Upload
praktikumlimbah2014
View
24
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pada praktikum Pengelolaan Limbah kali ini, limbah yang digunakan adalah limbah cair dari industri susu kedelai.
Citation preview
LIMBAH CAIR SUSU KEDELAI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN
Disusun Oleh :
Yohana Christin N. 12.70.0051Myriam Theresa Angen 12.70.0083M.E. Yuliana Puspa S. 12.70.0128Yeremia Adi 12.70.0152Tri Kurnia Utami 12.70.0189
Kelompok D1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. DESKRIPSI LIMBAH
1.1.Data Sampel Limbah
1.1.1. Jenis Limbah
Jenis limbah yang digunakan dalam praktikum pengolahan limbah industri pangan ini
adalah limbah cair susu kedelai.
1.1.2. Waktu Pengambilan
Sampel limbah cair susu kedelai ini diambil pada hari rabu,10 September 2014 pada
pukul 14.00.
1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah
Lmbah cair susu kedelai diperoleh dari Restoran Yung Hoo yang berlokasi di Jalan MT.
Haryono 631-633 Semarang.
1.1.4. Debit Limbah per hari
Debit limbah cair susu kedelai yang dihasilkan setiap hari yaitu ± 3 liter per ember.
1.2. Karakteristik Limbah
1.2.1.Karakteristik Umum
Susu adalah cairan berwarna putih yang dihasilkan dari kelenjar susu mamalia.
Komponen kandungan susu bervariasi, tergantung pada spesiesnya, yang secara umum
susu mengandung lemak, protein, kalsium, serta vitamin C. Namun, terdapat juga istilah
susu lain yang berwarna putih seperti susu yang berasal dari non hewan, yang berasal
dari nabati yaitususu kedelai. Susu kedelai merupakan larutan yang terbuat dari bahan
dasar kacang kedelai. Susu kedelai merupakan emulsi stabil dari lemak, air, dan protein,
yang diperoleh dengan cara merendam kacang kedelai kering dan menggilingnya
dengan air. Komposisi nutrisi susu kedelai juga mengandung lesitin, vitamin E, dan
isoflavon yang menguntungkan bagi kesehatan. Kandungan susu kedelai sebagian besar
adalah protein, zat besi, asam lemak tak jenuh, dan niacin, namun rendah akan lemak,
karbohidrat, dan kalsium jika dibandingkan dengan susu dari sapi dan ASI (Liu, 1997).
Limbah merupakan sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat atau industri yang
terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% yang berupa
benda-benda padat yang terdiri dari zat-zat organik dan anorganik. Zat organik dalam
sampah terdiri dari bahan-bahan nitrogen, karbohidrat, lemak, dan protein yang mudah
mengalami pembusukan, serta dapat menimbulkan bau yang tidak sedap (Mahida,
1992). Limbah cair atau air buangan merupakan air yang tidak dapat dimanfaatkan lagi
serta dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap manusiadan lingkungan sekitar .
Keberadaan limbah cair tidak diharapkan di lingkungan karena tidak mempunyai nilai
ekonomi serta meruak lingkungan, Pengolahan yang tepat bagi limbah cair sangat
diutamakan agar tidak mencemari lingkungan (Husni H, 2012).
Menurut teori (Sugiharto,1987) secara garis besar, limbah cair terdiri dari air (99,9%)
dan bahan padat (0,1%). Limbah dalam bentuk cair dan padat terkandung bahan
organik, yaitu protein (65%), karbohidrat (25%), lemak (10%) dan bahan anorganik,
seperti garam dan metal. Menurut teori (Mahida, 1992), Terdapat adanya Syara-syarat
limbah dapat dibuang ke saluran umum adalah sebagai berikut:
1. Temperatur pada umumnya dibatasi 100-110ºF, karena limbah yang bersuhu tinggi
akan cepat merusak beton dan logam di dalam saluran umum.
2. Limbah tidak bersifat asam atau basa yang terlalu tinggi, dimana pH sebaiknya
berkisar antara 5,5 dan 9.
3. Konsentrasi zat yang mengandung lemak pada umumya minimal 100 mg/L.
4.Tidak mengandung gas-gas yang beracun, berbau tengik, menghasilkan bau yang
kuat, mengandung gas yang dapat terbakar atau meledak.
5. Tidak mengandung zat-zat padat yang dapat mengendap dan berdaya berat
spesifik tinggi seperti pasir dan silikon, wol, rambut, kain dan bahan-bahan kasar
lainnya.
6. Memiliki ukuran yang seragam dari kecepatan hidrolisisnya dankomposisi
limbahnya.
1.2.2. Karakteristik Fisikawi
Karakteristik fisikawi dari limbah cair yang perlu diketahui adalah total solid, bau,
temperatur, densitas, warna, konduktivitas dan turbidity (Metcalf and Eddy,2003).
• Total solid
Total solid merupakan materi yang tersisa setelah proses evaporasi pada suhu 103oC-
105oC. Karakteristik yang dapat bersumber dari saluran air domestik, industri, erosi
tanah, dan infiltrasi/inflow ini dapat menyebabkan proses pengolahan penuh dengan
sludge dan kondisi anaerob dapat tercipta sehingga mengganggu proses pengolahan
limbah.
• Bau
Karakteristik ini bersumber dari gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi bahan
organik dalam air limbah atau karena penambahan suatu substrat-substrat lain ke air
limbah.
• Temperatur
Temperatur air limbah dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di dalam
air,Semakin tinggi temperatur air kandungan oksigen dalam air limbah berkurang atau
sebaliknya.
• Density
Density merupakan perbandingan antara massa dengan volume yang dinyatakan sebagai
slug/ft(kg/m3).
• Warna
Warna air limbah, banyak menyerap oksigen dalam air, sehingga dalam waktu lama
akan membuat air berwarna hitam dan berbau serta pada kenyataannya pencemaran oleh
zat warna juga dapat menyebabkan gangguan estetika lingkungan sekitar.
• Kekeruhan (Turbidity)
Turbidity atau kekeruhan dapat diukur dengan perbandingan antara intensitas cahaya
yang dipendarkan oleh sampel air limbah dengan cahaya yang dipendarkan oleh
suspensi standar pada konsentrasi yang sama.
1.2.3. Karakteristik Kimiawi
Terdapat tiga karakteristik kimia pada air limbah yang perlu diidentifikasi yaitu, bahan
organik, anorganik,dan gas (Metcalf and Eddy, 2003).
a. Bahan organik
Pada air limbah bahan organik biasanya bersumber dari tumbuhan, hewan, dan aktivitas
manusia. Bahan organik terdiri dari C, H, O, N dan bahan organik yang menjadi
karakteristik kimia adalah karbohidrat, lemak, protein, minyak, surfaktan,Volatile
Organic Compound (VOC), pestisidadan fenol. Sumber bahan organik dapat ditemukan
di dalam limbah komersil, domestik, dan industri kecuali pada limbah pestisida yang
bersumber dari pertanian serta fenol dari industri.
b. Bahan Anorganik
Menurut Husni, H. (2012) jumlah bahan anorganik dapat meningkat bila sejalan dan
dipengaruhi oleh asal air limbah. Umumnya berupa senyawa-senyawa yang memiliki
kandungan logam berat, senyawa-senyawa anorganik yang bersifat basa kuat dan asam
kuat, senyawa-senyawa belerang(sulfat dan hidrogen sulfida) dan senyawa fosfat atau
senyawa-senyawa nitrogen (amonia, nitrit, dan nitrat)
c. Gas
Gas yang ditemukan dalam limbah cair yang tidak mengalami proses pengolahan adalah
nitrogen (N), oksigen (O2), hidrogen sulfida(H2S), metana (CH), karbon
dioksida(CO)2,dan amonia (NH34).
1.2.4. Karakteristik Biologis
Menurut Metcalf and Eddy (2003) karaktreristik biologis pada air limbah merupakan
dasar untuk mengontrol timbulnya penyakit yang disebabkan oleh organisme patogen.
Karakteristik biologi yaitu bakteri dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di dalam
dekomposisi dan stabilisasi pada senyawa organik.
2. PEMBAHASAN
Menurut undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang diartikan sebagai limbah adalah berbagai macam
sisa dari suatu kegiatan ataupun usaha yang bisa berupa buangan padat maupun cair.
Didalam suatu industri, setiap ada aktivitas produksi tentu selalu menghasilkan
sejumlah air buangan. Limbah buangan terutama limbah indutri pangan dikenal sebagai
limbah yang kaya akan kandungan senyawa organik yang dapat berkonstribusi sebagai
sumber kehidupan bagi sejumlah mikroorganisme (Jenie & Rahayu, 1993; Frazier &
Westhoff, 1988). Semakin tinggi kandungan organik tersebut maka akan semakin tinggi
beban limbah tersebut terhadap lingkungan, oleh karenanya sebelum dibuang ke
lingkungan dibutuhkan sejumlah pengolahan limbah supaya tidak mencemari
lingkungan sekitar dan mengganggu kehidupan biota perairan (Arvanitoyanis, 2008).
Susu kedelai, tahu dan tempe merupakan produk-produk olahan dengan menggunakan
kedelai sebagai bahan baku utama yang dikenal akan tingginya kandungan protein
nabati yang bisa mencapai 35% (Arman & Hardjo, 1973). Limbah buangan industri
kedelai tersebut dilaporkan dalam Bappeda (1993) mempunyai rata-rata kandungan
BOD, COD, TSS dan lemak/minyak berturut-turut adalah 4583 mg/l; 7050 mg/l; 4743
mg/l; 2 mg/l. Sedikit berbeda dengan kebanyakan limbah susu yang dikenal berbeban
berat, susu kedelai merupakan produk yang dikenal memiliki beban lingkungan yang
tergolong menengah mendekati berat yang terlihat dari nilai BOD yang bisa mencapai
10.000 mg/l (Jenie & Rahayu, 1993). Sumber polutan terbesar susu kedelai adalah dari
whey yang dihasilkan yang diketahui dari beberapa penelitian yang menunjukan nilai
rata-rata BOD antara 3000 mg/l – 4000 mg/l (Sutiyani et al, 2011; Hassan et al, 2004;
Jenie & Rahayu, 1993). Selama proses pengolahan susu kedelai, limbah cair (whey)
tersebut dihasilkan selama proses penyaringan berlangsung, namun demikian juga
dihasilkan sebagian kecil limbah padatan yang dihasilkan dari sisa-sisa penggilingan
dan pencucian bahan baku (Sani, 2006).
4.1. Pengolahan Limbah
Proses pengolahan limbah merupakan tahapan guna menurunkan kadar COD, BOD,
TSS, lemak/minyak serta mikroba patogen yang ada, sehingga ketika dibuang ke
lingkungan tidak memberikan efek pencemaran. Tahapan pengolahan limbah yang
digunakan umumnya bervariasi tergantung karakteristik limbah yang dihasilkan serta
beban lingkungan yang diberikan (LPTL, 2013). Limbah susu kedelai merupakan jenis
limbah organik, oleh karenanya dapat dilakukan pengolahan secara organik juga dengan
memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa-senyawa organik yang
terdapat didalam limbah tersebut (Nurhasan & Pramudyanto, 1991).
Proses pengolahan limbah pada dasarnya dibedakan menjadi 6 tahapan utama yang
dibedakan menjadi penanganan pendahuluan, penanganan primer, penanganan
sekunder, penanganan tersier, tahapan desinfeksi serta penanganan lanjutan (LPTL,
2013). Dalam praktikum, tahapan pengolahan limbah dilakukan hingga tahapan
desinfeksi. Tahap pertama yang dilakukan dalam praktikum adalah tahap penanganan
pendahuluan. Pertama – tama limbah cair susu kedelai diambil sebanyak 1 liter
kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Air limbah hasil penyaringan
tersebut ditampung di dalam ember. Kemudian hasil dari penyaringan digunakan untuk
proses pengolahan pertama atau primary treatment. Penanganan pendahuluan pada
dasarnya merupakan tahapan yang dilakukan guna memisahkan padatan yang terdapat
dalam limbah cair tersebut sehingga tidak menggangu dalam proses pengolahan.
Penanganan pendahuluan selalu didominasi oleh penanganan fisik seperti penyaringan
sama seperti yang dilakukan dalam praktikum (LPTL, 2013). Pada proses pengolahan
susu kedelai, memang padatan yang dihasilkan tidak terlalu banyak dimana dilaporkan
dalam Kusnoputranto (1984) bahwa limbah olahan kedelai sedikitnya mengandung
0,1% padatan tidak terlarut, namun demikian pemisahan padatan tetap harus dilakukan
sehingga proses pengolahan dapat berjalan dengan baik. Penyaringan pada tahap
pendahuluan digunakan untuk memisahkan padatan dengan ukuran molekul besar,
namun tidak dengan padatan-padatan yang berukuran molekul sangat kecil seperti
partikel koloid maupun partikel yang tersuspensi yang mempunyai ukuran molekul
antara 1 nm – 0,1 nm (Williams et al, 2007; Arvanitoyanis, 2008).
Langkah selanjutnya adalah penanganan secara primer, Pada pengolahan ini mula-mula
sebanyak 1 liter limbah air susu kedelai yang telah di pre-treatment diambil. Kemudian
ditambah dengan koagulan Ca(OH)2 dengan konsentrasi 50000 ppm, Ca(OH)2 yang
ditambahkan sebanyak 50 gram dalam 1 liter limbah. Setelah koagulan ditambahkan,
dilakukan pengadukan dengan menggunakan jar testing dengan kecepatan 100 rpm
selama 1 menit, dilanjutkan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Kemudian larutan
diendapkan dengan cara mendiamkannya selama 30 menit agar seluruh flok mengendap
di dasar bekker glass (sedimentation). Setelah mengendap, dilakukan proses
penyaringan kembali dengan kain saring dan kertas saring untuk memisahkan endapan
dan filtrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa
dalam proses pengendapan ditambahkan zat kimia yang berfungsi sebagai koagulan,
yaitu Ca(OH)2. Proses pengendapan memiliki tujuan untuk menghilangkan padatan
halus, zat warna yang larut atau tersuspensi yang tidak dapat tersaring pada penyaringan
pendahuluan sehingga perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan selanjutnya.
Koagulasi berfungsi agar dapat mengendapkan partikel-partikel yang halus karena
reaksi diantara bahan pengendap dan senyawa kimia dapat mengakibatkan butiran di
dalam bahan menjadi semakin besar sehingga memiliki berat jenis yang lebih besar dari
air (Sugiharto, 1987). Partikel koloid memang secara teori dapat mengalami
pengendapan secara alami dengan memanfaatkan gaya gravitasi, namun hal tersebut
terjadi dalam jangka waktu antara 2 tahun hingga 200 tahun tergantung ukuran dari
partikel koloid tersebut (EPA, 2004; Hammer, 1996). Pengendapan partikel koloid yang
sangat lama tersebut disebabkan karena stabilitas suspensi koloid yang sangat baik yang
dipengaruhi oleh gaya van der Walls; gaya elektrostatik dan gerak brown partikel koloid
(Williams et al, 2007). Oleh karena lamanya pengendapan secara alami, maka didalam
pengolahan limbah dilakukanlah cara kimia untuk mendestabilasi partikel koloid
tersebut supaya dapat membentuk flok yang terpisah dari limbah cairnya. Proses
pengendapan partikel koloid tersebut adalah proses koagulasi-flokulasi yang dilakukan
pada pengolahan primer yang merupakan satu rangkaian proses dimana koagulasi
berperan didalam men-destabilasi partikel koloid sedangkan flokulasi berperan dalam
proses konglomerasi membentuk flok yang lebih besar sehingga mudah diendapkan
(Hammer, 1996; LPTL, 2013; EPA, 2004).
Pada tahap Penanganan Primer terdapat Tahapan koagulasi-flokulasi dalam praktikum
dilakukan dengan memanfaatkan kapur Ca(OH)2 sebagai koagulan yang kemudian
dilakukan pengadukan cepat dan dilanjutkan dengan pengadukan lambat pada jar
test.Koagulan serta dosis yang digunakan dalam proses koagulasi flokulasi harus
disesuaikan dengan karakteristik limbah yang dihasilkan dimana dalam hal ini terutama
adalah pH karena masing-masing koagulan memiliki kisaran pH optimal yang berbeda-
beda (Hammer, 1996). Proses koagulasi dengan menggunakan kapur Ca(OH)2 dalam
pengolahan limbah susu kedelai akan menghasilkan proses koagulasi yang kurang
optimal, hal ini disebabkan pH optimal Ca(OH)2 sebagai koagulan adalah pada kisaran
pH 9-11 (Qasim, 2000). Ketidak optimalan dari proses inipun dapat dilihat dari nilai
TSS yang menunjukan nilai rata-rata tiap kelompok adalah 2500 mg/l; 3800 mg/l dan
3600 mg/lserta kekeruhan larutan yang memang tampak agak keruh.Dalam proses
koagulasi susu kedelai akan sangat optimal bila dilakukan dengan menggunakan
kombinasi antara aluminium sulfat dengan Ca(OH)2 sebagai penetral keasaman limbah
susu kedelai tersebut, dimana hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti reaksi berikut :
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2Al(OH)3 + 3 CaSO4 + 14 H2O (EPA, 2004; LPTL,
2013)
Proses koagulasi selain memanfaatkan koagulan juga dilakukan pengadukan secara
cepat dimana proses pengadukan yang sangat cepat tersebut mengakibatkan partikel
koloid menjadi tidak stabil karena adanya penguraian menjadi partikel yang bermuatan
positif dan negatif. Ion-ion koloid yang terurai tersebut kemudian mengalami ikatan
ionic dengan senyawa koagulan yang digunakan sehingga akan terjadi ikatan antara
senyawa yang bermuatan positif dari koagulan dengan senyawa yang bermuatan negatif
dari partikel koloid tersebut yang membentuk suatu inti flok. Setelah inti flok terbentuk
maka dilakukan flokulasi dengan pengadukan lambat, dimana pada proses ini akan
terjadi penggabungan inti-inti flok melalui tumbukan antar inti flok dalam pengadukan
lambat membentuk flok yang lebih besar. Flok yang lebih besar tersebut umumnya akan
memudahkan dalam proses pengendapan sehingga partikel koloid tersebut dapat
dipisahkan dari limbah cair yang ada (Williams et al, 2007; Droste, 1997).
Gambar 1. Reaksi Koagulasi dan Flokulasi
Setelah terbentuk flok dalam proses koagulasi-flokulasi maka tahap berikutnya dalam
praktikum adalah melakukan penyaringan secara fisik kembali, penyaringan dilakukan
dengan menggunakan kertas saring. dimana hal ini dilakukan untuk memisahkan
endapan koloid dan partikel tersuspensi yang terbentuk pada saat proses koagulasi-
flokulasi.
Setelah sampel limbah susu kedelai tersebut disaring dipindah didalam ember dan
masuk pada tahapan penanganan sekunder selanjutnya adalah proses aerasi. Langkah-
langkah yang dilakukan yaitu sampel limbah yang sudah mengalami pengolahan
pertama, dimasukkan ke dalam gelas piala. Selanjutnya aerator dimasukkan dalam gelas
piala tersebut dan dilakukan proses aerasi selama 30 menit. Menurut teori Kusnaedi
(1998), proses aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapan O2 dari
udara pada sampel limbah olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan
agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air limbah olahan.
Reaksi kation dan oksigen menghasilkan okasidasi logam yang sukar larut dalam air
sehingga dapat mengendap. Proses aerasi terutama untuk menurunkan kadar besi (Fe)
dan magnesium (Mg). kation Fe2+ tau Mg2+bila disemburkan ke udara akan membentuk
oksida Fe2O3 dan MgO. Proses aerasi harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan.
Tujuan dari proses aerasi ini untuk menghilangkan zat–zat organik biodegradable yang
dapat diuraikan secara biologis. Dengan tahap proses aerasi ini, maka oksigen di dalam
air limbah cair akan meningkat dan mikroba–mikroba pengurai zat organik dapat
tumbuh optimal sehingga dapat menghilangkan zat–zat organik yang berada cairan
limbah dengan cara menguraikannya menjadi zat yang lebih sederhana. Selain itu tujuan
dari proses shaker (aerasi) ini adalah untuk menghomogenkan komponen–komponen
yang berada dalam limbah cair susu sehingga proses penguraian zat organik ini menjadi
optimal, dalam proses aerasi ini menggunakan alat yang disebut aerator dengan cara
selang aerator dimasukkan ke dalam cairan limbah hingga dasar sampai terjadi
gelembung-gelembung udara. Proses aerasi dilakukan selama 30 menit.
Setelah tahap proses aerasi, selanjutnya adalah proses penghilangan senyawa anorganik
dan organik. Proses ini termasuk dalam tahapan penanganan tersier. Menurut teori dari
Sugiharto (1987), pada tingkat lanjutan (tertiary treatment) ini bertujuan untuk
menghilangkan senyawa kimia anorganik seprti kalsium, kalium, sulfat nitrat,
phospordan lainnya serta senyawa organik. Proses fisika, kima dan biologis yang terjadi
pada pengolahan tingkat lanjut ini antara lain : filtrasi, destilasi, pengapungan,
pembekuan. Proses kimia meliputi adsorbsi karbon aktif, pengendapan kimia,
pertukaran ion, elektro kimia, oksidasi dan reduksi.
Percobaan ini dilakukan dengan penambahan karbon aktif kedalam sampel limbah susu,
proses ini disebut dengan absorbsi. Karbon aktif yang ditambahkan adalah 3 gram
karbon aktif setiap 200 ml air limbah.dalam kelompok kami menggunakan karbon aktif
sebanyak 15 gram. Menurut teori Sugiharto (1987), karbon aktif mempunyai luas
permukaan yang besar sehingga dapat mempunyai daya serap yang baik, dan dapat
mengikat benda – benda organik dan partikel – partikel lain dengan baik didalam
sampel limbah. Penambahan karbon aktif ini merupakan proses tertiary treatment
karena bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik sehingga diharapkan
pada sampel limbah yang dihasilkan menjadi lebih jernih. Penjernihan air limbah
dipergunakan untuk mengurangi pengotoran bahan – bahan organik, partikel – partikel
termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) ataupun gabungan
antara bau, warna dan rasa.
Setelah proses penambahan karbon aktif dilakukan pengadukan selama 10 menit yang
bertujuan agar penyerapan oleh karbon aktif berjalan optimal sehingga limbah cair yang
dihasilkan benar – benar jernih. Setelah pengadukan dilanjutkan dengan penyaringan
dengan menggunakan kertas saring sehingga dihasilkan cairan limbah yang jernih.
Setelah proses absorbsi dan penyaringan,selanjutnya adalah proses desinfeksi. Menurut
teori Volk & Wheeler (1993), desinfeksi merupakan suatu proses penting dalam
pengendalian penyakit, karena tujuannya adalah membasmi bakteri patogen. Sehingga
tujuan utama dari proses ini adalah menurunkan atau menghilangkan mikroba patogen
dalam air limbah. Untuk melakukan proses desinfeksi ini dengan cara penambahan
desinfektan berupa klorin. Menurut teori Jenie & Rahayu (1993), klorin mempunyai
peranan penting dalam mengatasi limbah pertanian. Karena cara kerjanya yang dapat
mereduksi konsentrasi bakteri selain itu juga digunakan untuk mengatasi bau yang
timbul dari limbah.
Setelah proses desinfeksi selanjutnya adalah tahap penetralan. Untuk menetralkan pH
air limbah jika pH asam ditambahkan sedikit demi sedikit larutan NaOH 5% dan apabila
pH basa ditambahkan sedikit demi sedikit larutan HCI 5% hingga pH nya mendekati
netral. Hasil pH kloter kami didapatkan pada kelompok D1 hingga D3 yang
menggunakan sampel limbah susu kedelai diperoleh pH rata-rata sebesar 7,06. Menurut
teori Hammer & Hammer (1996), konsentrasi air limbah normal tingkat keasamannya
berkisar antara 6,5 – 8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi
mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Air menjadi asam
karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida.
Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang
mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida.
Setelah proses treatment, selanjutnya dilakukan pengamatan fisik meliputi bau, warna,
kekeruhan, suhu dan analisa padatan. Pada pengamatan fisik terlihat bahwa bau dari
limbah susu kedelai sangat berbau sama seperti sebelum dilakukannya treatment
khusus. Sedangkah untuk warna limbah tetap sama yaitu bening dan kekeruhan sama
dengan sebelum treatment yaitu agak keruh. Hal ini dapat dikatakan bahwa limbah yang
digunakan untuk uji treatment sama karakteristiknya dengan sampel limbah sebelum
dilakukan treatment khusus. Sedangkan untuk suhu, hasil sebelum dan sesudah
treatment yaitu sama dengan rata-rata suhu 61,5○C.
Analisa yang diteliti selanjutnya yaitu analisa padatan yang menghitung TS (total solid)
dengan cara cawan porselin kosong dioven selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam
desikator selama 10 menit. Kemudian sampel air limbah sebanyak 2 ml dimasukkan ke
dalam cawan porselin. Setelah itu sampel dikeringkan kedalam oven bersuhu 103-105C
selama 24 jam. Untuk analisa TS ini, dilakukan dua kali pengulangan. Setelah
dikeringkan dalam oven, cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam desikator
selama 10 menit,dan ditimbang hingga tercapai berat konstan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hammer & Hammer (1996) bahwa total solid adalah jumlah bahan yang
tertinggal di dalam cawan setelah evaporasi sampel air limbah setelah mengalami proses
pengeringan di oven dengan suhu 103-105C. Jika dilihat dari data yang didapat dari
kelompok 1 hingga 3 yang diambil nilai rata-ratanya, nilai TS tertinggi pada kelompok
D1 sebesar 11.000 mg/L, sedangkan nilai TS terendah pada kelompok D3 sebesar
10.000 mg/L, lalu untuk kelompok D2 nilai TS sebesar 10.500 mg/L. Data nilai rata-
rata TS setelah treatment yaitu dengan nilai TS terbesar pada kelompok D1 110.500
mg/L dan terendah pada kelompok D2 67.500 mg/L, sedangkan untuk kelompok D3
sebesar 92.00 mg/L. Dalam hasil pengamatan ini maka terjadi peningkatan TS pada
semua kelompok, hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous (1981) bahwa
setelah dilakukannya treatment pada air limbah maka TS akan berkurang. Hal ini dapat
disebabkan saat proses koagulasi kurang maksimal karena saat pencampuran air limbah
dengan karbon aktif tidak dapat tercampur semua sehingga masih ada sisa karbon aktif
yang menggumpal dan berwarna hitam. Kemudian setelah dilakukan penyaringan
dengan kain saring dan kertas saring sebanyak 2 kali sampel limbah tersebut masih
berwarna keruh dan masih terdapat padatan yang tertinggal dengan warna hitam atau
bawaan dari karbon aktif. Namun menurut Mahida (1981) limbah cair pasti
mengandung benda-benda padat yang mengandung zat organik dan zat anorganik.
Analisa selanjutnya yaitu mengukur total suspended solid (TSS) dengan cara kertas
saring dioven pada suhu 105C selama 1 jam, lalu dimasukkan dalam desikator selama
10 menit, kemudian ditimbang hingga berat konstan. Kemudian sampel air limbah
sebanyak 50 ml disaring dengan menggunakan kertas saring. Lalu kertas saring berisi
residu hasil penyaringan limbah diletakkan pada cawan porselin dan dikeringkan dalam
oven pada suhu 105C selama 24 jam. Untuk analisa TSS ini, dilakukan dua kali
pengulangan. Setelah 24 jam dioven, kertas saring diambil dan dimasukkan ke dalam
desikator selama 10 menit, kemudian dilakukan penimbangan hingga tercapai berat
konstan. Cara kerja yang dilakukan diatas sesuai dengan pernyataan Jenie & Rahayu
(1993) bahwa padatan tersuspensi total adalah residu yang tidak lolos saringan dan
penetapannya dengan cara menyaring sejumlah limbah melalui filter membran dan
dikeringkan pada oven dengan suhu 103-105C selama 24 jam. Dari hasil pengamatan
sebelum melalui proses treatment maka diperoleh hasil rata-rata nilai TSS tertinggi pada
kelompok D1 sebesar 1.040 mg/L sedangkan nilai TSS terendah pada kelompok D2 570
mg/L dan untuk kelompok D3 sebesar 680 mg/L. Sedangkan untuk nilai rata-rata TSS
sehabis treatment yaitu nilai tertinggi pada kelompok D2 3.800 mg/L dan teredah pada
kelompok D1 2.500 mg/L serta untuk kelompok D3 sebesar 3.600 mg/L. Dapat dilihat
bahwa nilai TSS mengalami peningkatan pada semua kelompok setelah ditreatment, hal
ini tidak sesuai karena seharusnya nilai TSS setelah proses treatment mangalami
penurunan. Hal ini dapat disebabkan proses treatment yang tidak maksimal ketika
dilakukan koagulasi sehingga pada saat penyaringan masih ada sisa padatan yang belum
terkoagulasi dan berhasil lolos dari kertas saring.
Analisa yang dilakukan selanjutnya adalah pengujian TDS (Total Dissolved Solid)
dengan cara mengurangkan nilai TS dengan TSS. Karena bahan yang tidak terlarut atau
residu yang tidak tersaring dapat ditentukan dengan perhitungan yaitu dengan
pengurangan antara konsentrasi padatan tersuspensi dan konsentrasi padatan total
(Hammer & Hammer, 1996). Dari hasil pengamatan sebelum dilakukan treatment maka
nilai rata-rata TDS yang diperoleh yaitu nilai tertinggi pada kelompok D1 sebesar 9.960
mg/L dan terendah pada kelompok D3 9.320 mg/L serta pada kelompok D2 sebesar
9930 mg/L. Data setelah dilakukan treatment diperoleh nilai rata-rata tertinggi pada
kelompok D1 108.000 mg/L dan nilai TDS terendah pada kelompok D2 63.700 mg/L
serta untuk kelompok D3 sebesar 88.900 mg/L. Dari data tersebut dapat dianalisa bahwa
nilai TDS mengalami peningkatan nilai setelah dilakukannya proses treatment. Hal ini
tidak sesuai karena seharusnya nilai TDS mengalami penurunan, hal ini dapat
disebabkan karena nilai TS dan TSS setelah proses treatment uga mengalami
peningkatan yang disebabkan proses treatment yang tidak maksimal ketika proses
koagulasi dan penyaringan.
Setelah pengujian fisik maka dalam air limbah ini juga dilakukan uji kimiawi yang
meliputi pengukuran pH, COD dan BOD. Pada taapan awal dilakukan pengukuran pH,
data yang diperoleh sebelum treatment adalah kelompok D1 sebesar 4,74, kelompok D2
sebesar 4,72 dan kelompok D3 sebesar 4,665. Nilai pH setelah dilakukan treatment
yaitu pada kelompok D1 sebesar 7,08, kelompok D2 sebesar 7,08 dan kelompok D3
sebesar 7,03. Dari data tersebut maka hasil setelah treatment mencapai pH yang sesuai
jika dibuang ke badan air. Karena menurut Sugiharto (1987) bahwa konsentrasi pH
normal diantara pH 6 hingga pH 8 serta air buangan yang memiliki ph yang tinggi atau
rendah maka dapat menyebabkan mikroorganisme yang diperlukan air tidak dapat
hidup, sehingga jika pH netral maka tidak berbahaya bagi kelangsungan kehidupan di
air dan kualitas air yang tidak tercemat oleh limbah.
Selanjutnya akan dilakukan analisa COD, analisa COD (Chemical Oygen Demand)
merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan dalam mg/L atau ppm yang dibutuhkan
dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi (Suhardi,
1991). Analisa COD dilakukan dengan cara limbah air hasil treatment sebanyak 10 ml
diencerkan dengan aquades hingga tanda tera dalam labu takar 100 ml. Hasil
pengenceran air limbah tersebut diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan kedalam
tabung erlenmeyer. Kemudian ditambah dengan 1 ml HgSO4 dan 20 ml K2Cr2O7. Selain
itu dibuat juga blanko dengan cara yang sama, namun sampel yang digunakan adalah
aquades sebanyak 10 ml. Penambahan larutan tersebut sesuai dengan Hammer&
Hammer (1996) bahwa pengujian COD menggunakan larutan HgSO4 dan K2Cr2O7.
Penambahan larutan ini berfungsi untuk mengasamkan larutan sehingga reaksi oksidasi
– reduksi terjadi secara maksimal (Suhardi, 1991). Pembuatan blangko bertujuan untuk
mengoreksi kesalahan yang dapat teradi karena adanya bahan organik dalam reagen.
Selanjutnya campuran larutan tersebut dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100C,
lalu didinginkan. Setelah dingin, larutan tersebut diambil sebanyak 10 ml lalu
ditambahkan 1,5 ml larutan KI 10%. Sesaat sebelum titrasi, larutan ditambah dengan 2
ml amilum. Penambahan KI menyebabkan terjadi reaksi antara ion K dengan oksigen
yang dibebaskan dari reaksi oksidasi diatas. Sedangkan untuk penggunaan amilum akan
menghasilkan warna biru tua hasil dari reaksi antara molekul-molekul pati dengan iodin
(Suhardi, 1991). Kemudian titrasi dengan Na2S2O30,1 N hingga larutan berubah warna
menjadi biru bening. Untuk uji COD ini, dilakukan pengulangan sampel limbah hasil
treatment sebanyak 2 kali.
Data yang dihasilkan dari data sebelum treatment yaitu diperoleh nilai rata-rata COD
tertinggi pada kelompok D2 sebesar 28.560 mg/L sedangkan nilai COD terendah pada
kelompok D1 3.788 mg/L sedangkan untuk kelompok D3 sebesar 20.200 mg/L. Untuk
data setelah treatment nilai rata-rata COD tertinggi pada kelompok D1 sebesar 14.080
mg/L dan terendah pada kelompok D3 -635,12 mg/L sedangkan D2 sebesar 480 mg/L.
Dari hasil tersebut pada kelompok D1 mengalami kenaikan nilai COD sedangkan untuk
kelompok D2 mengalami penurunan nilai COD. Seharusnya nilai COD mengalami
penurunan seperti kelompok D2 tetapi yang terjadi pada kelompok D1 terjadi
peningkatan nilai COD, hal ini dapat disebabkan karena pada saat titrasi kurang teliti
dalam melakukannya. Sedangkan untuk kelompok D3 nilai COD negatif, hal ini dapat
terjadi karena volume Natrium Tiosulfat pada saat titrasi tinggi dan kemungkinan terjadi
kebocoran saat penyaringan. Nilai COD yang tinggi dapat menyebabkan pencemaran di
dalam air karena terdapat zat-zat organik yang berasal dari berbagai sumber dan limbah
susu kedelai mengandung zat-zat organik yang cukup banyak sehingga dapat
mencemari air (Suhardi, 1991).
Uji yang dilakukan selanjutnya yaitu BOD (Biological Oxygen Demand) pada air
limbah susu kedelai. Uji BOD merupakan jumlah oksigen terlarut yang digunakan oleh
kegiatan kimia atau mikrobiologik. Oksigen digunakan untuk oksidasi bahan organik
sehingga BOD menunjukkan indikasi kasar jumlah kandungan bahan organik dalam
contoh tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Penentuan BOD perlu dilakukan karena di
dalam air limbah akan ada penguraian zat organik oleh bakteri. Penguraian zat organis
terjadi secara alami karena saat badan air tercemar oleh zat organis dan zat ini
terkontaminasi maka akan terjadi proses oksidasi yang dapat menyebabkan kematian
pada ikan (Alaerts & Santika, 1984). Uji BOD dilakukan dengan cara limbah air susu
kedelai sebanyak 100 ml diencerkan hingga 1000 ml dengan air aerasi. Pengenceran
dilakukan untuk mengantisipasi limbah yang memiliki kandungan yang tinggi.
Sebanyak 600 ml yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam botol BOD yang
berwarna coklat. Untuk uji pengamatan dilakukan pengambilan sampel limbah
sebanyak 400 ml. Sedangkan untuk sisa sampel limbah sebanyak 400 ml yang sudah
diencerkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah dengan 3 ml KI, 3 ml
MnSO4, lalu didiamkan selama 15 menit. Penambahan MnSO4 akan menyebabkan
oksidasi MnSO4 oleh oksigen sehingga menghasilkan endapan MnSO4 (Alaerts &
Santika, 1984). Kemudian, dilakukan penambahan H2SO4 pekat 98% sebanyak 3 ml.
Dari campuran larutan tersebut, diambil sebanyak 200 ml dan ditambah dengan 2 ml
amilum, lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,01 N hingga warna larutan berubah menjadi
bening, begitu pula dengan 200 ml lainnya. Sedangkan untuk pengukuran nilai BOD5
digunakan untuk mengukur polusi baik pada air limbah maupun air tanah. Nilai yang
menjadi parameter adalah hasil pengukuran dari oksigen terlarut yang digunakan oleh
mikroorganisme dalam oksidasi biokimia. Inkubasi dilakukan selam 5 hari dan
disimpan pada suhu ruang (Tchobanoglous, 1981).
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan analisa BOD dan BOD5 pada limbah cair
susu kedelai dengan sampel sebanyak 100 ml diperoleh nilai volume Na2S2O3 tiap
kelompok nilai voleme BOD5 lebih rendah dibandingkan dengan volume Na2S2O3 pada
analisa BOD0, serta diperoleh nilai rerata BOD tiap kelompok tertinggi pada kelompok
D1 sebesar 110,2 mg/L dan terendah pada kelompok D2 26 mg/L sedangkan untuk
kelompok D3 sebesar 65,5 mg/L. Jika dibandingkan dengan baku mutu limbah maka
nilai BOD pada masing-masing kelompok relatif aman karena dibawah 150 mg/L.
Sehingga jika limbah hasil treatment ini dibuang ke lingkungan aman karena nilai BOD
sesuai dengan syarat yang diberikan oleh pemerintah mengenai baku mutu limbah.
Hasil pengamatan limbah susu kedelai setelah proses treatment pada praktikum ini yaitu
nilai temperatur, BOD, COD, TSS, pH akan dibandingkan dengan baku mutu limbah
keluaran produk olahan kedelai. Temperatur air limbah pada saat praktikum yaitu
61,5○C sedangkan pada baku mutu limbah sebesar 38○C, suhu yang tinggi pada saat
praktikum dikarenakan air limbah yang masih panas sehabis proses pembuatan susu
kedelai. Untuk nilai TSS hasil pengamatan pada saat praktikum yaitu diantara 2500
hingga 3600 mg/L, hal ini tidak sesuai dengan baku mutu limbah yang ditentukan oleh
pemerintah yaitu 275 mg/L. Nilai COD yang dihasilkan setelah proses treatment pada
semua kelompok memiliki nilai diantara -635,12 hingga 14.080 mg/L sehingga tidak
sesuai dengan baku mutu limbah yaitu sebesar 275 mg/. Sedangkan untuk nilai BOD
yang didapat dari hasil praktikum yaitu diantara 26 hingga 110,2 sehingga sesuai
dengan baku mutu limbah yaitu sebesar 150 mg/L. Untuk nilai pH setelah proses
treatment yaitu pH 7,03 dan 7,08 sehingga sesuai dengan baku mutu limbah yang
menentukan bahwa nilai pH diantara 6-9. Jika dilihat dari perbandingan diatas nilai
COD dan TSS tidak sesuai dengan baku mutu limbah sehingga jika dibuang ke
lingkungan belum memenuhi standar. Untuk nilai BOD dan pH sudah sesuai dengan
baku mutu limbah karena nilai BOD dibawah baku mutu limbah dan nilai pH diantara
nilai yang ditetapkan sebagai baku mutu limbah. Untuk temperatur sendiri suhu saat
praktikum cukup tinggi dikarenakan sampel air limbah masih dalam keadaan panas
sesudah proses pengolahan susu kedelai.
20
3. KESIMPULAN
Treatment yang dilakukan pada praktikum ini yaitu perlakuan pendahuluan, primary
treatment, secondary treatment, tertiaryy treatment, desinfeksi dan netralisasi.
Prymary treatment dilakukan dengan cara penyaringan dan koagulasi.
Bahan yang digunakan sebagai koagulan yaitu Ca(OH)2
Secondary Treatment dilakukan dengan cara aerasi.
Proses aerasi bertujuan untuk memproduksi oksigen sehingga mikroba yang
membantu proses aerasi dapat hidup.
Tertiary Treatment dilakukan dengan cara penambahan karbon aktif dalam proses
absorbsi.
Desinfeksi bertujuan untuk menghilangkan mikroba patogen.
Netralisasi bertujuan untuk menetralkan pH, jika pH air limbah asam maka ditambah
NaOH sedangkan jika pH basa ditambahkan HCl.
Analisa padatan yang dihasilkan setelah treatment mengalami peningkatan jumlah
nilainya.
pH yang dihasilkan setelah treatment yaitu netral pada pH 7,03 dan 7,08.
Pada analisa TS, TSS, TDS, dan COD terjadi peningkatan jumlah setelah
dilakukannya treatment.
Nilai TSS dan COD hasilnya diatas baku mutu limbah.
Nilai BOD yang dihasilkan pada praktikum ini dibawah baku mutu limbah.
Semarang, 22 September 2014 Praktikan, Asisten DosenYohana Christin N. 12.70.0051 - Melita Noveliani AtmajaMyriam Theresa Angen 12.70.0083M.E. Yuliana Puspa S. 12.70.0128Yeremia Adi 12.70.0152Tri Kurnia Utami 12.70.0189
20