42
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. DD Umur : 54 tahun JenisKelamin : Perempuan Agama : Kristen Protestan Suku/bangsa : - Alamat : Desa Wowongole, Konawe No. Rekam Medik : 565825 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tanggal Pemeriksaan : 10 Mei 2016 Rumah Sakit : Poli RS. WS Dokter Pemeriksa : dr R II.ANAMNESIS Keluhan utama : Penglihatan pada mata kiri kabur dan terasa mengganjal Anamnesis Terpimpin : Dirasakan sejak + 2 tahun yang lalu, secara perlahan- lahan, disertai mata terasa mengganjal dan berwarna merah pada pagi hari. Riwayat air mata berlebih ada, kotoran mata berlebih tidak ada, nyeri tidak ada, silau tidak ada. Riwayat diabetes ada sejak + 5 tahun yang lalu berobat teratur, riwayat hipertensi disangkal, riwayat trauma mata tidak ada, riwayat menggunakan kacamata ada (kacamata

Lapsus Pterigium

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pterigium

Citation preview

Page 1: Lapsus Pterigium

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. DD

Umur : 54 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Suku/bangsa : -

Alamat : Desa Wowongole, Konawe

No. Rekam Medik : 565825

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Pemeriksaan : 10 Mei 2016

Rumah Sakit : Poli RS. WS

Dokter Pemeriksa : dr R

II. ANAMNESIS

Keluhan utama :

Penglihatan pada mata kiri kabur dan terasa mengganjal

Anamnesis Terpimpin :

Dirasakan sejak + 2 tahun yang lalu, secara perlahan-lahan, disertai mata terasa

mengganjal dan berwarna merah pada pagi hari. Riwayat air mata berlebih ada, kotoran

mata berlebih tidak ada, nyeri tidak ada, silau tidak ada. Riwayat diabetes ada sejak + 5

tahun yang lalu berobat teratur, riwayat hipertensi disangkal, riwayat trauma mata tidak

ada, riwayat menggunakan kacamata ada (kacamata rabun jauh) sejak + 2 tahun yang

lalu, riwayat keluarga yang menggunakan kacamata ada. Riwayat alergi tidak ada.

III. FOTO KLINIS

Page 2: Lapsus Pterigium

Foto 1: Foto Oculi Dextra et Sinistra

Foto 2: Foto Oculi Dextra Foto 3: Foto Oculi Sinistra

IV. PEMERIKSAAN

Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit sedang, gizi cukup, compos mentis

Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 86 kali/menit

Pernafasan : 16 kali/menit

Suhu : 36,7 ºC

Inspeksi

Page 3: Lapsus Pterigium

Palpasi

OD OS

Tensi Okuler Tn Tn

Nyeri Tekan (-) (-)

Massa Tumor (-) (-)

Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

Tonometri

Tidak dilakukan pemeriksaan

OD OS

Palpebra Edema (-) Edema (-)

Silia Sekret (-) Sekret (-)

Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)

Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+), tampak

jaringan selaput

berbentuk segitiga di

daerah nasal, dengan

apeks melewati limbus

tapi belum mencapai

daerah pupil

Bola Mata Normal Normal

Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal

Iris Coklat, kripte (-) Coklat, kripte (-)

Pupil bulat, Sentral, bulat, Sentral,

Lensa Agak keruh, NO2NC2 Agak keruh, NO2NC2

Page 4: Lapsus Pterigium

Visus

VOD : 20/150 -2,00/-1,5 X 200: 20/20

VOS : 20/150 -2,00 /-2,00 X 1650: 20/30F

ADD: +2,25 AS: 20

Campus visual

Tidak dilakukan pemeriksaan

Color sense

Tidak dilakukan pemeriksaan

Light sense

Tidak dilakukan pemeriksaan

Penyinaran oblik

OD OS

Konjungtiva Hiperemis Hiperemis (+), tampak

selaput bentuk segitiga

di daerah nasal, dengan

apeks melewati limbus

tapi belum mencapai

daerah pupil

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal

Iris Coklat, kripte(+) Coklat, kripte(+)

Pupil Bulat, Sentral, RC(+) Bulat, Sentral, RC(+)

Lensa Agak Keruh, NO2NC2 Agak Keruh, NO2NC2

Diafanoskopi

Tidak dilakukan pemeriksaan

Page 5: Lapsus Pterigium

Oftalmoskopi

Tidak dilakukan pemeriksaan

Slit lamp

SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat,

kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa Agak Keruh NO2NC2.

SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput berbentuk segitiga dari arah

nasal dengan apex telah melewati limbus tapi belum mencapai daerah pupil,

stockers line (+), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil

bulat, sentral, RC (+), lensa Agak Keruh NO2NC2.

Laboratorium

GDS 156 mg/dl

HB 10,3

CT 8’00

BT 3’00

V. RESUME

Seorang perempuan berumur 54 tahun datang ke poli RS. WS dengan keluhan

penglihatan pada mata kiri kabur dan terasa mengganjal dirasakan sejak + 2 tahun yang

lalu, secara perlahan-lahan, disertai mata berlendir dan berwarna merah pada pagi hari.

Riwayat air mata berlebih ada, kotoran mata berlebih tidak ada, nyeri tidak ada, silau

tidak ada. Riwayat diabetes ada sejak + 5 tahun yang lalu berobat teratur, riwayat

hipertensi disangkal, riwayat trauma mata tidak ada, riwayat menggunakan kacamata

ada (kacamata rabun jauh) sejak + 2 tahun yang lalu, riwayat keluarga yang

menggunakan kacamata ada. Riwayat alergi tidak ada.

Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 20/150 -2,00/-1,5 X 200: 20/20, VOS :

20/150 -2,00/-2,00 X 1650: 20/30F, ADD:+2,25, AS: 20, TODS : Tn

SLOD: Pada Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat,

kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa Agak Keruh NO2NC2

SLOS: Pada Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput berbentuk segitiga dari arah

nasal dengan apeks melewati limbus tapi belum mencapai daerah pupil, kornea jernih,

Page 6: Lapsus Pterigium

BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa Agak

Keruh NO2NC2.

VI. DIAGNOSIS KERJA

ODS Katarak Senil imatur + Compound Miop Astigmat + Presbiop

OS Pterigium Stadium II

VII. DIAGNOSIS BANDING

Pinguekula

Pseudopterigium

Ocular Surface Squamous Neoplasm (OSSN)

VIII.TERAPI

OS Eksisi Pterigium + Conjungtival limbal autograft

C Lyteers ED 4x1 gtt ODS

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad visam : Dubia et bonam

Quo ad sanationem : Bonam

Quo ad kosmeticum : Dubia et bonam

X. DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi dapat disimpulkan

bahwa pasien menderita OS pterigium stadium II. Hal ini sesuai dengan temuan adanya

Page 7: Lapsus Pterigium

selaput segitiga pada kiri di nasal, dimana pada mata kiri apeks melewati limbus tapi

belum mencapai daerah pupil. Dijelaskan bahwa bahwa pterigium merupakan

pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk

segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium-I : belum mencapai limbus

Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

Stadium-IV : melewati tepi pupil

Timbunan atau benjolan ini membuat pasien agak kurang nyaman karena

biasanya akan berkembang dan semakin membesar ke daerah kornea. Pterigium

umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata berair dan tampak

merah serta mungkin menimbulkan astigmat akibat adanya perubahan bentuk kornea

akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada

meridian horizontal pada kornea. Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta

polutannya merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab

pertumbuhan jaringan pterigium, selain itu kekeringan okular dan polusi lingkungan

dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium dan rekurensinya. Pasien dengan

pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan menuju pusat

kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan,

atau perubahan dalam fungsi visual. Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang

memuaskan, yang dapat diindikasikan ,menurut Ziegler :

- Mengganggu visus

- Mengganggu pergerakan bola mata

- Berkembang progresif

- Mendahului suatu operasi intraokuler

- Kosmetik

Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 dan 2 yang telah

mengalami gangguan penglihatan. Lindungi mata dengan pterigium dari sinar

matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda

radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Pemakaian air mata

artificial ini diperlukan untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi

kerusakan pada lapisan air mata. Untuk prognosisnya pada pasien ini setelah dieksisi

Page 8: Lapsus Pterigium

adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.

Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan

konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.

BAB I

Page 9: Lapsus Pterigium

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi

nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan

hialin dan elastik. Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian

temporal. Dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan temporal pada satu mata disebut double

pterigium. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhannya yang

berbeda. Bila terdapat pada kedua mata berbagai kombinasi dapat terjadi, yang lebih sering

nasal-nasal daripada temporal-temporal

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup

sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di

negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA &

UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu

atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada

pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.

Gejala yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi

dan penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi

harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko

kekambuhan(1, 2).

Page 10: Lapsus Pterigium

BAB II

TINJAUAAN PUSTAKA

Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari bahasa

Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva

berupa granulasi fibrovaskular dari nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju

kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea.1,2,3

Prevalensi

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, dengan

prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan

adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya

prevalensi geografis 'sabuk pterigium' dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan

selatan khatulistiwa. Pada populasi yang terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada

remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua

kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita.4

Belum ada data yang akurat mengenai prevalensi pterigium di Indonesia. Yang diteliti

adalah semua responden berusia ≥ 5 tahun dari Riset Kesehatan Dasar 2010 yang merupakan

penelitian potong lintang non intervensi. Pemeriksaan dengan senter dan dicocokkan gambar

kartu peraga. Prevalensi pterigium pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumbar (9,4%),

terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah salah satu mata

tertinggi di Provinsi NTB (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%). Prevalensi

pterigium pada dua mata maupun satu mata terendah dijumpai pada kelompok umur 5–9

tahun (0,03%) sedangkan prevalensi tertinggi ditemui pada kelompok umur ≥ 70 tahun

(15,9%). Pterigium dua mata dan pterigium satu mata berdasar gender hampir sama

prevalensinya, sedang menurut pekerjaan tertinggi pada petani (6,1%) dan terendah pada

anak sekolah (1,0%); lebih tinggi pada kelompok yang tidak bersekolah (11,0%) dan terendah

pada kelompok pendidikan tamat SLTP (1,6%); lebih tinggi dipedesaan baik dua mata (3,7%)

maupun satu mata(2,2%) dibanding perkotaan. Prevalensi pterigium dua mata (3,2%) lebih

tinggi ditemui pada tingkat pengeluran rumah tangga yang rendah sedangkan pterigium pada

satu mata (1,7%) persentasenya lebih rendah pada tingkat pengeluran rumah tangga yang

Page 11: Lapsus Pterigium

tinggi. Pterigium merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat di daerah pedesaan

terutama pada petani dan nelayan yang sering terpapar sinar matahari. Masalah kesehatan

mata ini akan semakin meningkat pada masyarakat yang tinggal di daerah khatulistiwa.4

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek

posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung)

diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata

dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus

ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral.1,2.

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

a. Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata

dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva

marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak

mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni

sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan

konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak

mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata

atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.

Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.1

b. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sklera dan melekat lebih erat pada

limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea. Bagian

ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episkleral dan kapsul Tenon.

Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea

disebut konjungtiva limbal(1).

c. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat

pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan

struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta

muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix

dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi1.

Page 12: Lapsus Pterigium

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.1

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gambar.2) yaitu epitel,

lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.1

a. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah

dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis

epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan

superfisial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar.

Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial

terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan

dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang

banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.

b. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari

retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan ini

paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika

bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini

menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi

folikuler.

c. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan

ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana

Page 13: Lapsus Pterigium

lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari

konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah

konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan

kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler

yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan

kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini

mensekresi mukus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar

lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat

subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks)

dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang

batas bawah tarsus inferior).1

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal1

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari

konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung.

Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada

kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel

gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.1

Page 14: Lapsus Pterigium

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva 1

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade

arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior

(Gambar. 3). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari

arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set

pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri

kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris

anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan

arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal.1

Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa

mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva

tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral

bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus

submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari

nervus siliaris panjang yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh

cabang dari lakrimal, infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal1

Etiologi

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada

orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah

pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar

ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki

kemungkinan sebagai faktor etiologi.1,2

Page 15: Lapsus Pterigium

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,

yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor

pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya

UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis

pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma

virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.1,2,5

Patofisiologi

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus

terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang

penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya

pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan

komposisi matriks ekstraselular.5

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan

konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua

mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan

kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian

melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.3

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium.

Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B

Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada

sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program

kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan

menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan

angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan

timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel

dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.5,6

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di

daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan

ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana

konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari.

Page 16: Lapsus Pterigium

Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah

temporal.3

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk

laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53.

Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin

dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin

ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan

imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1

(IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal

beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor

integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan

yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF

heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast

growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth

factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).5,6,7

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh fibroblast

korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata,

termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-

menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi

imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.5,6

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik  kolagen dan

proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi

kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat

dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan

elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak

bisa dihancurkan oleh elastase.5,6

Pterigium juga dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal

stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Defisiensi limbal stem cell menyebabkan

konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah

pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu

banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi

Page 17: Lapsus Pterigium

atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV

terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.3

Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:1,2,3

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

a. Tipe I

Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi

kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line atau

deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi

sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien

yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

b. Tipe II

Disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa

keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler

yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau

rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.

c. Tipe III

Pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optik. Merupakan

bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe

ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan mengganggu

aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan

dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya

menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:1

a. Stadium-I : belum mencapai limbus

b. Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil

c. Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil

d. Stadium-IV : melewati tepi pupil

Page 18: Lapsus Pterigium

Gbr 4. Pterigum stadium I2 Gbr 5. Pterigium stadium II2

Gbr.6. Pterigium stadium III2 Gbr 7. Pterigium stadium IV2

3. Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:1,2

a. Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah pada lesi < 5

b. Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5

4. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:1,2

a. Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).

b. Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi. Tidak terdapat

kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak

pernah hilang.

5. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa

dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:1,2

a. T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

b. T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

c. T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

Page 19: Lapsus Pterigium

Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah.

Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan

segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di

sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut

“Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga bagian :1

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),

- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi

kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah

kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan

astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva

juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan

mengalami penglihatan ganda atau diplopia.1

Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan

vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung (1)

Page 20: Lapsus Pterigium

Diagnosis

a. Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala

sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan

penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea

pada satu atau kedua mata1,2

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi

kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian

tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat

menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada

jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular,

pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.1,2

b. Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan

fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering

ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula

ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya 1,2

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa

besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.8

Diagnosis Banding

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium

adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena

adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi

pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.1,2

1. Pinguekula 

Page 21: Lapsus Pterigium

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna

kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak

seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang

kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat

diberikan steroid topikal.1,2

Gambar 9. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.2

2. Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang

merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan

dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea 2,3

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat

akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana

konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana

saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada

pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium

tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya

kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium

dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid 1,2,3

Page 22: Lapsus Pterigium

3. Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal 9

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-

invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum konjunctiva dan

kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi yang terlihat

dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh

darah pada fissura intrapalpebral. Biasanya pasien datang diikuti dengan gejala mata

merah, irigasi dan sensasi benda asing 9

Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan

pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang

signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual 8,9,10

i. Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops

atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen tear drops), serta sesekali

penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya,

Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV

disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.8,9,10

Page 23: Lapsus Pterigium

ii. Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang

dapat diindikasikan untuk:8,9,10

- Mengganggu visus

- Mengganggu pergerakan bola mata

- Berkembang progresif

- Mendahului suatu operasi intraokuler

- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan

corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan

gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah

menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha

untuk mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan

pterigium sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang

mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan

pisau.8

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium

dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang digunakan

saat ini untuk pengelolaan pterigium:1,8,9,10

a. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali

konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,

menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima

karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-

75% dan hal ini tidak direkomendasikan).

b. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana

teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

c. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

Page 24: Lapsus Pterigium

d. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas

eksisi.

e. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi

bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan

dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH,

Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium.A,Dissection of head from cornea;B,Excision

Ptyregium;C,Direct Closure;D,Bare Sclera;E,Conjungtival Graft1

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah

yakni sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai

langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin

secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-

iradiasi, dan metode pembedahan.1,8

Transplantasi Membran Amnion

Page 25: Lapsus Pterigium

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum

teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion

berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisasi.

Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan

10,7 persen untuk pterigium primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.

Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian

konjungtiva bulbar. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran

basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah

menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi membran amnion

menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autograft

konjungtiva 10

Gambar 13: Transplantasi Membran Amnion10

Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan sebagai

terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa alternatif medis

lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.8

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan pterigium

primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat kekambuhan yang berhubungan dengan terapi

mitomycin C secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada

dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan - aplikasi intraoperatif

pada spons bedah yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke

sclera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagai

obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan terkait penggunaan

mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda secara signifikan.6,8

Page 26: Lapsus Pterigium

Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan sentral,

kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta keterlibatan

yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi

terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan

parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien

dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau

disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia.8

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan atau

kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan

tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.8

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi

sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah

berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau

transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi

ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.8

Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mataatau beta

radiasi.8

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang

baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari postoperasi pasien akan

merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pascaoperasi pasien bisa memulai

aktivitasnya. . Pasien dengan pterygia yangkambuh lagi dapat mengulangi pembedahan

eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autograft atau transplantasi membran

amnion pada pasien tertentu.8

Page 27: Lapsus Pterigium

BAB III

KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan

merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini dikarenakan oleh

letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar

ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebabdari pterigium. Pterigium banyak

diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta

dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena factor degeneratif. Penderita dengan pterigium

dapat tidak menunjukkan gejalaapapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata

iritatif, gatal, merah,sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari

stadiumnnya. Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan

pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yangtenang, dan

periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangatlambat. Pterigium yang

progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan

pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan. Dengan

pengecualian pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif

pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan

pterigium tersebut. Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan

harus dilakukan

Page 28: Lapsus Pterigium

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth ed 2007.

2. Lang G. Ophthalmology : A Pocket Textbook Atlas. Second ed. Thieme, editor2007.

3. Bradley JC, Yang W, Bradley RH. The Science Of Pterygium. British Journal of

Ophthalmology. 2010;94:815 - 20.

4. Erry, Mulyani UA, Sosilowati D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di Indonesia.

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2011;14(1):84 - 9.

5. Cantu EC, Zavala J, Valenzuela J. Molecular Basis Of Pterygium Development.

Seminars In Ophthalmology. 2014;1(17):1 - 10.

6. Detorakis ET, Spandidos DA. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options For

Ophthalmic Pterygium. International Journal Of Molecular Medicine. 2009;23:439 -

47.

7. Chui J, Coreneo MT, Tas LT. Ophthalmic pterygium, A Stem Cell Disorder With

Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178(2):817 - 25.

8. Rao SK. Current Concepts In Management Of Pterygium. Delhi Journal

Ophthalmology. 2014;25(2):78 - 84.

9. Radakrishnan A. Ocular Surface Squamous Neoplasia - A Brief Review. Kerala

Journal Of Ophthalmology. 2011;23(4):347 - 51.

10. Sangwan VS, Burman S, Tejwani S. Amniotic Membrane Transplantation : A Review

of Current Indications in the Management of Ophthalmic Disorders. Indian Journal Of

Ophthalmology. 2007;55:251-26-.