Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAPORAN PENELITIAN
SEJARAH KEDATANGGAN ARAB HADRAMAUT KE PALEMBANG
OLEH
Dr. Apriana, M. Hum.
NIDN. 0204048006
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019-2020
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................. 1
B. Batasan Masalah ......................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 6
BAB II LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis ......................................................................... 7
B. Keadaan Sosial dan Ekonomi ........................................................ 11
C. Elite, Stratifikasi Sosial dan Sistem Kekerabatan ......................... 20
D. Agama, Adat Istiadat dan Kesenian .............................................. 24
E. Komunikasi, Perhubungan dan Transportasi ................................ 26
F. Institusi Sosial-Keagamaan dan Pemuda ...................................... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 31
2. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 38
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 40
4. Teknik Analisa Data ...................................................................... 40
5. Sistematika Pembahasan ............................................................... 45
BAB IV HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Palembang-Timut Tengah .......................................... 36
B. Sejarah Kedatangan Arab Hadramaut ke Palembang .................. 55
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan antara Palembang dengan Timur Tengah melibatkan sejarah
yang panjang, yang tidak dapat dilacak sampai masa yang sangat tua (antiquity).
Kontak paling awal antara kedua wilayah ini, khususnya berkaitan dengan
perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia. Memang, hubungan antara
keduanya pada masa beberapa waktu sebelum kedatangan Islam dan masa awal
Islam terutama merupakan hasil dari perdagangan Arab dan Persia dengan Dinasti
China. Menurut Azra1, agaknya kapal-kapal Arab dan Persia yang berdagang ke
Cina melakukan pengembaraan pula ke Nusantara, Palembang2 khususnya
sebelum Islam menjadi nyata di wilayah tersebut.
Hubungan itu terus berlanjut setelah kedatangan Islam, sebagaimana
diketahui para pedagang muslim dari Arab, Persi, dan dari negeri-negeri Timur
Tengah lainnya sejak abad ke-7 dan ke-8 sudah mulai aktif dalam pelayaran dan
perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Berita dari I-Thing seorang
1Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 20 2Mengenai nama Palembang, Johan Hanafiah menyatakan bahwa pada masa awal
kerajaan Sriwijaya, dalam prasasti Kedukan Bukit, wilayah yang dikenal dengan nama Palembang
sekarang disebut istilah wanua. Selanjutnya identifikasi nama Palembang baru ditemukan dalam
catatan Tiongkok pada abad ke-11 M, yang ditulis dalam dialek Cina sebagai Fan Lin Fong.
Sedangkan pada kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada masa kejayaan
Majapahit, nama Palembang telah dikenal sebagai Palembang yang wilayahnya diperkirakan
sebagai Palembang yang dikenal sekarang. Wilayah ini merupakan wilayah subordinat Majapahit
yang digunakan sebagai tempat transit dalam hubungan Majapahit ke wilayah lain. Lihat Johan
Hanafiah, Melayu Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang, (Jakarta: Grafis Pers, 1995), hal. 3
dan lihat juga Slamet Muljana, Sriwijaya, (Yogyakarta: LkiS, 2006), hlm. 157
2
musafir dan Buddhis Cina dalam perjalanannya ke India menceritakan tentang
kehadiran kapal-kapal para pedagang muslim dari Arab (Ta-shih) dan Persi
(Posse) di pelabuhan Bhoga (Palembang). Berita itu diperkuat oleh berita-berita
Arab dan bahkan pada masa itu ada dua buah surat dari Maharaja Sriwijaya
kepada dua khalifah di Timur Tengah, yaitu yang ditujukan kepada Khalifah
Mu‟awiyah (41 H / 661M) dan yang ditujukan kepada Khalifah Umar ibn. Abd
Al-„Aziz (99-102 H / 717-20 M).3
Uka Tjandrasasmita, pakar sejarah dan Arkeologi Islam, menduga bahwa
Islam datang ke Indonesia dan Palembang khususnya pada abad ke-7 dan ke-8.
Pada abad ini, dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia dan India sudah
banyak yang berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia
Timur.4 Kemajuan perhubungan pelayaran pada abad-abad tersebut sangat
mungkin sebagai akibat persaingan di antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu,
yakni kerajaan Bani Umaiyyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara
dan kekuasaan China di bawah dinasti T‟ang di Asia Timur.5
Pendapat Uka di atas didukung oleh seminar “Masuk dan Berkembangnya
Islam di Sumatera Selatan” pada bulan November 1984, antara lain, disimpulkan
bahwa Islam telah ada di Palembang sejak abad ke-7 M, ketika Palembang masih
merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu pedagang-pedagang Islam dari
Timur Tengah datang dan bermukim di Palembang. Atas izin penguasa Sriwijaya
3K.H.O. Gadjahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI
Press, 1986), hlm. 20 4Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia:
dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 17 5George Fadlo Hourani, Arab Seafaring in the Indians Ocean in Ancient and Early Times,
(Princeton: New Jersey University Press, 1951), hlm. 62, sebagaimana dikutip oleh ibid.
3
mereka ini dapat menjalankan ajaran Islam di Kota ini.6 Kesimpulan ini juga
didukung oleh sumber-sumber sejarah Arab dan Cina yang mengatakan bahwa
pada abad ke-9 M di Palembang telah terdapat sejumlah muslim pribumi di
kalangan masyarakat Kerajaan Sriwijaya. Mereka tidak hanya diberi hak sebagai
warga kerajaan, tetapi juga berperan dalam perdagangan dan bahkan dipercaya
oleh Pemerintah Sriwijaya untuk menjadi Duta Kerajaan ke Cina dan Arab.7
Keberadaan penduduk pribumi Muslim dalam kerajaan Sriwijaya
menunjukkan bahwa proses islamisasi sebenarnya telah dimulai, meskipun masih
terbatas di kalangan kecil masyarakat. Akan tetapi tampaknya selama lima abad
setelah kedatangan awal tersebut Islam belum berkembang secara signifikan dan
massif di Palembang. Hal senada dikatakan oleh Marwati Djoned dan Nugroho
Notosusanto. Mereka mengatakan bahwa kemungkinan para pedagang muslim
Arab dan Persi (Iran) bahkan dari negeri-negeri lainnya di Timur Tengah, belum
dapat dikatakan di daerah Palembang yang dianggap sebagai pusat kerajaan
Sriwijaya telah terjadi islamisasi secara besar-besaran mengingat kerajaan
Sriwijaya yang bercorak Budhis pada waktu itu kekuasaan politiknya masih kuat
pada saat itu. Baru sejak kerajaan tersebut mengalami kelemahan bahkan runtuh
pada sekitar abad ke-14 M mulailah islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 M
muncul komunitas muslim di Palembang.8 Sampai abad ke-16 proses islamisasi di
Palembang nampaknya masih belum menonjol, meskipun Pemerintahan
Palembang telah berada di bawah kekuasaan Islam Jawa. Agaknya proses
6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia,…… hlm. 28 7Ibid.
8 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2010), hlm. 44-45
4
Islamisasi mulai berkembang pada akhir abad ke-17 M setelah Kesultanan
Palembang berdiri secara independen.
Adapun mengenai siapa pembawa Islam ke Palembang masih dalam
perdebatan. Berita Cina menyebutkan bahwa Islam dibawa oleh pedagaang Ta-
Shih pada abad ke-7. Beberapa ahli menafsirkan bahwa yang dimaksud Ta-Shih
adalah para pedagang Arab. Dengan demikian kuat dugaan Islam langsung di
bawa dari negeri Arab. Namun pendapat itu dibantah oleh C. Snouck Hurgronje.
Menurut Snouck bahwa begitu Islam berpijak kukuh di beberapa kota pelabuhan
Anak Benua India, Muslim Deccan banyak di antara mereka tinggal di sana
sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara.
Mereka datang ke Dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama.
Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakannya keturunan Nabi
Muhammad SAW karena menggunakan gelar sayid atau syarif. Merekalah
kemudian menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara.9
Pendapat tersebut didasarkan pula kepada unsur-unsur Islam di Indonesia
yang menunjukkan persamaannya dengan di India. Cerita-cerita popular dalam
bahasa-bahasa di Indonesia mengenai nabi dan pengikut-pengikutnya pertamanya
tidak hanya jauh dari nilai, sejarah, tetapi juga jauh dari cerita-cerita Arab, dan
aslinya terdapat kembali di India. Dikatakan pula oleh Hurgronje bahwa
bersamaan dengan cerita-cerita tersebut di atas beberapa kebiasaan muslim di
Indonesia menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang sama dengan Syi‟ah di pantai
9LIihat C.S. Hurgronje, Verspreide Geschirften, Den Haag: Nijhoff, 1924, VI, 7 dalam
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 3
5
Malabar dan Koromandel, dan mereka penganut Sunnah ortodoks yang dalam
hukum tergolong mazhab Syafi‟i.10
Pendapat-pendapat seperti itu diperkuat oleh hasil penelitian
kepurbakalaam J.P. Moquette mengenai nisan kubur dari Samudra Pasai yang
memuat nama Sultan Malik as Saleh yang berangka tahun 696 H (1297 M), dan
beberapa nisan lainnya dari abad-abad berikutnya yang dibuat dari Pualam. Ia
berpendapat bahwa beberapa nisan tersebut menunjukkan pembuatan yang berasal
satu pabrik di Cambay-Gujarat. Beberapa ahli lainnya menganut pendapat kedua
ahli tersebut di atas jika membicarakan kedatangan dan asal Islam di Indonesia
itu. Meskipun demikian, ketidaksesuaian pendapat selalu ada, yaitu dari ahli-ahli
yang berpendapat bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah dari Arab seperti
telah dikemukakan di atas. S.Q. Fatimi berpendapat bahwa orang-orang muslim
pembawa Islam ke Indonesia berasal dari Benggala. Pendapat ini didasarkan pada
berita Tome Pires serta aliran tasawuf yang masuk ke Indonesia dan Malaysia.11
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas jelaslah bahwa tidak
mudah untuk memastikan bila dan siapa pembawa pertama-tama Islam ke
Indonesia dan Palembang khususnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
pembawa Islam ke Palembang antara abad ke-7 sampai ke-13 oleh orang-orang
muslim dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala).
10
Ibid., hlm. 106 11
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III,………,
hlm. 163-164
6
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana disebutkan pada latar belakang masalah, permasalahannya
adalah:
1. Bagaimana hubungan Palembang dengan Timut Tengah?
2. Bagaimana sejarah kedatangan Orang Arab Hadramaut ke
Palembang?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk permasalahan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui hubungan Palembang dengan Timut Tengah
2. Untuk mengetahui sejarah kedatangan orangg Arab Hadramaut ke
Palembang
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan kajian penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
sebagai berikut:
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmiah bagi pengembangkan ilmu pengetahuan dalam studi ilmu sosial dan sejarah
kebudayaan Islam di Palembang. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan
berguna bagi pemerintah sebagai salah satu pertimbangan dalam membuat
perencanaan, pengambilan keputusan, dan penyempurnaan kebijakan etnisitas di
daerah-daerah khususnya di wilayah Palembang dalam upaya peningkatkan
integrasi nasional. Hal ini mengingat sering terjadinya pertikaian yang terjadi di
Nusantara yang disebabkan oleh masalah etnisitas tersebut.
7
BAB II
LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis
Secara astronomi kota Palembang terletak antara 2052‟–305‟ LS dan
104037‟– 104052‟ BT merupakan daerah tropis dengan angin lembab nisbi, suhu
cukup panas antara 23,4 C-31,7 C dengan curah hujan terbanyak pada bulan April
sebanyak 338 mm, minimal pada bulan September dengan curah hujan 10 mm.
Struktur tanah pada umumnya berlapis alluvial liat dan berpasir, terletak pada
lapisan yang masih muda, banyak mengandung minyak bumi, dan juga dikenal
dengan nama lembah Palembang–Jambi. Permukaan tanah relatif datar dengan
tempat-tempat yang agak tinggi di bagian utara kota. Sebagian besar tanahnya
selalu digenangi air pada saat atau sesudah hujan yang terus-menerus dengan
ketinggian tanah permukaan rata-rata 8 m dari permukaan laut.12
Kota Palembang dibelah oleh sungai Musi menjadi dua daerah yaitu
Seberang Ilir dan Seberang Ulu.13
Sungai Musi ini bermuara ke Selat Bangka
dengan jarak 105 Km. Oleh karena itu, prilaku air laut sangat berpengaruh yang
dapat dilihat dari adanya pasang surut antara 3– 5 Meter.
Kota Palembang yang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Selatan,
terdiri dari 16 Kecamatan, yaitu Ilir Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat
12
D.G. Stibbe, Encylopaedie van Nederlandsch-India, Jilid III (cetakan ke-3), (Leiden: ‟s
Gravenhage, 1919), hlm. 270, dalam Makmun Abdullah dkk, Kota Palembang sebagai Kota
Dagang dan Industri, (Jakarta: Depdikbud, Ditjarahnitra, IDSN, 1984/1985), hlm. 12 13
Konsep iliran dan uluan merupakan konsep zona geografis yang terbentuk dari kondisi
realitas kenampakan fisik geologinya. Uraian menarik mengenai konsep ini dan pengaruhnya
terhadap penduduk dapat dibaca dapat di baca dari buku Mestika Zed, Kepialangan Politik dan
Revolusi, Palembang 1900-1950, (Jakara: LP3ES, 2003), hlm. 34-47
8
II, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus,
Kemuning, Kalidoni, Plaju, Kertapati, Alang-Alang Lebar dan Sematang
Borang.14
Kecamatan Seberang Ulu II terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan dengan luas
wilayah 1070 Ha. Sebelah utara berbatasan dengan sungai Musi, yaitu di
Kecamatan Ilir Timur I dan Kecamatan Ilir Timur II, sebelah timur berbatasan
dengan kecamatan Plaju, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Plaju dan
kecamatan Seberang Ulu I dan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan
Seberang Ulu I.15
Kecamatan Seberang Ulu II adalah merupakan wilayah non pertanian, hal
ini terlihat dengan minimnya luas lahan persawahan yang hanya sebesar 8 ha.
Wilayah Seberang Ulu II berbatasan langsung dengan sungai Musi, sehingga tidak
mengherankan apabila masih banyak keluarga yang tinggal di bantaran sungai
Musi. Sedangkan keluarga yang tinggal di daerah rawan banjir jauh lebih banyak,
hal dikarenakan wilayah ini memang kebanyakan adalah daerah rawa-rawa.16
Dari
sisi sumber air untuk memasak, seiring dengan meningkatnya kesadaran warga
akan pentingnya air yang bersih, kebanyakan keluarga di Seberang Ulu II
mempergunakan air pam/ledeng daripada air sungai.17
Dari sisi pelanggan listrik,
lebih dari 25 ribu keluarga telah menggunakan listrik PLN, sedangkan untuk
telepon terdapat 6 ribu keluarga yang menggunakan telepon kabel. Dari sisi
14
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 15
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 16
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angka, 2013 17
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017.
9
pemukiman kumuh, terdapat 32 lokasi pemukiman kumuh dengan hampir 2 ribu
bangunan serta didiami hampi 2 ribu keluarga.18
Wilayah kecamatan Seberang Ulu II terbagi atas 7 Kelurahan yaitu 11 Ulu,
12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, Tangga Takat, 16 Ulu, dan Sentosa.19
Dari ke tujuh
kelurahan ini wilayah dengan luas paling besar adalah kelurahan 16 Ulu yakni
sebesar 394,00 ha kemudian kelurahan Tangga Takat sebesar 228 ha, Sentosa 197
ha, 14 Ulu 109 ha. dan 13 Ulu 100 ha. Sedangkan dua kelurahan lainnya yakni 11
Ulu dan 12 Ulu hanya berkisar dibawah 25 ha luas wilayah Seberang Ulu II
sebesar hanya sebesar 10,690 km2 atau hanya sebesar 2,67 persen dari luas kota
Palembang dengan luas terbesar adalah Kelurahan 16 Ulu sebesar 394 ha geografi
statistik geografi kelurahan di wilayah Kecamatan Seberang Ulu II Kelurahan
kode kelurahan luas (ha) persentase 11 Ulu 014 25 2,34 12 Ulu 013 17 1,59 13
Ulu 012 100 9,35 14 Ulu 011 109 10,19 Tangga Takat 010 228 21,31 16 Ulu 008
394 36,82 Sentosa 007 197 18,41.20
Dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1
Luas wilayah Kecamatan Seberang Ulu II dirinci menurut kelurahan
Pada Tahun 2015
No Kelurahan Kode
Kelurahan
Luas
(Ha) Persentase
1. 11 Ulu 014 25.00 2.34
2. 12 Ulu 013 17.00 1.59
3. 13 Ulu 012 100.00 9.35
4. 14 Ulu 011 109.00 10.19
5. Tangga Takat 010 228.00 21.31
18
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angka, 2013 19
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 20
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
10
6. 16 Ulu 008 394.00 36.82
7 Sentosa 007 197.00 18.41
Jumlah 1.070.00 100.00
Selanjutnya berdasarkan data statistik, pemerintahan kecamatan Seberang
Ulu II sama dengan daerah lain di Indonesia yang banyak mengalami pemekaran
wilayah baik itu pemekaran kecamatan maupun kelurahan, maka pada tahun 2015
setelah melalui beberapa kali perubahan kecamatan Seberang Ulu II telah
memiliki 62 Rukun Warga (RW), 263 Rukun Tetangga (RT) dan 24.195
Keluarga.21
Adapun rinciannya Dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2
Jumlah Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan Keluarga di
Kecamatan Dirinci Menurut Kelurahan Pada Tahun 2015
No Kelurahan Rukun Warga
(RW)
Rukun
Tetangga (RT) Keluarga
1. 11 Ulu 4 21 1.952
2. 12 Ulu 3 16 1.546
3. 13 Ulu 6 34 2.572
4. 14 Ulu 7 33 2.940
5. Tangga Takat 10 38 4.250
6. 16 Ulu 20 75 6.990
7 Sentosa 12 46 3.945
Jumlah 62 263 24.195
Sumber: Dokumen kecamatan Seberang Ulu II dalam angka, 2013
21
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
11
Berdasarkan pembagian wilayah administrasinya semua kelurahan di
kecamatan Seberang Ulu II adalah termasuk desa swasembada di mana setiap
kelurahan memiliki kantor kelurahan di wilayah masing-masing.22
B. Keadaan Sosial dan Ekonomi
a. Penduduk
Komposisi penduduk kecamatan Seberang Ulu II berdasarkan jenis
kelamin hampir berimbang antar laki-laki dan perempuan, hal ini dapat dilihat
dari sex ratio yang nilainya 100,70 di mana beda jumlah penduduk laki-laki lebih
sedikit dari jumlah penduduk perempuan. Jumlah penduduk yang relatif besar
yaitu sebanyak 99 ribu orang, dengan luas 1070 ha maka kepadatan penduduk di
tiap ha adalah sebesar 92,82.23
Komposisi penduduk kecamatan Seberang Ulu II menurut kelurahan bisa
dikatakan hampir tidak merata. Hal ini bisa terlihat dari fluktuasi jumlah
penduduk masing-masing kecamatan yang cukup besar perbedaannya. Kelurahan
yang terbanyak penduduknya adalah Kelurahan 12 Ulu, sedangkan wilayahnya
adalah wilayah terkecil di kecamatan Seberang Ulu II sehingga kepadatan
penduduk di wilayah ini sangat padat sekitar 1389 orang dalam tiap ha.24
Berikut
jumlah penduduk kecamatan Seberang Ulu II menurut jenis kelamin dan sex ratio:
Tabel 3
Jumlah penduduk kecamatan Seberang Ulu II menurut jenis kelamin dan
rex ratio pada tahun 201525
22
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017. 23
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2013 24
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 25
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
12
No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
1. 11 Ulu 7.675 7.335 15.010 104,64
2. 12 Ulu 12.227 11.905 24.132 102,70
3. 13 Ulu 8.913 8.885 17.798 100,32
4. 14 Ulu 6.893 6.686 13.579 103,10
5. Tangga Takat 6.707 7.704 14.411 87,06
6. 16 Ulu 3.162 3.019 6.181 104,74
7 Sentosa 4.207 3.904 8.111 107,76
Jumlah 49.784 49.438 99.222 100,70
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki di
kecamatan Seberang Ulu II berjumlah 49.784 dan jumlah penduduk perempuan
49.438. Sehingga dapat dipahami jumlah penduduk laki-laki dan perempuan
hampir berimbang. Sementara itu, jumlah kepadatan penduduk dengan luas
wilayah tidaklah berimbang, di mana kelurahan 12 Ulu dengan jumlah penduduk
terpadat tetapi memiliki luas wilayah paling kecil. Ini menandakan bahwa
pemerataan penduduk di wilayah Seberang Ulu II belum merata. Penduduk
dengan komposisi jenis kelamin yang hampir berimbang adalah wilayah 13 Ulu,
sedangkan penduduk paling sedikit ada di kelurahan 16 Ulu walaupun wilayahnya
adalah wilayah nomor dua yang terbesar.
b. Mata Pencaharian
Pasar, baik tradisional maupun modern adalah salah satu pendorong roda
perekonomian suatu wilayah. kegiatan perekonomian di wilayah Seberang Ulu II
secara keseluruhan ditopang oleh 2 pasar darurat, 35 supermarket, 161
13
restoran/rumah makan, dan 1523 warung kelontong.26
Kegiatan lain seperti hotel
dan bank tampaknya tidak begitu bergairah di wilayah ini, terlihat dengan adanya
1 hotel saja, 2 penginapan, 1 Bank Umum, BPR 0 serta KUD 0. Memang, secara
umum wilayah seberang Ulu II ini sangat minim dengan kegiatan
perekonomian.27
Hal ini dikarenakan belum meratanya pembangunan di kota
Palembang sehingga warga di wilayah Seberang Ulu II biasanya akan memenuhi
kebutuhannya dengan mencari di wilayah Seberang Ilir. Kalaupun ada kegiatan
perekonomian, biasanya tidak berkembang pesat dan dalam skala kecil.
Berdasarkan pekerjaannya, penduduk kecamatan Seberang Ulu II
kebanyakan adalah mahasiswa atau pelajar. Hal ini tidak mengherankan, karena di
kecamatan ini banyak terdapat perguruan tinggi dan sekolah. Sedangkan
pekerjaan yang sangat sedikit digeluti di wilayah ini adalah pertanian. Hal ini
sesuai dengan pembagian wilayah yang kebanyakan adalah wilayah non
pertanian. Rata-rata jumlah anggota keluarga di kecamatan Seberang Ulu II adalah
4 orang. Indikator kependudukan Kecamatan Seberang Ulu II tahun 2016 uraian
2016 jumlah penduduk (000 jiwa) 97 095 jumlah rumah tangga 21 937 jumlah
penduduk datang (jiwa) jumlah penduduk pindah (jiwa) 112 101 kepadatan
penduduk ( jiwa/ha) 90,74 sex ratio (l/p) (%) 99,92 jumlah kelahiran (jiwa) 280
jumlah kematian (jiwa) 213 jumlah keluarga 22.824 rata-rata jiwa per keluarga
3,94.
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Seberang Ulu II memiliki
komposisi yang cukup bervariasi. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
26
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 27
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
14
kecamatan Seberang Ulu II, untuk pegawai kecamatan dan kelurahan adalah
sebanyak 61 orang. Sedangkan Pegawai Negri Sipil yang berasal dari instansi
vertikal jauh lebih banyak yakni 214 orang yang terdiri dari 1 orang dari Badan
Pusat Statistik (BPS), 15 orang dari Kantor Urusan Agama (KUA), dan 79 orang
dari Polsek, 7 dari Puskesmas dan 5 dari PLKB. Adapun yang berprofesi sebagai
TNI/POLRI berjumlah 1.636, pertani berjumlah 169, perdagang berjumlah 3.126,
jasa berjumlah 844, transportasi dan komunikasi berjumlah 149, wiraswasta
berjumlah 3.093 dan lain-lain berjumlah 11.705.28
Dari komposisi ini tampak
bahwa sebagian besar penduduk kecamatan Seberang Ulu II berprofesi lainnya
kemudian disusul profesi pedagang.
Di wilayah kecamatan Seberang Ulu II, terdapat pabrik es tertua sejak
zaman sebelum kemerdekaan RI, pabrik tersebut bernama pabrik es PT. Asegaf
yang terletak di kelurahan Tangga Takat.29
Di mana pemilik pabrik ini keturunan
suku bangsa Arab, untuk kegiatan jasa di wilayah Seberang Ulu II cukup
bergairah, hal ini dikarenakan pelanggan-pelanggannya adalah keluarga
perorangan yang dengan skala harga yang cukup murah mengingat di wilayah ini
merupakan basis tempat tinggal mahasiswa perguruan tinggi dari luar daerah yang
indekos. Keberadaan perusahaan industri pengolahan sangat berpengaruh pada
kehidupan perekonomian masyarakat, karena usaha industri ini dapat menyerap
tenaga kerja dan sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat sekitar usaha
industri ini. Namun di wilayah Seberang Ulu II, sementara itu usaha industri
hanya ada 1 industri dengan skala kecil yang hanya menyerap 4 orang tenaga
28
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 29
Bapak Oscar (Lurah 14 Ulu), wawancara, Tanggal 12 Juni 2017
15
kerja. Minimnya industri kecil yang tercatat di wilayah ini kemungkinan besar
dikarenakan belum tercovernya usaha tersebut dalam pendataan yang dilakukan.
c. Pendidikan
Prasarana pendidikan yang sangat diperlukan dalam rangka pembangunan
sumber daya manusia. Jumlah sekolah yang ada di Seberang Ulu II sudah cukup
memadai, di mana terdapat 14 TK, 27 SD, 6 SMP, 6 SMU, 2 SMK dan 4
Perguruan Tinggi (Universitas Muhammadiyah, Universitas PGRI, Universitas
Bina Darma, Universitas Kader Bangsa).30
Berikut data pendidikan di kecamatan
Seberang Ulu II dalam tabel angka:
Tabel 4
Jumlah penduduk di Kecamatan Seberang Ulu II menurut jenis kelamin
(laki-laki) dan tingkat pendidikan pada tahun 201531
Kelurahan Laki laki
SD SMP SMA SM S1 S2/S3 Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. 11 Ulu 137 128 135 6 2 - 408
2. 12 Ulu 112 123 107 6 - - 348
3. 13 Ulu 143 129 195 15 2 - 484
4. 14 Ulu 135 125 162 20 10 - 452
5. Tangga Takat 222 223 209 19 15 - 688
6. 16 Ulu 220 217 223 25 20 - 705
7. Sentosa 193 182 201 27 27 - 630
Jumlah 1.162 1.127 1.232 118 76 - 3.715
Dari tabel di atas dapat di pahami bahwa keadaan pendidikan kecamatan
Seberang Ulu II relatif baik. Pendidikan di kecamtan Seberang Ulu II bila dilihat
dari jenis kelamin laki-laki, terdapat 1.162 orang yang berpendidikan SD, 1.127
30
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 31
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
16
orang yang berpendidikan SMP, 1.232 yang berpendidikan SMA, 118 orang yang
berpendidikan Sekolah Menengah (SM), 76 orang Strata Satu (S1), 0 orang yang
berpendidikan S2/S3, bila dilihat masih sangat minim masyarakat yang
berpendidikan S2/S3. Akan tetapi secara umum keadaan pendidikan masyarakat
relatif baik.
Tabel 5
Jumlah penduduk di Kecamatan Seberang Ulu II menurut jenis kelamin
(perempuan) dan tingkat pendidikan pada tahun 201532
Kelurahan Perempuan
SD SMP SMA SM S1 S2/S3 Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. 11 Ulu 125 125 107 3 3 2 365
2. 12 Ulu 132 128 101 3 4 - 368
3. 13 Ulu 105 122 172 9 8 6 422
4. 14 Ulu 127 127 201 11 10 6 482
5. Tangga Takat 213 217 207 18 27 6 688
6. 16 Ulu 207 213 207 23 25 8 683
7. Sentosa 175 117 197 29 25 8 613
Jumlah 1.084 1.109 1.192 96 102 38 3.621
Berdasarkan tabel di atas, pendidikan di kecamtan Seberang Ulu II bila
dilihat dari jenis kelamin perempuan, terdapat 1.084 orang yang berpendidikan
SD, 1.109 orang yang berpendidikan SMP, 1.192 yang berpendidikan SMA, 96
orang yang berpendidikan Sekolah Menengah (SM), 102 orang Strata Satu (S1),
38 orang yang berpendidikan S2/S3, bila dilihat tingkat pendidikan berdasarkan
jenis kelamin di kecamatan Seberang Ulu II, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa lebih antusias kaum perempuan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke
32
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
17
S1, S2 bahkan S3 dibandingkan kaum laki-laki. Berikut tabel data pendidikan di
kecamatan Seberang Ulu II berdasarkan jenjang pendidikan:
Tabel 6
Jumlah Sekolah Dasar (SD)/Sederajat, Negeri dan Swasta di Kecamatan
Seberang Ulu II Pada Tahun 201533
Kelurahan Sekolah Guru
Negeri Swasta Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. 11 Ulu - - - -
2. 12 Ulu - 3 7 10
3. 13 Ulu - 4 12 20
4. 14 Ulu 2 3 22 30
5. Tangga Takat 2 1 25 28
6. 16 Ulu 5 2 20 85
7. Sentosa 3 2 25 43
Jumlah 12 15 111 216
Dari tabel di atas dapat diamati bahwa kecamatan Seberang Ulu II
memiliki 12 buah SD Negeri dan 15 buah SD Swasta. Memiliki 111 guru laki-laki
dan 216 guru perempuan. Untuk kelurahan 11 Ulu tidak memiliki sekolah untuk
jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) baik sekolah negeri maupun swasta,
sementara di kelurahan 12 Ulu dan kelurahan13 Ulu tidak memiliki sekolah
negeri yang ada hanya sekolah swasta. Sehingga dapat dikatakan pendidikan
untuk jenjang Sekolah Dasar di kecamatan Seberang Ulu II masih minim. Oleh
sebab itu, khususnya di kelurahan 11 Ulu perlu didirikan Sekolah Dasar supaya
murid-murid SD tidak jauh lagi untuk bersekolah.
Tabel 7
Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Sederajat, Negeri dan Swasta
33
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
18
di Kecamatan Seberang Ulu II Pada Tahun 201534
Kelurahan Sekolah Guru
Negeri Swasta Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. 11 Ulu - - - -
2. 12 Ulu - 1 10 15
3. 13 Ulu - - - -
4. 14 Ulu - 2 16 20
5. Tangga Takat - - - -
6. 16 Ulu 2 1 25 40
7. Sentosa - - - -
Jumlah 2 4 51 75
Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa jumlah Sekolah Menengah
Pertama (SMP) yang negeri hanya berjumlah 2 buah yang terletak di kelurahan 16
Ulu dan 4 buah SMP swasta yang berlokasi di 12 Ulu (1 buah), 14 Ulu (2 buah),
16 Ulu (1 buah). Dengan jumlah guru 51 orang guru laki-laki dan 75 orang guru
perempuan. Sementara itu, di kelurahan 11 Ulu, 13 Ulu, Tangga Takat dan
kelurahan Sentosa tidak memiliki SMP negeri maupun swasta. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa di kecamatan Seberang Ulu II masih sangat minim
sekali Sekolah Menengah Pertama dan juga masih kurangnya tenaga pendidik.
Selanjutnya berikut tabel Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sederajat, negeri dan
swasta di Kecamatan Seberang Ulu II:
Tabel 8
Jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sederajat, Negeri dan Swasta
di Kecamatan Seberang Ulu II Pada Tahun 201535
34
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 35
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
19
Kelurahan Sekolah Guru
Negeri Swasta Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. 11 Ulu - - - -
2. 12 Ulu - 1 4 7
3. 13 Ulu - 2 15 20
4. 14 Ulu - 2 8 9
5. Tangga Takat - - - -
6. 16 Ulu 1 - 16 25
7. Sentosa - - - -
Jumlah 1 5 43 61
Berdasarkan tabel di atas, dapat dipahami bahwa kecamatan Seberang Ulu
II hanya memiliki 1 buah Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri yang terletak di
kelurahan 16 Ulu dan 5 buah SMA swasta. Dengan jumlah guru 43 orang guru
laki-laki dan 61 orang guru perempuan. Sementara itu, di kelurahan 11 Ulu,
Tangga Takat dan kelurahan Sentosa tidak satupun memiliki sekolah untuk
jenjang pendidikan SMA baik negeri maupun swasta.
Selanjutnya di kecamatan Seberang Ulu II juga tidak memiliki Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) negeri hanya memiliki 2 buah SMK swasta yang
terletak di kelurahan 16 Ulu. Sementara itu, sekolah di kecamatan Seberang Ulu
II yang di bawah naungan Departemen Kementrian Agama berjumlah 4 buah
Mandrasah Ibtidaiyah (MI) yang tersebar di 13 Ulu, 14 Ulu, Tangga Takat, 16
Ulu, memiliki 140 guru dan 2.307 murid. Kemudian terdapat 1 buah Madrasah
Tsanawiyah (MTs) swasta yang berada di 14 Ulu yang memiliki 19 guru dan 105
20
murid. Untuk Madrasah Aliyah (MA) hanya 1 buah juga terdapat di 14 Ulu,
memiliki 14 guru dan 28 murid.36
Kelurahan II Ulu adalah satu-satunya kelurahan yang tidak mempunyai
fasilitas pendidikan berupa sekolah di semua jenjang pendidikan dan juga di
kelurahan-kelurahan lain yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Seberang
Ulu II masih sangat minim sekali ketersediaan sekolah khususnya bagi
masyarakat sekitar.37
Padahal sebagaimana diketahui ketersediaan sarana
pendidikan, serta lancarnya transportasi bagi anak-anak untuk pergi sekolah,
adalah suatu indikasi penting bagi kemudahan untuk memperoleh kesempatan
pendidikan.
C. Elite, Stratatifikasi Sosial, dan Sistem Kekerabatan
Status elite seringkali didasarkan atas kekayaan dan pekerjaan. Kekayaan
seringkali dijadikan ukuran untuk menunjukkan status seorang dalam masyarakat.
Dalam sejumlah hal, kelompok yang memiliki kekayaan biasanya memiliki
kemampuan memerintah orang lain, terutama terhadap orang-orang yang tidak
mampu. Oleh karena itu, kekuasaan definisikan oleh Max Weber sebagaimana
dikutip oleh Peter M. Blau38
merupakan kemamuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya terhadap orang lain, sekalipun ada perlawanan.
Orang “kaya” sebagai suatu kelompok elite dalam masyarakat memiliki
kelebihan dalam berbagai kemudahan kehidupan di tengah masyarakat, karena
36
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 37
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 38
Peter M. Blau, ″Komentar Kritis atas Teori Weber tentang Otoritas″ dalam Dennis
Wrong (Ed.), Max Weber: Sebuah Khazanah, Penerjemah dan Penyunting: A. Asnawi, Penerbit:
Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2003, hlm. 229.
21
kekuasaan sosial ekonomi yang dimilikinya memungkinkan yang bersangkutan
untuk mendapat “penghormatan” dari beragam lapisan masyarakat lain.
Kelompok elite pada masyarakat Arab, bertalian pula dengan status sosial-
ekonomi. Orang Arab “kaya” akan dihormati keluarga atau orang Arab lain, dan
kolega di luar etnisnya. Begitu juga Orang Melayu “kaya” akan dihormati
keluarga atau orang Melayu lain, atau kolega di luar etnisnya. Ada yang menarik
di sini bahwasannya walaupun orang Arab “kaya” tetap mereka melestarikan
tradisi memakai kain sarung dalam aktivitas kesehariannya.39
Status kelompok elite dapat pula berdasarkan pekerjaan. Jenis pekerjaan
orang Melayu dapat dikategorikan: pekerjaan formal (pejabat, pengusaha,
pegawai negeri dan pegawai timah) dan non-formal (guru ngaji, ustadz). Pada
tingkat kelurahan, kecamatan, dan kabupaten, peranan kelompok elite ini tampak
menonjol, terutama bertalian kegiatan pembangunan sosial dan keagamaan. Hal
ini karena mereka memiliki latar belakang pendidikan yang baik, seperti SLTA
(SMK, SMU, dan MA), pesantren, dan perguruan tinggi (akademi, IAIN, dan
universitas).40
Jadi, kekayaan dan jenis pekerjaan dapat menentukan status elite di
masyarakat Seberang Ulu II, baik status elite pada orang Arab maupun orang
Melayu.
Adanya stratifikasi sosial seperti itu berpengaruh bagi keberadaan
kelompok elite yang jumlahnya lebih besar dalam struktur masyarakat, sehingga
kelas mencerminkan kekuasaan. Usman dalam Abdullah Idi41
mengungkapkan
39
Bapak Oscar (Lurah 14 Ulu), wawancara, Tanggal 12 Juni 2017 40
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 41
Abdullah Idi, Disertasi: Asimilasi Cina-Melayu Bangka, (Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada, 2006), hlm. 73
22
bahwa kelompok elite merupakan kelompok minoritas superior yang posisinya
berada pada puncak strata. Mereka memiliki kemampuan mengendalikan kegiatan
ekonomi dan politik, serta sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan penting. Itulah sebabnya kelompok elite tidak hanya pemberi
legitimasi, tetapi juga sebagai panutan sikap dan acuan berbagai tindakan, yang
oleh masyarakat diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama.
Pelapisan sosial itu dapat pula didasari pada jenis pekerjaan. Orang yang
memiliki jenis pekerjaan tertentu, misalnya sebagai pedagang, pegawai negeri
sipil dan pendidik (guru), memiliki status sosial lebih tinggi dalam pelapisan
sosial. Mereka umumnya terlibat luas dan signifikan dalam masyarakat karena
mereka sebagai kelompok elite memiliki pengetahuan, pengalaman, dan
ketrampilan,42
serta telah memungkinkan memiliki mobilitas lebih tinggi dalam
masyarakat.
Selain itu, terdapat pula sistem kekerabatan yang berdasarkan prinsip
bilateral. Kelompok kekerabatan dalam satu unit keluarga yang biasanya terdiri
ayah, ibu, dan anaknya belum kawin, dinamakan sebagai keluarga inti (nuclear
family). Ada pula bentuk keluarga luas (extended family), yakni unit keluarga
terdiri dari keluarga inti ditambah dengan anak yang sudah kawin atau saudara
lain yang ikut dalam keluarga itu. Sistem kekerabatan demikian terjadi juga pada
masyarakat orang Arab dan Melayu.43
Ikatan keluarga yang kuat itu ditandai
dengan tingginya frekuensi saling mengunjungi dan membantu. Istilah
kekerabatan yang digunakan pada orang Melayu dan digunakan juga oleh
42
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 43
Bapak Oscar (Lurah 14 Ulu), wawancara, Tanggal 12 Juni 2017
23
mayoritas orang Arab untuk menyebut ayah dan ibu, Aba (ayah), Ibok/Emek
(ibu), saudara dari pihak ayah atau ibu adalah seperti Wak Cak (paman paling
tua), Wak Cek (paman setelah Wak Cak), Wak Cik (paman paling kecil), Wak Cak
(bibi paling tua), Bi cak (bibi setelah Wak Cak), Bi Cek (bibik setelah Bi Cak), Bi
Ujuk (bibik setelah Bi Cek), Mang Cak (adik dari ayah atau ibu), Mang Cek (adik
dari ayah atau ibu setelah Mang Cak), Mang Cik/Mang Ujuk (adik ayah atau ibu
yang paling bungsu), Yai (kakek), Nyai (nenek).44
Berdasarkan hasil
wawancara45
, istilah kekerabatan yang digunakan orang Melayu tersebut juga
dipakai oleh mayoritas orang Arab Palembang.
Adat pemilihan jodoh atau perkawinan pada masyarakat etnis Melayu
tampak tidak ketat. Anak-anak Melayu yang telah dewasa bebas memilih
jodohnya. Sama halnya dengan adat menetap yang berlaku bagi mereka yang
telah menikah. Umumnya mereka ikut menumpang “sementara” di tempat
(rumah) orang tua suami atau isteri, tapi banyak pula langsung pindah ke tempat
(rumah) si mempelai yang baru menikah. Hal ini tergantung pada kemampuan
sosial-ekonomi pasangan kedua mempelai yang melakukan pernikahan. Bagi
orang Arab pun demikian, jika si kedua mempelai telah dianggap mampu,
misalnya telah mampu mendirikan rumah sebelum menikah, maka kedua
mempelai yang baru menikah dapat saja langsung pindah ke rumah yang baru.
Sebaliknya, jika kedua mempelai itu belum mampu maka mereka dapat tinggal
bersama terlebih dahulu di rumah salah satu pihak orang tuanya.46
44
Ibu Nyimas Umi Kalsum (Dosen UIN Raden Fatah), wawancara, tanggal 15 Juni 2017 45
Bapak Ahmad bin Gasim Syahab (tokoh Arab), wawancara, tanggal 20 April 2017 46
Bapak Ahmad al-Munawwar (tokoh Arab), wawancara, tanggal 10 April 2017
24
D. Agama, Adat Istiadat, dan Kesenian
Agama yang dianut penduduk kecamatan Seberang Ulu II tampak
heterogen, dengan komposisi: Islam 46.166 orang, Protestan 128 orang, Katholik
122 orang, dan Buddha 579 orang.47
Kendatipun agama dianut masyarakat cukup
beragam, kerukunan antarumat beragama sejak lama telah berlangsung dengan
baik. Penganut agama Islam yang mayoritas tampak menghargai para penganut
agama lain yang minoritas (Buddha, Kristen Protestan, dan Kristen Katholik).
Sebaliknya, penganut agama minoritas tampak menghargai kelompok mayoritas
Islam.48
Pelaksanaan ibadah umat beragama tampak tak ada persoalan. Umat
Islam melaksanakan shalat wajib di masjid-masjid dan mushalla-mushalla.
Sebagian umat Islam kecamatan Seberang Ulu II sekitarnya juga melaksanakan
Yasinan, Tahlilan, dan Marhabanan.49
Pengajian ibu-ibu, pengajian anak-anak (Taman Kanak-Kanak dan Taman
Pendidikan Al-Quran), dan pengajian remaja ditemukan pula di kecamatan
Seberang Ulu II. Umat Islam di sini mengundang sejumlah da‟i baik dari dalam
maupun dari luar Palembang secara priodik, terutama ketika memperingati
Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Maulid Nabi, Isra Miraj, Idul Fitri,
dan Idul Adha.50
Sebagian umat Islam juga melakukan budaya agama lainnya,
seperti: peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan
47
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 48
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 49
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 50
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017
25
seribu hari (atas meninggalnya seorang muslim/muslimah) serta sedekah:
khitanan, pindah rumah, dan memperoleh rizki.51
Umat Nasrani juga melakukan misa di gereja yang biasanya dilakukan
pada hari Sabtu atau Minggu. Umat Nasrani juga memperingati hari-hari besar
agama, seperti Natal dan Paskah. Sementara itu, bagi umat Buddha yang
mayoritas penganutnya adalah orang Cina, mereka juga melakukan Puja Bakti di
Vihara, dan peringatan hari-hari besar agama Buddha lainnya.
Untuk mendukung aktivitas keberagmaan, tersedia fasilitas ibadah yang
beragam. Fasilitas ibadah umat Islam berjumlah 40 buah masjid, 73 buah
Langgar. Umat Buddha memiliki 13 buah vihara.52
Fasilitas ibadah untuk
pembinaan mental-keberagamaan umat beragama itu dilakukan secara rutin
menurut waktu dan tata-aturan peribadatan agama masing-masing. Biaya
pemeliharaan fasilitas keagamaan banyak bersumber dari swadaya umat masing-
masing. Keadaan fasilitas ibadah dari agama masing- masing tampak relatif baik
dan terbuat dari bangunan yang permanen. Keberadaan agama-agama itu memiliki
fungsi sosial lainnya, yakni sebagai fungsi ″perekat″ antarumat beragama.
Kegiatan sosial-kemasyarakatan lain yang dapat ″merekatkan″ antarumat
beragama adalah seperti Peringatan Hari Besar Nasional (PHBN).53
Adat perkawinan orang Melayu umumnya mengikuti tata aturan
perkawinan yang banyak dipengaruhi agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari tata
51
Pada acara tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari
masyarakat melaksanakan di rumah ahlul bait. Pada upacara itu yang hadir membacakan kitab suci
Al-Qur‟an, tahlilan, dan do‟a yang diakhiri dengan makan bersama. Hampir semua umat Islam di
Palembang melaksanakan upacara kematian seperti ini. Lihat: (Hasil observasi-partisipasi, 14
Maret hingga 2 Juni 2017). 52
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016 53
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017
26
cara melamar, meminang, antar-antaran, akad nikah, dan acara serimonial
(walimatul’arush). Pengaruh ajaran Islam yang kuat terhadap adat perkawinan di
Palembang merupakan suatu hal yang wajar karena mayoritas penduduk
Palembang menganut agama Islam. Agama Islam memberi pengaruh yang sangat
besar terhadap adat-istiadat di Palembang, karena mayoritas penduduk adalah
menganut agama Islam. Pengaruh Islam tampak kuat dalam hal adat-istiadat
seperti upacara perkawinan, hukum waris, upacara sedekah, dan kesenian.54
Adat perkawinan orang Melayu dalam praktiknya tampak longgar55
,
artinya dapat dilakukan umat Islam sesuai dengan kemampuan ekonomi kedua
keluarga mempelai. Sama halnya dengan keluarga Arab yang melakukan
perkawinan sesama mereka, yang umumnya tergantung pada kemampuan
ekonomi keluarga mempelai, dan tata cara perkawinan umumnya tergantung pada
tuntunan agama Buddha, Konfusianisme, Kristen, dan Islam (bagi yang Muslim).
Pasangan pengantin berasal dari keluarga Muslim umumnya mengenakan pakaian
ala Melayu Palembang yang dikombinasikan dengan model pakaian pengantin
modern. Selain itu Terdapat pula beberapa kesenian yang Islami, seperti: gambus,
qasidah, marhabanan, rodatan, barzanji, salawatan.56
E. Komunikasi, Perhubungan dan Transportasi
Sarana komunikasi tampak relatif baik dan banyak warga yang memiliki
berbagai jenis media komunikasi elektronik. Seperti wartel, pesawat telepon,
54
Bapak M. Sholeh Shahab (tokoh Arab), wawancara, tanggal 12 Juni 2017 55
Longgar didefinisikan besar, luas, lebar tidak sempit, tidak sempit, tidak sesak.
Aturannya longgar karena mempertimbangkan kebijaksanaan tidak terlalu sedikit atau terbatas
(tentang penggunaan uang), lihat Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Gitamedia Press, hlm. 499. 56 Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017
27
radio, televisi, tape recorder, VCD, antena parabola, Handy Talky (HT), Pager
Hand Phone (HP), dan internet.
Selain media komunikasi elektronik, media
komunikasi tulisan atau cetak juga ditemukan, seperti Palembang Post, Sumatera
Ekspress, Sriwijaya Post, Kompas, Republika, Media Indonesia, Gatra, Tempo
dan lain sebagainya. Media-media cetak tersebut relatif mudah diperoleh
masyarakat.57
Keadaan transportasi di kecamatan Seberang Ulu II tampak baik pula.
Jumlah kendaraan yang memadai, seperti kendaraan roda dua, roda empat dengan
berbagai jenisnya, dijadikan alat transportasi masyarakat yang mudah dijumpai.
Adapun tarif rata-rata transportasi dari kecamatan ini ke pusat perbelanjaan di
Palembang sebesar Rp 4.000,00 per penumpang. Terdapat juga jenis angkutan
milik pemerintah daerah yang bernama Tras Musi yang ber-AC dengan tariff Rp
5000,00 per penumpang.58
Kondisi ekonomi sebagian masyarakat kecamatan yang relatif baik itu telah
mendorong sebagian masyarakat setempat untuk memiliki sejumlah kendaraan
pribadi. Selain mobil truk, sebagian masyarakat memiliki kendaraan pribadi
dengan berbagai merek. Semakin membaiknya kondisi ekonomi masyarakat
berpengaruh terhadap jumlah kendaraan roda empat dan roda dua. Hal itu dapat
mempermudah dan memperlancar mobilitas masyarakat kecamatan Seberang Ulu
II untuk berpergian.
57
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 58
Perturan pemerintah no….tentang tarif penumpang untuk wilayah Palembang
28
F. Institusi Sosial-Keagamaan dan Pemuda
Salah satu fungsi institusi sosial adalah menyalurkan minat dan
kepentingan warga. Institusi sosial kadangkala mempunyai sifat terbuka, artinya
setiap orang atau anggota masyarakat dapat masuk dan beraktivitas dalam
kegiatannya. Sifat terbuka dapat diartikan pula bahwa seorang yang telah menjadi
anggota suatu organisasi dapat menjadi anggota organisasi lainnya, menurut
minat, keinginan, dan kepentingan masing-masing individu bersangkutan. Ada
yang mengikuti atau menjadi suatu organisasi didasarkan atas keinginan untuk
memperluas pergaulan dengan memperoleh banyak teman, ada pula yang
didasarkan pada kepentingan tertentu, baik kepentingan sosial, ekonomi, politik
maupun budaya. Berikut jumlah organisasi kepemudaan di kecamatan Seberang
Ulu II:
Tabel 9
Jumlah Organisasi Kepemudaan di Kecamatan Seberang Ulu II Pada Tahun
201559
Kelurahan AMPI MKGR FKPPI Pemuda
Pancasila PPM
Karang
Taruna Lain-lain
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. 11 Ulu - - - - - 1 -
2. 12 Ulu - - - - - 1 -
3. 13 Ulu - 1 - - - 1 -
4. 14 Ulu - - - 1 1 1 -
5. Tangga Takat - - - - - 1 -
6. 16 Ulu - - - 1 1 1 -
7. Sentosa - - - - - 1 -
Jumlah 1 2 2 7 -
59
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
29
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah Angkatan
Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) berjumlah 0, Musyawarah Kekeluargaan
Gotong Royong (MKGR) berjumlah 1 buah, Forum Komunikasi Putra Putri
Purnawirawan TNI/POLRI (FKPPI) berjumlah 0, Pemuda Pancasila berjumlah 2
buah, dan Pemuda Pancamarga (PPM) berjumlah 2 buah dan Karang Taruna
berjumlah 7 buah. Karakteristik keanggotan institusi-institusi sosial itu bersifat
tetap dan memiliki struktur kelembagaan sudah baku. Visi dan misi suatu
organisasi ditetapkan berdasarkan AD/ART.60
Selain itu, terdapat institusi sosial (keagamaan) yang bertalian dengan
Ikatan Remaja Islam Masjid (IRM) dan Persekutuan Doa. Keberadaan institusi
sosial (keagamaan) ini selain berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengalaman keagamaan anggotanya, dapat pula berfungsi mempererat hubungan
sosial satu sama lain. Para aparat kelurahan, elite agama, dan elite masyarakat
dapat memanfaatkan institusi sosial (keagamaan) untuk memberikan kesadaran
akan arti pentingnya pembangunan bagi warganya, seperti diajarkan agama-
agama.61
Terdapat juga institusi sosial (kepemudaan) lainnya yang bergerak di
bidang olah raga, ketrampilan, dan kesenian. Kegiatan kepemudaan dalam bidang
olah raga yang tampak menonjol adalah seperti sepak bola, tenis lapangan, dan
bola voli, badminton, tenis meja, dan bola basket. Untuk itu, guna menunjang
aktivitas kepemudaan diperlukan fasilitas olah raga, 70 seperti lapangan Sepak
60
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017 61
Hasil observasi-partisipasi, 14 Maret hingga 2 Juni 2017
30
Bola 6 buah, lapangan Bola Voli 14 buah, lapangan Bulu Tangkis 22 buah dan
lainnya 28 buah.62
Ketika dilakukan kegiatan turnamen atau kompetisi, kesebelasan atau tim
olah raga pemuda dari kecamatan ini ikut berpartisipasi. Untuk memenuhi
kebutuhan dana latihan dan pertandingan yang diperlukan umumnya dilakukan
dengan pemungutan iuran anggota, iuran anggota masyarakat (donatur) yang tidak
mengikat, dan kontribusi pemerintah daerah.
62
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
31
BAB III
Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian, seseorang dapat menggunakan berbagai
macam metode. Keputusan mengenai metode yang akan digunakan tergantung
kepada tujuan, pendekatan, bidang ilmu, tempat dan variabel.
a. Penelitian Ditinjau dari Tujuan
Bila ditinjau dari tujuannya, penelitian menurut Hamid63
terbagi menjadi
tiga, yaitu penelitian eksploratif, penelitian development dan penelitian verifikatif.
Suharsimi mengemukakan Penelitian Eksploratif, digunakan apabila
peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab akibat atau hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya sesuatu. Kemudian Penelitian Development atau
pengembangan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengadakan percobaan
dan penyempurnaan. Selanjutnya Penelitian verifikatif, yaitu suatu penelitian yang
bertujuan untuk mengecek kebenaran hasil penelitian lain.64
Penelitian ini bila ditinjau dari tujuannya termasuk pada penelitian
eksploratif, maksudnya peneliti ingin menggali secara luas mengenai asimilasi
Arab di Palembang yang mengkaji tentang sebab akibat maupun hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya hal tersebut.
63
Hamid Darmadi, Dimensi-dimensi Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Bandung:
Alfabeta, 2013), hlm. 32 64
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm. 14
32
b. Penelitian Ditinjau dari Pendekatan
Penelitian ini bila ditinjau dari pendekatan menggunakan pendekatan
phenomenologik dengan model interaksionisme simbolik. Pendekatan
phenomenologik adalah pendekatan yang mengakui adanya kebenaran empirik
etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta
berargumentasi. Akal budi di sini mengandung makna bahwa kita perlu
menggunakan kriteria lebih tinggi dari sekedar truth or false. Asumsi dasar dari
pendekatan phenomenologik adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan
tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati,
menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan.65
Interaksionisme simbolik sebagai salah satu model penelitian kualitatif
berlandaskan pendekatan phenemenologik merupakan suatu pendekatan yang
meneliti tentang prilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan dikarenakan
ditampilkan lewat simbol dan maknanya66
. Adapun cara kerjanya sebagai berikut:
Pertama, simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila merekam fakta
saja tetapi harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks sehingga dapat
ditanggap simbol dan maknanya. Prisnsip kedua adalah karena simbol dan makna
itu tak lepas dari sikap pribadi, maka makna jadi diri subyek perlu ditangkap.
Sehingga memahami jadi diri subyek merupakan hal yang sangat penting.
Prinsip ketiga: peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dengan
jati diri dengan lingkungan dan hubungan sosialnya. Prinsip keempat adalah
65
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Srasin, 1996),
hlm. 83 66
Ibid., hlm. 135
33
hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan
hanya merekam fakta sensual saja. Prinsip kelima adalah metode-metode yang
digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk prilaku dan prosesnya.
Prinsip keenam: metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap
makna di balik interaksi. Prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sensitizing (yaitu
sekedar mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionisme
simbolik, dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang
lebih operasional, menjadi scientific concepts (konsep yang lebih definitif).67
Terdapat beberapa pakar pendekatan interaksionisme simbolik, diantaranya:
Norman K. Denzin, Blumerian dan Kuhn.
Penelitian ini menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik
Blumerian. Penggunaan pendekatan ini dikarenakan menurut Herbert Blumer
sebagaimana dikutip oleh Abdullah,68
masyarakat di dalam pendekatan
interaksionisme simbolik memiliki beberapa ide dasar (root images). Pertama,
masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi dan bersesuaian melalui
tindakan bersama untuk membentuk organisasi atau struktur sosial. Kedua,
interaksi itu terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
manusia lain, sehingga menciptakan non-simbolik maupun simbolik melalui
bahasa. Ketiga, objek-objek tidak memiliki makna intrinsik. Makna merupakan
interaksi simbolik. Keempat, manusia tidak hanya mengenal objek internal, tapi
manusia juga dapat melihat dirinya sebagai objek. Kelima, tindakan manusia
67
Ibid., hlm. 137 68
Abdullah Idi, Asimilasi Mealyu-China di Bangka, Disertasi, ……………, hlm.54
34
merupakan tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Keenam,
tindakan itu saling dikaitkan atau disesuaikan dari anggota-anggota kelompok,
yang dinamakan tindakan bersama, dibatasi sebagai organisasi sosial dan berbagai
prilaku tindakan bersama manusia, yang dilakukan berulang-ulang dan stabil
sehingga melahirkan kebudayaan atau aturan sosial.
Perspektif teoritis interaksionisme simbolik Blumer umumnya
dikembangkan dari penafsirannya terhadap karya Mead. Akan tetapi, Blumer
menunjukkan selangkah lebih maju, karena berhasil membangun sebuah teori
sosiologis yang berbeda dengan teori psikologi sosial (Mead), dan mampu
mengembangkan teori itu pada implikasi metodologis yang rinci dan operasional69
yang berdasarkan premis-premis. Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna pada sesuatu itu. Kedua, makna itu berasal dari
interaksi sosial seorang dengan orang lainnya. Ketiga, makna itu diperbaiki pada
saat proses interaksi sosial terjadi.70
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
pendekatan interaksionisme simbolik ini meyakini bahwa orang dapat berkreasi
menggunakan simbol, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol. Interaksi ini
terjadi melalui proses role taking yang melibatkan penafsiran atas berbagai simbol
dan isyarat-isyarat orang lain.71
69
Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Yasogama, (Yogyakarta: Yayasan
Solidaritas Gadjah Mada dan CV. Rajawali Jakarta, 1987), hlm. 269. 70
Broom, Bonjean dan Broom, A Core Text with Adopted Readings, (California:
Wadsworth Publishing Company, A Division of Wadsworth, Inc., Belmont, 1990), hlm. 99. 71
Role taking bagi interaksionisme simbolik adalah proses awal terjadinya interaksi. Di
dalamnya, orang memperhitungkan sikap, perasaan, dan perhatian orang lain, dalam arti bahwa
masyarakat dapat melihat dirinya sendiri dari luar, atau dari pandangan orang lain. Role taking
adalah sebuah proses yang mana seseorang membangun kesadaran diri dan konsep dirinya sendiri.
35
Dari perspektif interaksionisme simbolik Blumerian di atas, interaksi atau
asimilasi antarkelompok etnis minoritas dan kelompok etnis mayoritas dapat
dianalisis dengan memperhatikan makna simbolik (makna laten) dari interaksi
individu atau kelompok etnis minoritas dengan individu dan kelompok etnis
mayoritas (fenomena sosial yang tampak). Pemahaman makna dari simbol-simbol
itu digunakan peneliti guna memahami makna yang sesungguhnya di balik
interaksi sosial (asimilasi) yang terjadi antara orang Arab dan Melayu di
Palembang. Oleh karena itu, dengan pendekatan ini, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah memahami setiap simbol (interaksi sosial/tindakan sosial) yang
terjadi. Semakin banyak simbol yang diungkap maka semakin banyak makna
yang dapat diungkap dari simbol-simbol itu.
Setelah peneliti berhasil mengumpulkan dan memahami simbol-simbol
yang tampak di dalam interaksi orang Arab dan Melayu, maka selanjutnya yang
harus dilakukan peneliti adalah perlunya memahami makna yang sesungguhnya
(makna laten) dari setiap simbol yang tampak itu. Makna laten ini pada dasarnya
dibentuk oleh pandangan hidup seseorang tentang baik-buruk, salah-benar,
untung-rugi, pahala-dosa, pantas-tidak pantas, dan lain-lain. Pandangan hidup itu
dibentuk oleh basis pendidikan, pergaulan, pengetahuan, tekanan, agama, dan lain
sebagainya.
Lihat: Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Cired, 2004), hlm.
68-69.
36
c. Penelitian Ditinjau dari Bidang Ilmu
Setiap ilmu memerlukan pengembangan dengan cara melakukan
penelitian. Ragam penelitian ditinjau dari bidangnya dapat dikelompokkan kepada
penelitian terhadap bidang ilmu pendidikan, pertanian, teknik, perbankan,
kedokteran, keolahragaan, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
Adapun penelitian ini masuk kepada bidang ilmu sosiologi dan sejarah.
Bidang ilmu sosiologi, yaitu bidang ilmu yang mengkaji masyarakat yang dilihat
dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan
manusia di dalam masyarakat khususnya masyarakat Arab di Palembang.
Sementara pada bidang ilmu sejarah dalam penelitian ini menitikberatkan
pada kontinuitas kesejarahan yang terdapat dalam masyarakat Arab Palembang.
Bidang ilmu ini digunakan untuk melihat sejarah kedatangan orang-orang Arab ke
Palembang, pola-pola islamisasi yang telah dilakukan di Palembang, dan sejak
kapan telah terjadinya proses asimilasi Arab di Palembang.
d. Penelitian Ditinjau dari Tempatnya
Dalam pengelompokan penelitian, maka lokus atau tempat penelitian juga
menjadi ciri khas penelitian. Menurut Nazir,72
lokus penelitian dapat dilakukan di
lapangan, di dalam laboratorium, di perpustakaan, di dalam masyarakat, di
kalangan pendidikan dan sebagainya. Sedangkan Hamid73
dan Suharsimi74
hanya
72
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), hlm. 46 73
Hamid, Dimensi-dimensi Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial,………….., hlm. 33 74
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik ,……………, hlm.
16
37
membagi penelitian berdasarkan tempatnya menjadi 3 tempat, yaitu penelitian
laboratorium, penelitian perpustakaan dan penelitian lapangan.
Di dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di perpustakaan dan
di dalam masyarakat. Penelitian di perpustakaan dimaksudkan untuk mencari
buku-buku literatur, dokumen atau laporan resmi, artikel, majalah, jurnal-jurnal,
bulletin, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Sementara
penelitian di masyarakat dilakukan di kampung-kampung Arab Palembang untuk
lihat kondisi secara riil perkampungan tersebut, baik itu berupa tipe-tipe bangunan
maupun asimilasi yang telah terjadi antara Arab Palembang di perkampungan
tersebut.
e. Pelitian Ditinjaun dari Hadirnya Variabel
Variabel secara singkat dikatakan Suharsimi75
adalah hal-hal yang menjadi
objek penelitian, yang ditatap (dijinggleng-Jawa) dalam suatu kegiatan penelitian
(point to be noticed), yang menunjukkan variasi, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Bila ditinjau dari hadirnya suatu variabel, penelitian dapat
dikategorikan menjadi 3, yaitu (1) penelitian “variabel masa lalu”, (2) penelitian
“variabel saat ini, dan (3) penelitian “variabel yang akan datang”.76
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian “variabel masa
lalu” , yaitu penelitian tentang variabel yang kejadiannya sudah terjadi sebelum
penelitian dilaksanakan atau dikenal dengan istilah ex post facto. Istilah „ex post
facto‟ terdiri dari tiga kata, ex diartikan dengan obervasi atau pengamatan, post
yang berarti sesudah, dan facto adalah fakta atau kejadian. Jadi, makna
75
Ibid., hlm. 17 76
Ibid., hlm. 17
38
keseluruhannya adalah pengamatan dilakukan setelah kejadian lewat. Dalam hal
ini, penelitian mengenai Arab di Palembang dilakukan melalui pengamatan
terhadap kejadian yang sudah terjadi sebelumnya dan sekarang masih tetap
berlangsung.
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data terbagi menjadi dua jenis yaitu data kuantitatif (yang berbentuk
angka) dan data kualitatif (yang berbentuk kata-kata/kalimat). Data kuantitatif
adalah data yang berbentuk angka atau bilangan. Sesuai dengan bentuknya, data
kuantitatif dapat diolah atau dianalisis menggunakan teknik perhitungan
matematika atau statistika.77
Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk
angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan
data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang
telah dituangkan dalam catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif
adalah gambar yang diperoleh melalui pemotretan atau rekaman video.78
Menurut
Meleong (1998) dalam Arikunto79
, data kualitatif merupakan data yang berupa
tampilan kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan benda-
benda yang diamati sampai ditailnya agar dapat ditangkap makna yang tersirat
dalam benda atau dokumen tersebut.
77
Hamid Darmadi, Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial,………………….., hlm. 152 78
Ibid. 79
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik ,……………,
hlm. 22
39
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
kualitatif dengan melakukan suatu klasifikasi fenomena sosial yang
dipermasalahkan dalam menyusun suatu hasil penelitian deskriptif tentang relaitas
sosial yang kompleks.
b. Sumber Data
1. Sumber Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti
secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli
atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer,
peneliti harus mengumpulkannya secara langsung. Data primer menurut
Sugiyono80
diperoleh antara lain melalui observasi, wawancara, diskusi terfokus
(focus grup discussion – FGD) dan penyebaran kuesioner.
2. Sumber Sekunder
Data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data (peneliti sebagai tangan kedua).81
Data sekunder dapat
diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan,
jurnal, dan lain-lain.
Sumber sekunder dalam penelitian ini berupa literatur-literatur dan
dokumen-dokumen yang terkait dengan judul penelitian. Sumber-sumber tersebut
jika ditinjau dari sudut jenisnya dapat diklasifikasikan berupa dokumen atau
80
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 308 81
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D,………….., hlm. 309
40
laporan resmi, buku-buku literatur atau artikel, majalah, bulletin, jurnal-jurnal,
dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data diperoleh melalui teknik
kajian kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan arsip-arsip dan referensi-
referensi tertulis lainnya. Arsip diperoleh dari instansi terkait seperti ANRI (Arsip
Nasional Republik Indonesia), Dinas Kepariwitsaan, Balai Arkeologi serta arsip
pribadi yang dimiliki oleh masyarakat Arab dan pengurus perkumpulan Arab
Palembang. Sedangkan referensi tertulis diperoleh melalui perpustakaan-
perpustakaan, diantaranya: Perpustakaan Nasional di Jakarta, perpustakaan
Wilayah Daerah Sumatera Selatan, perpustakaan UIN Raden Fatah, Perpustakaan
Pascasarjana UIN Raden Fatah, website internet dan lain-lain.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
yang dapat diceriterakan kepada orang lain.82
82
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D,………….., hlm. 334
41
Data dalam penelitian ini dianalisa dengan teknik deskriptif kualitatif.
Sugiyono mengemukakan bahwa analisa data deskriptif kualitatif adalah bersifat
induksi, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya
dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan
hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data
lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah
hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila
berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik
triagulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang
menjadi sebuah teori.83
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, peneliti sendiri
menggunakan model Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Haberman dalam
Emzir84
mengemukakan ada tiga macam kegiatan dalam menganalisis data
kualitatif, yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data menurut Suyiono85
berarti merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya
serta membuang yang tidak perlu. Selanjutnya menurut Emizir, reduksi data
adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih, memfokuskan,
83
Ibid., hlm. 335 84
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
hlm. 129 85
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D,………….., hlm. 338
42
membuang, dan menyusun data dalam suatu cara di mana kesimpulan akhir dapat
digambarkan dan diverifikasikan.86
Dalam meruduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang
akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh
karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu
yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang
harus dijadikan perhatian dalam mereduksi data.87
Dalam penelitian ini, tahapan ini dimulai dari penelahaan semua data
yang diperoleh melalui pengamatan terlibat (observasi-partisipatoris), hasil
wawancara mendalam (in-depth interview), dan dari beragam sumber (buku-buku,
majalah, surat kabar, jurnal-jurnal, penelitian-penelitian, asip-arsip, makalah dan
sebagainya) yang telah selesai dilakukan. Dari data yang diperoleh kemudian
dilakukan pengecekan satu dengan yang lainnya, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya serta
membuang yang tidak perlu yang tidak ada kaitannya dengan penelitian. Setelah
tahapan tersebut selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya dilakukan display
data (penyajian data).
b. Display Data (penyajian data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa lakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.88
Dalam hal ini
86
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data,…………………….., hlm. 130 87
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D,………….., hlm. 339 88
Ibid., hlm. 341
43
menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono89
menyatakan “the most frequents
form of display data for qualitative research data in the past has been narrative
tex”. Yang paling sering digunakan untuk penyajian data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut. “looking at displays help us to understanding what is
happening and to do some thing-further analysis or caution on that
understanding”90
.
Dalam penelitian ini display data dilakukukan dengan cara
pengkategorian atau pengklasifikasian data. Data yang sudah diperiksa,
selanjutnya diklasifikasikan atau dikategorikan berdasarkan urutan pembahasan
dalam penelitian. Selanjutnya interpretasi atau penafsiran data. Pada tahap ini
dilakukan penafsiran atau pemberian makna yang signifikan terhadap data yang
telah diklasifikasikan dan dicari hubungannya satu dengan lainnya dan
mengaitkannya dengan teori. Setelah pengolahan data dan untuk memaknai data
secara mendalam, penelitian ini menggunakan pendekatan keilmuan sosiologi dan
sejarah. Sehingga pada akhirnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan penelitian.
89
Ibid. 90
Miles dan Haberman dalam Sugiyono, Ibid., hl. 341
44
c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and
Haberman dalam Sugiyono 91
adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada
tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukan
merupakan kesimpulan yang kredibel.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan menurut
Sugiyono92
adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya
masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat
berupa hubungan kausal atau interktif, hipotesis atau teori.
Pada penelitian ini, setelah melalui tahapan reduksi data dan diplay data,
peneliti menarik sebuah kesimpulan sebagai hasil akhir dari proses analisa data.
Selanjutnya dilakukan proses penulisan laporan akhir penelitian. Kegiatan
penyajian laporan hasil peneltian dari awal sampai akhir dengan menggunakan
dan memadukan tanggung jawab seorang peneliti, teknik kejelasan struktur dan
gaya bahasa yang benar dan menarik, serta aksentuasi dan nada retorika tertentu
guna menghasilkan tulisan sejarah yang bersifat metodologis, mengandung seni,
91
Ibid., hlm. 345 92
Ibid.
45
dan memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang baik dan benar (sesuai dengan
EYD).
5. Sistematika Pembahasan
Agar pola penyusunan hasil penelitian menjadi jelas dan terstruktur maka
hasil penelitian disusun dengan sistematrika penulisan sebagai berikut :
Bab Pertama: Pendahuluan, menyajikan uraian latar belakang tentang
obyek penelitian yang menarik untuk diteliti; perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian yang diharapkan,
Bab Kedua: Deskripsi wilayah penelitian, yang menyajikan gambaran
umum lokasi penelitian meliputi kondisi geografis, keadaan sosial dan ekonomi
penduduk mencakup mata pencaharian, pendidikan, elite, stratifikasi sosial dan
sistem kekerabatan, agama, adat-istiadat, dan kesenian, komunikasi, perhubungan,
dan transportasi, institusi sosial-keagamaan dan pemuda
BabB Tiga: Tinjauan Historis Arab di Palembang yang akan mengkaji
mengenai sejarah kedatangan orang Arab ke Palembang, selanjutnya dilanjutkan
dengan membahas motif yang melatarbelakangi kedatangan orang Arab ke
Palembang, kedudukan orang Arab di Palembang dan juga akan diulas mengenai
tinjauan historis masyarakat Melayu Palembang.
Bab Empat: Membahas tentang hubungan Palembang dengan Timur
Tengah, sejarah kedatangan orang Arab Hadramaut ke Palembang
Bab Lima: Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran
46
BAB IV
Pembahasan
A. Hubungan Palembang-Timur Tengah.
Dalam spektrum sejarah lokal, Palembang yang merupakan ibu kota
Kerajaan Sriwijaya tercatat sebagai tempat bertemunya beberapa peradaban besar
dunia dalam perspektif sejarah berdirinya sebuah kota dalam pengertian sosial
politik, ekonomi maupun budaya. Sriwijaya pada zamanya merupakan pusat
perdagangan dan pelayaran Internasional. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan
apabila Palembang selain tempat tinggal komunitas Melayu Palembang (lokal),
juga menjadi tempat bagi bermukimnya etnik lainnya seperti keturunan Arab,
Cina dan India.
Daerah ini, menurut seorang responden surat kabar Het Surabajasch
Handelsblad yang sempat mengunjungi kota Palembang pada awal abad ke-20
disebut dengan sebutan Venetie van Indie.93
Tidaklah berlebihan bila kota
Palembang digambarkan seperti kota Venesia (Italia), tempat asal petualang
termasyhur-Marcopolo yang pernah singgah di Aceh dalam perjalanannya ke Cina
pada masa lampau. Keduanya memiliki kemiripan di mana kanal-kanal sungai
menjadi urat nadi kehidupan masyarakat dan menjadi pemandangan keseharian
bagi penduduknya. Sungai Musi tidak saja dipandang sebagai sarana transportasi
yang berfungsi menghubungkan kawasan hulu dan hilir, akan tetapi melalui
sungai ini pula jejak peradaban dan ide-ide pembaharuan dan perkembangan kota
93
J.F.P. “Economische Geographie van Zuid-Sumatera, dalam Tidschrift voor
Economische Geographie (TEG), 2(1911), hlm. 284. Dikutip dari Mestika Zed, Kepialangan
Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 27
47
Palembang di masa lalu bisa dilacak kembali. Ungkapan yang menyebut
penduduk Palembang dan sekitarnya dengan sebutan Batang Hari Sembilan
berangkat dari realitas topografi daerah Palembang.94
Kota Palembang merupakan salah satu kota tertua di Nusantara, bahkan
kota ini telah muncul lebih dahulu dibanding kota-kota lain di pantai Timur
Sumatera, seperti Medan, Dumai dan lainnya. Berdasarkan etimologi kota
Palembang dengan merujuk terjemahan R.J. Wilkinson dalam kamus A Malay
English Dictiornary (Singapore: 1903)95
dengan mengacu pada kata dasarnya
lembang, yang memiliki makna yang berlekuk, tanah yang rendah, akar yang
membengkak karena terendam lama di dalam air. Sedangkan menurut Kamus
Bahasa Indonesia Kontemporer,96
kata lembang berarti kerut, lekung atau lekuk.
Arti lainnya dari kata lembang berarti tidak tersusun rapi atau terserak-serak.
Sementara menurut bahasa Melayu Palembang berarti air yang merembes atau
rembesan air. Awalan Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat, sehingga
makna Palembang berarti suatu tempat yang digenangi air. Hal tersebut sesuai
dengan fakta, bahwasannya di Palembang tercatat 117 buah anak sungai yang
mengalir di tengah kota.
Pada masa lampau Palembang menjadi bandar terpenting bagi
perdagangan dan pelayaran Indonesia bagian barat yang menghubungkan dua
kawasan penting Asia, yakni Cina, India dan Arab. Bahkan Palembang
94
Batang Hari Sembilan adalah istilah yang merujuk pada Sembilan aliran sungai besar
yang bermuara ke Sungai Musi, kesembilan sungai tersebut antara lain: Air Klingi, Air Bliti, Air
Lakitan, Air Rawas, Air Rupit, Air Batang Batang, Air Leko, Air Ogan dan Air Komering. 95
Dikutip dari Djohan Hanafiah, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hlm. 15 96
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Indonesia Kontemporer, Edisi kedua, (Jakarta:
Modern English Press, 1995), hlm. 854
48
merupakan salah satu bandar terpenting bagi terbentuknya komunitas yang berciri
kosmopolitan, yakni pada periode kerajaan maritim Sriwijaya dan pada masa
Kesultanan Islam Palembang Darussalam.97
Sejak abad ke VII M, menurut data sejarah menyebutkan bahwa kelompok
etnis Arab sudah ada di Palembang. Dalam sumber Arab disebutkan bahwa
kelompok etnis ini singgah di Palembang sebelum melanjutkan perjalanannya ke
Cina.98
Artinya Palembang merupakan kota transit bagi etnis Arab sebelum
melanjutkan perjanannya ke wilayah Cina.
Hubungan antar Nusantara dengan Timur Tengah dan Timur Jauh tersebut
menurut Azra99
melibatkan sejarah yang panjang, hubungan ini terjalin sebagai
bagian dari rantai perdagangan global pada zamannya. Setidaknya kapal-kapal
Arab dan Persia yang berdagang ke Cina melakukan pengembaraan pula di
Nusantara bahkan jauh sebelum kedatangan Islam ke Nusantara.
Kehadiran muslim Timur Tengah, kebanyakan Arab dan Persia di
Nusantara termasuk Palembang pada masa-masa awal ini pertama kali
dikemukakan oleh agamawan sekaligus pengembara Cina yang bernama I-Tsing,
ketika ia pada 51H/671M, dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton
berlabuh di pelabuhan di muara sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza,
sekarang Musi). Sribuza sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banyak
sarjana modern adalah Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya.100
97
Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi, Palembang 1990-1950, op. cit., hlm. 4 98
Retno Purwanti, Komunitas Arab Palembang dalam Perspektif Arkeo-Historis, (tt.
(belum diterbitkan), hlm. 4 99
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 19 100
Ibid., hlm. 23
49
Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya (atau sering juga diidentikkan dengan
Zabai, atau yang disebut sumber-sumber Arab sebagai Al-Mamlakat al-Maharaja
(“Kerajaan Raja di Raja”), atau dikenal Shih-li-fo dalam sumber-sumber Cina,
mulai menanjak pada paruh kedua abad ke-7 yang kekuasaanya malang melintang
hampir di seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa sampai lima abad
kemudian. Dalam kebanyakan periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peranan
penting sebagai perantara dalam perdagangan Timur Jauh dan Timur Tengah.
Sriwijaya bahkan mendominasi perdagangan Nusantara dan Palembang sebagai
ibukota Kerajaan Sriwijaya menjadi entropet101
terpenting di kawasan ini.102
Sriwijaya yang berpusat di Palembang, walaupun terkenal sebagai pusat
terkemuka keilmuan Budha, ia merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Hal
tersebut dapat dibuktikan, ketika I-Tsing menuju pelabuhan Sriwijaya ia
menumpang kapal Arab dan Persia. Menurut Yuantchao, dalam Tcheng-yȕan-sin-
ting-che-kiao-mou-lou yang ditulis awal abad ke-9 sebagaimana dikutip oleh
Azra103
mengemukakan bahwa pada 99H/717H sekitar 35 kapal Persia sampai di
Palembang. Seusai kerusuhan di Kanton, banyak Muslim Arab dan Persia yang
diusir dari Kanton, kemudian menuju Palembang untuk menemukan wilayah
perlindungan yang aman.
Dari uraian di atas mengisyaratkan bahwa segmen-segmen tertentu
penduduk Sriwijaya telah berinteraksi dengan kaum Muslimin yang datang dari
101
Entropet didefinisikan sebagai tempat atau daerah yang bertindak sebagai perantara
pusat perdagangan dengan luar negeri. Lihat: Team Rafapustaka, Kamus Istilah Geografi,
(Rafapustaka, 2010), hlm. 148 102
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, op. cit., hlm. 24 103
Ibid.
50
Timur Tengah (Arab) dan dalam batas tertentu secara tidak langsung mereka
sudah mengenal sebagian ajaran-ajaran Islam. Bahkan menurut Al-Ramhurmuzi
dalam „Ajā‟ib Al-Hind mengisyaratkan tentang terdapatnya sejumlah Muslim
pribumi di kalangan penduduk Sriwijaya sendiri. Pernyataan tersebut tampaknya
dibenarkan Chau Ju-Kua yang mengemukkan, “Sejumlah besar penduduk negeri
ini (San-fo-chi) memiliki nama awal “ P‟u” berasal dari “Bu” singkatan dari
“Abū” (bapak) yang terdapat dalam begitu banyak nama pribadi orang-orang
Muslim. 104
Berdasarkan sumber-sumber Cina ini jelaslah bahwa dalam periode ini
terdapat banyak Muslim di Sriwijaya, baik sebagai pedagang, pemilik kapal
ataupun sebagai duta. Mereka nampaknya tidak hanya memainkan pernan penting
dalam perdagangan Sriwijaya tetapi juga dalam menghubungkan kerajaan ini
dengan dunia luar Barat dan Timur105
. Hal ini membuktikan keberadaan penduduk
pribumi Muslim dalam kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa proses islamisasi
sebenarnya telah dimulai, meskipun masih terbatas di kalangan kecil masyarakat.
Akan tetapi tampaknya selama lima abad setelah kedatangannya, Islam belum
berkembang secara signifikan dan massif di Palembang. Baru sejak kerajaan
tersebut mengalami kelemahan bahkan runtuh pada sekitar abad ke-14 M mulailah
104
Ibid., hlm. 25 105
Bukti-bukti historis bagi hubungan politik dan diplomatik internasional Sriwijaya tidak
hanya diberikan sumber-sumber Cina tetapi juga sumber-sumber Arab, Fatimi antara lain
membahas panjang lebar mengenai dua pucuk surat yang mengandung bukti kuat dikirim oleh
Maharaja Sriwijaya kepada dua khalifah di Timur Tengah. Surat pertama dikirimkan pada masa
pemerintahan Mu‟awiyah dan surat kedua ditujukan kepada khalifah „Umar bin Abdul Aziz. Lihat: Azyumardi Azra, Ibid., hlm. 26
51
islamisasi di Palembang.106
Islam mulai berkembang pada akhir abad ke-17 M
setelah Kesultanan Palembang berdiri secara independen.
Selain faktor perdagangan, menurut Abdul Hadi W.M107
sebelum Islam
berkembang pesat terdapat pula faktor-faktor lain, yaitu pada abad ke-12 dan 13
M disebabkan banyaknya kekacauan di Timur Tengah termasuk Perang Salib,
mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan
pelayaran ke Asia Tenggara. Tidak sedikit di antara mereka yang bermukim lama
dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Lambat laun terbentuklah
komunitas-komunitas muslim yang besar di bandar-bandar dagang kepualuan
Nusantara.
Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan
perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun
bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan atas negeri-negeri Islam sejak
tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifahan Bagdad pada 1258 M.
Kehancuran negeri-negeri Islam ini dan penjajahan bangsa Mongol telah
mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke
India dan ke Asia Tenggara. Perpindahan besar-besaran ini terjadi hingga abad ke-
14 M mengikuti ramainya arus pelayaran dan kegiatan perdagangan. Bersamaan
para pedagang dan pengungsi turut ikut pula sejumlah faqir atau sufi beserta
pengikutnya. Mereka ternyata berhasil memanfaatkan jaringan perdagangan
internasional yang telah lama dibina oleh para pedagang dalam upaya untuk
106
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2010), hlm. 44-45 107
Abdul Hadi W. M. Islam di Indonesia dan Transformasi Budaya, dalam Menjadi
Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, ed. Komarudin Hidayat Gaus Af,
(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal dan Mizan, 2005), hlm. 446
52
menyebarkan agama Islam ke Timur, khususnya kepulauan Nusantara termasuk
Palembang.108
Terdapat pula faktor lain yang tak kalah penting yang memungkinkan
Islam cepat berkembang. Yaitu mundurnya perkembangan agama Hindu dan
Buddha, dua agama yang terlebih dahulu hadir dan telah membangun peradaban
tinggi. Ketika kerajaan-kerajaam Hindu dan Buddha satu per satu dan berturut-
turut mengalami kemunduran, pada saat itulah agama Islam berkembang.
Sriwijaya, pusat imperium Buddhis yang pernah berjaya dan menguasai
perdagangan di Asia Tenggara hingga beberapa abad, mulai menunjukkan tanda-
tanda kemunduran pada awal abad ke-13. Seabad berikutnya negeri ini dua kali
diserbu Majapahit,109
sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur.
Serbuan terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur
dan tamat riwayatnya.110
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hubungan Palembang dengan Timur
Tengah sudah terjalin jauh sebelum kedatangan Islam dan terus berlanjut pasca
kedatangan Islam, bahkan pada puncaknya terbentukya kerajaan Islam atau yang
dikenal dengan sebutan Kesultanan Palembang Darussalam.
108
Ibid., hlm. 447 109
Pertama pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit yang menjadikan negeri
itu semakin lemah (karena sebelumnya Sriwijaya dibelit krisis ekonomi yang berkepanjangan) dan
kehilangan pamor dan pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Parameswara yang masih muda,
berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumatkan dirinya sebagai titisan
(avatara) Boddhissatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas
kembali disebu dan kali ini dihancurleburkan. Lihat: Wolters, O. W., The Fall of Sriwijaya in
Malay History, (New York: Cornell University, 1970) dalam Abdul Hadi W. M. ibid., hlm. 449 110
Ibid., hlm. 447
53
Selain itu, terdapat juga saluran-saluran islamisasi yang mendukung masuk
dan berkembangnya Islam di Palembang. Adapun saluran-saluran islamisasi itu
meliputi: perdagangan, perkawinan, tasawuf, politik dan pendidikan.
Pada tahap awal islamisasi, saluran perdagangan sangat memungkinkan.
Hal ini sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad
ke-16 M. Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya pada paruh kedua abad ke-7 yang
kekuasaannya malang melintang hampir di seluruh Sumatera, Semenanjung
Malaya dan Jawa sampai lima abad kemudian. Dalam kurun waktu ini, Sriwijaya
memainkan peranan penting sebagai perantara dalam perdagangan Timur Jauh
dan Timur Tengah. Sriwijaya bahkan mendominasi perdagangan Nusantara, dan
ibu kotanya, Palembang, menjadi entropot terpenting di kawasan ini.111
Kondisi
ini mengisyaratkan bahwa telah terjadi interaksi masyarakat Sriwijaya dengan
kaum Muslim yang berasal dari Timur Tengah (Arab dan Persia) dan dalam batas-
batas tertentu mereka juga sudah mengenal sebagian ajaran-ajaran Islam.
Selain itu, perkawinan antara pedagang atau saudagar Muslim dengan
penduduk lokal juga menjadi bagian yang erat hubungannya dengan proses
islamisasi. Dari sudut ekonomi, para pedagang Arab memiliki status sosial yang
lebih baik daripada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi tertarik
untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Hubungan masyarakat Muslim dengan
penduduk setempat terjadi sangat intens, sehingga memungkinkan terjadinya
perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Hal tersebut dapat
111
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, ……..hlm. 23-24
54
dibuktikan pada abad ke-9 di Palembang telah terdapat sejumlah Muslim pribumi
di kalangan masyarakat Kerajaan Sriwijaya. 112
Tasawuf juga menjadi saluran penting dalam proses islamisasi di
Palembang. Tasawuf juga termasuk kategori media yang berfungsi dan
membentuk kehidupan sosial masyarakat Palembang yang meninggalkan banyak
bukti jelas berupa naskah-naskah antara abad ke-13 dan ke-18 M. Ahli-ahli
tasawuf di Palembang diantaranya adalah Syekh Syihabuddin bin Abdullah
Muhammad yang menulis \Kitab Risalah, ‘Aqidat al-Bayan, dan menterjemahkan
dan memberi syarah Kitab Jawaharat al-Tawhid karya Ibrahim Laqqani; Kemas
Fakhruddin yang antara lain menulis Kitab Mukhtasar dan Futuh al-Sha’am;
Abdu Shamad Al-Palimbani yang antara lain menulis Zuhrat al-Murid fi Bayan
Kalimat Tawhid, Hikayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Zad al-
Muttaqin fi Tawhid Rabb al-Alamin.113
Sementara itu, saluran islamisasi secara politis gencar dilakukan sejak
Palembang tidak lagi menjadi protektorat Kerajaan Islam di Jawa. Struktur
kekuasaan Kesultanan Palembang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.114
Pada masa ini proses islamisasi mulai benar-benar menyentuh elit kekuasaan.
Proses Islamisasi di kalangan elit kekuasaan nampaknya terus terjadi selama
periode Kesultanan Palembang sejak 1666 sampai dengan 1823 M.
Di samping saluran islamisasi dalam bidang politik, di Palembang terdapat
pula saluran pendidikan. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam juga
112
Ibid., hlm. 36-43 113
M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
‘Abdus-Samad Al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 22-31 114
Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan
Sejarah, (Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 1999), hlm. 2
55
terjadi perkembangan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa inilah
sebenarnya kemunculan sebuah tradisi keilmuan Islam yang khas di Sumatera
Selatan dimulai. Kemunculan tradisi keilmuan Islam dipelopori oleh para ulama
dan didukung sepenuhnya oleh para Sultan Palembang Darussalam sejak akhir
abad ke-17 dan awal abad ke-19.115
Menurut Steenbrink, Palembang menjadi
pusat perkembangan keilmuan Islam dan sastra Melayu di Nusantara pasca
kemunduran Kerajaan Aceh yang menjadi pusat studi Islam dan sastra Melayu
pada periode sebelumnya.116
Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa para pembawa ajaran Islam ke
Nusantara dan Palembang khusunya telah memanfaatkan rute perjalanan yang
telah ada sebelumnya. Argumen tersebut sangatlah beralasan dikarenakan
hubungan antara Sriwijaya dan Timur Tengah telah terjadi jauh sebelum
kedatangan Islam.
B. Kedatangan Koloni Hadrmaut ke Palembang
Mengenai kedatangan koloni Hadramaut ke Palembang dapat dirunut dari
perjalanan sejarah Islam. Setelah terjadinya perpecahan besar117
di antara umat
115
Ismail, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-
1942, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2014), hlm. 32 116
Menurut Steenbrink, telah terjadi pergeseran pusat studi Islam dan sastra Melayu di
Nusantara selama periode abad ke-14 sampai abad ke-20. Pergesaran pusat keilmuan dan sastra
tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut: Pasai (1300-1450 M), Malaka (1450-1800), dan
Sumatera Barat (1800-1930). Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 65-66 117
Perpecahan yang dimaksudkan adalah terjadinya Perang Shiffin antara Khalifah Ali bin
Abi Thalib melawan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase),
tidak menyelesaikan masalah bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij,
orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya diakhir masa pemerintahan, umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu‟awiyah, Syi‟ah (pengikut Ali) dan al-Khawarij
56
Islam hingga menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib,
mulailah terjadinya perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya
ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke
daerah Hadramaut di Yaman kira-kira seribu tahun yang lalu, keturunan Ali bin
Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya, yang pada fase
perkembangan selanjutnya mereka ini dikenal dengan sebutan Alawiyyah.118
Menurut sejarah, pembentukan keluarga Syed „Alawiyyah di Hadramaut
berasal dari Ahmad bin Isa yang telah berpindah dari Iraq ke Hadramaut pada
tahun 929 M. Dengan perpindahan ini, Ahmad bin Isa kemudian diberi gelar “al-
muhajir”, artinya orang yang berhijrah. Setelah dua abad kemudian, yaitu tahun
1127 M, sebagian dari keluarga al-Muhajir yang dipimpin oleh „Ali bin „Alawi
telah berpindah ke Tarim, yaitu sebuah pusat ilmu pengetahuan penting di
Hadramaut. Di sanalah mereka mulai berpengaruh sehingga mereka berhasil
mewujudkan sebuah keluarga besar yang di panggil dengan sebutan “Keluarga
Syed „Alawiyyah” (Al Ba Alawi) atau keluarga keturunan “Ali bin „Alawi.
Mereka ini kemudian mendakwahkan berasal dari nasab Rasulullah yaitu dari
keturunan Sayidina al-Husain.119
Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di
Hadramaut120
. Dari Hadramaut inilah asal-muasal dari berbagai koloni Arab yang
(orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Lihat: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 40 118
Raden Ahmad Nur Ali, dkk., Permukiman Al-Munawar 13 Ulu Palembang, Laporan
Penelitian, (Palembang: Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Sriwijaya, tth.),
hlm. 7 119
Mahayudi Haji Yahya, Islam di Alam Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1998), hlm. 9 120
Hadramaut sebenarnya adalah pantai Arab Selatan, dari Aden hingga Tangjung Ras al-
Hadd, tetapi bagi orang Arab modern yang sudah menetap di Nusantara, yang mereka anggap
57
menetap dan bercampur menjadi warga negara di Indonesia dan negara-negara di
kawasan Asia lainnya, seperti: Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia,
dan Singapura. Memang selain itu pada kenyataannya terdapat pula warga
keturunan Arab yang berasal dari Negara-negara Timur Tengah dan Afrika
lainnya121
yang terdapat di wilayah Asia termasuk Indonesia, akan tetapi
jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.
Berdasarkan argumen di atas tidaklah mengherankan jika beberapa ahli
berpendapat bahwa umumnya kelompok etnis Arab di Indonesia, termasuk
Palembang berasal dari Hadramaut. Yaitu sebuah wilayah yang posisinya terletak
di wilayah pesisir jazirah Arab bagian selatan atau sekarang termasuk wilayah
negara Yaman.
Perjalanan mereka dari Hadramaut ke Nusantara dahulu berlangsung
selama berbulan-bulan. Pertama, harus berangkat dari al-Mokallā atau asy-Syihr
menuju Bombay. Dari Bombay ke Pulau Ceilon dan akhirnya ke Aceh atau
Singapura, seluruh perjalanan dilakukan denga kapal layar. Namun, mereka yang
memiliki uang lebih suka berangkat dari Aden langsung ke Singapura, dengan
kapal uap besar milik orang Eropa. Diantaranya, kapal-kapal milik perusahaan
pelayaran Prancis, Messegeries Maritimes.122
Hadramaut adalah sebagian kecil dari Arab Selatan, artinya pantai di antara desa-desa nelayan Ain
Bāma‟bad dan Saihūt, beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Lihat: L.W.C. van
den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010),
hlm. 13 121
Seperti: Teluk Persia, Mesir, Hijaz, Arab Saudi, Sudan atau Maroko atau dari pantai
timur Afrika. Sejumlah kecil orang Arab yang datang dari berbagai negeri itu ke Nusantara jarang
yang menetap. Kalaupun menetap mereka segera berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut.
Sebagian besar adalah pengembara atau lebih tepat petualang yang dalam waktu singkat
menghilang secepat kedatangan mereka. Lihat L.W.C. van den Berg, ibid., hlm. 20 122
Ibid., hlm. 114-115
58
Adapun mengenai kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia
termasuk Palembang diperkirakan terjadi sejak pertengahan abad ke-13, dan
kebanyakan dari mereka semuanya pria. Kelompok etnis ini pada awalnya
merupakan pedagang sekaligus berdakwah tetapi seiring dengan perjalanan waktu
lama kelamaan mereka menetap dan menikah dengan penduduk setempat.123
Menurut Yahya dalam bukunya Islam di Alam Melayu mengemukakan
bahwa kaum Syed „Alawiyyah di Hadramaut dikatakan mempunyai hubungan
erat dengan keluarga Syed di India. Oleh karena itu, mereka telah menerima
kawangan (hadiah) pada setiap tahun dari India. Jumlah kaum Syed „Alawiyyah
di Hadramaut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah Syed yang lain. Pada
tahun 1707, bilangan Syed „Alawiyyah di Hadramaut berjumlah 2000 orang.
Setelah itu, pada zaman Syed al-Iderus al-Akbar, jumlah ini bertambah menjadi
10.000 orang. Golongan ini mulai berhijrah dari Hadramaut pada abad ke-13.
Pada mulanya mereka pergi ke Afrika dan India setelah itu mereka hijrah ke
Kepulauan Melayu.124
Tarikh awal kedatangan Syed „Alawiyyah ke Kepulauan Melayu menurut
Yahya adalah sekitar abad ke-16, mereka datang melalui India. Tempat pertama
yang mereka singgahi ialah Campa, setelah itu mereka berhijrah ke negeri Cina
kemudian ke Sumatera dan seterusnya ke Semenanjung Tanah Melayu, Borneo
dan Filipina. Kemudian setelah itu datang pula rombongan pendakwah Syed
„Alawiyyah pada sekitar abad ke-17 atau awal abad ke-18. Mengenai kedatangan
123
Raden Ahmad Nur Ali, Permukiman Al-Munawar 13 Ulu Palembang, Laporan
Penelitian, (Palembang: UNSRI, tth.), hlm. 7 124
Mahayudi Haji Yahya, Islam di Alam Melayu, op. cit., hlm. 9
59
mereka ke Kepulauan Melayu didukung oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor
ekonomi, agama dan politik.125
Adapun mengenai pemilihan rute perjalanan mereka melalui India
sebagimana disebutkan di atas, menurut penulis sangatlah beralasan karena kaum
Syed „Alawiyyah di Hadramaut sebelumnya telah mempunyai hubungan erat
dengan keluarga Syed yang berada di India. Sehingga tidaklah mengherankan jika
India menjadi rute awal perjalanan kaum Syed „Alawiyyah hingga mereka tiba di
Campa sebelum berhijrah ke negeri Cina hingga ke Sumatera dan seterusnya ke
Semenanjung Tanah Melayu.
Selain itu juga, menurut Yahya tidak dapat dinafikan bahwa keterlibatan
orang Arab, khususnya yang berasal dari Selatan Semenanjung Arab dengan
perniagaan di rantau Asia Tenggara sudah mulai sebelum kedatangan Islam.
Sejarah telah membuktikan kehandalan orang Arab dalam bidang perdagangan
dan perkapalan.126
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pembawa-pembawa Islam ke
wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya telah memanfaatkan rute perjalanan yang
telah ada sebelumnya jauh sebelum kedatangan Islam.
Setelah kelahiran Islam dan kemunculan ahli-ahli tasawuf serta tokoh-
tokoh agama lainnya, kegiatan orang Arab di rantau ini bukan hanya tertumpu
pada bidang ekonomi dan perdagangan semata-mata, sebagaimana yang
diungkapkan oleh sebagian ahli sejarah Barat, para orang Arab itu sangat bergiat
menyebarkan agama Islam.
125
Ibid. hlm. 10 126
Ibid.
60
Selain faktor-faktor ekonomi dan agama, faktor politik juga telah
memainkan peranan yang amat penting yang menjadi penyebab hijrahnya orang
Arab dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu. Keadaan politik yang tidak
stabil di Hadramaut dan India selepas campur tangan British telah mendorong
kaum Syed „Alawiyyah berpindah ke rantau Asia Tenggara.127
Selain itu juga,
para Syed mengawini puteri-puteri raja, yang pada akhirnya melahirkan golongan
birokrat yang menjadi pelopor agama.128
Selanjutnya pada abad ke-16, rute perdagangan kuno yang memungkinkan
pelayaran langsung antara teluk Persia dan Cina tidak lagi berfungsi.129
Perseteruan antara para pedagang Arab dan Cina tak lagi memungkinkan
mobilitas dalam area aktifitas kompetitor. Akibat dari dilema ini adalah
terbentuknya divisi pelayaran ke dalam tiga rute yang lebih singkat. Barang-
barang dari pantai Arabia dibawa oleh para pedagang Arab ke pelabuhan Cambay
di Gujarat dan diambil oleh pedagang Gujarat yang membawanya ke Malaka.
Selanjutnya, dari Malaka barang-barang tersebut dibawa oleh para pedagang Cina
ke dataran Tiongkok. Perubahan rute perdagangan langsung ini berdampak positif
bagi para pedagang. Selain mempersingkat waktu pelayaran, berarti juga
percepatan dalam pengembalian modal dagang.130
127
Terdapat beberapa negeri di Kepulauan Melayu yang diperintah oleh keturunan
Arab/Syed, yaitu Fhilipina, Indonesia (Pontianak), Borneo dan Semenanjung Malaysia. Lihat:
Mahayudi Haji Yahya, ibid., hlm. 11 128
Ibid. 129
Mengenai rute kuno perdagangan langsung antara Teluk Persia dan Cina, lihat George
F. Hourani, Arab Seafaring (Princeton: Princeton University Press, 1990) dalam L.W.C. van den
Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, op. cit.,hlm xxx 130
L.W.C. van den berg, ibid., hlm. xxx. Mengenai sistem perdagangan dan perekonomian
di Samudera Hindia, lihat juga: Geogre F. Chaudhuri, Asia before Europe: Economy and
Civilization of the Indian Ocean from the Rise of Islam to 1750 (Cambrige: Cambrige University
Press, 1990)
61
Salah satu dampak dari fragmentasi rute perdagangan yang berakhir pada
abad ke-16 adalah munculnya titik-titik penting di pantai Samudra Hindia dalam
bentuk kesultanan yang makmur. Semenjak abad ke-15, beberapa kesultanan
Islam seperti Gujarat dan Malaka mengalami zaman keemasan. Kesultanan-
kesultanan itu juga memiliki pandangan yang kosmopolitan. Guna lebih
meningkatkan reputasi mereka, para sultan mulai mengundang dan membiayai
kehidupan para ulama dari berbagai kawasan di Samudra Hindia, guna mengajar
dan menjaga fungsi hukum Islam.131
Terdapat beberapa faktor yang memfasilitasi kaum Sayid132
Hadramaut
untuk bermukim di banyak kawasan di Samudra Hindia dan memudahkan mereka
menduduki tangga sosial tertentu. Pertama, kemampuan berpergian dimudahkan
oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan jaringan
ulama yang menjadikan mereka bagian dari sebuah komunitas intelektual
internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali.133
Dalam hal
ini, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam madzhab Syafi‟i yang
mendominasi pesisir Samudra Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan
sastra Arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka. Keempat,
131
L.W.C. van den Berg, ibid. 132
Golongan sayid adalah keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad. Mereka bergelar
Habīb (jamak: Habāib) dan anak perempuan mereka disebut Habābah. Kata Sayid (jamak: Sādah,
wanita: Syarīfah) hanya digunakan sebagai atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar.
Mengenai golongan Syarif (jamak: Asyrāf), artinya keturunan al-Hasan, cucu Muhammad yang
lain, jarang yang tinggal di Hadarmaut. Sementara itu, golongan Sayid sangat besar anggotanya di
Hadramaut, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara
moral sangat berpengaruh pada penduduk. Lihat: L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara,
terj. Rahayu Hidayat, op. cit., hlm. 33 133
Para sayid Hadramaut sangat berkelindan dengan para anggota terkemuka dari jaringan
ulama Samudra Hindia. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai ensiklopedi biografis (tarājim)
dan sejarah para ulama sayid Hadramaut yang memuat daftar nama guru dan murid merka. Lihat
„Alī b. Husain al-‘Attās, Tāj al-A’rās ‘alā Manāqib al-Habīb al-Qutb Salih b. Abd Allāh al-‘Attās
(Kudus: Menara Kudus, 1970) dalam L.W.C. van den Berg, ibid., hlm. xxxi
62
karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka bermigrasi memudahkan
mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan
asing.134
Selain itu, faktor terpenting yang memfasilitasi proses integrasi Kaum
Sayid Hadramaut di kawasan Samudra Hindia, terlebih lagi di Nusantara menurut
van den Berg135
adalah karena mereka dianggap sebagai keturunan dan pewaris
Nabi. Silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi para penguasa Melayu.
Sebagai bagian dari justifikasi kekuasaan, para Sultan Melayu mengaku sebagai
keturunan Iskandar Zulkarnain, tokoh dari kitab suci al-Qur‟an yang biasa
disamakan dengan Aleksander Agung.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
memfasilitasi Kaum Sayid Hadramaut untuk datang ke Nusantara dan pada
akhirnya memilih untuk menetap, diantaranya: kemampuan mereka berpergian
dimudahkan oleh jaringan perdagangan yang telah ada sebelumnya, memiliki
hubungan intelektual dengan jaringan ulama internasional, keanggotaan mereka
dalam mazhab Syafi‟I, memiliki kemampuan dalam berbahasa Arab, wilayah
yang mereka datangi memiliki karakter kosmopolitas sehingga mudahkan untuk
beradaptasi, dan yang terpenting dari itu semua adalah mereka dianggap sebagai
keturunan dan pewaris Nabi sehingga mereka mendapat kedudukan sosial yang
tinggi.
134
Istilah ini digunakan oleh sejarahwan Anthony Reid, lihat Anthony Reid, Southeast
Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (New Haven: Yale University Press, 1993) dalam Van
den Berg, ibid., hlm. xxxii 135
Ibid., hlm. xxxii
63
Selain itu juga, struktur kekerabatan antara para sayid Hadramaut dan
penguasa lokal ditopang oleh sistem perdagangan dan pelayaran.136
Pada
pertengahan abad ke-18, perdagangan antar lokalitas di kawasan Nusantara
mencapai tingkat yang cukup hebat, walaupun disaat yang sama VOC berada
diambang kebangkrutan. Dalam konteks inilah, komunitas Hadramaut memainkan
peran penting dalam penyediaan jasa pelayaran yang membentuk pilar penting
dalam aktivitas perekonomian mereka hingga dekade 1870-an.
Antara tahun 1774-1777, komunitas Hadramuat (yang hanya merupakan
2% dari jumlah kapten kapal di pelabuhan-pelabuhan Jawa) mengoperasikan
kapal besar yang melayani jangkauan lebih luas dari kompetitor mereka, kecuali
VOC. Walaupun pada pertengahan dekade 1750-an, komunitas Hadramaut hanya
mengkhususkan pelayanan perkapalan pada rute Jawa sampai Palembang hingga
Malaka dengan rata-rata kapal berbobot 50 ton, tahun 1818 membawa perubahan
signifikan. Pada tahun tersebut, pemerintah kolonial merestriksi pelayaran di
perairan Nusantara dan hanya memperbolehkan beroperasinya kapal-kapal yang
dimiliki oleh kawula pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan ini meningkatkan
posisi para pemilik kapal Hadramaut melebihi kompetitor mereka.
Jika pada 1820, komunitas Hadramuat memiliki 22% dari kapal-kapal
yang didaftarkan ke pemerintah, pada tahun 1850, jumlahnya telah melebihi 50%.
Jasa pelayaran ini dengan berat kapal antara 150 hingga 500 ton, kemudian
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan kolonial dengan kawasan lainnya. Di
pelabuhan-pelabuhan lokal, para pemilik kapal belatarbelakang Sayid Hadramaut
136
Ahmed Ibrahim Abushouk & Hassan Ahmed Ibrahim (ed. ) The Hadrami Diaspora in
Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? (Leiden: Brill, 2009), hlm. 135-158
64
diberikan bebas fiskal sebagai bentuk penghormatan terhadap silsilah mereka.
Sehingga menurut penelitian Van den Berg137
, pada abad ke-18 orang Arab
Hadramaut mulai datang secara masal ke Nusantara. Tempat mereka singgah
yang pertama adalah Aceh, dari Aceh mereka lebih memilih pergi ke Palembang
dan Pontianak. Sehingga tidaklah heran jumlah orang Arab di Palembang
menduduki urutan ke dua setelah Aceh. Pada tahun 1885, jumlah orang Arab di
tiap keresidenan Palembang mencapai 2.125 orang sedangkan di Aceh berjumlah
2.848 orang. Namun, masa keemasan aktivitas pelayaran Hadramaut harus
berakhir pada 1888, pada saat pemerintah kolonial ingin menghancurkan
kompetitor dalam jasa palayaran dan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)
hampir memonopoli jasa pelayaran.
Arus migrasi dari Hadramaut ke Asia Tenggara sudah mencapai
Palembang sejak triwulan terakhir abad ke-18. Perkembangan ekonomi
kesultanan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1775-1804),
yang ditopang oleh maju pesatnya tambang timah di Pulau Bangka dan ekspor
Lada dari pedalaman Palembang, menjadikan Palembang pelabuhan yang menarik
sebagai tempat tinggal pedagang dari seberang lautan. Akibatnya, pada akhir
zaman kesultanan, jumlah orang Arab yang` menetap di Palembang telah
mencapai jumlah 500 orang lebih.138
Di pelabuhan Palembang, pendatang Arab
sebagai mitra baru dalam perdagangan dan mendapat fasilitas istimewa dari sultan
Palembang, yang antara lain memperbolehkan pedagang Arab untuk membangun
137Ibid., hlm. 100
138J.J. van Sevenhoven „Beschrijving van de hoofplaats Palembang‟ dalam:
Verhandelingen van BataviaaschGenootshap van Kunsten en Watenschappen (1823), hlm.75
65
gudang mereka di darat.139
Selain itu, di lingkungan keraton, orang Arab dari
Hadramaut mempunyai kedudukan khusus. Orang Belanda yang pernah
mengunjungi keraton Palembang menyaksikan, bahwa jika pembesar kerajaan
menghadap raja, mereka harus menyembah sampai menyentuh lantai, sedangkan
orang Arab boleh duduk di kursi di sisi sultan. Juga dalam segi hukum orang Arab
hampir kebal hukum, mereka jarang dituntut atau dihukum.140
Pada zaman kesultanan Palembang Darussalam kelompok etnis Arab
dianggap sebagai seorang pedagang dan ahli agama. Selain itu, etnis Arab juga
memiliki hubungan erat dengan kesultanan Palembang Darussalam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan peninggalan arkeologi yang berupa makam, baik itu makam
Sultan Palembang maupun para bangsawan kesultanan yang selalu didampingi
oleh makam ulama yang merupakan guru agama Sultan dan kerabat-kerabat
139
Peraturan ini telah memberikan keungulan pedagang Arab atas pedagang Cina, yang
hanya memiliki gudang di atas rakit terapung di sungai Musi. Hai ini menurut van Sevenhoven
merupakan diskriminasi terhadap orang Cina yang dilakukan dengan sengaja untuk memperlemah
kedudukan mereka terhadap penguasa Palembang, yang setiap saat dapat memaksa para pedagang
Cina untuk “secara sukarela memasok” istana. Seandainya menolak, rakit para pedagang yang
bersangkutan didorong ke hilir sungai untuk selanjutnya dibakar. Gudang orang Arab dibangun di
darat, tidak terancam politik dagang ini, karena jika membakar gudang orang Arab berarti
membakar habis kampung yang dibangun disekitarnya. Lihat van Sevenhoven, ibid., hlm. 75 140
Adanya hak istimewa tersebut tidak berarti bahwa hubungan antara penguasa politik
dengan pedagang Arab tanpa komplikasi. Meskipun hubungannya saling menguntungkan, tetap
ada kekhawatiran di pihak kraton atas aspirasi politik orang Arab. Rasa takut ini dikobarkan lebih
lanjut oleh ambisi politik pedagang Arab di keraton Jambi, dan dinasti baru yang terbentuk di
Pontianak dan Siak atas usaha pendatang baru dari Hadramaut. Oleh karena itu, sebagai
pengamanan, pedagang Arab dilarang meninggalkan kota Palembang untuk pergi ke pedalaman.
Rasa takut kepada orang Arab bukan tanpa dasar, ketika dalam konflik antara tahun 1818-1819,
masyarakat Hadramaut di Palembang berpihak kepada putra mahkota Ahmad Najamuddin
melawan kekuasaan raja yang berkuasa, Mahmud Badaruddin. Hubungan yang kurang mesra ini,
kemudian melahirkan konflik yang terbuka tahun 1821. Ketika armada Belanda mendekati
Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin memerintahkan untuk mengumpulkan semua wanita
Arab sebagai sandera di dalam keraton. Walaupun Sultan Mahmud Badaruddin akhirnya
membatalkan keputusannya, hubungan terganggu begitu rupa, sehingga ketika Belanda akhirnya
mendarat di dekat kampung Arab di sisi ilir kota, dari pihak Arab sama sekali tidak melakukan
tindakan apapun. Sikap ragu-ragu demikian selama pembelaan kota, sesudah penyerahan
kekuasaan Palembang, kemudian dibalas dengan dibakarnya sebagian Kampung Arab oleh orang
Palembang. Lihat: Woelders, Het sultanaat Palembang 1811-1825, (Den Haag, 1975), hlm. 258.
Lihat juga: Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942,
(Jakarta: INIS, 1997), hlm. 15.
66
kesultanan.141
Selain makam, kelompok etnis Arab berperan sebagai juru tulis
naskah atau kitab-kitab Agama Islam.142
Setelah beralihnya kekuasaan kepada pemerintah kolonial Belanda, pada
awal-awal pemerintahan sangat mengganggu perkembangan ekonomi koloni
Arab, andil pedagang Hadramaut dalam armada niaga di Palembang masih sangat
kecil. Hanya tiga pemilik kapal Arab di pelabuhan Palembang yang tercatat dalam
almanak pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 30-an. Tetapi setelah berdirinya
Pax Neerlandica sesudah tahun 1840, jumlah pemilik kapal Arab mengalami
kenaikan bersamaan andil mereka dalam seluruh armada niaga di Palembang.
Zaman kemakmuran untuk koloni Hadramaut di Palembang terjadi pada
dasawarsa antara tahun 1840 dan 1880. Pada pertengahan abad ke-19, tercatat
sebagai pemilik kapal yang terkaya adalah Pangeran Syarif Ali bin Abubakar bin
Saleh dari marga Syechbubakar. Ayahnya berasal dari Hadramaut akhirnya
menetap di Palembang, dan menikah dengan wanita keturunan ningrat. Pada
tahun 1833, putra yang lahir dari perkawinan ini menjadi bintang keluarga,
diangkat menjadi pemimpin koloni Arab oleh penguasa kolonial. Dengan
memanfaatkan hubungan baiknya dengan Belanda, Syrif Ali berhasil membangun
suatu jaringan dagang yang luas hingga ke pedalaman Palembang. Pada saat yang
bersamaan, beliau juga dengan cepat memperluas armada naiaganya di pelabuhan
Palembang, hingga pada pertengahan abad ke-19, setengah dari seluruh armada
Arab merupakan miliknya. Meskipun kekududukannya ini sempat terancam
141
Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942,
(Jakarta: INIS, 1997), hlm. 15 142
Raden Ahmad Nur Ali, dkk., Permukiman Al-Munawar 13 Ulu Palembang, Laporan
Penelitian, op.cit., hlm. 20
67
sekitar tahun 1860-an, Pangeran Ali tetap menguasai sebagian besar perdagangan
di pelabuhan Palembang sampai beliau meninggal pada tahun 1870-an. Di
samping Syechbubakar, pemilik kapal lainnya berasal dari marga Alkaf,
Barakkah, Assegaf, Syihab, Almunawwar dan Alhabsyi. Biasanya mereka
memiliki satu atau dua kapal pelayaran saja. Secara keseluruhan, masyarakat
dagang yang berasal dari Hadramaut pada pertengahan abad ke-19, tidak kurang
dari 20 saudagar besar dan hampir 150 pedagang menengah.143
Armada niaga terdiri dari barkas,144
kapal layar bertiang dua dan
sekunar,145
para saudagar Arab berhasil menguasai perdagangan impor dan ekspor
di pelabuhan Palembang. Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga berpengaruh atas
besarnya koloni Arab di Palembang, yang hingga pertengahan abad ke-19 masih
menarik kedatangan migran baru. Dengan adanya ekspansi pada tahun 1885,
masyarakat Arab yang berasal dari Hadramaut berjumlah lebih dari 2.000 orang,
menjadi koloni terbesar kedua di Hindia-Belanda setelah Aceh.146
Lalu lintas dagang antar pulau sebagian besar berada di tangan pemilik
kapal dari Hadramaut. Dalam perjalanan mereka di seberang laut, pedagang ini
menjual produk Palembang, dan sebaliknya membawa barang yang mempunyai
pasar di Palembang. Berupa tembikar, rempah-rempah, arloji, berbagai barang
dari baja, besi atau tembaga dan sebagainya. Pedagang Arab ini juga membeli
143
ARNAS (Arsip Nasional), Laporan Politik 1855: lampiran 144
Barkas adalah kapal api kecil. Lihat: KBBI Online dikembangkan oleh Ebta Setiawan
@ 2010-2017 Databese utama merupakan hak cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kemdikbud (Pusat Bahasa) 145
Sekunar adalah kapal layar bertiang dua yang terbuat dari kayu, bertutup yang
digunakan untuk mengangkut orang, barang dan ikan. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), (2008) 146
L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, op. cit.,
hlm.108
68
persediaan dari kapal-kapal Arab yang sedang singgah di Palembang. Pada
mulanya, jalur perdagangan ini hanya ditujukan ke Jawa. Orang Arab memelihara
hubungan dengan pelabuhan terpenting di pantai Jawa, seperti Batavia, Cirebon,
Pekalongan, Gresik dan Surabaya, dan dari sana diimpor tekstil dan barang besi
buatan Jawa dan menjadikan Palembang sebagai pelabuhan pangkalan. Lama
kelamaan, sesudah Singapura didirikan tahun 1819, terbentuk pula lalu lintas
pelayaran yang intensif dengan pusat perniagaan baru ini. Di pelabuhan
Singapura, masyarakat niaga Hadramaut yang kecil, sangat memainkan peranan
penting. Singapura penting karena memberikan sambungan lalu lintas dagang
internasional. Melalui pelabuhan ini, jaringan niaga orang Hadramaut mencapai
Cina di Timur, ke India, Teluk Parsi dan Laut Merah di barat.147
Orang Hadramaut selama abad ke-19 mencoba untuk mengubah laba
materiil yang diperoleh dari hasil perdagangan menjadi sebuah prestise sosial.
Dengan makin dikuasainya kehidupan sosial Palembang oleh masyarakat Arab,
secara berangsur-angsur mendesak kaum ningrat Palembang dari puncak piramida
sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini:
Pertama, dapat dilihat dari pemukiman orang Arab Hadramaut di
Palembang menunjukkan sejumlah sifat yang mencolok. Berbeda dengan kota-
kota besar di Jawa, orang Arab telah disediakan perkampungan khusus bagi orang
Arab. Mereka tidak boleh tinggal di luar dari kampung ini, sehingga biasanya
dalam sebuah perkampungan terbentuk sebuah pemusatan migran Arab148
. Akan
147
Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942,
op. cit., hlm. 17 148
Menurut Joseph Conrad dalam L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj.
Rahayu Hidayat, op. cit,, hlm. xI mengemukakan bahwa pada 1886, pemerintah kolonial akhirnya
69
tetapi, di Palembang menunjukkan hal sebaliknya dari pola umum ini. Sketsa
Palembang dari tahun 1821, yang disimpan di koleksi KITLV, menyebutkan dua
kampung Arab, baik di Ilir maupun di Ulu Sungai Musi masyarakat Arab
selanjutnya menyebar ke kampung-kampung yang lain di kota Palembang.
Perluasan ruang ini akhirnya membentang dari kampung 7 Ulu hingga 16 Ulu di
tepi selatan, dan dari kampung 8 Ilir hingga 15 Ilir di tepi utara sungai Musi.149
Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakaat Arab di Palembang lebih memiliki
keluasaan untuk bermukim dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Wilayah-wilayah kampung Arab di Palembang dikuasai oleh saudagar
Arab yang kaya. Dengan meningkatnya kekuatan ekonomi mereka, para saudagar
Arab membangun rumah besar yang terbuat dari kayu Tembesu dan besi serta
dilengkapi dengan atap genting yang besar. Kebanyakan rumah mereka berbentuk
Rumah Limas dengan nilai antara Nlg. 10.000 sampai Nlg. 30.000. Dahulu
pembangunan rumah seperti itu merupakan hak istimewa para priayi. Adapun
yang terkaya di antara para saudagar Arab bahkan membangun rumah dari batu150
,
yang ketika zaman kesultanan merupakan hak istimewa para sultan Palembang.151
memberlakukan sistem perkampungan dan kartu tanda jalan (wijkenstelsel & passenstelsel) yang
berarti bangsa Timur Asing seperti komunitas Tionghoa dan Hadramaut diharuskan untuk tinggal
di kampung terpisah dari penduduk pribumi dan diharuskan membawa kartu tanda jalan jika ingin
keluar dari kawasannya. Kebijakan pengampungan dan pemisahan inilah yang akhirnya
mengganggu proses asimilasi antara komunitas Hadramaut dan penduduk pribumi. Pemerintah
kolonial, melalui pandangan rasialisnya, sangat membenci kultur hibrida, karena kultur tersebut
menantang dilienasi ras dan kultur yang lebih mudah dipahami. Dari mulai tahun 1835, pemerintah
kolonial telah melihat adanya tendensi bercampur baur (laten amalgameren) antara bangsa Timur
Jauh dan penduduk Pribumi sehingga diperlukan solusi hukum untuk membendungnya. 149
KITLV, koleksi peta: K26 784- 784B, H54 1596 dalam Jeroen Peeters, Kaum Tuo-
Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, op. cit., hlm. 17 150
Contoh Rumah Batu masih dapat dijumpai di perkampungan Arab al-Munawwar yang
berada di Kelurahan 13 Ulu Kecamatan Seberang Ulu II kota Palembang 151
J.J. van Sevenhoven „Beschrijving van de hoofplaats Palembang‟ dalam:
Verhandelingen van BataviaaschGenootshap van Kunsten en Watenschappen (1823), hlm. 57-58.
Lihat juga: Jeroen Peeters, ibid., hlm. 18
70
Rumah orang Arab biasanya membentuk kompleks keluarga, yang
berkelompok di sekitar kediaman “pater familias” (kepala keluarga besar)152
.
Dengan ini kewilayahan menjadi salah satu prinsip penataan kehidupan kota;
setiap marga Hadramaut mengawasi wilayahnya sendiri. Seperti marga al-
Munawwar tinggal di 13 Ulu, Assegaf di 16 Ulu dan Almesawa di 14 Ulu,
sedangkan di sebelah Ilir marga Alhabsyi memiliki markas besar di 8 Ilir, Barkah
di 7 Ulu, Aljufri di 15 Ulu dan Alkaf di 8 Ilir dan 10 Ulu. Tujuh keluarga
terkemuka ini pada paruh kedua abad ke-19, bersama-sama membentuk elite kota
Palembang.153
Pada umumnya orang Arab yang setelah menetap dan memperoleh
kekayaan di Palembang, sedikit sekali pulang kembali ke Hadramaut, mereka
memilih menetap di Palembang. Mereka tidak lagi mencintai tanah airnya karena
telah menetap lama di luar negeri. Seringkali mereka meninggalkan tanah air
ketika masih muda dan dalam keadaaan miskin. Ketika menjadi kaya, mereka
berada dalam kedudukan yang semu. Orang Arab yang telah lama menetap di luar
negeri dan hidup makmur seringkali bertingkah laku yang bertentangan dengan
selera orang Hadramaut. Mereka sudah mengenyam rasa puas yang tidak
dirasakan di negerinya. Alasan terakhir, di Nusantara khusunya di Palembang ada
orang-orang Arab, bahkan yang terhormat, yang telah melakukan pelanggaran di
152
Sebagai contoh komplek perkampungan Arab al-Munawwar memiliki 10 rumah
dengan penghuni sebesar 34 KK serta memiliki sebuah bangunan religi berupa satu buah masjid
yang terletak di tepi Sungai Musi. Lihat: Hasil penelitian Aryandini Novita, Pemukiman Kelompok
Etnis Arab: Sejarah Perkembangan Permukiman Kota Palembang Pasca Masa Sriwijaya,
(Palembang: Balai Arkeologi, 2006), hlm. 16 153
Jeroen Peeters, ibid., hlm. 18. Lihat juga: L.W.C. van den Berg, Orang Arab di
Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, op. cit., hlm. 109
71
Hadramaut sehingga tidak berani kembali ke sana. Namun, harus diakui bahwa
golongan terakhir ini sangatlah kecil sekali.154
Di Palembang khususnya dan Nusantara umumnya jarang ditemui orang
Arab yang sama sekali tidak meminati perdagangan. Mereka bersama orang Cina,
membentuk apa yang disebut dalam bahasa perdagangan “tangan kedua”, artinya
mereka memberi barang dalam jumlah besar saat perdagangan besar Eropa untuk
kemudian menjualnya secara eceran, baik secara langsung maupun melalui orang
lain. Meskipun demikian, secara keseluruhan, usaha orang Cina jauh lebih besar
daripada orang Arab dan bahkan tampaknya mereka lebih memiliki jiwa dagang.
Yang pasti, di wilayah-wilayah tempat kedua bangsa itu bersaing, wilayah Cina
pada umumnya tampak makmur, sedangkan wilayah Arab tidak. Bahkan
pedagang Eropa lazimnya lebih suka berhubungan dagang dengan bangsa Cina
daripada dengan mereka. Namun terdapat pengucualian, di Palembang dan
Pekalongan, orang Arab begitu mendominasi dengan modal mereka sehingga
hampir seluruh wilayah Cina kurang lebih tergantung pada mereka. Di kedua kota
itu mereka memasok sebagian besar pedagang Cina, baik modal yang dibutuhkan
untuk berusaha, maupun barang dagangan yang kemudian oleh orang Cina dijual
eceran.
Dengan demikian, kemakmuran jelas lebih tampak di wilayah Arab
daripada di wilayah Cina. Laporan terakhir dari Surabaya dan Padang menyatakan
154
L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, op. cit,, hlm.
121
72
bahwa orang Arab meski mereka tidak kaya sakalipun, lebih mendapatkan
kepercayaan dalam berdagang dengan orang Eropa daripada orang Cina. 155
Komoditi utama dalam perdagangan Arab adalah cita katun (bazz) dan
katun India (qumāsy) yang diimpor dari Eropa. Perdagangan cita itu jauh
melampaui perdagangan komuditi lain yang dilakukan oleh pedagang Arab. Di
mana-mana terdapat terdapat perdagangan cita sedangkan komuditi lain hanya ada
di beberapa tempat. Komoditi yang menduduki yang duduki peringkat kedua
adalah berlian dan batu permata lainnya. Barang berharga itu tidak dijajahkan
seperti halnya cita katun dan katun India, pembelinya pun dari golongan yang
lebih terhormat atau dari golongan ekonomi kuat. Peringkat ketiga diduduki oleh
beraneka komoditi impor dari Eropa, barang-barang dari emas dan perak, arloji,
makanan yang diawetkan, barang-barang dari logam, senjata, sutra, tembikar,
gerendel dan berbagai barang dari baja, besi, atau tembaga, rempah-rempah,
cerutu, minyak tanah dan sebagainya. Hanya perdagangan anggur dan minuman
beralkohol lainnya yang tampaknya tidak dikenal bangsa Arab. Suatu ciri khas
dalam pergangan eceran, hampir disetiap tempat, orang Arab tidak mempunyai
seorang pun pelanggan Eropa. Hanya perdagangan permata saja yang merupakan
pengecualian.156
Selain perdagangan, pelayaran patut pula disebutkan sebagai sarana
kehidupan bangsa Arab. Sangat sedikit orang Arab menjadi kelasi. Nakhoda
(nawkhadsā), mualim (mu’llim) dan kerani (krānī) kapal-kapal besar memang
orang Arab, namun awak yang selebihnya terdiri dari pelaut pribumi. Jarang di
155
Ibid., hlm. 121 156
Ibid., hlm. 131
73
jumpai nakhoda Arab yang tidak menjalankan kapal rekan sebangsanya dan
jarang pula kapal Arab yang dijalankan oleh nahkoda berkebangsaan lain. Sejak
lama pelayaran merupakan pekerjaan pilihan orang Arab di Nusantara. Hal
tersebut menurut van den Berg cukup mengherankan, karena sebagian besar dari
mereka tidak pernah melihat laut sebelum keluar dari tanah airnya. Pada awal
abad ke-19, ketika terjadi perpindahan bangsa Arab secara besar-besaran,
pelayaran bahkan merupakan sumber utama dari pembangunan koloni Arab,
khususnya di Palembang, Pontianak dan Gersik.157
Pelayaran Arab mencapai masa gemilang antara tahun 1845-1855. Dalam
periode itulah hampir semua pengusaha pelayaran memperoleh keuntungan yang
sangat besar, namun setelah itu mulai mundur karena perkembangan pelayaran
dengan kapal api di Nusantara yang menjadi pesaing tak sebanding bagi pelayaran
dengan kapal layar. Di Palembang khususnya, persaingan itu terasa sekali. 35
tahun sebelumnya bangsa Arab masih memiliki 60 kapal layar besar buatan Eropa
namun setelah itu mereka hanya memiliki 22 buah. Pelayaran dengan kapal api
dikuasai oleh Eropa. Baru tahun-tahun terkahir ini orang Arab dan Cina mulai
turut ambil bagian, namun masih dalam skala yang sangat kecil. Di Palembang,
hanya terdapat seorang Arab yang memiliki kapal api (bābūr atau markab ad-
durkhān).158
Di bidang profesi liberal, di Palembang terdapat 20 orang pengusaha Arab.
Mereka merupakan ancaman bagi para pelanggannya yang seluruhnya pribumi,
karena mereka bertugas mempertahankan berbagai perkara yang paling muskil di
157
Ibid., hlm. 133 158
Ibid., hlm. 134
74
pengadilan. Di Palembang, ditempat tinggal sebagian besar orang Arab, mereka
mendirikan semacam kantor pengacara yang sama sekali tidak tehormat di mata
pemerintah Belanda.159
Di dalam pertikaian antara pemerintah Belanda dan para priagung
Pribumi, orang Arab Hadramaut hampir selalu memihak orang Eropa, atau paling
tidak bersikap netral. Di Palembang, selama lebih dari setengah abad, kedudukan
diberikan kepada koloni Arab di Palembang ditempati keluarga Syekh Abū Bakr.
Dua anggota keluarganya telah memperoleh gelar pangeran dan bintang jasa dari
pemerintah Belanda, karena telah membuktikan kesetiaan mereka dan berjasa
menyelesaikan keresahan politik yang beberapa kali melanda Palembang.160
Di Palembang, bangsa Arab mendominasi dengan modal mereka, yang
lima per enamnya milik Arab campuran. Mengenai orang Arab kelahiran
Hadramaut, hubungan mereka dengan Arab campuran terjalin dengan baik. Arab
campuran lebih tinggi secara sosial dan intelektual. Adapun yang dimaksud
dengan Arab campuran adalah mereka yang berasal dari Mesir, Hijaz, Turki, Arab
Saudi dan lain-lain.161
Sampai dengan tahun 1920-an, tinggal dua perusahaan milik kelompok
keturunan Arab yang masih bertahan, yakni Firma Assegaf dan Firma Alimoenar.
Kedua perusahaan ini bergerak dalam distributor bahan-bahan bangunan, terutama
kayu untuk kebutuhan perusahaan kayu di kota Palembang serta memenuhi
159
Ibid., hlm. 137 160
Hanya ada seorang Arab yang memainkan peranan dalam keresahan politik yang
terakhir yang dihasut oleh para keturunan Sultan Palembang. Ia adalah Arab campuran yang
sudah berasimilasi dengan Pribumi dan yang garis ibu dan neneknya merupan anggota keluarga
sultan. Lihat: van den berg, ibid., hlm. 163 161
Ibid., hlm. 137
75
permintaan kayu perusahaan milik orang Eropa yang beroperasi di daerah
pedalaman. Mereka juga mengirimkan kayu ke negara-negara Timur Tengah
melalui KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij-Perusahaan Palayaran
Belanda). Ada dua nama yang diperhitungkan pada masa ini, yakni Said Alwi
Sheik Assegaf serta Syeikh Shabab. Assegaf merupakan pengusaha keturunan
Arab di Palembang yang sukses mengelola usaha penggilingan padi, pabrik es
(sampai sekarang pabrik es masih ada) dan perkayuan. Sedangkan Shabab
merupakan seorang arsitek yang terkenal pada masanya, dialah yang merancang
pembangunan Pasar 16 Ilir dan pemukiman Belanda di Talang Semut
Palembang.162
Dalam bidang tarekat, menurut Jeroen Peeters, kalangan Alawiyin tidak
menikmati popularitas besar dan juga di Hadramaut. Pendapat tersebut berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Haji Yahya, yang mengatakan bahwa kaum Syed
„Alawiyyah mempunyai pengaruh besar dan kemasyuran di kalangan pembawa
Islam ke Alam Melayu. Kemasyuran mereka ini adalah berpuncak pada ilmu
agama khususnya ilmu kebatinan atau ahli tasawuf163
. Introduksi mistik Islam di
Hadramaut menyebabkan berdirinya tarekat khas di kalangan Sayid, bernama
tarekat Alawiyah164
.
Tarekat „Alawiyyah seperti tarekat-tarekat yang lain pada dasarnya
berlandaskan al-Qur‟an dan hadits. Tetapi, perbedaannya ialah tarekat „Alawiyah
162
Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi, Palembang 1990-1950, op. cit., hlm.
227-228 163
Mahayudin Haji Yahya, Islam di Alam Melayu, op. cit., hlm. 8 164
Tokoh-tokoh Agama atau ahli-ahli tasawuf „Alawiyyah mempunyai gelar yang khusus
menurut tingkatannya seperti „Syeikh, „Naqib, „Awliya‟ dan yang paling tinggi martabatnya
bergelar „Qutb‟. Lihat: Mahayudin Haji Yahya, ibid.
76
lebih banyak menekankan ajaran-ajaran yang dibawa nenek moyang mereka di
Hadramaut, oleh sebab itu lebih bercorak konservatif.165
Sesuai dengan organisasi
keluarga Ba‟Alawi, tarekat ini mempunyai cabang lain, seperti Alaydrusiyah,
Alatasiyah dan Alhadadiyah. Para Alawiyin biasanya lebih suka bergabung
dengan tarekat Alawiyah. Oleh karena itu, tarekat ini memperoleh sifat khusus,
dan mencerminkan kebutuhan di kalangan Sayid untuk memisahkan diri dari
golongan awam.
Petunjuk awal penyebaran tarekat ini di Palembang menurut Drewes
dalam Jeroen Peeters166
dijumpai dalam bentuk naskah berbahasa Melayu,
berjudul Sabil al-hidayah wa al-rasyad. Karya Sayid Ahmad bin Hasan bin
Abdullah Alhadad ini mengandung penjelasan tentang ratib Alhadad, gubahan
imam Abdullah Alhadad, pendiri tarekat dengan nama sama. Sesuai dengan sifat
umum mistik di Hadramaut sebagaimana diungkapkan di atas, Alhadadiyah tidak
ditandai dengan spekulasi teoretis, namun oleh amalan-amalan yang rumit, dalam
bentuk latihan ratib dan zikir. Tiap malam, antara shalat Magrib dan Isya‟,
penduduk kampung Arab berkumpul untuk ikut dalam latihan ritual ratib
Alhadad. Juga di tempat lain di Palembang, praktek ini diterima dikalangan
penduduk pribumi.167
Sifat eksklusif tarekat Alawiyah mencegah Sayid untuk berperan dalam
penyebaran tarekat lain. Sehingga, di Palembang vakum spiritual ini selanjutnya
165
Lahir di Tarim pada 5 Sapar 1044 H (1634 M), sesudah meninggal pada tahun 112 H
(1719 M), imam Abdullah Alhadad tumbuh menjadi tokoh terpenting di bidang misitk di
Hadramaut. Dari sana reputasinya sebagai penulis dan penyair karya saleh disebarluaskan ke Asia
Tenggara. Lihat: Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-
1942, op. cit., hlm. 23 166
Ibid., hlm. 23 167
Abubakar Atjeh 1980:337-389 dalam Jeroen Peeters, ibid., hlm. 23
77
diisi oleh tarekat Sammaniyah. Nama tarekat ini berasal dari nama pendirinya
Syekh Muhammad Abdulkarim Samman.168
168
Beliau lahir di Medinah tahun 1132 H./1719 M., ia didik ayahnya, soerang ulama
terkemuka. Setelah tidak lama tinggal di Mesir, ia kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1760-
an berhasil membangun reputaisnya sebagai ahli mistik. Sesudah Syekh Muhammad Samman
wafat pada tahun 1189H/1775M, Sammaniyyah terus menyebar ke Mesir dan Sudan. Kearah timur
Sammaniyah juga dibawa ke Sumatera dan Semenanjung Melayu oleh para Jemaah haji. Juru
dakwah pertama Sammaniyah, di antara koloni Jawa di Mekah, ialah Abdassamad al-Palimbani.
Lihat: Jeroen Peeters, ibid.
78
BAB V
PENUTUP
Hubungan Palembang dengan Timur Tengah sudah terjalin jauh sebelum
kedatangan Islam dan terus berlanjut pasca kedatangan Islam, bahkan pada
puncaknya terbentukya kerajaan Islam atau yang dikenal dengan sebutan
Kesultanan Palembang Darussalam.
Faktor-faktor yang memfasilitasi Kaum Sayid Hadramaut untuk datang ke
Nusantara dan pada akhirnya memilih untuk menetap, diantaranya: kemampuan
mereka berpergian dimudahkan oleh jaringan perdagangan yang telah ada
sebelumnya, memiliki hubungan intelektual dengan jaringan ulama internasional,
keanggotaan mereka dalam mazhab Syafi‟I, memiliki kemampuan dalam
berbahasa Arab, wilayah yang mereka datangi memiliki karakter kosmopolitas
sehingga mudahkan untuk beradaptasi, dan yang terpenting dari itu semua adalah
mereka dianggap sebagai keturunan dan pewaris Nabi sehingga mereka mendapat
kedudukan sosial yang tinggi.
79
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1994)
K.H.O. Gadjahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI
Press, 1986)
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia:
dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000)
.
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2010), hlm. 44-45
Dokumen Kecamatan Seberang Ulu II dalam angkan 2016
Dennis Wrong (Ed.), Max Weber: Sebuah Khazanah, Penerjemah dan Penyunting: A.
Asnawi, Penerbit: Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2003
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gitamedia Press,
Hamid Darmadi, Dimensi-dimensi Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Bandung:
Alfabeta, 2013),
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010),
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Srasin, 1996),
Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Yasogama, (Yogyakarta: Yayasan
Solidaritas Gadjah Mada dan CV. Rajawali Jakarta, 1987)
Broom, Bonjean dan Broom, A Core Text with Adopted Readings, (California:
Wadsworth Publishing Company, A Division of Wadsworth, Inc., Belmont,
1990),
Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Cired, 2004),
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013)
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, (Jakarta: LP3ES,
2003
80
Djohan Hanafiah, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1995),
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Indonesia Kontemporer, Edisi kedua, (Jakarta:
Modern English Press, 1995), 854
Retno Purwanti, Komunitas Arab Palembang dalam Perspektif Arkeo-Historis, (tt.
(belum diterbitkan)
M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
‘Abdus-Samad Al-Palimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985),
Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah,
(Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 1999)
Ismail, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-1942,
(Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2014),
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
UI Press, 1984
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010
Raden Ahmad Nur Ali, dkk., Permukiman Al-Munawar 13 Ulu Palembang, Laporan
Penelitian, (Palembang: Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas
Sriwijaya, tth.)
Mahayudi Haji Yahya, Islam di Alam Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1998),
L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010)
Raden Ahmad Nur Ali, Permukiman Al-Munawar 13 Ulu Palembang, Laporan
Penelitian, (Palembang: UNSRI, tth.) \
Ahmed Ibrahim Abushouk & Hassan Ahmed Ibrahim (ed. ) The Hadrami Diaspora in
Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? (Leiden: Brill, 2009),
J.J. van Sevenhoven „Beschrijving van de hoofplaats Palembang‟ dalam: Verhandelingen
van BataviaaschGenootshap van Kunsten en Watenschappen (1823)
Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942,
(Jakarta: INIS, 1997)
ARNAS (Arsip Nasional), Laporan Politik 1855: lampiran
Aryandini Novita, Pemukiman Kelompok Etnis Arab: Sejarah Perkembangan
Permukiman Kota Palembang Pasca Masa Sriwijaya, (Palembang: Balai Arkeologi,
2006), hlm. 16