Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUANDiperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir. Penyelidikan patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisis dan mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan rasional sesuai dengan perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAII.1.Pengertian Asfiksia NeonatorumBeberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.2. WHO

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.3. ACOG dan AAP

Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut: Nilai Apgar menit kelima 0-3

Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH 160 x/ menit dan ada mekonium maka janin sedang hipoksia.

Jika DJJ < 100 x/ menit dan ada mekonium maka janin dalam keadaan gawat.

3. Janin akan mengadakan pernafasan intra uterine dan bila kita periksa terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru. Bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis, bila janin lahir aveoli tidak berkembang.II.4.Prinsip Dasar Asfiksia NeonatorumBayi dapat mengalami apnea dan menunjukan upaya pernafasan yang tidak cukup untuk kebutuhan ventilasi paru-paru. Kondisi ini menyebabkan kurangnya pengambilan oksigen dan pengeluaran CO2. Penyebab depresi bayi pada saat lahir ini mencakup:

1. Asfiksia intra uterin.2. Bayi kurang bulan.3. Obat-obat yang diberikan/ diminum oleh ibu.4. Penyakit neuromuskular bawaan.5. Cacat bawaan.6. Hipoksia intra partum.Asfiksia berarti hopoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak/ kematian. Asfiksia juga mempengaruhi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal dengan nama apnea primer. Perlu diketahui bahwa pernafasan yang megap-megap dan tonus otot yang juga turun terjadi akibat obat-obat yang diberikan pada ibunya. Biasanya pemberian rangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan.

Apabila asfiksia berlanjut bayi akan menunjukan megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea sekunder, selama apnea sekunder ini denyut jantung, tekanan darah, dan kadar oksigen dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernapasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali apabila resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian oksigen dimulai dengan segera.II.5.Tanda dan Gejala Klinis Asfiksia NeonatorumPada asfiksia tingkat lanjut akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya:

1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.

2. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.

3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan.

Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnea primer.

Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.

Gejala lanjut pada asfiksia:

1. Pernafasan megap-magap dalam.2. Denyut jantung terus menurun.3. Tekanan darah mulai menurun.4. Bayi terlihat lemas (flaccid).5. Menurunnya tekanan O2 darah (PaO2).6. Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2).7. Menurunnya PH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik).8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak untuk metabolisme anaerob.9. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular.II.6.Klasifikasi Asfiksia NeonatorumKondisi bayi baru lahir dapat dibagi menjadi:1. Vigorus baby. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat tidak memerlukan tindakan istimewa.

2. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang). Skor APGAR 4-6 pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung > 100x/ menit, tonus otot kurang baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

3. Severe asphyxia (asfiksia berat) berat skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x/ menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

Asfiksia berat dengan henti jantung, dimaksudkan dengan henti jantung adalah keadaan :

Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap.

Bunyi jantung bayi menghilang post partum.

Tabel 1. Penilaian Apgar Score

TandaScore

012

Apperance

(warna kulit)Biru pucatTubuh kemerahan, ekstremitas biruTubuh dan ekstremitas kemerahan

Pulse

(Denyut nadi)Tidak ada100 x/i 100 x/i

Grimace

(refleks)Tidak adaGerakan sedikitGerakan kuat dan menagis

Activity

(tonus otot)LumpuhGerakan lemahGerakan aktif

Respiratory

(usaha bernafas)Tidak adaLambat Teratur, menangis kuat

II.7.Penatalaksanaan Asfiksia NeonatorumPada kasus asfiksia ringan bayi dapat terkejut atau sangat waspada dengan peningkatan tonus otot, makan dengan buruk, dan frekuensi pernafasan normal atau cepat. Temuan ini biasanya berlangsung selama 24-48 jam sebelum sembuh secara spontan. Pada kasus asfiksia sedang bayi dapat letargi dan mengalami kesulitan pemberian makan. Bayi dapat mengalami episode apnia kadang-kadang dan atau konvulsi selama beberapa hari. Masalah ini biasanya sembuh dalam satu minggu, tetapi masalah perkembangan saraf mungkin ada. Pada kasus asfiksia berat bayi dapat terkulai atau tidak sadar dan tidak makan. Konvulsi dapat terjadi selama beberapa hari dan episode apnia yang berat dan sering umumnya terjadi. Bayi dapat membaik selama beberapa minggu atau tidak dapat membaik sama sekali. Jika bayi ini dapat bertahan hidup mereka biasanya menderita kerusakan otak permanen. Jika asfiksia ringan

Jika bayi tidak mendapat oksigen maka bayi mulai menyusui. Jika bayi mendapat oksigen atau sebaliknya, tidak dapat menyusui berikan perasan ASI dengan metode pemberian makan alternatif.

Jika asfiksia sedang atau berat

Pasang selang IV dan berikan hanya cairan IV selama 12 jam pertama. Batasi volume cairan sampai 60 ml/ Kg BB selama hari pertama dan pantau urin. Jika bayi berkemih kurang dari 6 kali/ hari atau tidak menghasilkan urin jangan meningkatkan volume cairan pada hari berikutnya, ketika jumlah urin mulai meningkat tingkatkan volume cairan IV harian sesuai dengan kemajuan volume cairan. Tanpa memperhatikan usia bayi yaitu untuk bayi yang berusia 4 hari, lanjutkan dari 60 ml/ Kg sampai 80 ml/ Kg sampai 100 ml/ Kg jangan langsung 120 ml/ Kg pada hari pertama. Ketika konvulsi terkendali dan bayi menunjukan tanda-tanda peningkatan respon. Ijinkan bayi mulai menyusui. Jika bayi tidak dapat menyusui berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makan alternatif. Berikan perawatan berkelanjutan.Tindakan Umum

Bersihkan jalan nafas : kepala bayi dileakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan larinyoskop untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas ayang lebih dalam.

Rangsang reflek pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achiles.

Mempertahankan suhu tubuh.

CPAP : bantuan pernapasan dengan cara meningkatkan tekanan pulmoner secara artifisial pada saat fase ekspirasi pada bayi yang bernapas secara spontan. Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) atau Intermittent Mandatory Pressure Ventilation (IMV) : pernapasan bayi diambil alih sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan pulmoner baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Indikasi CPAP Gangguan napas sedang atau berat dengan retraksi dan grunting Apnu berulang PaO2 < 60 torr dengan FiO2 > 0.6 (60%) dengan head box. CPAP gagal maka harus segera diberikan bantuan napas dengan Ventilator mekanik.

Tindakan khusus

Asfiksia berat

Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal. dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan message jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80 100 x/menit.

Asfiksia sedang/ringan

Pasang relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog breathing) 1-2 menit yaitu : kepala bayi ektensi maksimal beri O2 1-2 1/mnt melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atas-bawah secara teratur 20x/menit.

Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.

II.8.Pencegahan Asfiksia NeonatorumPencegahan Secara UmumPencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat. Pada bayi dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin.Antisipasi Dini Perlunya Dilakukan Resusitasi pada Bayi yang Dicurigai Mengalami Depresi Pernapasan untuk Mencegah Morbiditas dan Mortilitas Lebih LanjutPada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba. Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang tenaga terlatih dalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks.Dengan pertimbangan yang baik terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis dapat mengantisipasi dengan memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan peralatan resusitasi yang diperlukan.II.9Komplikasi

Komplikasi pada bayi baru lahir akibat asfiksia meliputi :

Cerebral palsy

Retardasi mental

Gangguan belajar

Apabila asfiksia ini tidak ditangani dengan baik, maka akan mengakibatkan kematian.

HIPERBILIRUBINEMIA

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, atau dikenal dengan istilah ikterus. Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena menumpuknya bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan. Ikterus biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah, dan yang paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin. Berbagai upaya dilakukan untuk terapi hiperbilirubinemia. Terapi antara lain fototerapi, transfusi tukar, dan sebagainya (Kosim, 2010).

DEFINISI

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Kosim, 2010). Definisi lain menyebutkan bahwa hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL (Mansoer, 2000).

ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. Secara umum ada 4 penyebab ikterus (Price, 2007) :

a. Produksi yang berlebihan

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. Hemolisis biasanya terjadi inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam eksresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih dapat dipengaruhi oleh faktor dibawah ini :

Faktor maternalFaktor perinatalFaktor neonatus

Ras atau kelompok etnik tertentu

Komplikasi kehamilan (DM, Inkompatibilitas ABO dan Rh)

ASI Infeksi (bakteri, virus, protozoa) Prematuritas

Faktor genetik

Obat-obatan

Rendahnya Asupan ASI

Hipoglikemia

hipoalbuminemia

Berdasarkan waktu timbulnya ikterus, penyebab ikterus dapat diklasifiksikan seperti dibawah ini (Mansoer, 2000) :

WaktuPenyebab

24 jam pertama Inkompatibilitas darah ABO dan Rh

Infeksi intra uterine (virus, toxoplasma, bakteri)

Defisiensi G6PD

24 jam sampai 72 jam Biasanya ikterus fisiologis

Polisitemia

Hemolisis karena perdarahan tersembunyi

Dehidrasi asidosis

Lebih dari 72 jam sampai minggu pertama Biasanya karena sepsis

Dehidrasi asidosis

Defisiensi G6PD

Obat obatan

KLASIFIKASI

Terdapat 2 jenis ikterus yang dikenal yaitu yang fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi. Kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2mg/dL. Adapun tanda-tanda ikterus fisiologis adalah sebagai berikut (Sarwono, 2001) : 1. Timbul pada hari kedua dan ketiga

2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.

3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.

4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.

5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.

6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis. Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :

1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.

3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.

4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.

5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Dalam buku saku pelayanan neonatal esensial, ikterus diklasifikasikan seperti dalam tabel dibawah ini.

PATOFISIOLOGI

Bilirubin adalah produk akhir dari penguraian hemoglobin. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Secara umum ada empat tahapan pembentukan bilirubin (Price, 2007).

a. Produksi

Sel darah merah yang sudah habis masa hidup nya atau eritrosit yang mengalami kelainan akan dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial. Sel retikuloendotelial menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Kemudian terjadi pemecahan hemoglobin menjadi heme dan globin. Globin akan kembali ke depo protein untuk kemudian digunakan kembali, sedangkan heme akan melalui beberapa proses penguraian. Heme akan dipecah melalui proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah pembentukan biliverdin dengan bantuan enzim heme oksigenase. Pada reaksi itu juga terbentuk besi yang akan kembali digunakan untuk pembentukan hemoglobin. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin yang terbantuk merupakan bilirubin tidak terkonjugasi/indirect yang sifatnya tidak larut dalam air.

b. Transportasi

Untuk dapat sampai ke hati melalui peredaran darah, bilirubin tak terkonjugasi harus berikatan terlebih dahulu dengan albumin. Kadar albumin pada bayi baru lahir terkadang belum cukup banyak, sehingga banyak bilirubin yang tak terkonjugasi tidak dapat dibawa ke hati. Kadar albumin juga dipengaruhi oleh obat obatan. Ikatan albumin dengan bilirubin juga terkadang masih lemah sehingga banyak bilirubin tak terkonjugasi yang beredar bebas.

c. Konjugasi

Proses konjugasi bilirubin terjadi di dalam hati. Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Bilirubin kemudian ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Setelah itu terbentuklah bilirubin terkonjugasi/direct yang sifatnya larut di dalam air. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu, Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya

d. Ekskresi

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresi ke dalam empedu kemudian akan masuk saluran cerna dan di ekskresikan melalui feses. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika diubah kembali menjadi bentuk tak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang memang terkandung dalam usus halus dan feses bayi baru lahir. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat tahapan tersebut atau kombinasi dari beberapa faktor. Pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice. Daerah yang paling mudah terjadi timbunan bilirubin adalah sklera, dan kulit (Price, 2007).

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat (Azis, 2006).

Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5 hari.

Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi, penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Beberapa hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah sejak kapan bayi mulai terlihat kuning, pada usia berapa hari mulai kuning, adakah kejang, dan bagaimana warna feses bayi tersebut. Selain itu perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal), riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi, riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya, riwayat inkompatibilitas darah, serta riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

2. Pemeriksaan fisikSecara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Mansjoer, 2000).

WaktuDiagnosis bandingAnjuran Pemeriksaan

Hari ke-1 Penyakit hemolitik

Inkompatibilitas darah(Rh,ABO)

Sferositosis. Anemia hemolitik

nonsferositosis(defisiensi G6PD) Kadar bilirubin serum berkala Hb, Ht, retikulosit,sediaan hapus darah golongan darah ibu/bayi, uji Coomb

Hari ke-2 s.d ke-5 Kuning pada bayi prematur

Kuning fisiologik, Sepsis

Darah ekstravaskular, Polisitemia

Sferositosis kongenital Hitung jenis darah lengkap

Urin mikroskopik dan biakan urin, Pemeriksaan terhadap infeksi bakteri, golongan darah ibu/bayi, uji Coomb

Hari ke-5 s.d ke-10 Sepsis, Kuning karena ASI

Defisiensi G6PD, Hipotiroidisme

Galaktosemia, Obat-obatan Uji fingsi tiroid, Uji tapis enzim G6PD, Gula dalam urin

Pemeriksaan terhadap sepsis

Hari ke-10 atau lebih Atresia biliaris, Hepatitis neonatal

Kista koledokusm, Sepsis(terutama

infeksi saluran kemih), Stenosis pilorik Urin mikroskopik dan biakan

Uji serologi TORCH, Alfa fetoprotein, alfa1antitripsin, Kolesistografi

TATALAKSANA

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut (AAP, 2004):

a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.

b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.

c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini

d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.

Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar. Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20mg%

Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam

Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat 2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi.

Terapi Sinar Pada Ikterus Bayi Baru Lahir yang di Rawat di Rumah SakitDalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.

2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.

3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.

4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.

5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.

6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.

7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.

Walaupun fototerapi digunakan secara luas untuk pengobatan hiperbilirubinemia, fototerapi juga terbukti memiliki beberpa efek samping. Efek samping fototerapi terangkum dalam tabel berikut (Kosim,2010) :

EFEK SAMPINGPERUBAHAN SPESIFIK

Perubahan suhu dan metabolik lainnya Peningkatan suhu lingkungan dan tubuh

Peningkatan konsumsi oksigen

Peningkatan laju respirasi

Peningkatan aliran darah ke kulit

Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara curah jantung dan penurunan curah ventrikel kiri

Status cairan Peningkatan aliran darah perifer

Peningkatan Insensible Water Loss

Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar

Feses cair berwarna hijau kecoklatan

Penurunan waktu transit usus

Penurunan absorbsi, retensi nitrogen, air dan elektrolit

Perubahan aktivitas laktosa dan riboflavin

Perubahan aktifitas Letargis-gelisah

Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan

Penurunan pada awalnya namun terkejar dalam 2-4 minggu

Efek okuler Paparan sinar disinyalir merusak retina

Belum ada penelitian pada manusia tetapi dapat dibandingkan efek dengan atau tanpa penutup mata.

Perubahan kulit Tanning

Rashes

Burns

Bronze baby syndrome

Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum

Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit

Cedera sel darah merah dengan penurunan kalium dan peningkatan aktivitas ATP

Perhatian terhadap perilaku psikologis Isolasi

Perubahan status organisasi dan manajemen perilaku

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dikhawatirkan apabila kadar bilirubin terus menerus naik adalah kern ikterus atau bilirubin ensefalopati. Keadaan yang tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir disebut dengan akut bilirubin ensefalopati. Kern ikterus terjadi akibat penumpukan bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu ganglia basalis dan beberapa nucleus batang otak. Kern ikterus menyebabkan perubahan neuropatologis, yang secara klinis tampak kronis dengan sekuele permanen (Kosim, 2000).

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati dan kern ikterus dapat dilihat pada tabel berikut ini (Kosim, 2000) :

Manifestasi

Akut bilirubin ensefalopatiPada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotoni, dan refleks hisap buruk.

Pada fase intermediet akan ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas dan hipertoni (contoh : opistotonus)

Selanjutnya bayi akan demam, high-pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni.

Kern ikterusPada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang masih bertahan hidup akan berkembang menjadi athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental enamel dan paralisis upward gaze.

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Definisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR).

KlasifikasiBBLR dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Prematuritas murni

Adalah masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.

Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena masa gestasi yang kurang.

b. Dismaturitas

Adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya.

Hal ini disebabkan oleh terganggunya sirkulasi dan efisiensi plasenta, kurang baiknya keadaan umum ibu atau gizi ibu, atau hambatan pertumbuhan dari bayinya sendiri.

Epidemiologi

Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa neonatal.Prevalensi BBLR masih cukup tinggi terutama di negara-negara dengan sosio-ekonomi rendah.Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9-30%.Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.

Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat itu masih rendah. Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan angka kejadian BBLR agar kualitas kesehatan dan kesejahteraan menjadi meningkat. Kejadian BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya.

Etiologi

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.

(1) Faktor ibu

a. Penyakit : Seperti malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain

b. Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.

c. Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia (< 20 tahun atau >40 tahun)

d. Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.

(2) Faktor Janin

Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.

(3) Faktor Lingkungan

Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun.KomplikasiKomplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain :

Hipotermia

Hipoglikemia

Gangguan cairan dan elektrolit

Hiperbilirubinemia

Sindroma gawat nafas

Paten duktus arteriosus

Infeksi

Perdarahan intraventrikuler

Apnea of Prematurity Anemia

Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) antara lain :

Gangguan perkembangan

Gangguan pertumbuhan

Gangguan penglihatan (Retinopati)

Gangguan pendengaran

Penyakit paru kronis

Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

DiagnosisMenegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka waktu kurang lebih dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. AnamnesisRiwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR:

Umur ibu

Riwayat hari pertama haid terakir

Riwayat persalinan sebelumnya

Paritas, jarak kelahiran sebelumnya

Kenaikan berat badan selama hamil

Aktivitas

Penyakit yang diderita selama hamil

Obat-obatan yang diminum selama hamil

2. Pemeriksaan FisikYang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :

Berat badan