Upload
eginabila
View
43
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lap
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO B BLOK 12
Kelompok 5
Adhitya Pratama (04011381419149)
Intania Winalda (04011381419150)
Nindy Lagundry Putry (04011381419151)
Devi Kartikasari (04011381419156)
Muhammad Alif Prizarky (04011381419173)
Eadiva Putri Prayuri Titalia (04011381419176)
Ahmad Reiman (04011381419179)
Widya Audisti (04011381419182)
M. Rifqi Ulwan Hamidin (04011381419183)
Marini Rachma Ghaisani (04011381419184)
Neydine Addina Yushandra (04011381419185)
Rafika Triasa (04011381419186)
Darmawan (04011381419190)
Azalia Talitha Zahra (04011381419193)
Egi Nabila (04011381419195)
Tutor: Drs. Sadakata Sinulingga, Apt, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat menyusun laporan tutorial blok
12 ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas akhir dari prosesi tutorial yang telah kami lakukan selama dua
kali secara berkelompok di Fakultas Universitas Sriwijaya tahun 2015. Serta tak lupa
penyusun mengucapkan terima kasih kepada Drs. Sadakata Sinulingga, Apt, M.Kes selaku
tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini.
Laporan ini berisi hasil seluruh kegiatan tutorial blok 12 dengan membahas skenario A. Di
sini kami membahas sebuah kasus yang kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan
sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau
ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran.
Dalam dinamika kelompok ini pula ditunjuk moderator serta notulis.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, orang tua, tutor, dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril
maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Palembang, November 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................... 1
Kata Pengantar.................................................................................................... 2
Daftar Isi.............................................................................................................. 3
I. Skenario B Blok 12 Tahun 2015................................................................... 4
II.Klarifikasi Istilah............................................................................................. 4
III.Identifikasi Masalah....................................................................................... 5
IV.Analisis Masalah............................................................................................ 6
V. Learning Issues............................................................................................... 25
VI.Sintesis Masalah ............................................................................................ 25
VII.Kerangka Konsep........................................................................................ 55
VIII. Kesimpulan................................................................................................. 56
Daftar Pustaka..................................................................................................... 57
3
I. SKENARIO B BLOK XII
Tn. Ahmad, umur 28 tahun akan menjalani apendiktomi. Spesialis Anastesi (SpAn)
berencana memberikan anastesi umum berupa inhalasi halothane. Sebelumnya, telah
dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit Dalam yang menyatakan tidak
ditemukan adanya kelainan jantung dan paru.
Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine intravena dilakukan intubasi
dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane. Pada saat pembedahan berlangsung,
Tn Ahmad mengalami kekakuan otot, suhu tubuh meningkat sampai 41o C dan
tekanan darah menjadi 180/90 mmHg dan denyut jantung 128 kali/menit. Dokter SpB
dan Dokter SpAn menduga terjadinya suatu Malignan hyperthermia.
Hasil Laboratorium darah cito:
Base deficit> 8 mEq/L, pH<7.25, konsentrasi creatine kinase serum > 20,000/L units,
cola-colored urine, excess myoglobin in urine or serum, plasma [K+] > 6 mEq/L
Jelaskan apa yang terjadi pada Tn. Ahmad dalam tinjauan farmakologi sehubungan
dengan obat- obat yang diberikan!
II. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Apendiktomi: Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memotong jaringan
appendix yang mengalami peradangan.
2. Anastesi: Pembiusan atau pengulangan atau penghilangan sensasi untuk
sementara.
3. Inhalasi: Alat pengobatan dengan cara memberi obat untuk dihirup agar dapat
langsung masuk menuju paru-paru sebagai organ sasaran dari obatnya.
4. Halothane: Obat anastesi inhalasi berbentuk cairan bening tak bewarna, mudah
menguap dan harum.
5. Intubasi: Tindakan medis berupa memasukkan tabung melalui mulut atau hidung
untuk menghubungkan udara luar dengan kedua paru.
6. Succinylcholine intravena: Agen penyekat neuromuscular depolarisasi yang
digunakan dalam bentuk garam kloridanya sebagai obat tambahan anastesia dan
pada terapi kerja.
4
7. Kekakuan otot: Raasa sakit atau nyeri pada otot yang biasanya terjadi karena
peningkatan emosional atau stress.
8. Malignan Hyperthemia: Satu kondisi hipermetabolik akut otot skeletal yang
abnormal akibat terpapar anastesi, inhalasi atau kelumpuhan golongan
depolarisasi.
9. Cola-colored urine: Urin yang berwarna coklat atau gelap seperti warna coca-cola
yang disebabkan adanya pigmen empedu di urin.
10. Creatine kinase: Merupakan ezinm yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada
otot jantung dan otot rangka, dan konsentrasi rendah pada jaringan otak.
11. Myoglobin: Pigmen pembawa oksigen pada otot, hemoprotein yang menyerupai
subunit tunggal hemoglobin, teridri dari 1 rantai polipeptida globin dan 1 gugus
Heme.
III. IDENTIFIKASI MASALAH
No. Kalimat O-P Prioritas
1 Tn. Ahmad, umur 28 tahun akan menjalani apendiktomi. O *
2
Spesialis Anastesi (SpAn) berencana memberikan
anastesi umum berupa inhalasi halothane. Sebelumnya,
telah dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit Dalam
yang menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan
jantung dan paru.
O *
3Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine
intravena dilakukan intubasi dilanjutkan dengan
pemberian inhalasi halothane.
O **
4
Pada saat pembedahan berlangsung, Tn Ahmad
mengalami kekakuan otot, suhu tubuh meningkat sampai
41o C dan tekanan darah menjadi 180/90 mmHg dan
denyut jantung 128 kali/menit
O ***
5Dokter SpB dan Dokter SpAn menduga terjadinya suatu
Malignan hyperthermia.O *
5
6
Hasil Laboratorium darah cito:
Base deficit> 8 mEq/L, pH<7.25, konsentrasi creatine
kinase serum > 20,000/L units, cola-colored urine, excess
myoglobin in urine or serum, plasma [K+] > 6 mEq/L
O *
IV. ANALISIS MASALAH :
1. Pada saat pembedahan berlangsung, Tn Ahmad mengalami kekakuan otot,
suhu tubuh meningkat sampai 41o C dan tekanan darah menjadi 180/90
mmHg dan denyut jantung 128 kali/menit
a. Bagaimana mekanisme kekakuan otot?
Kekakuan otat pada Tn Ahmad disebabkan oleh rhabdomyolisis.
Patofisiologi Rhabdomyolisis
Listrik tegangan tinggi DC →kontak dengan tangan →masuk ke dalam
jaringan,yang resistensinya paling tinggi (tulang)→energi listrik berubah jadi
energy panas→ merusak jaringan sekitar
Pada Kulit →luka bakar berat karena kontak langsung
Pada Otot → serat otot rusak →rhabdomyolysis →myoglobin masuk aliran
darah → melewati ginjal →myoglobinuria
Pada Pembuluh darah → panas merusak tunika intima →terjadi thrombosis
→ menyumbat aliran darah → compartment syndrome → tidak teratasi →
nekrosis jaringan
Pada Saraf →tahanan paling rendah →(pada kasus ini) rusak →parestesi
→luka bakar berat
Rhabdomyolyisis
Panas → merusak sarcolemma sel otot → merusak (Na/K-ATPase) pump
yang berada pada sarcolemma → gangguan keseimbangan antara kalium dan
natrium → calcium ikut masuk ke dalam reticulum sarcoplasma dan
mithocondria →menyebabkan hiperaktivitas dari protease dan proteolyitic
enzim →enzim tersebut mendegradasi myofilaments dan merusak
phospholipid membran →kebocoran isi intrasellular (myoglobin , creatinin
kinase, kalium, fosfat dan asam urat) →masuk ke dalam aliran darah
(plasma)
6
7
b. Bagimana interpretasi dari suhu, BP, HR dan mekanismenya?
- HR 128x / menit : Tn Ahmad mengalami takikardi (normal 60-
100x/menit)
- TD 180/90 mmHg :
Tekanan darah yang nomal menurut WHO :
Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub grup : perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
Sub grup : perbatasan 140-149 < 90
Berdasarkan tabel diatas, tekanan darah 180/90 mmHg adalah
termasuk dalam kategori Hipertensi sistol terisolasi.
- Suhu 41°C : Suhu tubuh Tn Ahmad tidak normal (normal 36° -
37°C)
c. Mengapa gejala-gejala tersebut baru terjadi saat pembedahan?
8
Gejala-gejala tersebut muncul karena adanya interaksi antara succinylcholine
dengan halothane yang menyebabkan Maligna Hyperthermi.
Mekanisme yang mendasari Malignant hyperthermia adalah kerusakan
pada distribusi ion kalsium myoplasma di mana terjadi peningkatan
konsentrasi ion kalsium pada myoplasma yang menjelaskan terjadinya
kontraksi otot yang tidak terkoordinasi dan terus-menerus sehingga terjadi
kekakuan otot, asidosis metabolik dan meningkatnya temperatur tubuh.
Peningkatan konsentrasi ion kalsium mengikuti protein kontraktil
troponin dan tropomiosin. Molekul tropomiosin ditempatkan kembali sebagai
hasil ikatan ion kalsium dengan troponin sehingga kepala-kepala miosin dapat
menyentuh molekul aktin, fibril otot memendek dan otot berkontraksi. Ketika
konsentrasi ion kalsium pada myoplasmik berkurang ke konsentrasi awalnya,
relaksasi otot terjadi. Pengambilan kalsium dalam sarkoplasmik retikulum
rendah setelah pemaparan dengan halothane. Kerusakan otot pada Malignant
hyperthermia adalah ketidakmampuan sarkoplasmik retikulum untuk
menyimpan kalsium. Hal ini berarti bahwa konsentrasi ion kalsium pada
sitoplasma tinggi dan fibril otot tetap berkontraksi. Halothane meningkatkan
konsentrasi ion kalsium dengan bertindak langsung pada membran sel.
Succinylcholine meningkatkan konsentrasi ion kalsium melalui faskulasi otot.
Kerentanan pada penyakit ini diturunkan sebagai gangguan autosomal
dominan, yang mana ada paling sedikit 6 bagian dari gen, terutama gen
reseptor ryanodin (RYR1), yang berada pada sarkoplasmik retikulum,
organela dalam sel otot skeletal yang menyimpan kalsium.
Konsekuensi dari peningkatan ion kalsium intraseluler ini adalah
penyerapan kembali ion kalsium yang berlebihan. Hal ini mengaktivasi ATP-
ase karena memerlukan banyak ATP, memerlukan oksigen, menginteraksi
aktin-miosin yang menyebabkan peningkatan tonus otot, menghasilkan
kontraksi otot yang akan mengurai glikogen dan glukosa dan terbentuknya
asam laktat sehingga mengakibatkan asidosis metabolik dan panas yang
berlebihan. Sel otot rusak karena kehabisan ATP dan juga suhu yang tinggi
dan unsur pokok dari sel otot keluar menuju sirkulasi termasuk kalium,
mioglobin, kreatin, fosfat, dan kreatinkinase.
Asidosis laktat yang terjadi pada Malignant hyperthermia dihasilkan
dari aktivasi fosforilase oleh kalsium, sehingga glikogen dipecah menjadi
9
asam laktat. Aktivasi fosforilase membantu memenuhi fruktosa 1,6-difosfat
untuk menghasilkan ATP dengan glikolisis. Panas dihasilkan selama sintesa
yang berkelanjutan dan penggunaan ATP selama glikolisis pada otot dan hati.
Reaksi simpatik dan asidosis menimbulkan takikardi dan disritmia
jantung diikuti dengan hipotensi, pengurangan curah jantung dan akhirnya
berhenti denyut jantung. Peningkatan temperatur, asidosis, hiperkalemia, dan
hipoksia menimbulkan gejala seperti koma pada sistem saraf pusat.
2. Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine intravena dilakukan
intubasi dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane.
a. Bagaimana farmakokinetik dan farmadinamik dari succinylcholine?
Farmakokinetik
Semua obat penghambat neuromuskular bersifat polar dan tidak aktif jika diberikan per oral. Obat-obatan tersebut harus selalu diberikan intravena.
Setelah diberikan dosis tunggal suksinilkolin intravena 0,5-1 mg/kg, suksinilkolin akan mulai bekerja merelaksasi otot dalam waktu 1 menit, maksimal dalam 2 menit, lalu efeknya hilang sekitar 5 menit. Kerja suksinilkolin yang sangat pendek disebabkan oleh adanya hidrolisis yang cepat dari kolinesterase plasma (butirilkolinesterase, pseudokolinesterase), suatu enzim hati dan plasma. Zat ini dimetabolisir menjadi asma suksinat dan kolin. Kolinesterase plasma mempunyai kemampuan yang sangat besar menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sebagian kecil dosis intravena asli yang mencapai NMJ. Kerja Suksinilkolin lebih lama dibanding Ach karena tidak adanya kolinesterase plasma pada NMJ, karena it juga kerja suksinilkolin berakhir melalui difusi keluar dari endplate masuk ke cairan ekstraselular. Karena itu plasma kolinesterase mempengaruhi lama kerja SCH dengan cara mengatur jumlah obat yang sampai di endplate.
Farmakodinamikkerja suksinilkolin terbagi menjadi 2 fase
Fase 1 (Fase depolarisasi)
Suksinilkolin bereaksi dengan reseptor nikotinik untuk membuka saluran dan menyebabkan depolarisasi endplate. Karena suksinilkolin tidak dimetabolisir secara efektif pada sinaps, membran yang mengalami depolarisasi tetap dalam keadaan depolarisasi dan tidak responsif terhadap impuls tambahan. Selanjutnya, karena penggabungan eksitasi-konsentrasi memutuhkan repolarisasi endplate dan pancaran berulang untuk mempertahankan tegangan otot, terjadilah paralisis flasid.
Fase 2 (Fase desensitiasi)
10
Dengan pemaparan berkelanjutan suksinilkolin, depolarisasi awal endplate berkurang dan membran menjadi repolarisasi. Meskipun dalam keadaan repolarisasi, membran tidak dapat didepolarisasi lagi oleh Ach selama suksinilkolin ada. Keadaan ini disebut dengan desensitisasi membran terhadan efek Ach. Karena itu fase ini disebut dengang penghambatan desensitisasi. Saluran tersebut berlaku seakan-akan gerbang dalam keadaan tertutup.
Efek kelemahan otot terjadi sebentar, dapat dilihat terutama pada otot dada dan abdomen, selama efek paralasis berjalan, otot-otot lengan, leher, dan kaki juga mlemah, otot-otot muka dan faring hanya mendapat sedikit efek.
b. Bagaimana farmakokinetik dan farmadinamik dari Halothane?
Farmakodinamik
Sasaran molekuler anestetik umum yang utama adalah
GABAA receptor chloride-channel, suatu perantara utama proses transmisi
sinaps inhibitori. Anestetik umum juga menyebabkan hiperpolarisasi
membrane sebagai efek inhibitori melalui aktivitasnya pada calcium channel.
Kanal ini banyak terdapat pada susunan saraf pusat dan memiliki hubungan
dengan neurotransmitter seperti asetilkolin, dopamine, norepinefrin, dan
serotonin. Halothane mengurangi lamanya pembukaan kanal-kanal kation
yang diaktifkan oleh reseptor nikotinik, suatu aktivitas yang menurunkan
efek-efek eksitatori asetilkolin pada sinaps kolinergik.
Farmakokinetik
Halotan dimetabolisir secara oksidatif dalam tubuh ke tisu hidrokarbon toksik danion
bromid. Agen ini bertanggungjawab dalam reaksi toksik pada beberapa pasien( terutama
pada wanita) yang terjadi setelah dianestesi dengan halotan. Reaksi bermuladengan
demam, diikuti dengan anoreksia, nausea dan muntah, dan pasien juga bisamengalami
11
gejala hepatitis. Untuk menghindari kondisi ini, anestesi dengan halotan tidak diulang
dengan interval kurang dari dua hingga 3 minggu.
c. Bagaimana cara melakukan inhalasi?
Cara Penggunaan Berbagai Terapi InhalasiAda beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4) pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator. 3,7
INHALER DOSIS TERUKURInhaler dosis terukur atau lebih sering disebut MDI diberikan dalam bentuk inhaler aerosol dengan/tanpa spacer dan bubuk halus (dry powder inhaler) yaitu diskhaler, rotahaler, dan turbohaler. Pada umumnya digunakan pada pasien yang sedang berobat jalan dan jarang dipergunakan di rumah sakit. Cara ini sangat mudah dan dapat dibawa kemana-mana oleh pasien, sehingga menjadi pilihan utama pagi penderita asma.MDI terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian kotak yang mengandung zat dan bagian mouthpiece. Bila bagian kotak yang mengandung zat ini dibuka (ditekan), maka inhaler akan keluar melalui mouthpiece.
Pemakaian inhaler aerosol. Inhaler dikocok lebih dahulu agar obat homogen, lalu tutupnya dibuka à inhaler dipegang tegak, kemudian dilakukan maksimal ekspirasi pelan-pelan à mulut inhaler diletakan di antara kedua bibir, lalu katupkan kedua bibir dan lakukan inspirasi pelan-peran. Pada waktu yang sama kanester ditekan untuk mengeluarkan obat tersebut dan penarikan napas diteruskan sedalam-dalamnya à tahan napas sampai 10 detik atau hitungan 10 kali dalam hati. Prosedur tadi dapat diulangi setelah 30 detik sampai 1 menit kemudian tergantung dosis yang diberikan oleh dokter.
Pemakaian inhaler aerosol dengan ruang antara (spacer). Inhaler dikocok lebih dahulu dan buka tutupnya, kemudian mulut inhaler dimasukan ke dalam lubang ruang antara à mouth piece diletakan di antara kedua bibir, lalu kedua bibir dikatupkan, pastikan tidak ada kebocoran à tangan kiri memegang spacer, dan tangan kanan memegang kanester inhaler à tekan kanester sehingga obat akan masuk ke dalam spacer, kemudian tarik napas perlahan dan dalam, tahan napas sejenak, lalu keluarkan napas lagi. Hal ini bisa diulang sampai merasa yakin obat sudah terhirup habis.
Pemakaian diskhaler. Lepaskan tutup pelindung diskhaler, pegang kedua sudut tajam, tarik sampai tombol terlihat à tekan kedua tombol dan keluarkan talam bersamaan rodanya à letakkan diskhaler pada roda, angka 2 dan 3 letakkan di depan bagian mouth piece à masukan talam kembali, letakan mendatar dan tarik penutup sampai tegak lurus dan tutup kembali à keluarkan napas, masukan diskhaler dan rapatkan bibir, jangan menutupi lubang udara, bernapas melalui mulut sepat dan dalam, kemudian tahan napas, lalu keluarkan napas perlahan-lahan. à putar diskhaler dosis berikut dengan menarik talam keluar dan masukan kembali.
12
Pemakaian rotahaler. Pegang bagian mulut rotahaler secara vertikal, tangan lain memutar badan rotahaler sampai terbuka à masukan rotacaps dengan sekali menekan secara tepat ke dalam lubang epat persegi sehingga puncak rotacaps berada pada permukaan lubang à pegang permukaan rotahaler secara horizontal dengan titik putih di atas dan putar badan rotahaler berlawanan arah sampai maksimal untuk membuka rotacaps à keluarkan napas semaksimal mungkin di luar rotahaler, masukan rotahaler dan rapatkan bibir dengan kepala agak ditinggikan dengan kepala agak ditengadahkan ke belakang à hiruplah dengan kuat dan dalam, kemudian tahan napas selama mungkin. à lalu keluarkan rotahaler dari mulut, sambil keluarkan napas secara perlahan-lahan.Pemakaian turbohaler. Putar dan lepas penutup turbohaler à pegang turbohaler dengan tangan kiri dan menghadap atas lalu dengan tangan kanan putar pegangan (grip) ke arah kanan sejauh mungkin kemudian putar kembali keposisi semula sampai terdengar suara klik à hembuskan napas maksimal di luar turbohaler à letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada kebocoran di sekitar mouth piece kemudian tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam mungkin à sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbohaler dari mulut. Jika yang diberikan lebih dari satu dosis ulangi tahapan 2 – 5 (tanda panah) dengan selang waktu 1 – 2 menit – pasang kembali tutupnya.
Setelah penggunaan inhaler. Basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat efek obat (terutama kortikosteroid). 1
Cara mencuci. Kegagalan mencuci inhaler dengan cara yang benar akan menimbulkan sumbatan dan pada akhirnya dapat mengurangi jumlah/dosis obat. Cusi bekar serbuk yang tertinggal di corong inhaler. Keluarkan belas obat dan basuh inhaler dengan air hangat dengan sedikit sabun. Keringkan dan masukan kembali ke dalam tempatnya. Bagaimana cara untuk mengetahui inhaler sudah kosong. Setiap inhaler telah dilabelkan dengan jumlah dos yang ada. Contoh di bawah akan menerangkan bagaimana untuk menentukan kandungan obat di dalam inhaler. Jika botol obat mengandungi 200 hisapan dan kita harus mengambil 8 hisapan sehari, maka obat habis dalam 25 hari. Jika kita mula menggunakan inhaler pada tanggal 1 Mei, maka gantikan inhaler tersebut dengan yang baru pada/atau sebelum tanggal 25 Mei. Tulis tanggal mula menggunakan inhaler pada botol obat untuk menghindari kesalahan.Kandungan inhaler juga boleh diperkirakan dengan cara memasukkan botol obat ke dalam air. Kedudukan botol obat di dalam air menggambarkan kandungan obat dalam inhaler.
d. Berapa dosis dari kedua obat tersebut?
Dosis Halothane
Halothane biasa dikombinasikan penggunaanya dengan relaksan otot
succinylcholine. Dosisnya 125-250 ml untuk inhalasi.
Dosis Succinylcholine
13
Penggunaan suksinilkolin adalah untuk intubasi trachea. Dosisnya
adalah 1 mg/kgBB dan dapat ditingkatkan sampai dengan 1,5 – 2.0
mg/kgBB. Intubasi dilakukan pada saat optimal yaitu 1 – 1,5 menit setelah
pemberian obat.
Suksinilkolin dapat digunakan untuk rumatan relaksasi sampai 3 jam.
Dalam bentuk infusan sampai blockade 90 -95 % digunakan dosis 50 – 100
mg/kgBB/menit dan dapat dapat dinaikan setelah 30 – 60 menit.
Untuk anak kecil dosis 1 – 2 mg/kgBB, pada infan dosis 2 – 3 mg/kgBB.
Precurarization tidak diperlukan pada anak <10 tahun karena fasikulasi jarang
terjadi, bradikardi sering terjadi pada anak-anak, dan tidak terjadi bila
diberikan atropine.
e. Bagaimana interaksi obat antara succinylcholine dengan halothane?
(pada kasus)
Bersifat sinergistik sehingga dosis pelumpuh otot kompettif diberikan 1/3-1/2
dari dosis seharusnya dan dapat saling berinteraksi menyebabkan Malignant
Hyperthermia pada individu yang mengalami mutasi pada gen ryanodine.
f. Apa efek samping dari succinylcholine?
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%, selain itu
dapat terjadi mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraokular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Peningkatan tekanan intrakranial.
4. Peningkatan kadar kalium plasma.
5. Peningkatan tekanan intragastrik.
6. Aritmia jantung.
Berupa bradikardi atau “venticular premature beat”.
7. Salivasi.
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis.
14
Akibat efek muskarinik.
9. Hiperthermi Maligna
3. Tn. Ahmad, umur 28 tahun akan menjalani apendiktomi.
a. Bagaimana tata cara apendiktomi?
Persiapan pasien
1. Persetujuan operasi.
2. Alat-alat dan obat-obatan.
3. Puasa
4. Lavement
Setelah penderita dilakukan anaesthesi.
Mengatur posisi terlentang.
Memasang plat diatermi di bawah paha penderita
Memasang folley cathetera (kalau perlu).
Prosedur
1. Perawat instrumen cuci tangan.
2. Operator dan asisten cuci tangan.
3. Perawat instrumen memakai baju steril. dan sarung tangan .
4. Beri dan pakaikan baju operasi, sarung tangan pada asisten dan operator.
5. Atur instrumen di meja mayo sesuai kebutuhan.
6. Berikan klem dan deper desinfektan untuk desinfeksi lapangan operasi.
7. Siapkan duk besar 2 biji, duk kecil 5 biji, duk klem 4 buah untuk
draping.
8. Pasang dan atur selang suction, kabel diathermi, klem dengan duk klem
dan memberitahu operator bahwa instrurnen siap dipergunakan.
9. Berikan pincet chirurgie, hand vat mes, mes no.10 pada operator untuk
incisi, arteri klem van pean, kasa dan diathermi untuk merawat
perdarahan.
10. Berikan dua hak tajam untuk memperlebar permukaan kulit.
11. Berikan pincet chirurgie, dan gunting metzenbaum untuk membuka
fascia, dua arteri klem van kocher untuk memegang fasia yang sudah
terbuka.
12. Berikan dua pinset chirurgie dan gunting metzenbaum dan mikulitz
untuk memegang peritonium yang sudah dibuka.
15
13. Berikan deppers kecil untuk mengait appendik dan pincet anatomis
panjang untuk mengambil appendik.
14. Berikan bab cock untuk menjepit appendik kemudian pisahkan dari
meso appendik dengan couter.
15. Berikan crushing klem untuk menjepit pangkal appendik kemudian
berikan benang non absorbable 2/0 untuk mengikat pangkal appendik 2
x.
16. Berikan crusing klem lagi untuk menjepit diatas ikatan da berikan pisau
bedah no 10 yang telah dibasahi dengan desinfektan untuk memotong
appendik.
17. Berikan pinset panjang untuk mengkoter ujung potongan appendik dan
untuk merawat perdarahan.
18. Inventaris alat dan kasa
19. Jahit lapis demi lapis dengan benang absorbtabel 2/0 , 3/0. dan tutup
dengan kasa & plester.
20. Cuci tangan, cuci instrumen dan setting kembali instrumen
b. Adakah komplikasi yang dapat terjadi Pasca-operasi?
Komplikasi ApendiktomiKomplikasi yang terjadi pada pasien post apendiktomi menurut Mansjoer, (2000): Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, maka observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum, terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang: tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT (Naso Gastric Tube), puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau
16
klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
4. Spesialis Anastesi (SpAn) berencana memberikan anastesi umum berupa
inhalasi halothane. Sebelumnya, telah dilakukan konsultasi dengan bagian
Penyakit Dalam yang menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan
jantung dan paru.
a. Bagaimana klasifikasi anstesi?
Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008);1. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992). Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008). Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
2. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
17
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008). 3. Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008). Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
b. Apakah efek samping dari penggunaan halothane?
Terhadap Susunan Saraf Pusat
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di semua komponen
otak. Depresi di pusat kesadaran akan menimbulkan efek hipnotik, depresi
pada pusat sensorik menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada
18
pusat motorik akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan vasodilatasi,
sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini menyebabkan tekanan
intrakranial meningkat, dan oleh karena itu tidak dipilih untuk anestesi
pada kraniotomi.
Terhadap sistem kardiovaskuler
Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A Node” dan otot
jantung, relaksasi otot polos dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan
menyebabkan hipotensi yang derajatnya tergantung dari dosis dan adanya
interaksi dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti bradikardi, ekstrasistol
ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal
ini disebabkan karena peningkatan eksitagen maupun eksogen serta
adanya retensi CO2.
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler sangat sempit,
maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek farmakologi yang
diharapkan sangat dekat dengan efek depresinya.
Terhadap sistem respirasi
Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan depresi pusat nafas,
sehingga pola nafas menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume
nafas semenit menurun dan menyebabkan dilatasi bronkus.
Terhadap ginjal
Halotan pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan aliran darah
ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek ini hanya bersifat
sementara dan tidak mempengaruhi autoregulasi aliran darah ginjal. Hasil
metabolitnya terutama bromidnya akan diekskresikan melalui ginjal dan
apabila terdapat gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat
sehingga akan terjadi akumulasi.
Terhadap otot rangka
19
Halotan akan berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non
depolarisai, sehingga pada pemakaian kombinasi kedua obat ini, perlu
dilakukan modifikasi dosis,. Pada saat persalinan normal, begitu juga pada
seksio sesaria.
Terhadap hati
Pada konsentrasi 1,5 vol%, halotan akan menurunkan aliran darah pada
lobulus sentral hati sampai 25-30%. Faktor-faktor yang lain disamping
halotan yang ikut berpengaruh terhadap aliran darah, antara lain aktivitas
sistem saraf simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia, hiperkarbia dan
refleks splangnik. Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini
menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang diduga sebagai penyebab
dari “hepatitis post-halothane”. Kejadian ini akan lebih bermanifes,
apabila diberikan halotan berulang dalam waktu yang relatif singkat.
Kejadian “hepatitis post-halotane”, pertama kali dilaporkan di USA pada
tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan penelitian besar-
besaran untuk membuktikan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada
850.000 kasus pasien yang diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian
ini menyangkal anggapan bahwa halotan menimbulkan nekrosis sel hati.
Selanjutnya beberapa percobaan laboratorium juga gagal membuktikan
efek toksik langsung halotan pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada
saat ini adalah bahwa mungkin saja terjadi nekrosis sel hati setelah
anestesia dengan halotan, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
Terhadap suhu tubuh
Induksi dengan halotan akan segera menurunkan suhu sentral tubuh
sebesar 1 derajat celcius, tetapi akan meningkatkan suhu permukaan tubuh
akibat redistribusi panas tubuh ke permukaan. Selanjutnya pada periode
pemeliharaan anestesia, suhu permukaan pun akan turun akibat dilatasi
pembuluh darah seehingga terjadi pelepasan panas tubuh.
c. Termasuk golongan apa halothane?
Golongan Anestesi Cair yang Menguap
d. Mengapa first line dari anastesi adalah halothane?
20
Karena Halothane memiliki kelarutan yang sedang sehingga membutuhkan
lebih banyak molekul terlarut agar tekanan parsialnya berubah dan tegangan
arterinya meningkat relative lebih lama. Semakin larut halothane dalam
darah, semakin tinggi derajat pengisian kompartemen tubuh, semakin lama
waktu yang dibutuhkan oleh halothane untuk meningkatkan tekanan parsial
darah hingga sama dengan tekanan parsial alveoli. Transfer zat anestetik je
otak juga akan lebih lambat. Berikut adalah tingkat kelarutan halothane di
berbagai partisi tubuh.
Koefisien partisi darah : gas : 2,30
Koefisien partisi darah : otak : 2,9
Konsentrasi alveolar minimum (%)2 : 0,75
(konsentrasi yang menyebabkan imobilitas pada 50% pasien yang
mendapat rangsang nyeri)
Metabolisme : > 40%
e. Bagaimana kontraindikasi dari kedua obat tersebut?
Kontraindikasi Halothane
Halothane tidak boleh digunakan oleh orang yang sebelumnya pernah
bereaksi dengan halothane atau paparan dengan halothane 3 bulan terakhir.
Halothane juga meningkatkan kontraksi pada uterus sehingga tidak bisa
diberikan pada wanita hamil. Halothane juga tidak boleh diberikan pada
anak-anak di bawah usia 18 tahun karena efek samping yang diberikan akan
meningkat, penderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung,
serta operasi kraniotomi.
Kontraindikasi Succinylcholine
Riwayat keluarga dengan hipertermia ganas, aktivitas kolinesterase plasma
rendah (termasuk penyakit hati berat) (Lampiran 2), hiperkalemia; trauma
berat, luka bakar yang parah, penyakit neurologikal termasuk acute wasting
of major muscle, imobilisasi yang diperlama-berisiko menyebabkan
hiperkalemia, riwayat penyakit congenital myotonic pada diri sendiri atau
keluarga, Duchenne muscular dystrophy.
f. Apa hubungan pemberian halothane dengan kelemahan jantung dan
paru?
21
Terhadap sistem kardiovaskuler
Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A Node” dan otot jantung,
relaksasi otot polos dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan
menyebabkan hipotensi yang derajatnya tergantung dari dosis dan adanya
interaksi dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti bradikardi, ekstrasistol
ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini
disebabkan karena peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya
retensi CO2.
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler sangat sempit, maksudnya,
konsentrasi obat untuk mencapai efek farmakologi yang diharapkan sangat
dekat dengan efek depresinya.
Terhadap sistem respirasi
Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan depresi pusat nafas,
sehingga pola nafas menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume
nafas semenit menurun dan menyebabkan dilatasi bronkus.
5. Dokter SpB dan Dokter SpAn menduga terjadinya suatu Malignan
hyperthermia.
a. Bagaimana mekanisme terjadinya Malignan hyperthermia?
MH bukan merupakan penyakit alergi terhadap zat anestetik atau zat lainnya. MH adalah kelainan genetik autosomal dominan. Jadi MH bukan penyakit akibat anestesia. Meskipun tidak mengalami krisis MH, penyandangnya tetaplah penyandang MH. Autosomal dominan berarti cukup satu orangtua yang menyandangnya, maka kemungkinan besar anak-anak mereka juga menyandang MH. Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot skeletal.
Pada setiap manusia normal, RyR “menempel” pada retikulum sarkoplasmik dalam sel, yang merupakan gudang penyimpanan terbesar Ca2+ intraselular. Aktivasi RyR akan menyebabkan penglepasan Ca2+ ke sitosol. Apa yang mengaktivasi RyR? Potensial aksi. Potensial aksi akan mengaktivasi RyR, “membuka” retikulum sarkoplasmik sehingga memungkinkan Ca2+ yang tersimpan keluar ke sitoplasma. Ca2+ inilah yang memicu eksitasi sel dengan hasil kontraksi sel otot. Jadi, yang berperan besar dalam eksitasi sel adalah Ca2+ intraselular yang tersimpan di retikulum sarkoplasmik, bukan arus masuk Ca2+ dari ekstrasel ke intrasel. (Karena itu tidak ada gunanya memberikan obat penghambat kanal Ca ketika serangan MH terjadi.)
22
Pada penyandang MH, mekanisme di atas terjadi berlebihan. Aktivasi RyR yang tidak lazim menyebabkan penglepasan berlebihan dan akumulasi Ca2+ di sitosol, yang berakibat hiperkontraktur sel otot rangka. RyR yang abnormali ini “bertingkah” setiap kali terpajan dengan zat pemicunya. Apa saja? Yang paling terkenal adalah anestetika volatil. Pemicu lain yang juga terkenal adalah kafein, suksinilkolin dan suatu zat kimia bernama klorokresol. Ketika penyandang MH terpajan dengan zat pemicunya, terjadilah reaksi malapetaka ini. Otot skeletal pasien akan mengalami hiperkontraktur dengan segala akibatnya.
b. Sebutkan factor pemicu dari Malignan hyperthermia?
Faktor-faktor pemacu hipertemia malignant: Halothane (anesthesia agent) atau anestesi lain yang digunakan dengan
cara menghirup. Succinylcholine (neuromuscular blocker) Phenothiazine Haloperidol
c. Bagaimana penatalaksanaan dari Malignan hyperthermia?
Penatalaksanaan malignant hyperthermia terbagi ke dalam beberapa kelompok menurut kecepatan dan ketepatan tindakan sebagai berikut,
a. Segera hentikan pemberian zat anestetik yang diberikan. Tingkatkan respiratory rate pasien dengan menggunakan ventilator mekanik untuk membuang kelebihan karbon dioksida dari sistem tubuh. Informasikan kepada dokter bedah untuk menunda berjalannya operasi pembedahan. Gunakan zat anestetik lain yang tidak memicu terjadinya malignant hyperthermia misalnya zat anestetik intravena lainnya
b. Berikan datrolene 2mg/kg BB intravena. Lanjutkan pemberian datrolene sampai sistem pernafasan dan kardiovaskular berlangsung normal.
c. Terus lakukan monitoring rutin pembedahan seperti EKG. Ukur suhu tubuh inti pasien. Lakukan pemeriksaan darah segera terhadap kadar creatine kinase serum, K+ , kadar myoglobin, fungsi hati dan hepar, serta tanda-tanda sindrom kompartemen.
d. Hyperthermia : Turunkan temperature ruangan bedah. Suntikkan 2000-3000ml larutan NaCl 0.9% dingin (4°C). Letakkan ice packs di sekeliling badan pasien.
e. Hyperkalaemia : Infus dektrosa 50% (50 ml dektrosa dan 50 IU insulin), suntik CaCl2 0.01mol/kg BB intravena.
f. Acidosis respiratorik : lakukan hiperventilasi dengan ventilator, suntikkan sodium carbonate pH < 7.2.
g. Arythmia : berikan amiodarone 300mg dan obat golongan β-blocker. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk menghindari penggunaan obat anestesi yang menyebabkan Malignant hyperthermia adalah uji kontraktur kafein-halotan secara in vitro atau in vitro muscle contracture test (IVCTs) dapat dilakukan dengan melakukan biopsi jaringan otot skeletal.
23
d. Sebutkan sign and symptom dari Malignan hyperthermia?
Tanda – tanda tidak khas :- Takikardia dan aritmia- Takipneu- Hipertensi atau hipotensi- Acidosis metabolik- Hiperkalemia- Koagulopati
Gejala klinis pertama dapat terdeteksi beberapa menit setelah terpajan zat anastetik inhalasi. Namun keadaan tersebut dapat pula muncul setelah beberapa menit hingga beberapa jam. Bahkan pada beberapa kasus dilaporkan serangan hipertemi maligna setelah pasien di ekstubasi dan setelah pasien berada di ruang pemulihan.1
Seringkali tanda pertama yang ditemui berupa peningkatan tonus simpatis yaitu takikardia dan peningkatan tekanan darah yang tidak dapat diatasi dengan pemberian analgesik. Kerap kali laporan yang datang berupa kekakuan otot yang tidak dapat diatasi dengan pelumpuh otot.1
Hiperkontraktur dari sel – sel otot skelet dapat menjalar keseluruh tubuh. Namun diketahui yang pertama kali terdeteksi adalaha kekakuan pada otot – otot maseter, yang selanjutnya akan diikuti dengan kekakuan dari otot – otot skelet yang lainnya. Pasien kemudian akan tampak kaku seperti kayu. Keadaan tersebut kita sebut pasie dalam keadaan rigid.1
Otot – otot maseter yang pertama kali mengalami rigid dikarenakan banyak mengandung miofilamen tipe 1. Miofilamen tipe 1 mempunyai afinitas terhadap Ca daripada tipe II.1
Saat terjadinya serangan hipertermi maligna pertama maka kontraksi maksimal dari otot skelet akan berlangsung lama dan akan menyebabkan reaksi metabolism sel yang berlebihan. Hal tersebut akan mengakibatkan konsumsi oksigen berlebih dan dapat berdampak terjadinya hipoksia apabila asupan oksigen tidak dijaga dengan baik.1
Metabolisme berlebih akan menghasilkan CO2 yang berlebih pula sebagai sampah metabolism. Pemantauan dengan kapnograf akan sangat penting karena hal tersebut menjadi tanda awal dari hipertermi maligna. Periksa pula CO1absorber karena pada keadaan hipertermi maligna maka Co2absorber akan cepat habisnya disertai cepat panas pada dinding kanisternya.1
Segera diikuti dengan mematikan volatile dan lakukan hiperventilasi O2 tinggi. Setealah ditemukan adanya kedua gejala awal yaitu kekauan otot – otot maseter dan hiperkarbia progresif maka dapat dipastikan pasien dalam serangan hipertermi maligna.1
24
Pada peningkatan metabolism secara berlebih maka peningkatan suhu merupakan suatu hal yang lazim. Namun peningkatan suhu merupakan suatu gejala yang lambat muncul pada keadaan hipertermi maligna. Hipertermia, ketika itu terjadi, ditandai dengan kenaikan suhu inti pada tingkat 1 - 2 ° C setiap lima menit. Hipertermia parah (suhu inti lebih besar dari 44 ° C) dapat terjadi, dan menyebabkan peningkatan yang ditandai dalam konsumsi oksigen, produksi karbon dioksida, disfungsi organ vital luas, dan disseminated intravascular coagulation ( DIC )1,4
Akibat dari peningkatan metabolisme juga dapat diperoleh peningkatan laktat secara berlebih. Selain itu akan diikuti pula oleh beberapa keadaan seperti hipertensi, takikardi, dan juga aritmia yang dipicu oleh sistem simpatis.1
Hipermetabolisme tidak terkontrol menyebabkan hipoksia seluler yang dimanifestasikan oleh asidosis metabolik progresif dan memperburuk keadaan pasien. Jika tidak diobati, kematian miosit akan berlangsung menerus dan berujung pada rhabdomyolysis dalam hiperkalemia yang mengancam jiwa, myoglobinuria dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Komplikasi tambahan yang mengancam jiwa meliputi DIC, gagal jantung kongestif, iskemia usus, dan sindrom kompartemen anggota badan sekunder untuk otot yang bengkak, dan gagal ginjal dari rhabdomyolysis. Memang, ketika suhu tubuh melebihi sekitar 41 ° C, DIC adalah penyebab kematian yang biasa terjadi.
6. Hasil Laboratorium darah cito:
Base deficit> 8 mEq/L, pH<7.25, konsentrasi creatine kinase serum >
20,000/L units, cola-colored urine, excess myoglobin in urine or serum,
plasma [K+] > 6 mEq/L
a. Bagaimana intrpretasi dari hasil laboratorium darah? Jelaskan?
- Base deficit terjadi karena pasien mengalami acidosis sehingga kadar
basa dalam tubuhnya rendah.
- Potassium [ K+] normal : 3,5-5.0 mEq/L
Clinical Finding : terjadinya muscle breakdown
- pH normal 7,0-7,24
Clinical finding: asidosis metabolik
- Creatine kinase serum
Perempuan < 190 U/L
Pria <235 U/L
25
Clinical Finding : terjadinya Muscle breakdown
- Warna urine normal : urin kuning jernih
Clinical Finding : suatu tanda klasik rhabdomyolisis terjadi akibat
myocyte masuk kedalam plasma sehingga urine berubah menjadi
coklat kemerahan (myoglobinuria)
V. Learning Issue
1. Succinylcholine
2. Halothane
3. Malignant Hiperthermi
4. Apendiktomi
5. Pemeriksaan laboratorium
6. Anastesi umum
VI. Sintesis masalah
A. Succinylcholine
Suksinilkolin telah dikaitkan dengan kerusakan otot yang cepat mengakibatkan irama jantung yang mengancam jiwa, serangan jantung, dan kematian pada anak-anak. Anak-anak ini tampaknya sehat, namun kemudian ditemukan memiliki masalah otot terdiagnosis tertentu (misalnya distrofi otot Duchenne). Anak laki-laki dan anak-anak berusia lebih muda dari 8 tahun tampaknya berada pada risiko yang lebih tinggi. Kasus juga telah dilaporkan pada remaja. Karena sulit untuk menentukan mana anak-anak mungkin beresiko, succinylcholine seharusnya hanya digunakan dalam situasi darurat.
Pengertian SuccinylcholineSuccinylcholine adalah satu-satunya obat penyakat depolarisasi neuromuskuler yang digunakan secara klinis di Amerika Serikat. Efek-efek neuromuskulernya menyerupai acetylcholine kecuali bahwa succinylcholine menghasilkan efek yang lebih lama. Succinylcholine bereaksi dengan reseptor nikotinik untuk membuka kanal dan menyebabkan depolarisasi pada end plate, dan nantinya senyawa ini akan menyebar dan mendepolarisasi membran-membran yang berdekatan, menyebabkan kontraksi yang tidak terorganisasi dari unit-unit motor otot.
Hasil yang kita dapat dari perekaman kanal-tunggal mnenunjukkan adanya penyakat-penyakat depolarisasi dapat “gerakan (flickering)” konduktans ion yang durasinya diperpanjang. Oleh karena Succinylcholine tidak metabolisme secara efektif pada sinaps, membran-membran yang terdepolarisasi berada dalam keadaan tetap dan tidak memberikan respons terhadap impuls-impuls tambahan. Lagi pula, karena penggabungan konsentrasi eksitasi membutuhkan repolarisasi end plate (“repriming”) dan “firing” yang sifatnya ulangan untuk menjaga ketegangan otot,
26
akibatnya terjadi paralisis flasid. Penyakatan fase I ditingkatkan, bukan sebaliknya, dengan inhibitor-inhibitor choline esterase.
Fungsi SuccinylcholineRelaksasi otot-otot selama operasi atau saat menggunakan mesin pernapasan (ventilator). Hal ini juga digunakan untuk menginduksi anestesi atau ketika sebuah tabung harus dimasukkan dalam tenggorokan. Hal ini juga dapat digunakan untuk kondisi lain yang ditentukan oleh dokter ketika kita berobat.
Suksinilkolin adalah relaksan otot depolarisasi. Ia bekerja dengan menjaga otot dari kontraktor, yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot di wajah dan yang digunakan untuk bernapas dan bergerak.
Pengecualian Penggunaan SuccinylcholineSuccinylcholine tidak boleh digunakan jika:
Pengguna obat alergi untuk setiap bahan dalam suksinilkolinPengguna obat baru-baru ini memiliki luka bakar yang parah, trauma, kerusakan saraf, atau cedera gerakan tubuh bagian atasPengguna obat memiliki riwayat pribadi atau keluarga dari penyakit otot atau hipertermia ganas (keadaan yang mengancam jiwa yang meliputi suhu tubuh yang tinggi)
Sebelum Menggunakan SuccinylcholineBeberapa kondisi medis yang dapat berinteraksi dengan suksinilkolin:
Jika sedang hamil, berencana untuk menjadi hamil, atau menyusuiJika sedang mengonsumsi obat resep atau nonprescription, persiapan herbal, atau suplemen makananJika memiliki alergi terhadap obat-obatan, makanan, atau zat lainJika memiliki reaksi alergi yang parah (misalnya, ruam parah, gatal-gatal, kesulitan bernafas, pusing) yang lain memblokir agen neuromuscular (misalnya, pancuronium)Jika memiliki glaukoma, masalah elektrolit darah (misalnya, kadar kalium yang tinggi atau rendah, kadar kalsium yang rendah), hati atau ginjal, tumor yang telah menyebar, infeksi, anemia, masalah tiroid tertentu (myxedema), lambung atau tukak usus , masalah jantung dekompensasi, penurunan aktivitas atau kekurangan plasma cholinesterase, patah tulang, atau kejang ototJika dehidrasi atau baru saja menjalani operasi mata atau cedera mataJika memiliki atau memiliki riwayat infeksi lambung atau pendarahan di otak
Beberapa obat yang mungkin berinteraksi dengan suksinilkolin:
Digoxin karena resiko irama jantung abnormal dapat ditingkatkan
27
Aminoglikosida (misalnya gentamisin), aprotinin, beta-adrenergik (misalnya, propranolol), klorokuin, klindamisin, siklofosfamid, glukokortikoid (misalnya prednisone), lidocaine, lithium, garam magnesium, metoclopramide, kontrasepsi oral (misalnya pil KB) , oksitosin, procainamide, promazin, quinidine, kina, terbutaline, atau trimethaphan karena mereka dapat meningkatkan risiko efek samping suksinilkolin ini.
Cara Penggunaan SuccinylcholineGunakan succinylcholine seperti yang diarahkan oleh dokter Anda. Periksa label pada obat untuk instruksi dosis yang tepat.
Succinylcholine diberikan sebagai suntikan di dokter kantor, rumah sakit, atau klinikJangan gunakan succinylcholine jika mengandung partikel, keruh atau berubah warna, atau jika botol retak atau rusakJauhkan produk ini, serta jarum suntik dan jarum, dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan. Jangan menggunakan kembali jarum, jarum suntik, atau bahan lainnya. Tanyakan dokter Anda bagaimana untuk membuang bahan-bahan ini setelah digunakan. Ikuti semua aturan lokal untuk pembuanganJika Anda melewatkan dosis suksinilkolin, hubungi dokter Anda segeraTanyakan dokter Anda setiap pertanyaan yang Anda miliki tentang bagaimana menggunakan suksinilkolin
Informasi Keamanan Penggunaan SuccinylcholineHipertermia ganas adalah sindrom mungkin fatal yang dapat disebabkan oleh suksinilkolin. Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, napas cepat, suhu tubuh tinggi, atau spasme atau kekakuan pada rahang atau otot-otot lain. Hubungi dokter Anda sekaligus jika Anda memiliki gejala-gejala tersebut.
Beritahu dokter atau dokter gigi bahwa Anda mengambil succinylcholine sebelum Anda menerima perawatan medis atau gigi, perawatan darurat, atau operasi.
Succinylcholine seharusnya hanya digunakan dalam anak dalam situasi darurat. Langka, efek samping yang serius terjadi pada anak-anak yang telah menerima suksinilkolin.
Kehamilan dan menyusui: Jika Anda hamil, hubungi dokter Anda. Anda akan perlu untuk mendiskusikan manfaat dan risiko menggunakan succinylcholine saat Anda sedang hamil. Jika Anda atau akan menyusui saat Anda menggunakan succinylcholine, periksa dengan dokter Anda. Diskusikan kemungkinan risiko bayi Anda.
Kemungkinan Efek SampingSemua obat dapat menyebabkan efek samping, tetapi banyak orang tidak memiliki, atau kecil, efek samping. Periksa dengan dokter jika salah satu efek samping yang
28
paling umum menetap atau menjadi mengganggu, yaitu peningkatan air liur; nyeri otot setelah operasi; otot berkedut.
Cari bantuan medis segera jika salah satu efek samping berat terjadi, antara lain:
Reaksi parah alergi (ruam, gatal-gatal, gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan mulut, wajah, bibir, atau lidah); sakit dada; pingsan; napas cepat; cepat, lambat, atau tidak teratur denyut jantung; pembilasan; suhu tubuh yang tinggi; peningkatan tekanan di mata; berhenti bernafas; berdebar di dada; nyeri otot yang parah dengan atau tanpa penurunan buang air kecil; pusing atau sakit kepala berat atau persisten; diperlambat atau pernapasan dangkal; pengetatan rahang atau otot-otot lain.
Farmakologi Obat Pelumpuh OtotRelaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf padaneuromuscular junction.1. Fisiologi Transmisi Saraf OtotDaerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Padaneuromuscular junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε. Hanya kedua sub unit α identik yang
29
mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
Farmakokinetik Pelumpuh OtotSemua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant
30
memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
Farmakodinamik Pelumpuh OtotObat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan diafragma.a. RespirasiParalisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.b. Efek kardiovaskularHipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.c. Pengeluaran histaminD-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.
B. Halothane
Halotan relatif memiliki ketajaman (pungency) yang rendah dan potensi
yang tinggi, sehingga dapat diberikan pada konsentrasi insipirasi yang tinggi
untuk menghasilkan anestesia. Halotan terbukti dapat diterima melalui jalur
inhalasi baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Keuntungan lain
yang dimiliki halotan adalah insiden nausea dan muntah yang lebih rendah
dari gas-gas volatil pendahulunya.
Walaupun halotan memiliki keuntungan-keuntungan, namun kekurangan
tetap ada. Efek halotan yang paling dapat dipantau adalah mensensitisasi
miokardium terhadap katekolamin, dan kemudian, terungkap bahwa
metabolit intermediet dari halotan, berperan dalam nekrosis hepar.
A. SIFAT FISIK DAN KIMIA
31
Halotan atau disebut dengan nama kimia 2,bromo-2-khloro-1,1,1-
trifluoroetan, mempunyai berat molekul 197, berat jenis 1,18 (pada suhu 25
derajat celcius) dan titik didih 50 derajat celcius dan mempunyai MAC
0,87%.
Secara fisik, halotan adalah cairan yang tidak berwarna, berbau harum
tidak mudah terbakar atau meledak, tidak iritatif dan tidak tahan terhadap
sinar matahari. Apabila kena sinar matahari, akan mengalami dekomposisi
menjadi HCl, HBr, klorin, Bromin dan Fosgen bebas, disi timol 0,01%
sebagai pengawet.
Halotan bisa diserap oleh karet sirkuit anestesia, tetapi kurang larut
dalam polietilen dan tidak mengalami dekompisisi bila melewati karbon
absorben.
B. EFEK FARMAKOLOGI
1. Terhadap Susunan Saraf Pusat
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di semua
komponen otak. Depresi di pusat kesadaran akan menimbulkan efek
hipnotik, depresi pada pusat sensorik menimbulkan khasiat analgesia dan
depresi pada pusat motorik akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat
depresinya tergantung dari dosis yang diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan vasodilatasi,
sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini menyebabkan tekanan
intrakranial meningkat, dan oleh karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada
kraniotomi.
2. Terhadap sistem kardiovaskuler
Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A Node” dan otot
jantung, relaksasi otot polos dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan
menyebabkan hipotensi yang derajatnya tergantung dari dosis dan adanya
interaksi dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti bradikardi,
ekstrasistol ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi
ventrikel. Hal ini disebabkan karena peningkatan eksitagen maupun eksogen
serta adanya retensi CO2.
32
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler sangat sempit,
maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek farmakologi yang
diharapkan sangat dekat dengan efek depresinya.
3. Terhadap sistem respirasi
Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan depresi pusat nafas,
sehingga pola nafas menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume
nafas semenit menurun dan menyebabkan dilatasi bronkus.
4. Terhadap ginjal
Halotan pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan aliran darah
ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek ini hanya bersifat sementara
dan tidak mempengaruhi autoregulasi aliran darah ginjal. Hasil metabolitnya
terutama bromidnya akan diekskresikan melalui ginjal dan apabila terdapat
gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat sehingga akan terjadi
akumulasi.
5. Terhadap otot rangka
Halotan akan berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non
depolarisai, sehingga pada pemakaian kombinasi kedua obat ini, perlu
dilakukan modifikasi dosis,. Pada saat persalinan normal, begitu juga pada
seksio sesaria.
6. Terhadap hati
Pada konsentrasi 1,5 vol%, halotan akan menurunkan aliran darah pada
lobulus sentral hati sampai 25-30%. Faktor-faktor yang lain disamping
halotan yang ikut berpengaruh terhadap aliran darah, antara lain aktivitas
sistem saraf simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia, hiperkarbia dan
refleks splangnik. Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini
menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang diduga sebagai penyebab
dari “hepatitis post-halothane”. Kejadian ini akan lebih bermanifes, apabila
diberikan halotan berulang dalam waktu yang relatif singkat.
Kejadian “hepatitis post-halotane”, pertama kali dilaporkan di USA pada
tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan penelitian besar-besaran
untuk membuktikan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada 850.000 kasus
pasien yang diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian ini menyangkal
33
anggapan bahwa halotan menimbulkan nekrosis sel hati. Selanjutnya
beberapa percobaan laboratorium juga gagal membuktikan efek toksik
langsung halotan pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada saat ini adalah
bahwa mungkin saja terjadi nekrosis sel hati setelah anestesia dengan
halotan, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
7. Terhadap suhu tubuh
Induksi dengan halotan akan segera menurunkan suhu sentral tubuh
sebesar 1 derajat celcius, tetapi akan meningkatkan suhu permukaan tubuh
akibat redistribusi panas tubuh ke permukaan. Selanjutnya pada periode
pemeliharaan anestesia, suhu permukaan pun akan turun akibat dilatasi
pembuluh darah seehingga terjadi pelepasan panas tubuh.
C. METABOLISME
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui
metabolism di hati. Hasil metabolismenya berupa bromide dan asam
trifluoroasetat.
D. PENGGUNAAN KLINIK
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan
anak-anak yang tidak kooperatif, halotan digunakan untuk induksi bersama-
sama dengan N2O secara inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec, halomix, copper kettle, dragger
dan lain-lainnya.
E. DOSIS
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
2,0-3,0% bersama-sama N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya
berkisar anatara 1,0-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar
antara 0,5-1,0%.
34
F. INTERAKSI OBAT
Efek depresi ventilasi dan sirkulasi menurun dengan substitusi oksida
nitrosa. Efek pendepresi sirkulasi dipotensiasi oleh hipoksemia arteri,
antihipertensi, antagonis adrenergic beta, CCB,. Takikardia, aritmia, dan
hipertensi yang dapat terjadi pada pemakaian bersama kokain dan
simpatomimetik (contohnya epinefrin). Mempotensiasi relaksan otot
depolarisasi dan nondepolarisasi. Mengurangi ekstraksi paru dan
meningkatkan kadar serum propofol dan norepinefrin (konsentrasi halotan
>1,5%). Konsentrasi alveolar minimal (MAC) berkurang oleh oksida nitrosa,
klonidin, litium, ketamin, pankukronium, agonis narkotik, fisostigmin,
neostigmin, sedative-hipnotik, klorpromazin, verapamil, hipotermia,
hiponatremia, hipoosmolalitas, kehamilan. Konsentrasi alveolar minimum
(MAC) ditingkatkan oleh inhibitor MAO, efedrin, levodopa, penyalahgunaan
etanol kronik, hipernatremia, hipertermia dan ingesti kokain akut dan
amfetamin akut.
G. KONTRAINDIKASI
Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien :
1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.
H. KELEBIHANAN DAN KEKURANGAN
Kelebihannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak intattif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan mual
muntah dan tidak meledak atau cepat terbakar.
Kekurangannya adalah batas keamanannya sempit (mudah terjadi
kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus
dikombinasikan dengan obat lain. Selain itu juga menimbulkan hipotensi,
gangguan irama jantung dan hepatotoksik, serta menimbulkan menggigil
pasca anestesia. Hepatitis halotan jarang sekali terjadi, disebabkan oleh
reaksi alergi atau hipersensitivitas terhadap halotan atau metabolitnya dan
biasanya terdiri dari pembentukan difus 2-5 hari setelah anasthesi. Tetapi
perlu ditegaskan bahwa banyak kondisi lain yang terlihat pada pasien operasi
35
yang berhubungan dengan gambaran klinik seperti hepatitis. Oleh karena itu
adanya hepatitis halotan masih dipertanyakan.
C. Malignant Hiperthermi
Hipertermia maligna merupakan suatu kondisi hipermetabolik akut otot skelet yang abnormal akibat terpapar anestesi inhalasi dan atau pelumpuh otot golongan depolarisasi. Manifestasi klinis berupa hiperkarbi, takikardi, takipneu, peningkatan suhu tubuh, rigiditas otot skelet, aritmi, asidosis metabolik, hipertensi, hipoksemi, hiperkalemi, mioglobinuri. Penanganan menghentikan dengan segera 'triggering anesthetics', hiperventilasi dengan oksigen 100%, hentikan operasi, regulasi suhu tubuh, penanganan aritmi, hiperkalemi, pemberian dantrolene bila tersedia, perawatan di ICU.
Hipertemia Malignant yaitu suatu penyakit yang merupakan warisan (genetik) pada sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal penderita ini biasanya mengalami abnormalitas kontraksi otot. Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia. Hipertermia ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang diturunkan secara autosomal dominan. Pada episode akut terjadi peningkatan kalsium intraselular dalam otot rangka sehingga terjadi kekakuan otot dan hipertermia. Pusat pengatur suhu di hipotalamus normal sehingga pemberian antipiretik tidak bemanfaat.
Hipertermia Maligna (MH) merupakan salah satu mimpi buruk para pelaku anestesia yang jarang terjadi namun fatal. Namun ini bukanlah kesalahan prosedur anestesia atau alergi obat anestetik. Kumpulan gejala klinis yang diakibatkan oleh peningkatan tonus dan metabolisme otot rangka terjadi sangat cepat dan hebat, oleh karena itu sering mengakibatkan mortalitas. Dantrolen (dantrolene) disebut telah menurunkan mortalitas akibat MH dari 80% menjadi 5% saja. Sejak pertama kali kejadian MH dilaporkan th 1960 hingga kini, belum ada alternatif terapi selain dantrolen. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ketersediaan dantrolen di semua negara adalah krusial, hingga nanti jika ditemukan alternatif lain.
Gambaran klinis meliputi kekakuan otot terutama otot masseter sehingga menyebabkan rhabdomyolisis, peningkatan CO2 tidal, takikardia,
36
dan peningkatan suhu tubuh yang cepat (0.50 – 1.00 C tiap 5 - 10 menit, suhu dapat mencapai 440C) Keabnormalitasan ini terdapat dalam retikulum sarkoplasma yang terdapat pada otot lurik yang menyebabkan peningkatan jumlah kalsium intraseluler dari sel otot. Faktor-faktor pemacu hipertemia malignant:
Halothane (anesthesia agent) atau anestesi lain yang digunakan dengan cara menghirup. Succinylcholine (neuromuscular blocker) Phenothiazine Haloperidol
Tanda dan Gejala :
Hyperthermia Kekakuan otot Acidosis Instabilitas CV
Tatalaksana utama adalah menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan agresif dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT, rectal, dan IV), segera menghentikan pemakaian obat anestesi, pemberian oksigen 100%, memperbaiki asidosis, furosemid (1 mg/kgBB), manitol 20% (1 g/kgBB),insulin, dextrose, hidrokortison, Dantrolone (antidote spesifik 2.5 mg/kgBB IV dan kemudian tiap 5-10 menit) dan mengatasi aritmia.
Etiologi
Malignant Hyperthermia bukanlah semacam alergi, melainkan kelainan yang diwariskan yang ditemukan pada manusia dan babi. Malignant hyperthermia merupakan sebuah trait autosomal dominant yang diwariskan dengan penetrance yang kecil. Hal ini berhubungan dengan mutasi pada 2 gen, yaitu RyR1 (Ryanodine Receptortype 1) yang mengkodekan skeletal muscle isoform dari calcium release channel pada sarcoplasmic reticulum, dan CACNA15 yang mengkodekan alpha subunit dari L-type calcium channel isoform pada sarcolemma (dihydropyridine receptor). Penghentian yang menyimpang dari aktivitas RyR1 ditemukan pada orang yang MH susceptible. Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot skeletal. Gen Ryr1 terdapat pada kromosom 19. Mutasi pada RyR1 terjadi pada sedikitnya 50% orang dengan MH. Lebih dari 30 mutasi dan 1 delesi dihubungkan dengan caffeine halothane contracture test (CHCT) yang positif, clinical malignant hyperthermia episode, atau keduanya. CHCT adalah kriteria standar untuk menegakkan diagnosis MH.
Patofisiologi
MH bukan merupakan penyakit alergi terhadap zat anestetik atau zat lainnya. MH adalah kelainan genetik autosomal dominan. Jadi MH bukan penyakit akibat anestesia. Meskipun tidak mengalami krisis MH, penyandangnya tetaplah
37
penyandang MH. Autosomal dominan berarti cukup satu orangtua yang menyandangnya, maka kemungkinan besar anak-anak mereka juga menyandang MH. Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot skeletal.
Pada setiap manusia normal, RyR “menempel” pada retikulum sarkoplasmik dalam sel, yang merupakan gudang penyimpanan terbesar Ca2+
intraselular. Aktivasi RyR akan menyebabkan penglepasan Ca2+ ke sitosol. Apa yang mengaktivasi RyR? Potensial aksi. Potensial aksi akan mengaktivasi RyR, “membuka” retikulum sarkoplasmik sehingga memungkinkan Ca2+ yang tersimpan keluar ke sitoplasma. Ca2+ inilah yang memicu eksitasi sel dengan hasil kontraksi sel otot. Jadi, yang berperan besar dalam eksitasi sel adalah Ca2+ intraselular yang tersimpan di retikulum sarkoplasmik, bukan arus masuk Ca2+ dari ekstrasel ke intrasel. (Karena itu tidak ada gunanya memberikan obat penghambat kanal Ca ketika serangan MH terjadi.)
Pada penyandang MH, mekanisme di atas terjadi berlebihan. Aktivasi RyR yang tidak lazim menyebabkan penglepasan berlebihan dan akumulasi Ca2+ di sitosol, yang berakibat hiperkontraktur sel otot rangka. RyR yang abnormali ini “bertingkah” setiap kali terpajan dengan zat pemicunya. Apa saja? Yang paling terkenal adalah anestetika volatil. Pemicu lain yang juga terkenal adalah kafein, suksinilkolin dan suatu zat kimia bernama klorokresol. Ketika penyandang MH terpajan dengan zat pemicunya, terjadilah reaksi malapetaka ini. Otot skeletal pasien akan mengalami hiperkontraktur dengan segala akibatnya.
DIAGNOSIS
Gejala klinis krisis MH tidak sepenting diagnosisnya. Proses ini berlangsung sangat cepat dan tentu lebih penting menyelamatkan pasien daripada berpikir mengenai diagnosis pasti. Baku emas diagnosis pasti MH hingga saat ini masih CHCT (Caffeine-Halothane Contracture Test). Otot tersangka penyandang MH dipajankan dengan halotan dan kafein, kemudian dilihat adakah hiperkontraksi akibat pajanan ini. Sayangnya di dunia baru ada sedikit sekali laboratorium yang melakukan tes ini, sebagian besar di USA. Terlebih lagi, spesimen otot harus segar. Artinya, tersangka penyandang MH harus pergi ke pusat tersebut. Sekali hasil CHCT positif MH, semua saudara kandung dan orangtuanya harus diperiksa kromosomnya, untuk mengetahui dari garis mana MH ini didapat. Karena CHCT sangat terbatas, saat ini mulai digalakkan pemeriksaan alternatif, yaitu langsung dilakukan pemeriksaan kromosom untuk melihat mutasi yang sesuai. Namun dikatakan, hanya sekitar 30% pasien yang positif CHCT juga terbukti mengalami mutasi genetik sesuai MH.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Beberapa kondisi menunjukkan gambaran klinis mirip dengan krisis MH adalah:
38
1. Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS). Ini adalah reaksi sebagian pasien yang mendapat antipsikosis tertentu. Terjadi penurunan aktivitas dopamin, baik akibat blokade maupun akibat withdrawal terapi dengan obat dopaminergik. Selain suhu yang meningkat, pasien akan menunjukkan agitasi atau penurunan kesadaran, rigiditas otot, diaforesis dan disfungsi otonom. Terapinya simtomatik, namun dantrolen dan bromokriptin dapat meredakan dengan cepat.
2. Serotonin Syndrome atau tepatnya toksisitas serotonin. Banyak obat dapat memicu reaksi ini, terutama jika digunakan bersama-sama. Agonis 5HT (golongan triptan), antagonis 5HT (ondansetron, granisetron), obat antikolinergik (metoklopramid), antidepresan (misalnya inhibitor MAO), opioid, stimulan otak (amfetamin, metamfetamin, kokain), bahkan obat-obat herbal (misalnya ginseng) dilaporkan dapat memicu toksisitas serotonin. Hipermetabolisme yang terjadi di sini tidak disertai rigiditas otot. Biasanya yang terjadi adalah tremor, hiperefleksia atau twitching. Terapinya adalah antagonis serotonin (siproheptadin atau klorpromazin) dan simtomatik.
3. MH-like Syndrome. Kondisi mirip dengan krisis MH juga dapat terjadi pada pasien dengan kelainan muskuloskeletal yang dibius dengan anestetika inhalasi, terutama jika prosedurnya melibatkan manipulasi otot (misalnya operasi koreksi strabismus). Gejala klinis yang timbul tidak sehebat krisis MH dan diterapi simtomatik. Pasien yang mengalami kondisi ini bukan penyandang MH.
PANDUAN TATALAKSANA KRISIS HIPERTERMIA MALIGNA INTRA-ANESTESIA (dimodifikasi dari berbagai panduan di dunia);
1. Segera hentikan semua zat anestetik volatil. 2. Aktifkan situasi kegawatdaruratan.3. Naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2. Gunakan oksigen tinggi
dengan melihat SpO2.4. Berikan dantrolen sodium. Dosis inisial 2,5 mg/kg BB, dilakukan secara bolus
intravena.5. Dinginkan pasien. Gunakan ice packs di inguinal, aksila dan leher.6. Lavase lambung dengan cairan dingin.7. Hentikan pendinginan jika suhu badan telah mencapai 38,5 °C.8. Ganti CO2 absorber tiap kali telah jenuh.9. Atasi aritmia sesuai algoritma. Jangan gunakan Ca channel blocker10. Dosis lanjutan dantrolen dititrasi sesuai perubahan ETCO2 dan laju jantung.11. Batas dosis total (bolus dan rumatan) dantrolen adalah 10 mg/kg BB, namun
boleh ditambah bilamana sangat perlu.12. Periksa AGD, elektrolit, kreatinin kinase urin. Hiperkalemia diatasi dengan
insulin dan glukosa, ditambah hiperventilasi. 13. Periksa koagulasi lengkap setelah 6-12 jam.14. Pastikan semua proses tercatat dan segera dilaporkan ke Indonesian 15. MH Registry.
Terapi / pengobatan yang bisa dilakukan :
Penghentian anestesi Infus secara intravena dantrolene sodium Procainamide,untuk menghindari kejang otot Obat-obatan yang memacu hyperthermia Psychotropic drugs Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) Tricyclic antidepressants à dinetralisir dengan physostigmine
39
Amphetamine
D. Apendiktomi
Apendiks
Apendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum
tepat di bawah katup ileocecal .
Apendisitis
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing, dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi
dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka
kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing
yang terinfeksi hancur.
Apendiktomi
Apendiktomi adalah pengangkatan terhadap appendiks terimplamasi dengan
prosedur atau pendekatan endoskopi.
Anatomi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch ( analog dengan
Bursa Fabricus ) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung,
panjangnya kira-kira 10cm ( kisaran 3-15cm ) dengan diameter 0,5-1cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Basis appendiks terletak di bagian postero medial caecum, di bawah katup
ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis apendiks. Apendiks
verviformis disangga oleh mesoapendiks ( mesenteriolum ) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi
a.Apendikularis ( cabang a.ileocolica). orificiumnya terletak 2,5cm dari katup
ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. Struktur apendiks mirip
dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria ( oto longitudinal dan sirkuker ) dan serosa. Apendiks mungkin
tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum
yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan
apendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
40
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis columnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding luar
( outer longitudinal muscle ) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada
pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk
mencari apendiks.
Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yng berlebih akan menjadi apendiks, yang berpindah dari
medial menuju katup ileosekal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya kasus insiden apendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus
yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n.torkalis. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT ( Gut associated Lymphoid tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh. Jaringan
lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama masa pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.
Etiologi
41
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan
cacing askaris terdapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.histolyca.
Patologi
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 - 48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh
adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah
dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan
sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
Manifestasi Klinis
Gejala Perkembangan klasik dari gejala adalah anoreksia, ( hampir semuanya
mengalami ), diikuti dengan nyeri periumbilikal konstan derajat sedang dengan
pergeseran dalam 4-6 jam menjadi nyeri tajam pada kuadran bawah. Posisi apendiks
yang bervariasi atau malrotasi, memungkinkan variabilitas dari lokasi nyeri.
Selanjutnya dapat terjadi episode muntah, bersamaan dengan obstipasi atau diare,
terutama pada anak – anak.
Tanda Ditentukan oleh posisi dari apendiks dan apakah apendiks mengalami ruptur.
Tanda – tanda vital memperlihatkan takikardi ringan atau kenaikan temperatur 10 C.
Posisi yang nyaman bagi pasien adalah posisi seperti fetus atau terlentang dengan
tungkai ditarik, terutama tungkai kanan. Gerakan posisional menyebabkan nyeri.
Apendiks anterior memberikan nyeri tekan maksimum, kekakuan otot ( defense
muskular ), dan nyeri lepas pada titik McBurney ( sepertiga jarak dari spina iliaka
anterior superior ke umbilikus ). Hiperestesa kutaneus mungkin dapat ditemukan
dini dalam daerah yang dipasok oleh saraf spinalis kanan T10, T11, T12. Tanda
Rovsing (nyeri kuadran kanan bawah dengan palpasi dalam kuadran kiri bawah )
42
menandakan iritasi peritoneum. Tanda psoas ( dengan perlahan paha kanan pasien
diekstensikan pada saat berbaring pada sisi kiri ) memperlihatkan inflamasi di
dekatnya pada saat meregangkan otot iliopsoas. Tanda obturator ( rotasi interna
pasif dari paha kanan yang difleksikan dengan pasien dalam posisi terlentang )
menandakan iritasi di dekat obturator internus. Apendisitis rektosekal dapat timbul
dengan nyeri hebat. Apendisitis pelvikum dapat memberikan nyeri pada
pemeriksaan rektum, dengan penakanan pada kantong Douglas.
Pemeriksaan Pemeriksaan menurut Betz ( 2002 ), Catzel ( 1995 ), Hartman ( 1994 ),
antara lain :
1. Anamnesa Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang
penting adalah :
a. Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri viseral ) yang beberapa waktu kemudian
menajalar ke perut kanan bawah
b. Muntah oleh karena nyeri viseral
c. Panas ( karena kuman yang menetap di dinding usus )
d. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit,
menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri
2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong
untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi
kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut :
a. Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan.
b. Kadang ada fecolit (sumbatan), pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara
bebas dalam diafragma.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih
dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis
tidak menyingkirkan apendistis
b. Hitung jenis : tedapat pergeseran ke kiri
c. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit
lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan
terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb ( hemoglobin ) nampak normal. Laju
endap darah ( LED ) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin
penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
Penatalaksanaan
43
Penatalaksanaan apendiksitis menurut Mansjoer, 2000 :
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena
5. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai
6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi
b. Operasi
1.Apendiktomi
2.Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
3.Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan
c. Pasca Operasi
1. Observasi TTV
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan
makanan lunak
7. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit
8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai
dengan :
1. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
44
2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda – tanda peritonitis
3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik – baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih
tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. ( Arif
Mansjoer dkk, 2000 ) Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang
telah mereda ditandai dengan :
1. Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih
2. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi
3. Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda – tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan
4. Laboratorium hitung leukosit dan hitung jenis normal
Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan
istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan
perdarahan lebih banyak, lebih – lebih bila masa apendiks telah terbentuk lebih dari
satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.
Komplikasi
1. Menurut Hartman, dikutip dari Nelson 1994 : a. Perforasi b. Peritonitis c. Infeksi
Luka d. Abses intra abdomen e. Obstruksi intestinum
2. Menurut Arif Mansjoer, 2000 : Apendisitis adalah penyakit yang jarang meredea
dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai
kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang
terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda – tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi,
ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis
umum pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama sekali datang, diagnosis
dapat ditegakkan dengan pasti. ( Arif Mansjoer dkk, 2000 ) Bila terjadi peritonitis
umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi.
Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler
medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian
penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian
45
antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septik secara intensif, bila ada. ( Arif Mansjoer dkk, 2000 ) Bila
terbentuk abses apendiks akan teraba masssa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik ( misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau
klindamisin ). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi
dapat dilakukan 6 – 12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau
vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase. ( Arif Mansjoer dkk,
2000 ) Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan
komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis,
menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada
keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus juga dapat terjadi akibat
perlengketan.
Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30%
kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa
Pencegahan harus sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan
E. Pemeriksaan laboratorium
Rhabdomyolisis
Definisi
Rhabdomyolysis adalah sindrom yang disebabkan oleh cedera pada otot rangka dan melibatkan kebocoran cairan intraseluler dalam jumlah besar ke dalam plasma. Hal ini diterjemahkan menjadi "penghancuran otot rangka" dan merupakan hasil akhir dari berbagai proses yang perubahan dan perusakkan. Pada orang dewasa, rhabdomyolysis mempunyai 3 ciri khas yaitu kelemahan otot,myalgia dan urin yang berwarna kecoklatan gelap. Namun ketiga karakter ini terkadang jarang muncul bersamaan.
Patofisiologi
Rhabdomyolysis disebabkan oleh banyak etiologi namun pada dasarnya ini merupakan dari kerusakan pada sarcolemma dan pelepasan komponen intraseluler sel otot. Mekanisme kerusakan dalam rhabdomyolysis mencakup kerusakan membrane sel,hipoksia sel otot, deplesi ATP dan gangguan elektrolit pada pompa natrium-kalium.
46
Sarcolemma merupakan selaput tipis yang membungkus serat otot lurik, disana terdapat banyak pompa yang mengatur gradient elektrokima seluler. Konsentrasi natrium intraseluler biasanya dijaga pada 10 mEq/L oleh pompa natrium-kalium adenosine triphosphatase (Na/K-ATPase) yang terletak di sarcolemma tersebut.
Pompa Na/K-ATPase secara memompa natrium dari dalam sel ke luar sel. Akibatnya bagian dalam sel lebih negative daripada bagian luar sel. Gradient ini menarik natrium ke dalam sel sebagai pergantian dari keluarnya kalsium, melalui mekanisme protein carrier. Selain itu, pertukaran kalsium secara aktif juga terjadi, yaitu kalsium masuk kedalam sarkoplasmic reticulum dan mitokondria. Pompa Na/K-ATPase ini bekerja menggunakan ATP (energy)
Bila, ada gangguan dari fungsi pompa NA/K-ATPase ini yang bisa disebabkan oleh kerusakan membran sel atau kurangnya energy, keseimbangan komposisi elektrolit. Sehingga terjadi peningkatan kalsium intraseluler. Peningkatan kalsium dalam sel ini akan mengakibatkan hiperaktivitas dari protease dan enzim proteolitik dan memacu terbentuknya radikal bebas oksigen. Enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi myofilamen dan merusak membrane fosfolipid dari sel sehingga terjadi kebocoran cairan intraseluler ke dalam plasma. Cairan ini terdiri dari kalium,fosfat,creatinin kinase, asam urat dan myoglobin. Cairan intrasel ini juga dapat terakumulasi pada jaringan otot sekitarnya.
Etiologi
Rhabdomyolysis mungkin terjadi setelah peristiwa traumatis, termasuk yang berikut:1. trauma tumpul2. Cedera listrik tegangan tinggi3. Luka bakar
Rhabdomyolysis mungkin terjadi setelah aktivitas otot yang berlebihan, seperti berikut: 1. Sporadis berat latihan (misalnya, maraton, jongkok, push-up, sit-up)
47
2. Status epilepticus 3. Status asthmaticus 4. Psikosis akut
Rhabdomyolysis Toksin-dimediasi dapat dihasilkan dari penyalahgunaan zat.
Myoglobinuria
Definisi
Myogolbinuria, diartikan dari kata pembentuknya yaitu terdapatnya myoglobin di dalam urin. Myoglobinuria biasanya merupakan akibat dari rhobdomyolysis yaitu perusakan sel otot. Semua proses yang mengganggu penyimpanan atau penggunaan energy oleh sel otot dapat menyebabkan myoglobinuria.
Patofisiologi
Mioglobin dilepaskan dari jaringan otot oleh kerusakan sel dan perubahan dalam permeabilitas membran sel otot rangka. Dalam kondisi normal, pompa natrium kalium ATPase mempertahankan kandungan natrium sangat rendah intraselular. Saluran natrium-kalsium terpisah maka berfungsi untuk memompa tambahan natrium ke dalam sel dalam pertukaran untuk ekstrusi kalsium dari sel. Selain itu, sebagian kalsium intraseluler biasanya diasingkan dalam organel. Kerusakan pada sel-sel otot mengganggu dengan kedua mekanisme, yang menyebabkan peningkatan kalsium terionisasi bebas dalam sitoplasma. Kalsium intraseluler tinggi mengaktifkan enzim kalsium yang lebih banyak tergantung memecah membran sel, menyebabkan pelepasan isi intraselular seperti mioglobin dan creatine kinase ke sirkulasi. Sebuah model dari domain heliks dari mioglobin ditampilkan pada gambar di bawah.
Mioglobin adalah, gelap-merah-17,8 kDa, protein heme monomer yang mengandung zat besi dalam bentuk ferro (Fe +2). Hal ini mudah disaring oleh glomerulus dan cepat diekskresikan ke dalam urin. Ketika jumlah besar mioglobin memasuki lumen tubulus ginjal, berinteraksi dengan protein Tamm-Horsfall dan terpresipitasi, proses ini dibantu dengan keasaman urin. obstruksi tubulus terutama terjadi pada tingkat tubulus distal. Selain itu, spesies oksigen reaktif yang dihasilkan oleh kerusakan baik otot dan sel-sel epitel ginjal yang mempromosikan oksidasi oksida besi untuk oksida besi (Fe +3), sehingga menghasilkan radikal hidroksil. Baik gugus
48
heme dan radikal bebas hidroksil besi bisa menyebabkan mediator kritis dan bersifat toksis tubulus langsung, yang terutama terjadi di tubulus proksimal.
Dengan demikian, terjadi pengendapan mioglobin dalam tubulus ginjal dengan obstruksi sekunder dan keracunan tubular, atau keduanya merupakan penyebab utama untuk cedera ginjal akut selama myoglobinuria.
Patofisiologi
Listrik tegangan tinggi DC →kontak dengan tangan →masuk ke dalam
jaringan,yang resistensinya paling tinggi (tulang)→energi listrik berubah jadi
energy panas→ merusak jaringan sekitar
Pada Kulit →luka bakar berat karena kontak langsung
Pada Otot → serat otot rusak →rhabdomyolysis →myoglobin masuk aliran
darah → melewati ginjal →myoglobinuria
Pada Pembuluh darah → panas merusak tunika intima →terjadi thrombosis
→ menyumbat aliran darah → compartment syndrome → tidak teratasi →
nekrosis jaringan
Pada Saraf →tahanan paling rendah →(pada kasus ini) rusak →parestesi →luka bakar berat Rhabdomyolyisis
Panas → merusak sarcolemma sel otot → merusak (Na/K-ATPase) pump
yang berada pada sarcolemma → gangguan keseimbangan antara kalium dan
natrium → calcium ikut masuk ke dalam reticulum sarcoplasma dan
mithocondria →menyebabkan hiperaktivitas dari protease dan proteolyitic
enzim →enzim tersebut mendegradasi myofilaments dan merusak
phospholipid membran →kebocoran isi intrasellular (myoglobin , creatinin
kinase, kalium, fosfat dan asam urat) →masuk ke dalam aliran darah
(plasma)
49
Myoglobinuria
Myoglobin hasil dari kerusakan sel otot → masuk aliran darah → masuk ke
ginjal → mudah melewati glomerulus → mudah di eksreksikan ke urin →
myoglobinuria
Bila dalam jumlah yang besar → melewati glomerulus → memasuki tubulus
ginjal → berinteraksi dengan protein Tamm-Horsfall pada lumen tubuli
ginjal → terpresipitasi
F. Anastesi umum
AnestesiA. Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
50
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001)
B. Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1. Anestesi LokalAnestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
2. Anestesi RegionalAnestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
51
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
3. Anestesi UmumAnestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan
nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
1. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.2. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
3. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
4. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya.
5. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
52
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).
C. Obat- obat Anestesi dan Metode Pemberiannya 1. Obat-obat Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impulsimpuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya (Siahaan, 2000).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000). Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.
53
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002). Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obatobatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).
2. Obat-obat Anestesi RegionalMetode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara
blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001). 1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).
a. Anestesi Spinal Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke
dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).
b. Anestesi EpiduralAnestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada
ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992). Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).
c. Anestesi Kaudal Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang
kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di
54
ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001). 2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar, 1992).
3. Obat-obat Anestesi UmumAgar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan (Gan, 1987).
Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien .
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien (Kumala, 2008).
55
VII. Kerangka konsep
56
VIII. Kesimpulan
Tn Ahmad (28 tahun) sedang menjalani Apendiktomi lalu diberikan anastesi berupa Halothane dan Muscle relaxant berupa Succiniylcholine karena terjadi mutasi pada kromosom 19 (19q13.1) & reseptor ryanodine gen (RYR1) yang diturunkan secara autosomal dominan yang menyebabkan terjadinya Malignant Hyperthermia dengan gejala seperti takikardi, hyperthermia, cola coulored urin dll.
57
Daftar Pustaka
1. Duncan, W. A. M. THE ABSORPTION AND DISTRIBUTION OF
HALOTHANE. Journal of Pharmacy and Pharmacology.2011
2. Katzung, B. G. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik, Edisi ke-10. Jakarta : EGC.
3. Ganiswara, G, Suliatia, dkk, 1995, Farmakologi Dan Terapi Edisi ke-4, Fakultas
Kedokteran UI., Jakarta.
4. J. Mycek, Mary, dkk, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2, Widya
Medika., Jakarta.
5. Nuryawan, Iwan. 2009. Perbedaan Pengaruh Pemberian Tiopental Dan Propofol
Terhadap Kadar Serum Aminotransferase Pada Induksi Anestesi Umum.
Semarang: Universitas Diponegoro.
6. Sasongko, Himawan. 2005. Perbandingan Efektifitas Antara Tramadol Dan
Meperidin Untuk Pencegahan Menggigil Pasca Anestesi Umum. Semarang:
Universitas Diponegoro.
7. Chandra, Andien.2011. Hiperthermia (dalam
http://andienchandra.wordpress.com/b-i-o-l-o-g-i/termoregulasi/hiperthermia/ ,
diakses 10 November 2015)
8. Ratridewi, Irene.2010. Hipertermia. (dalam http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=etiologi%20malignant
%20hipertremia&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEYQFjAD&url=http%3A
%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F15854266%2F409605923%2Fname
%2FHIPERTERMI1.docx&ei=3wLJUZ_jCsaGrgfupoGIAw&usg=AFQjCNG1w
O4NyOMa_HBNN3BRmt6jrDhhqw&bvm=bv.48293060,d.bmk , diakses 10
November 2015)
58
9. Anonim. Tanpa tahun. Creatine kinase.
(http://www.mayomedicallaboratories.com/test-catalog/Clinical+and+Interpretive/
8336, diakses 10 November 2015)
10. Anonim. Tanpa tahun. Apendisitis. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21447/4/Chapter%20II.pdf, diakses 10 November 2015)
11. Anonim. Tanpa tahun. Suksinilkolin.(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24478/4/Chapter%20II.pdf, diakses 10 November 2015)
59