Upload
icamelisa
View
185
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
blok kulit fk unsri
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO F BLOK 19
Kelompok 7Tutor : dr. Rusmiati, SpPK
Hustinoprianrest 54081001009
Imam Arief Winarta 04111401018
Shelvia Chalista 04111401024
Ali Zainal Abidin 04111401026
Eliya 04111401031
Muharam Yoga Kharisma 04111401043
Intan Permatasari 04111401048
A Rifky Rizaldi 04111401067
Muhammad Reyhan 04111401068
Ririn Tri Sabrina 04111401076
M. Aulia M.O.PC 04111401079
Mohd. Quarratul Aiman 04111401089
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
KATA PENGANTAR
Penulis sangat berterima kasih kepada Dosen pembimbing atas bimbingan
beliau selama proses tutorial skenario F di Blok 19 ini berlangsung.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, yang telah bekarja keras selama ini untuk memenuhi kebutuhan
moril maupun materil penulis dalam menjalani pendidikan.
Terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat dan seperjuagan di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya atas semua dorongan dan semangatnya
sehingga segala yang berat terasa begitu ringan dan yang sulit menjadi mudah.
Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberikan
sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Oktober 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar ........................................................................................ ...2
2. Daftar Isi ..................................................................................................... 3
3. BAB I : Pendahuluan .................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 4
1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................................. 5
4. BAB II : Pembahasan ................................................................................. 5
2.1 Data Tutorial ........................................................................................ 5
2.2 Skenario Kasus ..................................................................................... 6
2.3 Paparan ................................................................................................. 7
2.3.1 Klarifikasi Istilah ......................................................................... 7
2.3.2 Identifikasi Masalah .................................................................... 8
2.3.3 Analisis Masalah .......................................................................... 9
2.3.4 Kerangka Konsep ...................................................................... 28
5. BAB III : Sintesis ...................................................................................... 29
3.1 Otot Ekstraokular dan Inervasinya ................................................ 29.
3.2 Strabismus ...................................................................................... 31
6. BAB IV : Penutup ...................................................................................... 33
4.1 Kesimpulan .................................................................................... 33
7. Daftar Pustaka ............................................................................................ 34
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Neurosensory merupakan blok 19 pada semester 5 dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran
untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis
memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang laki laki berumur 22 tahun
yang datang dengan keluhan mata kanannya juling ke dalam setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu. Ia juga mengeluh mata kanan sulit
digerakkan kearah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila
melihat kearah ke temporal kanan. Kemudian didapatkan berbagai informasi dari
hasil pemeriksaan oftalmologi yang dilakukan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep
dari skenario ini.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutorial Skenario A
Tutor : dr. Rusmiati, SpPK
Moderator : Muhammad Reyhan
Sekretaris papan : Mohd. Quarratul Aiman
Sekretaris meja : M. Aulia M.O.PC
Waktu : Senin, 30 September 2013
Rabu, 2 Oktober 2013
Peraturan tutorial : 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.
2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan
pendapat dengan cara mengacungkan tangan
terlebih dahulu dan apabila telah dipersilahkan
oleh moderator.
3. Tidak diperkenankan meninggalkan ruangan
selama proses tutorial berlangsung.
4. Tidak diperbolehkan makan dan minum.
5
2.2. Skenario F Blok 19 Tahun 2013
Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata
kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu
lintas 6 bulan yang lalu. Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita
sempat kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 menit.
Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke
arah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke
temporal kanan.
Pemeriksaan Oftalmologi :
AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6Hischberg : ET 15°ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominanDuction & Version :
OD OS
Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kananWFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi mata non dominan.FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset.
6
2.3 Paparan
2.3.1 KLARIFIKASI ISTILAH
1. Mata juling ke dalam : Esotropia dextra, deviasi sumbu penglihatan kea rah mata
yang lain (konvergen strabismus).
2. Temporal kanan : Daerah temporal kanan.
3. Penglihatan ganda : Persepsi adanya dua bayangan dari satu objek.
4. AVOD : Aciesvisus oculus dextra; pemeriksaan untuk mengetahui
ketajaman penglihatan mata kanan.
5. AVOS : Aciesvisus oculus sinistra; pemeriksaan untuk mengetahui
ketajaman penglihatan mata kiri.
6. Hischberg test : Suatu pemeriksaan untuk menilai sudut deviasi mata dengan
melokalisir refleks cahaya pada permukaan kornea.
7. ACT : Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah
terjadi deviasi pada mata.
8. Shifting : Perubahan atau penyimpangan yang ditemukan pada OS
mata dominan.
9. WFDT : Pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui
binokularitas mata yang dominan, mata yang supresi, atau
mata yang diplopia.
10. FDT : Pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan ada atu
tidaknya pergerakkan mata karena kelainan neurologis atau
restriksi mekanis.
11. Uncrossed diplopia : Diplopia dimana bayangan pada mata kanan tidak pindah ke
kiri yang merupakan bayangan mata kiri.
12. Uji Duksi : Pemeriksaan yang digunakan untuk melihat perlambatan
atau percepatan dari gerakan otot mata.
2.3.2 IDENTIFIKASI MASALAH
7
1. Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata
kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu
lintas 6 bulan yang lalu.
2. Pada kecelakaan tersebut, kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan
kesadaran selama lebih dari 30 menit.
3. Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke arah
temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke
temporal kanan.
4. Pemeriksaan oftalmologi:
AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6
AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6
Hischberg : ET 15°
ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominan
Duction & Version :
OD OS
Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kanan
WFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila
melihat ke sisi mata non dominan.
FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan
bantuan pinset.
2.3.3 ANALISIS MASALAH
8
1. Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata
kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu
lintas 6 bulan yang lalu.
A. Bagaimana etiologi dan mekanisme mata juling ke dalam?
Etiologi
- Kelumpuhan salah satu atau kedua otot rektus lateralis sebagai akibat
kelumpuhan n. abducens,
- Fraktur dinding medial orbita dengan penjepitan otot rektus medialis,
- Penyakit mata tiroid dengan kontraktur otot rektus medialis,
- Sindrom retraksi duane
Pada kasus ini, etiologi mata juling ke dalam adalah trauma kepala yang
menyebabkan kelumpuhan salah satu atau kedua otot rektus lateralis sebagai
akibat kelumpuhan n. abducens.
Mekanisme
Trauma kepala kelumpuhan n. abducens paresis otot rektus lateralis
mata kanan ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular posisi bola
mata terganggu mata kanan juling ke dalam (esotropia dekstra).
B. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan utama?
Strabismus bisa terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Prevalensi
sekitar 2% anak- anak usia di bawah 3 tahun dan sekitar 3% remaja dan
dewasa muda. Tidak terdapat perbedaan antara jumlah wanita dan pria.
Angka kejadian tertinggi ada pada jenis esotropia strabismus. Strabismus
mempunyai pola dalan keturunan (autosoamal dominan). Misalnya, jika
salah satu atau kedua orangtua stabismus, sangat memungkinkan anaknya
terkena strabismus juga. Namun beberapa kasus bisa terjadi strabismus tanpa
adanya riwayat dalam keluarga.
C. Apa saja klasifikasi mata juling?
9
Klasifikasi mata juling terbagi atas :
1. Menurut manifestasinya
a. Heterotropia : strabismus manifes (sudah terlihat)
Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua
penglihatan tidak berpotongan pada titik fikasasi.
Contoh: esotropia, eksotropia, hipertropia, hipotropia
Gambar 3. Jenis-Jenis Heterotropia
b. Heteroforia : strabismus laten (belum terlihat jelas)
Penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi
dengan reflek fusi.
Contoh: esoforia, eksoforia
2. Menurut jenis deviasi
a. Horizontal : esodeviasi atau eksodeviasi
b. Vertikal : hiperdeviasi atau hipodeviasi
c. Torsional : insiklodeviasi atau eksiklodeviasi
d. Kombinasi: horizontal, vertikal dan atau torsional
10
3. Menurut kemampuan fiksasi mata
a. Monokular : bila suatu mata yang berdeviasi secara konstan
b. Alternan : bila kedua mata berdeviasi secara bergantian
4. Menurut usia terjadinya :
a. kongenital : usia kurang dari 6 bulan.
b. didapat : usia lebih dari 6 bulan.
5. Menurut sudut deviasi
a. Inkomitan (paralitik)
Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan kelumpuhan otot penggerak bola mata.
b. Komitan (nonparalitik)
Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat).
6. Psedostrabismus Psedotrabismus adalah juling palsu dengan penglihatan yang masih normal .
Psedostrabismus esotropia dapat terlihat pada anak dengan lipatan yang
berat pada kulit kelopak sebelah hidung/epikantus, sehingga terlihat
juling kedalam.
Psedostrabismus eksotropia dapat dilihat kadang-kadang pada anak
dengan jarak bola mata jauh (hipertelorisme) memberi kesan juling
keluar. (Sidarta Ilyas, 2004)
D. Otot apa saja yang bermasalah pada kasus ini?
M. rektus lateralis
Origo : Annulus tendineus communis pada dinding posterior orbita.
11
Insersio : Permukaan lateral bola mata tepat posterior terhadap taut
corneo-scleral.
Persarafan : N. abducens (N.VI), extraocculer tidak ada selaput
pelindung.
Fungsi : Memutar bola mata sehingga kornea menghadap ke lateral.
E. Nervus apa saja yang bermasalah pada kasus ini?
Nervus Abducens
Saraf ini muncul dari permukaan anterior rhombencephalon di antara
pons dan medulla oblongata, dan berjalan ke depan bersama a. carotis
interna melalui sinus cavernosus di dalam fossa crania media dan masuk
orbita melalui fissure orbitalis superior. N. abducens mempersarafi m. rectus
lateralis.
Pada trauma kepala, nervus abducens lebih cenderung mengalami
kerusakan, hal ini disebabkan karena lokasinya yang paling lateral dan tidak
memiliki pelindung. Nervus abducens merupakan saraf yang menginervasi
kerja m. rektus lateralis, sehingga terjadinya gangguan pada nervus
abducens dapat menyebabkan paresis muskulus rektus lateralis
Kerusakan pada nervus adbucens , esotropia nya secara khas lebih
berat pada jarak jauh di bandingkan jarak dekat, lebih berat pada saat
memandang kesisi yang terkena, dan paresis otot rektus lateralis kanan
menyebabkan esotropia yang lebih berat sewaktu memandang ke kanan dan
kerusakan nervus abducens bilateral akan menyebabkan esotropia yang lebih
berat pada pandang ke samping di bandingkan posisi primer.
2. Pada kecelakaan tersebut, kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan
kesadaran selama lebih dari 30 menit.
A. Jelaskan hubungan keluhan utama dengan riwayat kecelakaan 6 bulan yang
lalu?
12
Kecelakaan yang berupa benturan di kepala menyebabkan terjepitnya
nervus abducens. Pada trauma kepala, nervus abducens lebih cenderung
mengalami kerusakan, hal ini disebabkan karena lokasinya yang paling
lateral dan tidak memiliki pelindung. Nervus abducens merupakan saraf
yang menginervasi kerja otot ekstraokuler (muskulus rektus lateralis),
sehingga terjadinya gangguan pada nervus abducens dapat menyebabkan
paresis muskulus rektus lateralis. Paresis pada otot ini mengakibatkan
ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular dalam mempertahankan posisi
bola mata, sehingga mata terlihat juling ke dalam.
3. Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke arah
temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke
temporal kanan.
A. Mengapa mata kanan sulit digerakan ke arah temporal kanan?
Karena adanya trauma di kepala menyebabkan kelumpuhan nervus abducens secara bilateral dan mempengaruhi otot rektus lateralis kanan yang memiliki fungsi memutar bola mata sehingga terjadi kesulitan ketika menggerak kan bola mata sebelah kanan ke arah temporal
B. Bagaimana mekanisme terjadinya diplopia?
Pada mata normal bila melihat sebuah benda maka titik silang
penglihatan berada pada benda yang dilihat. Bayangan yang dilihat pada
mata difokuskan pada macula lutea kedua mata.
Pada kasus ini :
Trauma kepala kelumpuhan n. abducens paresis otot rektus lateralis
mata kanan ↓ fungsi kerja primer otot rektus lateralis mata kanan
(abduksi) ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular posisi bola
mata terganggu mata kanan juling ke dalam (esotropia dekstra) (pada
saat melihat benda) kedua fovea menerima bayangan yang berbeda
diplopia.
13
C. Apa makna klinis penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke
temporal kanan?
Benda yang tercitra di kedua fovea tampak dalam arah ruang yang
sama. Proses lokalisasi benda yang secara spatial terpisah ini ke lokasi yang
sama disebut kebingungan penglihatan (visual confusion). Benda yang
terlihat oleh salah satu fovea dicitrakan di daerah retina perifer di mata yang
lain. Bayangan fovea terlokalisasi tepat di depan, sedangkan bayangan retina
dari benda yang sama di mata yang lain dilokalisasi di arah yang lain.
Dengan demikian, benda yang sama terlihat di dua tempat.
Pada kasus ini karena telah terjadi diplopia maka saat mata digerakan
ke temporal kanan (ke arah otot yg mengalami kelemahan) bayangan mata
jatuh semakin menjauhi fovea dan jatuh di retina perifer sehingga
penglihatan ganda semakin bertambah.
D. Bagaimana keterkaitan diplopia dengan strabismus?
Pada keadaan mata yg strabismus terjadi ketidakseimbangan antara
otot-otot ekstraokular sehingga gerakan pada bola mata menjadi terganggu,
dan pada saat melihat benda kedua fovea akan menerima bayangan cahaya
yg berbeda, maka terjadilah diplopia.
4. Pemeriksaan oftalmologi:
AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6
AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6
Hischberg : ET 15°
ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominan
Duction & Version :
OD OS
14
Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kanan
WFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila
melihat ke sisi mata non dominan.
FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan
bantuan pinset.
A. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan oftalmologi?
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
AVOD 6/12 dengan koreksi lensa S-
0,75 -> 6/6
6/6 Terjadi
penurunan
ketajaman
penglihatan
AVOS 6/12 dengan koreksi lensa S-
0,75 -> 6/6
6/6 Terjadi
penurunan
ketajaman
penglihatan
Hischberg ET 15° - Esotropia,
dengan
deviasi 2 mm
ACT
(Alternating
Cover Test)
Shifting (+) mata dominan (-)
Esotropia
Duction &
Version
OD
OS
OD
OS
Kelemahan
pada kerja
otot rektus
lateralis mata
kanan.
15
WFDT
(worth four
dot test)
Uncrossed diplopia semakin
bertambah bila melihat ke sisi
mata non dominan
(-) Diplopia
FDT (forced
duction test)
Tidak terdapat tahanan pada
gerakan dengan bantuan
pinset
(-) Normal
B. Bagaimana cara pemerikaan AVOD dan AVOS?
Mata diperiksa satu persatu dengan menutup mata yang tidak diperiksa. Pertama kali diperiksa adalah mata kanan dengan melihat huruf, angka, atau gambar pada kartu Snellen jarak 6 meter atau 20 feet dari pasien. Baris huruf terkecil yang dapat dibaca lebih dari separuhnya adalah tajam penglihatan tanpa koreksi.
Bila huruf yang terbaca tersebut :Terdapat pada baris dengan tanda 30, dikatakan tajam penglihatan mata kanan (acies visus oculus dextra/AVOD) adalah 6/30 atau 20/100 atau 0.2Tajam penglihatan dikatakan normal bila 6/6 atau 20/20 atau 1.0
Apabila tidak dapat melihat huruf terbesar yang ada di kartu Snellen maka dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :Pasien diminta menghitung jari pemeriksa mulai dari jarak 1 meter, 2 m, 3 m, sampai maksimal 6 m. Pemeriksaan dilakukan sampai jarak terjauh pasien dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar. Jika pasien dapat menyebutkan jumlah jari pemeriksa dengan benar sampai jarak 1 m, maka tajam penglihatan dinyatakan 1/60
Apabila pasien tidak dapat melihat jari pemeriksa dari jarak 1 m, dilakukan gerakan lambaian tangan pada jarak 1 m dari siswa. Jika dapat melihat lambaian tangan maka tajam penglihatan dinyatakan 1/300
Apabila pasien tidak dapat melihat lambaian tangan, mata pasien disinari senter dari sisi atas, bawah, kiri, dan kanan di tempat yang gelap. Jika dapat menentukan arah sinar dengan benar maka dinyatakan 1/ ~ atau light projection/LP proyeksi baik, jika dapat melihat tetapi tidak dapat menentukan arah sinar dengan benar dinyatakan 1/ ~ proyeksi salah.
16
Jika tidak dapat melihat sinar, maka dinyatakan nol atau no light perception (NLP).
C. Bagaimana cara pemerikaan Hischberg?
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian
lihat pantulan cahaya pada kedua kornea mata.
1) Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi2) Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º3) Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º
D. Bagaimana cara pemerikaan ACT (Alternating Cover Test)?
Alternating cover test bertujuan untuk melihat apakah mata melihat
dengan binokuler. Dasar dari pemeriksaan ini adalah tutup mata bergantian
tidak dimungkinkan kedua mata melihat bersama-sama. Dengan menutup
satu mata kan terjadi disosiasi.
Adapun teknik dari pemeriksaan alternating cover test:
Pasien melihat jauh 6 meter/dekat 30 cm
Okuler dipindah dari satu mata ke mata lain bergantian
Pada tiap penutupan mata diberikan waktu cukup untuk mata lain berfiksasi
Selanjutnya pemeriksaan tersebut dinilai:
Bila tidak terdapat pergerakan mata berarti mata ortoforia atau ortotropia yakni
normal
Pemeriksaan ini membantu cover dan uncover
Bila terjadi pergerakan berarti ada tropi atau foria dengan mata tampak juling
atau juling laten
17
E. Bagaimana cara pemerikaan Duction & Version?
Duksi (rotasi monokular)Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang
digerakkan kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.
Versi (gerakan Konjugasi Okular)Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya
pada jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder – kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier – keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction). Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.
F. Bagaimana cara pemerikaan WFDT (Worth Four Dot Test)?
Tujuan test ini adalah untuk melihat adanya supresi, deviasi, ambliopia,
dan fusi. Cara melakukan pemeriksaan ini :
1. Pasien memakai kaca mata, koreksi diberikan sesuai kaca mata. Kaca
filter merah pada mata kanan dan kaca filter hijau pada mata kiri.
2. Pasien diperiksa pada jarak 6 meter atau 30cm.
3. Pasien diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata,
sewaktu melihat Worth four dots ( kotak hitam dengan 4 lobang,
lebar 2-3 cm, susunan ketupat. 2 lobang lateral berwarna hijau. 1
diatas warna merah. 1 dibawah warna putih ).
Nilai :
- Bila 2 titik merah saja yang terlihat berarti ada supresi mata kiri
18
- Bila 3 titik hijau saja yang terlihat berarti ada supresi mata kanan
- Bila tampak sumber cahaya putih kadang – kadang berwarna hijau kadang –
kadang berwarna merah berarti adanya supresi berganti.
- Bila tampak 5 sinar berarti diplopia yang dapat bersilang.
G. Bagaimana cara pemerikaan FDT (Forced Duction Test)?
FDT menjadi pilihan yang populer sebagai metode yang simpel dan
sangat berguna untuk mendiagnosis adanya gangguan mekanik dari motilitas
okular.
Cara pemeriksaan :
1. Kita beri Anastesi pada konjungtiva dengan beberapa tetes lidocaine
hydriochloride 4% (Xylocaine). Xylocaine tidak seperti anastesi lokal lain
yang mempunya efek epitelium kornea.
2. Kemudian gerakkan bola mata dengan two-toothed forceps pada
konjungtiva di sekitar limbus. Lakukan Gerakan yang berlawanan dengan
bagian yang dicurigai mengalami gangguan atau keterbatasan
3. Two-toothed forceps dapat diletakkan pada posisi jam 12 dan jam 6,
gerakkan secara pasif dengan forceps tadi ke arah kanan kiri
Hasil :
Jika tidak terjadi tahanan, defek motilitas jelas disebabkan oleh paralisis dari
otot rectus lateralis. Apabila terjadi tahanan, defek motilitas jelas disebabkan
oleh kontraktur dari otot rectus medialis, konjungtiva, atau kapsul tenon,
atau myositis pada otot rectus medialis
19
H. Apa saja klasifikasi dari diplopia?
Monocular
Penglihatan ganda yang timbul pada mata yang sakit saat mata yang lain
ditutup. Merupakan keluhan yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya
diperhatikan adalah adanya kelainan refraksi. disebabkan oleh katarak dini,
parut bedah, iridodialis, subluksasi lensa, kelainan refraksi astigmat yang tidak
dikoreksi, hysteria dan malingering
Binocular
Penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan kedua mata dan menghilang
bilang salah satu mata ditutup. disebabkan perubahan kedudukan bola mata,
palsi otot penggerak mata, setelah bedah retina. Pada esotropia atau satu mata
bergulir ke dalam maka bayangan di retina terletak sebelah nasal macula dan
benda seakan terletak sebelah laterak mata tersebut sehingga pada esotropia
didapatkan diplopia tidak bersilang (uncrossed) / homonimus. Sedang pada
eksotropia didapatkan diplopia crossed/ heteronimus
5. Apa diagnosis banding untuk kasus ini?
esotropia et causa parese saraf abdusen
pseudoesotropia et causa wide epicanthus
esotropia et causa cedera otot
esotropia laten
6. Bagaimana cara menegakan diagnosis pada kasus ini?
Cara penegakkan diagnosis pada strabismus, yaitu :
2.4 Riwayat
Dalam mendiagnosis strabismus, diperlukan anamnesis yang cermat :
Riwayat keluarga
20
Usia onset
Jenis onset
Jenis deviasi
Fiksasi
2.5 Ketajaman penglihatan
2.6 Penentuan sudut strabismus
Metode Hirschberg
Metode refleks prisma (uji krimsky)
2.7 Duksi (rotasi monocular)
2.8 Versi (gerakan mata konjugat)
2.9 Pemeriksaan sensorik
Uji stereopsis
Uji supresi
Uji kelainan korespondensi retina
Uji kaca beralur Bagolini
7. Apa diagnosis kerja pada kasus ini?
esotropia et causa paresis nervus abducens dextra, myopia simpleks oculi
dextra et sinistra.
8. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan pada kasus ini?
o Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)
o Pemeriksaan Sensorik :
- Uji stereopsis
- Uji supresi
- Uji kelainan korespondensi retina
21
9. Bagaimana patogenesis kasus ini?
Trauma yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan cedera pada nervus
abducens yang mengakibatkan melemahnya otot ekstraokuler m.rektus lateralis,
melemahnya gerakan otot tersebut mengakibatkan gerakan bola mata tidak
seimbang sehingga terjadilah juling (stabismus). Strabismus inilah yg
menyebabkan bayangan benda (pada mata) yang jatuh di fovea terganggu
sehingga penglihatan laki-laki tersebut menjadi ganda (diplopia) dan apabila
melakukan gerakan mata ke arah otot yg mengalami kelemahan maka
penglihatan semakin ganda akibat bayangan benda yang semakin menjauhi
fovea.
10. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini?
Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang
hilang karena strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan
mempertahankan mata yang telah membaik dan telah diluruskan baik secara
bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa dengan strabismus akuisita,
tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan binokular
tunggal.
Pengobatan non-bedaha. Terapi oklusi : mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata yang ambliop
b. Kacamata : perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang tepat. Bayangan yang jelas di retina karena pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme fusi bekerja sampai maksimal. Jika ada hipermetropia tinggi dan esotropia, maka esotropianya mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia akomodatif refraktif).
22
Obat farmakologik
SikloplegikSikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara menghalangi kerja
asetilkolin ditempat hubungan neuromuskular dan dengan demikian mencegah akomodasi. Sikloplegik yang digunakan adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan konsentrasi 0,5% (anak) dan 1% (dewasa).
MiotikMiotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang berlebihan pada
esotropia dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi. Obat yang biasa digunakan adalah ekotiofat iodine(Phospholine iodide) atau isoflurat (Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan neuromuskular menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek impuls saraf.
Toksin Botulinum Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot ekstraokular menyebabkan
paralisis otot tersebut yang kedalaman dan lamanya tergantung dosisnya.
Pengobatan BedahMemilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada
berbagai arah pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat pada posisi primer, arah pandangan sekunder untuk jauh, dan arah pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua sisi untuk dekat.
Reseksi dan resesi
Cara yang paling sederhana adalah memperkuat dan memperlemah.
Memperkuat otot dilakukan dengan cara yang disebut reseksi. Otot dilepaskan
dari mata, ditarik sepanjang ukuran tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong
dan ujungnya dijahit kembali pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi
adalah cara melemahkan otot yang baku. Otot dilepaskan dari bola mata,
dibebaskan dari perlekatan-perlekatan fasial, dan dibiarkan menjadi retraksi.
Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal pada jarak
yang telah ditentukan.
23
11. Apa saja faktor resiko untuk kasus ini?
- Terdapat gangguan pada salah satu otot penggerak bola mata, yang dapat
mengganggu keseimbangan posisi bola mata.
- Hipertensi sistemik atau diabetes.
- Tumor atau peradangan pada susunan saraf pusat.
- Trauma kepala
- Katarak dan kasus yang menyebabkan penurunan visus lainnya juga dapat
menyebabkan strabismus.
12. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini? (Imam)
Pada kasus strabismus, pasien dapat mengalami komplikasi berupa kelainan
sensorik. Komplikasi tersebut yaitu :
Diplopia
Apabila terdapat strabismus, kedua fovea menerima bayangan yang
berbeda. Benda yang tercitra di kedua fovea tampak dalam arah ruang yang
sama. Proses lokalisasi benda yang secara spatial terpisah ini ke lokasi yang
sama disebut kebingungan penglihatan (visual confusion). Benda yang
terlihat oleh salah satu fovea dicitrakan di daerah retina perifer di mata yang
lain. Bayangan foveal terlokalisasi tepat di depan, sedangkan bayangan
retina dari benda yang sama di mata yang lain dilokalisasi di arah yang lain.
Dengan demikian, benda yang sama terlihat di dua tempat (diplopia).
Supresi
Supresi mengambil bentuk suatu skotoma di mata yang berdeviasi
hanya dibawah kondisi penglihatan binocular, suatu skotoma adalah daerah
penurunan penglihatan di dalam lapangan pandang, dikelilingi oleh daerah
penglihatan yang sedikit berkurang atau normal. Skotoma supresi pada
esotropia biasanya berbentuk hampir elips, berjalan di retina dari tepat
sebelah temporal fovea ke titik di retina perifer di mana benda yang
bersangkutan untuk mata yang lain dicitrakan.
24
Ambliopia
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan tanpa dapat
dideteksi adanya penyakit organic pada suatu mata. Pada strabismus, mata
yang biasa digunakan untuk fiksasi masih mempunyai ketajaman yang
normal dan mata yang tidak dipakai sering mengalami penurunan
penglihatan (ambliopia).
Anomali korespondensi retina
Pada strabismus, retina perifer di luar daerah skotoma supresi dapat
mengambil nilai-nilai arah dalam ruang yang baru yang tergeser oleh
deviasi. Hal ini menimbulkan anomaly korespondensi nilai-nilai arah antara
titik-titik retina di kedua mata.
Fiksasi eksentrik
13. Apa saja gejala klinis pada kasus ini?
1. Strabismus
- Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal
ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese.
- Deviasi : Kalau mata digerakkan ke arah lapangan dimana otot yang
lumpuh bekerja, mata yang sehat akan menjurus ke arah ini dengan baik,
sedangkan mata yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas,
bila kedua mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja.
Tetapi bila mata digerakkan ke arah dimana otot yang lumpuh ini tidak
berpengaruh, deviasinya tak tampak.
Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata
berdeviasi ke nasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan
kearah temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal.
Deviasi dari mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah
berlawanan dengan arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang
sakit melihat sesuatu obyek dan mata yang sehat ditutup maka mata yang
25
sehat ini akan berdeviasi pada arah yang sesuai dengan mata yang sakit,
tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Deviasi dari mata yang sehat
disebut deviasi sekunder. Deviasi sekunder ini lebih besar, karena
rangsangan yang kuat dibutuhkan mata yang sakit untuk melihat kearah
tempat otot yang sakit bekerja. Kekuatan rangsangan yang sama
didapatkan pula oleh otot yang normal sebagai pasangannya, karena itu
timbul deviasi sekunder yang kuat, pada mata yang sehat (hukum
Hering).
Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang
nonparalitika, dimana diviasi primer sama dengan diviasi sekunder. Mata
melihat lurus ke depan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat ke kiri
tak tampak esotropia. Mata melihat ke kanan esotropia nyata sekali.
- Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi
lebih nyata bila mata digerakkan kearah ini.
- Ocular torticollis (head tilting) : Penderita biasanya memutar ke arah
kerja dari otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong
diagnosa strabismus paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya,
diplopianya terasa berkurang.
- Proyeksi yang salah Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada
lokalisasi yang benar. Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh
menunjukkan suatu obyek yang ada di depannya dengan tepat, maka
jarinya akan menunjukkan daerah disamping obyek tersebut yang sesuai
dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan,
rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot yang lumpuh,
untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan tanggapan
yang salah pada penderita.
26
- Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.
Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.
2. Esotropia Paralitikus (abdusen palcy / noncomitant esotropia)
- Gangguan pergerakan mata kearah luar
- Diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah
luar
- Kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh
- Deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan
dengan otot yang lumpuh
- Pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong,
penderita mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan
bayangan dari obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina di
kedua mata yang tidak bersesuaian (corresponderend).
14. Bagaimana prognosis pada kasus ini?
Vitam : Dubia ad Bonam
Fungsionam : Dubia ad Bonam
15. Apa SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) untuk kasus ini?
SKDI Tingkat 2
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya :
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk
pasien secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti
sesudahnya.
27
2.3.4 Kerangka Konsep
28
Riwayat Trauma
Cedera Pada N.VI (Abducens)
Keseimbangan Gerakan Bola Mata Terganggu
Mata Juling Ke Dalam (Strabismus)
Gangguan penerimaan bayangan di fovea
Diplopia
Kelemahan Pada M.Rectus Lateralis
Mata Sulit Digerakkan Ke Temporal Kanan
BAB III
SINTESIS
3.1 Otot Ekstraokular dan Inervasinya
A. Muskulus Rektus Medialis
Otot rektus medial merupakan satu dari dua rektus horizontal bersama otot
rektus lateralis. Berorigo pada annulus zinn, otot ini kemudian berjalan sepanjang
dinding orbita medial dan berinsersi ± 5.5 mm dari limbus yang merupakan
insersi otot ekstraokuler terdekat ke limbus dibandingkan otot lainnya.
Tendon otot sebelum insersi berkisar 4 mm. Otot ini memiliki panjang ±
40,6 mm dan lebar 9-10 mm. Persarafan otot berasal dari nervus abdusens yang
menembus pertengahan permukaan otot.
C. Muskulus Rektus Superior
Otot ini berorigo pada annulus zinn dan melalui bagian atas bola mata
berjalan ke anterior dan lateral membentuk sudut 23o terhadap aksis visual pada
posisi primer. Panjang otot ± 42 mm dan lebar ± 10.6 mm. Insersi otot ini sekitar
7.7 mm dari limbus dengan panjang tendon sebelum insersi 5.8 mm. Insersi otot
rektus superior berbentuk konveks dengan sisi nasal lebih dekat ke limbus
daripada sisi temporal. Pada permukaan superior terdapat m. levator palpebra
yang juga merupakan otot ekstraokuler namun tidak berperan dalam pergerakan
bola mata.
D. Muskulus Rektus Inferior
Otot rektus inferior sangat mirip dengan otot rektus superior kecuali
insersinya dibawah bola mata. Otot ini juga berorigo di annulus zinn, mengarah
ke anterolateral di bawah bola mata sepanjang dasar orbita membentuk sudut 23o
terhadap aksis visual pada posisi primer. Insersinya pada sklera ±6.5 mm dari
29
limbus, dengan panjang tendon sebelum insersi sekitar 5.5 mm. Panjang otot ini
adalah ±40 mm dengan lebar ±9.8 mm.
E. Muskulus Oblik Superior
Merupakan otot ekstraokuler terpanjang, yakni sekitar 60 mm. Panjangnya
±40 mm dan lebar ±10.8mm. Otot ini berorigo pada apeks orbita, superomedial
dari annulus zinn dan m.rektus medialis. Otot ini berjalan pada daerah antara
dinding medial orbita dan atap orbita. Oleh trochlea, yang merupakan suatu
struktur kartilago yang melekat pada tulang frontalis pada orbita superonasal,
diarahkan ke posterior, inferior dan lateral membentuk sudut sebesar 51o
terhadap aksis visual pada posisi primer. Tendon otot ini melakukan penetrasi
pada sekitar 2 mm kearah nasal dan 5mm posterior dari insersi bagian nasal otot
rektus superior. Setelah melewati bagian bawah otot rektus superior, tendon
berinsersi pada kuadran posterosuperior bola mata.
F. Muskulus Oblik Inferior
Merupakan satu-satunya otot ekstraokuler yang tidak berorigo pada annulus
zinn melainkan pada periosteum os maksillaris, posterior margo orbita dan lateral
fossa lakrimalis.
Vaskularisasi & Inervasi
A. Sistem Arteri
Cabang muskuler dari arteri oftalmika merupakan penyuplai darah utama
untuk otot-otot ekstraokuler. Cabang muskuler lateral mensuplai rektus lateral,
rektus superior, oblik superior, dan levator palpebra. Cabang muskuler medial
mensuplai rektus inferior, rektus medial, dan oblik inferior. Rektus lateral
sebagian disuplai oleh arteri lakrimalis, arteri infraorbitalis mensuplai oblik
inferior dan rektus inferior. Cabang muskuler mempercabangkan arteri siliaris
anterior yang menyertai otot-otot rektus dimana setiap otot rektus disuplai oleh 1
30
hingga 3 arteri siliaris anterior. Arteri-arteri ini kemudian melewati episklera dan
akan mensuplai darah ke segmen anterior bola mata.
C. Inervasi
Mayoritas inervasi otot ekstraokuler berasal dari nervus okulomotorius (III).
Cabang superior N.III menginervasi otot rektus superior dan levator palpebra
superior, sedangkan cabang inferiornya menginervasi rektus medialis, rektus
inferior, dan oblik inferior. Nervus trochlearis (IV) menginervasi oblik superior
dimana nervus ini menyilang sisi medial otot oblik superior yang kemudian
menembus permukaan atasnya 12 mm anterior dari origo otot-otot ekstraokuler.
Nervus abdusens (VI) menginervasi rektus lateralis.
3.2 Strabismus
Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak
searah. Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan bisa terjadi
pada arah atau jauh penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua arah dan
jarak penglihatan. Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau
sentral. Cacat sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis,
palpebra, Parut Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak.
Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non
paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan
abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik. Deviasi horizontal dapat
dibagi menjadi 2 yaitu : esotropia dan exotropia. Esotropia adalah strabismus
konvergen horizontal. Penyimpangan horisontal dibagi lebih lanjut ke
penyimpangan comitant dan incomitant (juga disebut sebagai bersamaan dan
noncomitant, masing-masing). Comitant merujuk ke deviasi mata yang tidak
berbeda dengan arah pandangan; incomitant menggambarkan deviasi mata yang
bervariasi dengan arah tatapan. Esotropia adalah jenis strabismus atau
misalignment mata. Istilah ini berasal dari 2 kata Yunani: Eso, yang berarti ke
31
dalam, dan trépò, berarti giliran. Dalam esotropia, mata disilangkan, yaitu,
sementara satu mata melihat lurus ke depan, mata lainnya adalah berpaling ke
arah hidung. Penyimpangan ini ke dalam mata dapat mulai sejak bayi, kemudian
di masa kecil, atau bahkan menjadi dewasa.
Esotropia Mengakuisisi dapat terjadi setelah masa kanak-kanak dan tidak
selalu responsif terhadap kacamata rabun dekat, karena ini, itu tidak jatuh ke
dalam kategori esotropia bawaan atau esotropia akomodatif, yang dijelaskan
dalam artikel lain. Meskipun esotropia diperoleh dapat terjadi pada pasien usia 1-
8 tahun, biasanya berkembang pada pasien berusia 2-5 tahun dan tampaknya
jarang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya. Dengan mengakuisisi
esotropia, sudut deviasi relatif kecil, dan koreksi bedah dini (jika diperlukan)
lebih mungkin mencapai fiksasi bifoveal untuk pasien ini dibandingkan mereka
yang esotropia bawaan.
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Seorang laki-laki berusia 22 tahun menderita diplopia e.c esotropia
paresis nervus cranialis VI (n.abducens) dextra e.c trauma capitis ditambah
miopia simpleks occuli dextra et sinistra.
33
DAFTAR PUSTAKA
Hall, Guyton. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta
Snell, R Richard. 2006. Anatomi Klinik. EGC: Jakarta
Eva, Riordan., Asbury., Vaughan. 2000. Oftalmologi Umum. Widya Medika: Jakarta
Ilyas, Sidarta. 2000. Ilmu Penyakit Mata. Universitas Indonesia : Jakarta
Wahab, A. Samik (editor). IKA Nelson Vol. 2 Ed. 15. 1999. Jakarta: EGC
34