45
Laporan Mikrobiologi Analitik (BM - 3202) Pembuatan Keju dari Susu Kedelai dan Susu Kambing Menggunakan Inokulum Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophillus Dilaporkan oleh : Kelompok 2 Pradana Gilang 10407003 Heidy Dwiyanti Utami 10407007 Meillya Fitrianti 10407012 Ivanna 10407015 Desi Suryani 10407024 Bastian Saputra 10407029 Waode Nur Zahra 10407030 Asisten : Asni ( 1040600 )

Laporan+Mikrobiologi+Analitik+kel+2 (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ramalan

Citation preview

Laporan Mikrobiologi Analitik (BM - 3202)

Pembuatan Keju dari Susu Kedelai dan Susu Kambing Menggunakan Inokulum Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophillus

Dilaporkan oleh :Kelompok 2

Pradana Gilang10407003Heidy Dwiyanti Utami 10407007Meillya Fitrianti10407012Ivanna 10407015Desi Suryani10407024Bastian Saputra10407029Waode Nur Zahra10407030

Asisten :Asni ( 1040600 )

PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGISEKOLAH ILMU TEKNOLOGI DAN HAYATIINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG2010BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar belakangKeju adalah salah satu produk fermentasi susu yang penting dan memiliki keunggulan sebagai makanan penunjang kesehatan (functional food) karena mengandung komponen fungsional seperti kalsium, asam linoleat dan spingolipid. Komponen ini berfungsi mengurangi berfungsi mengurangi bahaya penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung (Higgins, 2006). Keju memiliki keunggulan lain karena mengandung kultur prebiotik yang dapat mengurangi resiko terhadap berbagai penyakit dan meningkatkan sistem imun (Witwer, 1999). Hasil metabolisme bakteri asam laktat yang terdapat pada keju seperti asam laktat mampu mencegah timbulnya berbagai penyakit (Ohashi et all, 2002). Faktor yang berperan penting dalam produksi masing-masing jenis keju diantaranya adalah jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan keju. Kualitas susu yang digunakan selanjutnya menentukan karakteristik keju yang akan dihasilkan baik tekstur, aroma dan citarasa (Singh ete all, 2003). Permasalahan pada produksi keju di Indonesia adalah belum terpenuhinya standar cita rasa yang sesuai dengan selera masyarakat Indonesia sehingga masyarakat lebih cenderung untuk mengkonsumsi keju impor dengan resiko harga lebih mahal. Berdasarkan pemikiran di atas, dipandang perlu untuk mencari alternatif penggunaan substrat selain susu sapi dalam proses pembuatan keju karena perbedaan substrat dalam proses pembuatan keju memberi kontribusi pada hasil akhir keju. Pada penelitian ini, kami akan mencoba membuat keju jenis softcheese dari susu kedelai dan susu kambing Diharapkan, pembuatan keju dengan menggunakan kedua substrat ini akan memberikan citarasa yang cukup baik sehingga memberi alternatif rasa baru yang disukai masyarakat Indonesia.

1.2 Tujuan penelitian 1. Mengetahui pengaruh susu kambing dan susu kacang kedelai sebagai substrat dalam pembuatan keju dengan menggunakan parameter jumlah sel, pH, % asam laktat, kandungan protein dan lemak, serta hasil uji organoleptik. BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 KejuKeju merupakan fraksi padat (kasein) dari susu yang dipisahkan dari whey susu. Konversi dari cairan susu menjadi massa padat keju terjadi melalui koagulasi (presipitasi) dari protein susu. Susu mengandung 3,3 % protein dimana 80% dari fraksi protein tersebut merupakan kasein, sedangkan 20% protein lainnya merupakan protein whey. Protein yang terdapat pada keju hamper seluruhnya merupakan protein kasein. Saat keju terkoagulasi, protein whey akan terbuang bersama fraksi air karena protein tersebut larut dalam air. Matriks kasein pada keju tidak mengandung air, namun mengandung banyak fraksi lemak yang berasal dari susu yang digunakan. ( Hutkins, 2006)Setelah dipisahkan dari whey, keju membawa hampir 90-100% kasein, 90% lemak, 13-15% proteinwhey, 4% laktosa, dan 90% mineral yang terkandung dalam susu yang digunakannya. Sementara fraksi air terbuang lebih dari 90%. Koagulasi kasein terjadi dalam dua tahap, pertama kasein terkoagulasi karena asam, kedua koagulasi yang dipengaruhi enzim.

Gambar 2.1. Komposisi konstituen susu dan fraksinya setelah dipisah menjadi keju dan whey. (Hutkins 2006)

Koagulasi dipengaruhi asam terjadi karena produksi asam organic yang dikeluarkan oleh bakteri asam laktat. Asam laktat menyebabkan pH menjadi turun, dan karena pada pH 4,6 kasein mencapai titik isoelektriknya maka kasein mengalam presipitasi. Koagulasi kedua dikatalis dengan enzim kimosin (rennet) yang memotong ikatan met105-phe106 dalam kasein. Terpotongnya ikatan peptida tersebut menyebabkan kasein menjadi terfraksi. Fraksi fosfat anion dari -kasein kemudian terpapar yang kemudian terkoagulasi yang dimediasi oleh ion kalsium.

2.2 Enzim KimosinKimosin adalah salah satu terpenting dalam pembuatan keju. Kimosin adalah protease aspartik yang diproduksi dalam perut anak sapi. Fungsi enzim tersebut bagi anak sapi adalah untuk mengubah susu yang diminum dari bentuk cair menjadi padat sehingga dapat diserang oleh enzim pencernaan lain selanjutnya. Pada manufaktur keju, sifat kimosin tersebut sangat berguna untuk mempercepat koagulasi keju. Seperti yang telah disebutkan diatas, koagulasi kimosin bekerja dengan memotong ikatan met105-phe106 dalam kasein yang memaparkan fraksi fosfat anion dari -kasein kemudian terkoagulasi yang dimediasi oleh ion kalsium. Koagulasi berlangsung cepat karena susu mengandung kalsium lebih dari 1000 mg/L.

Gambar 2.2. Struktur misel kasein yang terkoagulasi dimediasi oleh kalsium

2.3 Substrat KejuSubstrat yang digunakan dalam proses pembuatan keju adalah susu. Susu yang biasa digunakan adalah susu sapi. Beberapa keju dibuat dari bukan susu sapi. Contohnya adalah Feta dan Chevre dari susu kambing, Roquefort dan Romano dari susu domba, dan Mozarella dari susu kudanil. Susu ini memiliki perbedaan komposisi dibanding susu sapi terutama dalam komposisi lemaknya yang lebih tinggi. Perbedaan tersebut menghasilkan produk keju yang berbeda citarasanya. Lemak tidak hanya berkontribusi terhadap badan dan tektur, melainkan juga rasa dan aroma keju. Sebagai contoh, bau tengik pada keju susu kambing terjadi karena hidrolisis trigliserida oleh lipase akibat banyak kandungan asam lemak rantai pendek di dalam susu. (Hutkins, 2006) Banyak aroma khas lain dari beragam jenis keju bergantung dari interaksi mikroba yang digunakan dalam produksi keju dengan lemak susu. Karena itu, beberapa manufaktur keju menstandarkan kandungan lemak yang terdapat dalam susu baku yang digunakan. Seperti contoh, produksi keju cheddar menstandarkan komposisi lemak susu 3,5-4,5% sedangkan mozzarella sekitar 3%. Semakin keras tekstur keju yang ingin didapat maka dibutuhkan kandungan lemak yang semakin sedikit dan mengandung protein lebih tinggi. Contoh keju keras tersebut adalah Parmesan mengandung komposisi kasein terhadap lemak lebih tinggi. Sedangkan keju krim mengandung total 60% kandungan lemak pada produk kejunya. Keju yang lebih lunak seperti triple cream cheese mengandung lemak sekitar 73 %.

Gambar 2.3. Struktur matriks kasein terkoagulasi yang mengelilingi globula lemak. Model ini menyatakan bahwa matriks keju dibentuk olah lemak dan kasein sehingga struktur keju sangat dipengaruhi oleh perbandingan komposisi kasein terhadap lemaknya.

2.4 Bakteri Asam Laktat sebagai Kultur StarterBakteri asam laktat merupakan bakteri gram positif, tidak memiliki enzim katalase, tidak membentuk spora, tidak punya sitokrom, aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofilik, membutuhkan nutrisi yang kompleks seperti asam amino dan tiamin (B1, B6, B12 dan biotin) untuk pertumbuhannya (Surono, 2004). Menurut Mardigan dan Martinko (2006), genus bakteri asam laktat berbentuk kokus dengan diameter 1 m dan panjang 2-3 m (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Perbedaan antara Genera Bakteri Asam Laktat (Mardigan dan Martinko, 2006)GenusBentuk selFermentasi

SreptococcusKokus berantaiHomofermentatif

LeuconostocKokus berantaiHeterofermentatif

PediococcusKokus dalam empatHomofermentatif

LactobacillusBatang berantaiHomofermentatif heterofermentatif

EnterococcusKokus berantaiHomofermentatif

LactococcusKokus berantaiHomofermentatif

Bakteri asam laktat memerlukan nutrisi yang sangat kompleks dan umumnya hidup pada medium yang kaya akan nutrisi seperti berbagai jenis makanan. Pada pembuatan keju kondisi pertumbuhan yang berbeda dapat menghasilkan produk akhir fermentasi yang berbeda pula. Secara umum niasin dan asam pantotenat esensial bagi pertumbuhan bakteri asam laktat (Surono, 2004)Salah satu perbedaan penting dari group bakteri asam laktat adalah pola pembentukan produk fermentasi glukosa yaitu terdapat kelompok homofermentatif secara prinsip hanya menghasilkan asam laktat tanpa produksi gas CO2 dan komponen aroma dari penguraian glukosa sedangkan kelompok heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan berbagai metabolit lain sebagai produk akhir (Doelle, 1994).Penurunan pH akibat aktivitas metabolisme kultur starter yang digunakan menyebabkan terjadinya koagulasi atau penggumpalan susu menjadi dadih dan mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Bakteri yang dipergunakan sebagai kultur starter menyesuaikan diri terhadap perubahan pH melalui pengaturan pH internal sitoplasmanya (Neidhardt, et.al, 1990). Perkembangan derajat keasaman ini merupakan prinsip penting yang bertanggungjawab terhadap kualitas dan keamanan keju segar yang dihasilkan karena penurunan pH membangun tekstur, aroma, dan warna keju (Marchesseau, 1997)Bakteri asam laktat termasuk dalam kelompok bakteri yang memenuhi status GRAS (Generally Reconized As Safe) yaitu aman bagi manusia. Hasil fermentasi secara heterofermentatif mempunyai efek yang lebih baik untuk kesehatan saluran pencernaan karena kondisi asam yang disebabkan oleh asam laktat dan asetat mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Terdapat beberapa genera bakteri asam laktat, yakni Leuconostoc, Lactobacillus, Lactococcus, Pediococcus dan Streptococcus. Bakteri asam laktat menempati dua sistem ekologi di alam yaitu saluran pencernaan manusia atau hewan dan produk makanan nabati maupun hewani (Surono, 2004)Pengembangan aroma yang terdapat pada keju dapat dihasilkan dari katabolisme asam amino menjadi senyawa tertentu pembentuk komponen aroma yang terjadi pada tahap fermentasi dan tahap pemeraman keju. Lactococcus lactis menginisiasi degradasi asam amino dan aminotransferase sehingga menghasilkan komponen aroma (Yvon, et al, 1997). Menurut Tavaria, et. al, (2002), pH optimum untuk degradasi asam amino oleh bakteri asam laktat adalah 6. Bakteri asam laktat Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophillus mempunyai peran penting dalam produksi keju karena kemampuan memproduksi diasetil dan asetaldehida yang merupakan komponen aroma (Hugenholtz, 1993)

2.5 Lactococcus lactisLactococcus termasuk golongan bakteri gram positif dan suhu optimal pertmbuhannya adalah 30oC. Karakteristik mikroskopisnya berbentuk kokus, biasanya diplokokus. Koloni berbentuk rantai pendek, anaerob fakultatif, berbau, konsistensinya kompak dan memproduksi nisin (Black, 1999).Gambar 2.4 Lactococcus lactis

Lactococcus lactis sebagai starter pada industri keju seperti pada keju Gouda dan Cheddar, juga pada produksi mentega dan pembuatan dadih. Pertumbuhannya sangat cepar pada medium susu dan mampu menghidrolisis kasein susu dengan enzim proteinase ekstraseluler dan mengkonversi laktosa secara homofermentatif menjadi asam laktat. Pada umumnya genus Lactococcus bersifat mesofilik dan membutuhkan biotin dan riboflavin untuk pertumbuhannya. Proses proteolisis dilanjutkan sampai pada proses pemeraman keju sehingga nebghasilkan aroma khas pada keju (Hugenholtz, 1993 ; Surono, 2004). Selama proses fermentasi berlangsung kultur starter mengalami berbagai perubahan kondisi lingkungan seperti tinggi rendahnya suhu, pH, tekanan osmotik, kekurangan nutrisi dan perubahan oksidatif. Menurut Anderson dan Rodstrom (2003) Lactococcus lactis memiliki mekanisme pertahanan terhadap stres lingkungan tersebut.

Gambar 2.5 Kurva Tumbuh Lactococcus lactis dalam medium Lactococcus lactis. Kondisi lingkungan : tanpa aerasi, suhu 30oC, dan pH awal medium 6.8 (Hariati, 2006)

Inokulum bakteri Lactococcus lactis yang telah diaktivasi dari medium aktivasi telah mensintesis enzim dan koenzim untuk metabolisme serta pembelahan sel, seperti protein Fts yang penting dalam pembelahan sel. Lamanya fase eksponensial pada tiap bakteri berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, komposisi medum, dan karakteristik genetik dari mikroorganisme. Pada fase stationer masih terjadi biosintesis dan metabolisme sel teteapi tidak ada pertambahan jumlah sel. Fase kematian terjadi karena sel kehilangan kemampuan bereproduksi (Madigan dan Martinko, 2006). Umur inokulum Lactococcus lactis yang baik untuk digunakan dalam proses pembuatan keju adalah bakteri yang berumur empat jam. Laju pertumbuhan maksimum untuk bakteri Lactococcus lactis terdapat pada jam ke-4 dengan = 0.04 sel/jam dan waktu generasi (tg) = 17.3 jam (Hariati, 2006).

2.6 Streptococcus thermophillusStreptococcus thermophillus adalah bakteri gram positif, berbentuk kokus dan membentuk pola rantai (Heller, 2001). Tumbuh optimum pada suhu 40oC dan dapat tumbuh hingga suhu 52oC. Bersifat fakultatif anaerob, berbau dan konsistensinya menyerupai krim.

Gambar 2.6 Streptococcus thermophilus

Genus Streptococcus banyak dijumpai dalam saluran pencernaan dan metabolismenya hanya menggunakan glukosa dan laktosa. Genus tersebut memiliki aktivitas peptidase yang kuat untuk menghasilkan asam amino. Aroma spesifik yang dihasilkan adalah asetaldehid yang berasal dari konversi asam amino treonin menjadi glisin dan asetaldehid (Hugenholtz, 1993). Pembentukan asetaldehida dikatalisis oleh SHMT (Serin Hydroxi Metil Transferase). SHMT memiliki aktivitas treonin aldolase yang mengkonversi threonin menjadi glisin dan asetaldehida (Chaves et all, 2002). Bakteri Streptococcus thermophillus ini digunakan sebagai starter untuk produksi yoghurt, keju Swiss dan keju Italia. Streptococcus thermophillus memerlukan asam amino glutamine, sistein, dan histidin melebihi asam amino bebas yang terdapat dalam susu sehingga perlu ditambahkan pada medium susu (Surono, 2004)

Gambar 2.7 Kurva Tumbuh Streptococcus thermophillus pada MST. Kondisi lingkungan : tanpa aerasi, suhu 40oC, dan pH awal medium 6.8 (Hariati, 2006)

Penggunaan inokulum sebaiknya menggunakan inokulum bakteri yang telah berada dalam keadaan aktif, yakni telah mensintesis enzim esensial yang dibutuhkan untuk proses metabolisme substrat yang ada pada medium. Selain untuk proses metabolisme, sintesis enzim juga digunakan untuk pembelahan sel dan perbanyakan sel (Black, 1999). Umur inokulum Streptococcus thermophillus yang baik untuk digunakan dalam proses pembuatan keju adalah bakteri yang berumur empat jam. Laju pertumbuhan maksimum untuk bakteri Streptococcus thermophillus terdapat pada jam ke-4 dengan = 0.043 sel/jam dan waktu generasi (tg) = 16.1 jam (Hariati, 2006).

2.7 Optimasi campuran kedua kulturDalam pembuatan keju dapat digunakan kultur tunggal atau pun kultur campuran. Pada kultur campuran antara Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus, perbandingan jumlah inokulum yang baik digunakan adalah dengan perbandingan 1:1 (Hariati, 2006). Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus dapat memfermentasi glukosa secara homofermentatif dan menghasilkan asalm laktat yang lebih banyak bila dibandingkan dengan bakteri yang memfermentasi laktosa secara heterofermentatif (Lonvavol, 1999). Asam laktat yang dihasilkan secara homofermentati oleh Lactococcus lactis dapat meningktakan derajat keasaman dengan cepat sehingga penggumpalan cepat terjadi. Sedangkan bakteri Streptococcus thermophilus memiliki kemampuan menghasilkan asetaldehida sebagai komponen cita rasa (Levata dan Sandline, 1996).

2.8 Perbandingan kandungan susuKacang-kacangan dan biji-bijian, seperti kacang kedelai, merupakan sumber protein dan lemak nabati yang berperan penting dalam kehidupan. Asam amino yang terkandung pada bahan pangan ini tidak selengkap protein hewani, tetapi tetap dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan asam amino yan dibutuhkan. Bahan pangan ini dapat diolah menjadi makanan atau pun minuman, seperti tahu, tempe, susu kedelai, dan lain sebagainya. Kandungan protein pada susu kedelai sangat tinggi, dengan kandungan lainnya berupa lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, provitamin A, vitamin B kompleks (kecuali B12), dan air (Radiyati, et.al, 1992).

Tabel 2.2 Perbandingan Komposisi Susu Kedelai, Susu Sapi dan Susu Kambing (Radiyati, 1992) Keju susu kedelai mengandug isoflavon (nutrisi penting bagi tumbuhan yang menguntungkan dalam kesehatan). Selain itu, kalori, lemak, dan kolesterol dalam keju ini lebih rendah dari keju biasa dan juga mengandung vitamin A dan E 10% (Ahmad, et.al, 2008).Susu kambing sering digunakan sebagai susu pengganti untuk orang yang mengalami lactose-tolerant (tidak tahan terhadap susu sapi yang mengakibatkan diare dan menurunkan kadar kolesterol) karena kandungan laktosa pada susu kambing lebih rendah bila dibandingkan susu sapi. Karena kandungan laktosa yang rendah, susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan susu sapi. Susu kambing juga tidak mengandung aglutinin sehingga globula lemak susu kambing tidak mengalami klusterisasi dan lebih mudah dicerna (Macy, et.al, 1953).Susu kambing memiliki kandungan total solid 13,9%, lemak 4,8%, protein 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, abu 0,85%, dan laktosa 5%. Non protein nitrogen susu kambing lebih tinggi dari susu sapi, kaseinnya mengandung arginin, isoleusin dan valin yang lebih rendah dibanding kasein susu sapi tetapi memiliki kandungan yang lebih tinggi pada asam amino histidin, asam aspartat, dan tirosin (Park, 2001).

2.9 Proses utama pembuatan keju2.9.1 Penyiapan susuBeberapa manufaktur keju di Amerika Serikat menpasteursasi langsung susu baku yang akan digunakan untuk produksi keju. Pasteurisasi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pengganggu dan pathogen. Beberapa produksi keju tradisional memeram dulu susu yang akan digunakan selama lebih dari 60 hari pada suhu 1.7. Tujuannya untuk menumbuhkan mikroflora normal yang akan memberikan citarasa yang khas. Untuk jenis keju seperti ini, tidak dibutuhkan pasteurisasi.2.9.2 Pemberian starterPeranan utama starter adalah fermentasi asam, koagulasi protein, menghambat pertumbuhan pathogen. Starter yang digunakan adalah mikroba mesofil Lactococcus lactis yang tumbuh pada temperature 10-40oC dan mikroba termofil Strepcoccus thermophilus yang tumbuh optimum pada 42-45oC.2.9.3 Pembentukan dadihProses pembentukan dadih adalah proses koagulasi kasein yang terjadi karena dua hal yaitu produksi asam oleh mikroba dan penggunaan enzim kimosin. Koagulasi oleh enzim melalui 3 tahap yaitu penyerapan enzim ke dalam kasein, perubahan partikel kasein, mengendapnya kasein menjadi garam kalsium/kompleks. Dadih yang memiliki pH rendah bertekstur rapuh dan mudah hancur. Dadih yang memiliki pH tinggi tekstur elastik. 2.9.4 Pemotongan dadih Pemotongan bertujuan untuk untuk mengatur kadar air pada dadih. Semakin kecil potongan maka akan menghasilkan keju yang lebih kering karena proses penguapan air terjadi lebih baik. Untuk menghasilkan keju yang kering dibutuhkan pemotongan yang kecil-kecil. Pada tahap ini, elah terjadi proses sineresis2.9.5 Pemanasan Pemanasan dan penurunan pH meningkatkan efek sineresis yaitu pengeluaran whey dari dadih. Pemanasan memicu penguapan sehingga mempercepat proses sineresis. 2.9.6 Pengeluaran wheyUntuk memisahkan antara keju dengan whey. Pada proses ini padatan keju telah dihasilkan.2.9.7 Pengolahan dadihPenambahan garam berfungsi untuk mengembangkan aroma keju yang dihasilkan. Fungsi lainnya adalah pada konsentrasi tertentu menghambat pertumbuhan mikrooganisme dalam keju juga melanjutkan sineresis. Setelah itu dilakukan pengepresan untuk mengurangi kandungan air dan whey.2.9.8 PemeramanDilakukan untuk mengubah komponen fisika kimia kasein terkoagulasi sehingga menimbulkan rasa, aroma, dan mengubah tekstur keju. Pada pemeraman, terjadi berbagai reaksi degradasi konstituen dalam keju oleh metabolit yang dihasilkan mikroba. Sebagai contoh, degradasi protein oleh enzim proteolitik. Faktor yg mempengaruhi laju proteolisis: enzim dari kultur starter, non starter dan susu, kadar air dadih, pH,dadih, kadar garam, metode penggaraman, suhu penyimpanan dan kelembapan udara tempat penyimpanan.

Gambar 2.8 Proses utama pembuatan keju keras

2.10 Pertumbuhan MikroorganismePertumbuhan mikroorganisme dicirikan oleh pertambahan massa sel, konstituen seluler dan pertambahan jumlah sel yang dapat terjadi apabila kondisi kimiawi dan fisika tertentu terpenuhi (Gumbira, 1987 ; Neihhardt et al., 1990). Bakteri tumbuh dengan cara pembelahan sel dengan membelah secara simetris menjadi dua sel. Pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yakni ketersediaan nutrisi, suhu, pH, oksigen, pengaruh aktivitas air dan pengaruh potensi genetik dari bakteri itu sendiri (Fardiaz, 1998). Pengukuran pertumbuhan sel secara kuantitatif disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang menunjukkan hubungan antara biomassa / jumlah sel terhadap waktu, secara umum terdapat empat fase pertumbuhan mikroorganisme pada medium fermentasi sistem batch (sistem curah) yakni fase adaptasi, fase logaritma, fase stasioner, dan fase kematian sel (Madigan dan Martinko, 2006).

2.11 Uji OrganoleptikUji organoleptik dilakukan untuk menentukan tingkat kesukaan praktikan terhadap keju yang dihasilkan. Parameter yang diukur adalah aroma dan tekstur. Aroma merupakan sifat makanan dan kesukaan seseorang terhadap suatu aroma tergantung pada mekanisme reseptor orang yang memakan. Tekstur juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil uji organoleptik. Tekstur meliputi kehalusan, kegranulan, dan kekentalan. Menurut penelitian tentang telaah kepedulian konsumen terhadap tekstur makanan yang dilakukan oleh Sczenik dan Kleyeyn (1963, dalam deMan, 1989), tekstur ternyata mempengaruhi citra makanan. Tekstur dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yakni ciri mekanis, ciri geometris, dan ciri lain yang berkaitan dengan air dan lemak. Menurut Szesniak (1963, dalam deMan, 1989) kepekaan terhadap komponen organoleptik yang lain yakni rasa terdapat pada kuncup lidah. Rasa umum disepakati hanya terdapat empat macam rasa dasar yaitu manis, pahit, masam, dan asin.

2.12 Medium YGLPBMedium YGLPB (Yeast Glucose Lactose Peptone Broth) adalah medium pertumbuhan yang cocok untuk bakteri yang menggunakan laktosa sebagai sumber energi utama. Komposisi untuk 1 L medium YGLPB adalah :Pepton10gBeef extract8 gGlukosa5 gLaktosa5 gEkstrak ragi3 gK2HPO42.5 gKH2PO42.5 gMgSO4.7H2O0.2 gMnSO4.7H2O0.05gagar15 g(www.sci.muni.cz)

2.13 Medium MSTSesuai dengan namanya, medium MST (Medium Streptococcus thermophilus) merupakan medium yang cocok untuk pertumbuhan Streptococcus thermophilus. Komposisi untuk 1 L MST adalah :Sukrosa10 gPDC10 gEkstrak ragi5 gK2HPO42 gAgar15 g(www.sci.muni.cz)

BAB IIIALAT DAN BAHAN

3.1 BahanIsolat bakteri yang digunakan adalah Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophillus. Kedua isolat tersebut diperoleh dari koleksi kultur di Laboratorium Mikrobiologi ITB. Bahan baku utama lain yang dipergunakan adalah susu kambing dan susu kacang kedelai yang berada dalam bentuk kemasan. Medium pertumbuhan Lactococcus lactis yang digunakan adalah medium YGLPB sedangkan medium pertumbuhan untuk Streptococcus thermophillus adalah medium MST. Selanjutnya diperlukan air untuk proses penggumpalan. 3.2 AlatAlat-alat yang digunakan yaitu cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas ukur, pipet ukur, wadah tertutup, wadah plastik keju, alat pengaduk, penangas, kaca plastik, aluminium foil, alat penyaring, pisau, alat press, jarum oose, pH meter, spektrofotometri, pipet, set reagen Sommogyi Nelson untuk uji substrat, autoklaf dan inkubator, dan food analyzer untuk analisis kandungan keju.

BAB IVMETODOLOGI PENELITIAN

BAB VDATA PENGAMATAN

6.1 Hasil Platting Total Plate Count (TPC)6.1.1 Keju Susu Kedelai

Keterangan : Di inkubasi pada suhu ruang selama 2 x 24 jam MST: Medium untuk Streptococcus thermophylus YGLPB: Medium untuk Lactococcus lactis

Hasil pewarnaan gram : Streptococcus thermophylus Lactococcus lactis ( perbesaran 1000 x ) ( perbesaran 1000 x )

6.1.2 Keju Susu Kambing

Keterangan : Di inkubasi pada suhu ruang selama 2 x 24 jam Tanda lingkaran biru (pada foto) : koloni inokulum MST: Medium untuk Streptococcus thermophylus YGLPB: Medium untuk Lactococcus lactis

Hasil pewarnaan gram : Streptococcus thermophylus Lactococcus lactis ( perbesaran 1000 x ) ( perbesaran 1000 x )

6.2 Kadar % asam laktat dan pH

Keterangan: Pengukuran % asam laktat dengan metode titrasi asam. Pengukuran pH dengan penggunaan pH meter. Tanda (-) : tidak dilakukan pengukuran.

RESUME HASIL TPC, PENGUKURAN %ASAM LAKTAT DAN pH

6.3 Analisis Kandungan Keju

Keterangan : Pengukuran kandungan keju dengan menggunakan mesin Food Analyzer. Pengukuran dilakukan pada akhir waktu inkubasi.

6.4 Uji Organoleptik6.4.1 Keju susu kedelai

6.4.2 Keju susu kambing

Keterangan : Total jumlah panelis : 50 orang Angka yang diperoleh pada tiap perlakuan merupakan hasil angka uji organoleptik dari tiap panelis yang dijumlahkan.

BAB VIPEMBAHASAN

6.1 Pola Pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada Keju Susu KambingJumlah sel merupakan salah satu parameter dalam proses pembuatan keju. Perhitungan jumlah sel menggunakan metode Total Plate Count dengan memakai dua jenis medium yaitu, YGLPB dan MST. Jumlah sel yang terhitung merupakan jumlah bakteri Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus yang ditambahkan dan tumbuh dalam proses pembuatan keju. Banyaknya jumlah bakteri yang terhitung menggambarkan proses yang terjadi dalam pembuatan keju.

Gambar 6.1. Pola pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kambing dalam medium YGLPB dan MST

Hasil perhitungan jumlah sel menunjukkan bahwa banyaknya jumlah sel setiap minggu terus bertambah. Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan menggunakan dua medium yakni, YGLPB untuk Lactococcus lactis dan MST untuk Streptococcus thermophilus. Pada Gambar 6.1, terlihat bahwa dari kedua medium tersebut, perhitungan yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Pada minggu ke-3, pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus tidak diketahui karena jumlah koloni terlalu banyak untuk dihitung. Selain itu, dari grafik yang didapat, hingga minggu ke-6, pertumbuhan mikroba belum memasuki fase stasioner.Berdasarkan kurva pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus diketahui tidak terdapat fase lag. Hal ini menunjukan bakteri tersebut tidak memerlukan waktu untuk adapatasi fisiologis terhadap medium karena sudah terlebih dahulu dilakukan aktivasi dengan volume bertingkat sebanyak dua kali. Menurut Madigan dan Martinko (2006) tidak adanya fase lag disebabkan kondisi pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus yang telah optimum sewaktu dipindahkan dari medium dan telah mensintesis enzim dan koenzim untuk metabolism serta pembelahan sel.Untuk memastikan bahwa mikroba yang tumbuh adalah Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus, maka kami melakukan pewarnaan gram pada sampel keju susu kambing. Ternyata, bakteri yang didapat adalah bakteri gram positif berbentuk coccus (bulat). Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus. Jadi, dapat dipastikan bahwa bakteri yang tumbuh pada keju susu kambing adalah Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus.

6.2 Pola Pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada Keju Susu KedelaiPola pertumbuhan dari Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kedelai juga kami tinjau. Metode untuk melihat pola pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kedelai yang kami gunakan sama dengan metode untuk melihat pola pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kambing. Sampling dilakukan seminggu sekali selama 6 minggu. Pola pertumbuhan dari Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kedelai yang kami dapatkan adalah sebagai berikut.

Gambar 6.2 Pola pertumbuhan Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus pada keju susu kedelai dalam medium YGLPB dan MST pada suhu ruang

Hasil perhitungan jumlah sel pada pembuatan keju dari susu kedelai (Gambar 2.) tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan pada pembuatan keju dari susu kambing. Jumlah sel mencapai 1022 dan mengalami kenaikan pada setiap minggu. Jumlah mikroba pada proses pembuatan keju dipengaruhi oleh penambahan kadar garam. Semakin besar kadar garam yang diberikan, maka semakin sedikit jumlah mikroba yang terkandung dalam keju. Dengan demikian, penambahan garam berfungsi menekan pertumbuhan mikroba yang berperan dalam proses kerusakan makanan sehingga keju memiliki umur simpan yang lebih lama. Fungsi penambahan garam diantaranya adalah menekan pertumbuhan bakteri yang tidak diharapakan, menunjang pertumbuhan bakteri starter, mengontrol aktivitas enzim selama proses pematangan keju, dan menambah cita rasa keju (Hill, 2006). Jumlah sel yang terhitung baik pada pembuatan keju dari susu kambing maupun susu kedelai mencapai 1022 sel. Mengacu pada literatur dari Hill (2006), jumlah bakteri Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus yang banyak pada setiap minggu ditunjang oleh penambahan kadar garam yang optimum.Selain penambahan kadar garam yang optimum, mungkin jumlah mikroba yang sangat tinggi salah satunya disebabkan karena terjadi kesalahan pada tahap awal pembuatan keju dimana optical density (OD) inokulum tidak kami ukur terlebih dahulu sebelum diinokulasikan ke dalam susu kambing dan susu kedelai. Akibatnya, kami tidak mengetahui OD awal mikroba yang diintroduksi ke dalam susu. Mungkin, OD awal Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus yang diinokulasi ternyata sangat tinggi sehingga hasil akhir jumlah Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophilus yang didapat pun menjadi sangat tinggi.Medium yang digunakan untuk menghitung jumlah sel berbeda dengan medium yang digunakan pada proses fermentasi keju, tetapi komposisi keduanya mengandung laktosa dan nitrogen. Pada medium YGLPB dan MST, sumber nitrogen berupa pepton sedangkan pada susu kambing sumber nitrogen adalah protein yang terkandung dalam susu kambing itu sendiri. Karena komposisi medium untuk perhitungan jumlah mikroba tidak terlalu berbeda dengan substrat yang digunakan untuk fermentasi, hasil perhitungan dapat dikatakan cukup merepresentasikan jumlah mikroba yang terdapat pada proses fermentasi keju pada setiap minggu.Streptococcus thermophilus dan Lactococcus lactis memiliki kemampuan menggunakan susu sebagai substrat pertumbuhannya. Streptococcus thermophilus mampu menggunakan susu sebagai substratnya melalui penggunaan proteinase, sistem transport oligopeptida, dan sejumlah besar peptidase intraselular (Letort, 2002). Sedangkan Lactococcus lactis merupakan mikroorganisme yang memiliki sistem proteolitik untuk memecah protein susu menjadi peptide kecil dan asam amino bebas yang kemudian dijadikan sebagai sumber nitrogen dalam pertumbuhan pada media susu (Bruinenberg, 1992). Selain berperan dalam proses pembentukan keju itu sendiri, mikroba dalam pembuatan keju fermentasi juga berperan dalam memberikan cita rasa. Misalnya pada sistem proteolitik yang dimiliki oleh Lactococcus lactis, terdapat serin proteinase yang berperan penting untuk pertumbuhan dalam medium susu dan produksi kesein peptide (Bruinenberg, 1992). Kasein peptida berperan dalam pemberi cita rasa pada produk fermentasi susu (Bruinenberg, 1992).Beberapa penelitian telah memfokuskan pembuatan keju terhadap jumlah mikroba probiotik yang terkandung di dalamya. Contohnya adalah penambahan mikroba probiotik Bifidobacterium lactis dan Lactobacillus acidophilus pada keju yang terbuat dari susu kambing (Gomes, 1998).

6.3 Perubahan pH dan Kadar Asam Laktat6.3.1 Perubahan pH

Gambar 6.3 Perubahan pH pada Fermentasi Susu Kambing dan Susu Kedelai

Berdasarkan grafik perubahan pH pada kedua substrat susu (Gambar 3) terlihat bahwa terjadi perubahan pH selama berlangsungnya proses fermentasi. Terjadi penurunan pH pada kedua jenis susu, dari pH awal susu kambing (6.6) mengalami perubahan menjadi pH 4.6 pada akhir pengamatan (setelah waktu inkubasi 6 minggu), pH awal susu kedelai (6.7) berubah menjadi 4.4 (setelah waktu inkubasi 5 minggu). Pada kedua jenis substrat susu tersebut telah diinokulasi kultur campuran (Lactococcus lactis dan Streptococcus thermophillus) yang telah diaktivasi dengan perbandingan inokulum 1:1. Pada perlakuan substrat susu kambing, terjadi penurunan pH dari pH awal susu 6.6 hingga menjadi pH 4.4 pada minggu ke-3, tetapi selanjutnya terjadi kenaikan pH menjadi 4.6 pada minggu ke-4 dan perubahan pH tidak terjadi secara signifikan hingga minggu ke-6. Pada perlakuan dengan substrat susu kedelai juga terjadi penurunan pH dari pH awal 6.7 berubah menjadi pH 4.6 pada minggu ke-3, tetapi terjadi kenaikan pH menjadi 4.7 pada minggu ke-4 dan akhirnya mengalami penurunan pH menjadi 4.4 pada minggu ke-5.Secara umum, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan pH. pH akhir keju susu kedelai lebih rendah daripada pH akhir keju susu kambing. Padahal, pH awal susu kambing lebih rendah daripada susu kedelai. Hal ini menunjukan bahwa produksi asam pada susu kedelai terjadi lebih tinggi daripada susu kambing. Fakta ini didukung oleh data pengamatan yang didapat dari hasil pengukuran % asam laktat yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subab berikutnya.Penurunan pH pada kedua substrat susu menyebabkan penggumpalan susu menjadi dadih, selain itu dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Pada minggu ke-3 kecepatan penurunan pH mulai berkurang (pada kedua substrat susu), hal ini menunjukkan mulai terjadinya proses koagulasi susu dan penurunan produksi asam oleh kultur starter karena proses proteolisis mulai berlangsung (Gomes & Malcata, 1998).Penurunan derajat keasaman ini merupakan prinsip penting yang menentukan kualitas dan keamanan keju segar yang dihasilkan karena penurunan pH akan membangun tekstur, aroma, dan warna keju. Semakin rendah pH akan menghasilkan tekstur dadih yang rapih dan mudah hancur. Hal ini berhubungan dengan tercapainya titik isoelektrik protein susu (kasein) seiring dengan turunnya pH. Apabila titik isoelektrik tercapai, maka protein susu akan terkoagulasi menjadi dadih. Namun pada percobaan ini, dadih yang terbentuk pada susu kambing (pH 4.6) memiliki tekstur rapuh dan mudah hancur, namun pada susu kedelai (pH 4.4) memiliki tekstur dadih yang kental (soft cheese). Hal ini disebabkan karena susu kedelai tidak mengandung kasein sehingga walaupun pH akhir keju susu kedelai lebih rendah daripada keju susu kambing, namun tekstur yang didapat tetap cair dan lembut karena memang tidak ada kasein yang terkoagulasi.

6.3.2 Perubahan Kadar Asam Laktat

Gambar 6.4 Perubahan Kadar Asam Laktat Pada Fermentasi Susu Kambing dan Susu Kedelai

Berdasarkan pengukuran perubahan kadar asam laktat selama 5 sampai 6 minggu (gambar 4), diketahui bahwa kadar asam laktat tertinggi sebesar 0.24% dihasilkan oleh susu kedelai pada minggu ke-5, sedangkan susu kambing menghasilkan kadar asam laktat lebih rendah yaitu sebesar 0.216%. Pada substrat susu kambing, pengukuran kadar asam laktat awal dengan titrasi asam dilakukan pada waktu inkubasi minggu ke-2 menghasilkan kadar asam laktat 0.072% dan mengalami penurunan menjadi 0.054% pada minggu ke-3. Namun selanjutnya kadar asam laktat terus mengalami peningkatan hingga minggu ke-6 menjadi 0.22%. Pada substrat susu kedelai, kadar asam laktat awal diukur pada waktu inkubasi minggu ke-2 menghasilkan kadar asam laktat sebesar 0.09% dan mengalami penurunan pada minggu ke-2 menjadi 0.054%. Namun selanjutnya kadar asam laktat terus mengalami peningkatan hingga minggu ke-5 menjadi 0.24%. Pada minggu ke-2 dan ke-3 sempat terjadi penurunan kadar asam laktat pada kedua substrat susu, namun pada hasil pengukuran pH pada minggu-minggu tersebut telah terjadi penurunan pH secara signifikan. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan dari metode pengukuran titrasi asam yang kurang akurat karena titrasi dilakukan oleh orang yang berbeda.Kadar asam laktat yang dihasilkan susu kedelai lebih tinggi dibandingkan susu kambing, Jika ditinjau dari data pH yang didapat (telah dijelaskan pada subab sebelumnya), pH akhir keju susu kedelai memang lebih rendah daripada keju susu kambing. Hal ini menunjukan bahwa perubahan pH keju dipengaruhi oleh produksi asam laktat. Secara umum, jika data % asam laktat dan pH dibandingkan, akan didapatkan hubungan bahwa semakin tinggi %asam laktat yang dihasilkan, maka semakin rendah pH sistem. pH dan % asam laktat merupakan metode pengukuran tidak langsung. Jadi, dengan melihat pH dan %asam laktat dari sistem fermentasi, kita juga dapat memperkirakan pertumbuhan mikroba di dalam sistem fermentasi.

6.4 Pengujian OrganoleptikPengujian organoleptik dilakukan dengan mencicipi keju susu kedelai dan keju susu kambing hasil fermentasi dan diberi angka organoleptik 1 hingga 5 (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = cukup, 4 = suka, dan 5 = sangat suka). Ada empat parameter yang diuji, yaitu rasa keju, aroma keju, tekstur keju, dan warna keju. Hasil uji organoleptik untuk keju susu kedelai dan keju susu kambing dari 50 panelis disajikan dalam grafik sebagai berikut :

Gambar 6.5 Hasil Uji Organoleptik Keju Susu Kedelai

Gambar 6.6 Hasil Uji Organoleptik Keju Susu Kambing

Gambar 6.7 Perbandingan Keju yang Disukai

6.4.1 RasaBerdasarkan data hasil uji organoleptik, keju susu kambing lebih banyak disukai oleh panelis bila dibandingkan dengan keju susu kedelai. Hal ini dikarenakan rasa keju susu kedelai yang lebih asam dan tidak seperti rasa keju yang ada di pasaran (misalnya keju cheddar). Menurut panelis, rasa keju susu kambing lebih mendekati rasa keju yang sebenarnya bila dibandingkan dengan keju susu kedelai. Nilai untuk rasa keju kedelai secara umum adalah 2 (tidak disukai) sedangkan untuk keju susu kambing adalah 4 (disukai).Perbedaan utama yang menyebabkan perbedaan rasa dari kedua jenis keju ini adalah kandungan laktosa dan kasein yang terdapat di dalam susu. Pada keju susu kambing, kultur bakteri starter yang digunakan menggunakan laktosa sebagai sumber gula dan protein susu sedangkan untuk keju susu kedelai, kultur bakteri starter menggunakan gula pada kedelai sebagai pengganti laktosa dan protein yang terdapat pada susu kedelai yang berperan seperti protein pada susu kambing. Dadih yang dihasilkan oleh susu kedelai menghasilkan berbagai asam amino yang digunakan oleh kultur untuk menghasilkan cita rasa. Persentase kandungan lemak dan kultur mikroba yang digunakan juga berpengaruh penting dalam menciptakan rasa (Ahmad, et.al, 2008).

6.4.2 AromaHasil uji organoleptik mengenai aroma keju yang dihasilkan menunjukkan bahwa aroma keju susu kambing lebih disukai bila dibandingkan dengan keju susu kedelai. Hal ini berdasarkan hasil uji bahwa sebagian besar panelis menyatakan keju susu kambing memiliki aroma cukup baik dan banyak yang menyukainya, bila dibandingkan dengan keju susu kedelai dimana sebagian besar panelis tidak menyukai aromanya. Menurut sebagian panelis aroma keju susu kedelai dinilai menghasilkan aroma yang lebih tajam bila dibandingkan dengan keju susu kambing.Perbedaan aroma yang dihasilkan terjadi karena perbedaan susbtrat yang digunakan. Pada keju susu kedelai, senyawa yang lebih banyak dihasilkan adalah asam, alkohol, ester, aldehid, keton dan senyawa yang mengandung sulfur (Ahmad, et.al, 2008). Aroma pada keju susu kambing dihasilkan oleh senyawa peptida dan asam lemak yang dihasilkan. (Salles, et.al, 2002)6.4.3 TeksturTekstur keju susu kambing dan keju susu kedelai memiliki perbedaan pada hasil akhirnya, keju kambing memiliki tekstur lebih padat dibandingkan keju kedelai yang memiliki tekstur seperti krim. Berdasarkan hasil uji organoleptik, tekstur keju susu kedelai lebih banyak disukai bila dibandingkan dengan keju susu kambing. Tekstur keju susu kambing dinilai cukup oleh sebagian besar panelis. Perbedaan tekstur keju susu kambing dan keju susu kedelai disebabkan perbedaan kandungan lemak, protein, dan rasio perbandingan air dan protein (Gomes dan Malcata, 1998). Pada saat proses pembuatan keju, kami menambahkan rennet pada susu kambing maupun susu kedelai. Ternyata, setelah ditambahkan, reaksi yang ditimbulkan berbeda antara susu kedelai dan susu kambing. Pada saat penambahan renet, dadih susu kambing langsung terpisah dan membentuk tekstur bubuk. Sedangkan pada keju susu kedelai, walaupun telah dilakukan penambahan renet, dadih terbentuk 1 minggu kemudian. Hal ini disebabkan karena substrat rennin adalah kasein, sedangkan susu kedelai tidak mengandung kasein (Van Dijk, 1982). Maka, dapat dikatakan bahwa tidak perlu penambahan renet untuk pembuatan keju susu kedelai.

6.4.4 WarnaMenurut sebagian besar panelis, warna keju susu kedelai dinilai cukup dan keju susu kambing lebih banyak disukai oleh panelis. Warna akhir keju yang dihasilkan dari keju susu kedelai dan keju susu kambing sedikit berbeda. Warna keju susu kedelai berwarna kekuningan seperti keju cheddar (keju yang terdapat di pasaran), walaupun bentuk akhirnya seperti keju krim. Sedangkan untuk keju susu kambing memiliki warna agak putih seperti serbuk.

6.5 Kandungan Lemak dan ProteinPengukuran kandungan lemak dan protein dilakukan menggunakan Food Analayzer Series 3000. Berikut adalah perbandingan kandungan lemak dan protein pada keju susu kedelai dan keju susu kambing yang kami buat.

Gambar 6.8 Hasil Analisis Kandungan Lemak dan Protein Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa Kandungan protein dan lemak dalam keju susu kambing lebih tinggi daripada keju susu kedelai. Keju susu kambing memiliki kandungan protein dan lemak berturut-turut adalah 19.29% dan 23.88% sedangkan kandungan lemak dan protein keju susu kedelai adalah 12.53% dan 3.07%. Menurut Radiyati (1992) kandungan lemak pada susu kambing adalah 4.1% sedangkan pada susu kedelai adalah 2%. Jika data ini dibandingkan dengan susu kambing dan kedelai yang telah difermentasi menjadi keju, kita dapat melihat bahwa terjadi peningkatan kandungan lemak yang cukup signifikan terutama pada susu kambing. Selain itu, kandungan protein awal pada susu kedelai adalah 3.6% sedangkan pada susu kambing adalah 3.5%. Berarti, tidak hanya peningkatan kandungan lemak, tapi juga kandungan protein pada susu kambing dan susu kedelai setelah difermentasi. Hal ini menunjukan bahwa fermentasi tidak hanya meningkatkan cita rasa, tapi juga kandungan gizi.Menurut CODEX STAN 208-1999, % lemak minimal untuk soft cheese adalah 40%. Jadi, produk keju susu kambing ataupun susu kedelai kami masih belum dapat mengikuti standar CODEX. Apabila keju susu kedelai dan keju susu kambing ini hendak dipasarkan, harus dilakukan modifikasi dan optimasi sehingga kandungan di dalam keju yang dihasilkan dapat memenuhi standar. Contoh optimasi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah waktu inkubasi.

BAB VIIKESIMPULAN

Variasi substrat berpengaruh pada keju yang dihasilkan, terutama dari segi cita rasa. Jumlah akhir sel Lactococcus lactis pada keju susu kambing adalah 3.2 x 1021CFU dan Streptococcus thermophilus 5.4 x 1021 CFU, sedangkan jumlah Lactococcus lactis pada keju susu kedelai adalah 3 x 1022CFU dan Streptococcus thermophilus 1.02 x 1021 CFU. pH akhir keju susu kedelai adalah 4.4 dan keju susu kambing adalah 4.6. Kadar asam laktat keju susu kambing adalah 0.22% dan keju susu kedelai adalah 0.24%. Kandungan protein dan lemak pada keju susu kambing lebih tinggi daripada keju susu kedelai. Secara keseluruhan, keju susu kambing lebih disukai daripada keju susu kedelai.

BAB VIIIDAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Naveed, Li Li, Xiao-Quan Yang, Zheng-Xiang Ning, dan Muhammad Atif Randhawa. 2008. Improvements in the Flavour of Soy Cheese. Food Technol. Biotechnol. 46 (3) : 252261. Anderson V, Rodstrom P. 2003. Physiological Function of The Maltose Operon Regulator, MalR in Lactococcus lactis. Biomed Central Microbiology. 2, 28-35. Audet P, et.all. 1988. Sugar Utilization and Acid Production by Free and Entrapped Cells of Streptococcus salivarius subsp. thermophilus, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, and Lactococcus lactis subsp. Lactis in a Whey Permeate Medium. Appl Environ Microbiol 55 (1), 6p. Black BG. 1999. Microbiology Principles and Exploration. Prentice Hall, New Jersey. Bruinenberg PG, Vos Peter, deVos W. 1992. Proteinase Overproduction in Lactococcus lactis Strains: Regulation and Effect on Growth and Acidification in Milk. www.aem.asm.org. American Society for Microbiology : [7 April 2010]Charalambous G. 1978. Flavor of Foods and Beverages. Academic Press. New York. Chaves M, Fernandez ZLS, Learyer L, Mierau M, Kleerebezem M, Hugebholtz J. 2002. Metabolic Engineering of Acetaldehyde Production by Streptococcus thermophillus. Applied and Environmental Microbiology. 68, 5656-5662. deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh Padmawinata, Penerbit ITB Bandung. Doelle HW. 1994. Microbial Proccess Development. World Scientific Publishing Co. Ptc. Ltd., Singapore. Eckerman S. 2006. Speciality Cheese Culture Selection. CHR. Hansen INC. Milwaukee. Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Gomes AMP, Malcata, F X . 1998. Development of Probiotic Cheese Manufactured from Goat Milk: Response Surface Analysis via Technological Manipulation. Journal of Dairy Science Vol. 81, No. 6, 1998 Gumbira SE. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Penerbit PT Mediayatama Perkasa, Jakarta. Heller J. 2001. Probiotic Bacteria in Fermented Food : Product Characteristic and Starter Organism. American Journal Clinical Nutrition. 73, 374-379.Higgins. 2006. Cheese. National Dairy Council, Rosemont. Hill AR. 2006. Cheese Technology. Academic Press, Canada. Hugenholtz J. 1993. Citrate Metabolism in Lactic Acid Bacteria. FEMS Microbiology Review. 12, 165-168. Judo RM, Said G, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.Letort C, NardiM, Garault P, Monnet V, Juillard V. 2002. Casein Utilization by Streptococcus thermophilus Results in a Diauxic Growth in Milk. www.aem.asm.org. American Society for Microbiology : [7 April 2010] Madigan TM, Martinko JM. 2006. Biology of Microorganisms, 11th edition. Prentice Hall, International, Inc, London. Marchesseau S, Gastaldi E, Lagaude A, Cuq JL. 1997. Influence of pH on Protein Interaction and Microstructure of Process Cheese. J Dairy Science. 80, 1483-1389. Moat AG, Foster JW. 1995. Microbial Physiology. John Wiley and Sons, Inc. Publication, New York. Neidhardt FC, John LI, Schaeechter M. 1990. Physiolofy of the Bacterial Cell A Molecular Approach. Sinauer Associates, Inc. Publishers, Sunderland. Park YW. 2001. Proteolisis and Lipolysis of Goat Milk Cheese. J. Dairy Science. 84, 84-92. Salles, C., N. Sommerer, C. Septier S. Issanchou, C. Chabanet, A. Garem, dan J.-L. Le Quere. 2002. Goat Cheese Flavor: Sensory Evaluation of Branched-Chain Fatty Acids and Small Peptides. Journal of Food Science 67 (2) : 835-841. Singh TK, Drake M, Cadwallader. 2003. Flavor of Cheddar Cheese, Chemical and Sensory Perspective. Comprehensive reviews in Food Science and Food Safety. 2, 139-162. Soomro AH, Masud T, Anwar K. 2002. Role of Lactic Acid Bacteria in Food Preservation and Human Health. Pakistan Journal of Nutrition. 1, 20-24. Steven WP. 2000. Lactose Intolerance : The Norm Among the Worlds Peoples. American Journal of Pharmaceutical Education. 64. Surono I. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT Tri Cipta Karya, Jakarta. Tavaria F, Dahl S, Carballo FJ, Malcata FX. 2002. Amino Acid Catabolism and Generation of Volatile By Lactic Acid Bacteria. Dairy Science. 82, 2462-2470. Van Dijk. 1982. Syntesis of Curd. Doctoral Thesis of Needherlands Institut Voor Zuivelonderzoek (NIZO). Melkunie. Wiking. 2005. Milk Fat Globule Stability Lipolysis with Special Reference to Autonatic Milking. Doctoral Thesis Upsala University, Upsala. Witwer, RS. 1999. Food Technology. National Dairy Council. 53, 50. Yvon M, Thirouin S, Rijnen, Dider L, Fomentier R, Gripon JC. 1997. An Aminotransferase from Lactococcus lactis Initiates Conversion of Amino Acids to Cheese Flavor Coumpounds. Apllied and Environmental Microbiology. 63, 414-419.