Upload
julio-dejan-da-gomez
View
249
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
POLA RUANG BERSAMA PADA PERMUKIMAN MADURA MEDALUNGAN
DI DUSUN BARAN RANDUGADING
A. Sistem Kepercayaaan
Menurut Sasongko (2005), kondisi masyarakat di Baran secara umum masih
menganut sistem keluarga matrilineal, terutama dalam pewarisan lahan. Namun sebagian
juga mengalami perubahan dalam cluster tanean lanjangnya karena ada yang berubah dari
sistem matrilineal ke patrilineal atau menjadi neolokal. Selain itu adanya perbedaan mata
pencaharian berpengaruh pada penerapan cluster tanean lanjangnya.
B. Pola Bermukim
Permukiman masyarakat Madura Medalungan telah mengalami perubahan, yaitu dari
masyarakat yg memiliki cluster permukiman tanean lanjang yang terpisah seperti di
Madura, menjadi sistem kampung yang merupakan asil perpindahan di Jawa (Wulandari
& Indeswari, 2010). Pola permukiman masyarakat Madura di Pulau Madura terdapat tiga
macam yang pernah ditelaah, antara lain:
1. Tanean Lanjang pada masyarakat petani (Wiryoprawiro, 1986),
2. Pola mengikuti jalan pada masyarakat petani garam (Citrayana, 2008),
3. Kampong Meji pada masyarakat petani (Hastijanti, 2005).
Pada masyarakat Madura, tanean merupakan ruang bersama pada masyarakat Madura
(Pangarsa & Prijotomo, 2009). Pada saat masyarakat Madura merantau, mere0020ka
membawa tradisi berhuni mereka dan mengadaptasi latar lingkungan alam dan
lingkungan budayanya. Pada permukiman Baran di Buring Malang telah diidentifikasi
bahwa pola permukimannya berkelompok dalam satu keluarga (Fathony, 2009). Dari
penelitian yang dilakukan di Baran Ngingit,yang berbatasan pada bagian Utara Baran
Randugading, kurang lebih 82% kelompok permukimannya memiliki tanean (Sasongko,
2005). Kondisi tersebut hampir sama dengan yang terdapat di Baran Randugading.
Dengan adanya adaptasi dengan latar lingkungan dan budaya, permukiman di dusun
Baran Randugading memiliki perbedaan dengan yang ada di Madura. Pengadaptasian
tersebut merupakan suatu usaha keberlanjutan. Begitu pula dalam keberadaan ruang
bersamanya, yang mengalami penyesuaian. Oleh karena itu perlu ditelaah bagaimana pola
pemanfaatan ruang bersama di dusun Baran Randugading.
C. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif etnografi. Metode ini
dipilih karena perlu mengetahui latar budaya masyarakat Madura Medalungan di Baran
Randugading. Dengan mengetahui latar budayanya, maka dapat diketahui bagaimana pola
bersosialisasi masyarakat di Baran Randugading, sehingga dapat ditemukan pola ruang
bersamanya. Dari hasil survei awal, ditentukan faktor yang mempengaruhi dan
terpengaruhi dalam pembentukan ruang bersamanya. Faktor yang mempengaruhi atau
faktor sebab yang menyebabkan terbentuknya ruang bersama adalah aktivitas, waktu dan
lokasi. Sedangkan faktor terpengaruhi atau faktor akibat adalah pola ruang bersamanya.
Dari hasil pengamatan awal, diketahui bahwa ruang bersama bukanlah ruang yang statis,
namun dinamis, karena bukan merupakan ruang yang tetap, namun secara umum dapat
terpolakan karena adanya pengulangan aktivitas bersama pada tempat tertentu, pelaku
tertentu, dan dengan skala kegiatan yang tertentu. Sehingga hasil dari pengamatan
terhadap pola pemanfaatan ruang bersama akan berupa pola pemanfaatan ruang bersama
yang berdasarkan skala kegiatan bersamanya. Misalnya kegiatan sehari – hari, dapat
berupa aktivitas bersama antara keluarga atau masyarakat satu tanean, dapat
dikategorikan menjadi ruang bersama mikro. Aktivitas sehari – hari, mingguan atau
bulanan yang melibatkan warga satu tanean atau satu kelompok keluarga, dapat
dikategorikan sebagai ruang bersama skala messo. Sedangkan aktivitas warga satu desa,
dikategorikan sebagai ruang bersama makro.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Pengamatan Aktivitas Rutin Harian
Ruang bersama yang terjadi pada aktivitas rutin harian merupakan penggambaran
budaya masyarakat yang terkait dengan persepsi, norma dan kondisi sosial ekonominya.
Pada aktivitas rutin harian, waktu pengamatan dibagi menjadi tiga , yaitu pagi, siang dan
sore. Pembagian waktu tersebut dan kondisi lokal di setiap lokasi pengamatan
mempengaruhi pola aktivitas bersamanya.
Pada pengamatan saat pagi hari, diketahui bahwa aktivitas bersama yang terjadi tidak
dalam durasi lama, dan lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu dan anak – anak , dengan
skala kegiatan mikro atau messo, yaitu interaksi antara keluarga dan interaksi dengan
warga satu tanean atau satu kelompok keluarga. Lokasi terjadinya aktivitas bersama
adalah pada teras rumah dan pelataran, pada gambar ditunjukkan intensitas yang tidak
terlalu banyak dengan adanya warna yang lebih muda.
Pada pengamatan saat siang hari, aktivitas bersama yang terjadi lebih banyak di dalam
rumah, karena merupakan waktu istirahat keluarga. Para bapak bapak pada umumnya
pulang untuk istirahat di rumah pada saat siang hari. Aktivitas bersama di luar ruang
cenderung sedikit, kecuali pada tempat yang memiliki naungan. Pada sore hari, aktivitas
bersama lebih banyak terjadi, dengan skala yang lebih besar, karena telah banyak warga
yang bekerja kembali ke rumah. Pada gambar, ditunjukkan dengan warna yang lebig
tebal, pada bagian teras dan pelataran rumah.
2. Ruang Bersama Makro
Aktivitas bersama rutim mingguan, bulanan dan tahunan cenderung memanfaatkan
ruang dusun Baran Randugading secara makro. Sehingga skala pemetaannya meliputi
seluruh bagian dusun. Aktivitas bersama rutin yang diselenggarakan mingguan yaitu
pengajian untuk perempuan, laki-laki dan anak – anak. Tempatnya bergiliran antar
peserta. Aktivitas bulanan, antara lain Posyandu, arisan PKK dan pertemuan bapak –
bapak. Kegiatan Posyandu letaknya di rumah kepala dusun, kecuali jika ada kegiatan
khusus, akan di selenggarakan di kantor desa. Kegiatan pertemuan bapak – bapak, seperti
halnya kegiatan arisan PKK, dilaksanakan di bergiliran tempatnya. Kegiatan tahunan,
berkaitan dengan hari raya agama Islam. Ruang bersama yang terjadi adalah di area
Masjid, dan ruang bersama saat bersilaturrakhmi, yaitu jalan, pelataran (tanean), teras
(emper) dan ruang depan (balai).
3. Ruang Bersama Mikro
Pola ruang bersama pada tingkat mikro atau hunian pada dasarnya tergantung pada
bentuk denahnya. Namun secara umum terdapat dua macam bentuk dasar denah pada
dusun Baran Randugading, yaitu denah rumah gedhong atau rumah dinding bata, dan
denah rumah gejhug atau rumah asli.
4. Ruang Bersama Meso
Ruang bersama meso merupakan ruang bersama dalam skala satu tanean atau satu
kelompok keluarga. Dalam satu tanean ruang bersama yang sering dipakai antara lain
tanean, teras ruang antar bangunan, area sekitar sumur dan langgar.
E. Kesimpulan
1. Ruang bersama pada masyarakat desa, khususnya dusun Baran Randugading,
dipengaruhi kondisi lingkungan: kontur, vegetasi, dan struktur ruang permukiman.
2. Waktu mempengaruhi kecenderungan aktivitas bersama masyarakat, sehingga
berpengaruh pada intensitas penggunaan ruang bersama.
3. Lingkup ruang bersama meliputi skala mikro (hunian), meso (tanean), dan makro
(desa).
4. Ruang bersama meliputi: ruang depan (balai,) dapur, teras (emper,) tanean, jedhing
sumur/tandon, langgar, masjid, jalan, warung/toko, dan tempat kerja. Tanean dan teras
merupakan ruang yang sering dipakai untuk aktivitas bersama.
5. Tanean masih menjadi ruang bersama sebagaimana pada permukiman tradisional
Madura, tetapi makna ruang di tiap bagian struktur tanean berubah.
BANGUNAN TRADISIONAL KAMPUNG NAGA: BENTUK KEARIFAN
WARISAN LELUHUR MASYARAKAT SUNDA
A. Sistem Kepercayaan
Kondisi alam Tatar Sunda yang bergunung- gunung dan berbukit-bukit dengan
dataran pantai yang sempit di bagian selatan telah mendidik warganya untuk
memanfaatkan alam dengan seksama, yaitu memanfaatkan dengan tidak merusak. Hal ini
tercermin dalam pikukuh (petunjuk/nasihat leluhur) masyarakat Baduy, salah satu
kelompok masyarakat tradisional Sunda, yaitu: gunung teu meunang dilebur, lebak teu
beunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu
meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah
kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun. Artinya: gunung tidak boleh dihancurkan,
lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah,
panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, yang bukan harus dianggap
bukan, yang dilarang harus tetap dilarang, yang benar harus dibenarkan”.1 Pada
masyarakat tradisional Sunda lainnya juga diajarkan prinsip hidup yang selaras dengan
alam melalui berbagai pepatah atau ungkapan di tengah masyarakat berkenaan dengan
kesederhanaan, seperti “Saeutik cukup. Loba nyesa” (Sedikit Cukup, banyak bersisa) atau
”Hirup mah kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan” (Hidup harus menunduk ke
rumput, menengadah ke tempat menyadap). Artinya, dalam hidup kita harus melihat
kenyataan, tidak iri dengki terhadap kemajuan atau keberhasilan yang dicapai orang lain.
Melalui ajaran ini diharapkan mereka bisa menerima apa yang menjadi rizkinya, dan
tidak bernafsu untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi miliknya, termasuk upaya
merusak alam hanya demi keuntungan sesaat karena alam adalah titipan yang harus
disampaikan kepada anak cucu kelak di kemudian hari. Kepada mereka juga ditekankan
prinsip hidup teu saba teu soba, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu
pinter (tidak bepergian tidak berhasil, tidak berharta tidak memiliki apa-apa, tidak kebal
tidak kuat, tidak gagah tidak pandai). Artinya, pada dasarnya manusia itu tidak
mempunyai kelebihan apapun sehingga tidak perlu ada yang disombongkan, sehingga
kesederhanaan dalam hidup menjadi sesuatu yang penting.
B. Pola Bermukim
Perkampungan masyarakat Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan perkampungan
masyarakat lainnya. Bangunan rumah, bangunan pendukung, dan fasilitas permukiman
lainnya terdapat di Kampung Naga. Sebagai perkampungan masyarakat adat yang masih
memegang teguh tata nilai warisan leluhur menjadikan Kampung Naga berbeda dengan
perkampungan masyarakat lainnya, terutama perkampungan masyarakat modern. Secara
garis besar kawasan Kampung Naga dibagi menjadi tiga, yaitu kawasan hutan, kawasan
permukiman, dan kawasan luar kampung. Kawasan hutan dibagi menjadi dua, yaitu
leuweung karamat (hutan keramat), dan leuweung tutupan (hutan lindung). Keberadaan
hutan-hutan tersebut dijaga secara adat hingga terhindar dari kerusakan. Kawasan
perkampungan masyarakat Kampung Naga, yaitu tempat berdirinya bangunan rumah dan
bangunan pendukung permukiman (masjid, bale patemon (balai pertemuan), leuit
(lumbung kampung), dan rumah benda keramat. Kawasan permukiman dibatasi oleh
pager jaga. Kawasan luar yang merupakan kawasan di luar permukiman, oleh sebagian
peneliti disebut dengan kawasan kotor. Pada bagian ini ditempatkan MCK, saung lisung
(saung lesung), kandang hewan (domba), kolam, dan sawah.
1. Bangunan Rumah
Rumah bagi masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Kampung Naga, rumah tidak
sekedar tempat berteduh, melainkan memiliki makna yang lebih luas dari sekedar tempat
tinggal, yaitu sebagai bagian dari konsep kosmologi mereka yang tercermin dalam
penataan pola kampung, bentuk rumah, dan pembagian ruan rumah. Untuk menjaga
keseimbangan hidupnya, mereka percaya bahwa hubungan antara makrokosmos dengan
mikrokosmos harus tetap dijaga agar tetap harmonis.
a) Arsitektur dan denah rumah
Tiang utama bangunan adalah kayu, dinding bangunan berbahan bilik (anyaman
bambu) yang dicat dengan kapur sehingga berwarna putih. Pada bagian depan
terdapat pintu dengan daun pintu berbahan kayu, jendela kaca tanpa daun jendela.
Untuk memudahkan masuk ke rumah, baik ke ruang tamu atau dapur, di bagian depan
dipasang papan kayu menyerupai tangga yang disebut Golodog. Golodog biasanya
terdiri dari satu atau dua tahapan dengan panjang masing- masing dua sampai tiga
meter dan lebar 30 cm. Golodog tidak hanya berfungsi sebagai tangga masuk rumah,
namun juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk santai untuk berangin- angin
dengan kata lain Golodog mempunyai fungsi untuk bersosialisasi atau bertetangga.
b) Pembagian Ruang secara Vertikal
Tidak berbeda dengan pembangunan rumah secara horizontal, secara vertikal
bangunan di Kampung Naga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kolong (bagian bawah),
palupuh (lantai), dan lalangit/para (langit-langit).
c) Pembagian ruang bagian dalam rumah
Rumah dalam pandangan masyarakat Kampung Naga ditata berdasarkan kategori
jenis kelamin dan perannya dalam keluarga. Ruang bagian depan (tepas) disebut juga
ruang laki-laki, ruang belakang, yaitu pawon (dapur)dan Goah merupakan ruang
perempuan, sedangkan ruang bersama bagi semua anggota keluarga adalah tengah
imah (ruang tengah)
2. Bangunan bumi Ageung
Bumi Ageung merupakan bangunan rumah yang secara bentuk dan arsitektur
bangunannya tidak jauh berbeda dengan bangunan rumah lainnya. Perbedaannya adalah
pada bahan bangunan yang digunakan, yaitu dindingnya menggunakan bilik anyaman
sasag dan tidak memiliki jendela. Fungsi bangunan ini adalah tempat menyimpan benda-
benda pusaka warisan leluhur. Sebagai tempat sakral, tidak semua orang bisa memasuki
Bumi Ageung hanya mereka yang mendapat izin kuncen yang bisa masuk. Saat ini
bangunan ini dipelihara dan dijaga oleh Punduh Kampung Naga, yaitu Bapak Ma’un.
Sebelumnya, bangunan ini dipelihara kebersihannya dan dijaga oleh dua orang
perempuan yang sudah tidak haidh lagi (Monopause).
3. Bangunan Selain Rumah
Bangunan lainnya yang terdapat di Kampung Naga, adalah bangunan bukan rumah.
Bangunan-bangunan tersebut dibangun sebagai fasilitas sosial dan fasilitas umum, yaitu
Bale Patemon (Balai Pertemuan), Masjid, Leuit Kampung (lumbung padi milik
kampung).
a) Bale Patemon (Balai Pertemuan)
Bale Patemon (Balai Pertemuan) merupakan bangunan yang berfungsi sebagai
tempat berkumpulnya masyarakat Kampung Naga untuk bermusyawarah berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Bangunan ini juga berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, terutama tamu yang jumlahnya banyak/ rombongan.
b) Masjid Kampung Naga
Layaknya masjid lainnya di kampung- kampung masyarakat Muslim, bangunan
masjid Kampung Naga berfungsi sebagai tempat beribadah. Setiap waktu shalat,
petugas masjid (merbot) akan memukul kentongan dan bedug yang terpasang di
depan masjid.
c) Leuit (Lumbung Padi) Kampung Naga
Leuit atau Lumbung Padi memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi milik
adat. Padi ini diperoleh dari iuran warga Kampung Naga ketika panen di mana mereka
menyerahkan sebagian hasil panennya untuk kepentingan umum atau kepentingan
adat. Menurut Munir (warga Kampung Naga), “Banyaknya padi yang disetorkan
warga untuk Leuit kampung tidak sama, tergantung pada keikhlasan masing- masing.
Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan/ aturan adat yang mengatur banyaknya padi
yang harus diserahkan warga.
4. Bangunan di Luar Kampung
Bangunan di Kampung Naga tidak hanya di dalam kampung namun juga dibangun di
luar kampung (di luar pager jaga). Bangunan yang dimaksud adalah saung lisung (saung
lesung), pancuran (MCK), dan kandang domba. Semua bangunan tersebut dibangun di
atas kolam yang merupakan penampung air limpasan dan tempat memelihara ikan. Saung
lisung (saung lesung) merupakan tempat menumbuk padi kaum ibu di Kampung Naga
untuk memenuhi kebutuhan akan beras. Bangunannya merupakan bangunan panggung,
tidak memiliki dinding. Bahan bangunan yang dipergunakan adalah kayu untuk tiang
utama, dan atapnya ditutup oleh ijuk. Lantainya berupa papan yang disusun sedemikian
rupa hingga membentuk lantai. Di lantai itulah diletakkan lisung panjang (lesung
panjang) dengan halu (alu) untuk menumbuk padi.
IDENTIFIKASI POLA PERMUKIMAN TRADISIONAL DI KAMPUNG
HOLOGOLIK DISTRIK ASOTIPO WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA,
PROPINSI PAPUA
A. Gambaran Umum
Kampung Hologolik memiliki 2 RW dan 8 RT dengan jumlah rumah tangga 20 KK
dan total penduduk 158 jiwa pada tahun 2011, dapat dilihat pada Tabel 1 dan jumlah
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan pada Tabel 2 serta jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian pada Tabel 3. Jumlah penduduk ini tidak semuanya tinggal
di Kampung Hologolik, tetapi ada yang pergi ke kota karena pendidikan, kerja dan karena
alasan lainnya. Namun, mereka sering pulang ke Kampung Hologolik ketika libur atau
hari-hari raya.
B. Pola Bermukim
1. Pola ruang publik
Ruang publik di Kampung Hologolik digunakan sebagai tempat menerima tamu,
tempat menyelesaikan konflik antar kampung dan memasak makanan secara tradisional
(bakar batu) dalam rangka upacara-upacara adat seperti upacara panen raya, upacara
penjemputan mempelai wanita dari pihak keluarga laki-laki dan upacara-upacara besar
lainnya. Jadi dengan kata lain, ruang terbuka publik sebagai tempat berinteraksi antara
masyarakat Kampung Hologolik dengan masyarakat kampung lain termasuk Pemerintah.
Hasil penelitian di atas sangat erat kaitanya dengan pengertian ruang publik menurut
Whyte (dalam Carmona. 2003), bahwa ruang publik adalah ruang dalam suatu kawasan
yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik. Lebih
lanjut Whyte dalam Carmona berpendapat bahwa ruang publik yang bisa berfungsi
optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara
lain: merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang bagus secara visual
dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan (jalur sirkulasi).
2. Pola ruang semi publik
Ruang semi publik di Kampung Hologolik digunakan sebagai tempat berinteraksi
antar masyarakat sesama Kampung Hologolik, seperti upacara perkawinan sesama warga
Kampung Hologolik, acara kedukaan. Hasil penelitian di atas sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Priyatmono (2004) di Kampung Laweyan Surakarta,
bahwa masyarakat Laweyan menggunakan ruang semi publik sebagai area perkawinan
antar saudara. Perkawinan antar keluarga menyebabkan terwujudnya keluarga besar.
Keluarga besar hidupnya mengelompok dalam suatu blok kompleks.
C. Elemen-elemen Pembentuk Pola Pemukiman Tradisional
1. Elemen lunak (softscape)
Tanaman pekarangan rumah yang terdapat di kawasan Kampung Hologolik adalah
tanaman produksi, tetapi ada juga beberapa pemilik rumah yang menanam tanaman hias.
Bagi masyarakat Kampung Hologolik tanaman hias tidak begitu penting karena
masyarakat berpikir tanaman hias tidak dapat memberikan hasil, sehingga masyarakat
lebih memilih menanam tanaman yang memberikan hasil kepada mereka. Semua tanaman
yang terdapat di Kampung Hologolik tidak ada landasan filosofi tertentu dan tidak ada
aturan untuk pola penempatan tanaman. Hasil penelitian di Kampung Hologolik sangat
berbeda dengan Konsep Pertamanan Bali menurut Prajoko (2010), bahwa pertamanan
bukan saja melibatkan arsitektural, fungsional, estetika, akan tetapi juga melibatkan
filosofi budaya Bali di setiap penempatan komponen pertamanannya, sehingga terpola
sedemikian rupa, baku dan khas untuk setiap komponen yang ada. Pertamanan Bali atau
Pertamanan Tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi, sehingga dimuat di
berbagai lontar dan kitab suci. Namun, hasil penelitian di Kampung Hologolik didukung
oleh pendapat Setiawan (2000), bahwa pemilihan tanaman didasarkan atas keinginan
individu untuk menciptakan keselarasan baik secara fungsi maupun mewujudkan tujuan
tertentu dan tidak memiliki ketentuan khusus dalam penempatan tanaman.
2. Elemen keras (hardscape)
a) Pagar
Ada dua macam pagar di kawasan pemukiman Kampung Hologolik yaitu pagar
kayu (o leget) dan pagar batu (helep leget). Pagar kayu digunakan untuk memagari
rumah, sedangkan pagar batu digunakan untuk memagari kebun. Bahan yang
digunakan masyarakat Kampung Hologolik untuk pagar adalah bahan yang ada di
sekitar pemukiman, sehingga dibuat seadanya sesuai keadaan dan kondisi. Hasil
penelitian di atas sangat berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Putra
(2011) dalam skripsinya, bahwa bagian pagar dibuat dari penanaman tanaman yang
difungsikan sebagai pagar rumah tinggal dan pembatas pekarangan milik warga yaitu
menggunakan tanaman kedondong (Spondias dulcis) ditanam memanjang, rapat dan
antar tanaman diikat dengan potongan bambu membentuk pagar.
b) Jalan setapak
Jalan yang menghubungkan satu kelompok rumah dengan kelompok rumah lain
masih bersifat tradisional yaitu jalan setapak dari tanah. Masyarakat Kampung
Hologolik tidak terlalu peduli dengan jalan setapak yang sering becek ketika hujan.
Mereka bukannya tidak bisa memiliki alas kaki (sendal) untuk dipakai, tetapi mereka
beranggapan, bahwa alas kaki (sendal) hanya akan menghambat mereka ketika
berjalan, apalagi ketika mereka melakukan perjalanan yang jauh dari Kampung
Hologolik. Selain itu, dipengaruhi juga oleh lingkungan setempat dan sudah menjadi
kebiasaan sejak nenek moyang mereka. Bagi masyarakat yang penting ada jalan
setapak yang menghubungkan satu kelompok rumah dengan kelompok rumah lain.
Jalan setapak di Kampung Hologolik sangat berbeda dengan jalan setapak pada
umumnya seperti yang dikemukakan oleh Yoga, dari arsitek lanskap Universitas
Indonesia, bahwa jalan setapak pada umumnya menggunakan bahan bebatuan seperti
batu kali, kerikil. Bentuk jalan setapak berupa persegi, oval, persegi panjang.
c) Arsitektur rumah tradisional
Ditinjau dari segi arsitektur, rumah tinggal di Kampung Hologolik mempunyai
keunikan tersendiri yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat
dengan setia, meskipun tidak ada aturan tertulis untuk bentuk arsitektur rumah tinggal
dan orientasi bangunan. Hasil penelitian di atas sangat berbeda dengan rumah tinggal
tradisional di daerah lain seperti Bali yang aturan pembangunan rumah sudah diatur
secara baku. Dalam buku Asta kosala kosali dan buku Cakepan Asta Kosala- Kosali
Ian Asta Bhumi mengatur tentang panjang, lebar, tinggi, jarak bangunan, orientasi
bangunan dan pola penempatan bangunan menurut fungsi serta pola penempatan
tanaman, sehingga semua elemen yang terdapat di suatu pekarangan rumah tradisional
Bali mempunyai fungsi dan manfaat masing-masing (Suastika, dkk. 2007 dan
Pulasari, dkk. 2008).
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemukiman Kampung Hologolik
1. Kultur penduduk
Kampung Hologolik menganut prinsip poligami yang membuat seorang laki- laki
akan membangun rumah saling berdekatan dan berhadapan satu rumah dengan rumah lain
sesuai jumlah istri, hal ini dilakukan guna mempermudah pengawasan terhadap istri-
istrinya. Prinsip poligami ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan pola pemukiman
Kampung Hologolik. Prinsip poligami yang dianut masyarakat Kampung Hologolik
sangat bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai
perkawinan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975, memperbolehkan
poligami asalkan syarat-syarat tertentu dipenuhi (Budiarti. 2006). Seorang pria dapat
diberikan ijin untuk menikah lagi jika salah satu dari syarat dipenuhi (Pasal 4:2):
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Semua syarat yang diatur dalam UU di atas tidak berlaku di Kampung Hologolik,
tetapi sebaliknya apabila seorang suami akan mengambil istri kedua atau ketiga dan
seterusnya tanpa mendapat persetujuan dari istri sebelumnya, atau tanpa membuat
jaminan bahwa akan berlaku adil terhadap semua istrinya. Berdasarkan Tabel 2, tingkat
pendidikan kaum wanita di Kampung Hologolik masih sangat rendah (67%) tidak
sekolah, sehingga mendukung prinsip poligami berjalan tidak sesuai dengan undang-
undang yang berlaku dan juga kaum wanita tidak dapat menuntut hak mereka, sehingga di
Kampung Hologolik masih belum terlihat persamaan gender.
2. Keadaan iklim
Kampung Hologolik berada di hamparan Lembah Baliem yang terbentang pada
ketinggian 1500-2000 m di atas permukaan laut dan tingkat kelembaban di atas 80 %.
Beriklim tropis basah dengan suhu udara berkisar antara 25°C hingga 30°C. Namun,
menjelang sore dan malam hari suhu udara dibawah dari 25°C, sehingga suhu udara di
Kampung Hologolik terasa sangat dingin. Selain suhu udara di atas, Kota Wamena
khususnya Kampung Hologolik dipengaruhi oleh angin Kurima yang bertiup dari arah
selatan ke utara, sehingga mengakibatkan udara pada sore dan malam hari sangat dingin.
Iklim yang sangat dingin ini mengakibatkan masyarakat membentuk pola pemukiman
secara mengelompok dengan pola penempatan rumah yang diatur sedemikian rupa.
Bentuk arsitektur rumah tradisionalpun dipengaruhi oleh keadaan iklim Wamena
khususnya Kampung Hologolik rumah dengan atap berbentuk kerucut (miring) yang
ditutupi dengan alang-alang tebal tanpa jendela dan hanya memiliki satu pintu untuk
keluar masuk. Hasil penelitian ini didukung oleh teori Ellsworth Huntington yang
menyatakan, bahwa pengaruh iklim terhadap kehidupan sangat besar. Namun, hal ini
bukan menandakan bahwa iklim mendominasi produktivitas kegiatan manusia. Teori
tentang Deterministik Lingkungan (environmental determinism) merupakan pandangan
yang sangat sederhana. Manusia tidak bisa mengubah iklim, tetapi pada zaman teknologi
yang maju ini, dengan akal dan pikirannya manusia sudah mampu mengatasi kondisi
iklim, meskipun dalam lingkup yang terbatas. (Anonim. 2007. Pengaruh Cuaca dan Iklim
terhadap Kehidupan).
3. Sosial budaya
Rumah tinggal masyarakat Kampung Hologolik, walaupun jarak antara satu
kelompok dengan kelompok lain sekitar 10-15 meter, tetapi masyarakat Kampung
Hologolik hidup berdampingan satu sama lain secara damai. Masyarakat Kampung
Hologolik hidup saling bergotong royong dalam hal apapun. Selain itu, masyarakat
Kampung Hologolik sangat patuh terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan oleh kepala
suku walaupun aturan-aturan itu secara lisan (tidak tertulis), tetapi aturan- aturan itu
sudah tersirat dalam benak setiap warga masyarakat Kampung Hologolik. Hasil penelitian
di atas didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Tumanggor, dkk. (2010), bahwa
kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh
suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi
masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di
tempat mereka berada.
POLA PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DESA TENGANAN BALI
A. Sistem Kepercayaan
Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali
Aga (pra Hindu) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Karenanya Desa Tenganan
dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata budaya.
B. Gambaran Umum
Lokasi Desa Tenganan Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 17 km
jaraknya dari Kota Amlapura (ibukota kabupaten Karangasem), 5km dari kawasan
pariwisata Candidasa, dan sekitar 65 km dari Kota Denpasar (ibukota provinsi Bali).
Tenganan adalah desa yang mempunyai keunikan sendiri diBali, desa yang terletak cukup
terpencil dan terletak di Kabupaten Karangasem. Untuk mencapai desa ini melalui jalan
darat dan berjarak sekitar 60km dari pusat kota Denpasar, Bali. Desa ini sangatlah
tradisional karena dapat bertahan dari arus perubahan jaman yang sangat cepat dari
teknologi. Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik dll masuk ke Desa Tenganan ini,
tetapi rumah dan adat tetap dipertahankan seperti aslinya yang tetap eksotik. Ini
dikarenakan Masyarakat Tenganan mempunyai peraturan adat desa yang sangat kuat,
yang mereka sebut dengan awig-awig yang sudah mereka tulis sejak abad 11 dan sudah
diperbaharui pada Tahun 1842. Desa tenganan mempunyai luas area sekitar 1.500 hektar.
Desa Tenganan berdiri kokoh tidak peduli dengan perubahan jaman dengan tetap
bertahan dengan tiga balai desanya yang kusam dan rumah adat yang berderet yang sama
persis satu dengan lainnya.
C. Pola Bermukim
1. Pola Pemukiman Desa Tenganan
Secara umum pola desa Tenganan merupakan sistem core yang membujur dari utara
ke selatan (Gambar 2). Terdiri atas tiga bagian, yaitu: banjar Kauh, banjar Tengah dan
banjar Pande. Banjar Kauh terletak pada core yang paling barat, sekaligus merupakan
core utama. Perumahan di banjar Kauh terletak berderet mengapit dan menghadap core
utama. Banjar Tengah dengan beberapa bangunan pada corenya terletak di sebelah Timur
dari banjar Kauh. Banjar Tengah
dengan beberapa bangunan pada corenya terletak di sebelah timur dari banjar Kauh.
Perumahannya berderet di kiri kanan core tengah. Banjar Pande ada pada core yang
paling timur, dengan perumahan yang ada 2 deret pula menghadap dan mengapit core dari
utara ke selatan. Pada core terdapat beberapa bangunan fasilitas umum untuk keperluan
kegiatan masyarakat di Banjar Pande. Secara keseluruhan bentuk pola pemukimanya
adalah sistem core, di mana fasilitas umum diapit oleh persil- persil perumahan
penduduk. Persil-persil ini terletak di sebelah kiri dan kanan berderet sepanjang utara
sampai selatan sampai berakhir di batas lawang atau pintu gerbang desa.
2. Pola Perumahan Penduduk Desa Tenganan
Rumah dalam arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari
beberapa bangunan, dikelilingi oleh tembok yang disebut tembok penyengker (Gambar
4). Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang disebut
banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan
tiga yakni; pura desa, pura puseh, pura dalem (Dewa Nyoman Wastika 2005). Desa
Tenganan memunyai susunan pemukiman yang merupakan pola kompleks yang
terkurung (terbentengi oleh beton), dengan masing-masing memiliki satu pintu
keluar/masuk pada masing-masing pekarangan untuk setiap posisi mata angin Manusia
Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan
arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata
dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam
semesta, yaitu kaidah arah angin Kaja-Kelod, Kauh-Kangin. Dan kaidah sumbu Utama
Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci
mereka.