LAPSUS Anestesi -Andina- Rev 2003

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUSEMERGENCY CASE

PERSIAPAN OPERASI PADA KASUS REPAIR TESTIS (KASUS TRAUMA TESTIS DEXTRA GRADE III) DENGAN GENERAL ANESTESIA - INTUBASI

Disusun Oleh:

Andina Savitri Nurdayanti

0810710022Pembimbing:

dr. Karmini Yupono, SpAnLABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR

MALANG

2012LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien Nama

: Tn. S Usia

: 51 tahun Jenis Kelamin

: Laki-laki Alamat

: Balai Arjosari RT6 RW1 Malang Status Perkawinan

: Sudah kawin Tinggi badan

: 155 cm Berat badan

: 40 kg Register

: 11083xxx Tanggal dilakukan anestesi: 19 Desember 2012 Lama anestesi

: 1 jam 35 menit (18.15 - 19.50) Diagnosa pra bedah

: CKR 456 + hematom skrotum dextra (trauma testis Dextra grade III) Jenis pembedahan

: Eksplorasi skrotum Jenis anestesi

: GA- intubasi2. Persiapan Pre Operasi2.1 Anamnesis (19 Desember 2012)

A: Pada pasien tidak didapatkan riwayat alergi terhadap obat / makanan / suhu, riwayat asma (-), maupun riwayat atopi (-), riwayat alergi di keluarga (-)M: Pasien tidak sedang dalam kondisi sakit yang membutuhkan pengobatan rutin, sehingga tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu.

Pada tanggal 19 Desember 2012, pasien datang ke UGD RSSA dan mendapat obat antara lain:

Inj. Ceftriaxone 1 gr iv Inj. Ketorolac 30mg iv Inj. Ranitidin 50mg iv Inj. Piracetam 1gr ivP: Riwayat kesehatan dahulu:

Mengorok saat tidur (-)

Kejang (-)

Perdarahan lama berhenti (-)

Sesak nafas (-)

Asma (-)

Nyeri dada (-)

Keterbatasan aktivitas karena sesak atau lelah (-)

Pasien biasa tidur dengan 1 bantal dan tanpa sesak

Hipertensi (-)

Nyeri kepala (+) karena setelah jatuh dari ketinggian

Mengonsumsi alkohol (-)

Riwayat BAB dan BAK baik

Diabetes (-)

Gemetar (-)L: Pasien datang ke UGD RSSA tanggal 19 Desember 2012 pk

04.00 dan langsung dipuasakan (+ 14 jam sebelum operasi)E: Pasien riwayat jatuh dari ketinggian + 3m 1hari SMRS. Nyeri pada skrotum bagian kanan. BAK normal jernih seperti biasa dengan warna urin kekuningan.

2.2 Pemeriksaan Fisik (19 Desember 2012)

Keadaan Umum pasien : lemah

B1: Airway paten, nafas spontan simetris, reguler, 18x/menit, Rhonki

(-), wheezing (-), Mallampati score 1, leher bebas, buka mulut >3

jari, gigi (+), jarak Thyromentum 3 jari. B2: Akral hangat, kering, kemerahan, TD 130/80, nadi 64x/menit,

CRT 8 jam yang lalu Jenis pembedahan: EksplorasiPEMBAHASAN

1. Manajemen pada pasien trauma

Pemeriksaan awal pada pasien trauma dapat dibagi menjadi primary survey, sekunder, dan tertiary survey. . Primary survey membutuhkan waktu 2-5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Bila fungsi dari ketiga system awal mengalami gangguan, resusitasi harus dilakukan segera. Pada pasien dengan sakit parah, ressusitasi dan pemeriksaan dilakukan dilakukan secara simultan oleh tim trauma. Evaluasi dasar meliputi EKG, pemeriksaan tekanan darah, saturasi oksigen dan evaluasi kondisi jantung paru. Resusitasi pada pasien trauma meliputi 2 hal yaitu mengontrol perdarahan dan perbaikan definitive dari luka (Morgan et al, 2006). Pada pasien ini, didapatkan riwayat jatuh dari ketinggian (+ 3m) 1 hari sebelumnya. Tidak ada penurunan kesadaran pada pasien dengan GCS 456. Kondisi airway paten, breathing spontan, dan circulation baik. Secondary survey dalah evaluasi ujung kepala hingga jempol kaki serta pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan seperti radiografi, hasil laboratorium, serta prosedur diagnosis yang lain. Secondary survey dimulai ketika ABC stabil (Morgan et al, 2006). Pada pasien ini didapatkan periorbital hematom sinistra pada pemeriksaan kepala dan leher. Pasien mengeluh kesakitan pada bagian skrotum kanan setelah jatuh tersebut. Riwayat buang air kecil setelah trauma normal dengan warna kekuningan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi laboratorium dengan hasil abnormal yaitu leukositosis senilai 14,71 /l (N : 4.300 10.300 /l) dan pada urinalisis didapatkan trace darah yang seharusnya negative dengan perbesaran 40x didapatkan leukosit 2-3 LPB (N : < 3 LPB). Pada CT Scan kepala didapatkan gambaran edema serebri. Pemeriksaan EKG dan foto rontgen thorax dalam batas normal.Tertiary survey adalah evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua luka setelah resusitasi awal dan intervensi operasi dan biasanya terjadi dalam 24 jam dari trauma. Tertiary dilakukan untuk meminimalisasi missed injury pada pemeriksaan primary dan secondary survey, terutama pada pasien yang awalnya terjadi penurunan kesadaran sehingga dapat ditemukan anamnesis yang lebih akurat (Morgan et al, 2006).

2. PreoperatifPenilaian Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi.

Tujuannya adalah:

1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria).

3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien

6. Pemberian obat-obatan premedikasi (Latief, 2009) sehingga dapat mengurangi dosis obat induksiKunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan , dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE) , pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent (Latief, 2009).History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.Skoring Mallampati (Nuckton, et al. 2006):I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat palatum durum

Gambar. Kriteria Mallampati

Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pada operasi emergensi, evaluasi preoperasi harus sederhana dan meliputi tes yang penting yaitu pemeriksaan ringkas dari status cardiovascular, status volume darah, hematokrit, elektrolit, fungsi ginjal, analisis urin, dan EKG. Hanya tes serta intervensi yang sangat penting yang dilakukan hingga operasi emergensi itu selesai. Evaluasi yang lebih mendetail dapat dilakukan setelah operasi (Zambouri, 2007).

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring. (Barash, 2009).Kelas I: Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV: Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi.

Kelas VKelas VI

E: Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.: Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor

: Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas 1-6 diatas.

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka dapat disimpulkan penilaian preoperatif pada pasien ini yaitu ASA III, CKR 456, edema serebri, hematom skrotum dextra (trauma testis dextra grade III) dan leukositosis 14.710/mm3.Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Usia pasienIntake oralLama puasa (jam) puasa yg diberikan

< 6 blnClear fluidBreast milkFormula milk23420 cc/kg

6 bln 5 thnClear fluidFormula milkSolid24610 cc/kg

>5 thnClear fluidSolid2610 cc/kg

Adult, op. pagiClear fuid Solid2Puasa mulai jam 12 mlm

Adult, op. siangClear fluidSolid2Puasa mulai jam 8 pagi

Pada pasien ini termasuk dalam jenis operasi emergensi dan dari anamnesis didapatkan bahwa makan terakhir > 8jam sebelum operasi

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah (Latief, 2009):Berat BadanJumlah

10kg pertama4 mL/kg/jam

10kg berikutnya+ 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg+ 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 1200cc cairan NS sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 40kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 80cc/jam dan pasien ini puasa selama +14 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara total adalah 1120cc.

Pasien ini menjalani operasi eksplorasi testis, jenis operasi ini termasuk operasi dengan derajat trauma jaringan yang minimal sehinggal cairan yang hilang adalah:

2ml/kg BB x 40 kg ( 80 cc. Sehingga hilangnya cairan sekitar 0-80 cc/jam.

Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam lebih 35 menit, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah:

Kebutuhan cairan rumatan/maintanance : 80 cc/jam x 1,5 jam = 120 cc

Kebutuhan cairan lain(O2)

: 80 cc/jam x 1,5 jam= 120 cc

Jumlah produksi urine durante operasi:

= 10 cc

Estimasi jumlah darah yang hilang

: 40 cc x 3

= 120 cc

370 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi: NS 700cc

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10 mg, pemilihan metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metokloperamide juga mempunyai efek analgesi pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.

Pada pasien ini diberikan juga ranitidin dan midazolam. Ranitidin adalah obat golongan inhibitor kompetitif reseptor H2-blockers yang dapat menurunkan resiko perioperatif berupa aspirasi pneumonia dengan menurunkan volume sekresi gaster serta meningkatkan pH cairan gaster. Midazolam 2,5 mg juga bisa berfungsi sebagai induksi dan sedasi, dosisnya lebih besar dan pemberiannya melalui intravena.

DAFTAR PUSTAKA

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L. 2009. Millers Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.Schreiber, M. S. 2011. The Use of Normal Saline for Resuscitation in Trauma. The Journal of Trauma Vol 70 Number 5. Lippincott Williams & Wilkins.

Anonym. 2012. MIMS Indonesia. www.mims.com . Diunduh pada Rabu 26 Desember 2012.+

13