga diikuti meningkatnya risiko
non performing loans (NPL) di hampir seluruh
lapangan usaha utama di berbagai wilayah.
Di sisi lain, kinerja keuangan sektor rumah
tangga masih relatif stabil. Hal ini tercermin dari
penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang
tumbuh stabil di angka 8,3% sejak triwulan lalu.
Masih stabilnya kinerja sektor rumah tangga
didorong akselerasi pertumbuhan kredit di luar
Jawa, namun diimbangi oleh perlambatan
pertumbuhan kredit di Jawa. Kondisi tersebut
terutama dipengaruhi kredit multiguna, yang
tumbuh akseleratif di luar Jawa, namun
sebaliknya di Jawa. Stabilnya kinerja keuangan
juga didukung dengan masih terjaganya risiko
NPL yang mencapai 3,7% sejak triwulan lalu.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Aktivitas transaksi keuangan selama periode
triwulan II 2016 terindikasi meningkat terutama
terkait masuknya periode Ramadhan. Nilai
transaksi keuangan melalui sistem Real Time
Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Didorong akselerasi
investasi & perbaikan
ekspor. Scr sektoral,
didorong peningkatan
sektor utama, kecuali
Perdagangan.
Didorong akselerasi
konsumsi dan investasi.
Sektor utama diperkirakan
meningkat.
Tumbuh terbatas didorong
akselerasi konsumsi
Pemerintah dan investasi,
meski tertahan
melambatnya konsumsi RT &
Industri pengolahan.
Didorong stabilnya
konsumsi RT serta
akselerasi investasi dan
sektor-sektor utama.
Konsumsi RT
Menurun pasca mencapai
puncaknya di triwulan
sebelumnya.
Kenaikan optimisme
konsumen sebagaimana
tercermin pada Survei
Pedagang Eceran (SPE) dan
Survei Konsumen (SK).
Kembali normalnya
konsumsi makanan pasca
Ramadhan.
Tingkat pendapatan
terjaga.
Penyelenggaraan MICE
masih marak. Tertahan
oleh penjualan barang
tahan lama yang melambat.
Konsumsi
Pemerintah
Belum optimalnya realisasi
belanja Pemda, yang
dibayangi pemotongan
Transfer ke daerah.
Simpanan APBD di Bank
sebagai alternatif sumber
pembiayaan di tengah
kebijakan pemotongan
transfer ke daerah.
Lebih optimalnya realisasi
belanja Pemda, meski
dibayangi pemotongan
Transfer ke daerah.
Pencairan dana desa
diperkirakan masih
terkendala.
Investasi
(PMTB)
Terindikasi dari
meningkatnya impor barang
modal.
Meningkat seiring realisasi
proyek infrastruktur
pemerintah. Di sisi swasta,
pelonggaran kebijakan
LTV/FTV turut mendorong
pembangunan properti.
Pasca selesainya proses
lelang di Tw II 2016, realisasi
proyek infrastruktur
pemerintah dilakukan di Tw
III 2016.
Akselerasi pembangunan
infrastruktur. Turunnya
suku bunga mendukung
optimisme pelaku usaha
dalam melakukan investasi.
Ekspor
Membaiknya permintaan
CPO Domestik di tengah
tertahannya ekspor LN
Lebih didorong Ekspor Antar
Daerah seiring masih
tingginya permintaan
domestik.
Level kontraksi batubara
menurun, ekspor alumina
Kalbar dan CPO meningkat.
Di sisi lain, produksi LNG
turun.
Tambang di Papua
membaik. Permintaan mitra
dagang untuk produk
industri masih tinggi.
Produksi perikanan
meningkat.
Impor Meningkatnya impor bahan
baku & barang modal.
Sejalan dengan kinerja
industri manufaktur, impor
mengalami peningkatan
terutama impor bahan baku
dan barang modal.
Peningkatan impor barang
modal d.r. percepatan
infrastruktur. Naiknya impor
bahan makanan menjelang
Idul Adha.
Impor barang antara turun,
karena perusahaan
tambang & manufaktur
sudah melakukan stok pada
Tw II 2016.
KAWASAN TIMUR INDONESIAPDRB NASIONAL
SUMATERA JAWA KALIMANTAN
4
Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan II
2016 tumbuh negatif 3,46% (yoy) atau senilai
Rp27.117 triliun, sedikit membaik dibanding
periode triwulan sebelumnya yang tumbuh
negatif 7,41%. Demikian halnya dari sisi volume
yang menunjukkan perbaikan transaksi pada
sistem RTGS, yakni tumbuh dari -48,98% menjadi
-47,77% atau sekitar 1,52 juta transaksi.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Juli 2016 (yoy)
Peningkatan aktivitas transaksi keuangan juga
terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
pada triwulan II 2016 secara nominal tumbuh
56,22% atau senilai Rp1.160 triliun, meningkat
dibanding triwulan lalu yang tumbuh 51,58%.
Secara volume, transaksi perputaran kliring juga
tumbuh meningkat dari 48,55% menjadi 50,75%.
Sejalan dengan hal tersebut, peredaran uang
kartal menunjukkan peningkatan seiring
akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah
tangga. Hal tersebut tercermin dari peningkatan
outflow uang kartal dari Bank Indonesia
sepanjang triwulan II 2016 yaitu 62,2% (yoy), jauh
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh 12,1% (yoy). Peningkatan yang
signifikan tersebut didorong pergeseran bulan
Ramadhan yang lebih banyak terjadi di triwulan II
terkait peningkatan aktivitas penukaran uang
menjelang Lebaran.
Perkembangan Inflasi
Perkembangan inflasi di berbagai daerah
sepanjang triwulan II 2016 terjaga dalam level
yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir
triwulan II 2016 (Juni 2016), yang merupakan
periode Ramadhan, secara agregat tercatat
sebesar 3,45% (yoy). Realisasi inflasi pada periode
Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah
dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun
terakhir. Secara umum, terkendalinya inflasi di
sepanjang periode triwulan II 2016 dipengaruhi
oleh masa panen padi yang berlangsung di
sejumlah daerah sentra produksi dengan capaian
yang lebih baik dibanding periode panen tahun
sebelumnya. Hal tersebut didukung minimalnya
kendala distribusi di tengah mulai meningkatnya
permintaan memasuki periode Ramadhan.
Realisasi inflasi (yoy) yang terendah pada akhir
triwulan II 2016 terjadi di wilayah Jawa (3,14%),
diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur
Indonesia (3,94%), dan Kalimantan (4,87%).
Memasuki awal triwulan III 2016, tren
penurunan inflasi masih terus berlanjut di
tengah masuknya periode lebaran. Inflasi Jawa
secara agregat bahkan tercatat berada di bawah
3% atau sebesar 2,96%, diikuti inflasi di Sumatera
(3,50%), Kawasan Timur Indonesia (3,61%), dan
Kalimantan (3,92%). Tren menurunnya inflasi di
berbagai daerah terutama karena relatif
minimalnya tekanan kenaikan harga pangan
seiring dengan pasokan yang cukup memadai
serta intensifnya upaya pemerintah untuk
mengendalikan harga-harga. Tekanan inflasi
triwulan III 2016 secara bulanan (month-to-
5
month) lebih bersumber dari kenaikan harga
daging ayam ras, ikan segar, cabai merah, dan
daging sapi. Kondisi terkendalinya inflasi
diperkirakan akan terus berlanjut, meskipun tarif
angkutan udara dan angkutan antar kota sempat
mencatatkan inflasi yang cukup tinggi pada Juli
2016 yaitu pada periode peak season Lebaran,
sebagaimana pola historisnya. Hingga akhir
triwulan III 2016, inflasi berbagai daerah di Jawa,
Sumatera, dan KTI secara agregat masing-masing
masih akan berada di bawah 4%. Sementara itu,
inflasi di Kalimantan diperkirakan berada sedikit
di atas 4% dengan kecenderungan lebih rendah
dibanding realisasi akhir triwulan II 2016.
Terkendalinya inflasi tidak terlepas dari
berbagai kebijakan pemerintah untuk
memperkuat pasokan pangan. Upaya
menambah pasokan secara serentak di seluruh
daerah dapat mengatasi kenaikan permintaan
yang terjadi di seluruh daerah pada masa
Ramadhan 2016. Upaya Pemerintah untuk
memperkuat pasokan ditempuh antara lain
melalui intensifnya upaya peningkatan produksi
pangan, pemenuhan pasokan dari berbagai
sumber, termasuk impor, didukung berlanjutnya
program gerai maritim dan tol laut, serta
pelaksanaan operasi pasar beras yang diikuti
koordinasi kuat dalam forum Tim Pengendalian
Inflasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Selain itu, berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, kegiatan pasar murah di bulan
Ramadhan tahun ini tidak hanya dilakukan untuk
komoditas beras, minyak goreng, dan gula pasir,
namun juga komoditas penyumbang inflasi
lainnya, seperti pasar murah telur ayam di
Padang, pasar murah cabai merah di Banten, dan
operasi pasar daging sapi oleh Bulog yang
dilakukan secara serentak di seluruh daerah.
Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah
Prospek Ekonomi Daerah
Perkembangan terkini berbagai indikator
perekonomian di daerah mengindikasikan
prospek perekonomian pada 2016 tumbuh lebih
baik dibandingkan realisasi pertumbuhan
ekonomi di 2015, meski sedikit lebih rendah dari
prakiraan sebelumnya. Perbaikan perekonomian
terutama ditopang oleh meningkatnya kinerja
pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera.
Meski demikian, perbaikan perekonomian masih
dibayangi risiko belum optimalnya penyerapan
belanja daerah di tengah upaya penghematan
belanja pemerintah yang antara lain berupa
pemotongan dana transfer ke daerah. Selain itu,
masih tingginya ketidakpastian ekonomi global
yang berimbas pada ekspor daerah diperkirakan
turut membatasi kinerja perekonomian daerah
secara keseluruhan. Melihat berbagai
perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi
keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di
kisaran 4,9 – 5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari
kisaran sebelumnya, yaitu 5,0 – 5,4% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan
ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah
tangga disertai peningkatan kinerja
perdagangan antar daerah. Hal tersebut
tercermin dari indeks keyakinan konsumen yang
membaik secara gradual sejak pertengahan
tahun. Selain itu, berlanjutnya pembangunan
infrastruktur berskala besar di berbagai daerah di
Jawa turut mendorong perbaikan ekonomi Jawa
secara keseluruhan. Pemulihan ekonomi negara
tujuan ekspor utama juga diprakirakan turut
mendorong perbaikan kinerja ekspor luar negeri
yang diikuti oleh kinerja industri pengolahan.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan
bersumber dari meningkatnya realisasi proyek
infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya
konsumsi rumah tangga. Pembangunan
beberapa proyek infrastruktur berskala besar di
Sumatera seperti pembangunan jalan trans
Sumatera, pembangkit listrik, dan sarana
penunjang kegiatan Asian Games 2018
diperkirakan dapat mendorong investasi dan
kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain
itu, perkiraan membaiknya ekspor seiring
membaiknya harga komoditas di pasar global
serta rendahnya inflasi akan berdampak positif
pada penguatan konsumsi rumah tangga.
6
Sementara itu, sedikit optimis dibanding
prakiraan sebelumnya, perekonomian
Kalimantan akan membaik terbatas dan dapat
tumbuh positif walaupun masih relatif rendah.
Perkiraan membaiknya produksi sawit dan
beroperasinya smelter alumina diprakirakan akan
menopang pertumbuhan ekonomi Kalimantan
hingga akhir 2016. Namun, kontraksi kinerja
pertambangan masih akan menjadi penghambat
kinerja perekonomian Kalimantan secara
keseluruhan seiring masih rendahnya harga
komoditas, meski mulai membaik sejak tengah
tahun 2016.
Sementara itu, hanya perekonomian KTI yang
diprakirakan tumbuh lebih lambat, walaupun
masih relatif lebih tinggi daripada wilayah
lainnya. Prakiraan melambatnya ekonomi KTI
dipengaruhi oleh perkembangan kinerja ekspor,
khususnya pertambangan, yang masih belum
menunjukkan adanya perbaikan berarti serta
lebih rendahnya capaian investasi untuk hilirisasi
pasca beroperasinya beberapa smelter di KTI.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi KTI
masih akan berada di level yang cukup tinggi
karena ditopang oleh konsumsi yang masih kuat
seiring prospek peningkatan pendapatan pada
usaha jasa dan perdagangan.
Di sisi inflasi, perkembangan terkini di berbagai
daerah mengindikasikan, hingga akhir tahun
2016, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan
secara agregat berada dalam kisaran sasaran
inflasi nasional 4%±1%. Masih terbatasnya
kenaikan harga komoditas global serta masih
rendahnya harga minyak dunia berdampak pada
rendahnya tekanan inflasi dari faktor eksternal.
Demikian halnya dengan tekanan permintaan
domestik yang diperkirakan masih belum kuat
sejalan dengan ekspektasi perbaikan ekonomi
yang masih terbatas dari pelaku ekonomi
domestik. Selain itu, kebijakan pemerintah yang
membatalkan kenaikan tarif listrik non-subsidi
untuk daya 900VA juga turut mendukung
prakiraan rendahnya inflasi di akhir 2016.
Meski demikian, risiko inflasi dari kenaikan
harga bahan pangan tetap perlu diwaspadai.
Beberapa komoditas pangan seperti cabai merah,
bawang merah, dan ikan diperkirakan
menghadapi masalah gangguan produksi akibat
menguatnya potensi La Nina yang ditandai
tingginya curah hujan di paruh kedua 2016.
Wilayah yang paling rentan terdampak fenomena
La Nina ini antara lain Kalimantan bagian selatan,
Sulawesi, Sumatera bagian utara dan barat, serta
Indonesia bagian timur. Di samping itu, risiko
inflasi yang bersumber dari potensi terjadinya
kendala distribusi karena persoalan struktural
terkait infrastruktur dan tata niaga juga tetap
perlu dicermati.
Semakin intensifnya koordinasi antara Bank
Indonesia dan Pemerintah di tingkat pusat dan
daerah akan dapat mendukung upaya
pengendalian inflasi. Kebijakan pengendalian
inflasi difokuskan pada upaya menjaga
ketersediaan dan keterjangkauan pasokan
pangan, meningkatkan kelancaran distribusi,
serta mengelola ekspektasi masyarakat melalui
komunikasi yang intensif. Langkah pemerintah
untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan
domestik ditempuh melalui pembukaan lahan
pertanian baru serta pembangunan berbagai
infrastruktur pendukung produksi pertanian dan
konektivitas. Berlanjutnya program Gerai Maritim
yang dipadu dengan Tol Laut diperkirakan
berdampak positif bagi stabilitas harga pangan ke
depan. Di tingkat daerah, koordinasi dalam
wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
akan terus diperkuat dengan implementasi
program yang mulai mengarah pada pengentasan
persoalan struktural. Implementasi tersebut
antara lain dilakukan melalui penguatan pasar
lelang pangan daerah, kerjasama antar daerah
untuk pemenuhan pasokan pangan, serta inisiatif
penghapusan Peraturan Daerah yang kurang
mendukung dari sisi keterjangkauan harga.
Tantangan Ke Depan
Pemulihan ekonomi di 2016 masih dibayangi
tantangan yang cukup berat karena tingginya
7
ketidakpastian global, kinerja fiskal yang
terbatas, serta masih terbatasnya optimisme
sektor swasta terhadap prospek pemulihan
perekonomian. Hasil referendum di Inggris yang
memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa serta
masih lemahnya ekonomi Tiongkok yang diikuti
terbatasnya perbaikan harga komoditas global
menambah tingginya ketidakpastian ekonomi
dunia. Kondisi tersebut berimbas pada
terbatasnya perbaikan ekonomi daerah,
terutama daerah yang mengandalkan ekspor
komoditas primer (SDA). Di sisi lain, hal itu juga
berdampak pada turunnya pendapatan fiskal
daerah serta terbatasnya peningkatan kinerja
korporasi karena turunnya pendapatan usaha.
Selain itu, percepatan penyerapan belanja
daerah untuk menstimulasi pertumbuhan
ekonomi daerah perlu menjadi perhatian.
Sampai dengan akhir triwulan II 2016, saldo dana
milik Pemda di perbankan di berbagai daerah
masih cukup besar, yang secara agregat
mencapai Rp219,5 triliun. Efisiensi anggaran
pemerintah guna menjaga kesinambungan fiskal
yang ditempuh melalui kebijakan pemotongan
anggaran belanja APBN sebesar Rp133,8 triliun,
akan turut mempengaruhi stimulus fiskal daerah.
Pemotongan itu terdiri dari pengurangan belanja
Kementerian/Lembaga sebesar Rp65 triliun dan
dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun.
Walaupun demikian, masih cukup besarnya
cadangan SiLPA yang dimiliki Pemda di berbagai
daerah diperkirakan masih mampu meredam
dampak dari upaya efisiensi belanja tersebut.
Sementara itu, langkah pengendalian inflasi
masih dihadapkan pada berbagai risiko dan
tantangan struktural. Masih terbatasnya
kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang
belum efisien, dan infrastruktur logistik yang
belum memadai merupakan tantangan terbesar
bagi stabilitas harga pangan dalam jangka
panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya
ketergantungan produksi pangan terhadap faktor
iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga
antara produsen-konsumen maupun antar-
wilayah. Di samping itu, masih terbatasnya
kapasitas dan akses transportasi di beberapa
daerah juga kerap mendorong kenaikan inflasi
yang bersumber dari angkutan, terutama pada
periode peak seasons.
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,
strategi kebijakan yang terintegrasi dan
koordinasi yang intensif antara pusat-daerah
perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.
Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk
mempercepat implementasi pembangunan
berbagai infrastruktur utama yang mampu
menjadi akselerator bagi kinerja perekonomian
daerah di tahun 2016. Di sektor maritim, sejalan
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) serta sesuai dengan prioritas
Pemerintah, perlu dirumuskan kebijakan
integratif yang mampu mendorong
berkembangnya industri maritim domestik.
Strategi kebijakan maritim yang terintegrasi
tersebut ditujukan untuk meningkatkan kinerja
sektor maritim dan juga pariwisata. Output
sektor maritim saat ini masih jauh di bawah
potensi yang dimiliki. Kendala seperti lemahnya
industri perkapalan dan pendukungnya, dominasi
asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya
kualitas SDM maritim, telah mengakibatkan
defisit neraca jasa terutama di industri pelayaran,
asuransi, jasa galangan kapal. Lebih jauh,
walaupun Indonesia memiliki potensi yang besar
juga dalam sektor perikanan dan pariwisata
bahari, namun pada kedua sektor tersebut,
Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan
dengan negara-negara tetangga. Hanya strategi
kebijakan maritim yang terintegratif yang mampu
mengatasi persoalan struktural lintas sektoral
yang dihadapi, yang mencakup tidak saja
perbaikan infrastruktur terkait kemaritiman
namun juga dukungan kuat pemerintah terkait
regulasi dan insentif pengembangannya. (Lihat
Isu Khusus “Mempercepat Pembangunan
Infrastruktur Maritim untuk Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan
Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”).
8
“halaman ini sengaja dikosongkan”
9
Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya; dari 4,18% (yoy) menjadi 4,49% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi
sektoral, di tengah masih terbatasnya kinerja pertambangan, pertumbuhan ekoomi ditopang oleh
perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian dan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran.
Dari sisi harga, perkembangan inflasi selama triwulan II 2016 dapat terkendali pada tingkat yang
rendah di tengah periode Ramadhan – Lebaran di bulan Juni 2016. Pada akhir triwulan II 2016,
inflasi berbagai daerah di Sumatera secara agregat tercatat sebesar 3,71% (yoy), lebih rendah
dibanding periode akhir triwulan sebelumnya sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi bersumber
dari terkendalinya harga pangan seiring dengan terjaganya pasokan pangan dan koreksi harga
pada administered prices. Di samping itu, terjaganya inflasi juga ditopang oleh semakin intensifnya
upaya koordinasi pengendalian harga yang ditempuh oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Sejalan dengan perbaikan perekonomian, stabilitas keuangan Sumatera juga relatif terjaga, di
tengah masih terbatasnya pertumbuhan kredit yang disertai dengan peningkatan risiko kredit.
Hingga akhir tahun 2016, perbaikan ekonomi di Sumatera diperkirakan terus berlanjut terutama
didukung peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan perbaikan daya beli, peningkatan
konsumsi pemerintah, dan investasi. Dengan kondisi tersebut, perekonomian Sumatera hingga akhir
2016 diperkirakan tumbuh di kisaran 4,2–4,7% (yoy), lebih baik dari capaian tahun 2015 sebesar
3,54% (yoy). Sementara itu, belum optimalnya penyerapan belanja pemerintah daerah disertai
kemungkinan pemotongan alokasi transfer daerah menjadi risiko yang dapat menahan laju
pertumbuhan ekonomi Sumatera. Dari sisi harga, inflasi triwulan III 2016 diperkirakan sedikit
meningkat terutama didorong oleh peningkatan biaya pendidikan dan kenaikan harga pangan
seiring momentum Idul Adha dan potensi gangguan produksi pangan akibat dampak menguatnya
La Nina yang diperkirakan terjadi hingga akhir tahun. Namun demikian, inflasi berbagai daerah di
Sumatera pada akhir tahun 2016 diperkirakan akan berada pada kisaran 4,3-4,8% sejalan dengan
prospek terjaganya pasokan pangan dan minimalnya kebijakan pemerintah terkait tarif.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016
tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya, terutama didorong konsumsi
rumah tangga dan investasi. Pada triwulan II
2016, pertumbuhan ekonomi Sumatera tumbuh
4,49% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan
triwulan sebelumnya sebesar 4,18% (yoy).
Peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada
seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Aceh (Tabel
II.1). Konsumsi rumah tangga, konsumsi
pemerintah, dan investasi menjadi penopang
utama semakin cepatnya aktivitas ekonomi di
hampir seluruh provinsi di Sumatera. Di samping
itu, periode musim panen serta perbaikan harga
komoditas turut mendorong kinerja pertanian
dan perkebunan. Laju pertumbuhan ekonomi
Aceh pada triwulan II 2016 yang lebih lambat dari
triwulan sebelumnya terutama disebabkan oleh
penurunan kinerja lapangan usaha pertambangan
dan industri pengolahan.
Sering dengan periode Ramadhan – Lebaran,
kinerja konsumsi rumah tangga di Sumatera
pada triwulan II 2016 mengalami peningkatan.
Pada triwulan II 2016, konsumsi rumah tangga
tercatat tumbuh 5,51% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan triwulan I 2016
sebesar 5,24% (yoy). Peningkatan konsumsi
10
rumah tangga selain didukung oleh terjaganya
daya beli akibat inflasi yang relatif rendah, juga
ditopang oleh pencairan gaji ke-13/14 yang
dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri.
Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah
tangga tersebut searah dengan peningkatan
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 117,15
pada triwulan I 2016 menjadi 118,37 pada
triwulan II 2016. (Grafik II.1).
Tabel II. 1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera Indikator
Makroekonomi Daerah
2015 2015 2016
II III IV I II
PDRB (% YoY) 2.98 3.13 4.56 3.52 4.18 4.49
Aceh (2.09) (0.29) 1.42 (0.72) 3.66 3.54
Sumut 5.13 5.09 5.32 5.08 5.02 5.67
Sumbar 5.48 4.93 5.74 5.41 5.48 5.78
Riau (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.34 2.40
Jambi 4.33 4.38 3.18 4.21 3.42 3.57
Kep. Riau 6.70 5.40 5.20 6.02 4.58 5.40
Sumsel 4.71 4.75 3.94 4.44 4.94 5.13
Bengkulu 5.24 5.18 4.86 5.14 4.99 5.41
Lampung 5.06 5.22 5.33 5.13 5.05 5.21
Kep. Babel 3.97 3.97 4.28 4.05 3.30 3.67
Sumber: BPS
Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK)
Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai
daerah di Sumatera juga relatif tinggi. Pada
triwulan laporan, konsumsi pemerintah tumbuh
7,45% (yoy) jauh lebih tinggi dibanding realisasi
triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 1,67%
(yoy). Peningkatan realisasi konsumsi pemerintah
itu tercermin dari kontraksi simpanan Pemda di
perbankan sebesar 30,6% (yoy) (Grafik II.2).
Peningkatan konsumsi pemerintah terutama
dipengaruhi oleh pencairan gaji ke-13 dan ke-14,
dan peningkatan belanja rutin.
Grafik II.2. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan
Realisasi investasi pada triwulan II 2016 tumbuh
5,66% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan
sebelumnya sebesar 4,91% (yoy). Meningkatnya
investasi tersebut terutama didorong oleh
realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah
berskala besar serta investasi swasta non-
konstruksi, seperti replanting yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan dan
penambahan kapasitas produksi. Peningkatan
kapasitas produksi itu sejalan dengan hasil liaison
Bank Indonesia mengenai kapasitas produksid
dan investasi pada beberapa pelaku usaha utama
di berbagai daerah di Sumatera. (Grafik II.3).
Grafik II.3. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi
dan Investasi
Perbaikan perekonomian Sumatera diperkirakan
terus berlanjut di triwulan III 2016 dan dapat
tumbuh sebesar 4,6% (yoy). Pertumbuhan yang
melebihi angka pada tahun 2015 diperkirakan
akan ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah
tangga, investasi, dan alokasi belanja modal
pemerintah seiring dengan realisasi proyek-
proyek infrastruktur yang berdampak kepada
perbaikan kinerja investasi dan sektor konstruksi.
Indikasi terkait proyek-proyek infrastruktur
11
tercermin dari tendensi meningkatnya impor besi
dan baja Sumatera (Grafik II.4). Sementara itu,
prospek membaiknya harga komoditas akan
menopang perbaikan kinerja ekspor serta
peningkatan produksi perkebunan dan kinerja
industri pengolahan. Sejalan dengan hal tersebut,
kinerja sektor pertambangan, khususnya
batubara, membaik seiring dengan beroperasinya
PLTU dan infrastruktur pendukung.
Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Peningkatan kinerja sektor pertanian di
Sumatera pada triwulan II 2016 terutama
ditopang oleh Panen perkebunan dan tanaman
bahan makanan. Pada triwulan II 2016, kinerja
pertanian di Sumatera tumbuh 4,17% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 3,67% (yoy). Peningkatan tersebut
terutama bersumber dari perbaikan produksi
perkebunan, terutama sawit, di sejumlah daerah
yang disertai dengan membaiknya harga. Khusus
untuk perkebunan kelapa sawit, penerapan
kebijakan B203 ternyata relatif efektif menjaga
permintaan dan harga tanaman sawit (Grafik
II.5). Selain itu, panen raya di sejumlah sentra
pertanian, seperti di Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, dan Sumatera Barat turut
mendorong peningkatan produksi pertanian
Sumatera.
3 kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam
solar sebesar 20 persen
Sumber: Bloomberg
Grafik II.5. Perkembangan Harga CPO dan Karet
Grafik II.6. Pertumbuhan Kredit Pertanian
Membaiknya kinerja pertumbuhan lapangan
usaha pertanian diperkirakan akan berlanjut di
triwulan III 2016. Walaupun terbatas, perbaikan
harga komoditas perkebunan mampu mendorong
optimisme perbaikan kinerja lapangan usaha
pertanian. Optimisme ini tercermin dari relatif
tingginya kredit sektor pertanian. Hingga akhir
triwulan II 2016, kredit pertanian tumbuh hingga
21,40% (yoy), jauh meningkat dibandingkan rata-
rata penyaluran kredit pertanian di Sumatera
selama 3 tahun terakhir yang sebesar 12,39%
(yoy) (Grafik II.6).
Pertambangan
Kinerja lapangan usaha pertambangan pada
triwulan II 2016 masih terkontraksi. Lapangan
usaha pertambangan mengalami kontraksi yang
lebih dalam dibandingkan periode triwulan
sebelumnya, yakni dari negatif 0,77% menjadi
negatif 1,86% (yoy). Terkontraksinya lapangan
usaha pertambangan dipengaruhi oleh terus
menurunnya produksi minyak di Riau dan masih
belum optimalnya perbaikan harga komoditas
pertambangan, khususnya batu bara, dalam
12
memberi insentif produksi yang lebih tinggi.
Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut di
triwulan III 2016 meski sedikit membaik seiring
dengan potensi meningkatnya kebutuhan
batubara domestik untuk kebutuhan energi.
Industri Pengolahan
Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh
melambat, sejalan dengan masih terbatasnya
permintaan ekspor luar negeri. Industri
pengolahan pada triwulan II 2016 tumbuh lebih
rendah menjadi 3,73% (yoy) dari sebelumnya
sebesar 4,67% (yoy) pada triwulan I 2016.
Perlambatan kinerja industri pengolahan juga
tercermin dari survei liaison, yang menunjukkan
tren pertumbuhan penjualan domestik dan
ekspor yang masih berada di bawah rata-rata
normalnya (Grafik II.7).
Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha
industri pengolahan diperkirakan mulai
mengalami perbaikan, terutama ditopang oleh
membaiknya permintaan CPO. Hasil liason juga
mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap
prospek peningkatan sektor industri pengolahan
di triwulan III 2016 yang menunjukan adanya
prospek perbaikan penjualan hasil industri yang
tercermin dari peningkatan likert scale dari 0,38
menjadi 0,65.
Grafik II.7. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor
Perdagangan
Perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan
pada triwulan II 2016 sejalan dengan
peningkatan konsumsi rumah tangga. Sektor
perdagangan tumbuh dari 5,05% (yoy) menjadi
sebesar 6,16% (yoy) pada akhir triwulan II 2016.
Peningkatan tersebut terutama didorong oleh
perbaikan daya beli masyarakat seiring dengan
momentum bulan Ramadhan yang jatuh di
triwulan II dan Idul Fitri di awal bulan Juli 2016,
pencairan gaji ke-13 dan ke-14 serta
terkendalinya inflasi dan nilai tukar. Peningkatan
aktivitas perdagangan pada triwulan II 2016 itu
terindikasi dari perkembangan aktivitas kliring
yang yang menunjukkan peningkatan 30% (yoy)
rata-rata volume transaksi kliring, jauh lebih
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang
hanya sekitar 20% (yoy) (Grafik II.8).
Grafik II.8. Perkembangan Kliring
Pada triwulan III 2016, lapangan usaha
perdagangan diperkirakan tumbuh lebih lambat.
Telah selesainya perayaan lebaran dan Idul Fitri
serta pemangkasan anggaran Pemerintah,
khususnya terkait dengan kegiatan perjalanan
dinas dan rapat, diperkirakan akan menahan
pertumbuhan lapangan usaha perdagangan.
Selain itu, pelaku hasil Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) juga memproyeksikan terjadinya
penurunan kegiatan usaha perdagangan di
triwulan III 2016. (Grafik II.9).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.9. Perkiraan Volume Perdagangan
13
Konstruksi
Peningkatan aktivitas lapangan usaha konstruksi
pada triwulan II 2016, sejalan dengan realisasi
proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Pada
triwulan laporan, lapangan usaha konstruksi
tercatat tumbuh 6,40% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan I 2016 sebesar 5,77% (yoy). Hasil SKDU
mengkonfirmasi adanya peningkatan realisasi
kegiatan usaha sektor bangunan selama triwulan
laporan (Grafik II. 10).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.10. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan
Ke depan, lapangan usaha konstruksi
diperkirakan terus tumbuh sejalan dengan
realisasi belanja infrastruktur pemerintah serta
realisasi pembangunan proyek-proyek
multiyears. Pertumbuhan lapangan usaha
konstruksi juga tercermin dari hasil survei SKDU
yang mengindikasikan terjadinya peningkatan.
Secara keseluruhan, berlanjutnya pembangunan
proyek infrastruktur terutama yang berskala
besar di berbagai daerah di Sumatera menopang
perbaikan kinerja lapangan usaha konstruksi.
Fiskal Daerah
Serapan belanja Sumatera hingga Juni 2016
menunjukkan perbaikan terutama pada serapan
belanja rutin. Perbaikan penyerapan belanja
daerah terutama didorong oleh realisasi
pembayaran gaji ke-13/14. Sementara realisasi
belanja fisik sampai dengan akhir triwulan II
2016, baru mencapai 21,21%. (Grafik 11.11).
Seiring dengan peningkatan realisasi belanja
APBD, simpanan pemerintah pada perbankan di
Sumatera mengalami penurunan. Pada juni 2016,
simpanan giro dan deposito Pemda di perbankan
Sumatera mengalami penurunan masing-masing
sebesar 22,45% (yoy) dan 32,89% (yoy).
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik II.11. Persentase Belanja Fisik Pemerintah Prov dan Kota/Kab hingga Juni 2016
Penyerapan belanja fisik paling tinggi terjadi di
Sumatera Barat, sementara yang terendah terjadi
di Sumatera Utara. Rendahnya serapan belanja
fisik di Sumatera Utara terutama dipengaruhi
oleh masih rendahnya realisasi belanja fisik
Pemerintahan Kabupaten/Kota, yang mencapai
hanya sebesar 17%.
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik II.12. Indeks Kapasitas Fiskal Sumatera
Beberapa hal yang menjadi kendala serapan
belanja fisik di daerah antara lain sulitnya
pembebasan dan/atau pengadaan lahan, belum
disahkannya RTRW, dan terbatasnya sumber
pembiayaan APBD. Terkait dengan pembiayaan
APBD, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, dan
Kepulauan Bangka Belitung memiliki indeks
kapasitas fiskal yang relatif tinggi, yang artinya
mimiliki potensi peningkatan peran APBD.
Sementara Provinsi Bengkulu, Lampung, dan
14
Sumatera Utara memiliki indeks kapasitas fiskal
yang lebih rendah.
Perkembangan Inflasi
Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan II 2016
tercatat lebih rendah. Pada triwulan II 2016,
inflasi wilayah Sumatera tercatat sebesar 3,71%
(yoy) menurun dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi
tersebut terutama dipengaruh oleh terkendalinya
harga pangan seiring panen tanaman bahan
makanan di sejumlah daerah sentra produksi.
Terkendalinya inflasi juga tidak terlepas dari
intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga
kecukupan pasokan pangan di seluruh daerah
serta minimalnya kendala distribusi sepanjang
triwulan II 2016 (Grafik II.13).
Menurunnya laju inflasi terjadi di hampir seluruh
provinsi; dengan inflasi terendah terjadi di Riau
(1,92%) dan Aceh (2,34%). Satu-satunya provinsi
yang mengalami kenaikan inflasi adalah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, yang mencapai
6,21% pada akhir triwulan II 2016. Lebih tingginya
inflasi di provinsi tersebut terutama dipengaruhi
oleh kenaikan harga cabai merah, bawang merah,
daging ayam ras, dan daging sapi. Kenaikan harga
beberapa komoditas tersebut merupakan
dampak tingginya ketergantungan provinsi ini
terhadap pasokan dari provinsi lain. Secara
umum, tekanan inflasi di Sumatera lebih
dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas
daging ayam dan beberapa aneka sayuran.
Beberapa komoditas lainnya yang turut
menyumbang tekanan inflasi adalah angkutan
udara, rokok kretek, dan tarif listrik.
Pada akhir triwulan III 2016, perkembangan
inflasi di Sumatera diperkirakan tetap terkendali
di level yang rendah, yakni sebesar 3,89% (yoy).
Tingkat inflasi pada Juli 2016 masih relatif
terbatas, yakni sebesar 0,89% (mtm). Terjaganya
pasokan pangan yang disertai berbagai langkah
kebijakan untuk menjaga kecukupan pasokan
pangan menjadi faktor positif bagi terkendalinya
inflasi.
Grafik II.13. Perkembangan Inflasi
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Secara umum, kondisi keuangan korporasi di
Sumatera masih relatif stabil. Hal ini sejalan
dengan hasil liaison Bank Indonesia yang
mengindikasikan bahwa perusahaan mulai
mengalami perbaikan tingkat penjualan pada
triwulan II 2016. Likert scale penjualan domestik
mulai membaik dari semula negatif 0,19 menjadi
positif 0,38, sementara likert scale penjualan
ekspor walaupun masih negatif membaik dari
negatif 0,98 menjadi negatif 0,61 (Grafik II.7). Hal
yang sama juga ditunjukan oleh hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mulai
mengalami perbaikan dari negatif 0,05 pada
triwulan I menjadi positif 16,82 pada triwulan II
2016. (Grafik II. 14). Pada triwulan II 2016,
profitabilitas perusahaan mulai kembali
mencatatkan perbaikan setelah sebelumnya
sempat lebih rendah akibat penurunan harga
komoditas utama (Grafik II.15).
Perbaikan yang terbatas pada sektor korporasi,
tercermin pula dari beberapa indikator keuangan
jangka panjang (solvabilitas) maupun jangka
pendek (likuditas). Indikator solvabilitas
keuangan beberapa perusahaan, meskipun masih
terbatas, mulai menunjukkan perbaikan (Grafik
II.16).
Membaiknya kondisi keuangan korporasi di
Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi
dalam membayar utang. Rasio kemampuan
membayar utang korporasi (debt service ratio)
15
menunjukkan penurunan, dari 24,64% menjadi
22,03%. Hal ini sejalan dengan membaiknya
sektor perkebunan, perbaikan ditunjukkan oleh
perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri.
Grafik II.14. Realisasi Kegiatan Usaha
Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah
Grafik II.15. Indikator Profitabilitas Korporasi
Grafik II.16. Indikator Solvabilitas Korporasi
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Penurunan suku bunga kredit belum diikuti
peningkatan penyaluran kredit korporasi. Suku
bunga kredit tercatat menurun dari 10,02% di
triwulan I menjadi 9,76%. Penurunan suku bunga
ini terjadi baik pada semua jenis penggunaan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.17. Perkembangan Kredit Korporasi
Penyaluran kredit perbankan kepada sektor
korporasi melambat dari 11,23% (yoy) pada
triwulan I 2016 menjadi 10,64% (yoy) pada
triwulan laporan. Perlambatan terutama terjadi
pada penyaluran kredit industri pengolahan,
sementara kredit untuk sektor perdagangan
justru mengalami peningkatan. Laju
pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan
turun dari 7,38% di triwulan I 2016 menjadi
6,98% pada triwulan II 2016. Sebaliknya,
pertumbuhan kredit sektor perdagangan
mengalami peningkatan menjadi 2,86% dari
triwulan setelah sebelumnya sempat terkontraksi
1,94%. Lebih lanjut, pertumbuhan kredit sektor
pertanian masih relatif tinggi, yakni sebesar
34,79%; walaupun sedikit melambat dibanding
triwulan sebelumnya yang tumbuh 35,59%
(Grafik II. 17).
Grafik II.18. Perkembangan DPK Korporasi
Di tengah perlambatan kredit korporasi,
peningkatan rasio nonperforming loans (NPL)
sektor korporasi masih terjaga dalam batas
aman. NPL pada triwulan II 2016 mengalami
16
peningkatan menjadi 2,49% dari 2,43% pada
triwulan I 2016. Secara sektoral, peningkatan NPL
ini terjadi pada sektor-sektor utama seperti
pertanian, industri pengolahan, pertambangan,
dan perdagangan. Namun demikian, keseluruhan
rasio NPL masih terjaga di bawah 5%.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada
triwulan II 2016 mencatatkan laju pertumbuhan
yang cukup tinggi dari 7,61% (yoy) di triwulan I
2016 menjadi sebesar 14,10% (yoy) pada akhir
triwulan II 2016. Peningkatan laju pertumbuhan
terjadi pada semua jenis simpanan, dengan
kenaikan tertinggi terjadi pada tabungan.
Peningkatan ini diperkirakan sebagai akibat dari
pembayaran gaji ke-13/14 PNS serta pencairan
Tunjangan Hari Raya (Grafik II.19).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.19. Perkembangan DPK Perseorangan
Penurunan suku bunga dan membaiknya sektor
rumah tangga mendorong peningkatan
pertumbuhan kredit rumah tangga, khususnya
untuk jenis kredit KPR dan multiguna. Kredit
sektor rumah tangga (RT) di triwulan II 2016
tumbuh (yoy) 6,40%, lebih tinggi daripada
triwulan sebelumnya sebesar 6,33%. Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) juga tumbuh meningkat,
dari semula 5,32% menjadi 5,69%. Hal ini sejalan
dengan hasil Survei Harga Properti Residensial
(SHPR) yang mengindikasikan terjadinya
peningkatan permintaan KPR/KPA di semua tipe
rumah residensial. Peningkatan permintaan
kredit kepemilikan rumah belum diikuti oleh
kredit kepemilikan kredit bermotor (KKB) yang
masih terkontraksi lebih dalam dari negatif 9,21%
menjadi negatif 12,79% (Grafik II. 20). Penurunan
penyaluran kredit tersebut terjadi pada seluruh
jenis kendaraan, terutama sepeda motor.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.20. Perkembangan DPK Perbankan
Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga
relatif tidak meningkatkan risiko kemampuan
rumah tangga dalam melakukan pembayaran
cicilan. Hasil Survei Konsumen mengindikasikan
porsi cicilan pinjaman masih relatif terjaga dalam
batas aman (Tabel II. 2). Walaupun masih dalam
batas aman, kenaikan risiko NPL seiring
peningkatan pertumbuhan kredit sektor rumah
tangga perlu diwaspadai. Pada posisi triwulan II
2016, rasio NPL sektor rumah tangga tercatat
sebesar 3,66%; meningkat sedikit dibanding
triwulan sebelumnya sebesar 3,61% (Grafik II.21).
Tabel II.2. Komposisi Pengeluaran Masyarakat
Sumber : Bank Indonesia
Grafik II.21. Perkembangan NPL
17
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Tabel II.3. Perkembangan Kredit UMKM
Pada triwulan II 2016, walaupun masih di bawah
angka pertumbuhan nasional, laju pertumbuhan
kredit UMKM di Sumatera menunjukkan
peningkatan. Secara tahunan, penyaluran kredit
UMKM pada triwulan II 2016 mengalami
peningkatan 6,40%, lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang hanya 5,42%.
Peningkatan tersebut didorong peningkatan
kredit ke perdagangan, yang memiliki porsi
terbesar dari total kredit UMKM (54%), yang
tumbuh meningkat dari 10,76% ke 11,77%.
Sementara kredit UMKM ke pertanian yang
memiliki porsi 20%, justru tumbuh lebih lambat
yaitu 5,47%; menurun dibanding triwulan
sebelummya 8,07%. Seiring dengan peningkatan
penyaluran kredit, walaupun masih aman,
peningkatan rasio NPL kredit UMKM tetap perlu
diwaspadai. Secara spasial peningkatan rasio NPL
kredit UMKM terjadi di Kepulauan Riau, Riau,
Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara
(Tabel II.3).
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Sejalan dengan meningkatnya aktivitas sektor
perdagangan, transaksi kliring di kawasan
Sumatera pada triwulan II 2016 menunjukkan
peningkatan. Secara nominal, pertumbuhan
transaksi kliring meningkat dari 59,29% (yoy)
pada triwulan I menjadi 71,85% (yoy) (Grafik
II.22). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan
volume warkat kliring, yang tumbuh meningkat
dari 20,82% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi
30,05% pada triwulan II 2016.
Berdasarkan pangsanya, Sumatera Utara memiliki
porsi transaksi kliring terbesar, yakni 43,23% dari
keseluruhan transaksi di Sumatera. Sementara
Bengkulu dan Aceh memiliki porsi transaksi
kliring yang terendah dengan total keduanya
mencapai kurang dari 5% dari keseluruhan
transaksi di Sumatera.
Pengelolaan Uang Rupiah
Peningkatan arus uang kartal keluar (outflow)
dari Bank Indonesia terutama didorong oleh
momen liburan sekolah, puasa, dan perayaan
menjelang Idul Fitri seiring dengan terjadinya
peningkatan konsumsi. Arus keluar (Outflow)
pada triwulan II 2016 tercatat sebesar Rp48,32
triliun, lebih tinggi dibandingkan arus keluar pada
triwulan sebelumnya yang hanya Rp14,70 triliun,
dan lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun
sebelumnya yang mencapai Rp30,07 triliun. Di
sisi lain, terjadi arus masuk (inflow) pada periode
laporan sebesar Rp17,08 triliun, lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya Rp27,77
triliun, dan sedikit lebih tinggi dibanding triwulan
yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
Rp16,25 triliun. Pertumbuhan net outflow terjadi
di seluruh provinsi di Sumatera, dengan level net
outflow terbesar di Provinsi Sumatera Utara,
Bengkulu, Riau, dan Kep. Riau dan yang terendah
terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan
Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan (Grafik
II.22).
Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di
wilayah Sumatera terus mengalami penurunan.
Temuan uang palsu pada triwulan II 2016
berjumlah 2.418 lembar atau menurun 28,14%
dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Berdasarkan porsinya, uang palsu
paling banyak ditemukan di Lampung (52,07%),
Sumatera Selatan (13,44%), dan Riau (12,99%)
(Grafik II.23).
I-16 II-16 I-16 II-16 I-16 II-16
Aceh 10.22 14.42 10.00 9.44 13.78 13.41
Sumut 5.59 5.09 6.51 6.57 13.47 12.88
Sumbar 3.20 3.53 7.20 7.17 13.72 13.3
Jambi 8.28 8.94 5.35 5.23 14.34 13.93
Kepri 5.20 7.67 3.59 3.63 12.16 11.96
Riau (2.77) (1.59) 7.15 7.44 14.12 13.71
Sumsel 4.42 5.78 5.68 5.77 14.42 14.01
Lampung 11.20 17.20 4.06 4.17 14.66 14.35
Babel 15.47 15.05 5.94 4.99 14.21 13.81
Bengkulu 14.65 10.04 4.76 4.53 15.26 14.75
Prov
gKredit
UMKM
NPL
UMKM
Suku Bunga
UMKM
18
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.22. Aliran Uang Kartal
Sumber : Bank Indonesia
Grafik II. 23. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Pengembangan Layanan Keuangan Digital
Ketersediaan layanan keuangan digital (LKD)
bagi penduduk Sumatera menunjukkan
peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2016,
terdapat 8.664 agen LKD di wilayah Sumatera
atau sebesar 11,1% dari jumlah agen LKD secara
nasional. Pada posisi triwulan II 2016, jumlah LKD
di Sumatera telah meningkat mencapai 20.438
LKD. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar
adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan
Riau. Secara spasial, kebutuhan LKD optimal telah
terlampaui di seluruh provinsi, kecuali di wilayah
Bengkulu.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera 2016 diperkirakan
tumbuh sejalan dengan perkiraan sebelumnya.
Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian
Sumatera diperkirakan akan tumbuh pada kisaran
4,2%-4,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan tahun 2015 yang hanya sebesar
3,52%. Konsumsi rumah tangga dan investasi
diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan
ekonomi tahun 2016. Sementara risiko
melambatnya konsumsi pemerintah akibat
pemotongan anggaran pemerintah serta masih
terbatasnya pertumbuhan ekspor seiring belum
kuatnya pertambangan, diperkirakan akan
menahan pertumbuhan Sumatera lebih tinggi.
Dari sisi penawaran, lapangan usaha pertanian,
industri pengolahan dan perdagangan
diperkirakan akan tetap menjadi kontributor
utama pertumbuhan. Lapangan usaha pertanian
diperkirakan meningkat seiring dengan berbagai
upaya pemerintah meningkatkan produksi
Tabama melalui perbaikan infrastruktur
pertanian. Selain itu, semakin besarnya prospek
peningkatan harga CPO dan karet yang sejalan
dengan menguatnya permintaan domestik
diperkirakan mendukung proyeksi kenaikan laju
pertumbuhan sektor pertanian, industri
pengolahan dan perdagangan. Sementara itu,
lapangan usaha konstruksi diprediksi tetap
tumbuh stabil sejalan dengan realisasi proyek-
proyek infrastruktur pemerintah.
Tabel II.4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera
Perbaikan ekonomi Sumatera tahun 2016
diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi,
kecuali Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka
Belitung. Prakiraan perlambatan ekonomi
Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung
terutama disebabkan oleh risiko lemahnya
kinerja industri manufaktur akibat belum
I II III*
PDRB (% YoY) 3.52 4.18 4.44 4.62 4,22-4,72
Aceh (0.72) 3.66 3.54 3.52 2,90-3,40
Sumut 5.08 5.02 5.67 5.32 5,09-5,59
Sumbar 5.41 5.48 5.78 5.84 5,31-5,81
Riau 0.22 2.34 2.40 2.70 1,41-1,91
Jambi 4.21 3.42 3.57 4.11 4,83-5,33
Kep. Riau 6.02 4.58 5.40 5.84 6,08-6,58
Sumsel 4.44 4.94 5.13 5.50 5,17-5,67
Bengkulu 5.14 4.99 5.41 5.22 5,01-5,51
Lampung 5.13 5.05 5.21 5.43 5,46-5,96
Kep. Babel 4.05 3.30 3.67 3.96 4,07-4,57
Indikator
Makroekonomi
Daerah
20152016
2016f
19
pulihnya permintaan perekonomian global dan
relatif masih terbatasnya peningkatan harga
komoditas timah, yang merupakan salah satu
motor penggerak perekonomian Kepulauan
Bangka Belitung (Tabel II.4).
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada tahun 2016 diprakirakan
tetap terkendali dan berada dalam rentang
target inflasi nasional 4±1%. Beberapa faktor
menjadi pendukung terkendalinya inflasi di
Sumatera diantaranya realisasi program-program
pembangunan infrastruktur pangan, perbaikan
distribusi pangan serta berbagai upaya
pemerintah dalam mendorong ketahanan pangan
seperti perluasan lahan pertanian dan perbaikan
distribusi sarana parasarana pertanian, serta
terjaganya pasokan pangan. Berbagai faktor
positif tersebut akan membawa inflasi Sumatera
di akhir tahun berada di kisaran 4,3–4,8% (yoy),
sedikit di bawah perkiraan triwulan lalu.
Meski demikian, faktor-faktor risiko
peningkatan inflasi tetap perlu diwaspadai.
Beberapa risiko tersebut antara lain adalah
gangguan produksi akibat pergeseran musim
tanam dan musim panen sebagai dampak dari La
Nina, gangguan distribusi, serta gangguan
produksi lainnya. Berkaitan dengan hal ini,
perkembangan beberapa harga komoditas utama
yang berpotensi mengalami inflasi akibat dampak
La Nina seperti bawang merah, cabai merah,
beras, perlu diwaspadai.
20
Pengantar
Wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang
antara lain mencakup pulau Batam, Bintan, dan
Karimun (BBK) merupakan salah satu wilayah
yang memiliki peran strategis secara geografis
maupun ekonomi terhadap perekonomian
nasional. Secara geografis, Kepri berbatasan
langsung dengan beberapa negara yaitu Vietnam
dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia dan
Singapura di sebelah barat, serta Malaysia dan
Brunei di sebelah timur.
Provinsi Kepri dibentuk pada tahun 2002,
meliputi Kota Tanjungpinang, Kota Batam,
Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, dan
Kabupaten Anambas; yang di dalamnya terdapat
2.408 pulau, dengan 19 di antaranya berada di
wilayah terluar. Dari total wilayahnya, 95%
merupakan wilayah laut yang membentang dari
Laut China Selatan, Selat Malaka, dan Selat
Karimata dan memiliki garis pantai sepanjang
2.368 Km. Dengan dukungan Batam, yang
menyumbang 60% dari PDRB Kepri, provinsi ini
mampu tumbuh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah
lain baik di Sumatera maupun Nasional.
Sumber: BPS
Grafik II.24. Pertumbuhan Ekonomi
Sebagai basis logistik dan operasi industri migas,
pengembangan wilayah Batam telah dimulai
sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1973,
dibentuklah Lembaga Otorita Pengembangan
Industri Pulau Batam untuk secara khusus
mengelola pengembangan Batam. Selanjutnya,
dalam perkembangannya, dibentuklah
pemerintahan kota administratif untuk
mendukung pengembangan Batam yang
kemudian sejak 1999 telah diperluas
kewenangannya sebagaimana pemerintahan kota
lainnya. Ketidakjelasan kewenangan
pengembangan Industri di Batam kemudian
menjadi salah satu hambatan pengembangan
Batam. Setelah beberapa kali mengalami
perubahan, pada tahun 2016 melalui Keputusan
Presiden Nomor 8 Tahun 2016, dibentuklah
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas (PBPB) Batam yang diketuai
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
dengan anggota dari kementerian terkait,
Gubernur Kepulauan Riau, Walikota Batam, dan
Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau.
Potensi Ekonomi Batam dan Sekitarnya
Sebagai Kawasan PBPB, dibandingkan provinsi
lainnya, Batam memiliki beragam keunggulan
yang tercermin dari keberadaan infrastruktur
dasar yang relatif lebih baik, seperti pelabuhan
laut, bandara, tenaga listrik, kawasan industri,
jalan, serta perumahan bagi pekerja.
Walaupun memiliki Batu Ampar sebagai
pelabuhan laut utama yang dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan ekspor-impor, namun
kapasitasnya yang hanya sekitar 800.000 TEUs,
masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
kapasitas Port of Singapore (32 juta TEUs), Port
Klang Malaysia (9 juta TEUs), ataupun Tanjung
Pelepas Johor Baru Malaysia (10 juta TEUs).
Jumlah pelabuhan yang dimiliki relatif lebih
banyak dibandingkan wilayah lain. Selain Batu
Ampar, beberapa pelabuhan lainnya antara lain
adalah Sekupang, Teluk Senimba, Harbor Bay,
Kabil, dan Telaga Punggur. Selain pelabuhan,
Boks 1
21
Batam juga memiliki salah satu bandar udara
tersibuk di Indonesia, yaitu Bandar Udara Hang
Nadim, yang mampu mengakomodasi sekitar 5
juta penumpang setiap tahunnya.
Ketersediaan Infrastruktur kelistrikan dan air
bersih di Batam juga relatif baik. Pasokan listrik
tercatat mengalami surplus. PLN Batam mampu
memasok listrik 412,3 MW sementara
kebutuhan listrik pada saat puncak sebesar 362,7
MW. Begitu pula kebutuhan air bersih mampu
dipasok dari sejumlah waduk.
Walaupun saat ini, Batam telah memiliki 22
klaster kawasan industri yang bahkan beberapa
di antaranya juga telah dilengkapi dengan
perumahan pekerja, pemanfaatan optimal
kawasan industri dimaksud masih belum
tercapai. Tumpang tindih kewenangan perizinan,
hambatan pembebasan lahan dan ketidakjelasan
peruntukannya telah menjadi salah satu
hambatan utama pengembangan Batam,
terutama terkait dengan potensi besar yang
dimiliki untuk pengembangan industri
kemaritiman dan pariwisata. Batam memiliki
potensi untuk menjadi pelabuhan transhipment
internasional, area perikanan, destinasi
pariwisata, serta pusat industri penunjang sektor
kemaritiman seperti industri galangan kapal. Saat
ini, pangsa ekspor kapal nasional Kepulauan Riau
yang mencapai 90% pangsa nasional.
Saat ini sekitar 47% ekspor komoditas utama
Sumatera harus dilakukan melalui pelabuhan di
Singapura. Pengembangan Batam sebagai
pelabuhan transhipment internasional akan
dapat mengurangi defisit neraca jasa Indonesia
selain meningkatkan ekonomi regional sebagai
dampak lanjutan peningkatan perdagangan dan
aktivitas ekonomi kawasan Batam. Upaya
menjadikan Batam sebagai pelabuhan berdaya
saing tidak saja membutuhkan pelabuhan yang
memenuhi kriteria, namun juga membutuhkan
keberadaan infrastruktur galangan kapal,
dukungan industri perkapalan dan komponennya
serta industri pelayaran serta pembiayaannya.
Luas lautan yang membentang luas dari Laut
China Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata
merupakan potensi besar bagi pengembangan
sektor perikanan di Batam dan Kepulauan Riau.
Potensi usaha kelautan dan perikanan tersebut
ditaksir mencapai Rp150 triliun per tahun.
Namun demikian, pemanfaatannya baru saat ini
masih berada jauh di bawah potensinya.
Dalam sektor kepariwisataan, Kep. Riau memiliki
bentang laut dan pantai yang luas serta
keindahan alam yang sulit ditandingi. Kepulauan
Anambas telah dinobatkan sebagai pulau tropis
terindah se-Asia (CNN, 2012). Lokasi Batam yang
berbatasan langsung dengan beberapa negara
seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan
Kamboja menjadikan Kepulauan Riau sebagai
wilayah yang memiliki daya saing pariwisata
tertinggi di Sumatera4.
Tantangan Pengembangan Ekonomi Batam dan Sekitarnya
1. Terbatasnya kapasitas Pelabuhan Batu
Ampar untuk mendukung perekonomian
Batam dan Nasional. Selain skala ekonomi
pelabuhan yang masih rendah dan fasilitas
yang kurang kompetitif permasalahan empty
backhaul turut menjadi kendala
perkembangannya.
2. Terbatasnya infrastruktur Perikanan maupun
pariwisata di Batam dan sekitarnya.
Keterbatasan infrastruktur perikanan itu
meliputi pelabuhan pendaratan ikan,
ketersediaan dan kapasitas kapal-kapal,
peralatan tangkap, penyimpanan dan
pengolahan hasil perikanan. Sebagai ilustrasi,
selain cold storage yang tersedia hanya dapat
memenuhi 1,19% kebutuhan, sementara
kapasitas utilisasi pengolahan ikan (UPI) di
Kepulauan Riau juga masih relatif rendah.
Keterbatasan infrastruktur pariwisata antara
lain terlihat dari sulitnya akses dan lamanya
waktu temputh menuju tempat wisata.
Sebagai contoh, akses dan waktu tempuh ke
4 Hasil analisis Bank Indonesia
22
Kepulauan Anambas dan Natuna serta
pengelolaan resort di Kepulauan Bintan yang
masih belum memadai.
3. Tantangan pengembangan industri Batam.
Saat ini, perkembangan industri di Batam
lebih banyak merupakan kepanjangan tangan
dari perusahaan-perusahaan yang berlokasi di
Singapura dan Malaysia. Seluruh transaksi
keuangan terjadi di luar wilayah Indonesia,
sementara Batam hanya menjadi tempat
lokasi industri dan pergudangan sebagai
feeder pelabuhan di Singapura dan Malaysia.
Strategi Pengembangan Perekonomian Batam dan Sekitarnya
1. Potensi perdagangan internasional Indonesia
melalui Selat Malaka yang mencapai 8 juta
TEUs menciptakan peluang untuk menjadikan
Batam sebagai salah satu Pelabuhan Ekspor
Utama Indonesia berkapasitas internasional
yang mampu menampung kapal-kapal
berukuran besar. Untuk itu, diperlukan
pembangunan pelabuhan ekspor dengan
kapasitas yang lebih baik. Salah satunya
adalah dengan mempercepat realisasi
pembangunan pelabuhan Tanjung Sauh sesuai
standar internasional, di samping perbaikan
dwelling time. Selain itu, upaya memperdalam
pelabuhan Batu Ampar dari 8 meter menjadi
15 meter perlu dilakukan agar bisa
menampung kapal ukuran besar kemudian
secara bertahap ekspor dapat dialihkan
melalui pelabuhan Batu Ampar.
2. Peningkatan utilisasi pulau-pulau terluar di
Kepulauan Riau yang tedapat di Selat
Karimata, Laut Natuna, maupun Laut China
Selatan sebagai daerah Perikanan Regional.
Optimalisasi pemanfaataan area tersebut
membutuhkan armada kapal ikan modern
berkapasitas besar serta pembangunan
pelabuhan perikanan di Natuna atau Anambas
sebagai kawasan perikanan terpadu, di mana
di dalamnya terdapat fasilitas penyimpanan
ikan (cold storage), galangan kapal ikan,
ketersediaan energi, dan unit pengolahan ikan
hasil tangkapan dan budidaya perikanan.
3. Pemanfaatan jaringan turis global dan
dukungan sistem informasi dan pembayaran
yang handal serta manajemen yang baik
untuk pengelolaan kepariwisataan di Batam
selain pemenuhan kebutuhan
infrastrukturnya.
4. Pengembangan industri pelayaran dan
galangan kapal perlu didukung dengan
insentif perpajakan dan pembiayaan
perbankan untuk meningkatkan daya saing
industri nasional. Selain itu, diperlukan
pengembangan industri penunjang serta
kemudahan impor komponen.
5. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar
baik pelabuhan, bandara, jalan sebagai bagian
infrastruktur konektivitas, ketersediaan SDM
yang memadai maupun ketersediaan energi
yang mendukung daya saing industri.
6. Pengembangan Batam ke depan
membutuhkan adanya sinkronisasi peraturan,
perijinan, dan kewenangan antara otoritas
pemangku kebijakan pengelolaan Batam.
Pembentukan Dewan Kawasan PBPB Batam,
diharapkan mampu mengatasi tumpang tindih
kewenangan pengolaan Batam terkait dengan
perijinan, perdagangan, dan investasi.
Pengembangan kawasan Batam dan sekitarnya
membutuhkan dukungan dan sinergitas para
pihak termasuk Bank Indonesia. Upaya-upaya
dimaksud meliputi peningkatan akses keuangan
bagi masyarakat, mendorong kelancaran efisiensi
sistem pembayaran dengan mewujudkan less
cash society, menjamin ketersediaan uang
Rupiah hingga daerah perbatasan, serta program-
program pengendalian inflasi dan pengembangan
perekonomian lokal agar stabilitas perekonomian
dan keuangan tetap terjaga sehingga mendukung
ekonomi yang berkelanjutan.
23
Ekonomi berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2016 secara agregat tumbuh 5,73% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan triwulan I 2016 (5,31%). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa terutama
didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, serta membaiknya
aktivitas perdagangan antar daerah seiring dengan momen Ramadhan. Hal tersebut berdampak
positif pada kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan Jawa. Pada triwulan III
2016, perbaikan ekonomi Jawa diperkirakan masih berlanjut ditopang oleh menguatnya konsumsi
rumah tangga dan membaiknya ekspor luar negeri serta meningkatnya belanja modal pemerintah
dan pembelian impor barang modal sektor usaha. Lapangan usaha perdagangan, industri
pengolahan dan konstruksi juga diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebagai respons atas
meningkatnya belanja rumah tangga dan pemerintah. Sementara itu, perbaikan kinerja pertanian
lebih didorong oleh faktor pergeseran musim panen. Secara keseluruhan tahun, perekonomian Jawa
pada 2016 diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6-6,0%.
Di sisi inflasi, pada triwulan II 2016, tekanan inflasi berbagai daerah di Jawa relatif terjaga pada
tingkat yang rendah. Realisasi inflasi Jawa di akhir periode triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,14%
(yoy) atau 0,96% (ytd), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 3,93% (yoy). Rendahnya
tingkat inflasi pada triwulan laporan dipengaruhi koreksi harga energi (BBM dan TTL), serta
terkendalinya inflasi pangan di tengah meningkatnya permintaan di masa Ramadhan. Pada
triwulan III 2016, inflasi diperkirakan terus terjaga pada kisaran yang rendah meski sedikit
mengalami kenaikan seiring adanya perayaan Idul Fitri dan tahun ajaran baru pada bulan Juli.
Namun, menguatnya nilai rupiah serta intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga kecukupan
pasokan pangan diharapkan mampu meredam tekanan inflasi. Secara keseluruhan, inflasi tahunan
Jawa pada 2016 diperkirakan berada di kisaran 3,35%-3,75% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi
Pada triwulan II 2016, perekonomian Jawa
tumbuh sebesar 5,73% (yoy) atau meningkat
dibanding triwulan sebelumnya. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh provinsi
di Jawa dengan kenaikan tertinggi terjadi di Jawa
Barat (5,88%), diikuti Jakarta (5,86%), dan Jawa
Tengah (5,75%).
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
Sumber: BPS
Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan
Peningkatan ekonomi berbagai daerah di Jawa
pada triwulan II 2016 ditopang oleh konsumsi
rumah tangga dan konsumsi pemerintah.
Peningkatan ekonomi yang lebih tinggi juga
didorong oleh meningkatnya ekspor terutama
I II III IV I II IIIp
Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.10 5.16 5.34
DKI Jakarta 5.87 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 5.63 5.86 6.06
Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.13 5.88 5.72
Jawa Tengah 5.24 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 4.98 5.75 5.76
D.I. Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 4.84 5.57 5.65
Jawa Timur 5.86 5.09 5.23 5.53 5.94 5.44 5.47 5.62 5.76
Jawa 5.57 5.20 5.15 5.51 5.87 5.45 5.32 5.73 5.80
Provinsi 20142015
20152016
24
perdagangan antar daerah seiring meningkatnya
permintaan terkait Ramadhan.
Momentum Ramadhan yang terjadi pada
triwulan II 2016 menjadi pendorong utama
peningkatan konsumsi rumah tangga. Hal ini
sejalan dengan peningkatan Indeks Perdagangan
Ritel (IPR) yang menunjukkan peningkatan
transaksi perdagangan retail (Grafik III.2).
Peningkatan konsumsi RT juga tercermin dari
meningkatnya pertumbuhan Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR). Disamping itu, tingkat inflasi yang
terjaga pada level yang rendah dan stabil serta
peningkatan optimisme konsumen yang
tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumsi (IKK)
turut menopang akselerasi pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan.
Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik III.3. Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah
Konsumsi pemerintah juga mengalami kenaikan
pertumbuhan pada triwulan II 2016. Hal ini
bersumber terutama dari percepatan realisasi
belanja pegawai pemerintah baik di tingkat
Kab/Kota maupun Provinsi seiring dengan
pencairan gaji ke-13 dan ke-14. Sementara itu,
kinerja investasi pemerintah dan swasta pada
triwulan II 2016 cenderung stabil. Hal ini sejalan
dengan angka likert scale5 (LS) hasil liason di
beberapa daerah industri di Jawa yang
mengindikasikan peningkatan investasi swasta.
Grafik III.4. Perkembangan Investasi – Liaison
Sumber: Bea Cukai
Grafik III.5. Perkembangan Ekspor Luar Negeri
Kinerja ekspor wilayah Jawa tumbuh meningkat
di triwulan II 2016 menjadi 7,23% (yoy), terutama
didorong oleh perdagangan antar daerah.
Meningkatnya permintaan domestik dari
berbagai daerah di luar Jawa terutama untuk
produk tekstil dan makanan-minuman.
Perdagangan luar negeri meskipun masih
terkontraksi tetapi telah relatif membaik.
Perbaikan ekspor luar negeri ditopang oleh
peningkatan ekspor manufaktur, khususnya
komoditas alat angkut dan makanan-minuman
dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Di sisi lain, impor
5 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistic
yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.
25
tumbuh lebih tinggi akibat meningkatnya
permintaan impor bahan baku tekstil dan baja.
Dari berbagai indikator perekonomian, kinerja
ekonomi Jawa di triwulan III 2016 diperkirakan
dapat tumbuh sebesar 5,8% (yoy). Pada triwulan
III, hampir seluruh provinsi di Jawa, kecuali Jawa
Barat, akan sedikit mengalami pertumbuhan
ekonomi. Masih kuatnya konsumsi rumah tangga,
disertai penyerapan realisasi belanja investasi
pemerintah, serta dampak dari pelonggaran
kebijakan LTV/FTV dan ekpektasi positif pelaku
usaha dalam merespon insentif pemerintah di
bidang investasi, diperkirakan akan menopang
pertumbuhan ekonomi Jawa di triwulan III 2016.
Kinerja Lapangan Usaha
Di sisi lapangan usaha, meningkatnya
perekonomian Jawa pada triwulan II 2016
ditopang oleh lapangan usaha perdagangan dan
konstruksi. Masuknya bulan Ramadhan
mendorong konsumsi domestik tumbuh lebih
kuat sehingga berdampak positif pada kinerja
lapangan usaha perdagangan. Selain itu, realisasi
proyek infrastruktur pemerintah dan
membaiknya investasi swasta mendorong
lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih tinggi.
Lapangan usaha industri pengolahan yang
merupakan sumber utama pertumbuhan
ekonomi Jawa juga tumbuh relatif stabil ditopang
oleh membaiknya permintaan ekspor luar negeri
dan perdagangan antar daerah.
Sumber: BPS
Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama
Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2016
tumbuh relatif stabil sehingga masih menopang
tumbuhnya perekonomian Jawa. Pada triwulan II
2016, industri pengolahan tercatat tumbuh 4,56%
(yoy), atau stabil dibandingkan kinerja triwulan I
2016 yang juga tumbuh 4,56% (yoy). Berdasarkan
hasil liaison, permintaan domestik menunjukkan
peningkatan di tengah masih rendahnya
permintaan ekspor luar negeri. Kondisi tersebut
mampu menjaga tumbuhnya kinerja industri
pengolahan pada triwulan II 2016.
Grafik III.7. Perkembangan Penjualan Pelaku Usaha
(Likert Scale)
Kinerja industri pengolahan yang meningkat
terutama terjadi di Jabar dan DKI Jakarta. Adapun
sub-lapangan usaha yang mengalami peningkatan
diantaranya industri alat angkut (mobil),
makanan minuman dan tekstil. Perbaikan angka
penjualan mobil baik domestik (7,6%;yoy)
maupun ekspor (1,9%;yoy) turut memberikan
dampak positif. Sementara itu, membaiknya
kinerja industri makanan-minuman dan tekstil
lebih didorong oleh kenaikan permintaan
perdagangan antar daerah. Di sisi lain,
permintaan ekspor luar negeri masih tumbuh
terbatas seiring meningkatnya risiko pelemahan
ekonomi global pasca referendum keluarnya
Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Pada triwulan III 2016, di tengah permintaan
ekspor luar negeri yang diperkirakan masih
tumbuh terbatas akibat masih tingginya
ketidakpastian global dan berlanjutnya risiko
pelemahan ekonomi global, kinerja industri
26
pengolahan diperkirakan tumbuh lebih tinggi,
khususnya industri baja dan kendaraan bermotor.
Hal ini didorong oleh ekspektasi membaiknya
permintaan domestik dan kenaikan permintaan
besi baja hasil produksi dalam negeri pada proyek
infrastruktur pemerintah.
Konstruksi
Lapangan usaha konstruksi tumbuh membaik
pada triwulan II 2016 sebesar 4,18% (yoy).
Perbaikan ini telah turut mendorong peningkatan
kinerja industri baja. Tracking realisasi proyek
infrastruktur pemerintah terus menunjukkan
peningkatan, khususnya pembangunan jalan tol,
pelabuhan dan bandara. Di sisi lain,
pembangunan pabrik baru terindikasi meningkat,
khususnya Provinsi Jawa Tengah.
Pada triwulan III 2016, realisasi pembangunan
infrastruktur pemerintah diprakirakan
mendorong kinerja konstruksi tumbuh lebih
tinggi. Selain itu, respons positif terhadap
pelonggaran kebijakan LTV/FTV serta ekspansi
beberapa pabrik (Jateng) berpotensi turut
mendorong kinerja konstruksi.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik III.8. Konsumsi Semen
Pertanian
Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha
pertanian menunjukkan kenaikan yang cukup
tinggi dari sebelumnya tumbuh negatif sebesar -
0,73% (yoy) menjadi tumbuh positif sebesar
2,63% (yoy). Kenaikan laju pertumbuhan ini
terutama didorong oleh meningkatnya produksi
tanaman bahan makanan (tabama) seiring
berlangsungnya masa panen raya padi dengan
puncaknya pada April 2016. Kenaikan pertanian
juga dipengaruhi oleh pergeseran panen ke
triwulan II 2016 akibat dampak El Nino yang
terjadi di akhir tahun 2015. Perbaikan kinerja
lapangan usaha pertanian terkonfirmasi dari
ekspektasi pertanian SKDU dan peningkatan
pasokan padi sehingga berdampak pada deflasi
komoditas beras di Jawa. Meskipun curah hujan
di beberapa daerah relatif tinggi, namun hasil
produksi masih dapat terjaga seiring
meningkatnya luas areal tanam di sentra
produksi.
Grafik. III.9. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian
– Liaison dan SKDU
Pada triwulan III 2016, seiring dengan datangnya
panen kelompok hortikultura, perkembangan
kinerja lapangan usaha pertanian diperkirakan
sedikit meningkat. Hal ini tercermin dari hasil
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang
menunjukkan potensi kenaikan tipis angka
produksi dibandingkan triwulan II 2016. Namun
demikian, risiko La Nina yang akan mencapai
puncaknya pada Agustus-September tetap perlu
diwaspadai untuk meminimalkan dampak
kerusakan hasil panen.
Perdagangan
Kinerja lapangan usaha perdagangan pada
triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan. Hal
ini dipengaruhi oleh masuknya periode
Ramadhan yang bergeser ke akhir triwulan II
2016 serta dampak dari libur sekolah.
Peningkatan kinerja lapangan usaha perdagangan
tercatat meningkat di hampir seluruh daerah di
Jawa, kecuali Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
27
Hasil Survei Perdagangan Eceran (SPE)
menunjukkan pertumbuhan Indeks Penjualan
Ritel (IPR) yang meningkat dari sebelumnya
tercatat 6,46% menjadi 12,61% pada
triwulan II 2016. Selain penjualan domestik,
meningkatnya permintaan ekspor luar negeri di
DKI Jakarta, Jatim dan Jabar turut menopang
kinerja perdagangan. Penjualan Komoditas alat
angkut dan perhiasan tumbuh meningkat pada
triwulan ini. Kenaikan ekspor juga didorong oleh
peningkatan permintaan ekspor ke Eropa
khususnya komoditas perhiasan dan tekstil.
Peningkatan penjualan ini tercermin dari hasil
liaison yang tercatat membaik.
Grafik III.10. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil
Grafik III.11. Penjualan Domestik dan Ekspor (LS)-Liaison
Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha
perdagangan diperkirakan terus meningkat. Hal
ini terutama ditopang oleh terjaganya daya beli
masyarakat di tengah tingkat inflasi yang relatif
rendah. Hasil SKDU menunjukkan peningkatan
ekspektasi kinerja perdagangan dari 3,90 SBT
menjadi 7,20 SBT di triwulan III 2016.
Jasa Keuangan
Lapangan usaha jasa keuangan tumbuh
meningkat pada triwulan laporan. Jasa keuangan
tumbuh sebesar 14,02% (yoy), jauh lebih tinggi
dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai
10,28% (yoy). Kenaikan pertumbuhan jasa
keuangan terjadi di seluruh daerah di Jawa,
kecuali Yogyakarta. Perbaikan kinerja lapangan
usaha jasa keuangan terutama ditopang oleh
perbaikan sub lapangan usaha perbankan, yang
memegang pangsa output terbesar jasa
keuangan. Hal ini sejalan dengan perbaikan
kinerja korporasi regional Jawa ini seiring dengan
meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan
dan terjaganya rasio NPL di bawah level 5% serta
rasio LDR (likuiditas perbankan) yang stabil.
Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada
triwulan II 2016 yang dihitung dengan metode
FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly
Measured) tercatat meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan provisi atau
komisi perbankan juga meningkat seiring sedikit
membaiknya pertumbuhan kredit.
Grafik III.12. Perkembangan FISIM
Kinerja lapangan usaha jasa keuangan
diperkirakan tumbuh melambat pada triwulan
III 2016. Hal ini disebabkan oleh perkiraan masih
terbatasnya pertumbuhan kredit di seluruh
provinsi Jawa. Akibatnya, pendapatan perbankan
dari jasa bunga, provisi dan komisi diperkirakan
tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan II
2016.
28
Fiskal Daerah
Realisasi belanja pemerintah daerah di Jawa
pada triwulan II 2016 (29,61%) lebih tinggi
dibandingkan triwulan I 2016 (10,04%) maupun
triwulan II 2015 (22,18%). Peningkatan realisasi
berasal dari belanja provinsi (33,40%) senilai Rp
49,11 triliun dan belanja kota/kabupaten
(27,52%) senilai Rp73,37 triliun. Walaupun
realisasi wilayah Jawa (29,61%) mengalami
peningkatan, namun masih di bawah targetnya
(45,33%).
Tabel III.2. Target dan Realisasi Belanja
Provinsi Tw II 20151
Tw II 20162
(target) (realisasi)
Banten 22,68 52,71 30,94
DKI 9,17 5,35 29,18
Jawa Barat 25,21 51,46 29,48
Jawa Tengah 19,34 48,53 24,86
DIY 31,22 51,73 35,19
Jawa Timur 25,23 55,77 32,94
Jawa 21,02 45,33 29,61
Sumber: TEPRA (diolah) 1 Data 6 provinsi dan 98 kota/kabupaten 2 Data 6 provinsi dan 104 kota/kabupaten
Grafik III.13. Persentase DPK Pemda di BPD
Sumber: TEPRA (diolah)
Grafik III.14. Realisasi Pendapatan Provinsi
Berdasarkan disagregasi wilayah, realisasi belanja
APBD terbesar pada Daerah Istimewa Yogyakarta
(35,19%) senilai Rp4,94 triliun. Kenaikan belanja
ini didorong realisasi belanja tidak langsung
terutama belanja pegawai dan belanja hibah.
Sedangkan realisasi belanja paling kecil pada
Provinsi Jawa Tengah (24,86%) disebabkan
realisasi belanja modal yang belum optimal
seiring masih rendahnya angka pembebasan
lahan proyek, khususnya Jalan Tol dan Bandara.
Kenaikan realisasi belanja Pemda sejalan dengan
penurunan persentase simpanan Pemda di BPD,
dari 60,72% (Rp124,79 triliun) pada triwulan II
2015 menjadi 52,89% (Rp 101,68 triliun) pada
triwulan II 2016. Penurunan persentase terutama
berasal dari giro, dari 51,05% (Rp177,97 triliun)
menjadi 20,60% (Rp35,32 triliun).
Sementara itu, realisasi pendapatan provinsi
wilayah Jawa pada triwulan II 2016 (36,22%)
meningkat dibandingkan triwulan I 2016
(18,81%). Penurunan pendapatan (yoy) terbesar
dialami DKI Jakarta (-26,89%) disebabkan masih
rendahnya pajak daerah, khususnya retribusi jasa
akomodasi.
Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi Jawa pada triwulan laporan
relatif terjaga seiring terkendalinya harga
pangan di tengah menguatnya permintaan di
periode Ramadhan. Kondisi ini tercermin dari
tingkat inflasi (yoy) sebesar 3,14%, lebih rendah
dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya
sebesar 3,93%. Pencapaian inflasi tersebut juga
lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional
sebesar 3,45%. Laju inflasi kalendar (ytd) wilayah
Jawa tercatat sebesar 0,96%, jauh di bawah
angka historis lima tahun terakhir sebesar 1,71%.
Rendahnya laju inflasi periode ini disebabkan
oleh koreksi harga pada beberapa komoditas
administered prices seiring penyesuaian harga
energi ke bawah serta relatif terkendalinya
harga pangan. Koreksi ke bawah harga energi
(BBM dan TTL) pada awal periode triwulan II 2016
adalah sejalan dengan masih berlangsungnya
tren penurunan harga minyak dunia. Dampak
lanjutan dari penurunan harga BBM ini
menyebabkan koreksi pada tarif angkutan dalam
kota dan angkutan laut. Di sisi lain, tekanan
29
inflasi yang terjadi pada kelompok administered
prices lebih bersumber dari penyesuaian tarif
listrik untuk kelompok 3.500 VA.
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.15. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi
Sementara itu, inflasi pangan relatif terkendali
di tengah menguatnya permintaan di masa
Ramadhan. Masuknya masa panen raya beras
dan hortikultura (cabe merah dan bawang
merah) pada awal triwulan laporan mampu
menahan tekanan inflasi selama triwulan II 2016.
Selain itu, kebijakan impor bawang merah,
bawang putih dan daging sapi beku turut
menjaga ekspektasi masyarakat di beberapa
daerah. Komoditas bawang merah dan cabai
merah tercatat deflasi di bulan Mei dan Juni
2016. Selain itu, pelaksanaan operasi pasar
murah untuk beberapa komoditas utama
meliputi beras, daging sapi dan gula pasir juga
turut menjaga terkendalinya harga.
Tekanan inflasi pada beberapa komoditas yang
masuk dalam kelompok inti relatif terjaga
dibandingkan periode sebelumnya. Penguatan
nilai tukar Rupiah mampu meredam gejolak
kenaikan harga komoditas lainnya seperti emas
perhiasan seiring kenaikan harga emas dunia
serta gula pasir karena rendahnya hasil
rendemen tebu yang menyebabkan
berkurangnya hasil produksi.
Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi
Sumber: BPS (diolah)
Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial
Sumber: BPS (diolah)
Memasuki triwulan III 2016, tekanan inflasi
masih terkendali pada tingkat yang rendah.
Meningkatnya permintaan pada periode lebaran
relatif dapat diimbangi oleh terjaganya pasokan
pangan seiring intensifnya upaya pemerintah
dalam menjaga kecukupan pasokan pangan.
Tekanan inflasi di awal triwulan III 2016
bersumber dari kenaikan tarif transportasi umum
dan beberapa komoditas bahan makanan. Hal ini
sebagai dampak dari meningkatnya pola
konsumsi masyarakat seiring berlangsungnya
libur sekolah yang bersamaan dengan Idul Fitri.
Selain itu, momentum tahun ajaran baru
diperkirakan turut memberikan tekanan pada
inflasi inti akibat adanya penyesuaian tarif biaya
pendidikan.
Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di
daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
melakukan berbagai kegiatan di masing-masing
provinsi. Sebagai contoh, upaya TPID dalam
qtq andil qtq qtq andil qtq
1 Daging Ayam Ras 10.93 0.10 1 Cabai Merah (38.18) (0.10)
2 Telur Ayam Ras 8.22 0.04 2 Beras (0.69) (0.02)
3 Wortel 62.84 0.03 3 Cabai Rawit (29.24) (0.02)
1 Angkutan Udara 16.22 6.62 1 Solar (8.85) (6.16)
2 Angkutan Antar Kota 1.82 1.89 2 Bensin (6.84) (5.57)
3 Tarif Kereta Api 0.17 0.09 3 Tarif Taksi (2.94) (1.51)
1 Emas Perhiasan 3.59 0.04 1 Busi (0.12) (0.04)
2 Gula Pasir 12.60 0.04 2 Ban Luar Sepeda (0.59) (0.02)
3 Kontrak Rumah 0.53 0.02 3 Semen (1.05) (0.01)
Volatile Food
Administered Prices
Core Inflation
Volatile Food
Administered Prices
Core Inflation
Komoditas Inflasi Komoditas Deflasi
2014
IV I II III IV I II
Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 3.78 3.22
Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 5.70 3.78
Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 4.21 2.96
D.I. Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.69 2.94
Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08 3.71 2.93
DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.62 3.08
Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.93 3.14
Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35 4.45 3.45
Provinsi2015 2016
30
menjaga kestabilan harga menjelang Lebaran
2016, secara umum dilakukan melalui kegiatan
penyelenggaran Pasar Murah. Komoditas utama
yang menjadi target operasi di seluruh provinsi
antara lain beras, daging sapi dan gula pasir.
Selain itu, komoditas daging ayam ras, telur ayam
ras dan minyak goreng turut menjadi target
operasi murah di beberapa provinsi di Jawa. TPID
se-Jawa juga telah menindaklanjuti arahan
presiden pada Rakornas TPID 2015 untuk
menjaga kestabilan harga di tingkat daerah.
Sumber: BPS (diolah) dan Bank Indonesia
Grafik III.17. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Untuk mendukung upaya pengendalian inflasi,
diperlukan perbaikan infrastruktur dan tata
niaga. Pembenahan kelembagaan basis produksi,
distribusi dan penjualan saat ini dirasakan masih
kurang memadai. Selain itu, rantai tata niaga
beberapa komoditas pangan pun masih belum
efektif. Namun demikian, upaya pemberian
subsidi pertanian melalui kartu tani, kebijakan
dan dukungan penyediaan lahan oleh pemerintah
serta penyediaan infrastruktur penunjang
produksi seperti cold storage dan saluran irigasi
dinilai mampu mendorong perbaikan dari sisi
produksi. Sementara itu, perluasan kerjasama
antar daerah, penguatan peran Bulog dan BUMD
serta pendirian Pusat Distribusi Agribisnis turut
memberikan dampak positif terhadap efektifitas
distribusi. Kondisi ini semakin diperkuat dengan
dibangunnya Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis (PIHPS) dengan berbagai fitur
pendukung. Hal ini dinilai dapat memberikan
percepatan akses mitigasi risiko inflasi bagi
Pemerintah Daerah.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja korporasi di Jawa pada triwulan I 2016
menunjukkan adanya perbaikan. Hal tersebut
tercermin dari rasio rentabilitas korporasi yang
mengalami peningkatan pada triwulan laporan,
setelah pada triwulan sebelumnya mengalami
perlambatan.
Rasio rentabilitas korporasi yang mengalami
peningkatan pada triwulan I 2016 turut
mendorong peningkatan kinerja solvabilitas dan
repayment capacity korporasi Jawa. Peningkatan
rentabilitas korporasi Jawa tercermin dari
peningkatan Return on Assets (ROA) dari 5,38
pada triwulan IV 2016 menjadi 5,43 pada
triwulan I 2016.
Sejalan dengan tingkat solvabilitas yang
mengalami peningkatan pada triwulan I 2016,
kemampuan korporasi dalam membayar pokok
utang maupun beban bunga juga membaik.
Kemampuan membayar bunga atau rasio Interest
Coverage Ratio (ICR) korporasi Jawa pada
triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,31 atau
meningkat dari triwulan IV 2016 yang tercatat
sebesar 3,77. Peningkatan rasio ICR menunjukkan
resiliensi korporasi Jawa di tengah tren
ketidakpastian perekonomian global saat ini.
Secara sektoral, peningkatan ICR koporasi Jawa
tersebut terutama didorong oleh peningkatan ICR
sektor industri kimia yang mengalami
peningkatan ICR dari 1,97 pada triwulan IV 2015
menjadi sebesar 7,75 pada triwulan I 2016.
Sumber: Bloomberg
Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi
31
Sumber: Bloomberg
Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi
Sumber: Bloomberg
Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi
Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk
di Jawa)
Sementara itu, rasio likuiditas (current ratio)
juga mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan rentabilitas korporasi. Rasio
likuiditas korporasi Jawa pada triwulan I 2016
tercatat sebesar 1,59 atau meningkat
dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 1,54.
Namun demikian, peningkatan likuiditas
korporasi dapat memberikan sinyal adanya sikap
wait and see terhadap perkembangan ekonomi
tahun 2016 sehingga korporasi menunda realisasi
investasi.
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa,
penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek
turut mengalami peningkatan. Kredit di Jawa
secara keseluruhan tumbuh (yoy) sebesar 8,52%,
lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 sebesar
8,21%; meski masih lebih rendah jika
dibandingkan pertumbuhan kredit nasional
(8,78%). Sektor korporasi menjadi pendorong
utama peningkatan pertumbuhan kredit di
tengah melambatnya pertumbuhan kredit sektor
perseorangan.
Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi
Kredit korporasi triwulan II 2016 tumbuh (yoy)
sebesar 10,91%, meningkat dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 9,58%. Peningkatan
penyaluran kredit terjadi pada kredit modal kerja
dan investasi, masing-masing sebesar 9,59% dan
14,36%; di atas pencapaian periode sebelumnya.
Peningkatan kredit ini terutama didorong oleh
sektor konstruksi, sejalan dengan percepatan
pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.
Kredit ke lapangan usaha konstruksi, yang
memiliki pangsa 7,4% dari total kredit korporasi,
tumbuh meningkat pesat mencapai 24,93%.
Sementara itu, kredit utama Jawa yaitu pada
lapangan usaha industri pengolahan serta
perdagangan besar dan eceran masih mengalami
perlambatan. Masing-masing lapangan usaha
TwIV
2015
TwI
2016
TwIV
2015
TwI
2016
TwIV
2015
TwI
2016
1 Automotive & Components 4.99 4.93 9.93 9.74 0.97 0.91
2 Food & Beverage 6.02 6.31 12.36 12.83 1.00 0.96
3 Pulp& Paper 1.99 1.93 5.42 5.24 1.72 1.67
4 Tobacco Manufacturers 14.63 14.50 29.78 28.06 0.71 0.72
5 Cement 11.19 10.62 15.55 14.97 0.39 0.43
6 Metal & Allied Products -8.23 -8.31 -19.45 -18.11 1.05 1.06
7 Chemicals 1.19 2.98 2.42 6.10 1.03 1.11
8 Pharmaceuticals 15.29 15.21 18.68 18.61 0.22 0.22
9 Textile, Garment 0.98 1.16 6.59 7.63 5.47 5.51
10 Ceramics, Glass, Porcelain 1.65 1.90 4.17 4.35 1.53 0.26
11 Plastics & Packaging 0.98 1.39 2.03 2.86 1.05 1.00
5.38 5.43 11.22 11.16 1.01 0.96Agregat
No Subsektor
ROA ROE DER
TwIV
2015
TwI
2016
TwIV
2015
TwI
2016
TwIV
2015
TwI
2016
1 Automotive & Components 1.40 1.40 2.26 2.25 0.18 0.17
2 Food & Beverage 1.84 1.97 2.22 2.32 0.22 0.23
3 Pulp& Paper 1.39 1.49 0.89 0.93 0.10 0.11
4 Tobacco Manufacturers 2.50 2.45 0.76 0.72 0.42 0.36
5 Cement 1.98 1.86 3.44 2.34 0.19 0.14
6 Metal & Allied Products 0.72 0.73 0.64 0.72 0.09 0.10
7 Chemicals 1.30 1.09 1.11 2.54 0.14 0.22
8 Pharmaceuticals 4.10 4.08 1.63 1.49 0.32 0.30
9 Textile, Garment 0.81 0.80 1.27 1.29 0.21 0.20
10 Ceramics, Glass, Porcelain 1.68 4.20 1.41 2.95 0.22 0.55
11 Plastics & Packaging 0.99 1.01 1.74 1.86 0.26 0.26
1.54 1.59 1.30 1.30 0.20 0.20Agregat
No Subsektor
Current Ratio Inventory TO Asset TO
32
tersebut tercatat hanya tumbuh 6,81% dan
10,72% pada triwulan II 2016.
Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Melambatnya penyaluran kredit korporasi
industri pengolahan juga tercermin dari
menurunnya rasio DER. Tingkat utang terhadap
ekuitas pada akhir triwulan I 2016 mengalami
penurunan menjadi 1,08; lebih rendah
dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 1,13.
Ketidakpastian kontinuitas pertumbuhan
permintaan ekonomi global ditengarai menjadi
penyebab penurunan preferensi korporasi dalam
menerima pinjaman di tengah perbaikan kinerja
korporasi.
Peningkatan penyaluran kredit korporasi diikuti
pula dengan peningkatan risiko kredit, meski
masih berada dalam kategori aman. Pada
triwulan II 2016 ini, risiko kredit korporasi (NPL)
meningkat menjadi 3,16%, lebih tinggi dari rasio
NPL secara keseluruhan yang sebesar 2,89%.
Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama
terjadi baik untuk kredit modal kerja maupun
kredit investasi. Secara sektoral, peningkatan
risiko kredit (NPL) terutama terjadi pada industri
pengolahan yang mencapai 3,88%, jauh lebih
tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
(2,87%).
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Dana Pihak Ketiga (DPK) perseorangan tercatat
mengalami peningkatan yang disumbang oleh
peningkatan tabungan. Dengan pangsa mencapai
49% dari total DPK, tabungan yang pada triwulan
II 2016 tumbuh 16,0% (yoy) mendorong
pertumbuhan DPK secara keseluruhan.
Sementara itu, deposito tumbuh negatif 2,1%
(yoy). Hal ini mengindikasikan adanya shifting
dari deposito ke tabungan yang mengindikasikan
peningkatan preferensi masyarakat terhadap
dana likuid.
Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan
Kredit rumah tangga tumbuh (yoy) melambat
dari 7,95% pada triwulan I 2016 menjadi 6,83%
pada triwulan II 2016. Perlambatan penyaluran
kredit rumah tangga utamanya disumbang oleh
kredit multiguna yang tumbuh melambat dari
17,18% ke 16,15% serta kredit kendaraan
bermotor (KKB) yang tumbuh juga tumbuh
melambat, dari 2,17% menjadi 0,82%.
Perlambatan KKB utamanya disumbang oleh
adanya kontraksi kredit kepemilikan truk dan
kendaraan bermotor beroda enam atau lebih,
yang mencapai negatif 55,37%. Meskipun
demikian, kredit penjualan mobil roda empat
pada triwulan II 2016 tumbuh membaik menjadi
33
4,97%, dari kuartal sebelumnya yang sebesar
4,44%.
Penyaluran KPR mengalami peningkatan
terutama didorong kenaikan permintaan KPR
untuk perumahan tipe 22 s.d. 70. Kredit
perumahan tipe 22 s.d.70 mencata pertumbuhan
hingga 15,06%. Peningkatan permintaan kredit
terkait properti itu sejalan dengan hasil Survei
Harga Properti Residensial (SHPR) yang
menunjukkan adanya peningkatan indeks harga
properti di kota-kota besar di Jawa yang ditopang
oleh kenaikan optimisme masyarakat untuk
pembelian barang tahan lama, yang ditunjukkan
oleh hasil Survei Konsumen (SK).
Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik III.26. Perkembangan KPR
Risiko kredit rumah tangga mengalami sedikit
peningkatan. Rasio NPL untuk kredit rumah
tangga tercatat meningkat ke level 2,55%; sedikit
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (2,51%).
Kenaikan risiko kredit terjadi di semua jenis kredit
rumah tangga, dengan kenaikan terbesar pada
KKB dan KPR. Kenaikan risiko KKB didorong oleh
peningkatan risiko kredit kepemilikan sepeda
bermotor, sementara kenaikan risiko KPR terjadi
di seluruh tipe KPR, terutama pada tipe di atas
70.
Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan
II 2016 mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Volume transaksi SKNBI
tercatat meningkat dari 24,3 juta transaksi
menjadi 26,8 juta transaksi. Sementara
berdasarkan nominalnya, transaksi SKNBI
mengalami peningkatan 58,4% (yoy) menjadi Rp
961 triliun. Dari jumlah itu, lebih dari Rp 685
triliunnya bersumber dari DKI Jakarta, yang
memiliki pangsa terbesar (68,5%) di Jawa.
Peningkatan nominal SKNBI terjadi di seluruh
wilayah Jawa, dengan pertumbuhan terbesar
terjadi di Jawa Tengah (113,4%; yoy). Kenaikan
yang besar terjadi tidak saja karena pola seasonal
Ramadhan, melainkan juga disebabkan
pembukaan caping atas SKNBI yang berlangsung
sejak November 2015.
Grafik III.28. Volume Transaksi SKNBI
34
Grafik III.29. Nominal Transaksi SKNBI
Pengelolaan Uang Rupiah
Pada triwulan II 2016, wilayah Jawa mengalami
net-outflow sebesar Rp76,6 triliun, berbeda
dengan triwulan sebelumnya yang mengalami
net-inflow. Nominal outflow mengalami
peningkatan pertumbuhan (yoy) yang tinggi, dari
21,03% pada triwulan I 2016 menjadi 77,86% di
triwulan II 2016. Sebaliknya, pertumbuhan inflow
melambat cukup dalam menjadi 1,00% (yoy),
setelah sebelumnya dapat tumbuh hingga
16,75% (yoy). Sesuai dengan pola historis net-
outflow pada periode Ramadhan – Lebaran, maka
net outflow yang terjadi ini dialami oleh seluruh
provinsi di Jawa.
Jumlah uang palsu (atau yang diragukan
keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank
Indonesia pada triwulan kedua tahun 2016
tercatat sebanyak 25.410 lembar, turun
dibandingkan triwulan sebelumnya yang
mencapai 43.402 lembar. Upaya mengantisipasi
peningkatan uang palsu dan edukasi kepada
masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah
akan senantiasa ditingkatkan guna menekan
peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan
didukung oleh penguatan koordinasi dengan
perbankan dan pihak berwajib mengenai
penanganan laporan masyarakat terkait uang
yang diragukan keasliannya.
Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow
Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu
Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara
agregat diperkirakan tumbuh di kisaran 5,6%-
6,0% (yoy) pada tahun 2016; lebih tinggi
dibandingkan realisasi pertumbuhan tahun
2015. Komitmen pemerintah untuk terus
merealisasikan proyek infrastruktur strategis
dalam bentuk konsumsi dan investasi
pemerintah, menjadi pendorong utama
pertumbuhan. Di sisi lain, sejalan dengan
perbaikan indeks keyakinan konsumen,
35
pertumbuhan konsumsi swasta, walaupun masih
relatif terbatas, akan juga mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa.
Ekspektasi membaiknya kinerja jasa konstruksi,
industri pengolahan dan perdagangan di
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur diharapkan
menjadi pendorong utama perbaikan ekonomi
Jawa. Tidak hanya itu, perbaikan ekonomi DKI
Jakarta, khususnya yang terjadi pada sektor
konstruksi dan industri pengolahan turut menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016.
Secara keseluruhan, membaiknya ekspektasi
masyarakat dan pelaku usaha terhadap
perekonomian domestik baik Jawa maupun non
Jawa, diperkirakan mendorong perbaikan
ekonomi melalui belanja masyarakat dan
investasi, baik belanja infrastruktur pemerintah
maupun upaya ekspansi sektor riil.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan diperkirakan
didorong oleh peningkatan permintaan
domestik. Meningkatnya kinerja konsumsi rumah
tangga diperkirakan didorong oleh meningkatnya
persepsi masyarakat terhadap kondisi
perekonomian nasional yang mengalami
perbaikan secara gradual pada tahun ini.
Apresiasi nilai tukar, terjaganya inflasi pada
tingkat yang rendah dan stabil, serta pelonggaran
kebijakan moneter dan makroprudensial yang
dilakukan oleh Bank Indonesia diperkirakan turut
mendukung peningkatan kinerja konsumsi.
Pengeluaran Investasi diprakirakan juga tumbuh
meningkat didorong terutama oleh realisasi
infrastruktur pemerintah, antara lain
pembangunan tol Trans Jawa, bendungan,
infrastruktur transmisi kelistrikan, serta berbagai
proyek lainnya. Selain itu, kebijakan tax amnesty
dan Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah juga
diperkirakan memberikan dorongan pada sektor
properti swasta dan investasi sektor riil meski
baru berdampak pada akhir tahun 2016.
Dari sisi penawaran, akselerasi kinerja industri
pengolahan dan perdagangan menjadi
pendorong utama peningkatan pertumbuhan. Di
semester I 2016, secara umum kinerja industri
pengolahan secara umum menunjukkan
peningkatan menjadi lebih baik daripada periode
yang sama tahun sebelumnya. Kinerja beberapa
subsektor, seperti industri otomotif, logam, dan
tekstil diperkirakan akan terus membaik.
Subsektor industri makanan-minuman juga
diperkirakan terakselerasi seiring dengan
peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga.
Meningkatnya kapasitas produksi industri
pengolahan yang terjadi seiring dengan
meningkatnya produksi, juga didukung oleh
implementasi paket kebijakan ekonomi yang
memberikan kemudahan bagi investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara
itu, meningkatnya permintaan domestik juga
mendorong peningkatan pertumbuhan lapangan
usaha perdagangan. Tren penurunan suku bunga
kebijakan moneter, yang kemudian akan
ditransmisikan melalui suku bunga kredit
perbankan, akan mendorong kinerja
perdagangan retail domestik serta penjualan
kendaraan bermotor. Sektor konstruksi
diperkirakan tetap tumbuh stabil, ditopang
terutama oleh realisasi proyek infrastruktur
pemerintah. Walaupun demikian, potensi
perlambatan dapat terjadi pada sektor pertanian
karena terganggunya produksi akibat
ketidakmenentuan kondisi cuaca hingga akhir
tahun 2016, sebagai dampak La Nina.
Di balik optimisme pertumbuhan ekonomi
tersebut, masih terdapat risiko terhadap kinerja
perekonomian Jawa di tahun 2016 ini. Walaupun
upaya otoritas perekonomian negara-negara
mitra dagang utama Jawa terus diarahkan untuk
memulihkan kondisi ekonomi, nyatanya
perbaikan perekonomian Jepang, Tiongkok,
Amerika Serikat, dan Eropa relatif berjalan
lambat. Pemulihan yang berjalan lambat tersebut
berpotensi terus menekan kinerja ekspor luar
negeri Jawa. Harga komoditas internasional yang
masih rendah juga menekan kinerja
perekonomian mitra Jawa dalam perdagangan
antar daerah, yang sebagian besar berbasis
sumber daya alam. Selain itu, risiko lebih
rendahnya pendapatan pemerintah daripada
36
yang diharapkan, berpotensi terhadap realisasi
pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang
telah dicanangkan.
Prospek Inflasi
Inflasi tahunan Jawa di penghujung tahun 2016
diperkirakan berada dalam rentang target inflasi
4±1%. Tingkat inflasi tersebut berada di kisaran
3,35%-3,75% (yoy), sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat inflasi di tahun
2015 yang hanya mencapai 3,12% (yoy).
Tekanan inflasi terutama bersumber dari
kelompok komoditas volatile foods terutama
sebagai akibat potensi gangguan produksi akibat
fenomena La Nina yang diperkirakan akan terjadi
hingga penghujung tahun 2016. Selain itu, harga
pakan ternak, terutama jagung dan kedelai,
berpotensi meningkat yang berdampak lanjutan
kepada harga daging dan telur. Tekanan pada
inflasi administered prices berpotensi meningkat
jika rencana kenaikan tarif listrik pelanggan 900
VA dilaksanakan pada bulan Agustus, Oktober,
dan Desember. Di sisi permintaan, peningkatan
konsumsi masyarakat, terutama di akhir tahun,
seiring dengan potensi perbaikan kondisi
perekonomian Jawa akan mendorong demand
pull inflation pada kelompok inflasi inti.
Di sisi lain, potensi downside risk inflasi
diperkirakan akan bersumber dari kelompok
administered prices dan inflasi inti. Harga bahan
bakar minyak yang terkoreksi di awal tahun serta
masih rendahnya harga minyak internasional
diperkirakan mendorong pemerintah untuk
menurunkan tarif transportasi umum dan LPG.
Selain itu, kebijakan tax amnesty yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat berpotensi
mendorong capital inflow yang besar di semester
II 2016, baik yang merupakan dana repatriasi
maupun dana asing yang terdorong masuk akibat
sentimen positif terhadap kebijakan pemerintah.
Capital inflow tersebut berpotensi mendorong
penguatan nilai tukar rupiah yang tertransmisi
pada terjaganya tekanan kelompok inflasi inti.
37
Untuk mempertahankan dan mendorong daya
saing ekonomi domestik di tengah pemulihan
ekonomi global yang belum kuat, Pemerintah
secara konsisten telah mengeluarkan Paket
Kebijakan Ekonomi Jilid I-XII. Dari rangkaian Paket
Kebijakan transformasi struktural tersebut,
diharapkan sektor riil dapat memperoleh insentif
suku bunga, kemudahan berinvestasi,
peningkatan daya saing serta perbaikan
infrastruktur logistik dan listrik (Gambar III.33).
Gambar III.33. Paket Kebijakan Jilid I-XII
Berbagai kebijakan insentif yang telah diterbitkan
Pemerintah, dalam implementasinya di daerah
ternyata masih menghadapi beberapa kendala.
Status daerah sebagai Daerah Otonomi
menyebabkan beberapa kebijakan pemerintah
pusat perlu, dalam implementasinya perlu
dirumuskan kembali dalam bentuk Peraturan
Daerah (Perda). Untuk mengetahui sejauh mana
para pelaku usaha memahami dan merespons
Paket Kebijakan Pemerintah tersebut, Bank
Indonesia telah melakukan survei langsung
kepada para pelaku usaha di seluruh daerah di
Jawa. Survei dilakukan pada bulan Juli dan
melibatkan 150 responden.
Temuan Hasil Survei
a. Tingkat Pemahaman
Paket Kebijakan yang dilengkapi dengan petunjuk
teknis (juknis) memiliki tingkat efektifitas
implementasi yang lebih baik dibandingkan
dengan yang belum dilengkapi dengan Juknis.
Dari Paket Kebijakan Jilid I (Mendorong Daya
Saing Industri) dan Paket Kebijakan IV (Jaminan
Sistem Pengupahan dan Pengamanan PHK) yang
sudah dilengkapi dengan Juknis adalah perizinan
tanah, pendirian usaha dan penghitungan tarif
Upah Minimum Regional (UMR). Sebaliknya,
paket kebijakan industri farmasi dan Alkes (Paket
Kebijakan XI), masih kurang dipahami dan
dimanfaatkan dunia usaha. Para pelaku usaha
pada prinsipnya sangat mendukung setiap upaya
pemerintah dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan daerah/pedesaan.
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.34. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid I-XII
b. Tingkat Pemanfaatan Pelaku Usaha
Tabel III.6. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid I-XII
Sumber: Survei Bank Indonesia, 2016 (diolah)
Paket Kebijakan IV, VI dan VIII, yaitu penetapan
Upah Minimum Regional (UMR), Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung dan
insentif investasi pada industri petrokimia
tampaknya sudah lama ditunggu para pelaku
usaha, tercermin dari tingkat pemanfaatan yang
paling tinggi sebesar 100%. Industri pengolahan
No Kebijakan Ya Tidak No Kebijakan Ya Tidak
IInland Free Trade Arrangement
(IFTA)88% 12% VII
Insentif PPh 21 Industri
Padat Karya11% 89%
II Layanan 3 Jam 54% 46% VIIIKepastian Usaha dan Investasi
Industri Petrokimia100% 0%
Kredit Usaha Rakyat (KUR) 50% 50% IX
Penggunaan Fasilitas
Indonesia National Single
Window (INSW)
41% 59%
Percepatan Perizinan Tanah 14% 86% X Keterbukaan Investasi Asing 25% 75%
UMR 100% 0% KUR Pelaku Ekspor (KURBE) 50% 50%
Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia (LPEI)6% 94%
Dana Investasi Real Estate
(DIRE)4% 96%
Revaluasi Aset 37% 63% Integrasi Jasa Pelabuhan 25% 75%
Pemb. Syari'ah 7% 93%Ketersediaan bahan baku
industri farmasi & alkes7% 93%
KEK Tanjung Lesung 100% 0% Produksi Farmasi DN 4% 96%
Izin Impor Bahan Baku Farmasi 5% 95% XII Kemudahan berusaha 26% 74%
III
IV
XI
V
VI
Boks 2
38
sangat antusias dalam memanfaatkan
fasilitas/insentif yang diberikan. Hingga akhir
Agustus 2016, sebanyak 70% dari 38% responden
survei yang memanfaatkan fasilitas/insentif
pemerintah berasal dari Industri Pengolahan,
sedangkan sisanya dari perdagangan dan jasa.
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.35. Pemanfaatan Paket Kebijakan oleh Pelaku Usaha
Kebijakan pemberian insentif pada Kawasan
Inland Free Trade Arrangement (IFTA) direspons
sangat baik terutama oleh industri tekstil dan
kendaraan bermotor, karena efektif dalam
meningkatkan daya saing produk ekspornya.
Sementara kebijakan insentif penurunan tarif bea
masuk bahan baku industri (Paket VI), jaminan
ketersediaan bahan baku dalam negeri serta
insentif biaya investasi industri farmasi (Paket XI),
kurang diminati oleh kalangan Industri.
c. Penyelarasan Ketentuan Investasi Daerah
Efektifitas pelaksanaan kebijakan pemerintah
untuk mempermudah proses investasi di daerah
sangat dipengaruhi oleh Perda yang selaras.
Peraturan Kepala (Perka) BKPM No.14,15,16,17
Tahun 2015 yang terkait kemudahan ijin investasi
daerah pada umumnya telah direspons dengan
baik oleh BKPMPT/BKPM Daerah. Penyesuaian
Perda yang selaras dengan cepat diselesaikan
oleh 80% lebih responden (BKPMPT/BKPM
Daerah). Perka diatas umumnya sudah dilengkapi
dengan Juknis, kecuali Perka BKPM No.16.
Respons tertinggi tindak lanjut BKPM Daerah
terutama ada pada pengaturan perizinan dan non
perizinan investasi daerah, khususnya di kawasan
industri (Perka BKPM No. 15), seiring
ditetapkannya target realisasi investasi daerah
oleh BKPM Pusat.
Selain itu, BKPM Daerah mengutarakan beberapa
hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
kebijakan insentif investasi di daerah, yaitu:
1. Kewenangan Kab/Kota terbatas;
2. Belum ada sosialisasi BKPM Pusat ke daerah;
3. Pelaku usaha belum paham Juknis;
4. Pengusaha tidak menyampaikan Laporan
Kegiatan Penanaman Modal (LKPM); serta
5. Keterbatasan jumlah SDM.
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.36. Tindak Lanjut BKPM Daerah
Kesimpulan
Secara umum, hasil survei mengindikasikan
bahwa pelaku usaha, terutama sektor industri,
memiliki ekspektasi positif pada insentif yang
diberikan pemerintah melalui Paket Kebijakan
Pemerintah Jilid I-XII. Berbagai kemudahan
berinvestasi melalui layanan 3 jam, insentif
investasi di bidang farmasi petrokimia, serta
keterbukaan investasi asing telah dimanfaatkan
sektor industri. Di sisi lain, kebijakan jaminan
sistem pengupahan tenaga kerja, insentif PPh 21,
perbaikan infrastruktur logistik, serta fasilitas
bebas biaya impor bahan baku dan pajak di
Kawasan Inland Free Trade Arrangement (IFTA)
turut mendorong daya saing produk industri,
khususnya tujuan ekspor.
Ke depan, dibutuhkan sinergi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah guna mendorong efektivitas
pelaksanaan Paket Kebijakan, khususnya di
tingkat Kab/Kota. Perumusan juknis hinigga di
level teknis semakin dibutuhkan, terutama sejak
terdapatnya kecenderungan aliran investasi
sektor industri ke beberapa Kabupaten.
39
Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada triwulan II 2016 melambat dibandingkan dengan triwulan I
2016. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan rendahnya kinerja sektor pertanian dan
industri pengolahan terutama akibat produksi produksi CPO dan LNG. Sementara itu, meskipun
masih terkontraksi, kinerja sektor pertambangan mulai menunjukkan perbaikan. Perlambatan
kinerja sektor ekonomi utama berdampak pada minimnya realisasi investasi selama periode
laporan. Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan mulai membaik,
terutama didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan meningkatnya kinerja ekspor.
Sejalan dengan masih lesunya perekonomian, pada triwulan II 2016 tekanan inflasi Kalimantan
menurun menjadi sebesar 4,87%, terutama bersumber dari turunnya tekanan inflasi volatile foods
dan administered prices. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016 diprakirakan kembali menurun
dibandingkan triwulan II 2016 seiring dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan. Sepanjang
tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan lebih rendah dibanding tahun 2015, terutama ditopang
oleh terkendalinya tekanan inflasi volatile foods dan inflasi inti. Namun demikian, risiko inflasi yang
berasal dari kenaikan harga emas, tarif angkutan udara, dan kendala distribusi perlu diwaspadai.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada
triwulan II 2016 melambat dibandingkan
triwulan I 2016. Perekonomian Kalimantan pada
triwulan II 2016 tumbuh 1,1% (yoy), atau lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang
mencapai 1,4% (yoy). Perlambatan pertumbuhan
ekonomi Kalimantan dipengaruhi oleh
menurunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah
dan investasi. Di sisi lain, membaiknya konsumsi
rumah tangga dan ekspor mampu menahan
perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Secara
spasial, provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan mengalami perlambatan pertumbuhan
ekonomi, sementara Kalimantan Timur masih
terkontraksi lebih dalam, dan hanya Kalimantan
Tengah yang mengalami akselerasi pertumbuhan.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Kalimantan
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada
triwulan II melambat menjadi 2,5% (yoy) lebih
rendah daripada triwulan sebelumnya 4,4% (yoy).
Hal ini tercermin pada realisasi belanja
operasional pemerintah daerah yang menurun
serta melambatnya pertumbuhan realisasi
belanja Kementerian dan Lembaga di Kalimantan
dari 57,8% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi
menjadi 54,9% (yoy).
Kinerja investasi pada triwulan II 2016
mengalami kontraksi lebih dalam menjadi
negatif 5,8% lebih rendah daripada triwulan
sebelumnya negatif 2,1%. Kinerja sektor
pertambangan yang belum pulih mengakibatkan
penurunan investasi nonbangunan yang
dilakukan oleh korporasi sektor pertambangan.
Hal ini dikonfirmasi oleh indikator investasi pada
Likert Scale (LS) liaison dan Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) yang berada pada level rendah,
khususnya untuk sektor pertambangan dan
pertanian, indikator impor barang modal, serta
kredit investasi yang tumbuh terbatas pada level
5,11% (yoy).
Namun demikian, berlanjutnya proyek
pembangunan pabrik pengolahan mineral
alumina tahap II senilai Rp5,47 triliun dan
kenaikan investasi bangunan pemerintah
menahan perlambatan investasi lebih dalam pada
I II III IV Total I II*Kalimantan Barat 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3
Kalimantan Tengah 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8
Kalimantan Selatan 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8
Kalimantan Timur -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 -1.3 -1.0
Kalimantan 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3
2015 2016Provinsi
40
triwulan laporan. Kenaikan investasi bangunan
yang dilakukan oleh pemerintah terindikasi dari
meningkatnya pertumbuhan belanja modal
pemerintah dari 24,5% (yoy) pada triwulan I 2016
menjadi 26,4% (yoy) pada triwulan II 2016. Hal itu
sejalan dengan peningkatan konsumsi semen di
Kalimantan.
Di sisi lain, meski masih terkontraksi, kinerja
ekspor Kalimantan juga cenderung membaik.
Ekspor Kalimantan pada triwulan II 2016
terkontraksi lebih kecil yaitu hanya negatif 0,5%
(yoy), tidak sedalam triwulan sebelumnya yang
mencapai negatif 1,4% (yoy). Membaiknya
kinerja ekspor disebabkan baik oleh kenaikan
harga beberapa komoditas ekspor utama
Kalimantan, antara lain minyak mentah, CPO dan
karet, serta batubara, maupun kenaikan
permintaan komoditas ekspor Kalimantan di
negara tujuan ekspor seperti Tiongkok dan India.
Kenaikan harga CPO didorong oleh penurunan
stok minyak nabati dunia pasca fenomena El
Nino, sementara perbaikan harga batubara
didorong oleh peningkatan permintaan Tiongkok
akibat menurunnya produksi domestik pasca
adanya aturan pemotongan jumlah hari kerja.
Sementara peningkatan permintaan di negara
tujuan ekspor terindikasi dari perbaikan
Purchasing Manufacturing Index (PMI) di kedua
negara tersebut.
Grafik IV.1. Ekspor Batubara Kalimantan Berdasarkan
Negara Tujuan
Konsumsi rumah tangga Kalimantan
menunjukkan peningkatan pertumbuhan yaitu
dari 4,2% (yoy) menjadi 4,6% (yoy). Peningkatan
ini didorong meningkatnya konsumsi pada
Ramadhan terutama terkait makanan dan
layanan transportasi udara. Hal ini dikonfirmasi
juga oleh tren peningkatan likert scale hasil
liaison dan saldo bersih tertimbang (SBT) SKDU
untuk sektor perdagangan pada triwulan II 2016.
Kenaikan konsumsi rumah tangga juga terindikasi
dari meningkatnya Indeks Tendensi Konsumen
(ITK) di seluruh provinsi di Kalimantan dari 102,09
menjadi 106,83 serta perbaikan NTP dari 96,89 di
TW I 2016 menjadi 97,36 di TW II 2016 yang
berpotensi meningkatkan daya beli rumah tangga
petani.
Grafik IV.2. LS dan SBT Perdagangan
Memasuki triwulan III 2016, pertumbuhan
ekonomi Kalimantan diperkirakan membaik
didukung oleh peningkatan konsumsi
pemerintah, investasi dan ekspor. Pertumbuhan
ekonomi triwulan III 2016 diproyeksikan sebesar
1,4% (yoy). Semua provinsi di Kalimantan
diperkirakan akan mengalami peningkatan
pertumbuhan ekonomi, termasuk Kalimantan
Timur yang akan mulai tumbuh positif meskipun
masih pada tingkat yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 akan
ditopang oleh konsumsi pemerintah yang
diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1% (yoy), lebih
tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar
2,5% (yoy). Hal ini sejalan dengan prakiraan akan
lebih optimalnya realisasi anggaran pada triwulan
III 2016.
Investasi diproyeksikan membaik meski masih
mengalami kontraksi. Pada triwulan III 2016,
kinerja investasi diproyeksikan tumbuh negatif
3,1% (yoy), membaik dibanding triwulan II 2016
41
yang tercatat negatif 5,8% (yoy). Perbaikan
investasi tersebut didorong oleh realisasi proyek
infrastruktur pemerintah pusat. Selain itu, upaya
deregulasi birokrasi pemerintah melalui paket
kebijakan dan tax amnesty juga diperkirakan
akan mendorong laju investasi di wilayah
Kalimantan. Kenaikan investasi juga bersumber
dari pelunasan pembayaran kepada kontraktor
pelaksana oleh pemerintah daerah atas
pembangunan beberapa proyek infrastruktur
pasca selesainya lelang proyek pada triwulan II
2016. Kegiatan investasi untuk pembangunan
smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat dan
smelter besi Provinsi Kalimantan Selatan
diprakirakan masih akan terus berjalan. Namun
demikian, investasi korporasi di sektor
pertambangan diprakirakan masih belum pulih
seiring masih terbatasnya permintaan komoditas
global.
Grafik IV.3. Likert Scale Ekspor
Grafik IV.4. ITK dan Likert Scale Perdagangan
Ekspor Kalimantan triwulan III 2016
diproyeksikan mulai tumbuh positif setelah
sempat terkontraksi pada triwulan II 2016. Ekspor
diprakirakan tumbuh 0,1% (yoy) terutama
didorong oleh ekspor batubara dan ekspor
komoditas lain seperti CPO seiring peningkatan
produksi tandan buah segar (TBS). Beroperasinya
smelter alumina di Kalimantan Barat juga menjadi
pendorong ekspor Kalimantan. Sementara itu,
risiko penurunan ekspor LNG akibat terbatasnya
feed gas diperkirakan berpotensi menahan laju
pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2016.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi RT pada
triwulan III diproyeksikan melambat menjadi
3,4% (yoy) dari 4,6% (yoy) di triwulan II. Hal ini
terindikasi dari melambatnya Indeks Ekspektasi
Konsumen, konsumsi makanan yang menurun
pasca ramadhan, serta menurunnya konsumsi
durable goods, seperti perumahan dan
kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu,
penyaluran kredit untuk barang-barang tersebut
diprakirakan mengalami perlambatan sesuai pola
musimannya pasca periode Ramadhan – Lebaran.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertambangan
Lapangan usaha pertambangan yang didominasi
pertambangan batubara dan migas, masih
terkontraksi tumbuh negatif 4,2% (yoy) pada
triwulan II, tidak sedalam kontraksi pada triwulan
sebelumnya yang tumbuh negatif 5,0% (yoy).
Perbaikan kinerja batubara didorong oleh
kenaikan permintaan Tiongkok seiring
menurunnya produksi batubara disana karena
aturan penurunan jumlah hari kerja buruh. Hasil
liaison dan SKDU sektor pertambangan juga
mengkonfirmasi perbaikan di sektor tersebut.
Sementara produksi minyak dan gas masih
tertekan seiring penurunan lifting.
Memasuki triwulan III, kinerja sektor
pertambangan diproyeksikan sedikit membaik
meskipun masih terkontraksi sebesar negatif
4,1% (yoy). Hal ini didorong oleh peningkatan
target produksi batubara sebesar 10,7% (yoy)
karena adanya diversifikasi pasar dan
peningkatan target Domestic Market Obligation
(DMO) sebesar 30%, seiring mulai beroperasinya
smelter Galena secara optimal di Provinsi
Kalimantan Tengah, dan smelter alumina dengan
42
target produksi 600.000 WMT di Provinsi
Kalimantan Barat pada triwulan III 2016. Selain
itu, perbaikan kinerja pertambangan juga akan
didukung oleh kenaikan harga komoditas
tambang yang diprakirakan mulai terjadi pada
triwulan III 2016. Hal ini juga terkonfirmasi dari
hasil SKDU dan LS liaison.
Grafik IV.5. Lifting Migas Kalimantan
Industri
Pada triwulan II 2016, industri pengolahan
mengalami perlambatan. Sektor industri
melambat menjadi 5,0% (yoy) dari 7,8% (yoy)
pada triwulan sebelumnya. Perlambatan sektor
industri terjadi di semua provinsi di Kalimantan.
Hal ini disebabkan oleh perlambatan aktivitas
industri CPO, LNG, karet, kayu dan kimia.
Penurunan produksi LNG disebabkan oleh
turunnya suplai gas alam. Salah satu korporasi
gas utama di Kalimantan mencatatkan penurunan
lifting gas sebesar 1,8% (yoy). Bahkan penurunan
suplai gas tersebut juga berdampak pada
penurunan produksi urea dan amoniak.
Sementara perlambatan industri CPO disebabkan
oleh penurunan berat buah sawit akibat el-nino.
Hal ini terkonfirmasi dari penurunan produksi
TBS, CPO dan kernel dari korporasi perkebunan
utama di Kalimantan. Penurunan produksi
industri karet disebabkan oleh mulai berlakunya
kesepakatan antara Indonesia, Thailand dan
Malaysia untuk melakukan pembatasan ekspor
per 1 Maret 2016 sebagaimana tertuang dalam
Agreed Export Tonage Scheme (AETS).
Sementara itu, peningkatan kapasitas produksi
smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat,
kenaikan aktivitas industri BBM, yang terindikasi
dari kenaikan impor bahan baku minyak mentah
di Provinsi Kalimantan Timur, serta selesainya
pembangunan fase kedua pabrik semen di
Kalimantan Selatan dengan kapasitas 3200
ton/hari, menjadi penahan perlambatan kinerja
sektor industri.
Memasuki triwulan III 2016, industri pengolahan
Kalimantan diprakirakan masih tumbuh
melambat menjadi 4,4% (yoy). Hal ini terindikasi
dari masih berlanjutnya penurunan output
industri LNG di Provinsi Kalimantan Timur dan
hasil olahan karet di Provinsi Kalimantan Selatan,
serta masih lemahnya investasi di sektor industri
sebagaimana terkonfirmasi dari hasil LS liaison
pada indikator investasi yang cenderung
melambat. Sementara itu, pertumbuhan industri
CPO dan smelter alumina belum mampu
mendorong pertumbuhan industri pengolahan
secara keseluruhan.
Grafik IV.6. Likert Scale Proyeksi Investasi
Pertanian
Pada triwulan II 2016, lapangan usaha
pertanian, kehutanan dan perikanan tumbuh
melambat menjadi 1,2% (yoy), dari 2,0% (yoy)
pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi
oleh penurunan produksi TBS pasca fenomena el-
nino 2015 dan masih rendahnya harga komoditas
karet internasional. Namun, perlambatan lebih
dalam tertahan oleh meningkatnya kinerja
tanaman bahan makanan sejalan dengan
penambahan luas tanam padi di Provinsi
Kalimantan Barat melalui program cetak sawah
yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu,
pergeseran musim panen dari triwulan I ke
triwulan II 2016 akibat pengaruh el-nino juga
43
menjadi faktor pendorong kinerja tanaman
bahan makanan.
Pertumbuhan kinerja lapangan usaha pertanian,
kehutanan dan perikanan pada triwulan III 2016
diproyeksikan membaik menjadi 2,6% (yoy).
Perbaikan didorong oleh kinerja subsektor
perkebunan, khususnya peningkatan produksi
TBS sejalan dengan kenaikan harga CPO
internasional. Perbaikan ini juga terkonfirmasi
dari LS liaison untuk indikator proyeksi penjualan
di sektor pertanian. Namun demikian,
meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian
diperkirakan akan tertahan oleh menurunnya
produksi tabama dan karet di Provinsi Kalimantan
Selatan. Penurunan produksi karet masih akan
terjadi tidak saja akibat implementasi
kesepakatan AETS untuk membatasi ekspor hasil
olahan karet, namun juga akibat harga karet
dunia yang belum menunjukkan peningkatan
yang menjadi disinsentif peningkatan produksi
bagi petani karet.
Grafik IV.7. Nilai Tukar Petani
Fiskal Daerah
Konsumsi pemerintah pusat di daerah juga
tumbuh melambat. Pertumbuhan realisasi dana
K/L di Kalimantan pada triwulan II melambat dari
57,8% (yoy) menjadi 54,9% (yoy), meskipun
secara persentase realisasi anggaran Tw II 2016
lebih tinggi dibandingkan Tw II 2015 akibat
penurunan pagu anggaran dari Rp35,6 triliun
pada 2015 menjadi Rp32,4 triliun pada tahun
2016.
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan konsumsi
pemerintah mengalami perlambatan hampir di
semua provinsi. Hal ini tercermin dari belanja
operasional Kalimantan pada triwulan II 2016
yang terkontraksi cukup dalam di seluruh
provinsi. Kontraksi terdalam terjadi di Kaltimra
akibat adanya rasionalisasi belanja daerah di
tengah pendapatan DBH yang menurun.
Tabel IV.2. Pertumbuhan Belanja Operasional APBD
Di sisi lain, progres fisik pembangunan di
Kalimantan membaik, dimana progres fisik
pembangunan meningkat menjadi 33,0% atau
lebih tinggi dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya. Peningkatan terjadi di semua
provinsi di Kalimantan, kecuali Kalteng.
Peningkatan terutama didorong oleh lebih
cepatnya realisasi belanja modal oleh Pemprov di
Kalimantan. Realisasi belanja modal pada Tw II
2016 tercatat 26,4%, lebih tinggi dibandingkan
triwulan lalu yang mencapai 24,6%.
Grafik IV.8. Perkembangan Realisasi Fisik-APBD (%)
Dari sisi pendanaan, pendapatan fiskal
cenderung stabil. Secara spasial, penurunan
realisasi pendapatan di Kalteng dan Kaltimra
terkompensasi dengan kenaikan realisasi
pendapatan di Kalbar dan Kalsel. Berdasarkan
sumbernya, penurunan realisasi pendapatan
bersumber dari turunnya PAD yang
Q1 '16 Q2 '16 Arah
Kalbar 29.01 -14.52 ↓
Kalteng -23.70 -4.85 ↑
Kalsel -16.50 -21.10 ↓
Kaltimra 67.75 -4.38 ↓
Kalimantan 11.63 -10.31 ↓
g. Belanja Operasional (% yoy)
44
mengindikasikan dampak perlambatan ekonomi
daerah.
Grafik IV.9. Pendapatan Daerah-APBD (%)
Perkembangan Inflasi
Melanjutkan trend penurunan sejak awal 2015,
Inflasi Kalimantan pada triwulan II 2016 tercatat
sebesar 4,87% (yoy), atau lebih rendah daripada
triwulan sebelumnya sebesar 5,07% (yoy). Secara
spasial, inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan berada
di atas nasional (3,45%) kecuali Kalteng (3,13%).
Inflasi tertinggi terjadi di Kalsel (5,88%), diikuti
oleh Kalbar (5,25%), dan terakhir Kaltimra
(4,61%). Apabila dibandingkan dengan pola
historisnya, capaian inflasi provinsi di wilayah
Kalimantan berada di bawah rata-rata 3 tahun
terakhir, kecuali di Kalsel.
Grafik IV.10. Perkembangan Inflasi
Penurunan tekanan inflasi pada triwulan II 2016
terutama didorong oleh meredanya inflasi
kelompok volatile foods (VF) dan inflasi kelompok
administered prices. Secara umum, capaian inflasi
VF Kalimantan berada di bawah level nasional
(9,6% yoy) kecuali Kalbar. Pada triwulan II 2016,
Inflasi VF turun menjadi 6,60% (yoy) dari 7,20%
(yoy) pada triwulan sebelumnya, terutama
didorong penurunan harga daging ayam ras
seiring kembali normalnya harga DOC dan pakan
ayam.
Inflasi administered prices mengalami penurunan
dari 4,4% (yoy) pada triwulan I menjadi 3,9%
(yoy) pada triwulan II. Penurunan tersebut dipicu
selain oleh koreksi harga bensin dan solar pada 1
April 2016, juga oleh penurunan secara rata-rata,
Tarif Tenaga Listrik (TTL) pada triwulan II. Namun,
penurunan inflasi administered prices tertahan
oleh kenaikan tarif angkutan udara akibat
tingginya permintaan layanan angkutan udara
dalam rangka umroh di Kalsel dan perayaan imlek
& sembahyang kubur di Kalbar, serta kenaikan
harga rokok akibat kenaikan cukai rokok.
Di sisi lain, pada triwulan II 2016, inflasi kelompok
inti mengalami peningkatan menjadi 4,51% (yoy)
dari semula 4,48% (yoy) pada triwulan
sebelumnya. Capaian inflasi kelompok inti
tertinggi terjadi di Kalsel sebesar 4,01% (yoy).
Peningkatan inflasi inti didorong oleh kenaikan
harga sewa rumah di Kalbar dan Kalsel akibat
tingginya permintaan perusahaan sektor
pertambangan yang memberikan fasilitas sewa
rumah kepada pegawai serta pengenaan pajak
sewa rumah kos dalam rangka optimalisasi PAD
di Kalsel. Khusus di Kalsel, kenaikan inflasi inti
juga disebabkan peningkatan harga kelompok
komoditas makanan jadi, terutama nasi dengan
lauk.
Grafik IV.11. Disagregasi Kelompok Inflasi
Memasuki awal triwulan III 2016, inflasi
Kalimantan pada bulan Juli 2016 turun menjadi
3,92% (yoy). Pada akhir triwulan III 2016, inflasi
di Kalimantan diperkirakan kembali menurun
menjadi 4,50% (yoy). Penurunan tersebut, secara
45
spasial bersumber dari penurunan inflasi di
provinsi Kalbar, Kalteng, dan Kalsel, masing-
masing sebesar 4,46%, 2,94% dan 4,93% (yoy).
Khusus Kaltim, inflasi diproyeksikan meningkat
menjadi 4,68% (yoy). Penurunan inflasi triwulan
III dipengaruhi oleh penurunan tekanan inflasi
kelompok volatile foods dan stabilnya tekanan
inflasi kelompok inti. Tekanan inflasi volatile
foods diprakirakan akan berkurang pasca
perluasan area peti kemas dan perbaikan
distribusi logistik akibat rekayasa lalu lintas dari
pelabuhan ke gudang, sebagaimana dilakukan di
Kaltim, serta membaiknya distribusi barang
melalui kapal seiring dengan penurunan
gelombang laut. Sedangkan stabilnya tekanan
inflasi inti sejalan dengan permintaan masyarakat
terhadap durable goods dan pertumbuhan
ekonomi yang tumbuh terbatas, di tengah
terkendalinya nilai tukar Rupiah.
Risiko inflasi Kalimantan terutama bersumber
dari kelompok administered prices yaitu tarif
listrik rumah tangga dan tarif angkutan udara.
Tarif listrik rumah tangga pada bulan Juli dan
Agustus tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-
rata triwulan II 2016. Sementara, risiko
peningkatan tarif transportasi udara diperkirakan
bersumber dari kenaikan permintaan angkutan
udara pada masa Idul Adha.
Secara keseluruhan, inflasi kalimantan di tahun
2016 diprakirakan lebih rendah dibandingkan
2015 yaitu 4,08% (yoy), masih dalam kisaran
sasaran inflasi nasional 4+1%. Secara spasial,
penurunan inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan di
tahun 2016 diprakirakan bersumber dari Kalsel,
Kalbar, Kaltim dan Kalteng masing-masing
sebesar 4,82%, 4,61%, 3,73%, dan 3,00%.
Penurunan tekanan inflasi 2016 diperkirakan
bersumber dari koreksi harga BBM sebagai
dampak dari penurunan harga minyak dunia,
membaiknya produksi pangan sejalan dengan
pembangunan dan revitalisasi irigasi untuk
mendukung produksi pangan, serta koordinasi
yang semakin kuat dalam TPID untuk
merumuskan langkah-langkah strategi
pengendalian inflasi sebagaimana tertuang dalam
Roadmad Pengendalian Inflasi. Namun, masih
terdapat beberapa risiko inflasi di 2016, yang
bersumber dari permasalahan infrastruktur
logistik pangan, seperti gudang dan pelabuhan
laut dalam, serta kenaikan tarif angkutan udara
pada masa Idul Adha dan akhir tahun. Dari sisi
eksternal, peningkatan harga emas internasional
juga diperkirakan akan memberikan potensi
tekanan terhadap inflasi inti di triwulan III 2016.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Inflasi Ramadhan di Kalimantan lebih rendah
dibandingkan rata-rata historis dalam lima tahun
terakhir. Rendahnya inflasi Ramadhan tidak lepas
dari berbagai upaya yang dilakukan TPID di
masing-masing provinsi, antara lain:
1. TPID Kalbar: (i) Operasi pasar daging sapi
bersama Bulog di pasar-pasar tradisional, (ii)
Operasi pasar dan pasar murah di 7
kabupaten/kota, (iii) Pelaksanaan pasar
pendamping di kantor SKPD, (iv) Perbaikan
ruas jalan Sosok-Tayan untuk mempercepat
akses distribusi pangan wilayah barat & timur
Kalbar, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan
program komunikasi publik melalui media
cetak dan media elektronik, serta (vi)
Pelaksanaan sidak di gudang distributor
utama untuk memastikan tidak ada
penimbunan stok.
2. TPID Kalteng: (i) Penyelenggaraan pasar
penyeimbang selama bulan ramadhan di
dekat pasar utama, (ii) Operasi pasar daging
sapi bersama Bulog di 14 kabupaten/kota, (iii)
Penyaluran Raskin bersama Bulog di 14
kabupaten/kota, (iv) Pengaturan pasokan dari
kandang dan kolam penyangga untuk
memenuhi kebutuhan menjelang dan saat
lebaran, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan
memanfaatkan media cetak dan talkshow di
media elektronik, serta (vi) Pelaksanaan sidak
di pasar utama Palangka Raya.
3. TPID Kalsel: (i) Operasi pasar dan pasar murah
untuk komoditas beras, bawang merah, dan
46
daging sapi, (ii) Operasi pasar daging sapi
bersama Bulog, (iii) Pengembangan klaster
sapi potong untuk mengurangi pasokan
daging sapi dari luar Kalsel, (iv) Pengelolaan
ekspektasi melalui komunikasi intensif di
media cetak dan media elektronik, serta (v)
Pelaksanaan sidak gudang distributor utama
untuk memastikan tidak ada penimbunan
stok.
4. TPID Kaltara: (i) Penyelenggaraan pasar
murah selama bulan Ramadhan di 15
kabupaten/kota; (ii) Penyaluran raskin
bersama Bulog di 6 kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk kurang sejahtera terbanyak;
(iii) Penambahan area peti kemas (2 ha) untuk
menampung pasokan pangan dari Jawa; (iv)
Pelaksanaan rekayasa lalu lintas untuk
distribusi pangan dari pelabuhan ke area
pergudangan, (v) Penguatan komunikasi
publik di media cetak dan media elektronik,
serta (vi) Pelaksanaan sidak di pasar utama
Kota Samarinda.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Perlambatan ekonomi Kalimantan pada triwulan
II 2016 turut berdampak pada kinerja korporasi
di Kalimantan. Penurunan kegiatan usaha,
tercermin pada indikator rata-rata utilisasi
kapasitas produksi hasil SKDU triwulan II 2016
yang turun menjadi 74,78% dari triwulan
sebelumnya sebesar 86,04%. Penurunan
kapasitas produksi terjadi pada sektor pertanian,
pertambangan dan industri pengolahan yang
secara rata-rata mengalami penurunan dari
83,6% menjadi 66,37%.
Namun beberapa korporasi sektor utama di
Kalimantan masih mampu menunjukan kinerja
keuangan yang stabil sebagaimana terlihat dari
beberapa indikator kinerja keuangan seperti
produktivitas, profitabilitas, solvabilitas,
likuiditas, dan repayment capacity yang mulai
menunjukan gejala rebound meski terbatas.
Bahkan korporasi di sektor pertambangan
batubara mampu bertahan di tengah rendahnya
harga komoditas akibat lesunya permintaan
global. Indikator asset turnover korporasi
batubara terlihat mengalami rebound meskipun
masih terbatas, sementara subsektor perkebunan
kelapa sawit dan CPO cenderung stabil.
Grafik IV.12. Asset Turnover
Grafik IV.13. Current Ratio Korporasi Batubara
Grafik IV.14. Solvability Ratio Korporasi Batubara
Ketahanan korporasi batubara lebih baik dalam
jangka panjang maupun jangka pendek,
sementara korporasi di subsektor perkebunan
kelapa sawit dan CPO sekalipun memperlihatkan
gejala kerentanan dalam jangka pendek, namun
akan tetap mampu bertahan dalam jangka
panjang. Hal ini terlihat dari indikator likuiditas
47
dan solvabilitas korporasi batubara yang
semuanya di atas 1 (Tw I 2016=2,0), sementara
korporasi CPO berada pada kisaran 1 untuk
current ratio-nya.
Grafik IV.15. Current Ratio Korporasi CPO
Selain itu, dilihat dari kemampuan korporasi
dalam membayar hutangnya (repayment
capacity), korporasi batubara cenderung lebih
baik dibandingkan korporasi yang bergerak di
bidang perkebunan kelapa sawit dan CPO.
Indikator repayment capacity menunjukkan
tendensi yang lebih baik, dimana Debt Service
Ratio (DSR) semakin rendah dan Interest
Coverage Ratio (ICR) meningkat.
Grafik IV.16. Solvability Ratio Korporasi CPO
Grafik IV.17. DSR & ICR Korporasi Batubara
Sedangkan indikator repayment capacity
korporasi yang bergerak di perkebunan kelapa
sawit dan CPO perlu diwaspadai mengingat relatif
lebih tingginya rasio DSR dan masih rendahnya
rasio ICR.
Terkait dengan risiko mismatch, beberapa
korporasi utama yang bergerak di pertambangan
batubara saat ini tidak memiliki risiko mismatch
khususnya currency mismatch karena utang luar
negeri dan impor mampu diminimalisasi dengan
adanya natural hedging yang bersumber dari
pendapatan ekspor. Selain itu, jumlah utang luar
negeri yang jatuh tempo di tahun 2016 tercatat
relatif kecil (di bawah USD 1,5 juta). Sementara
itu, korporasi utama di bidang perkebunan kelapa
sawit dan CPO memiliki risiko currency mismatch
yang lebih tinggi dan masih perlu diwaspadai.
Grafik IV.18. DSR & ICR Korporasi Perkebunan CPO
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Secara keseluruhan, penyaluran kredit korporasi
menunjukkan perbaikan yang tercermin dari
pertumbuhan kredit yang kembali positif
menjadi 0,2% (yoy). Sejalan dengan belum
kuatnya prospek permintaan global komoditas
pertambangan, pertumbuhan penyaluran kredit
pada korporasi sektor pertambangan, masih
mengalami kontraksi 12,5% (yoy), meski tidak
sedalam triwulan sebelumnya. Sementara
penyaluran kredit pada sektor utama lainnya
tercatat tumbuh positif dengan kecenderungan
yang meningkat seperti penyaluran kredit (yoy)
pada sektor industri pengolahan dan
perdagangan yang pada triwulan II 2016 masing-
masing kembali terakselerasi sebesar 11,9% dan
48
0,5%, setelah sempat melambat pada triwulan
yang lalu.
Meskipun penyaluran kredit membaik, namun
risiko penyaluran kredit korporasi di Kalimantan
meningkat. Hal ini tercermin dari rasio
nonperforming loans (NPL) yang naik, dari 5,3%
menjadi 7,0% (Tabel IV.3). Kenaikan NPL terjadi di
semua sektor utama di Kalimantan, kecuali
perdagangan yang cenderung stabil. Secara
spasial, NPL korporasi di Kalbar dan Kaltim yang
banyak bergantung pada kinerja sektor
pertambangan yang sedang mengalami kontraksi,
menunjukkan peningkatan dan berada sedikit
diatas threshold 5%. Secara agregat, terjadi
peningkatan risiko terhadap stabilitas sistem
keuangan yang bersumber dari korporasi di
Kalimantan.
Grafik IV.19. Perkembangan Kredit Korporasi
Tabel IV.3. Perkembangan NPL
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah
Tangga
Di tengah perlambatan perekonomian
Kalimantan hingga triwulan II 2016, sektor rumah
tangga masih dapat meningkatkan konsumsinya
menjadi 4.6% (yoy) yang didorong kebutuhan
konsumsi selama ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri. Hal ini sejalan dengan hasil survei konsumen
yang menunjukan peningkatan Indeks Keyakinan
Kosumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE)
dibanding dengan triwulan sebelumnya.
DPK Perseorangan di Perbankan
DPK rumah tangga di Kalimantan pada triwulan II
2016 menunjukkan peningkatan yang didorong
oleh peningkatan pertumbuhan giro dan
tabungan. Sementara jenis DPK deposito masih
terus mengalami perlambatan. Ditengarai,
Rumah Tangga di Kalimantan melakukan liquidity
profiling sebagai strategi berjaga-jaga dan
pemenuhan keperluan likuidas dalam jangka
pendek.
Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK RT
Kredit Perseorangan di Perbankan
Pertumbuhan kredit sektor rumah tangga pada
triwulan II 2016 cenderung stabil pada level yang
rendah. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada
kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 11% (yoy)
terutama dipengaruhi oleh penyaluran kredit
untuk pemilikan rumah tipe 21 s.d 70 yang
merupakan bagian dari program subsidi
pemerintah kepada pengembang perumahan
sederhana atau dikenal sebagai program “sejuta
rumah”. Sementara kredit pemilikan kendaraan
mengalami kontraksi 21% (yoy), sebagai akibat
dari penurunan daya beli seiring melambatnya
perekonomian Kalimantan. Berdasarkan
komposisi kredit, porsi kredit rumah tangga saat
ini masih didominasi oleh kredit multiguna
sebesar 58%, disusul kredit perumahan, kredit
kendaraan dan kredit ruko masing-masing
sebesar 29%, 10% dan 3%.
'16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II
Kalsel 3.5 4.11 0.5 0.61 1.7 2.22 0.7 0.49 4.2 4.41 12.3 10.88 7.9 6.83 8.1 8.73
Kalbar 5.6 7.90 0.1 0.01 0.1 0.10 29.2 43.22 1.3 1.25 0.0 0.83 1.6 1.81 5.8 4.45
Kaltim 6.4 8.53 0.2 0.19 12.1 20.01 0.3 0.28 6.2 6.13 15.4 19.61 31.6 38.61 14.3 16.17
Kalteng 3.4 3.43 0.0 0.01 43.5 39.93 0.2 0.22 2.3 1.73 0.4 0.15 5.7 4.12 15.3 15.64
Kalimantan 5.3 7.00 0.1 0.12 10.4 16.28 6.9 10.67 4.6 4.58 11.9 13.88 23.2 26.13 12.2 13.32
Dagang Transkom Jasa KonstruksiKorporasi Tani Tambang Industri
49
Grafik IV.21. Nonperforming loans (NPL) RT
Dari sisi kualitas kredit, kredit rumah tangga
masih terjaga dengan NPL yang rendah (2%) serta
rasio debt to service yang sehat yaitu 11,7%; jauh
dibawah threshold DSR yang sehat sebesar 30%
berdasarkan hasil Survei Konsumen. Secara
spasial, DSR tertinggi ada di provinsi Kalteng dan
Kalsel masing-masing sebesar 17,6% dan 13,3%.
Grafik IV.22. DSR- Survei Konsumen
Lebih jauh, hasil Survei Konsumen yang dilakukan
oleh Bank Indonesia di Kalimantan
mengindikasikan penurunan pengeluaran
konsumen untuk setiap kelompok komoditas.
Konsumen juga memperkirakan bahwa
pengeluaran tiga bulan yang akan datang sejak
periode survei di triwulan II lebih rendah
dibandingkan hasil survei pada triwulan
sebelumnya.
Pengelolaan Uang Rupiah
Pengedaran uang kartal di Kalimantan selama
periode triwulan II 2016 meningkat seiring
dengan perayaan Idul Fitri. Kondisi ini terjadi di
seluruh provinsi di Kalimantan. Jumlah uang yang
diedarkan Bank Indonesia (outflow) di wilayah
Kalimantan meningkat sebesar 46,80% (yoy),
sementara jumlah uang yang masuk ke Bank
Indonesia (inflow) turun 1,56% (yoy). Tren
peningkatan outflow di Kalimantan ini sejalan
dengan tren peningkatan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga.
Dalam memastikan ketersediaan uang layak
edar di Kalimantan, Bank Indonesia memperluas
jaringan distribusi dalam layanan kas antara lain
melalui pengembangan Centralized Cash
Network Planning (CCNP). Hingga triwulan II
2016, Bank Indonesia telah membuka 3 kas
titipan baru di wilayah Kalimantan yaitu kas
titipan Batulicin di Kalsel, kas titipan Tanjung
Selor di Kaltara dan kas titipan Tanjung Redeb di
Kaltim. Untuk jangka panjang (2015-2019), Bank
Indonesia juga akan membuka kas titipan di
beberapa titik seperti Kalbar (Putussibau),
Kalteng (Purukcahu, Nangabulik, Buntok dan
Kuala Kapuas), Kalsel (Batulicin, Tanjung,
Barabai), Kaltim (Tanjung Redeb, Melak) serta
Kaltara (Tanjung Selor, Tarakan, Malinau).
Grafik IV.23. Perkembangan Outflow dan Inflow
Rasio Uang Tidak Layak Edar (UTLE) terhadap
inflow tercatat mengalami peningkatan dari
32,5% pada triwulan I 2016 menjadi 41,41% pada
triwulan II 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa
mayoritas uang yang masuk kembali ke sistem
perbankan sesuai pola siklikalnya adalah uang
layak edar.
Sementara itu, temuan uang palsu pada
triwulan II 2016 turun dibandingkan triwulan
sebelumnya. Total bilyet temuan uang palsu di
Kalimantan tercatat sebanyak 673 bilyet atau
2,2% dari temuan uang palsu nasional.
Penurunan temuan uang palsu tersebut terjadi di
hampir semua provinsi di Kalimantan. Penurunan
signifikan terjadi di Kalimantan Barat dari 1.036
50
bilyet pada triwulan I 2016 menjadi 233 bilyet
pada triwulan II 2016. Berbagai upaya terus
dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di
daerah dalam mencegah dan mengurangi
peredaran uang palsu antara lain melalui
kegiatan edukasi/sosialisasi tentang ciri-ciri
keaslian uang Rupiah (Cikur), upaya mendorong
pelaporan uang palsu oleh perbankan dan
masyarakat serta kerjasama dengan pihak yang
berwenang untuk mendorong Gerakan Nasional
Non Tunai (GNNT) melalui program
elektronifikasi dan keuangan inklusif.
Grafik IV.24. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Grafik IV.25. Penemuan Uang Palsu
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016
diprakirakan tumbuh terbatas pada kisaran 1,0%-
1,5% (yoy). Rendahnya pertumbuhan Kalimantan
terutama disebabkan masih terbatasnya
pertumbuhan pertambangan akibat lemahnya
permintaan dari eksternal. Produksi batubara
diprakirakan belum akan meningkat sejalan
dengan masih rendahnya kebutuhan batubara
Tiongkok dan India. Selain itu, persaingan dengan
eksportir negara lain seperti Australia juga
diperkirakan akan semakin ketat.
Di sisi lain, sektor industri diperkirakan meningkat
didorong oleh peningkatan produksi industri CPO
pada semester kedua, sejalan dengan naiknya
produksi sawit pasca El Nino. Industri LNG juga
berpotensi membaik, meski masih dibayangi
penurunan lifting gas. Perbaikan kinerja sektor
industri juga akan ditopang oleh peningkatan
produksi semen, pasca beroperasinya pabrik
semen di Kalsel.
Dari sisi permintaan eksternal, pertumbuhan
ekspor secara agregat masih akan tertahan pada
level negatif. Di sisi permintaan domestik,
investasi masih akan mengalami tekanan seiring
aktivitas sektor pertambangan yang belum
sepenuhnya membaik sehingga pelaku usaha
masih menahan diri untuk berinvestasi. Oleh
karena itu, pertumbuhan investasi akan sangat
bergantung pada realisasi proyek infrastruktur
Pemerintah. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga
dan konsumsi pemerintah diprediksi akan
mengalami peningkatan. Hal ini antara lain
didorong oleh optimisme masyarakat terhadap
kondisi perekonomian yang semakin membaik.
Prospek Inflasi
Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan
lebih rendah dari 2015. Inflasi Kalimantan 2016
diprakirakan berada pada kisaran 3,8%-4,2%.
Kisaran prakiraan ini lebih rendah dari prakiraan
pada periode sebelumnya. Secara spasial,
penurunan inflasi dibandingkan tahun 2015
diproyeksi terjadi pada semua provinsi di
Kalimantan.
Penurunan inflasi terutama diprakirakan berasal
dari kelompok volatile foods. Hal ini terkait
optimisme terhadap pencapaian peningkatan
produksi tanaman pangan, realisasi
pembangunan dan revitalisasi irigasi pertanian
serta penguatan koordinasi dan langkah strategis
yang semakin baik dalam pengendalian inflasi
pangan yang dilakukan oleh dinas teknis, sebagai
bagian dari pelaksanaan roadmap pengendalian
51
inflasi daerah. Berbagai program tersebut juga
akan diperkuat dengan komunikasi yang intensif
agar ekspektasi inflasi masyarakat tetap
terkendali.
Di sisi lain, inflasi kelompok administered prices
diperkirakan meningkat. Peningkatan tekanan
diperkirakan berasal dari tarif angkutan udara
yang akan meningkat pada periode perayaan Idul
Adha dan akhir tahun. Namun, koreksi harga
BBM sepanjang tahun 2016 sebagai dampak dari
penurunan harga minyak dunia diharapkan
mampu menahan kenaikan inflasi administered
prices lebih lanjut. Selanjutnya, perlu diwaspadai
risiko tekanan inflasi 2016 yang bersumber dari
tren peningkatan harga emas sejak bulan Mei
2016 serta kendala infrastruktur logistik yang
berpotensi mengganggu kelancaran distribusi
pangan dan mendorong proyeksi inflasi volatile
foods menjadi lebih bias ke atas.
Dengan adanya berbagai risiko tersebut,
berbagai langkah konkrit harus ditempuh
bersama dan terkoordinasi untuk
mengendalikan inflasi di daerah. Hal ini sejalan
dengan arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi
Nasional VII TPID, tanggal 4 Agustus 2016, terkait
dengan hal-hal yang perlu dilakukan dalam
pengendalian inflasi.
52
Pengantar
Kondisi perekonomian Kalimantan masih belum
mampu untuk bangkit kembali. Pada triwulan II
2016, ekonomi tumbuh 1,1 % (yoy) atau lebih
rendah jika dibandingkan pertumbuhan periode
yang sama tahun lalu yakni 1,4%. Melemahnya
harga komoditas dan permintaan eksternal
secara signifikan terus menekan ekspor
Kalimantan yang sangat bergantung pada
komoditas. Lebih dari 75% ekspor komoditas
yang merupakan sumber utama pendapatan
Kalimantan adalah batubara.
Tidak dapat dielakkan, kondisi tersebut mulai
berdampak kepada ketahanan pelaku ekonomi,
baik korporasi maupun rumah tangga. Penurunan
mulai terjadi pada berbagai indikator kinerja
korporasi seperti profitabilitas, tingkat
pengembalian, leverage dan risiko kredit. Sebagai
akibatnya, berbagai indikator sosial memburuk
seperti tingkat pengangguran terbuka dan
kemiskinan yang mulai meningkat.
Sektor pertambangan batubara di Kalimantan
menjadi lapangan usaha terakhir bagi 22,7%
pekerja yang tidak diperpanjang masa kontrak
dan 16,88% bagi pekerja yang terkena PHK.
Mayoritas latar belakang pendidikan tenaga kerja
di Kalimantan yang didominasi oleh SD (45,5%)
tidak memungkinkan mereka untuk berpindah ke
sektor lain karena kurangnya keahlian yang
dimiliki. Lesunya sektor pertambangan langsung
direspons dengan peningkatan kemiskinan di
semua provinsi di Kalimantan yang tercermin dari
peningkatan indeks kedalaman kemiskinan6 dan
indeks keparahan kemiskinan7.
Hilirisasi sektor pertambangan dipandang
menjadi salah satu solusi untuk mengatasi
tekanan ini. Berbagai upaya telah dilakukan
6 Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan 7Ukuran ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin
pemerintah untuk mendorong hilirisasi seperti
kebijakan pelarangan ekspor mineral dalam
bentuk mentah serta pengembangan kawasan
industri dan kawasan ekonomi khusus di
Kalimantan. RPJMN 2015-2019 menetapkan 4
kawasan industri prioritas di Kalimantan Selatan
(Batu Licin dan Jorong), dua Kawasan di
Kalimantan Barat (Ketapang dan Landak) dan
rencana pendirian KEK Maloy serta satu kilang
minyak di Kalimantan Timur. Namun, desain
program hilirisasi sebaiknya juga mengarah pada
diversifikasi struktur ekonomi di Kalimantan,
sehingga akan mendorong terjadinya pola
perdagangan antar daerah.
Perkembangan penyelesaian berbagai kendala struktural hilirisasi industri
Sampai saat ini, program hilirisasi belum berjalan
sebagaimana yang direncanakan. Terdapat
beberapa kendala struktural antar lain minimnya
infrastruktur pendukung, permasalahan lahan
dan tumpang tindih perizinan lahan, rendahnya
kualitas sumber daya manusia, inkonsistensi
peraturan, serta ketidaksinambungan
ketersediaan energi.
Pembenahan infrastruktur dan penyediaan
energi di Kalimantan tengah diupayakan
pemerintah. Saat ini, pemerintah sedang
melakukan pembangunan empat pembangkit dan
empat jalur transmisi guna mengatasi defisit
energi listrik sebesar 442 MW. Keempat
pembangkit tersebut adalah (i) PLTU Kaltim Teluk
Balikpapan berkapasitas 2x110 MW dengan
progresnya mencapai 95% atau dalam tahapan
uji coba operasional, (ii) PLTMG Bengkanai
berkapasitas 155 MW dengan progres
penyelesaian 80%, (iii) PLTU Adaro-Kalsel
berkapasitas 2x100 MW yang progressnya baru
mencapai 10%, dan (iv) PLTU Parit Baru Baru–
Kalbar berkapasitas 2x55 MW dengan tingkat
penyelesaian sudah 70%. Selain itu terdapat
empat proyek transmisi lainnya yang sedang
Boks 3
53
dalam tahap konstruktsi dengan progress
penyelesaiannya antara 33% s.d. 88% yaitu
Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 180 km
Bangkanai Melak, SUTT 344 km Sampit-Pangkalan
Bun, SUTT 160 km Tanjung-Buntok dan SUTT 275
km Bengkayang-Ngabang-Tayan. Semua proyek
infrastruktur tersebut pada umumnya
menghadapi kendala pembebasan tanah,
keterlambatan kontraktor dan belum terbitnya
ijin DPA multiyears.
Kendala pembebasan lahan juga menyebabkan
rendahnya progres beberap proyek Infrastruktur
konektivitas seperti jalan tol Balikpapan-
Samarinda sepanjang 99,02 km dengan nilai Rp16
triliun yang masih baru dalam tahap pembebasan
lahan 81,5% dan pembangunan 7,7%, Bandara
Samarinda yang baru dalam tahap penyelesaian
pekerjaan darat sementara pekerjaan sisi udara
masih tertunda akibat kondisi lahan yang labil,
Pelabuhan KEK Maloy, Kijing dan Batanjung yang
progressnya masing-masing sebesar 75%, 0% dan
35%. Selain pembebasan lahan, pemenuhan
AMDAL dan pemotongan anggaran APBD
disinyalir turut menjadi kendala. Sementara
proyek infrastruktur lainnya seperti Bendungan
Tritip, Bendungan Tapin, Pos Lintas Batas Negara
(PLBN) Entikong, PLBN Aruk dan PLBN Nanga
Badau masing-masing baru menyelesaikan 48,6%,
4,13%, 64%, 18% dan 21% akibat sulitnya
pembebasan dan perubahan peruntukan lahan.
Munculnya kendala pembebasan lahan sebagai
faktor penghambat utama hilirisasi dan
pembangunan infrastruktur di Kalimantan akibat
selain belum dimilikinya RTRW juga karena
ketidaksinkronan RTRW yang dimiliki antara
provinsi, kabupaten dan kota.
Keberlangsungan Permintaan SDA dan Diversifikasi Kunci Kekuatan Struktur Ekonomi Daerah
Efek penurunan harga komoditas dialami oleh
seluruh provinsi yang mengadalkan SDA. Namun
demikian, dampak yang dirasakan berbeda di
setiap provinsi. Sebagai ddaerah yang kaya SDA,
dampak penurunan harga komoditas di Sumatera
Selatan relatif tidak sedalam di Kalimantan Timur
dan daerah lain di Kalimantan. Keberhasilan
menciptakan kestabilan permintaan batubara
dengan melakukan hilirisasi melalui pendirian
PLTU Mulut Tambang telah mampu menjaga
output sektor pertambangan. Selain itu, Provinsi
Sumatera Selatan juga secara bertahap
mendiversifikasi struktur ekonominya dengan
mengembangkan sektor tersier yang tercermin
dari menurunnya pangsa sektor primer
(pertanian dan pertambangan) dan
meningkatnya pangsa sektor tersier dalam enam
tahun terakhir. Akselerasi pembangunan
infrastruktur yang lebih dari 50% pembiayaannya
bersumber dari APBN dengan menjadi tuan
rumah penyelenggaraan event berskala nasional
maupun internasional turut memitigasi dampak
penurunan harga komoditas.
Things to do
Oleh karena itu, penyusunan roadmap
transformasi ekonomi Kalimantan yang
terintegrasi dan tidak parsial kedaerahan
menjadi hal yang mendesak dilakukan.
Kalimantan harus dilihat sebagai satu wilayah
Pulau yang terdiri dari beberapa provinsi yang
saling bergantung yang secara keseluruhan perlu
dihubungkan secara efisien dengan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi di wilayah lainnya seperti
Sumatera, Jawa dan KTI. Roadmap diharapkan
juga memberikan tahapan implementasi
pengembangan ekonomi yang dibutuhkan
Kalimantan agar transisi dari kondisi saat ini yang
berbasis sumber daya alam (resource based
development) menuju ekonomi dengan konsep
sustainable development dapat dicapai.
Keberadaan Roadmap dapat menjadi acuan
sinergi kebijakan berbagai pemangku
kepentingan agar pembangunan infrastruktur
dapat optimal mendukung perekonomian
Kalimantan untuk tumbuh kuat dan
berkelanjutan.
54
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
55
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami
perlambatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 5,9% (yoy). Perlambatan yang terjadi
dipengaruhi oleh turunnya kinerja ekspor luar negeri komoditas pertambangan serta turunnya
realisasi investasi yang bersumber dari penanaman modal dalam negeri. Memasuki triwulan III
2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat, didukung oleh perbaikan kinerja
lapangan usaha utama sehingga konsumsi rumah tangga dapat terjaga di tengah perbaikan kinerja
investasi bangunan. Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh di kisaran
6,4%-6,8% (yoy).
Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,94% (yoy), lebih
rendah dari triwulan sebelumnya (4,72%, yoy). Berkurangnya tekanan terhadap inflasi sejalan
dengan relatif rendahnya tekanan harga bahan makanan jika dibanding pola historisnya di saat
Ramadhan serta adanya koreksi harga BBM di awal triwulan. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016
diperkirakan kembali berkurang. Pada Juli 2016, inflasi periode Lebaran tercatat relatif terkendali
sebesar 0,67% (mtm). Sampai dengan akhir tahun 2016, faktor optimisme terhadap capaian
produksi pangan dan masih rendahnya harga minyak dunia menyebabkan tendensi penurunan
inflasi di KTI pada kisaran batas atas 3,6%-4,0% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi KTI pada triwulan II 2016 tumbuh
melambat dibandingkan dengan triwulan I 2016.
Secara agregat, ekonomi tumbuh sebesar 5,9%
(yoy), lebih rendah dari triwulan I 2016 yang
sebesar 6,3% (yoy). Melambatnya perekonomian
KTI dipengaruhi terutama oleh perlambatan yang
terjadi di beberapa provinsi yaitu Sulawesi Barat,
Gorontalo, Papua Barat, dan NTB. Sementara itu,
Provinsi Papua tercatat kembali mengalami
kontraksi yang lebih dalam dari triwulan
sebelumnya (Tabel V.1). Melambatnya
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dan
Gorontalo disebabkan oleh penurunan produksi
komoditas utama pertanian akibat tingginya
curah hujan pada triwulan II 2016. Sementara itu,
kinerja industri pengolahan di Papua Barat
mengalami kontraksi karena penurunan produksi
LNG seiring adanya disinsentif dari sisi harga.
Dalam periode yang sama, perlambatan ekonomi
di NTB dipengaruhi oleh capaian produksi dan
ekspor konsentrat tambang yang tumbuh tidak
setinggi triwulan sebelumnya. Adapun kontraksi
ekonomi di Papua terutama disebabkan oleh
penurunan produksi tambang mineral karena
adanya proses perbaikan mesin produksi.
Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI
Sumber: BPS
r) Revisi rilis sebelumnya p) Prakiraan Bank Indonesia
Di sisi permintaan, melambatnya ekonomi KTI
dipengaruhi oleh kontraksi ekspor luar negeri
dan perlambatan investasi. Kontraksi ekspor luar
negeri terutama disebabkan oleh penurunan
ekspor komoditas pertambangan. Turunnya
ekspor hasil tambang, khususnya mineral dari
Papua, merupakan dampak proses perbaikan
I II III IV Ir II IIIp
Sulawesi Selatan 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 8.1 7.8
Sulawesi Barat 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.3 4.6 6.2
Sulawesi Tenggara 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.5 6.8 7.3
Sulawesi Tengah 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.2 15.5 13.9
Gorontalo 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.7 5.4 6.7
Sulawesi Utara 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.4
Maluku 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.6 6.5 6.7
Maluku Utara 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.6 6.1
Papua 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (1.2) (5.9) 7.2
Papua Barat (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 3.4 4.5
Bali 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.1 6.5 6.6
NTB 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 9.9 0.8
NTT 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.3 5.4
KTI 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.3 5.9 6.9
Provinsi2015
20152016
56
mesin produksi. Hal ini menyebabkan terjadinya
23 hari downtime di tengah penurunan
produktivitas konsentrat mineral yang diperoleh.
Sementara itu, melemahnya kinerja investasi di
KTI terjadi di berbagai daerah dan secara agregat
tercermin dari realisasi Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) yang mengalami kontraksi. PMDN
triwulan II 2016 di KTI tercatat sebesar Rp3,8
triliun atau turun sebesar -14,8% (yoy).
Di sisi lain, pengeluaran untuk konsumsi masih
menjadi penopang pertumbuhan ekonomi KTI
pada triwulan II 2016. Dorongan kegiatan
perdagangan selama periode Ramadhan-Lebaran
serta relatif terkendalinya laju inflasi menjadi
faktor pendukung akselerasi konsumsi rumah
tangga. Di samping itu, penguatan konsumsi
rumah tangga juga ditopang oleh tingkat
pendapatan yang terjaga seiring dengan adanya
panen raya pertanian. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh hasil liaison yang dilakukan oleh Bank
Indonesia (Grafik V.1). Sementara itu, konsumsi
pemerintah juga mengalami akselerasi yang
didorong oleh percepatan pelaksanaan lelang
proyek, pencairan gaji ke-13 dan tunjangan bagi
PNS, serta adanya evaluasi anggaran secara
berkala untuk memperkuat koordinasi dan
mengatasi kendala antar satuan kerja yang ada di
daerah.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank
Indonesia
Grafik V.1. Realisasi Kegiatan Usaha dan Likert Scale
Perkembangan berbagai indikator dan hasil
liaison mengindikasikan adanya perbaikan
ekonomi KTI pada triwulan III 2016. Pada
periode tersebut, ekonomi KTI diperkirakan
tumbuh 6,9% (yoy). Secara spasial, prakiraan
percepatan pertumbuhan ekonomi terjadi di
hampir seluruh provinsi. Meningkatnya kinerja
perekonomian di berbagai daerah tersebut
didorong oleh masih kuatnya konsumsi rumah
tangga yang disertai oleh perbaikan ekspor luar
negeri dan akselerasi kegiatan investasi. Di sisi
lain, prakiraan melambatnya konsumsi
pemerintah karena pengurangan transfer pusat
ke daerah dapat menjadi faktor penahan
pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan konsumsi rumah tangga KTI
ditopang oleh terjaganya tingkat pendapatan
dan dukungan dari peningkatan kinerja
pariwisata. Pada triwulan III 2016, terjaganya
tingkat pendapatan masyarakat di tengah inflasi
yang terkendali didukung oleh prakiraan
peningkatan produksi sektor ekonomi tradable.
Selain itu, kinerja pariwisata, khususnya di Bali,
juga diprakirakan meningkat seiring masuknya
musim liburan di Eropa dan Australia. Optimisme
tersebut tercermin dari keyakinan konsumen
yang masih tinggi dan cenderung meningkat
(Grafik V.2). Sementara itu, konsumsi pemerintah
diprakirakan tumbuh melambat pasca pencairan
gaji tambahan untuk PNS di triwulan II 2016.
Deselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah
antara lain dipengaruhi oleh belum optimalnya
pencairan dana desa serta adanya efisiensi
anggaran akibat pemotongan belanja rutin non-
pembangunan oleh Pemerintah Pusat.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Investasi diperkirakan tumbuh meningkat pada
triwulan III 2016. Meningkatnya kinerja investasi
yang dihitung dari Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) terutama akan didorong oleh
57
belanja fisik dari APBD yang diprakirakan semakin
meningkat. Realisasi belanja dimaksud terutama
untuk mendukung pembangunan infrastruktur di
Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Bali, NTT,
Maluku, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sementara itu, terdapat indikasi peningkatan
investasi swasta seiring dengan turunnya tingkat
suku bunga kredit. Peningkatan investasi oleh
pelaku usaha tersebut terutama terlihat di
lapangan usaha pertanian, pertambangan,
maupun bangunan/konstruksi (Grafik V.3).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.3. Kegiatan Investasi Dunia Usaha
Setelah mengalami kontraksi, ekspor luar negeri
diperkirakan tumbuh positif pada triwulan III
2016. Perbaikan di sisi ekspor antara lain akan
didukung oleh peningkatan ekspor perikanan dari
Maluku dan Bali seiring cuaca yang masih
kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Ekspor
hasil perkebunan, khususnya dari NTT, Sulawesi
Utara, dan Maluku Utara, juga akan mendukung
akselerasi ekspor seiring dengan terjaganya
produksi perkebunan. Di samping itu, harga
migas dan nikel di pasar global yang
menunjukkan sedikit peningkatan diperkirakan
akan mendorong ekspor LNG (Papua Barat) dan
hasil olahan nikel (Sulawesi). Hal ini diperkuat
dengan membaiknya ekpor mineral tembaga dari
Papua pasca perbaikan mesin produksi.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan lapangan
usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan
kembali mengalami akselerasi. Angka
pertumbuhan tercatat menguat dari 2,1% (yoy)
menjadi 2,4% (yoy). Akselerasi kinerja pertanian
terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua,
NTB, dan NTT. Masuknya musim panen raya
subkategori tabama menjadi faktor utama
pendorong pertumbuhan. Berdasarkan hasil
liaison di beberapa daerah sentra, panen raya
juga didukung oleh peningkatan dari aspek
produktivitas lahan. Di samping itu, akselerasi
pertumbuhan usaha pertanian juga didukung
oleh membaiknya produksi ikan tangkap karena
kondisi cuaca yang mendukung kegiatan
penangkapan ikan para nelayan (Grafik V.4).
Sumber: KKP, diolah
Grafik V.4. Produksi Ikan Tangkap Maluku
Memasuki triwulan III 2016, kinerja lapangan
usaha pertanian diprakirakan kembali tumbuh
meningkat karena masih berlangsungnya panen
komoditas tabama. Panen tabama masih
berlanjut di beberapa daerah seperti NTB,
Sulawesi Utara, Papua, Sulawesi Barat, Bali, dan
NTT. Selain itu, pada periode Agustus-Oktober
2016, akan terjadi panen komoditas perkebunan
seperti cengkih, kelapa, aneka buah, serta kakao.
Peningkatan juga diprakirakan akan terjadi pada
produksi ikan tangkap (Maluku) dan hasil
peternakan sapi (NTT) yang didorong oleh faktor
permintaan dari negara importir maupun provinsi
lain. Peningkatan indikator Nilai Tukar Petani
(NTP) beberapa provinsi di KTI mengkonfirmasi
prakiraan akselerasi pertanian di awal triwulan III
2016 (Grafik V.5).
Produksi usaha pertanian yang terjaga akan
mendukung akselerasi kinerja ekspor KTI di
triwulan III 2016. Peningkatan produksi berbagai
jenis komoditas perkebunan dan hortikultura
58
akan menjaga kinerja ekspor pertanian. Hal
tersebut juga akan menjaga ketersediaan bahan
baku bagi industri makanan olahan sehingga
dapat mendorong ekspor produk industri
pengolahan secara keseluruhan, khususnya
produk industri berbasis aneka buah dan kakao.
Sementara produksi ikan tangkap dan udang
segar yang diprakirakan masih tumbuh
meningkat juga akan menopang ekspor dengan
tujuan utama ke Jepang dan Amerika Serikat.
Sumber: BPS
Grafik V.5. Nilai Tukar Petani
Pertambangan
Lapangan usaha pertambangan mengalami
kontraksi pertumbuhan pada triwulan II 2016.
Penurunan usaha pertambangan di KTI tercatat
sebesar -2,1% (yoy) setelah tumbuh 2,7% (yoy)
pada triwulan sebelumnya. Kontraksi yang terjadi
terutama disebabkan oleh adanya proses
perbaikan mesin produksi pertambangan di
Papua yang mengalami kerusakan sejak triwulan I
2016. Di samping itu, penurunan produktivitas
konsentrat mineral yang dihasilkan turut
mengakibatkan semakin terbatasnya produksi
tembaga dan emas (Grafik V.6). Penurunan
tertahan oleh perbaikan kinerja tambang di
beberapa provinsi di Sulawesi yang masih
tumbuh menguat sehingga kontraksi tidak terjadi
lebih dalam lagi.
Pada triwulan III 2016, kinerja pertambangan
diperkirakan berbalik arah dan tumbuh positif.
Pasca maintenance dan perbaikan mesin
pertambangan pada triwulan II 2016, produksi
hasil tambang di Papua diprakirakan mulai
mengalami akselerasi. Prakiraan peningkatan
produksi pertambangan juga akan ditopang oleh
akselerasi produksi nikel di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi
Tenggara yang ditujukan untuk memenuhi
permintaan industri olahan nikel setempat.
Faktor peningkatan harga internasional juga
menjadi insentif dalam mendorong kegiatan
produksi nikel (Grafik V.7).
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.6. Produksi Mineral Papua
Sumber: World Bank
Grafik V.7. Harga Komoditas Tambang
Prakiraan akselerasi capaian produksi akan
sejalan dengan peningkatan ekspor hasil
pertambangan yang akan ikut mengalami
percepatan pertumbuhan. Setelah mengalami
kontraksi, penjualan hasil produksi mineral dari
Papua diprakirakan meningkat untuk memenuhi
permintaan dari beberapa mitra dagang di Asia
dan Eropa. Sementara itu, mengikuti pola
historisnya, ekspor nikel matte dari Sulawesi
Selatan ke Jepang juga diprakirakan meningkat
untuk memenuhi kebutuhan industri lanjutan di
sana. Peningkatan ekspor tambang tersebut
secara keseluruhan akan menjadi pendorong
akselerasi ekspor luar negeri dari KTI pada
triwulan III 2016.
59
Industri
Lapangan usaha industri pengolahan mengalami
perlambatan pertumbuhan pada triwulan II
2016. Setelah tumbuh 12,2% (yoy) pada triwulan
sebelumnya, pertumbuhan usaha industri
tercatat melambat menjadi 9,1% (yoy) pada
triwulan II 2016. Deselerasi lapangan usaha
industri pengolahan hampir terjadi di seluruh
provinsi di KTI. Beberapa daerah bahkan
mencatatkan kontraksi yaitu Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Kontraksi yang
terjadi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat
dipengaruhi oleh keterbatasan bahan baku baik
untuk industri pengolahan ikan maupun kelapa
sawit. Sementara di Papua Barat, pengaruh harga
komoditas yang masih rendah menjadi disinsentif
bagi perkembangan produksi LNG. Faktor harga
nikel yang masih rendah juga menyebabkan
perlambatan produksi industri pengolahan
feronikel (Grafik V.8).
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.8. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara
Pada triwulan III 2016, kinerja industri
pengolahan diprakirakan meningkat. Selain
perbaikan produksi industri nikel yang ditopang
peningkatan harga jual, kinerja lapangan usaha
industri pengolahan juga akan didorong
akselerasi industri makanan olahan. Akselerasi
tersebut sejalan dengan upaya produsen
makanan olahan untuk meningkatkan
ketersediaan barang pasca optimalisasi penjualan
di musim hari raya (Grafik V.9). Selain itu, mulai
beroprerasinya pabrik gula baru di NTB serta
pabrik semen baru di Papua Barat juga akan
menjadi faktor pendorong pertumbuhan.
Peningkatan pertumbuhan juga akan
disumbangkan oleh industri pengolahan ikan dan
kayu yang meningkat seiring dengan terjaganya
pasokan bahan baku yang diimbangi oleh kuatnya
permintaan dari negara importir. Perbaikan
kinerja industri pengolahan didukung oleh hasil
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang
mengindikasikan peningkatan volume produksi
manufaktur pada triwulan III 2016. Ekspor
industri pengolahan berbasis komoditas
diprakirakan akan mengalami akselerasi. Masih
kuatnya permintaan untuk komoditas hasil
industri dari KTI menjadi faktor pendukung
akselerasi ekspor. Hal ini tercermin dari
Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS,
Tiongkok, dan Eropa yang masih ekspansif hingga
akhir triwulan II 2016. Di samping itu,
peningkatan harga nikel di awal triwulan
diprakirakan mampu menggiring optimisme
produksi dan ekspor hasil tambang nikel serta
produk-produk olahannya seperti feronikel atau
nickel pig iron (NPI).
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.9. Produksi Makanan Olahan Sulawesi Selatan
Konstruksi
Pada triwulan II 2016, lapangan usaha
konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan
dengan triwulan I 2016. Angka pertumbuhan
tercatat sebesar 8,2% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya yang sebesar 7,1% (yoy).
Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya
realisasi belanja modal dari APBD. Lanjutan
berbagai proyek pemerintah seperti proyek
multiyears pembangkit listrik dan pengembangan
kawasan ekonomi terpadu di Sulawesi Utara,
60
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan NTB turut
memberi dorongan positif pada perkembangan
lapangan usaha konstruksi. Indikator realisasi
konsumsi semen (Grafik V.10) di KTI pada
triwulan II 2016 juga mengkonfirmasi adanya
akselerasi pertumbuhan.
Memasuki triwulan III 2016, kinerja konstruksi
diprakirakan sedikit meningkat. Perkembangan
yang cukup baik tersebut terutama terjadi di
Sulawesi Utara, Maluku Utara, Bali, Papua,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kondisi
tersebut ditopang oleh realisasi belanja fisik
Pemerintah Daerah yang semakin intensif. Selain
itu, tren penurunan suku bunga diperkirakan
dapat mendorong perbaikan kegiatan investasi
swasta bangunan di KTI. Perbaikan investasi juga
didukung oleh beberapa proyek multiyears yang
terus berlangsung di KTI seperti peningkatan
kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi,
perbaikan jalan akses antara kota ke bandara,
serta pembangunan fasilitas umum seperti
rumah sakit dan rel kereta api.
Sumber: ASI, diolah
Grafik V.10. Realisasi Konsumsi Semen
Akselerasi lapangan usaha konstruksi pada
triwulan III 2016 sejalan dengan perkembangan
kegiatan investasi. Meski investasi tercatat
melambat pada triwulan II 2016, perkembangan
investasi terindikasi akan membaik pada triwulan
III 2016 yang didukung oleh peningkatan kinerja
usaha konstruksi. Hal ini sejalan dengan hasil
survei yang dilakukan baik dari aspek perkiraan
realisasi usaha maupun kegiatan investasi yang
menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan
sebelumnya (Grafik V.11).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.11. Perkembangan Lapangan Usaha Bangunan
Perdagangan
Pada triwulan II 2016, kinerja usaha
perdagangan di KTI tumbuh meningkat. Realisasi
pertumbuhan tercatat tumbuh lebih tinggi, dari
7,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi
8,2% (yoy). Akselerasi pertumbuhan terutama
terjadi di provinsi yang memiliki pangsa cukup
besar dalam struktur ekonomi KTI, seperti
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Utara, Papua, dan Papua Barat. Masih kuatnya
permintaan rumah tangga menjadi penopang
pertumbuhan perdagangan di periode
Ramadhan-Lebaran 2016. Hal ini tercermin dari
aktivitas bongkar di pelabuhan utama di KTI yang
mengalami peningkatan seiring meningkatnya
kebutuhan konsumsi (Grafik V.12).
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah
Grafik V.12. Volume Bongkar Pelabuhan Makassar
Pada triwulan III 2016, usaha perdagangan
diprakirakan masih tumbuh cukup baik. Sumber
pertumbuhan terutama adalah dari kegiatan
penjualan eceran (Grafik V.13), khususnya untuk
perlengkapan dan peralatan rumah tangga yang
dinilai masih mengalami peningkatan meski
relatif terbatas. Kondisi ini antara lain didukung
61
oleh adanya liburan sekolah pada awal triwulan
serta dimulainya tahun ajaran baru pada
pertengahan triwulan. Di samping itu,
penyelenggaraan berbagai jenis event oleh sektor
swasta juga masih cukup marak di Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali,
dan NTT. Arus kegiatan perdagangan juga akan
ditopang oleh peningkatan ekspor luar negeri
dari KTI yang diprakirakan meningkat.
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Grafik V.13. Indeks Penjualan Eceran Makassar
Akomodasi
Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat
tumbuh meningkat pada triwulan II 2016.
Pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi
tercatat sebesar 7,6% (yoy) pada triwulan II 2016,
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar
7,4% (yoy). Salah satu faktor pendorong
akselerasi adalah perayaan hari besar
keagamaan. Di samping itu, kunjungan
wisatawan mancanegara di daerah pariwisata
utama KTI juga tercatat mengalami akselerasi
pada triwulan II 2016 (Grafik V.14).
Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan
akomodasi diperkirakan meningkat pada
triwulan III 2016. Peningkatan tersebut didorong
oleh optimisme pelaku usaha pariwisata, seiring
dengan datangnya musim liburan bagi wisman
asal Eropa dan Australia. Hasil liaison turut
mengkonfirmasi adanya peningkatan wisman asal
Tiongkok ke Bali. Akselerasi kinerja pariwisata
tersebut akan turut menopang kinerja konsumsi
rumah tangga dan ekspor jasa di KTI. Indikator
hasil survei juga menunjukkan peningkatan
realisasi usaha dan harga jual (Grafik V.15).
Sumber: BPS
Grafik V.14. Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.15. Perkembangan Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Fiskal Daerah
Penyerapan belanja APBD di berbagai daerah
mencatat perbaikan pada triwulan II 2016 meski
masih belum dapat mencapai target yang
diharapkan. Masih adanya beberapa kendala
penyerapan terutama terkait dengan administrasi
dan pencairan dana desa menyebabkan realisasi
yang belum optimal. Meski demikian, kinerja
belanja pemerintah daerah menunjukkan
perbaikan seiring dengan adanya percepatan
pelaksanaan lelang proyek, pembayaran gaji ke-
13 dan ke-14 PNS, penerbitan Inpres Nomor 1
Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional, serta monitoring
pencapaian target realisasi secara berkala.
Penyerapan belanja APBD8 di KTI pada triwulan
II 2016 tercatat lebih baik dari tahun lalu
maupun rata-rata tiga tahun terakhir. Dari total
anggaran belanja sebesar Rp57,43 triliun,
persentase realisasi hingga triwulan II 2016
8 Data realisasi sementara APBD di tingkat provinsi
62
mencapai 33,96% atau lebih tinggi dari triwulan II
2015 yang hanya sebesar 27,37% (Tabel V.2).
Berdasarkan komponen belanja yang ada, belanja
operasional (termasuk komponen transfer)
mengalami peningkatan realisasi dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya,
dari 30,61% menjadi 37,16%. Demikian juga
dengan belanja modal yang menunjukkan
peningkatan dari 15,61% menjadi 22,30%.
Peningkatan penyerapan belanja APBD di KTI
didukung oleh peningkatan realisasi
pendapatan, terutama dana perimbangan dari
Pemerintah Pusat. Secara total, realisasi
pendapatan di KTI mencapai 45,73% hingga
triwulan II 2016, sedikit lebih tinggi dari tahun
lalu sebesar 45,02%. Peningkatan realisasi
tersebut didorong oleh persentase peningkatan
realisasi penerimaan dana perimbangan dari
Pemerintah Pusat yaitu dari 50,81% menjadi
51,93%. Sementara itu, realisasi Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Pendapatan Lain-lain yang Sah
menunjukkan penurunan dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi
PAD tercatat sebesar 42,89%, lebih rendah dari
tahun lalu sebesar 44,31%, sementara realisasi
Lain-lain Pendapatan yang Sah menurun dari
35,82% menjadi 32,55%.
Tabel V.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI
Sumber: SKPD masing-masing provinsi
Dalam upaya untuk peningkatan kinerja APBD,
beberapa daerah di KTI menerapkan strategi
dalam mendukung efektivitas penyerapan
belanja maupun realisasi pendapatan. Strategi
dimaksud telah dilakukan pada triwulan II 2016
dan akan terus diperkuat di periode mendatang.
Sebagai contoh, Provinsi Bali telah
memanfaatkan e-planning, e-budgeting, dan e-
musrenbang dalam rangka penguatan pelaporan
dan administrasi. Provinsi Sulawesi Selatan ke
depan akan lebih mengoptimalkan Electronic Tax
(e-Tax) atau pajak elektronik untuk penarikan
pajak hotel dan restoran di Makassar yang
selama ini dinilai belum optimal.
Perkembangan Inflasi
Laju inflasi KTI triwulan II 2016 sebesar 3,94%
(yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan I 2016 sebesar 4,72% (yoy).
Menurunnya inflasi dipengaruhi oleh
terkendalinya inflasi volatile foods dan deflasi
pada komoditas administered prices.
Bertambahnya supply komoditas pangan seiring
panen beras dan hortikultura di sejumlah daerah
mampu menahan tekanan inflasi volatile foods di
tengah kenaikan permintaan menjelang Lebaran.
Sementara itu, komponen administered prices
mencatat deflasi karena penurunan harga BBM
pada awal triwulan II 2016. Dalam periode ini,
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,
inflasi inti (core inflation) tercatat relatif stabil.
Secara spasial, inflasi triwulan II 2016 di
mayoritas provinsi di KTI masih tetap terjaga. Di
tengah tingginya lonjakan permintaan menjelang
musim liburan dan hari raya, penurunan tekanan
inflasi terjadi di sebagian besar provinsi, kecuali
di Papua. Dalam periode ini, inflasi tahunan
terendah terjadi di Maluku sebesar 1,82% (yoy),
sedangkan tertinggi di Papua sebesar 5,22%
(yoy). Selain Papua, Provinsi NTT dan Gorontalo
juga masih mencatatkan inflasi tahunan yang
cukup tinggi (sekitar 5%) dibandingkan dengan
provinsi lain. Tingginya inflasi di daerah tersebut
terutama disebabkan oleh tarif angkutan udara
dan naiknya harga kebutuhan pokok seperti
daging ayam ras dan gula pasir. Secara kumulatif,
inflasi di hampir seluruh provinsi di KTI masih
berada di bawah 2% (ytd) sehingga di akhir tahun
diprakirakan berada dalam rentang sasaran
4%±1% (yoy).
Tw II 2015 Tw II 2016
Pendapatan APBD Provinsi 45.02 45.73
Pendapatan Asli Daerah 44.31 42.89
Dana Perimbangan 50.81 51.93
Lain-lain Pendapatan yang Sah 35.81 32.55
Belanja APBD Provinsi 27.37 33.96
Belanja Operasi + Transfer 30.61 37.16
Belanja Modal 15.61 22.30
Belanja Tidak Terduga 0.86 2.71
Komponen APBDRealisasi (%)
63
Pada awal triwulan III 2016, inflasi Juli 2016
tercatat sebesar 0,67% (mtm). Inflasi pada
periode Lebaran tersebut tercatat di bawah rata-
rata pola historisnya (tahun 2011-2015) sebesar
1,14% (mtm). Penyumbang utama inflasi Juli
2016 adalah tarif angkutan udara, tarif dasar
listrik, dan beberapa komoditas pangan seperti
beras, ikan cakalang, ikan layang, dan tomat
sayur. Peningkatan harga didorong oleh adanya
tekanan dari sisi permintaan.
Perkembangan harga terkini menunjukkan
inflasi relatif terkendali hingga akhir triwulan III
2016. Pada pertengahan triwulan, masih terdapat
tekanan inflasi yang bersumber dari penyesuaian
biaya pendidikan tahun ajaran baru dan pasokan
hortikultura yang tidak setinggi di triwulan
sebelumnya karena dampak La Nina. Di samping
itu, harga emas yang cenderung meningkat turut
menambah tekanan inflasi. Hasil survei di awal
Agustus 2016 juga menunjukkan adanya tendensi
kenaikan harga aneka cabai dan emas perhiasan
(Grafik V.16). Meski demikian, inflasi akan
tertahan oleh penurunan harga berbagai
komoditas pangan yang lain, serta koreksi pada
tarif angkutan udara seiring dengan kembali
normalnya permintaan pasca Lebaran.
Berdasarkan perkembangan tersebut, inflasi KTI
pada triwulan III 2016 diprakirakan sedikit
menurun dan berada pada kisaran 3,88% (yoy).
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Grafik V.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Capaian inflasi periode Ramadhan-Lebaran yang
lebih rendah dari historisnya tidak terlepas dari
peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Bersama dengan beberapa instansi terkait
lainnya seperti aparat penegak hukum dan
asosiasi pedagang, TPID melakukan berbagai
upaya untuk mengantisipasi lonjakan harga.
Upaya pengendalian inflasi tersebut dilakukan di
seluruh daerah di KTI yang berfokus pada
penambahan pasokan pangan, perbaikan
infrastruktur pendukung distribusi barang,
komunikasi publik untuk menjaga ekspektasi
harga masyarakat, serta kerjasama dengan
penegak hukum dalam melakukan inspeksi.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Berbagai sumber risiko terhadap stabilitas
keuangan daerah seperti harga komoditas dan
nilai tukar terpantau masih berada dalam level
yang aman. Meski pemulihan ekonomi dunia
masih lambat, harga komoditas migas dan nikel
mulai menunjukkan sedikit peningkatan pada
akhir triwulan II 2016. Di samping itu, tingkat
suku bunga dan nilai tukar dinilai berada pada
level yang kondusif bagi pelaku usaha sehingga
secara keseluruhan belum memberikan ancaman
instabilitas bagi kinerja keuangan korporasi di
KTI. Hal ini tercermin dari kemampuan korporasi
terbuka (listed company) untuk memenuhi
kewajiban keuangannya yang masih terjaga
cukup baik meski tingkat profitabilitas menurun
dibandingkan dengan akhir 2015. Kemampuan
membayar korporasi yang cukup baik tersebut
terlihat dari Interest Coverage Ratio (ICR) yang
lebih besar dari 1,50. Solvabilitas korporasi
terbuka juga masih menunjukkan peningkatan
64
hingga awal tahun 2016. Di samping itu, para
pelaku usaha di luar korporasi terbuka juga
menunjukkan optimisme pada kinerja keuangan
mereka hingga triwulan II 2016 (Tabel V.3).
Tabel V.3. Kinerja Keuangan Korporasi KTI
Sumber: Bloomberg (data 13 korporasi di KTI) dan Survei
Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia, diolah
Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Dengan kemampuan bayar korporasi yang
masih cukup baik, kegiatan intermediasi dan
risiko kredit korporasi dinilai masih dalam
kondisi yang aman. Hal ini tercermin dari
pertumbuhan kredit kepada korporasi yang
masih tumbuh cukup tinggi walaupun sedikit
mengalami perlambatan. Angka pertumbuhan
kredit korporasi tercatat sedikit melambat dari
18,65% (yoy) menjadi 17,61% (yoy).
Melambatnya pertumbuhan kredit pada triwulan
II 2016 terutama disebabkan oleh melambatnya
penyaluran kredit kepada korporasi sektor
pertanian, industri pengolahan, dan penyediaan
akomodasi (Grafik V.18). Sementara itu,
simpanan milik korporasi di perbankan juga
tumbuh melambat pada triwulan II 2016 yaitu
dari 36,16% (yoy) menjadi 34,87% (yoy).
Deselerasi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
tersebut terutama terjadi pada jenis giro dan
deposito.
Kualitas kredit perbankan yang disalurkan ke
korporasi tercatat mengalami perbaikan pada
triwulan II 2016. Hal ini tercermin dari
penurunan rasio NPL dari 4,85% pada triwulan I
2016 menjadi 4,62% (Grafik V.19). Penurunan
NPL kredit korporasi terjadi di hampir seluruh
sektor utama, kecuali korporasi tambang.
Grafik V.19. Perkembangan NPL Kredit Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Seiring dengan perkembangan korporasi yang
masih cukup baik, kinerja keuangan rumah
tangga juga terpantau dalam kondisi yang baik.
Hal tersebut juga didukung oleh perkembangan
inflasi yang terkendali meski harga properti
residensial di beberapa kota besar di KTI
menunjukkan peningkatan. Dengan kondisi
tersebut, rumah tangga di KTI masih memiliki
tingkat keyakinan yang tinggi terhadap
peningkatan kondisi pendapatan. Hal ini sesuai
dengan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia
yang menunjukkan level Indeks Pendapatan per
Bulan untuk Memenuhi Kebutuhan yang berada
di atas 100. Risiko leverage berlebihan yang
diukur dari Debt Service Ratio (DSR) terjaga di
level 13,49%, turun dari triwulan I 2016 (13,54%).
Terjaganya kemampuan sektor rumah tangga
dalam memenuhi kewajiban keuangannya
mampu mendukung kegiatan intermediasi
perbankan. Kredit yang disalurkan pada triwulan
II 2016 menunjukkan peningkatan meski masih
terbatas yaitu dari 10,02% (yoy) menjadi 11,09%
(yoy) (Grafik V.20). Pertumbuhan kredit tersebut
Kinerja Keuangan
Korporasi Terbuka 2014 2015 Tw I 2016
Profitabilitas (Return on Assets) 3.33% -1.07% -1.32%
Likuiditas (Current Ratio) 1.37 1.79 1.60
Leverage (Debt to Equity Ratio) 0.95 0.91 0.60
Solvability Ratio 2.06 2.10 2.77
Kemampuan Bayar (ICR) 9.41 10.12 9.78
Pelaku Usaha Responden SKDU Tw II 2015 Tw I 2016 Tw II 2016
Profitabilitas (%Baik - %Buruk) 30.80 40.31 45.59
Likuiditas (%Baik - %Buruk) 32.69 42.58 44.65
Periode
65
didorong oleh kredit multiguna, sedangkan Kredit
Pemilikan Rumah dan Apartemen (KPR dan KPA)
serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mencatat
perlambatan pertumbuhan. KKB tercatat
mengalami kontraksi yang disebabkan oleh
perilaku masyarakat yang masih menahan
konsumsi dalam bentuk pembelian kendaraan.
Adapun simpanan perorangan tercatat tumbuh
menguat dari 11,57% (yoy) pada triwulan I 2016
menjadi 14,67% (yoy). Hal ini didorong oleh
akselerasi pada simpanan tabungan.
Di tengah akselerasi penyaluran kredit, kualitas
kredit sektor rumah tangga tetap berada dalam
batas aman. Rasio NPL kredit rumah tangga
tercatat mengalami penurunan dari 1,51% pada
triwulan sebelumnya menjadi 1,48% pada
triwulan II 2016. Penurunan NPL terutama
dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit
multiguna (Grafik V.21).
Grafik V.20. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.21. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengan (UMKM)
Pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM
mengalami peningkatan pada triwulan II 2016.
Kredit UMKM tercatat tumbuh 10,58% (yoy),
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 8,51% (yoy). Akselerasi tersebut
terutama terjadi pada penyaluran kredit kepada
UMKM yang bergerak di lapangan usaha
pertanian, perikanan, konstruksi, perdagangan,
dan akomodasi (Grafik V.22). Kondisi tersebut
sejalan dengan akselerasi pertumbuhan sektor
ekonomi pada triwulan II 2016.
Grafik V.22. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.23. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Peningkatan kredit kepada sektor UMKM pada
triwulan II 2016, diiringi dengan perbaikan
kualitas kredit. Hal tersebut tercermin dari NPL
kredit UMKM yang turun dari 4,09% pada
triwulan I 2016 menjadi 3,94% pada triwulan II
2016 (Grafik V.23). Perbaikan didorong oleh
membaiknya kualitas kredit di seluruh lapangan
usaha utama. Tren penurunan suku bunga kredit
kepada sektor UMKM sejak akhir tahun 2015
dinilai turut mendukung perbaikan NPL.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Sistem Pembayaran
Pada triwulan II 2016, transaksi kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
66
kembali menunjukkan akselerasi. Peningkatan
ini terlihat baik dari sisi volume maupun nominal
transaksinya (Grafik V.24). Di tengah kondisi
perlambatan ekonomi KTI pada triwulan II 2016,
transaksi nontunai tetap menunjukkan
peningkatan karena adanya perayaan Lebaran. Di
samping itu, perubahan batas bawah nilai
transaksi Real-time Gross Settlement Systems
(RTGS) yang semula Rp100 juta menjadi Rp500
juta pada triwulan IV 2015, turut memengaruhi
peningkatan transaksi kliring dibandingkan tahun
sebelumnya. Pada triwulan II 2016, total nominal
transaksi kliring tercatat sebesar Rp70,50 triliun
atau tumbuh 102,90% (yoy), lebih tinggi dari
pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar
85,17% (yoy).
Grafik V.24. Perkembangan Transaksi Kliring di KTI
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Kebutuhan masyarakat akan uang kartal selama
periode Ramadhan-Lebaran mengalami
peningkatan cukup tinggi, yang tercermin dari
lebih besarnya aliran uang kartal yang keluar
dari Bank Indonesia (outflow) dibanding uang
kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow).
Selama triwulan II 2016, secara agregat di seluruh
KTI terjadi net outflow sebesar Rp15,26 triliun
(Grafik V.25). Dalam periode ini, uang kartal yang
masuk ke Bank Indonesia tercatat sebesar
Rp12,83 triliun, sementara aliran uang kartal
yang keluar dari Bank Indonesia sebesar Rp28,09
triliun. Kondisi net outflow menunjukkan adanya
peningkatan kebutuhan uang kartal oleh
nasabah, baik perbankan, masyarakat, maupun
pelaku usaha, khususnya pada saat perayaan hari
besar keagamaan. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Bank Indonesia meningkatkan aktivitas
layanan perkasannya, khususnya melalui kas
keliling dan kas titipan.
Grafik V.25. Perkembangan Aliran Uang di KTI
Grafik V.26. Perkembangan Rasio UTLE di KTI
Seiring dengan kebijakan clean money policy,
kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar
(UTLE) terus dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pada triwulan II 2016, jumlah UTLE yang
dimusnahkan mencapai Rp5,96 triliun dengan
rasio terhadap inflow sebesar 46,43% (Grafik
V.26). Pemusnahan UTLE dilakukan sejalan
dengan komitmen Bank Indonesia untuk secara
konsisten memastikan ketersediaan uang layak
edar bagi masyarakat.
Selama triwulan II 2016, temuan uang palsu di
wilayah KTI tercatat sebanyak 2.431 lembar.
Secara spasial, uang palsu terbanyak di KTI
ditemukan di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, NTT, dan NTB (Grafik V.27).
Pemberantasan pengedaran uang palsu akan
terus dilakukan Bank Indonesia antara lain
melalui penguatan koordinasi bersama aparat
penegak hukum. Selain itu, untuk meningkatkan
kehati-hatian masyarakat, Bank Indonesia
67
menggiatkan berbagai kegiatan sosialisasi dan
edukasi sepanjang triwulan II 2016, antara lain
sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah
(CIKUR) kepada masyarakat, pelaku usaha,
nasabah perbankan, dan kasir perbankan. Di
samping itu, Bank Indonesia juga terus
memperkuat strategi komunikasi terkait
kewajiban penggunaan Uang Rupiah dalam
bertransaksi di wilayah NKRI.
Grafik V.27. Pangsa Temuan Uang Palsu KTI
Menurut Provinsi
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada tahun 2016
diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan
dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI
diprakirakan berada pada kisaran 6,4-6,8% (yoy).
Rentang pertumbuhan tersebut mengalami revisi
ke bawah dibandingkan proyeksi sebelumnya
yang berada pada rentang 7,1%-7,5% (yoy). Hal
tersebut dipengaruhi oleh turunnya kinerja
produksi dan ekspor pertambangan selama
semester I 2016 yang lebih dalam dari perkiraan
sebelumnya. Melambatnya ekonomi KTI pada
tahun 2016 terutama terkait dengan
perlambatan kinerja investasi bangunan dan
ekspor luar negeri. Deselerasi investasi
disebabkan oleh telah selesainya beberapa
proyek pengembangan industri di KTI yang
berskala besar seperti pabrik gula di NTB, pabrik
LNG di Sulawesi Tengah, serta smelter nikel di
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku
Utara. Sementara itu, pelemahan kinerja ekspor
luar negeri dipengaruhi oleh pertumbuhan
ekspor mineral yang terbatas seiring dengan
kuota ekspor NTB yang lebih rendah dari periode
tahun lalu serta adanya kerusakan mesin
produksi pertambangan di Sulawesi Selatan dan
Papua pada awal tahun 2016. Sebelumnya,
ekspor mineral tercatat tumbuh tinggi pada
tahun 2015 karena capaian yang rendah di tahun
2014 seiring penerapan kebijakan pembatasan
ekspor mineral mentah. Penerapan kebijakan
tersebut merupakan langkah konkrit untuk
mendorong hilirisasi tambang di KTI. Upaya
peningkatan nilai tambah memang menjadi
agenda yang krusial di KTI yang kaya akan SDA.
Adapun selain tambang, SDA yang juga
berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut
adalah perikanan (lihat Boks Potensi Industri
Perikanan KTI).
Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,
beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal
maupun internal masih perlu mendapat
perhatian. Dari sisi eksternal, kondisi pemulihan
ekonomi global yang berjalan tidak sesuai
ekspektasi sebelumnya seiring perlambatan
perekonomian Tiongkok dapat memberi
pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan
investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal,
gagal panen dan kekeringan lahan pertanian di
Balinusra pada semester I 2016 memberi risiko
terhadap pencapaian produksi tabama di KTI.
Selain itu, terdapat risiko pelemahan ekspor
akibat kemungkinan terhambatnya izin
konsentrat yang dapat muncul apabila eksportir
mineral KTI tidak dapat memenuhi komitmennya
terkait pembangunan smelter. Pelemahan kinerja
ekspor tersebut pada gilirannya dapat menekan
kinerja ekonomi KTI secara keseluruhan. Di sisi
lain, masih adanya beberapa masalah
administrasi APBD di awal tahun dikhawatirkan
dapat berdampak pada realisasi tingkat
penyerapan anggaran. Upaya akselerasi
penyerapan APBD yang dilakukan diharapkan
dapat meminimalisasi risiko dimaksud dan
meningkatkan realisasi anggaran.
68
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi KTI sampai akhir tahun 2016
diprakirakan berkurang karena menurunnya
inflasi volatile foods dan rendahnya inflasi
administered prices. Sepanjang tahun 2016,
inflasi KTI diproyeksikan pada kisaran batas atas
3,6-4,0% (yoy). Hal tersebut didukung oleh
optimisme peningkatan produksi tabama dan
hortikultura di berbagai daerah sentra.
Pemerintah daerah juga tengah melakukan
berbagai upaya untuk terus memperbaiki proses
produksi. Upaya-upaya tersebut antara lain
adalah penambahan luas lahan, pendampingan
kepada petani, serta pemanfaatan teknologi
pertanian. Di samping itu, pasokan ikan segar
diprakirakan lebih baik pada tahun 2016 karena
cuaca yang relatif lebih kondusif bagi kegiatan
penangkapan ikan. Adapun inflasi administered
prices yang rendah dipengaruhi oleh minimalnya
kebijakan peningkatan harga BBM seiring dengan
harga minyak dan nilai tukar yang relatif terjaga.
Di sisi lain, adanya tekanan permintaan yang
memengaruhi inflasi inti perlu menjadi
perhatian, apalagi dengan adanya berbagai
faktor risiko lainnya. Prakiraan konsumsi rumah
tangga yang masih cukup kuat di KTI akan
memengaruhi tingkat permintaan sehingga
memberi risiko tersendiri terhadap peningkatan
harga barang dalam keranjang inflasi inti. Di
samping itu, harga emas di pasar global berada
dalam tren yang meningkat sehingga dapat
mendorong naiknya harga komoditas emas
perhiasan yang memiliki bobot cukup besar
dalam keranjang inflasi kelompok sandang.
Adapun risiko inflasi juga datang dari aspek
gangguan distribusi pangan dan fenomena La
Nina yang masih perlu diwaspadai.
Dengan adanya berbagai risiko tersebut,
berbagai langkah konkrit harus ditempuh
bersama untuk mengendalikan inflasi di daerah.
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden dalam
Rapat Koordinasi Nasional VII TPID, tanggal 4
Agustus 2016, terkait dengan hal-hal yang perlu
dilakukan dalam pengendalian inflasi.
69
Sumber Daya Perikanan KTI Tertinggi
Sebagai negara maritim utama dunia, Indonesia
memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi,
baik untuk perikanan tangkap maupun
budidaya. Produksi perikanan tangkap dan
budidaya Indonesia rata-rata mencapai 20 juta
ton/tahun, atau terbesar kedua setelah China
yang produksinya mencapai 55 juta ton/tahun.
Namun demikian, tingkat produksi nasional
tersebut masih berada jauh di bawah potensinya
yang mencapai 80 juta ton/tahun, yang terdiri
dari 10 juta ton perikanan tangkap dan 70 juta
ton perikanan budidaya.
Sebagai wilayah dengan produksi perikanan
terbesar di Indonesia, KTI masih berada jauh di
bawah potensi perikanannya. Potensi produksi
perikanan KTI yang mencapai 53,5 juta
ton/tahun, tercatat hanya 10% yang dapat
dimanfaatkan. Hal ini terutama bersumber dari
kurang optimalnya produksi perikanan budidaya.
Produksi perikanan di KTI, baik yang budidaya
maupun tangkap, lebih terkonsentrasi pada yang
bernilai rendah (low value fish), seperti demersal
dan rumput laut. Produksi perikanan yang
bernilai tinggi seperti udang dan bluefin tuna
relatif masih rendah. Faktor-faktor yang
memengaruhi rendahnya kinerja dimaksud
adalah proses budidaya yang rentan terhadap
kondisi cuaca, proses penangkapan ikan yang
masih sederhana, infrastruktur pendukung yang
kurang memadai, peralatan penangkapan ikan
yang masih terbatas, serta kualitas dan kapasitas
SDM yang kurang mendukung.
Ekspor pengolahan ikan, yang sempat terganggu pasca kebijakan moratorium kapal asing, mulai menunjukkan peningkatan.
Penetapan regulasi terkait perikanan tangkap
yang terdiri dari moratorium kapal eks asing serta
larangan transhipment sejak tahun 2014, pada
awalnya mengakibatkan penurunan ekspor yang
cukup dalam. Namun, sejak awal tahun 2016,
ekspor hasil olahan ikan mulai menunjukkan
perbaikan. Jumlah ikan yang berhasil ditangkap
para nelayan dilaporkan meningkat. Sehingga
indikator Nilai Tukar Nelayan di beberapa
provinsi wilayah KTI juga memperlihatkan
perbaikan.
Potensi penyediaan bahan baku secara melimpah bagi industri berbasis perikanan (Value Chain Industry) memberikan peluang besar bagi KTI untuk menjadi bagian dari Rantai Nilai Global Perikanan Dunia.
Saat ini peran Indonesia dalam rantai nilai global
perikanan dunia adalah sebagai pemasok/input
bahan baku (raw fish), dengan tujuan utama ke
Thailand, Tiongkok, Jepang dan US. Empat negara
tersebut berperan sebagai processor atau
pengolah inputan raw material tersebut, dengan
pembeli utama adalah negara US, Eropa, Jepang
dan Tiongkok. Sebagai pengolah bahan mentah,
pengolahan pada masing-masing negara tersebut
menghasilkan produk dengan nilai tambah yang
lebih tinggi.
Pengolahan lebih lanjut sebagaimana negara-
negara tersebut dapat menjadi peluang bagi
industri perikanan di Indonesia. Udang yang
sebagian besar disuplai dari Indonesia ke
Thailand dan Jepang, diolah menjadi frozen
breaded shrimps dengan nilai tambah >300%.
Pengolahan tuna segar menjadi tuna fillet,
sebagaimana yang dilakukan US dan Jepang
terhadap ekspor tuna Indonesia, akan
memberikan nilai tambah yang cukup signifikan
yaitu >200%9.
Selain itu, komoditas ekspor rumput laut memiliki
begitu banyak potensi produk turunan. Rumput
laut Indonesia telah menjadi input utama
produksi karagenan di Tiongkok. Nilai tambah
olahan rumput laut ini bisa mencapai >300%,
9 Sumber: Kementerian Kelautan Perikanan
Boks 4
70
digunakan untuk bahan makanan dan memiliki
demand yang cukup tinggi dari Eropa dan US.
Karakteristik industri olahan ketiga produk
tersebut, yang menggunakan banyak input
tenaga kerja, menghasilkan kesempatan kerja
yang lebih besar dan tingkat kesejahteraan yang
lebih baik.
Pengembangan industri perikanan di Bitung,
Sulawesi Utara, dengan produk utama berupa
ikan kaleng yang kemudian diekspor ke US, Eropa
dan Arab, telah cukup berhasil. Namun demikian,
skala ekonomi industri perikanan di Bitung ini
masih jauh tertinggal dibandingkan negara peers
seperti Thailand, Filipina, dan Tiongkok.
Ironisnya, ketidakpastian pasokan bahan baku
menjadi salah satu kendala industri perikanan
untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar,
termasuk di Bitung.
Peningkatan kapasitas produksi perikanan
segar dan pengembangan industri masih
terkendala secara struktural.
Kendala struktural industri perikanan terutama
disebabkan oleh ketidakpastian bahan baku
sebagai akibat minimnya infrastruktur
pendukung, diantaranya:
1. Keterbatasan dan tidak meratanya pelabuhan
perikanan terutama di wilayah Fishing
Ground.
2. Keterbatasan jumlah dan belum optimalnya
pemanfaatan cold storage akibat terbatasnya
kapasitas listrik.
3. Keterbatasan jumlah Unit Pengolahan Ikan
(UPI) yang bersertifikasi. Dari jumlah 12.022
unit UPI yang ada di KTI, baru 348 unit atau
2.89% UPI yang memiliki Sertifikat Kelayakan
Pengolahan (SKP).
4. Keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber
daya manusia sektor perikanan. Hal ini
tercermin dari minimnya jumlah sekolah
perikanan di KTI dan kecilnya pangsa tenaga
kerja di sektor perikanan yang hanya berkisar
3% - 5% , lebih kecil dari pangsa PDRB sektor
perikanan yang berada di kisaran 12,5%.
5. Keterbatasan pembiayaan yang antara lain
karena keengganan perbankan menyalurkan
kredit ke sektor perikanan karena dianggap
lebih berisiko. Faktor permodalan ini
menyebabkan sulitnya UMKM perikanan
dalam melakukan pengembangan usaha.
Upaya Peningkatan Sektor Perikanan KTI
Peningkatan sektor perikanan di KTI perlu diawali
dengan perbaikan infrastruktur dasar sebagai
enabler terutama pasokan energi listrik,
pelabuhan perikanan, serta sarana penyimpanan
berikut manajemen pengelolaannya. Lebih jauh,
adopsi pola budidaya komoditas bernilai tinggi
sebagaimana yang dikembangkan di negara
sentra perikanan seperti Thailand, yang memiliki
budidaya udang berproduktivitas tinggi, akan
mampu meningkatkan produktivitas produksi
udang di Indonesia. Dengan peningkatan
produktivitas, ekspor perikanan KTI diprakirakan
mampu meningkat hingga 228% atau senilai USD
1,82 miliar.
Upaya pengembangan perikanan bernilai tinggi
juga dapat mencontoh negara yang telah berhasil
melakukannya, seperti Norwegia. Norwegia
merupakan negara penghasil Salmon (komoditas
bernilai tinggi) terbesar di dunia. Pada tahap
awal, pemerintah Norwegia secara aktif
memberikan subsidi baik pada industri
perkapalan penangkap ikannya maupun kepada
industri perikanan, terutama untuk menyerap
kemungkinan kelebihan suplai ikan di pasar.
Kebijakan pemerintah tersebut secara bertahap
membantu meningkatkan produksi dan skala
ekonomi para produsen sehingga menambah
kepercayaan perbankan untuk memberikan
bantuan pembiayaan pada sektor perikanan.
71
Untuk menuju perekonomian Indonesia yang tumbuh berkelanjutan, Bank Indonesia terus berupaya
mendorong dilakukannya reformasi struktural, diantaranya berupa Peningkatan Daya Saing
Industri, Maritim dan Pariwisata. Terkait dengan sektor maritim, Indonesia saat ini masih belum
memperoleh manfaat optimal baik dari bidang Perkapalan, Pelayaran, Perikanan, maupun
Pariwisata khususnya Pariwisata Bahari, dan bidang maritim lainnya. Persistensi defisit Neraca Jasa
Indonesia menjadi indikator utama masih rendahnya daya saing sektor maritim khususnya
pelayaran Indonesia yang juga terkait dengan kinerja industri perkapalan dan bidang maritim
lainnya. Setiap bidang memiliki permasalahan yang umumnya terkait dengan lemahnya
infrastruktur pendukung. Namun, keterkaitan permasalahan antar bidang di sektor Maritim sangat
tinggi sehingga membutuhkan sinergi kebijakan pembangunan infrastruktur maritim yang
integratif, tidak parsial, terencana, lintas sektoral dan kementerian yang mencakup industri
perkapalan, pelayaran, perikanan, pariwisata, kelembagaan pendukung dan kapasitas SDM
maritim. Dari hasil asesmen, upaya pembenahan sektor maritim perlu fokus dan dimulai dari
pembenahan bidang perkapalan, sebagai tulang punggung pengembangan bidang maritim lainnya.
Usulan kebijakan yang utama adalah implementasi kebijakan satu peta, satu disain kapal (one map,
one ship design policy). Kebijakan utama tersebut harus dibarengi dengan pengembangan
konektivitas antar daerah dengan dukungan infrastruktur logistik yang berperan sebagai
pengumpul dan pengumpan, pengembangan industri dan komoditas unggulan daerah yang
mendukung terciptanya volume perdagangan dan pelayaran yang dapat memenuhi skala ekonomi,
serta skema insentif untuk mendukung industri perkapalan domestik dan komponennya. Sementara
untuk mendukung sektor pariwisata diperlukan penguatan implementasi kebijakan kemudahan
kunjungan wisata, pengembangan wilayah terkait pariwisata dan promosi serta paket
kepariwisataan yang terintegrasi dalam jaringan internasional.
Potensi Sektor Maritim Menjadi Penggerak Ekonomi Regional
Mayoritas perdagangan dunia dilakukan melalui
laut dan Asia Pasifik menjadi bagian Penting di
dalamnya. Untuk mencapai perkonomian
Indonesia dapat tumbuh berkelanjutan, kuat, dan
inklusif, maka diperlukan langkah-langkah
kebijakan yang bersifat struktural. Bank Indonesia
memandang perlunya reformasi struktural pada 4
bidang, yaitu (1) Penguatan Ketahanan Pangan,
Energi dan Air; (2) Peningkatan Daya Saing
Industri, Maritim dan Pariwisata; (3) Penguatan
Basis Pembiayaan Pembangunan; dan (4)
Penguatan Ekonomi Inklusif. Khusus terkait
dengan reformasi struktural poin 2, kinerja sektor
maritim Indonesia masih memiliki gap yang lebar
antara potensi dan realisasinya.
72
Gambar VI.1. Percepatan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan
Peningkatan Kepariwisataan
Secara faktual, lebih dari 90% perdagangan
barang dunia ditransportasikan melalui jalur laut.
Demikian halnya perdagangan barang di Asia dan
Pasifik, yang memiliki porsi 70% dari total dunia,
lebih dari 75% dilakukan melalui jalur
transportasi laut (Gambar VI.1). Hampir setengah
(45%) dari transaksi tersebut melalui Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI)10
, terutama ALKI 1
(satu), yang berada di wilayah Selat Malaka
(Gambar VI.2). Pergeseran poros dunia dari
Atlantik ke Asia-Pasifik membuat peran ekonomi
maritim di kawasan Asia-Pasifik menjadi semakin
penting.11
Indonesia, yang merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai
terpanjang kedua di dunia, serta menjadi tempat
pertemuan beberapa lempeng patahan, sangat
berpotensi menjadi negara maritim yang kuat
bukan saja dari aspek perdagangan dunia namun
juga dari aspek sumber daya perikanannya.
Potensi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia
sangat besar. Tekad Pemerintah sekarang untuk
menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim
Dunia”, memiliki peluang yang kuat, ditilik dari
10
UNCTAD (2012) 11
Dahuri (2016)
posisi strategis geografis Indonesia yang menjadi
bagian dari jalur laut perdagangan dunia. Tekad
tersebut perlu diberi fondasi yang kokoh berupa
infrastruktur maritim (hard dan soft), kebijakan
integratif, serta dukungan pembiayaan.12
Masing-
masing bidang yang termasuk dalam sektor
maritim memiliki potensi dan tantangannya
sendiri.
Sumber: Kementerian Perdagangan
Gambar VI.2. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Kontribusi sektor Perikanan dalam
perekonomian masih berpotensi besar untuk
ditingkatkan. Kontribusi sektor maritim non-
migas Indonesia hanya sekitar 4%, masih jauh
12
Mempertimbangkan juga hasil Rapat Koordinasi
Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia, Mei 2015.
73
lebih rendah dibandingkan negara lain seperti
Tiongkok (45%) dan Belanda (21%) (Grafik VI.1).
Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama
ini juga masih rendah, yaitu sekitar 2,5%;
meskipun cenderung meningkat dari tahun ke
tahun (Grafik VI.2). Pangsa ekspor perikanan
Indonesia juga relatif rendah, yaitu sekitar 4,5%
terhadap total ekspor non-migas (Grafik VI.3).
Menurut salah satu hasil studi, potensi output
perikanan Indonesia dapat mencapai sekitar
USD140 milyar13
.
Sumber: FAO, diolah
Grafik VI.1. Kontribusi Sektor Maritim Indonesia terhadap PDB
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.2. Kontribusi Sektor Perikanan
13
Berdasarkan informasi dari Kementerian KKP atas dasar
Diposaptono (2016). Bahkan ada yang memperhitungkan potensi perikanan hingga jauh lebih tinggi (Dahuri, 2016).
Kurang optimalnya pemanfaatan sektor
perikanan mengakibatkan kemiskinan nelayan
yang persisten dan lebih parah dibandingkan
kemiskinan petani. Walaupun nilai tukar nelayan
terus menunjukkan peningkatan (Grafik VI.4),
namun pendapatan per kapita nelayan ternyata
lebih rendah daripada pendapatan per kapita
petani (Grafik VI.5). Hal tersebut diakibatkan
antara lain karena kurangnya kemampuan
menangkap ikan, baik dari sisi kapal maupun alat
tangkapnya, akses keuangan nelayan yang relatif
terbatas sehingga sangat rentan terhadap
terjadinya guncangan keuangan, serta kurangnya
pemberdayaan nelayan dan keluarganya untuk
mengolah hasil tangkapan perikanan.
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.3. Porsi Ekspor Perikanan terhadap Ekspor Non-Migas
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.4. Nilai Tukar Petani & Nelayan
74
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.5. Pendapatan Per Kapita Petani & Nelayan
Sementara itu, sektor Pariwisata Indonesia juga
menyimpan potensi yang begitu besar untuk
dikembangkan. Pemerintah telah menargetkan
jumlah wisatawan mancanegara (wisman)
sebanyak 20 juta orang pada 2019, dan 4 juta
orang diantaranya merupakan wisman pariwisata
bahari. Kenaikan target yang signifikan jika
dibandingkan jumlah kunjungan wisman 2015
sebesar 8,4 juta orang tersebut merupakan
tantangan yang relevan jika dikaitkan dengan
potensinya. Peningkatan pariwisata dapat dilihat
antara lain dari jumlah wisatawan mancanegara
yang terus meningkat signifikan sejak 2012.
Keindahan pantai, laut dan budaya Indonesia
yang begitu beragam merupakan obyek wisata
bahari yang dapat dikembangkan dan diminati
oleh banyak wisatawan mancanegara.
Pengembangan Pariwisata Bahari perlu
diperkuat secara integratif dengan
pengembangan sektor maritim dan
pemberdayaan masyarakat lokal. Tanpa
keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat
setempat, keberhasilan suatu daerah menjadi
tempat destinasi turis tidak akan berdampak
banyak bagi peningkatan kesejahteraan disana.
Salah satu program yang bisa digagas dalam
kerangka ini adalah pengembangan “home stay”
serta pemberdayaan kerajinan lokal. Konsepnya
adalah dengan biaya yang relatif terjangkau, turis
dapat menikmati keindahan alam setempat
dengan memanfaatkan tempat tinggal di
perumahan yang telah diberdayakan sebagai
fasilitas destinasi turis. Contoh keberhasilan
program ini misalnya program “home stay” di
Banyuwangi. Beberapa hambatan struktural
yang harus dibenahi dalam pengembangan
pariwisata bahari diantaranya: (1) Perizinan
terkait pembangunan destinasi turis dan fasilitas
terkait; (2) Pembiayaan untuk pemberdayaan
masyarakat setempat untuk penerimaan turis,
kerajinan lokal dan fasilitas tempat tinggal yang
aman dan nyaman; (3) Pembangunan
konektivitas wilayah destinasi turis; serta (4)
masuknya destinasi turis dimaksud sebagai
bagian dari jaringan pasar wisata internasional
atau paket wisata nasional dan internasional.
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.6. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Defisit Neraca Jasa cenderung persisten yang terutama disebabkan defisit Jasa Transportasi Laut
Jasa Pelayaran Indonesia yang meliputi jasa
perkapalan, angkutan laut internasional, dan
asuransi lebih banyak dikuasai pihak asing.
Dalam jasa pelayaran internasional Indonesia,
perusahaan domestik hanya menguasai sekitar
5% sementara sisanya (95%) dikuasai asing.
Akibat banyaknya impor kapal dan penggunaan
galangan kapal asing untuk reparasi, maka
transaksi jasa ke non residen cukup besar. Selain
itu, sekitar 87% pangsa asuransi pelayaran,
terutama asuransi pelayaran internasional untuk
perdagangan internasional Indonesia juga
dikuasai pihak asing.
Walaupun neraca barang masih positif, namun
penguasaan asing atas moda transportasi laut
khususnya pelayaran internasional Indonesia
75
mengakibatkan defisit neraca jasa yang cukup
besar mencapai USD8,3 milyar pada tahun 2015
(Grafik VI.7 dan Grafik VI.8).
Sumber: NPI, diolah
Grafik VI.7. Neraca Barang Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Grafik VI.8. Neraca Jasa Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.3. Jalur Ekspor Indonesia
Hampir seluruh ekspor Indonesia diangkut oleh
armada asing ke Singapura atau Malaysia
sementara armada Indonesia berfungsi sebagai
feeder (Gambar VI.3). Sementara itu, impor
Indonesia juga diangkut oleh armada asing
melalui Singapura atau Malaysia (Gambar VI.4).
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.4. Jalur Impor Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.5. Sumber Defisit Neraca Jasa Indonesia
Secara lebih spesifik, defisit neraca jasa
Indonesia disebabkan oleh beberapa hal utama,
yaitu Perusahaan Pelayaran yang menggunakan
jasa asing jasa docking kapal di galangan asing,
penggunaan asuransi asing, serta sewa
penggunaan peralatan pelabuhan dari luar negeri
(Gambar VI.5). Jasa asing yang digunakan
perusahaan pelayaran meliputi jasa pelayaran
asing pada kegiatan ekspor-impor Indonesia,
sewa kapal dan kontainer asing pada pelayaran
domestik serta penggunaan tenaga kerja asing.
Penguatan Industri Jasa Pelayaran
Saat ini, industri pelayaran dihadapkan pada
sejumlah permasalahan infrastruktur antara
lain: (1) Kapasitas pelabuhan yang relatif terbatas
baik dari kedalaman, dermaga maupun fasilitas
pendukung yang tersedia; (2) Kapasitas galangan
dan ketersediaan komponen pendukung kapal
76
baik untuk pembangunan baru maupun untuk
kegiatan reparasi; (3) Rendahnya produktivitas
bongkar muat akibat birokrasi kelembagaan,
ketrampilan buruh bongkar-muat dan dwelling
time yang relatif lama; (4) Ketidaktersediaan
muatan yang berimbang yang mengakibatkan
terjadinya empty backhaul (muatan kosong arah
sebaliknya) dan membuat biaya angkut lebih
mahal; (5) Kurangnya daya saing perusahaan
pelayaran domestik akibat kapal yang relatif tua,
ketentuan internasional yang tidak diratifikasi,
dan pembiayaan maupun asuransi yang lebih
mahal; serta (6) Kurangnya ketersediaan Sumber
Daya Manusia yang handal seperti pelaut,
syahbandar, tenaga ahli forwarder dan
sebagainya.
Sumber: Supply Chain Indonesia (2016) dan Drewry (2012)
Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Kargo yang Dibawa serta Distribusi Armada Domestik berdasarkan Ukuran
Kapasitas pelabuhan relatif masih kurang
terutama dari sisi kedalamannya. Seiring dengan
perkembangan perdagangan dunia yang
mendorong penggunaan kapal-kapal berukuran
relatif lebih besar, kedalaman pelabuhan (draft)
menjadi syarat utama yang harus dipenuhi
disamping ketersediaan fasilitas bongkar-muat
yang lebih baik dan jumlah dermaga yang
mencukupi. Kurang dalamnya pelabuhan
menyebabkan hanya kapal-kapal berukuran
relatif kecil (< 3000 TEUs) yang dapat bersandar
dan melakukan bongkar-muat di pelabuhan
(Gambar VI.9).14
Dibandingkan dengan negara
lain, kepemilikan kapal-kapal oleh perusahaan
Indonesia lebih terfokus pada kapal-kapal
berukuran kecil sehingga kurang dapat bersaing
secara internasional. China, India bahkan
14
TEUs adalah Twenty Cubics Equivalent Units yang
merupakan ukuran banyaknya Kargo yang dapat dibawa oleh suatu kapal.
Malaysia yang bukan merupakan negara
kepulauan relatif saja memiliki armada kapal
berukuran besar lebih banyak dibandingkan
Indonesia.
Rata-rata kedalaman pelabuhan di Indonesia
hanya berkisar antara 9–10 meter yang
menyebabkan tidak efisiennya biaya transportasi
antar wilayah yang diakibatkan oleh lebih
banyaknya frekuensi angkutan yang diperlukan
untuk melayani kebutuhan suatu wilayah. Kurang
dalamnya pelabuhan-pelabuhan serta fasilitas
terkait bongkar-muat dan parkir kapal terutama
pada lokasi strategis di Indonesia menjadi salah
satu faktor utama yang mengakibatkan kurang
dapat bersaingnya pelabuhan-pelabuhan
tersebut, meski secara lokasi telah sangat
strategis. (Grafik VI.10).
77
Sumber: Supply Chain Indonesia, diolah
Grafik VI.10. Rata-Rata Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Ukuran Kapal Maksimum
Hanya kapal berukuran yang relatif kecil yang
dapat berlabuh dan bersandar serta melakukan
kegiatan bongkar-muat secara cukup efisien.
Akibatnya, perusahaan pelayaran domestik juga
melakukan penyesuaian terhadap kemampuan
pelabuhan, sehingga sebagian besar armada
kapal Indonesia saat ini lebih banyak dikuasai
oleh kapal-kapal berukuran kecil (Tabel VI.1).
Tabel VI.1. Besaran Fleet Indonesia
Sumber: Hasil Simulasi RisetNeraca Jasa DKEM, Bank
Indonesia, forthcoming
Terbatasnya kapasitas galangan kapal domestik
dalam memenuhi permintaan pembuatan dan
perbaikan kapal mengakibatkan lebih
diminatinya galangan kapal asing (Grafik VI.11).
Permintaan pembuatan kapal kepada galangan
kapal domestik sering terbentur keterbatasan
industri komponen kapal di tengah tantangan bea
masuk impor komponen kapal. Di sisi reparasi
kapal, hal tersebut membuat waktu tunggu kapal
di galangan domestik mencapai 2-3 bulan.
Keterbatasan galangan kapal domestik bukan saja
dari sisi jumlah namun juga dari kemampuan
besar kapal yang dipenuhi dan ketersediaan
komponen pendukung. Hal ini menyebabkan
industri galangan kurang kompetitif dibanding
industri galangan asing.
Sumber: Maritime Industry of Tomorrow, 2016
Grafik VI.11. Terbatasnya Galangan Kapal Domestik
Di sisi lain, penerapan asas Cabotage
memberikan hasil yang positif. Kebijakan
pemerintah untuk mewajibkan penggunaan kapal
berbendera nasional dalam pelayaran domestik
sejauh ini memberikan hasil yang positif. Armada
pelayaran nasional mengalami peningkatan lebih
dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2005
(Tabel VI.2). Jumlah muatan kapal (dalam DWT)
mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat
yaitu dari hanya 3,66 juta DWT pada 2005
menjadi lebih dari 12 juta DWT pada 2013. Tren
positif dari penerapan asas Cabotage telah
memberikan keyakinan yang besar bagi industri
pelayaran nasional untuk lebih meningkatkan
78
perannya di jasa pelayaran internasional (beyond
cabotage).
Namun demikian, penerapan azas Cabotage juga
masih menyimpan sejumlah permasalahan,
antara lain: ketidakselarasan antara bendera
kapal dengan nama kapal misalnya kapal dengan
nama Indonesia namun berbendera asing, kapal
dengan nama asing namun berbendera Indonesia
ataupun kapal dengan nama sama namun
berbendera beberapa negara.
Sumber: OJK, International Union of Marine Insurance, CEIC,
diolah
Grafik VI.12. Pangsa Asuransi Nasional
Sementara itu, Undang-Undang No.17 Tahun
2008 tentang pelayaran, yang mewajibkan
pengasuransian muatan kapal, telah berhasil
mendorong aktivitas bisnis asuransi pelayaran.
Namun, beberapa kendala yang dihadapi
perusahaan asuransi domestik mengakibatkan
pasar asuransi muatan pelayaranan saat ini lebih
dikuasai oleh asing. Pendapatan premi asuransi
nasional untuk kelas Marine Cargo dan Marine
Hull mengalami peningkatan sejalan dengan
penerapan azas Cabotage yang meningkatkan
jumlah kapal nasional berikut muatannya.
Pangsa asuransi nasional masih relatif rendah,
yaitu hanya 30,6% pada tahun 2014 (Grafik
VI.12). Hal ini diakibatkan antara lain oleh (i)
pengiriman barang ekspor dalam bentuk FoB
(Free on Board) yang artinya asuransinya
ditentukan oleh Pembeli yang cenderung
menggunakan asuransi asing serta (ii) relatif
tingginya premi asuransi maritim domestik.
Sebagai gambaran, premi asuransi maritim di
Singapura dan Malaysia masing-masing hanya
0,01% dan 0,05%, sementara Indonesia mencapai
0,12%.
Tingginya premi asuransi maritim domestik
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (i)
klasifikasi dan umur armada kapal nasional yang
sebagian besar relatif sudah tua, dengan rata-
rata umur di atas 20 tahun, serta (ii) tingkat risiko
negara Indonesia yang masih dipandang cukup
tinggi terutama terkait dengan angkutan laut.
Tingkat risiko yang lebih tinggi terutama terkait
dengan anggapan keamanan di perairan
Indonesia yang rendah, tercermin dari jumlah
kejadian dan percobaan pembajakan kapal di
perairan Indonesia yang jauh lebih tinggi
dibandingkan negara di kawasan (Tabel VI.3).
Tabel VI.2. Perkembangan Armada Kapal (dalam juta DWT)
Sumber: Review of Maritime Transport, UNCTAD (2005 –
2013)
Tabel VI.3. Jumlah Kasus Upaya Pembajakan Kapal
Sumber: 2015 Annual IMB Piracy Report
Strategi Kebijakan Pembangunan Maritim Terintegrasi
Pengembangan sektor Maritim dalam negeri
harus terus diupayakan dan didukung secara
sinergis oleh berbagai kebijakan lintas sektoral.
Di berbagai negara maju, kebijakan di sektor
maritim terutama menyangkut industri
perkapalan dan industri pelayaran domestik
didukung sangat kuat oleh kebijakan Pemerintah
79
dalam bentuk pemberian insentif dan dukungan
kebijakan yang mewajibkan pemesanan dan
penggunaan kapal produksi dalam negeri.
Industri perkapalan diperlakukan sebagai industri
infrastruktur, sebagai tulang punggung untuk
pengembangan industri maritim lainnya
(pelayaran, perikanan, dan pariwisata).
Sejalan dengan kecenderungan penggunaan
kapal berukuran besar untuk perdagangan dunia,
maka persoalan ketidak-seimbangan muatan
tidak saja dialami oleh negara yang belum maju
industri pelayarannya, namun juga dialami oleh
negara-negara maju. Apabila tidak diatur, maka
ketidakseimbangan muatan akan mendorong
perusahaan pelayaran untuk melakukan
potongan biaya yang begitu besar bahkan lebih
kecil daripada biaya operasinya untuk
mendapatkan muatan pada arah sebaliknya.
Praktik-praktik seperti ini jelas akan sangat
merugikan perusahaan pelayaran domestik yang
menjadi pesaing perusahaan internasional
terkait. Secara skala ekonomi, penggunaan kapal-
kapal besar memang dapat menghemat biaya
transportasi laut per DWT-nya (Gambar VI.6).
Sumber: http://www.eurans.com.ua, diolah
Gambar VI.6. Kecenderungan Pembangunan Kapal Berukuran Besar
Sebagai negara kepulauan dengan alur laut yang
begitu panjang dan besar, Indonesia secara
natural dapat menjadi lahan yang subur bagi
berkembangnya industri pelayaran. Jumlah
penduduk yang besar di samping lokasinya yang
strategis akan menciptakan permintaan yang
besar terhadap jasa pelayaran. Hal ini pada
gilirannya memungkinkan industri pelayaran
untuk hidup dan bahkan mampu menghidupkan
industri perkapalan dan galangan kapal.
Pengembangan industri perkapalan dengan
tingkat kompleksitasnya yang tinggi akan
membawa dampak lanjutan yang besar bagi
perkembangan industri lainnya, mulai dari
industri besi baja yang menyuplai bahan bakunya
sampai dengan industri jasa transportasi laut dan
perikanan serta pariwisata yang memanfaatkan
kapal-kapal dimaksud untuk kegiatan transportasi
penumpang dan barang, penangkapan ikan serta
wisata bahari.
Pengembangan sektor maritim terintegrasi yang
dimulai dari penguatan industri perkapalan dan
pelayaran domestik, serta ditunjang oleh
kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal
akan mampu memberikan keunggulan
komparatif bagi Indonesia sejalan dengan potensi
besar yang dimilikinya dalam bidang maritim
(Gambar VI.7). Pemanfaatan kapal-kapal produksi
dalam negeri untuk jasa pelayaran akan dapat
lebih menurunkan defisit neraca jasa dibanding
sebaliknya jika kita membeli atau menyewa
kapal-kapal asing dalam jasa pelayaran Indonesia.
Simulasi menunjukkan penggunaan kapal
produksi dalam negeri akan lebih besar
dampaknya dalam menurunkan defisit neraca
jasa. Setiap 1% penambahan jumlah armada
kapal yang berasal dari produksi domestik, akan
mampu menurunkan defisit neraca jasa sebesar
0,14%. Sementara apabila menggunakan kapal-
kapal impor, hanya mampu menurunkan defisit
neraca jasa sebesar 0,09%.15
15
Hasil Simulasi Model Bank Indonesia, dengan jumlah kapal
saat ini hampir mencapai 1598 kapal maka 1% penambahan itu sekitar 16 kapal.
80
Gambar VI.7. Pembangunan Maritim Terintegrasi
Pengembangan Industri Perkapalan, Galangan Kapal dan Industri Pelayaran Domestik Menjadi Prioritas
Pengembangan industri perkapalan dan
galangan kapal perlu menjadi prioritas. Sesuai
RPJMN, pengembangan industri perkapalan
diarahkan untuk dapat membangun kapal dengan
bobot 200.000 DWT16
pada 2020 dan 300.000
DWT pada 2025. Namun demikian, hingga saat
ini, pembangunan kapal dengan bobot 50.000
DWT masih terkendala (Gambar VI.8).
Sebagaimana di semua negara yang memiliki
industri perkapalan yang maju, keberhasilan
pembangunan industri perkapalan tidak dapat
berjalan sendiri tanpa dukungan kuat dari
kebijakan pemerintah. Kebijakan pemesanan
kapal produksi domestik, perbaikan kapal di
galangan kapal domestik serta kemudahan
perizinan dan insentif fiskal di industri perkapalan
dan pendukungnya menjadi faktor utama yang
tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan industri
perkapalan domestik.
Sebagaimana Malaysia dan Singapura,
pembangunan pelabuhan yang berhasil tidak
saja membutuhkan syarat teknis dan fasilitas
yang memadai, namun juga kawasan industri
untuk menopangnya. Keberhasilan Malaysia dan
Singapura dalam membangun pelabuhan
16
DWT (Dead Weight Tonnage) adalah ukuran besarnya
kargo yang dapat diangkut oleh kapal di luar berat kapal itu sendiri.
berskala internasional yang menjadi alternatif
hub di Selat Malaka bukan saja didorong oleh
pemenuhan syarat teknis dan fasilitas pelabuhan,
namun juga dukungan kawasan industri yang
dinamis di belakangnya yang berfungsi sebagai
pengisi volume perdagangan di pelabuhan
internasional yang dibangun. Bahkan, Singapura
yang sukses membangun pelabuhan hub besar,
memfokuskan diri dalam membangun suatu
ekosistem maritim dan pelayanan pelabuhan
yang memungkinkan terjadinya perdagangan
secara efisien dalam skala ekonomi yang
memadai.
Sumber: Kementerian Perindustrian, diolah
Gambar VI.8. Roadmap Perkapalan Nasional
81
Sumber: http://www.globalsecurity.org dan sumber lain, diolah
Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura
Secara teoritis, ada tiga hal yang harus dipenuhi
dalam membangun suatu ekosistem pelabuhan
dan maritim, yaitu lokasi yang strategis,
ketersediaan infrastruktur dan volume
perdagangan yang memadai (Gambar VI.10).
Terhadap tiga hal tersebut, Indonesia berpotensi
memiliki semuanya: lokasi, infrastruktur dan
volume. Lokasi strategis terdapat di beberapa
wilayah Indonesia di sebelah Barat dengan Selat
Malaka dan di sebelah Timur di wilayah perairan
Sulawesi dan Maluku. Pembangunan
infrastruktur membutuhkan kesungguhan
Pemerintah dan desain yang baik tidak saja dari
sisi teknis namun juga jaringan pengelola
pelabuhan. Dari sisi volume perdagangan,
sebagai negara yang besar, pemenuhan
kebutuhan ekspor impor antar daerah saja sudah
sangat besar, apalagi jika turut mempertimbangkan
bergabungnya beberapa perusahaan pelayaran
internasional dalam pengelolaan pelabuhan.
Sumber: Jean-Paul Rodrigue dalam The Geography of Transport Systems (2013)
Gambar VI.10. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura
Kawasan industri sangat diperlukan untuk
memenuhi volume perdagangan yang
dibutuhkan pada pelabuhan internasional.
Selain itu, pemetaan arus perdagangan yang
menyeluruh dan lengkap terhadap setiap wilayah
di Indonesia (one map policy) juga diperlukan
agar dapat dibangun simpul-simpul logistik yang
memungkinkan terjadinya proses pengumpulan
dan transportasi antar wilayah dengan volume
82
perdagangan yang memadai untuk menghindari
terjadinya empty backhaul. Dalam hal ini, peran
informasi serta sinergi kebijakan antar industri
dan wilayah sangat dibutuhkan untuk
mendukung penguatan pelayaran nasional.
Pembangunan pelabuhan internasional tanpa
dukungan industri pengisi tidak akan dapat
bertahan dan berkelanjutan.
Rekomendasi Sinergi Kebijakan Pengembangan Sektor Maritim bagi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Peningkatan Kepariwisataan
Berdasarkan asesmen dan koordinasi dengan
para stakeholder yang telah dilakukan terhadap
isu reformasi struktural di sektor maritim yang
terintegrasi, terdapat tujuh rekomendasi sebagai
berikut:
Pertama, menerapkan kebijakan satu peta dan
satu desain kapal (one map and one ship design
policy) untuk mendukung berkembangnya
industri perkapalan sebagai backbone industri
maritim sehingga dapat memainkan perannya
sebagai fondasi pengembangan industri
perikanan, industri pelayaran, dan industri
pariwisata.
Kedua, mengintegrasikan strategi pengembangan
infrastruktur logistik dengan pengembangan
wilayah untuk mendukung konektivas antar
wilayah industri, permukiman, dan simpul-simpul
transportasi perdagangan ekspor-impor, antara
lain di dalam bentuk buku putih pengembangan
kemaritiman (Grand policy).
Ketiga, memperkuat sinergi dan strategi
kebijakan karena pengembangan maritim bersifat
lintas sektor dan lintas kementerian yang
mencakup perkapalan, pelayaran, perikanan, dan
pariwisata.
Keempat, memperkuat asas cabotage dengan
penerapan program beyond cabotage secara
bertahap, termasuk skema insentif fiskal yang
diperlukan, sebagai bagian dari upaya
mendorong industri pelayaran nasional dan
mengurangi defisit neraca jasa.
Kelima, memperkuat strategi pengembangan
industri dan komoditas unggulan daerah dan
nasional untuk mendukung pengembangan
industri maritim sehingga mampu saling mengisi
dengan mengoptimalkan kapasitas angkut
industri pelayaran.
Keenam, mempercepat peningkatan kualitas
infrastruktur kelembagaan melalui reformasi
birokasi, khususnya melalui implementasi
layanan publik dan sistem pemerintah berbasis
elektronik (e-government, e-budgeting), serta
peningkatan kapasitas Aparatur Sipil Negara
(ASN) di tingkat pusat dan daerah a.l. dengan
memfokuskan pendidikan kedinasan ke
pendidikan yang bersifat vokasional (misal:
pendidikan kemaritiman).
Ketujuh, untuk mendorong percepatan
pengembangan pariwisata, khususnya wisata
bahari, pemerintah berkomitmen akan: (1)
Mengintensifkan promosi pariwisata dan
sosialisasi penerbitan aturan mengenai
kemudahan kunjungan yacht dan cruise; (2)
Mempercepat deregulasi peraturan a.l. terkait
kemudahan kunjungan wisata menggunakan
private jet dan private helicopter; perizinan sea
plane yang beroperasi menghubungkan antar
pulau-pulau kecil; pengaturan pembangunan
Dermaga Marina; dan insentif fiskal untuk impor
yacht seperti kebijakan pengenaan PPN-BM; dan
(3) Mempercepat pengembangan aksesibilitas,
fasilitas, dan atraksi di sepuluh destinasi wisata
prioritas nasional dan tiga puluh destinasi
unggulan wisata bahari bersama dengan
Pemerintah Daerah, a.l. Natuna-Anambas
(Kepulauan Riau), Danau Toba (Sumatera Utara),
Mandeh (Sumatera Barat), dengan disertai
penguatan kebijakan pendukungnya seperti
pengembangan aksesibilitas Danau Toba yang
akan didukung oleh pembangunan Bandara Sibisa
yang dimulai sejak 2017 dan Tol Tebing Tinggi-
Siantar-Parapat.
83
84
I II III IV I II IIIp
PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.5 4.6 4.3 - 4.7
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.4 5.3 5.3 4.8 4.5 5.0 5.2 5.5 5.4 5.3 - 5.7
Konsumsi LNPRT 10.9 (3.5) (2.9) 6.0 8.7 2.0 6.4 5.2 4.4 5.0 - 5.4
Konsumsi Pemerintah 2.2 2.7 2.6 5.5 7.4 4.9 1.7 7.5 4.4 3.6 - 4.0
Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.0 1.7 1.9 3.1 5.7 3.1 4.9 5.7 6.7 5.5 - 5.9
Ekspor (1.4) (0.5) (5.3) (6.4) 0.7 (3.0) (16.1) (19.3) (13.1) (15.4) - (15)
Impor (2.1) (4.2) (10.2) (8.5) 0.2 (5.7) (25.4) (31.2) (19.4) (24.0) - (23.6)
Net Ekspor 2.0 8.5 9.5 (2.7) (5.7) 2.7 (0.0) (8.4) (4.7) (4.8) - (4.4)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.4 2.5 0.7 6.2 3.6 3.7 4.2 4.6 4.1 - 4.5
Pertambangan dan Penggalian (1.5) (3.5) (2.4) (1.4) (3.8) (2.8) (0.8) (1.9) (1.3) (1.5) - (1.1)
Industri Pengolahan 4.6 1.8 3.1 4.3 5.8 3.8 4.7 3.7 4.7 4.3 - 4.7
Pengadaan Listrik dan Gas 7.6 6.0 1.7 2.1 3.4 3.3 8.3 11.9 9.2 9.0 - 9.4
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang5.0 5.2 6.1 4.2 3.9 4.9 3.3 3.3 3.8 3.8 - 4.2
Konstruksi 7.0 3.7 2.5 4.8 5.6 4.2 5.8 6.4 6.4 6.1 - 6.5
Perdagangan Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor5.9 5.0 4.6 3.2 4.9 4.4 5.0 6.2 5.7 5.2 - 5.6
Transportasi dan Pergudangan 6.5 7.8 7.2 8.2 5.6 7.2 6.2 7.8 7.1 6.9 - 7.3
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum7.7 7.9 6.5 7.3 8.9 7.7 7.6 8.2 8.3 7.9 - 8.3
Informasi dan Komunikasi 7.5 8.4 9.1 8.9 7.8 8.5 8.0 8.7 7.0 7.3 - 7.7
Jasa Keuangan dan Asuransi 3.7 4.8 0.9 5.4 6.1 4.3 6.1 9.0 5.0 6.4 - 6.8
Real Estate 6.6 5.5 5.5 5.8 6.3 5.8 4.9 5.5 6.2 5.3 - 5.7
Jasa Perusahaan 6.7 6.7 6.1 5.2 5.3 5.8 5.3 4.9 6.3 5.7 - 6.1
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib6.1 5.9 7.8 6.7 8.3 7.2 5.4 9.5 6.4 6.5 - 6.9
Jasa Pendidikan 8.1 8.9 7.1 7.2 4.9 7.0 6.2 7.6 8.4 6.8 - 7.2
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.4 7.4 7.6 8.7 6.3 7.5 6.7 6.0 8.4 6.9 - 7.3
Jasa lainnya 6.7 7.2 7.8 7.5 7.6 7.5 6.0 5.7 6.7 6.3 - 6.7
Provinsi Aceh 1.5 (1.9) (2.1) (0.3) 1.4 (0.7) 3.6 3.5 3.5 3.1 - 3.5
Provinsi Sumatera Utara 5.2 4.8 5.1 5.1 5.3 5.1 5.0 5.7 5.3 5.2 - 5.6
Provinsi Sumatera Barat 5.9 5.5 5.5 4.9 5.7 5.4 5.5 5.8 5.8 5.6 - 6.0
Provinsi Riau 2.7 (0.0) (2.1) (1.4) 4.5 0.2 2.3 2.4 2.7 2.2 - 2.6
Provinsi Jambi 7.4 5.0 4.3 4.4 3.2 4.2 3.4 3.6 4.1 3.8 - 4.2
Provinsi Kepulauan Riau 6.6 6.8 6.7 5.4 5.2 6.0 4.5 5.4 5.8 5.3 - 5.7
Provinsi Sumatera Selatan 4.7 4.6 4.7 4.7 3.9 4.5 5.0 5.1 5.5 5.1 - 5.5
Provinsi Bengkulu 5.5 5.3 5.2 5.2 4.9 5.1 5.0 5.4 5.2 5.0 - 5.4
Provinsi Lampung 5.1 4.9 5.1 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.4 5.1 - 5.5
Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.7 4.1 4.0 4.0 4.3 4.1 3.3 3.7 4.0 3.6 - 4.0
Inflasi IHK (%,yoy) 8.6 6.1 7.7 6.8 3.0 3.0 5.7 3.7 3.9 3.8 - 4.2
Provinsi Aceh 8.1 5.4 6.2 4.2 1.5 1.5 3.6 2.3 3.1 3.3 - 3.7
Provinsi Sumatera Utara 8.2 6.1 7.8 6.6 3.2 3.2 7.2 4.3 4.7 4.2 - 4.6
Provinsi Sumatera Barat 11.6 6.3 8.2 6.2 1.1 1.1 6.6 3.2 3.4 3.8 - 4.2
Provinsi Riau 8.6 6.2 7.4 5.7 2.6 2.6 4.4 1.9 3.1 3.7 - 4.1
Provinsi Kepulauan Riau 7.6 5.7 8.2 8.3 4.4 4.4 5.6 3.8 3.2 3.7 - 4.1
Provinsi Jambi 8.7 4.9 6.4 5.3 1.4 1.4 5.0 3.4 4.2 4.3 - 4.7
Provinsi Sumatera Selatan 8.5 6.3 7.5 7.0 3.1 3.1 5.1 4.4 4.4 3.7 - 4.1
Provinsi Bengkulu 10.9 7.7 9.9 8.6 3.3 3.3 5.9 5.5 3.7 3.9 - 4.3
Provinsi Lampung 8.1 6.6 8.2 7.7 4.3 4.3 5.3 3.2 3.9 3.6 - 4.0
Provinsi Kep. Bangka Belitung 9.0 6.7 6.9 7.3 3.3 3.3 5.5 6.2 3.7 3.8 - 4.2
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016p
Tahun Dasar 2010
85
I II III IV I II IIIp
PDRB (%,yoy) 5.57 5.26 5.15 5.51 5.87 5.45 5.32 5.73 5.80 5.6 - 6.0
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 4.9 5.2 5.38 5.5 - 5.9
Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.1 6.3 5.36 6.1 - 6.5
Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 2.2 5.5 5.92 11.8 - 12.2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.3 4.4 5.29 5.5 - 5.9
Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 0.8 5.1 8.19 9.5 - 9.9
Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (5.9) (4.6) 3.07 3.1 - 3.5
Net Ekspor Antar Daerah (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (5.2) (8.4) 12.72 (5.3) - (4.9)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 (0.7) 2.6
Pertambangan dan Penggalian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 8.1 4.9 2.87 1.7 - 2.1
Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 4.6 4.6 5.65 5.4 - 5.8
Pengadaan Listrik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 1.9 (0.4) 5.00 4.7 - 5.1
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 3.1 4.7 1.41 0.6 - 1.0
Konstruksi 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 3.9 4.2 5.76 4.7 - 5.1
Perdagangan Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 4.9 5.0 5.59 4.6 - 5.0
Transportasi dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 7.9 7.4 5.30 4.9 - 5.3
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 7.8 6.7 6.44 7.4 - 7.8
Informasi dan Komunikasi 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 9.9 9.9 4.87 6.2 - 6.6
Jasa Keuangan dan Asuransi 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 10.3 14.0 9.47 9.7 - 10.1
Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.6 5.6 11.70 11.2 - 11.6
Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.3 7.4 5.56 5.6 - 6.0
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 3.8 6.3 7.71 7.5 - 7.9
Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.5 7.4 5.05 4.9 - 5.3
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.0 7.5 7.04 6.7 - 7.1
Jasa lainnya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.5 7.7 8.14 7.6 - 8.0
DKI Jakarta 5.9 5.5 5.3 6.1 6.5 5.9 5.6 6.2 5.8 5.5 - 5.9
Jawa Barat 5.1 4.9 4.9 5.0 5.2 5.0 5.1 5.9 6.1 5.8 - 6.2
Banten 5.5 5.5 5.2 5.9 4.9 5.4 5.1 5.2 5.7 5.5 - 5.9
Jawa Tengah 5.3 5.6 5.1 5.0 6.1 5.4 5.0 5.7 5.3 5.1 - 5.5
DI Yogyakarta 5.2 4.3 4.6 5.3 5.5 4.9 4.8 5.6 5.8 5.4 - 5.8
Jawa Timur 5.9 5.0 5.2 5.5 5.9 5.4 5.5 5.6 5.7 5.3 - 5.7
Inflasi IHK (%,yoy) 8.4 6.3 7.1 6.7 3.1 3.1 3.9 3.1 3.3 3.2 - 3.6
DKI Jakarta 9.0 7.1 7.6 7.2 3.3 3.3 3.6 3.1 3.6 5.7 - 6.1
Jawa Barat 7.6 5.5 6.5 6.1 2.7 2.7 3.8 3.2 3.8 3.0 - 3.4
Banten 10.2 7.5 8.9 8.1 4.3 4.3 5.7 3.8 5.7 3.6 - 4.0
Jawa Tengah 8.2 5.7 6.2 5.8 2.7 2.7 4.2 3.0 4.2 2.8 - 3.2
DI Yogyakarta 6.6 5.1 5.7 5.2 3.1 3.1 3.7 2.9 3.7 2.7 - 3.1
Jawa Timur 7.8 6.1 6.8 6.7 3.1 3.1 3.7 2.9 3.7 2.7 - 3.1
2016pIndikator Makroekonomi Daerah
Tahun Dasar 2010
20142015
20152016
86
I II III IV I II IIIp
PDRB (%,yoy) 3.3 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.4 1.1 1.4 1.1 - 1.6
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 3.9 3.4 3.7 4.0 3.4 3.6 4.1 4.6 3.4 3.8 - 4.3
Konsumsi LNPRT 2.7 (4.1) 4.6 11.1 15.2 6.6 8.3 3.5 4.0 4.6 - 5.1
Konsumsi Pemerintah 3.5 6.6 7.0 7.2 (9.1) 0.8 4.4 2.5 3.1 3.2 - 3.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.1 3.0 2.0 5.4 (1.4) 2.2 (2.1) (5.8) (3.1) (2.7) - (2.2)
Ekspor 0.3 (0.4) 0.1 (2.0) (1.3) (0.9) (1.4) (0.5) 0.1 (1.2) - (0.7)
Impor 0.3 (2.2) 1.9 2.0 (6.3) (1.3) (3.1) (5.9) (2.1) (3.6) - (3.1)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.5 5.8 3.8 1.5 4.1 2.0 1.2 2.6 2.0 - 2.5
Pertambangan dan Penggalian 0.1 (0.9) (3.0) (5.9) (5.7) (3.9) (5.0) (4.2) (4.1) (4.5) - (4.0)
Industri Pengolahan 2.2 (1.8) 1.2 2.5 10.3 3.0 7.8 5.0 4.4 4.4 - 4.9
Pengadaan Listrik dan Gas 17.1 38.4 28.1 25.9 (1.2) 20.1 5.5 12.6 11.1 10.3 - 10.8
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang6.7 3.4 5.5 4.0 5.2 4.6 5.8 6.4 5.6 5.9 - 6.4
Konstruksi 7.6 4.1 2.1 2.7 2.5 2.8 0.4 (1.6) 0.9 0.6 - 1.1
Perdagangan Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor5.4 4.3 4.0 3.2 5.6 4.3 5.9 4.7 4.3 4.6 - 5.1
Transportasi dan Pergudangan 6.3 7.4 7.3 5.5 4.2 6.0 6.1 5.4 5.5 5.2 - 5.7
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum6.1 5.4 6.4 6.2 5.8 5.9 5.3 5.3 4.9 5.1 - 5.6
Informasi dan Komunikasi 10.6 11.5 8.8 8.4 8.4 9.3 9.5 8.9 8.9 8.8 - 9.3
Jasa Keuangan dan Asuransi 5.0 4.8 (0.2) 6.0 3.8 3.6 4.6 8.5 5.9 6.2 - 6.7
Real Estate 6.9 7.6 4.5 4.2 2.6 4.7 3.9 2.7 4.4 3.7 - 4.2
Jasa Perusahaan 7.3 3.0 2.1 2.6 0.5 2.0 2.2 0.2 1.8 1.5 - 2.0
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib7.6 7.0 8.6 8.1 9.1 8.2 8.9 11.6 8.7 9.1 - 9.6
Jasa Pendidikan 9.7 10.2 10.3 9.7 5.0 8.7 7.9 7.3 9.0 7.9 - 8.4
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.9 7.7 9.8 10.0 8.5 9.0 8.5 8.0 9.1 8.5 - 9.0
Jasa lainnya 7.5 6.7 7.1 6.8 8.5 7.3 9.1 8.6 8.7 8.5 - 9.0
Provinsi Kalimantan Barat 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 6.0 4.2 5.0 4.9 - 5.4
Provinsi Kalimantan Tengah 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 5.7 6.2 5.7 - 6.2
Provinsi Kalimantan Selatan 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 4.0 4.1 3.8 - 4.3
Provinsi Kalimantan Timur 2.2 (0.2) (0.4) (2.2) (0.5) (0.9) (0.7) (0.9) (0.8) (1.1) - (0.6)
Inflasi IHK (%,yoy) 7.9 7.3 7.3 7.4 5.1 5.1 5.1 4.9 4.5 3.8 - 4.3
Provinsi Kalimantan Barat 9.4 8.9 9.0 8.8 5.8 5.8 4.6 5.2 4.5 4.4 - 4.9
Provinsi Kalimantan Tengah 7.1 5.9 5.9 5.8 4.7 4.7 4.6 3.1 2.9 2.8 - 3.3
Provinsi Kalimantan Selatan 7.3 7.0 6.1 7.0 5.2 5.2 6.0 5.9 4.9 4.6 - 5.1
Provinsi Kalimantan Timur 7.7 7.1 7.6 7.3 4.9 4.9 4.9 4.6 4.7 3.5 - 4.0
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016p
Tahun Dasar 2010
87
I II III IV I II IIIp
PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.3 5.9 6.9 6.4 - 6.8
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 5.6 6.0 6.1 5.8 - 6.2
Konsumsi LNPRT 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 6.3 6.1 3.6 4.1 - 4.5
Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 5.3 8.2 7.4 7.4 - 7.8
Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 8.4 7.7 10.1 9.1 - 9.5
Ekspor (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 6.6 (1.5) 2.0 5.0 - 5.4
Impor 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 16.6 40.2 29.2 22.0 - 22.4
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 2.1 2.4 3.2 2.9 - 3.3
Pertambangan dan Penggalian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 2.7 (2.1) 1.6 1.4 - 1.8
Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 12.2 9.1 14.4 11.9 - 12.3
Pengadaan Listrik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 7.2 15.2 7.8 9.4 - 9.8
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 6.1 5.3 4.2 5.0 - 5.4
Konstruksi 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.1 8.2 8.3 8.0 - 8.4
Perdagangan Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.4 8.2 8.7 7.9 - 8.3
Transportasi dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 8.0 8.3 9.7 8.3 - 8.7
Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.4 7.6 7.8 7.4 - 7.8
Informasi dan Komunikasi 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 8.7 8.2 8.1 8.0 - 8.4
Jasa Keuangan dan Asuransi 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 9.3 15.8 8.4 10.3 - 10.7
Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 6.3 6.0 7.3 6.6 - 7.0
Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 7.3 6.2 6.4 6.5 - 6.9
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 8.0 10.6 9.4 9.1 - 9.5
Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 8.0 9.0 8.1 7.5 - 7.9
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 7.8 8.1 6.1 6.6 - 7.0
Jasa lainnya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.3 7.4 5.9 6.4 - 6.8
Provinsi Sulawesi Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 8.1 7.8 7.5 - 7.9
Provinsi Sulawesi Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.3 4.6 6.2 6.1 - 6.5
Provinsi Sulawesi Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.5 6.8 7.3 6.7 - 7.1
Provinsi Sulawesi Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.2 15.5 13.9 14.0 - 14.4
Provinsi Gorontalo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.7 5.4 6.7 6.3 - 6.7
Provinsi Sulawesi Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.4 6.1 - 6.5
Provinsi Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.6 6.5 6.7 6.1 - 6.5
Provinsi Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.6 6.1 5.6 - 6.0
Provinsi Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (1.2) (5.9) 7.2 1.7 - 2.1
Provinsi Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 3.4 4.5 4.5 - 4.9
Provinsi Bali 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.1 6.5 6.6 6.3 - 6.7
Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 9.9 0.8 5.6 - 6.0
Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.3 5.4 5.1 - 5.5
Inflasi IHK (%,yoy) 8.3 6.8 7.2 7.5 4.1 4.1 4.7 3.9 3.6 3.6 - 4.0
Provinsi Sulawesi Selatan 8.6 7.1 7.2 8.2 4.5 4.5 5.7 4.3 4.1 4.3 - 4.7
Provinsi Sulawesi Barat 7.9 6.7 6.3 7.2 5.1 5.1 5.2 4.3 3.9 3.4 - 3.8
Provinsi Sulawesi Tenggara 8.4 7.8 7.7 6.7 2.3 2.3 4.8 4.1 4.2 3.1 - 3.5
Provinsi Sulawesi Tengah 8.8 5.3 5.9 5.3 4.2 4.2 6.0 4.2 3.3 2.9 - 3.3
Provinsi Gorontalo 6.1 5.3 5.8 6.6 4.3 4.3 5.7 4.9 4.2 3.5 - 3.9
Provinsi Sulawesi Utara 9.7 8.0 8.0 9.0 5.6 5.6 4.9 3.7 3.5 4.6 - 5.0
Provinsi Maluku 7.2 9.1 8.7 9.6 6.1 6.1 2.2 1.8 1.4 3.3 - 3.7
Provinsi Maluku Utara 9.3 7.9 8.9 8.0 4.5 4.5 5.5 3.9 4.0 3.6 - 4.0
Provinsi Papua 9.1 6.8 9.1 8.1 3.6 3.6 3.8 5.2 4.1 4.0 - 4.4
Provinsi Papua Barat 6.6 7.0 7.5 7.2 5.3 5.3 5.5 4.0 3.3 3.9 - 4.3
Provinsi Bali 8.4 6.4 7.0 7.0 2.7 2.7 3.6 3.0 2.6 3.2 - 3.6
Provinsi Nusa Tenggara Barat 7.2 6.0 6.7 5.7 3.4 3.4 4.3 4.4 4.8 4.0 - 4.4
Provinsi Nusa Tenggara Timur 7.8 5.4 5.6 6.9 4.9 4.9 5.0 5.0 3.6 3.3 - 3.7
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016p
88
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
Yoga Affandi Noor Yudanto
Gunawan Wicaksono Handri Adiwilaga Maximilian T. Tutuarima Ragil Misas Fuadi Agung Budilaksono Rif’at Pasha Warsono Komalia Rahmayani Frida Yunita Sinurat Hayatullah Khumeini Erlangga Febrianno Ryan Ariefiansyah Wening Tresnaning Asih Erwin Syafii Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda Anggi Adiprasetio