Upload
amalia-mia-zena
View
1.148
Download
66
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
MODUL BIOPHARMACEUTICS AND PHARMACOKINETICS
HARI/TANGGAL :Rabu, 04 Desember 2013
KELOMPOK : 2
NAMA ANGGOTA (NIM) :
1. Ahmadun (312110005)
2. Ashabul Kahfi (312110008)
3. Mia Zena Amalia (312110028)
4. Nia Rizki R. (312110033)
5. Siti Zaenab Y. (312110044)
6. Wahyu Nur Azizah (312110047)
7. Zahrina Failusufia (312110049)
PRODI FARMASIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG
2013
LBM IIIPRAKTIKUM I
PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DALAM
FARMAKOKINETIKA
I. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan menentukan profil farmakokinetika
paracetamol serta model kompartemennya.
2. Mahasiswa memahami faktor serta parameter yang berpengaruh pada
pemilihan model kompartemen farmakokinetika suatu obat.
II. DASAR TEORI
Penetapan waktu pengambilan sampel merupakan tahap penting yang harus
diketahui setelah memahami cara analisa obat dalam cairan hayati dengan
menetapkan waktu pengambilan cuplikan.
Setelah memahami analisis obat dalam cairan hayati dan dikuti dengan
perkiraan model kompartemen. Kedua factor ini saling terkait sehingga kesalahan
waktu pengambilan cuplikan dapat menyebabkan kesalahan dalam penentuan model
kompartemen.(Shargel, L and Yu.,1998)
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati Sesuai
dengan takrif parameter farmakokinetika yang dimaksud cuplikan hayati meliputi
darah dan urin.Sebenarnya dalam penelitian farmakokinetika dapat pula dikerjakan
dengan cuplikan hayati lainnya seperti saliva. Namun, darah dan urin yang paling
banyak dipergunakan. Strategipemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan
cuplikan darah dan urin, sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika yang
dipergunakan.Jika cuplikan darah yang dipergunakan, pengambilan cuplikan
dianjurkan berlangsung selama 3 — 5 kali harga waktu paruh eliminasi (tlh) obat
yang diuji. Dan 7 — 10 kali th obat. Jika cuplikan urin yang dipergunakan, yakni
praktis 99,2 — 99,9% obat telah diekskresikan .(Ritschell, W. A, 1980)
Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, Berhubungan dengan
asumsi model kompartemen. Jika kinetika obat mengikuti model dua kompartemen
terbuka, dianjurkan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3 kali pada tahap
absorpsi, 3 kali pada sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada
tahap eliminasi. Keadaan ini diperlukan untuk mendapatkan data kadar obat dalam
darah lawan waktu yang cukup untuk mengetahui evaluasi parameter farmakokinetika
obat. Pengambilan cuplikan pada tahap distribusi tidak diperlukan, jika kinetika obat
mengikuti model satu kompartemen terbuka. (Ritschell, W. A, 1980)
Ketentuan penetapan waktu sampling:
1. Lama pengambilan cuplikan dilakukan (3-5) x t ½ eliminasi obat ( data
darah )
2. Lama pengambilan cuplikan dilakukan (7-10) x t ½ eliminasi obat ( data urin )
3. Frekuensi pengambilan cuplikan setidaknya 3 titik pada fase absorbsi
(ekstravaskular), 3 titik sekitar puncak kurva, 3titik pada fase distribusi (pada
model 2 kompartemen) dan 3 titik pada fase eliminasi. (Ritschell, W. A, 1992)
Waktu pengambilan cuplikan optimal perlu diperhatikan, karena dapat
mempengaruhi kesahihan penetapan asumsi model kompartemennya. Halini dapat
dikerjakan dengan penelitian pendahuluan atau orientasi. (D. Argenio DZ.,1981).
Orientasi dalam penelitian farmakokinetika setelah pemberian obat secara
intravena memiliki banyak keuntungan. Di antaranya, sensitivitas dan selektivitas
metode penetapan kadar sebagai fungsi cara pemberian dapat segera ditentukan. Hal
ini terjadi karena obat langsung menuju aliran darah sistemik, sehingga kadar
tertinggi dan terendah obat di dalam tubuh dapat diketahui. Keadaan ini akan
menggambarkan pula kadar tertinggi obat setelah pemberian oral, jika obat diabsorpsi
dengan sempurna. Dengan mengetahui kadar tertinggi ini, sensitivitas metode
penetapan kadar segera dapat ditetapkan, yakni sampai kurang lebih 10 - 20% kadar
tertinggi obat (80 - 90% obat telah di ekskresikan). Dalam orientasi intravena
tersebut, beberapa cuplikan harus diperoleh pada jam pertama setelah pemberian
obat, diikuti setiap jam untuk periode jam ke 8 - 12 berikutnya, dan beberapa
cuplikan lagi sampai jam ke 48. Ini diperlukan untuk mengevaluasi kemungkin
anasumsi model kompartemennya. Setelahorientasi intravena, sebaiknya juga
dilakukan orientasi cara pemberian lain ekstravaskular, agar adanya pengaruh
fisiologis pada proses absorpsi obat dapat diketahui sejak dini. (D. Argenio
DZ.,1981)
Penetapanwaktu sampling jika data parameter farmakokinetika belum ada:
1. Percobaan pendahuluancari senyawa derivatnya.
2. Waktu sampling dicari setelah pemberian intra vena.
3. Kadar obat dalam plasma sebaiknya dimonitor sampai 3 jam setelah
pemberian.
4. Pengambilan cuplikan 4-6 titik pada jam-jam pertama setelah pemberian obat.
Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat:
Pemilihan takaran dosis yang akan diberikan pada hewan uji melalui uji
praklinik, dapat didasarkan pada data harga LDso senyawa yang akan diuji. Namun
perlu diingat dalam mempergunakan data harga LDso tersebut, yakni cara pemberian
senyawa selama penelitian toksisitas akutnya. Jika dalam penelitian toksisitas akut,
senyawa diberikan dalam bentuk larutan, maka takaran dosis dipilih yang betul-betul
memiliki batas keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sedang jika senyawa
atau obat diberikan dalam bentuk sediaan padat atau suspensi, serta telah diketahui
memiliki harga LDso yang sangat tinggi, maka batas keamanan yang besar tidak
diperlukan. (Kaplan, S.A.,1973)
Perbandingan harga LDso oral lawan intravena dapat dikerjakan untuk
memperoleh informasi terhadap masalah absorpbabilitas sebagai fungsi cara
pemberian oral. Hal ini tentunya akan berguna dalam memperkirakan efek toksik
sebagai fungsi kenaikan takaran dosis. Jika informasi ini tidak tersedia, maka dapat
dipergunakan harga LDso intravena sebagai dosis awal penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan, yakni sebesar5 - 10% LD5 intravena. (Kaplan, S.A.,1973)
Selain parameter- parameter famakologi dan toksikologi tersebut di atas, pemilihan
takaran dosis juga berkaitkan dengan sensitivitas metode penetapan kadar obat tak
berubah atau metabolitnya. Maksudnya takaran dosis yang diberikan mampu
menjamin pengukuran kadar obat atau metabolit pada jarak waktu tertentu, sehingga
diperoleh data yang cukup untuk evaluasi farmakokinetika.Suatu hal yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan takaran dosis ini adalah adanya fenomena "kinetika
tergantung dosis". Yakni suatu fenomena yang menunjukkan adanya perubahan
parameter farmakokinetika obat bila takaran dosisnya diubah. Keadaan ini berkaitan
dengan asumsi ordo kinetika obat tersebut . Kinetika obat diasumsikan mengikuti
ordo nol bila menunjukkan fenomena kinetika tergantung dosis. Hal ini perlu
diperhatikan, karena akan menentukan rumus matematik yang dipergunakan untuk
menghitung parameter farmakokinetikanya. Jika mengikuti ordonol, perhitungannya
mengikuti rumus pada farmakokinetika non-liniair. Hal ini berbeda jika asumsinya
mengikuti ordo pertama, yakni parameter farmakokinetika obat tidak dipengaruhi
oleh perubahan dosis (farmakokinetikaliniair). Fenomenakinetika tergantung dosis
dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya : (1) obat diberikan dalam dosis besar,
sehingga kapasitas proses metaboliknya dilampaui, (2) bila terjadi kompetisi antara
dua obat yang berbeda atas satu macam proses metabolisme, (3) jika zat pembawa
bagi transport aktif suatu obat mengalami kejenuhan. (Ritschell, W. A, 1980)
Keadaan ini dapat diketahui dengan menghitung waktu paruh (t½) eliminasi
obat, setelah pemberian beberapa takaran dosis yang berbeda. Jika harga yang
ditujukan obat berbeda - beda, berartikinetika obat mengikuti ordo nol atau
tergantung dosis. (Shargel, L and Yu.,1980)
Bentuk sediaan obat yang akan diberikan juga harus dipilih dengan hati - hati,
terutama pada penelitian pendahuluan pada tahap praklinis. Pertama kali, obat
diberikan dalam bentuk larutan baik secara oral maupun intravena. Baru kemudian
dikembangkan kebentuk sediaan lain. Baik takaran dosis maupun bentuk sediaan obat
biasanya sudah tidak begitu menjadi masalah bagi uji klinis.
Pemilihan pengambilan darah dilakukan karena , karena darah merupakan
tempat yang paling cepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat di
dalam badan. Paling logis karena darahlah yang mengambil obat dari tempat absorpsi,
mendistribusikan ke jaringan sasaran, serta menghantarkan ke organ eliminasi.Kedua,
bagi kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah merupakan senyawa yang memiliki
aktivitas farmakologik. Karenanya, penetapan kadar pada cuplikan darah akan
memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi. Jika
tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yang tersedia, atau jika level
darah pada pemberian dosis normal, sangat rendah untuk dapat ditetapkan dengan
tepat, maka penetapan kadar obat pada cuplikan urin merupakan alternatifnya.
Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada darah,
terutama jika obat diekskresikan ke dalam urin secara sempurna dalam bentuk tak
berubah. Karena selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di
dalam badan, juga karena variabilitas clearance renal dapat diabaikan. Keterbatasan
penggunaan cuplikan urin di antaranya karena sulitnya pengosongan kandung
kencing, kemungkinan terjadinya dekomposisi obat selama penyimpanan, dan
kemungkinan terhidrolisnya konyugat metabolit yang tidak stabil di dalam urin,
sehingga dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang
dieksresikan pada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi kesalahan penafsiran
terhadap harga ketersediaan hayati obat yang diteliti Dari uraian di atas jelas terlihat
bahwa ketetapan pemilihan cuplikan hayatiakan mempengaruhi kesahihan hasil uji.
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan Hayati
Sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika, yang dimaksud cuplikan
hayati meliputi darah dan urin.Sebenarnya dalam penelitian farmakokinetika dapat
pula dikerjakan dengan cuplikan hayati lainnya seperti saliva.Namun, karena darah
dan urin yang paling banyak dipergunakan, dalam kesempatan ini hanyaakan
dijelaskan strategi pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan darah
dan urin, sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika.Jikacuplikan darah yang
dipergunakan, pengambilan cuplikan dianjurkan berlangsung selama 3 — 5 kali harga
waktu paruh eliminasi (tlh) obat yang diuji. Dan 7 — 10 kali th obat. Jika cuplikan
urin yang dipergunakan, yakni praktis 99,2 - 99,9% obat telah diekskresikan
Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, erat kaitannya dengan
asumsi model kompartemen badan. Jika kinetika obat mengikuti model dua
kompartemen terbuka, dianjurkan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3
kali pada tahap absorpsi, 3 kali pada sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan
3 kali pada tahap eliminasi. Keadaan ini diperlukan untuk mendapatkan data kadar
obat dalam darah lawan waktu yang cukup untuk evaluasi parameter farmakokinetika
obat. Pengambilan cuplikan pada tahap distribusi tidak diperlukan, jika kinetika obat
mengikuti model satu kompartemen terbuka.
Waktu pengambilan cuplikan yang optimal ini perlu diperhatikan, karena akan
menentukan kesahihan penetapan asumsi model kompartemennya. Hal ini dapat
dikerjakan dengan penelitian pendahuluan atau orientasi.Orientasi dalam penelitian
farmakokinetika setelah pemberian obat intravena memiliki banyak keuntungan.
Diantaranya, sensitivitas dan selektivitas metode penetapan kadar sebagai fungsi cara
pemberian dapat segera ditentukan. Mengapa demikian? Karena obat langsung
ditempatkan dalamaliran darah, sehingga kadar tertinggi dan terendah obat yangada
di dalam badan segera dapat diketahui. Keadaan ini akanmenggambarkan pula kadar
tertinggi obat setelah pemberianoral, jika obat diabsorpsi dengan sempurna. Dengan
mengetahui kadar tertinggi ini, sensitivitas metode penetapan kadar segera dapat
ditetapkan, yakni sampai kurang lebih 10 - 20% kadar tertinggi obat (80 - 90% obat
telah diekskresikan). Dalam orientasi intravena tersebut, beberapa cuplikan harus
diperoleh pada jam pertama setelah pemberian obat, diikuti setiap jam untuk periode
jam ke 8 — 12 berikutnya, dan beberapa cuplikan lagi sampai jam ke 48.Ini
diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan asumsi model kompartemennya.
Setelah orientasi intravena, sebaiknya juga dilakukan orientasi cara pemberian lain
ekstravaskular, agar adanya pengaruh fisiologis pada proses absorpsi obat dapat
diketahui sejak dini.
Analisis dan evaluasi
Hasil Analisis data uji coba dan evaluasi hasil penelitian merupakan tahap
terakhir penelitian farmakokinetika. Karenanya, tidaklah berlebihan jika dalam
serangkaian pengkajian tahap terakhir penelitian ini diperlukan kecermatan dan
ketelitian dalam menganalisis data, serta pengetahuan klinis maupun formulasi
farmasetik. Data uji coba yang pertama kali perlu dianalisis adalah sederetan kadar
obat tak berubah atau metabolitnya di dalam darah atau urin, pada sederetan waktu
tertentu. Sebelum data tersebut dipergunakan untuk menghitung parameter
farmakokinetika, langkah pertama yang dikerjakan adalah menetapkan model
kompartemen badan yang diikutinya. Langkah ini penting, karena akan menentukan
penerapan rumus matematik yang akan dipergunakan untuk menghitung parameter
farmakokinetika. Analisis kompartemen ini dapat dikerjakan dengan memplotkan
data kadar obat tak berubah dalam darah lawan waktu pada kertas grafik
semilogaritmik, atau plot log kecepatan ekskresi (dAe/dt) lawan waktu pada kertas
grafik numerik. Jika data urin yang dipergunakan.Dengan melihat adanya fase
distribusi (yakni grafik bifasik untuk pemberian intravena dan grafik trifasik untuk
pemberian oral), kinetika obat dapat dikatakan mengikuti model dua kompartemen
terbuka.Jika fase distribusi ini tidak terlihat pada grafik, maka kinetika obat pada
umumnya dikatakan mengikuti model satu kompartemen terbuka. Namun, perlu
dicatat bahwa keadaan ini hanya berlaku jika tetapan kecepatan distribusi (alfa)
diasumsikan harganya lebih besar dari pada tetapan kecepatan absorpsinya (ka),pada
pemberian obat secara oral.
Notari (1980) menyatakan, kinetika obat akan mengikuti model satu
kompartemen terbuka, jika harga tetapan kecepatan distribusi antar kompartemen
(k12 + k21) sama atau lebih besar dari pada 20 kali harga tetapan kecepatan
eliminasinya (Kel). Dengan perkataan lain, kinetika obat mengikuti model dua
kompartemen terbuka, jika harga tetapan kecepatan distribusi antar kompartemen
yang diperoleh itu lebih kecil daripada 20 kali harga tetapan kecepatan eliminasinya
(k12 + k21=<Kel).
Kecermatan mengasumsikan model kompartemen ini pen-ting sekali dalam
memperoleh ketepatan perhitungan parameter farmakokinetika obat. Misalnya kita
menghitung waktuparuh eliminasi obat dengan asumsi kinetikanya mengikutimodel
satu kompartemen terbuka, padahal sebenarnya mengikutimodel dua kompartemen
terbuka, maka harga yang diperoleh akan lebih besardaripada harga sesungguhnya
(t1⁄2=0,693/Keluntuk model satu kompartemen, t1⁄2 =0,693/Q untuk model dua
kompartemen, dan harga B selalu lebih besar dari pada harga Kel).
Kesalahan penafsiran model kompartemen ini biasanya disebabkan oleh
ketidakcermatan dalam menetapkan waktu pengambilan cuplikan hayati, yakni tidak
mengambil cuplikan hayati pada fase distribusi obat, seperti dicontohkan pada
gambar 2. Jelas terlihat pada gambar 2 tersebut, harga t1⁄2, AUC, dan Cpo (kadar obat
dalam darah pada waktu nol) yang dihitung dengan asumsi model satu kompartemen,
berbeda dengan yang dihitung berdasarkan asumsi model dua kompartemen terbuka.
Model Farmakokinetik
Model farmakokinetik diperlukan sebagai model yang menggambarkan
distribusi obat
1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke
suatu kompartemen sentral.Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-
jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan
obat.Model mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara
erat, karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem tersebut
dapat diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu.
Menurut Mammillary model kompartemen dibagi menjadi :
a) Kompartemen satu terbuka iv
Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab distribusi
tidak diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu eliminasi).
b) Kompartemen satu terbuka ev
Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami absorbsi.
(Terdiri dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi).
c) Kompartemen 2 terbuka intravaskuler
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari sentral ke
perifer atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses eliminasi.
d) Kompartemen 2 terbuka ekstravaskuler Obat mengalami proses absorpsi
distribusi dan eliminasi.
2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam
model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri
atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu
deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih
kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.
3. Model Fisiologik (Model Aliran)
Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model perfusi,
merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik
yang diketahui. Makna yang nyata dari model fisiologik adalah dapat digunakannya
model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada manusia dari data hewan.
Jadi, parameter-parameter fisiologik dan anatomik dapat digunakan untuk
memprakirakan efek obat pada manusia berdasar efek obat pada hewan.
Pemerian :
Paracetamol (Asetaminofen)
N-(4-Hydroxyphenil) Acetamide (C8H9O2)
BM : 151,16
Mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO¬2
dihitung terhadap zat anhidrat.
Pemerian : serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam natriumhidroksida
1 N; mudah larut dalam etanol.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya.
Khasiat dan penggunaan : analgetikum, antipiretikum.
NaNO2( Natrium Nitrit)
Nama lain : Sodium nitrit, nitrous acid sodium salt, erinitrit,
NaNO2.
Pemerian : Putih atau sedikit kuning, granul higroskopis, batang
atau serbuk, sangat lambat teroksidasi menjadi nitrat di
udara.
Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air dingin, sedikit dalam
alcohol, Membusuk oleh asam dengan evolusi dari uap
coklat N2O3, larutan encer adalah alkali, pH sekitar 9.
TCA (Asam Trikloro Asetat)
C2HCl3O2
BM : 163,39
Asam trikloroasetat mengandung tidak kurang dari 98,0% C2HCl3O2
Pemerian : hablur atau masa hablur, sangat rapuh, tidak berwarna,
rasa lemah atau getir dank has.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, dalam etanol 95% dan
dalam eter
Ammonium Sulfamat
Nama lain : sulfamic acid monoamonium salt, AMS, Ameide,
Ammate.
Pemerian : Kristal higroskopis
Kelarutan : luar biasa larut dala air, cairan ammonia, sedikit larut
dalam etanol, cukup larut dalam glycerol, formamide, pH
dan larutan dalam air adalah 4,9; larutan encer stabil saat
mendidih.
Pembuatan larutan baku:
Na sulfadiamin ditimbangencerkan dalam aquadest larutkan dalam labu
ukur sampai batasnyagojok sampai larutan larut
N(1-naftil)-etilendiamin dihidroklorida
fungsi:untuk membentuk reaksi kopling
Pembuatan larutan baku:
1. Larutkan 3,723 g garan natrium EDTA dengan air suling dalam labu ukur 1000 ml
2. Tambahkan air suling sampai tepat tanda tera, sehingga dalam 1,00 ml larutan EDTA
0,01 M setara dengan 0,4008 mg Ca atau 1,0008 mg CaCo
Paracetamol
Larutan baku:
Timbang saksama sejumlah paracetamoL, larutkan dalam air hingga
kadar lebih kurang 12 mikrogram per ml.
Larutan uji saksama lebih kurang 120 mg,masukkan ke dalam labu
tentukur 500 ml
larutkan dalam 10 ml metanol P, encerkan dengan air sampai tanda.
Masukkan 5,0 ml larutan ke dalam labu tentukur 100 ml,encerkan
dengan air sampai tanda dan campur.
Ukur serapan larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang
serapan maksimum lebih kurang 244 nm,terhadap air sebagai blangko.
Hitung jumlah dalam mg
Rumus: 10 C (Au/As)
TCA
TCA 0,1 M
Larutan stok TCA 1M dibuat dengan cara melarutkan 16,339 gr TCA
dlm 100 ml aquadest
lalu diaduk dg pengaduk magnetik hingga homogen
Larutan kerja TCA 0,1M dibuat dg cara mengencerkan 10ml larutan
TCA 1M dg aquadest sampai volume 100 ml.
NaNO2
Pembuatan
Larutkan 15,0 gr natrium nitrit P dalam air secukupnya hingga 2000 ml.
Perhitungan:NaNo2 Na+ + NO2-
1 mol NaNO2 setara dengan 1 mol Na
Jadi, BE=BM=69,00.Tiap 1000 ml mengandung 6,900 gr NaNO2
Mg rek NaNO2 = Mg rek NaNO2
V x N = mg/BE
Mg = V x N x BE
Mg = 2000 ml x 0,1 M x 69,00
Mg = 13800 atau mg=13,80g
III. ALAT DAN BAHAN
I. Alat
1. Pipet Volume 0,1;0,2;1;2 ml
2. Pipet ukur 5 ml
3. Tabung reaksi atau flakon
4. Spektrofotometer dan kuvet spektrofotometer
5. Sentrifuge
6. Tabung Sentrifuge
7. Stopwatch
8. Vortex
9. Spet dan jarum suntik
10. Silet dan pisau cukur
II. Bahan
1. Darah kelinci
2. Paracetamol 5 ml
3. TCA 10 % 0,5 ml
4. HCL 2N 0,5 ml
5. Natrium nitrit 0,1% 0,5 ml
6. Amonium sulfamat 15% 0,5 ml
7. NaOH 10% 1,5 ml
8. Anti koagulan
IV. CARA KERJA
1. Cara kerja pembutan larutan baku atau kurva baku
Satu seri lar.paracetamol + 1 ml darah
+ 0,5 mg/ml efendrof
vortex
2. Analisis kadar Paracetamol
1 ml darah + 0,1 ml lar. PCT(50 ppm)
1 ml darah + 0,2 ml lar. PCT(100 ppm)
1 ml darah + 0,4 ml lar. PCT(200 ppm)
1 ml darah + 0,3 ml lar. PCT(150 ppm)
1 ml darah + 0,5 ml lar. PCT(300 ppm)
Puasakan kelinci 20 jam timbang BB kelinci cukur bulu sekitar telinga
Masukan kelici dalam holder ambil darah 3 ml (1 ml blanko & 2ml sampel ) secara vena lewat telinga
suntikan paracetamol 7 ml
+ amonium sulfamat 1,5 % 0,5 ml vortex 30 detik
diamkan 5 menit + NaOH 10% 1,5ml
+ HCL 2N 0,5 ml + natrium nitrit 1 % 0,5 ml campur homogen vortex 30 detik diamkan 5
menit
+ TCA 10% 0,5ml campur homogen vortex 30 detik
Ambil 1 ml darah (15,30,45,60,75,90,120 menit)
Sentrifug 10 menit ambil beningan 0,5 ml masukan dalam tabung reaksi
baca pada spektrofotometer
dengan absorbansi λ 435
V. HASIL PERCOBAAN
Tabel kurva baku konsentrasi parasetamol
Konsentrasi PCT Kadar sebenarnya PCT dalam
darah
Absorbansi
50 ppm x = 0,045
0,307-0,068 = 0,239
100 ppm x = 0,083
0,356-0,068 = 0,288
150 ppm x = 0,115
0,526-0,068 = 0,458
200 ppm x = 0,143
0,590-0,068 = 0,511
300 ppm x = 0,188
0,779-0,068 = 0,711
RL dari kadar sebenarnya PCT dalam darah Vs absorbansi
a = 0,053
b = 3,382
r = 0,984
y = a + bx => y = 0,053 + 3,382x
y/absorbansi dari praktikan: x =
Pada hasil pembacaan di dapatkan data:
1. y = 0,062 => 0,062 = 0,053 + 3,382 x
x = 2,661. 10-3
2. y = - 0,018 => -0,018 = 0,053 + 3,382 x
x = -0,021
3. y = - 0,037 => -0,037 = 0,053 + 3,382 x
x = -0,027
T ( menit) Absorbansi Cp ( kadar yang diukur)
30 0,062 2,661. 10-3
60 -0,018 -0,021
90 -0,037 -0,027
Termasuk kedalam i.v model kompartemen satu.
Gambar grafik terlampir
Cari Regresi Linear ,dari t vs ln Cp
a = -6,785 ln Cp
b = 0,039 k
r = 0,911
ln Cp = ln Cp – k .t
= -6,785 – 0,039 .t
AUC
AUC t0-t30 = ( Co + C1) x
= ( 0 + 2,661 x 10 ) x
= 0,040
AUC t30-t60 = ( Co + C1) x
= ( 2,661 x 10+0,021) x
= 0,355
AUC t60-t90 = ( Co + C1) x
= ( 0,021 + 0,027) x
= 0,72
AUCt90-t~ = =
=
= 0,692
AUC total = 1,807 mikrogram jam/ml
Vd = Div/k.AUC total
= 5 mg x 1000 mikrogram/0,039 x 1,807
= 70949,158 ml / 70,949 L
Cl = k .Vd
= 0,039/jam x 70,949 L
= 2,767 L/jam
T½ = 0,693/0,039
= 17,769 jam
VI. PEMBAHASAN
Langkah pertama pada praktikum kali ini kami menyuntikan larutan
Paracetamol 7 cc kepada kelinci yang telah dipuasakan selama 20 jam sebelumnya.
Pada menit ke-15 setelah penyuntikan, diambil darah sebanyak 1 ml dari vena yang
terletak di telinga kelinci. Setelah pengambilan darah, perlu adanya penambahan
antikoagulan, yaitu TCA 10 % sebanyak 0,5 ml lalu divortex selama 30 detik, hal ini
dilakukan untuk mencegah penjendalan darah pada sampel. Kemudian dilakukan
proses sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Proses sentrifugasi
berfungsi untuk mempercepat pengendapan.TCA berfungsi untuk mengendapkan
protein dalam plasma darah, sehingga yang tersisa dibagian atas atau yang dikenal
dengan supernatan hanyalah ikat obat dengan plasma. Setelah itu, supernatan hasil
sentrifus di ambil sebanyak 0,5 ml dan dipindahkan di tabung reaksi. Kemudian
supernatannya ditambahkan HCL 6 N sebanyak 0,5 ml dan NaNO2 10% sebanyak 0,5
ml untuk mendapatkan garam diazonium. Lalu campuran tersebut divortex selam 30
detik dan diamkan selama 5 menit.Mekanisme reaksinya adalah amia aromatis
termetilasi dihidrolisis dalam suasana asam menjadi asetil klorida dan para
aminofenol.
Tambahkan Ammonium sulfamat 1, 5% sebanyak 0,5 ml lalu votex kembali selama
30 detik. Reaksi penambahan ammonium sulfamat adalah:
Ammonium sulfamat berfungsi untuk menetralkan asam nitrit HNO2
Lalu ditambah NaOH 10% sebanyak 1,5 ml . Penambahan NaOH bertujuan untuk
penetralan. Reaksi yang terjadi adalah:
Reaksi penetralan:
2 H+ (aq) + NaOH (aq) Na+ (aq) + H2O (l)
langkah terakhir melakukan pembacaanabsorbansi pada spektrofotometer dengan
panjang gelombang 435 nm.
Setelah diketahui nilai absorbansi kemudian dilakukan pembuatan kurva
hubungan antara waktu dan kadar obat dalam plasma pada praktikum dapat
dicarimenggunakan persamaan kurva bakunya dengan membentuk persamaan regresi
linear terlebih dahulu. Persamaan kurva baku yang diperoleh adalah y = 0.053 +
3,382 x dengan r = 0,984. Pada waktu 30 menit didapatkan hasil absorbansi 0,062 ,
pada waktu 60 menit didapatkan hasil absorbansi -0,018, dan sampel pada waktu 90
menit didapatkan hasil absorbansi -0,037. Dari nilai absorbansi didapatkan nilai x
( kadar obat dalam plasma) pada menit ke 30 kadar obat dalam plasma 2,661. 10-3 ,
pada menit ke 60 kadar obat dalam plasma -0,021, dan pada menit ke 90 kadar obat
dalam plasma -0,027.
Termasuk profil farmakokinetika i.v model kompartemen 1.Dibuat regresi linear dari
T (waktu) dengan ln Cp (konsentrasi obat dalam plasma). Didapat nilai a = -
6,785 ,nilai b = 0,039 , dan nilai r = 0,911. Sebaiknya nilai r itu mendekati 1. Didapat
persamaan Ln Cp = - 6,785 – 0,039t. AUC total = 1,807 mikrogram jam/ml.
Parameter lainnya yang digunakan untuk mengukur kadar obat dalam tubuh
adalah Vd ( volume distribusi ) yaitu volume dalam tubuh dimana obat terlarut. Vd
merupakan suatu factor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah
obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen
cuplikan. Tubuh dapat dianggap sebagai suatu system dengan volume yang
konstan.Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu obat umumnya konstan. Jika
konsentrasi obat dalam plasma dan volume distribusi diketahui, maka jumlah
keseluruhan obat dalam tubuh dapat dihitung dimana berdasarkan hasil percobaan
volume distribusinya adalah 70,949 L.
Klirens juga merupakn salah satu parameter dalam farmakokinetik dimana
klirens mengukur eliminasi obat dari tubuh tanpa mengidentifikasi mekanisme atau
proses. Ditunjukan untuk volume dari cairan plasma yang dibersihkan dari obat per
unit waktu.Dapat juga dihubungkan sebagai fraksi obat yang dirubah per unit waktu.
Nilai klirens dari hasil percobaan adalah 2,767 L/jam.
Parameter lain yang digunakan dalam farmakokinetika adalah t1/2 merupakan
waktu dimana konsentrasi obat berada separuhnya didalam tubuh. Berdasarkan hasil
percobaan nilai t1/2 dari parasetamol adalah 17,769 jam.
VII. KESIMPULAN
1. Profil farmakokinetik Paracetamol dapat diketahui menggunakan model
kompartemen satu intravaskuler dengan menentukan nilai antara waktu dan
kadar obat dalam plasma.
2. Parameter yang dapat berpengaruh dalam ketepatan penentuan profil
farmakokinetik serta model kompartemen antara lain waktu pengambilan
cuplikan, volume distribusi, Klirens dan waktu paruh.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
1. Ritschel WA Handbook of basic pharmacokinetics 2nd ed. Hamilton:
Drus Intelligence Publication, Inc, 1980; 230-232, 280
2. Notari RE Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics -an
introduction, 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 1980; 18-29
3. Tozer TN. Pharmacokinetic principles relevant to bioavailability studies.
In: Blanchard J, Sawchuk RJ & Brodie BB (eds). Principles and
perpective in drug bioavailability. Basel: S Karger AG. 1979; 121-154
4. Shargel L & Yu ABC. Applied biopharmaceutics and pharmacokinetics.
New York: Appleton Century Crofts. 1980
5. Anonim. 1979.Farmakope Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Depkes RI
6. Anonim. 1995.Farmakope Indonesia edisi keempat. Jakarta: Depkes RI