17
LAPORAN KELOMPOK BLOK BIOETIKA DAN HUMANIORA SKENARIO II PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT TANPA IDENTITAS Kelompok 7 Imam Mi’raj Suprayoga (G0009105) Catur Nugroho (G0009045) Satria Wardana (G0009197) Nur Ismi Mustika Febriani (G0009155) Fitri Prawitasari (G0009085) Wiharesi Putri S. (G0009211) Humaira K. Ulin Noor (G0009101) Ardina Nur Pramudhita (G0009025) Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145) Puji Astuti Anggara (G0009173) Ema Nur Fitriana (G0009073) 1

Laporan Tutorial Otopsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

Page 1: Laporan Tutorial Otopsi

LAPORAN KELOMPOK

BLOK BIOETIKA DAN HUMANIORA

SKENARIO II

PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT

TANPA IDENTITAS

Kelompok 7

Imam Mi’raj Suprayoga (G0009105)

Catur Nugroho (G0009045)

Satria Wardana (G0009197)

Nur Ismi Mustika Febriani (G0009155)

Fitri Prawitasari (G0009085)

Wiharesi Putri S. (G0009211)

Humaira K. Ulin Noor (G0009101)

Ardina Nur Pramudhita (G0009025)

Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145)

Puji Astuti Anggara (G0009173)

Ema Nur Fitriana (G0009073)

Tutor : Dra Martini M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009

1

Page 2: Laporan Tutorial Otopsi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Pada dasarnya, janji yang diberikan seorang dokter bukanlah kesembuhan, tetapi

berbuat sebaik-baiknya. Tetapi tak jarang pula untuk mencapai usaha sebaik-baiknya itu

seorang dokter dihadapkan pada pilihan yang sulit dan serba salah. Pilihan sulit sering terjadi

pada pasien yang berada pada kondisi gawat darurat. Di satu sisi dokter harus tetap

menjalankan tugasnya sesuai dengan standart profesi, kode etik kedokteran, serta sumpah

dokter yang telah diucapkannya. Di sisi lain, tak jarang pula tindakan yang dilakukan tersebut

menimbulkan resiko bagi pasien. Saat resiko terburuk terjadi, langkah-langkah dokter

kembali dipertanyakan, mulai dari prosedur penanganan pasien hingga kesesuaian dengan

hukum dan etis. Keputusan dokter tidak hanya sebelum dan saat penanganan, tetapi juga

pasca penanganan.

Seorang dokter harus mampu mengambil keputusan tepat dengan resiko paling kecil

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa meninggalkan aspek etis, selain itu juga aspek

hukum dan teknis.

Seperti yang terjadi pada skenario 2 :

Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa penolong ke rumah

sakit. Korban dalam keadaan tidak sadar, dimasukkan instalasi gawat darurat. Dokter

bersama paramedik dengan profesional memberikan pertolongan sesuai standart profesi.

Usaha untuk menyelamatkan kehidupan pasien gagal, setelah dilakukan pertolongan di IGD

selama 10 menit korban meninggal. Korban dibawa ke kamar jenazah untuk dilakukan otopsi

untuk mengetahui sebab kematian.

B. Hipotesis

Dalam skenario diatas, tindakan dokter sudah sesuai jika dilihat dari aspek etis,

hukum, dan medis, kecuali pada bagian pasca penanganan (Otopsi).

2

Page 3: Laporan Tutorial Otopsi

C. Rumusan masalah

1. Bagaimana penatalaksanaan pasien gawat darurat tanpa identitas yang sesuai dengan

standart profesi kedokteran dan aspek etis?

2. Apa aspek hukum dan etis dari suatu Kejadian Yang Tidak Diinginkan (KTD)?

3. Bagaimana prosedur dan syarat-syarat pasca penanganan pasien tanpa identitas jika

terjadi KTD (dilakukannya otopsi) ?

D. Tujuan

1. Menjelaskan penatalaksanaan pasien gawat darurat tanpa identitas yang sesuai dengan

standart profesi kedokteran.

2. Menjelaskan aspek hukum dan etis dari suatu Kejadian Yang Tidak Diinginkan

(KTD).

3. Menjelaskan prosedur dan syarat-syarat otopsi, serta bagaimana penerapannya pada

pasien tanpa identitas yang mengalami KTD.

D. Manfaat Pembelajaran

Dalam pembelajaran blok bioetika dan humaniora skenario 2 ini, mahasiswa

diharapkan dapat :

1. Mempertimbangkan aspek etis dalam penanganan pasien sesuai dengan standart

profesi kedokteran

2. Mempertimbangkan aspek hukum dan disiplin dalam KTD

3. Berperan dalam pengelolaan pasien dan menerapkan nilai-nilai profesional.

3

Page 4: Laporan Tutorial Otopsi

BAB II

STUDI PUSTAKA

Kewajiban Dokter Berkenaan dengan Pertolongan gawat darurat

UU Pradok 2004 menyebutkan bahwa, “Dokter dalam melaksanakan prakteknya

wajib memberikan pelayanan medis sesuai standart profesi dan prosedural.”

Dalam Kodeki pasal 14, “setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai

suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih

mampu melakukan.”

Persetujuan Dokter-Pasien

Terpenting untuk diketahui oleh dokter adalah bahwa tindakan dalam bentuk apapun

yang dilakukan dokter kepada pasien harus disertai adanya persetujuan pasien. Hal ini

merupakan perwujudan dari hak asasi manusia yaitu hak atas informasi (right to information)

dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self determination), yang merupakan

dasar yang sering terjadi dalam peristiwa hubungan dokter pasien. (Wujoso, 2009).

Pada pasien yang “tidak sadar” jika ada keluarganya atau walinya atau penolongnya,

maka persetujuan dilakukan dengan pihak keluarga atau wali atau penolongnya. Atau jika

tidak ada siapapun dan ditemukan sendirian maka saling setuju otomatis terjadi antara dokter

dengan pasien melalui konsep ius delitico (ikatan yang timbul karena undang-undang).

(Wujoso, 2009)

Permenkes pasal 11 No.585/1989 menyebutkan bahwa, “Dalam hal pasien tidak

sadar/pingsan serta tidak didampingi keluarga terdekat dan secara medik berada dalam

keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk

kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.

4

Page 5: Laporan Tutorial Otopsi

Informed Consent

Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju atau ijin dari

pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan tentang tindakan kedokteran

yang akan dilakukan terhadapnyasesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan

kedokteran yang dimaksud.

Informed consent tidak dapat mutlak diadakan karena tetap ada pihak yang

bertanggungjawab. Perkecualian hanya akan dilakukan jika kondisi memang tidak

memungkinkan untuk dilakukan informed consent, seperti pada pasien darurat, tidak sadar,

tidak ada keluarga, tidak ada identitas, maka tindakan medik dilakukan untuk keselamatan

kehidupan pasien. Informed consent tidak dapat dilaksanakan.(Wujoso, 2009)

Kejadian Tidak Diinginkan

Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) adalah setiap kejadian medik yang terjadi pada

pasien atau subyek penelitian klinik setelah mengkonsumsi produk uji dan tidak selalu

mempunyai hubungan sebab akibat dengan pengobatan. (KEPK-BPPK Depkes,2008)

Otopsi

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat untuk menemukan proses

peyakit/adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan tersebut, menerangkan sebab

kematian, mencari sebab akibat antara kelalaian dengan penyebab kematian. (Mansyur,

2000).

Macam-macam otopsi

Otopsi anatomis : pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang

diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai

bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi)

Otopsi klinis : pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit setelah

mendapat perawatan yang cukup dari dokter. Pembedahan ini dilakukan denagan

tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit setelah 5

Page 6: Laporan Tutorial Otopsi

dilakukan secara intensif terlebih dahulu serta untuk mengetahui secara pasti jenis

penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit

Otopsi forensik : pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari kebenaran

hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaaan pembunuhan, bunuh

diri, kecelakaaan, dll. Pembedahan seperti ini biasanya dilakukan atas permintaan

pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang.

Hasil visum dokter (visum et repertum) ini akan mempengaruhi keputusan hakim

dalam menentukan suatu perkara.

Syarat-syarat otopsi

Dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga yang mengambil jenasahnya

Terdapat surat permintaan dari kepolisian

Diduga jenasah menderita penyakit yang membahayakan masyarakat

6

Page 7: Laporan Tutorial Otopsi

BAB III

PEMBAHASAN

Jika pasien datang dalam keadaan darurat, tim dokter harus mendapat persetujuan

dari pihak pasien bila pasien masih dalam keadaan sadar, tetapi bila pasien dalam keadaan

tidak sadar diri, dokter mendapat persetujuan secara langsung untuk melakukan tindakan

medis keadaan darurat. Sebagaimana sesuai dengan UU no. 29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1,

setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter

gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan

tentang informed concent menyatakan dalam hal pasien tidak sadar atau pingsan serta tidak

didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat dan

atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan

persetujuan dari siapapun.

Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan

adalah mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul,

meringankan penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan penyakit

menular dari penderita. (Sujito, 2003)

Dan dalam kasus ini dokter telah melakukan prosedur yang benar meskipun gagal.

Kegagalan inilah yang disebut sebagai kejadian tidak diinginkan (KTD), dan kegagalan ini

tidak bisa dituntut karena prosedur yang dilakukan oleh dokter sudah benar sesuai dengan

UU Pradok 2004 dan SOP yang berlaku di rumah sakit tempat pasien dirawat. Di mana SOP

dapat digunakan sebagai landasan etis bagi dokter yang bertugas di rumah sakit tersebut, di

samping juga menjadi dasar aspek disiplin yang berlaku. Meskipun dokter telah melakukan

upaya sebaik mungkin, KTD dapat tetap menjadi resiko terburuk. Korban yang kemudian

meninggal diotopsi oleh dokter , padahal seharusnya otopsi harus dilakukan dengan seizin

polisi bila korban tersebut tidak memiliki identitas, dan harus mendapat persetujuan dari

keluarga bila ada pihak keluarga yang menunggu.

7

Page 8: Laporan Tutorial Otopsi

Menurut Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, KTD berprinsip bahwa dokter

tidak menyembuhkan, tetapi berbuat dengan sebaik-baiknya. KTD di sini merupakan proses

dan bukan hasil. KTD sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Malpraktek (terjerat hukum)

a. Culpalata kelalaian yang berakibat fatal.

b. Culpalevis kelalaian yang berakibat tidak fatal (ringan).

Tindakan seorang dokter dapat digolongkan sebagai malpraktek apabila :

Dokter spesialis yang sedang bertugas jaga tidak bersedia datang.

Dokter secara langsung merujuk pasien ke rumah sakit lain tanpa melakukan

pertolongan pertama.

Dokter menunda-nunda tindakan medik.

Lalai dalam menjalankan kewajiban

Tidakmenjalani prestasi sesuai standart SOP

2. Non malpraktek (tidak terjerat hukum)

Berdasarkan KUHPerdata pasal 1245 yang isinya menyatakan tidak ada biaya

pengggantian dana atau bunga karena memaksa atau kebetulan.

Berdasarkan Pradok 2004, dokter mendapat perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan prosedur secara benar

Non malpraktek dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Resiko terikut tindakan (RTT)

b. Komplikasi

c. RTLB (Resiko Tak Laik Bayang ), merupakan suatu kejadian yang tak

terbayangkan oleh dokter tapi no eror dan benar menurut hukum.

Kejadian malpraktek dan non malpraktek saat ini sangat sulit untuk dibedakan. Akan

tetapi, malpraktek itu berawal dari adanya wanprestasi yang memiliki ciri sebagai berikut :

Sama sekali tidak memenuhi prestasi

Hanya memenuhi sebagian prestasi

Melakukan prestasi tetapi salah

8

Page 9: Laporan Tutorial Otopsi

Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan

Kejadian Tidak Diinginkan (KTD). Hal ini memerlukan analisis lebih lanjut, apakah kejadian

ini akibat dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat resiko tindakan

medis yang telah dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal

seperti ini, KTD tidak dapat digolongkan sebagai malpraktik.

Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang

tindakan yang diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedural

operasional yang sesuai. Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan keputusan

medis, dari etika, hukum, (yuridis-pemerintah dan instansi, maupun agama), dan disiplin

profesi. Hal ini diperkuat dengan UU Pradok tahun 2004 yang menyatakan bahwa dokter

dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

Seorang tenaga kesehatan dalam menerapkan keterampilan ilmunya pada pasien tidak

boleh bersifat uji coba dan harus sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). SOP

ditetapkan oleh direktur Rumah Sakit sebagai prosedur baku, maka dengan kata lain dapat

dikatakan SOP tersebut sebagai aturan Rumah Sakit dan dalam arti luas dikenal sebagai

hukum dengan aspek administrasi medis teknis. Hal tersebut diatur dalam UU Pradok pasal

44 :

1. Dokter atau dokter gigi daalam menyelengggarakan praktik kedoteran wajib

sesuai standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi

2. Standar pelayanan sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dibedakan menurut jenis

dan strata sarana pelayanan publik yang ada

3. Standar pelayanan dokter atau dokter gigi sebagaimana ayat 1 dan 2 diatur dalam

Peraturan Menteri.

Menurut disiplin ilmu kedokteran pelaksanaan otopsi yang dilakukan oleh dokter

dalam skenario di atas tidak benar, karena otopsi tidak didasari dengan surat keterangan

permintaan otopsi dari pihak kepolisian, serta belum melewati batas waktu 2 x 24 jam.

9

Page 10: Laporan Tutorial Otopsi

BAB IV

PENUTUP

Simpulan

1. Tindakan dokter pada proses penatalaksanaan pasien gawat darurat dalam kasus di

atas dapat dibenarkan karena telah sesuai dengan standart profesi dan standart

operasional praktik.

2. Tindakan pasca proses (otopsi) tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan

prosedur yang ada,karena terlalu tergesa gesa dalam mengambil keputusan.

3. Dalam KTD (Kejadian Tidak Diinginkan) sepanjang para dokter dan para medis

telah berpegang pada konsep standart profesi dan prosedur operasional, tindakan

medis yang dilakukan dalam kasus di atas tidak dapat disebut malpraktik dan

tenaga kesehatan terlindung dari penuntutan dan sangsi hukum oleh peraturan

kesehatan yang berlaku.

Saran

1. Sebagai seorang dokter ,seharunya berpegang teguh pada konsep standart profesi

dan prosedur operasional dalam menjalankan tugas profesinya.

2. Bagi pasien dan kelurga pasien sebaiknya teliti dalam menerima perlakuan dari

dokter , agar tidak ada yang dapat dipersalahkan dalam hal hal yang tidak di

inginkan.

10

Page 11: Laporan Tutorial Otopsi

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, M. Jusuf.1999.Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC

Wujoso, Hari.2009.Kontrak Terapetik. Solo : UNS Press

Wujoso, Hari.2009.Hukum Kesehatan. Solo : UNS Press

Wujoso, Hari.2008.Analisis Hukum Tindakan Medik. Solo : UNS Press

Wikipedia ensiklopedibebas.2009.otopsi. http://id.wikipedia.org/wiki/ aborsi

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.2007. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat

Darurat.http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=973&tbl=artikel

Komisi Etik Penelitian Kesehaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (KEPK-

BPPK) Depkes RI.2008.Telaah Laporan Serious Advense Events (SAE).

www.litbang.depkes.co.id

11