Upload
hoangque
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Notaris merupakan salah satu profesi hukum di Indonesia. Profesi hukum
merupakan profesi yang eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika
masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan.1 Selain itu
profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dan pengembangannya.2
Profesi hukum dalam hal ini Notaris biasanya
dihadapkan pada berbagai masalah, dimana masyarakat yang memiliki masalah
akan datang ke hadapan Notaris untuk memecahkan masalah yang dihadapinya,
dengan harapan Notaris akan membantu memberikan solusi atas masalahnya
tersebut.
Notaris berkewajiban memberikan penyuluhan hukum mengenai
permasalahan yang disodorkan kepadanya sekaligus menjadi penunjuk jalan yang
benar ke arah tercapainya kepuasan kliennya dalam membuat akta, jadi notaris
disini harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan yang dihadapi oleh kliennya.3
Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum dalam melakukan perbuatan hukum. Dimana dalam melakukan perbuatan
1Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, Refika Aditama, Bandung, hal. 11.
2Supriadi, 2010, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 19.
3Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 444.
2
2
hukum masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas
hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.4
Notaris berperan penting yaitu dalam kaitannya dengan pembuktian
kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum serta
perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yakni bersifat
mencegah terjadinya permasalahan hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik
yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban
seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna
di Pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait.5 Selain itu,
pentingnya peranan Notaris juga dapat dilihat pada kapasitasnya dalam
memberikan legal advice dan melakukan suatu verivikasi terhadap sebuah
perjanjian, apakah suatu perjanjian tersebut telah dibuat dengan memenuhi syarat
dan tidak merugikan para pihak atau malah perjanjian itu dibuat dengan tidak
memenuhi syarat dan dapat merugikan pihak lain dikemudian harinya.
Dahulu masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan
adanya kata sepakat antara kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas
rasa kepercayaan. Dimana masih kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para
pihak cukup dilakukan secara lisan yang disaksikan oleh beberapa pihak lain
sebagai saksi seperti Ketua Adat, padahal pada dasarnya kesaksian dari saksi-saksi
4Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban
Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 7.
5Ibid.
3
3
tersebut banyak memiliki kelemahan, misalnya saja apabila saksi tersebut
meninggal dunia atau pindah ketempat yang tidak diketahui keberadaannya, maka
akan timbul kesukaran dalam melakukan pembuktian.6
Berbeda halnya dengan perkembangan saat ini, masyarakat cenderung
melakukan perbuatan hukum yang direalisasikan dalam bentuk perjanjian atau
dokumen secara tertulis atau lebih dikenal dengan sebutan akta, baik itu dibuat
dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan. Adanya kesadaran
hukum yang tinggi pada masyarakat saat ini merupakan salah satu faktor yang
mendorong masyarakat untuk membuat perjanjian dihadapan Notaris. Ini dapat
kita lihat dalam setiap perbuatan hukum seperti sewa-menyewa, jual-beli, utang-
piutang, dan lain sebagainya, setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
tersebut diatas dengan sengaja membuat alat bukti dihadapan Notaris dengan
kemungkinan alat-alat bukti tersebut diperlukan dikemudian hari.
Segala perbuatan hukum tersebut diatas dituangkan kedalam bentuk akta
otentik. Para pihak yang hadir kehadapan Notaris menjelaskan maksud dan
tujuannya yang nantinya akan dituangkan oleh Notaris ke dalam sebuah akta
otentik. Dengan demikian, akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai peranan
yang sangat penting dalam menciptakan kepastian hukum di dalam setiap
perbuatan hukum, karena akta notaris bersifat otentik dan merupakan alat bukti
yang terkuat dan terpenuh dalam setiap sengketa, maka kedudukan Notaris
sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
(kecuali ditentukan lain oleh undang-undang) juga semakin penting.
6R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu
Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 5.
4
4
Jabatan Notaris di Indonesia diatur dalam sebuah undang-undang
tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya
disebut UUJN), undang-undang mana telah mengalami perubahan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris dikatakan sebagai pejabat
umum karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Meskipun
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris tidak dapat
disamakan dengan pegawai negeri yang juga diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah. Notaris merupakan pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari
pemerintah.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
mengatur tentang kewenangan seorang Notaris yaitu:
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
5
5
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan
“akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta
otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) :
“suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat dimana akta itu dibuat.” Akta notaris sendiri dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu :
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten).
2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan
akta partij.7
Penandatanganan dalam akta partij oleh para pihak merupakan suatu
keharusan, penandatanganan dalam akta partij berarti bahwa memang benar yang
bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Sedangkan dalam akta
relaas tidak menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak
untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan Akta Berita Acara
Rapat Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas, orang-orang yang hadir
7G.H.S Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
Jakarta, hal.50-51.
6
6
dalam rapat tersebut telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditanda tangani,
maka Notaris cukup menerangkan didalam akta bahwa para pemegang
saham/peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum
menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap sah merupakan akta otentik.8
Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah pada pemberian pembuktian
sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Kebenaran isi akta pejabat
(ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu
adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh
bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa
keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu
adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan
pembuktian sebaliknya.9
Berdasarkan dua bentuk akta notaris tersebut, dapat terlihat bahwa salah
satu perbuatan hukum yang tidak dapat lepas dalam pembuatan akta otentik
adalah pembubuhan tanda tangan. Dalam pembuatan akta yang diwajibkan
membubuhkan tanda tangan tidak hanya Notaris, melainkan para pihak serta para
saksi diwajibkan untuk membubuhkan tanda tangannya. Dalam pembuatan akta
para pihak menerangkan kehendaknya dihadapan Notaris dan kehendak tersebut
dituangkan ke dalam sebuah akta otentik yang dibacakan oleh Notaris dihadapan
para pihak, apabila para pihak sudah mengerti dan menyetujui isi akta tersebut
maka para pihak berkewajiban membubuhkan tanda tangan, diikuti oleh para
saksi-saksi dan Notaris.
8Ibid, hal. 52-53.
9Ibid, hal. 53.
7
7
Tanda tangan sendiri penting keberadaannya karena dengan adanya tanda
tangan berarti orang yang menandatangani mengetahui dan menyetujui isi dari
akta tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta
tersebut. Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah suatu pernyataan kemauan
pembuat tanda tangan (penanda tangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda
tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum
dianggap sebagai tulisannya sendiri.10
Menurut Kamus Bahasa Indonesia tanda
tangan adalah lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri
sebagai penanda pribadi.11
Menurut Scheltema tanda tangan adalah keseluruhan
tanda-tanda huruf yang dibubuhkan dalam tanda tangan yang mengindividualisir
penanda tangan dalam batas tertentu.12
Pembubuhan tanda tangan ini sering dilihat dalam penutup akta, dimana
terdapat satu klausul yang menyebutkan sebagai berikut: “Setelah saya, Notaris
membacakan akta ini kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para
penghadap, para saksi dan saya, Notaris menandatangani akta ini”.13
Dalam
peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Jabatan Notaris pada Pasal 28 ayat (3)
disebutkan semua akta notaris harus ditandatangani oleh masing-masing
penghadap, segera setelah selesai pembacaan akta itu. Akta itu juga harus ditanda
tangani oleh para saksi instrumentair dan oleh Notaris sendiri.14
10
Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 473.
11
Anonim, diakses pada tanggal 01 Agustus 2013, Definisi Tanda Tangan,
http://www.artikata.com/arti-353196-tanda+tangan.html.
12
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 204.
13
Komar Andasasmita, 1983, Notaris II, Sumur, Bandung, hal. 150.
14
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 209.
8
8
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai
implementasi Peraturan Jabatan Notaris mengatur juga tentang ketentuan
penandatanganan yaitu sebagai berikut :
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir akta.
Pasal 44 ayat (1) ini memberikan suatu kewajiban bagi para penghadap untuk
menandatangani akta setelah dibacakan oleh Notaris, dengan pengecualian apabila
ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka penghadap
tersebut harus menyebutkan alasan yang nantinya akan dinyatakan secara tegas
pada akhir akta tersebut. Hal ini menimbulkan penafsiran apabila seorang
penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangannya diakibatkan sakit, cacat
atau buta aksara maka orang tersebut dapat tidak menandatangani akta tersebut
dengan hanya menyebutkan alasannya secara tegas dalam akhir akta dan
penghadap diperbolehkan tidak membubuhkan tanda-tanda lainnya dalam akta
sebagai bentuk pengindividualisiran akta. Sedangkan dalam praktek kenotariatan
apabila seseorang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya maka akan
dibubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya pada akta otentik tersebut sebagai
pengindividualisiran suatu akta. Hal ini menyebabkan adanya pembedaan antara
tanda tangan dengan cap jempol, serta jelas dalam Pasal 44 ayat (1) UU
Perubahan Atas UUJN tersebut terdapat ketidakpengakuan penggunaan cap
jempol sebagai sebuah tanda tangan dalam akta otentik.
9
9
Keharusan adanya tanda tangan dalam sebuah akta tidak lain bertujuan
untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain, jadi fungsi tanda tangan
adalah untuk memberikan ciri atau mengindividualisir suatu akta,15
karena
identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut.
Penandatanganan dalam suatu akta adalah membubuhkan nama dari si penanda
tangan, sehingga membubuhkan paraf berupa singkatan tanda tangan saja
dianggap tidak cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penanda tangan
sendiri atas kehendaknya sendiri.16
Pembubuhkan cap jempol ibu jari kiri pada praktek kenotariatan sampai
saat ini masih sering dilakukan apabila para pihak tidak dapat membubuhkan
tanda tangannya akibat buta aksara, sakit, atau hal lainnya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mengalami buta aksara. Pada
tahun 2011 dilaporkan sekitar 6,7 juta orang penduduk Indonesia yang berusia 15-
59 tahun masih buta aksara, laki laki sebanyak 2,26 juta orang penduduk dan
perempuan sebanyak 4,46 juta orang penduduk.17
Cap jempol atau juga dikenal dengan sidik jari merupakan garis pada kulit
jari-jari yang tidak akan berubah dalam jangka waktu apapun dan antara orang
15
Jusuf Patrianto Tjahjono, diakses pada tanggal 7 Juli 2012, Arti dan
Kedudukan Tanda Tangan Dalam Sebuah Dokumen,
http://notarissby.blogspot.com/2008/05/arti-dan-kedudukan-tanda-tangan
dalam.html.
16
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
Kedelapan, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusuma I)
hal. 152.
17
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal, yang diakses
pada tanggal 21 April 2014, Anggaran Bantuan Rp. 48,01 Miliar Untuk Daerah
Terpadat Buta Aksara, http://paudni.kemdikbud.go.id/anggaran-bantuan-rp4801-
miliar-untuk-daerah-terpadat-buta-aksara.
10
10
yang satu dengan yang lainnya pastinya memiliki cap jempol yang berbeda.
Seseorang yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan pada akhir akta akibat
buta aksara, cacat atau lumpuh biasanya menggantinya dengan membubuhkan cap
jempol ibu jari tangan kiri. Akan tetapi penggunaan cap jempol pada akhir akta
pengaturannya tidak disebutkan secara tegas dalam UU Perubahan Atas UUJN,
dalam UU Perubahan Atas UUJN hanya disebutkan pengecualian tanda tangan
dan tidak ditegaskan tanda-tanda lain yang harus dibubuhkan apabila penghadap
tidak mendatangani akta. Pada UU Perubahan Atas UUJN kekuatan mengikat cap
jempol dianggap tidak setara dengan kekuatan mengikat tanda tangan. Hal inilah
yang menimbulkan multitafsir sehingga disini terlihat terdapat kekaburan norma
dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, jadi tidak
ada yang dapat dijadikan bukti dikemudian hari bahwa memang benar penghadap
yang namanya tertera dalam akta telah menyetujui isi akta tersebut.
Ros Macdonald dan Denise McGill dalam bukunya berjudul “Drafting”
menyebutkan bahwa:“The signature of the parties to the deed was not necessary
at common law, alhought again it was often done”.18
Dapat diterjemahkan bahwa
dalam negara bersistem hukum common law pembubuhan tanda tangan oleh para
pihak dalam sebuah akta bukanlah merupakan suatu hal yang penting, akan tetapi
hal ini biasa dilakukan.
Beberapa negara maju lainnya seiring dengan pesatnya perkembangan
teknologi telah menggunakan tanda tangan elektronik dalam pembuatan akta
18
Ros Macdonald and Denise McGill, 2008, Drafting , Second Edition,
Lexis Nexis Butterworths, Australia, hal. 66.
11
11
otentik walaupun masih dimungkinkan adanya penggunaan cap jempol. Pasal 1
angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
58 (untuk selanjutnya disebut UU ITE), merumuskan “tanda tangan elektronik
adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi”. Informasi Elektronik dalam Pasal 1 angka
1 UU ITE adalah :
satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Tanda tangan elektronik adalah sebuah identitas elektronik yang berfungsi sebagai
tanda persetujuan terhadap kewajiban-kewajiban yang melekat pada sebuah akta
otentik.19
Beberapa Negara yang telah menggunakan tanda tangan elektronik adalah
Jepang dan Amerika Serikat bahkan 2 negara bagian Amerika Serikat yaitu
Florida dan Utah telah mengesahkan penggunaan tanda tangan elektronik dengan
dibuatnya undang-undang tersendiri. National Notary Association (NNA) sebagai
Asosiasi Notaris di Amerika Serikat meluncurkan ENJOA (The New Notary
Journal of Official Art) dimana ini merupakan sistem penyimpanan dokumen
Notaris secara elektronik, yang didalamnya dapat merekam tanda tangan, cap
19
Anonim, diakses pada tanggal 15 Maret 2013, Transaksi dan Tanda
Tangan Digital Etika Profesi Teknologi dan Komunikasi, http://tek-
kom25.blogspot.com/2012/11/transaksi-tanda-tangan-digital.html.
12
12
jempol maupun foto secara elektronik, sehingga ini memudahkan Notaris serta
masyarakat dalam melakukan transaksi.20
Indonesia sendiri pada saat ini sedang
menggagas wacana untuk menggunakan sistem electronic signatures, dimana
dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE diatur “sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.”
Sistem electronic signatures akan dibuatkan satu sistem tersendiri yang berisi
seluruh data masing-masing individu masyarakat yakni:
1. Physiological berupa face, fingerprint, hand, iris and DNA.
2. Behavorial berupa keystroke, signature, and voice. 21
Sistem ini nantinya akan mempermudah bukan hanya Notaris saja tetapi
masyarakat dan banyak pihak terkait lainnya dalam melakukan perbuatan hukum.
Dimana sistem ini dapat dijadikan acuan atau upaya terakhir (ultimum remidium)
apabila terjadi permasalahan berkaitan dengan penggunaan tanda tangan
elektronik.
Perbuatan hukum ini menarik untuk ditinjau lebih jauh secara hukum,
mengingat dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
terdapat kekaburan norma dan tidak ditemukan rumusan peraturan penggunaan
cap jempol sebagai sebuah tanda tangan dalam pasal tersebut. Berdasarkan hal
20
Anonim, 2004, Langkah Antisipatif NNA, Renvoi Nomor 7 Tahun II,
tanggal 3 Desember 2004, hal. 60.
21
Edmon Makarim, 2013, Cybernotary/E-notary, Makalah Seminar
Internasional Cybernotary Law and ADR, tanggal 17 Januari 2013.
13
13
inilah yang mendorong Penulis untuk mengangkat masalah ini ke dalam penelitian
hukum yang berjudul: “KEKUATAN HUKUM CAP JEMPOL SEBAGAI
TANDA TANGAN DALAM AKTA NOTARIS”.
Penggunaan cap jempol dalam akta otentik merupakan masalah yang
sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan obyek penelitian, karena mengandung
norma kabur di dalamnya. Setelah ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di
Indonesia melalui media internet ditemukan judul tesis yang berkaitan sebagai
berikut :
1. Tesis yang berjudul “ASPEK HUKUM PEMBUBUHAN CAP IBU
JARI/CAP JEMPOL DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK” oleh
Yosrila, Sarjana Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2006, metode penelitian yang
digunakan adalah metode yuridis empiris, dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dapat diartikan sama
dengan penandatanganan?
2. Apakah pembubuhan cap ibu jari/cap jempol mempunyai akibat
hukum dalam pembuatan suatu akta otentik?
Kesimpulan :
1. Pembubuhan cap ibu jari/ cap jempol dapatlah dikatakan sama dengan
pembubuhan tanda tangan, hanya saja harus ditegaskan dalam akta
sebab-sebab pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dilakukan.
14
14
2. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh tindakan pembubuhan cap ibu
jari/cap jempol dalam pembuatan akta Notariil maupun akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah sama dengan akibat hukum yang
ditimbulkan dengan pembubuhan tanda tangan.
2. Tesis yang berjudul “KEABSAHAN CAP JEMPOL SEBAGAI
PENGGANTI TANDA TANGAN DALAM PEMBUATAN AKTA
OTENTIK” oleh Hadi Suwignyo, Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, metode penelitian yang
digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah cap jempol dapat menggantikan tanda tangan dalam
pembuatan akta otentik?
2. Apakah akibat hukum pembubuhan cap jempol dalam pembuatan
suatu akta otentik?
Kesimpulan :
1. Pembubuhan cap jempol atau ibu jari dalam pembuatan akta otentik
khususnya dalam pembuatan akta notaris tidak dapat dipersamakan
dengan pembubuhan tanda tangan, oleh karena dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris telah ditegaskan bahwa akta notaris harus ditanda
tangani dan apabila para penghadap tidak dapat membubuhkan tanda
tangan maka harus dijelaskan alasannya dengan jelas, keterangan
tentang penandatangan ini dimuat dalam akhir akta. Dengan demikian
tidak diperlukan pembubuhan cap jempol. Namun dalam pembuatan
15
15
akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, cap jempol atau ibu jari
dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan.
2. Suatu akta tidak akan kehilangan otensitasnya apabila para penghadap
tidak membubuhkan tanda tangannya, sepanjang keadaan tersebut
dijelaskan dalam akta, sehingga apabila penghadap tidak
membubuhkan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan
dalam pembuatan akta otentik tidak akan membawa akibat hukum akta
tersebut kehilangan otensitasnya. Akta tersebut tetap sah secara hukum
dan tetap memilki nilai sebagai akta otentik walaupun tidak
dibubuhkan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan.
Tesis-tesis tersebut diatas berbeda penulisannya dengan tesis ini dimana
dalam penelitian ini menekankan pada adanya kekaburan norma dalam Pasal 44
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sehingga tesis ini adalah
asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapatlah
dirumuskan permasalahan yang perlu mendapat pembahasan lebih lanjut. Adapun
permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang cap jempol sebagai tanda tangan
dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan akta notaris?
2. Apakah cap jempol dalam sebuah akta notaris dapat dijadikan dasar untuk
sahnya suatu perjanjian?
16
16
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memahami ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan kekuatan hukum
penggunaan cap jempol dalam akta notaris.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitan ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk memahami dan menganalisa pengaturan hukum tentang cap jempol
sebagai tanda tangan dalam peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan akta notaris.
2. Untuk memahami dan cap jempol dalam sebuah akta notaris dapat dijadikan
dasar untuk sahnya suatu perjanjian.
1.4 Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya
sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum
Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian
17
17
kritis, sebagai bahan penelitian bagi lembaga Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada
perpustakaan, khususnya mengenai kekuatan hukum penggunaan cap
jempol dalam akta otentik.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah, masyarakat, Notaris
maupun penulis sendiri dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, berkaitan dengan
pengaturan hukum cap jempol sebagai tanda tangan dalam akta notaris, serta
mengetahui apakah cap jempol dalam sebuah akta otentik dapat dijadikan
dasar untuk sahnya suatu perjanjian.
1.5 Landasan Teoritis
Suatu permasalahan hukum relevan apabila dikaji menggunakan asas-asas
hukum, konsep-konsep hukum dan teori-teori hukum. Duane R. Munette
mengemukakan teori adalah seperangkat proposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dengan sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu
masalah.22
Brugink mendefinisikan teori adalah proses atau aktivitas dan sebagai
produk atau hasil aktivitas itu, dan hasil itu terdiri atas keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan tentang suatu objek.23
Jan Gijssels dan Mark van Hoccke
22
H. Salim. HS, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta (untuk selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 9. 23
Ibid.
18
18
juga mengemukakan pengertian teori adalah sebuah sistem pernyataan-pernyataan
(klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling
berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan
(menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji.24
Dari pendapat-pendapat di
atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa teori adalah suatu penjelasan yang berupaya
untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga
merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah
penjelasan yang sifatnya umum.25
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan
penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran atas dasar
penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan. Teori juga
bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk
itu, teori dalam sebuah penelitian berfungsi sebagai ”pisau analisis” terhadap
suatu peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.
Menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada
3 hal yaitu :
1. Keadilan.
2. Kemanfaatan.
3. Kepastian Hukum.26
24
Ibid.
25
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134.
26
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga, hal. 33.
19
19
Pandangan dari Gustav Radbruch ini dikenal juga dengan teori 3 Nilai Dasar
Hukum yang merupakan rechtsidee/cita hukum yang ingin dicapai oleh bangsa
Indonesia. Sehingga penelitian hukum ini bermaksud untuk mencapai ketiga
tujuan hukum diatas dengan mengupas permasalahan dalam penelitian ini
menggunakan asas, konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan
yang diangkat. Adapun asas, konsep dan teori-teori yang digunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini adalah asas kepastian hukum, konsep negara hukum,
teori keberlakuan hukum, teori kemanfaatan dan teori perlindungan hukum,
sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum.
Kepastian hukum merupakan satu dari 3 tujuan hukum. Demi tercapainya
kepastian hukum maka masyarakat membuat perjanjian dalam kehidupan sehari-
hari. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Untuk dapat memberikan kepastian hukum suatu perjanjian harus memenuhi
unsur-unsur sahnya perjanjian seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, sebagai berikut:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian
tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian
20
20
hukum juga merupakan asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian peraturan tersebut tidak menimbulkan keragu-raguan
(multi-tafsir), ia menjadi suatu sistem norma tidak berbenturan dengan norma lain
sehingga tidak menimbulkan konflik norma. Dengan adanya kepastian hukum ini
tentunya juga menghindarkan terjadinya kekaburan norma dan kekosongan
norma. Penggunaan cap jempol sebagai tanda tangan dalam akta otentik sudah
sewajarnya diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat
mewujudkan adanya kepastian hukum dan tidak menimbulkan terjadinya
kekaburan norma, yang menimbulkan salah penafsiran dari masyarakat luas
tentang keberadaan cap jempol itu sendiri.
Asas kepastian hukum dalam hukum perjanjian disebut juga dengan asas
pacta sunt servanda yang merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian.27
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa suatu kontrak yang
dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh
sesuai isi kontrak tersebut.28
Berdasarkan asas ini pihak ketiga (hakim karena
jabatannya) harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak
(tidak boleh membatalkan isi kontrak), karena para pihak yang membuat
27
H.R.Daeng Naja, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis :
Contract Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
28
Munir Fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern
Di Era Globalisasi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir
Fuadi I), hal. 12.
21
21
perjanjian/kontrak mempunyai keyakinan bahwa apa yang diperjanjikan
merupakan undang-undang bagi mereka dan tidak boleh dicampuri oleh pihak
ketiga.
Asas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Intinya suatu perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Perjanjian yang dibuat harus ditaati dan dipatuhi serta
dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu
tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan para pihak yang
membuatnya. Kedudukan para pihak dalam asas kepastian hukum ini harus
seimbang, apabila tidak seimbang perjanjian ini dapat dibatalkan. Woeker
Ordonantie menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian apabila antara para pihak
terdapat ketidakseimbangan yang sedemikian rupa sehingga melampui batas
kelayakan, undang-undang memberikan perlindungan bahwa perjanjian itu dapat
dibatalkan atas permintaan pihak yang dirugikan kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.29
2. Konsep Negara Hukum
Pemikiran negara hukum bermula dari pemikiran Plato yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.30
Konsep negara hukum
ini berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum yaitu sistem hukum Eropa
Kontinental (Rechtsstaat) dan sistem hukum Anglo Saxon (Rule of Law).
29
H.R.Daeng Naja, Loc.Cit.
30
Titik Triwulan Tutik, 2011, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61.
22
22
Konsep negara hukum “Rechtsstaat” dipelopori oleh Immanuel Kant dan
Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep ini ditandai dengan adanya empat
unsur pokok, yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2. Negara didasarkan pada teori trias politika;
3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang;
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. 31
Adapun ciri-ciri suatu negara dapat disebut sebagai negara hukum “Rechtsstaat”
adalah sebagai berikut :
1. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara.
3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. 32
Pada hakikatnya negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan
kekuasaan tanpa kendali, negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang
adil dan demokratis. Indonesia secara formal sejak tahun 1945 mendeklarasikan
diri sebagai negara hukum. Ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang
menentukan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pasal ini dipertegas
kembali dalam Penjelasan UUD NRI 1945 : Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka.
31
Ibid.
32
Ni’Matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 82.
23
23
3. Teori Keberlakuan Hukum
Suatu kaidah hukum berlaku sebagai undang-undang dalam memberikan
jaminan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan harus memenuhi tiga
keberlakuan hukum, antara lain:
a. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung);
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang
tertinggi.33
Cita hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar
negara Indonesia. Cita hukum ini dapat kita lihat dalam alenia ke-4 Pembukaan
UUD NRI 1945, dimana disebutkan Pancasila merupakan landasan ideologi
bangsa. Maka suatu kaidah hukum dikatakan berlaku apa berlandaskan pada nilai-
nilai Pancasila.
b. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung);
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan
material dan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi. Kaidah
hukum yang berlaku harus berdasarkan pada hirarkhi norma. Pancasila sebagai
dasar negara, merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian
hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI
1945 yang merupakan hukum dasar dalam membentuk suatu peraturan
perundang-undangan.
33
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas,
Jakarta, hal. 18.
24
24
c. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung);
Hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya hukum
di dalam masyarakat ada dua macam yakni:
1. Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan
berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas dari diterima atau pun tidak oleh warga masyarakat.
2. Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai
kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga
masyarakat.34
Hukum itu ditaati oleh masyarakat karena kaedah hukum tersebut
dipaksakan berlakunya oleh penguasa atau adanya penerimaan dari masyarakat.
Penggunaan cap jempol dalam akta otentik sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat saat ini, sehingga disini terlihat bahwa penggunaan cap jempol telah
memenuhi keberlakuan sosiologis yaitu adanya teori pengakuan
(anerkennungstheorie) dimana keberadaan cap jempol ini diterima dan diakui oleh
masyarakat. Keberadaan cap jempol sendiri tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moral sehingga memenuhi keberlakuan filosofis. Hanya saja keberadaan cap
jempol sebagai tanda tangan dalam akta otentik ini belum diatur secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu dibuatnya suatu aturan
hukum yang mengatur mengenai penggunaan cap jempol sebagai tanda tangan
dalam akta otentik.
Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung ke 3 aspek tersebut, karena
apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filosofis maka kaidah hukum
tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan saja. Apabila kaidah
34
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi
Kelima, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusuma II),
hal. 95.
25
25
hukum hanya memenuhi syarat yuridis maka kaidah hukum tersebut hanya
merupakan hukum mati. Sedangkan bila suatu kaidah hukum hanya memenuhi
syarat sosiologis saja dalam arti paksaan maka kaidah hukum tersebut tidak lebih
dari sekedar alat pemaksa. Hukum yang baik haruslah memenuhi 3 aspek
keberlakuan tersebut diatas. Ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum yakni
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Validitas atau keberlakuan suatu aturan hukum ini mempunyai fungsi
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi dari suatu aturan hukum.
2. Untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat dari suatu aturan hukum.
3. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dari para penegak hukum
terhadap kaidah yang bersangkutan.
4. Untuk mengetahui apakah aturan hukum tersebut memang dimaksudkan
sebagai aturan hukum yang mengikat secara hukum.
5. Untuk mengetahui apakah akibat hukum jika suatu aturan hukum tidak
diikuti oleh masyarakat.
6. Untuk mengetahui apakah perlu dibuatnya suatu aturan hukum yang baru
yang mengatur berbagai permasalahan manusia.
7. Untuk mengetahui apakah ada ikatan ikatan non hukum dari suatu aturan,
misalnya ikatan moral, ikatan agama dan lain lain.35
4. Teori Kemanfaatan ( utilitarianisme theory)
Teori ini meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan yang dimaksudkan disini adalah kebahagian. Jeremy Bentham
(1748-1832) menyebutkan bahwa hukum pertama-tama memberikan kebahagiaan
kepada individu-individu, bukan masyarakat langsung secara keseluruhan. Dalam
buku “Punishment : Theory and Practice” oleh Mark Tunick disebutkan : “For
Bentham, the principle of utility is the ground of all moral actions. It is a natural
35
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Munir Fuadi II),
hal. 124-125.
26
26
principle that lacks any further ground, and it is not to be questioned”36
. Dapat
diterjemahkan sebagai berikut : menurut Bentham prinsip utility adalah dasar dari
semua tindakan moral. Ini adalah prinsip alami yang tidak memiliki dasar apapun
dan tidak perlu dipertanyakan.
Kepentingan antara masing-masing individu ini harus dibatasi agar tidak
terjadi benturan-benturan.37
Teori ini menitik beratkan pada kepentingan individu,
apabila kepentingan individu telah mencapai kebahagiaan dengan sendirinya
kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan. Jadi teori
kemanfaatan ini menitik beratkan pada perlindungan terhadap kepentingan-
kepentingan individu guna mencapai kebahagiaan/kemanfaatan. Cap jempol
sebagai suatu simbol yang dipersamakan dengan tanda tangan pada dasarnya
dipergunakan untuk memberikan perlindungan kepentingan tiap-tiap individu
untuk mencapai kemanfaatan. Cap jempol memiliki manfaat bagi individu yang
tidak bisa membubuhkan tanda tangan baik itu karena sakit, cacat maupun buta
aksara, hal ini untuk melindungi kepentingan individu yang bersangkutan.
5. Teori Perlindungan Hukum.
Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan
hukum meliputi dua hal yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan
hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju
kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif
36
Mark Tunick, 1992, Punishment : Theory And Practice, University of
California Press, Los Angeles, hal. 70.
37
Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum :
Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 118.
27
27
maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk
menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di
pengadilan.38
Sebuah akta otentik dibuat pada dasarnya untuk digunakan sebagai
alat bukti apabila nantinya terjadi sengketa di kemudian hari, hal ini merupakan
salah satu upaya perlindungan hukum preventif.
Terdapat beberapa alat bukti yang sah atau yang diakui dalam Hukum
Acara Perdata yaitu terdiri dari :
a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah. 39
Berbicara masalah alat bukti ini juga diatur dalam Pasal 164 Herzein Indonesisch
Reglement (HIR) juncto Pasal 1866 KUH Perdata. Alat-alat bukti tersebut dalam
proses perkara di Pengadilan semuanya adalah penting, tetapi dalam HIR yang
menganut asas pembuktian formal. Dimana dalam suatu perkara perdata alat bukti
(alat pembuktian) yang utama adalah tulisan, sedangkan dalam suatu perkara
pidana adalah kesaksian.40
Kekuatan pembuktian mengenai alat bukti tulisan ini
diserahkan pada kebijaksanaan hakim. Pasal 1867 KUH Perdata menyatakan:
“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun
dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.”
38
Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak
Kekayaan Intelektual Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal.
12.
39
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap
UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung,
(untuk selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 120.
40
R. Subekti, 2010, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta
(untuk selanjutnya disebut Subekti I), hal. 1.
28
28
Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dengan sengaja membuat suatu
alat bukti secara tertulis yang berhubungan dengan kemungkinan diperlukannya
bukti-bukti tersebut dikemudian hari. Alat bukti berupa tulisan ini dapat berupa
surat yang dibuat baik oleh para pihak yang berperkara secara di bawah tangan
atau dibuat oleh pihak lain yang karena jabatannya mempunyai hak untuk itu.41
Alat bukti tertulis ini dibagi 3 (tiga) macam yaitu :
1. Akta otentik.
2. Akta di bawah tangan.
3. Surat biasa. 42
Akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat mana akta dibuatnya.
Notaris dalam melakukan jabatannya berwenang untuk membuat akta
otentik yang sering disebut dengan akta notaris. Akta notaris berdasarkan Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diartikan sebagai akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam Pasal 15 UU Perubahan Atas
UUJN diatur secara rinci mengenai kewenangan Notaris sebagai berikut :
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
41
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 242.
42
Ibid, hal. 242 -250.
29
29
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik adalah untuk
memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuat akta. Akta otentik mana dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian
hari apabila terjadi sengketa antara para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh
Notaris umumnya yang diberikan kepada para pihak adalah merupakan salinan
dari akta aslinya (minuta), sedangkan minuta yang ditandatangani oleh para pihak
dan para saksi, disimpan oleh Notaris untuk dijadikan sebagai alat bukti apabila di
kemudian hari terjadi suatu sengketa atau permasalahan. Jadi disini tanda tangan
merupakan satu hal yang penting. Pada saat para pihak yang membuat akta
mengalami buta aksara, sakit (cacat, lumpuh) dan/atau kecelakaan maka dalam
praktek kenotariatan digunakan cap jempol sebagai suatu tanda tangan.
30
30
Cap jempol sendiri terdapat pengaturannya Pasal 1874 ayat (2) pada KUH
Perdata, yaitu :
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu
cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seseorang
notaris atu pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata
bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu,
dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pegawai tadi.
Disini terlihat bahwa penandatanganan sebuah surat di bawah tangan
dipersamakan dengan pembubuhan cap jempol. Akan tetapi tidak ada disebutkan
baik dalam KUH Perdata maupun UU Perubahan Atas UUJN bahwa cap jempol
sebagai tanda tangan pada pembuatan akta otentik.
Asas kepastian hukum, konsep negara hukum, dan teori keberlakuan
hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab persoalan pertama
dalam penelitian ini, dimana seperti kita ketahui Indonesia merupakan negara
hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Sehingga segala perbuatan manusia harus
diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, termasuk dengan penggunaan
cap jempol sebagai tanda tangan dalam suatu akta otentik. Saat ini penggunaan
cap jempol sebagai tanda tangan dalam akta otentik belum memiliki pengaturan
secara khusus, padahal penggunaan cap jempol dalam akta otentik sudah menjadi
kebiasaan di masyarakat, sehingga telah memenuhi keberlakuan sosiologis.
Keberadaan cap jempol sendiri tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral
sehingga memenuhi keberlakuan filosofis. Hanya saja perlu dibuatkan suatu
aturan yang berbentuk peraturan perundang-undangan (keberlakuan yuridis). Hal
ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang
31
31
menggunakan cap jempol sebagai tanda tangan dalam suatu akta notaris sebagai
sebuah alat bukti tertulis.
Teori kemanfaatan dan teori perlindungan hukum digunakan sebagai pisau
analisis untuk menjawab persoalan kedua dalam penelitian ini. Cap jempol
sebagai suatu tanda tangan pada dasarnya dipergunakan untuk memberikan
perlindungan kepentingan bagi tiap-tiap individu untuk mencapai kemanfaatan.
Cap jempol memiliki manfaat bagi individu yang tidak bisa membubuhkan tanda
tangannya dalam akta otentik baik itu karena sakit, cacat atau buta aksara. Hal ini
untuk melindungi kepentingan individu yang bersangkutan. Selain itu pembuatan
akta otentik yang menggunakan tanda tangan ataupun cap jempol pada akhir
aktanya adalah merupakan suatu upaya perlindungan hukum secara preventif,
yakni menjamin sahnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan akta
otentik ini dipergunakan sebagai alat bukti apabila nantinya terjadi sengketa di
kemudian hari.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.43
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif karena
penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma dalam Pasal 44 ayat (1)
43
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta (untuk selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal.
35.
32
32
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berkaitan dengan penggunaan cap
jempol sebagai tanda tangan dalam akta otentik. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal
dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai
literatur.44
1.6.2 Jenis Pendekatan
Terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian hukum yaitu pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).45
Untuk membahas
permasalah dalam penelitian tesis ini akan dikaji dengan menggunakan
pendekatan pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dikaitkan
dengan permasalahan yang akan dibahas.46
Dalam penelitian ini
pendekatan peraturan perundang-undangan digunakan untuk menelaah
aspek pengaturan hukum tentang penggunaan cap jempol sebagai tanda
tangan dalam akta otentik.
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif :
Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
45
Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit, hal. 93.
46
Peter Mahmud Marzuki I, Loc.Cit.
33
33
2. Pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dari
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Biasanya pendekatan ini
dilakukan dalam rangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke
waktu, selain itu pendekatan ini sangat membantu untuk memahami
filosofi sebuah aturan hukum dari waktu ke waktu.47
Terkait dengan
penelitian ini, pendekatan histori digunakan untuk mengkaji
perkembangan penggunaan cap jempol dalam akta otentik dari dikenalnya
lembaga notariat di Indonesia sampai dengan sekarang ini.
3. Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada, misalnya belum atau tidak ada aturan hukum
untuk permasalahan yang diangkat.48
Oleh karena itu pendekatan ini
merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Ini dapat ditemukan dalam
pandangan-pandangan para sarjana atau doktrin-doktrin hukum.
Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep penggunaan cap jempol
dalam akta otentik dengan asas dan teori-teori yaitu : asas kepastian
hukum, konsep negara hukum, teori keberlakuan hukum, teori
kemanfaatan dan teori perlindungan hukum.
47
Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit, hal. 126.
48
Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit, hal. 137.
34
34
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi serta
perjanjian internasional antara lain :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 117).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3).
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum penunjang berupa teori-teori
hukum dan pendapat para sarjana terkemuka. Bahan hukum sekunder
dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen resmi, 49
yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan
49
Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit, hal. 141.
35
35
terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian
ini terdiri atas:
- Buku-buku hukum mengenai jabatan Notaris.
- Artikel dan karya tulis ilmiah yang tertulis di internet
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan kamus besar bahasa
Indonesia.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik
telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan
mengumpulkan (menginventarisasi) bahan-bahan hukum yang dianggap
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian, kemudian melakukan
klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang dikumpulkan.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai
berikut :
1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam
menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang
tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa
36
36
adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
2. Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup
kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa
hukum tertentu.50
Teknik interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah interpretasi gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis.
- Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah
menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa.51
Bahasa merupakan sarana yang dipakai
pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena
itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan
tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran
menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari.
- Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan
dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.52
Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan
peraturan hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan
undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem peraturan
perundang-undangan.
50
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61.
51
Ibid, hal. 63.
52
Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit, hal. 112.
37
37
BAB II
TINJAUAN UMUM CAP JEMPOL DALAM AKTA NOTARIS
2.1 Tinjauan Umum Notaris
a. Sejarah Lembaga Kenotariatan Dan Dasar Hukum Notaris
Secara umum dalam dunia kenotariatan terdapat dua aliran yaitu Notaris
pada negara bersistem civil law dan Notaris pada negara bersistem common law.
Notaris pada negara penganut sistem civil law disetarakan seperti hakim, dimana
Notaris hanya sebagai pihak yang menerapkan aturan. Pemerintah mengangkat
Notaris sebagai orang yang menjadi “pelayan” masyarakat. Sebagai pihak yang
diangkat oleh negara, maka Notaris dapat dikatakan sebagai pejabat negara.
Pemerintah mendelegasikan kewenangan pada Notaris untuk melakukan
pencatatan dan penetapan serta penyadaran hukum kepada masyarakat, terutama
menyangkut legalitas dokumen perjanjian.53
Notaris dalam negara penganut civil
law formasi penempatannya diatur oleh negara. Akta yang dibuat oleh Notaris
pada sistem ini merupakan akta otentik yang sempurna sehingga dapat digunakan
sebagai alat bukti di Pengadilan.
Berbeda dengan negara penganut sistem civil law, pada sistem common
law aturan ditetapkan oleh hakim. Hakim bukan hanya pelaksana hukum tetapi
juga memutuskan dan menetapkan peraturan hukum merujuk pada ketentuan-
ketentuan hakim terdahulu. Notaris pada sistem negara ini bukan merupakan
pejabat negara. Mereka adalah Notaris yang tidak diangkat oleh negara melainkan
53
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa
Sukses, Jakarta, hal. 24-25.
38
38
partikelir yang bekerja tanpa adanya ikatan dengan pemerintah, dan hanya bekerja
sebagai legalisator bagi perjanjian yang dibuat oleh pembuat perjanjian. Sehingga
dokumen yang dikeluarkan oleh Notaris bukanlah akta otentik jadi tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti di persidangan.54
Lembaga Notariat timbul akibat adanya kebutuhan dalam pergaulan
manusia yang menghendaki adanya alat bukti mengenai hubungan keperdataan
yang ada dan/atau terjadi diantara mereka. Sejarah dari lembaga Notariat dimulai
pada abad XI di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa di Italia Utara.
Notariat dinamakan sebagai “ Latijnse Notariaat”, dimana Notaris yang diangkat
oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang
jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula.55
Kemudian pada abad XIII
lembaga Notariat ini mulai meluas ke negara Perancis, pada tanggal 6 Oktober
1791 di Perancis diundangkannya undang-undang di bidang Notariat, undang-
undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang 25 Ventose an XI pada
tanggal 16 Maret 1803. Berdasarkan undang-undang tersebut notaris dijadikan
“ambtenaar” dan berada dalam pengawasan “Chambre des notaires” sebuah
lembaga notariat.56
Lembaga Notariat kemudian mulai meluas ke Belanda pada masa
kekuasaan Perancis di Belanda dengan berlakunya Dekrit Kaisar tanggal 8
Nopember 1810 dan Dekrit tanggal 1 Maret 1811. Selepas masa kekuasaan
Perancis, pada tanggal 9 Juli 1842 Belanda membentuk suatu perundang-
54
Ibid, hal. 25-26.
55
GHS Luman Tobing, Op.Cit, hal. 3.
56
GHS Luman Tobing, Op.Cit, hal. 11-12.
39
39
undangan nasional pertama yang sesuai dengan aspirasi rakyat di bidang Notariat
yaitu Ned. Stb. No 20 tentang Jabatan Notaris. Keberadaan Lembaga Notaris di
Indonesia saat ini tidak bisa dilepaskan dari Belanda. Lembaga ini masuk ke
Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) bentukan pemerintah Belanda yang datang ke
Indonesia.57
Masa pemerintahan VOC di Indonesia memonopoli seluruh perdagangan
di Indonesia, sehingga dalam melakukan jual beli diperlukan suatu perjanjian
dalam bentuk tertulis yang dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
Atas kebutuhan tersebut pemerintah Belanda menerapkan lembaga Notariat di
Indonesia, Belanda untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta
menganggap perlu mengangkat Notaris yang disebut “Notarium Publicum”,
sehingga pada tanggal 27 Agustus 1620 mengangkat Melchior Kerchem
(sekretaris College van Schepenen) untuk merangkap sebagai Notaris dan
tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat di bawah tangan (codicil),
persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat
(testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kota
praja dan sebagainya.58
Pelantikannya dilakukan oleh Gubenur Jenderal Jan
Pieterzoon Coen, setelah pengangkatan Notaris yang pertama jumlah Notaris di
Indonesia makin berkembang.
Tahun 1925 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris College van
Schepenen dengan dikeluarkannya intruksi pada tanggal 16 Juni 1625. Intruksi ini
57
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 3.
58
Supriadi, Op.Cit, hal. 28.
40
40
hanya terdiri dari 10 Pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib
merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh
menyerahkan salinan-salinan dan akta-akta kepada orang yang tidak
berkepentingan.59
Tanggal 8 Maret 1822 dikeluarkanlah Intructie voor de
Notarissen Residence in Indonesia yang terdiri dari 34 Pasal. Dalam Pasal 1
Intruksi ini ditegaskan Notaris bertugas membuat akta-akta dan kontrak-kontrak
dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan,
menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan
mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan
benar.60
Tahun 1860 Pemerintah Belanda melihat perlunya diadakan penyesuaian
peraturan-peraturan jabatan Notaris di Indonesia dengan yang berlaku di Belanda,
dan untuk itu pada tanggal 26 Januari 1860 ditetapkanlah Stb. 1860 Nomor 3 yang
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1860 dengan diundangkannya Reglement
of Het Notaris Ambt In Indonesia atau yang lebih kita kenal dengan Peraturan
Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PJN).61
Setelah Indonesia merdeka,
keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD NRI 1945 yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum diadakannya yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini. Berdasarkan peraturan ini Reglement of Het Notaris Ambt In
Indonesia atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tetap berlaku dan menjadi
59
Supriadi, Op.Cit, hal. 4.
60
GHS Luman Tobing, Op.Cit, hal. 20.
61
Habib Adjie I, Loc.Cit.
41
41
landasan pelembagaan Notaris di Indonesia. Kewenangan pengangkatan Notaris
sejak tahun 1948 dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
Sejak terjadinya penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada
Republik Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag, Nederland maka seluruh Notaris berkewarganegaraan Belanda di Indonesia
harus meninggalkan jabatannya. Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di
Indonesia, oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara. Dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa
dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seseorang yang
diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Dan dalam undang-undang
ini juga ditegaskan masih berlakunya Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia.
Sesuai dengan perkembangan jaman Peraturan Jabatan Notaris dirasa
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat pada saat ini
sehingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UUJN). UUJN merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) yang merupakan peraturan warisan Pemerintahan Kolonial Belanda.
Dengan diundang-undangkannya UUJN maka dicabut dan telah dinyatakan tidak
berlaku beberapa peraturan lainnya seperti yang tercantum dalam Pasal 91 UUJN
yaitu :
1. Reglement of Het Notaris Ambt In Indonesia atau Peraturan Jabatan Notaris
(PJN).
2. Ordontie 16 September 1931 tentang Honorium Notaris
3. Undang Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil
Notaris Sementara.
42
42
4. Pasal 54 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan
Notaris.62
Tanggal 15 Januari 2014 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, karena beberapa ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2004 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat saat ini sehingga perlu dibuatkan perubahan. Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris saat ini merupakan unifikasi undang-undang di
bidang Kenotariatan, sehingga Notaris dalam menjalankan tugasnya harus tunduk
pada undang-undang tersebut. Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN
menentukan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dalam peraturan
terdahulu Peraturan Jabatan Notaris (PJN) Pasal 1 menentukan Notaris adalah
pejabat umum satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu
62
Habib Adjie I, Op.Cit, hal.6.
43
43
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Berbeda dengan Matome M. Ratiba dalam bukunya
Convecaying Law for Paralegals and Law Students menyebutkan: “Notary is a
qualified attorneys which is admitted by the court and is an officer of the court in
both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special
privileges.”63
Dapat diterjemahkan sebagai berikut : Notaris adalah pengacara
yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di
kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak
istimewa.
Notaris dituntut untuk dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan etika
yang sudah disepakati bersama dalam bentuk kode etik. Kode etik ini membatasi
tindak tanduk para Notaris dalam menjalankan praktiknya tidak bertindak
sewenang-wenang. Kode Etik Notaris Bab I Pasal 1 Ketentuan Umum
menjelaskan bahwa kode etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh
Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang selanjutnya akan disebut
“perkumpulan” berdasarkan keputusan kongres perkumpulan dan/atau yang
ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai
Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti
dan Notaris Pengganti Khusus.64
63
Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law For Paralegals And Law
Students, bookboon.com, hal. 28.
64
Ira Koesoemawati dan Yunieman Rijan, Op.Cit, hal. 53.
44
44
Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah pemersatu
bagi setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan Notaris di
Indonesia yang diakui oleh pemerintah. Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan
perkumpulan bagi para Notaris yang legal dan telah berbadan hukum, yang telah
mendapat pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2-
1022.HT.01.06 Tahun 1995, 65
oleh karena itu merupakan Organisasi Notaris
sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
Menurut Izenic yang dikutip oleh Komar Andarsasmita bentuk dan corak
Notaris dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu :
1. Notariat Fungsional
Notaris mendapat wewenang yang didelegasikan oleh pemerintah dan
demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti
formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang
menganut notariat functionnel ini terdapat pemisahan keras antara
”wettelijk” dan ”niet wettelijke” werkzaamheden, yaitu pekerjaan-pekerjaan
yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam
notariat;
2. Notariat Professional
Notaris dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang
organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat
khusus tentang kebenaran, kekuatan bukti demikian pula kekuatan
eksekutorialnya.66
Teori Izenis ini didasarkan pada pemikiran bahwa
notariat itu merupakan bagian atau erat sekali hubungannya dengan
kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechtelijke macht), sebagaimana terdapat
di Perancis dan Negeri Belanda.
65
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar
Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, hal. 157.
66
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris Dan PPAT
Indonesia: Kumpulan Tulisan Tentang Notaris Dan PPAT, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, (untuk selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal. 1-2.
45
45
Dari pengelompokan ciri tersebut dapat dilihat bahwa Notaris di Indonesia
merupakan Notaris fungsional atau merupakan sebuah jabatan karena :
1. Akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris fungsional
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna dan mempunyai
daya eksekusi.67
Akta notaris harus dilihat “apa adanya” sehingga jika ada
pihak yang berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak tersebut
berkewajiban untuk membuktikannya.
2. Notaris fungsional menerima tugasnya dalam bentuk delegasi dari
negara.68
Hal ini merupakan rasio Notaris di Indonesia memakai lambang
negara, yaitu burung garuda Indonesia.
3. Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement of
Het Notaris Ambt In Indonesia) Stb. 1860-3, yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
undang-undang mana telah mengalami perubahan yaitu dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Apabila Notaris merupakan sebuah profesi seharusnya Notaris
diatur dalam Undang-Undang Profesi Notaris.
Notaris sebagai jabatan, wajib bertindak profesional dalam melaksanakan
jabatannya, sesuai dengan jabatannya yang diatur dalam UUJN dan UU
Perubahan Atas UUJN, yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
67
Ibid, hal. 2.
68
Ibid, hal. 3.
46
46
masyarakat. Jabatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pekerjaan
(tugas) dalam pemerintahan atau organisasi. Jabatan dalam arti sebagai “Ambt”
merupakan fungsi, tugas, wilayah kerja pemerintah pada umumnya atau badan
perlengkapan pada khususnya. 69
Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
1. Sebagai jabatan;
UUJN serta perubahannya merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan
Notaris, ini berarti UUJN serta perubahannya merupakan aturan hukum dalam
bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga
apapun yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu pada
undang-undang tersebut.
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu;
Setiap jabatan mendapat wewenang yang diatur/dilandasi oleh aturan hukum
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan
dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian apabila seorang pejabat
dalam hal ini Notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan/diatur dalam undang-undang, maka Notaris bersangkutan dapat
dikategorikan sebagai Notaris yang melakukan perbuatan yang melanggar
wewenang.
69
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 10.
47
47
3. Diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah;
Pengangkatan dan pemberhentian Notaris dilakukan oleh pemerintah
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUJN, dalam hal ini oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 1 angka 14
UU Perubahan Atas UUJN). Walaupun Notaris secara administratif diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah, ini tidak berarti Notaris menjadi
subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya yaitu pemerintah. Dengan
demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:
a. bersifat mandiri (autonomous);
b. tidak memihak siapapun (impartial);
c. tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang
mengangkatnya atau oleh pihak lain.70
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa Notaris bukan bagian subordinasi
(bawahan) dari yang mengangkatnya yaitu pemerintah, maka walaupun
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi Notaris tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan
pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang kurang/tidak mampu.
5. Akuntabilitaas atas pekerjaannya kepada masyarakat;
Jabatan Notaris berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum tertulis berupa akta otentik dalam bidang
hukum perdata, sehingga Notaris bertanggung jawab untuk melayani
70
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 16.
48
48
masyarakat yang menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan
bunga jika ternyata akta yang dibuatnya tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk
akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.71
b. Kewenangan, Kewajiban serta Larangan Notaris
Notaris sebagai pejabat umum memiliki posisi yang strategis dalam
pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri, untuk dapat diangkat sebagai Notaris harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 3 UU
Perubahan Atas UUJN yaitu :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari
dokter dan psikiater;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-
turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pemikiran bahwa Notaris harus berkewarganegaraan Indonesia
dikarenakan Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat negara untuk
membuat akta otentik yang bersifat rahasia, apabila Notaris adalah orang yang
71
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 15-16.
49
49
berkewarganegaraan asing tentunya hal ini berbahaya. Seseorang dapat menjadi
Notaris apabila telah cakap menurut hukum, cukup dewasa, matang dan
bertanggung jawab dalam bertindak dan mengambil keputusan menurut UU
Perubahan Atas UUJN ditentukan pada usia 27 tahun.
Notaris di dalam menjalankan tugasnya dan kewenangannya sebagai
pejabat umum memiliki ciri utama yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak
dan mandiri (independen), bahkan secara tegas dikatakan “bukan sebagai salah
satu pihak”. Notaris dalam menjalankan fungsinya memberikan pelayanan kepada
para pihak di dalam pembuatan akta otentik, bukan menjadi bagian dari salah satu
pihak yang berkepentingan. Walaupun Notaris merupakan aparat hukum itu bukan
berarti Notaris juga sebagai penegak hukum, sehingga Notaris harus bersikap
netral.
Notaris sebagai pejabat umum pada dasarnya hanya menkonstatir atau
merekam secara tertulis dan otentik dari perbuatan hukum para pihak yang
berkepentingan, dengan kata lain Notaris hanya menuangkan keterangan-
keterangan yang diberikan para para pihak dihadapan Notaris. Notaris tidak
berada di dalamnya, yang melakukan tindakan hukum adalah para pihak yang
membuat serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian, dimana para pihak
tersebut berinisiatif untuk membuatnya ke dalam bentuk akta notaris. Oleh karena
itu akta notaris tidak menjamin bahwa para pihak “berkata benar” melainkan
menjamin bahwa para pihak “benar berkata” seperti yang termuat dalam akta
tersebut.72
72
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 65.
50
50
Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Perubahan Atas UUJN
memiliki kewenangan yang terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Kewenangan umum Notaris.
Kewenangan umum Notaris disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UU
Perubahan Atas UUJN yaitu :
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Secara tegas disebutkan kewenangan Notaris sebagai pembuat akta otentik
dibatasi sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang. Ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan
juga wewenang pejabat atau instansi lain, antara lain :
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUH Perdata).
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik. (Pasal
1227 KUH Perdata).
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 KUH Perdata dan 1406 KUH Perdata).
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 Wvk).
5. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).
6. Membuat akta risalah lelang.73
2. Kewenangan Khusus Notaris.
Kewenangan khusus Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2)
UU Perubahan Atas UUJN yaitu :
73
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 80.
51
51
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan 74
; atau
g. membuat akta risalah lelang.
3. Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.
Pasal 15 ayat (3) UU Perubahan Atas UUJN mengatur kewenangan Notaris
yang akan ditentukan kemudian sebagai berikut :
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
74
Kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
sepanjang bukan tindakan hukum dalam bentuk :
1. Akta Jual Beli;
2. Akta Tukar Menukar;
3. Akta Hibah;
4. Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan (imbreng);
5. Akta Pembagian Hak Bersama;
6. Akta Pemberian Hak Tanggungan;
7. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
Karena tindakan tindakan hukum tersebut mutlak merupakan wewenang Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Juncto
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit,
hal. 81.
52
52
Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang akan ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum yang akan datang (ius contituendum),
dimana aturan hukum tersebut harus berbentuk peraturan perundang-undangan
(undang-undang) yang dibentuk oleh Lembaga Negara (Pemerintah bersama
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)).
Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga harus
mematuhi segala kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat
(1) UU Perubahan Atas UUJN yaitu sebagai berikut :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada
Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
53
53
l. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m.membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
n. menerima magang calon Notaris.
Notaris dalam menjalankan wewenangnya untuk membuat akta otentik
berkewajiban menyimpan minuta akta75
sebagaimana disebutkan pada Pasal 16
ayat (1) huruf b, kecuali dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk
originali, yaitu :
a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. penawaran pembayaran tunai;
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. akta kuasa;
e. keterangan kepemilikan; atau
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Seorang Notaris dapat menolak untuk membuat dokumen atau akta otentik
yang diminta oleh para pihak selama adanya alasan kuat atas terjadinya penolakan
tersebut. Misalnya saja dalam pembuatan akta perjanjian sewa menyewa tanah
pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak yang tercantum dalam sertipikat
tanah atau ahli warisnya, dan tidak memiliki surat kuasa yang membuktikan
75
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menentukan minuta akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para
penghadap, saksi dan Notaris yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
Setelah minuta akta dibacakan dan ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan
Notaris, maka Notaris akan mengeluarkan salinan akta resmi untuk pegangan para
pihak.
54
54
bahwa ia mendapat kuasa untuk menyewakan tanah tersebut. Dalam pembuatan
akta, Notaris berkewajiban pula untuk menjaga kerahasiaan dari akta yang dibuat
oleh para pihak, kecuali diperintahkan lain oleh undang-undang lain bahwa
Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan
berkaitan dengan akta tersebut (hak ingkar).
Pasal 16 ayat (1) huruf m UU Perubahan Atas UUJN menentukan
kewajiban Notaris untuk membacakan akta dihadapan para penghadap, namun hal
tersebut dapat tidak dilakukan selama penghadap menghendaki agar akta tersebut
tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam
penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi,
dan Notaris. Tetapi ketentuan diatas dikecualikan terhadap pembacaan kepala
akta, komparisi, penjelasan pokok akta serta penutup akta yang dapat dibacakan
secara singkat dan jelas. Jika salah satu kewajiban yang dimaksud pada Pasal 16
ayat (1) huruf m dan ayat (7) UU Perubahan Atas UUJN tidak dipenuhi, akta yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan (hal ini tidak berlaku untuk pembuatan akta Wasiat). Notaris yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf l UU Perubahan Atas UUJN dapat dikenakan sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
55
55
Adapun larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Notaris diatur
dalam Pasal 17 UU Perubahan Atas UUJN sebagai berikut :
(1) Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenakan sanksi berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
mengatur tentang pemberhentian Notaris sebagai berikut :
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. permintaan sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau
e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
Notaris yang telah berumur 65 tahun dapat memperpanjang kembali masa
jabatannya sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.
56
56
2.2 Tinjauan Umum Akta Otentik
Notaris berwenang untuk membuat akta otentik selama akta bersangkutan
tidak ditugaskan pada pejabat lain menurut undang-undang, dimana akta otentik
tersebut berfungsi sebagai alat bukti dikemudian hari. Pasal 1865 KUHPerdata
menentukan : “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak
ataupun guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain dengan menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.” Melihat rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan
apabila seseorang ingin meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain
maka orang tersebut diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut. Alat bukti
adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan
baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.76
Pasal 1866
KUH Perdata menyebutkan alat-alat bukti terdiri atas:
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Alat bukti tulisan dalam KUH Perdata terbagi atas 2 macam yaitu sebagai
berikut:
1. Akta;
2. Tulisan atau surat-surat lain.77
76
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian
Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73.
77
Mohamad Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,
PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 99.
57
57
Akta menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk
dipakai sebagai bukti, dan untuk itu dipergunakan oleh yang orang, untuk
keperluan siapa surat itu dibuat.78
Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah
surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.79
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia akta adalah surat tanda
bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan dan sebagainya)
tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan
dibuat dan disangka oleh pejabat resmi.80
Alat bukti berupa tulisan atau surat-surat lain umumnya pembuatannya
dilakukan secara sepihak, misalnya : surat tanda terima pembayaran (kwitansi),
surat tanda terima penyerahan barang, wesel, pembukuan, polis asuransi dan
sebagainya. Alat bukti berupa surat ini dalam persidangan di pengadilan hanyalah
dijadikan sebagai alat bukti penunjang dan bukan merupakan alat bukti pokok
dalam suatu sengketa, kecuali dalam sengketa tersebut tidak terdapat alat bukti
lain yang sah maka surat biasa tersebut dijadikan suatu alat bukti pokok ditambah
dengan alat bukti sumpah.81
Akta yang dibuat oleh pegawai umum yang berwenang yang nantinya
dijadikan sebagai suatu alat bukti tertulis di pengadilan terbagi atas 2 bentuk yaitu
sebagai berikut:
78
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 99.
79
Sudikno Mertokusumo II, Op.Cit, hal. 116.
80
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op.Cit, hal. 82.
81
Sarwono, Op.Cit, hal. 250.
58
58
1. Akta Otentik
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata adalah “suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya”. Dari pengaturan pasal tersebut pegawai umum yang dimaksud
adalah sama dengan pejabat umum. Habib Adjie menyebutkan bahwa istilah
pejabat umum merupakan terjemahan dari kata Openbare Ambtenaren yang
terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 KUH Perdata.82
Sehingga yang
dimaksud sebagai pejabat umum dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1 angka 1 UU
Perubahan Atas UUJN adalah sama dengan yang dimaksud sebagai pegawai
umum dalam Pasal 1868 KUH Perdata, sebagai pejabat yang diberi kewenangan
oleh undang-undang untuk melaksanakan sebagai fungsi publik dari negara
dengan tugas pokok membuat akta otentik khusus dalam lingkup perdata dan
kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Dengan demikian, pegawai
umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata adalah Notaris sebagai
pejabat umum.
Adapun beberapa unsur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pembuatan akta otentik sebagaimana menurut Pasal 1868 KUH Perdata adalah
sebagai berikut :
1. Suatu akta harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-
undang artinya jika bentuknya tidak sesuai dengan yang telah ditentukan
82
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 12-13.
59
59
oleh undang-undang maka salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi
ini berarti akta tersebut tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang
pejabat umum.
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
di tempat di mana akta itu dibuat.83
Sehubungan dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris, Notaris memiliki
wewenang meliputi empat hal yaitu :
a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;
Notaris berwenang dalam membuat akta otentik sepanjang tidak
dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, Notaris juga dapat membuat
akta disamping akta tersebut dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain.84
Hal ini berarti wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai
wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang
terbatas sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 15 UU Perubahan
Atas UUJN. Wewenang ini merupakan suatu batasan agar Notaris tidak
melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut.
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk
kepentingan siapa akta tersebut dibuat;
Notaris berwenang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat. Pada umumnya Notaris dapat membuat akta untuk setiap
orang, namun untuk tetap menjaga netralitas sebagai seorang Notaris,
83
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 107-108.
84
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 35.
60
60
maka terdapat beberapa batasan yang diatur dalam Pasal 52 UUJN yaitu
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris
baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam
garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk
diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan
kuasa.85
Apabila Notaris melanggar ketentuan pasal tersebut maka secara
otomatis akta notaris tersebut akan menjadi akta dibawah tangan.
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta
tersebut dibuat;
Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta tersebut
dibuat.86
Pasal 18 UUJN menyebutkan :
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi
dari tempat kedudukannya.
Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat
kedudukannya dan Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan
jabatan di luar tempat kedudukannya seperti diatur pada Pasal 17 UU
Perubahan Atas UUJN, akan tetapi ini terkecuali pada akta-akta tertentu
misalnya saja Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar
85
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 36.
86
Habib Adjie II, Loc.Cit.
61
61
Biasa suatu Perseroan Terbatas, Akta Penarikan Undian Berhadiah dan
lain-lain.
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
tersebut.
Notaris tidak dapat membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat
dari jabatannya, demikian juga notaris tidak boleh membuat akta sebelum
ia memangku jabatannya (sebelum ia diambil sumpahnya).87
Akta Notaris sebagai suatu akta otentik terbagi lagi menjadi 2 bentuk yaitu
sebagai berikut:
1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten).
Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang
diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat
serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak
yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini
adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab penuh atas
pembuatan akta.88
Dalam pembuatan akta pejabat/akta relaas tidak menjadi
masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk
menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat
Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang
hadir dalam rapat telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani,
maka Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham
87
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 50.
88
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 109.
62
62
atau peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum
menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta
otentik.
2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan
akta partij.
Akta partij adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi yang
menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat
akta.89
Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas
penandatanganan akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan
sah apabila salah satu pihak atau lebih tidak menandatangani akta tersebut
selama Notaris menyebutkan alasan pihak tersebut tidak menandatangani akta.
Sedangkan dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak merupakan
suatu keharusan yang menyatakan bahwa memang benar yang bersangkutan
memberi keterangan dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap
tidak menandatangani akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak
menyetujui isi perjanjian tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut
dikarenakan oleh keterbatasan fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis,
cacat, maupun sakit maka pihak tersebut akan membubuhkan cap jempolnya
89
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Loc.Cit.
63
63
dan Notaris menerangkan alasan pembubuhan cap jempol tersebut dalam akhir
akta.
Selain itu perbedaan kedua akta tersebut terletak pada pemberian
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta. Kebenaran isi akta
pejabat (ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa
akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa
menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan
bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta
itu adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu
diperkenalkan pembuktian sebaliknya.90
Pasal 38 UU Perubahan Atas UUJN menyebutkan tentang bentuk dan sifat
akta tersebut dirumuskan sebagai berikut :
(1) Setiap akta terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat:
90
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 53.
64
64
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah
perubahannya.
(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat
yang mengangkatnya.
Dilihat dari syarat-syarat tersebut di atas akta notaris merupakan akta
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh
ketentuan dan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada
prosedur yang tidak terpenuhi dan prosedur yang tidak terpenuhi tersebut dapat
dibuktikan maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan
sebagai akta yang dibawah tangan.
Akta notaris merupakan akta otentik yang merupakan suatu alat bukti yang
mengikat dan sempurna sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1870 KUH
Perdata: “suatu akta otentik memberikan diantara para pihak dan ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”. Ada beberapa alasan mengapa
akta harus dibuat otentik antara lain sebagai syarat untuk menyatakan adanya
suatu perbuatan hukum, dengan kata lain akta merupakan syarat mutlak untuk
adanya suatu perbuatan hukum tertentu, dan sebagai alat bukti atas kehendak
para pihak agar perjanjian dibuat secara notariil, misalnya perjanjian sewa
menyewa dan perjanjian kerjasama.
65
65
Sudikno Mertokususmo menjelaskan 2 (dua) fungsi akta otentik sebagai
berikut:
1. Fungsi Formil (formalitas causa) yang berarti sebuah akta otentik
berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu
perbuatan hukum, maka perbuatan hukum tersebut harus dituangkan dalam
sebuah akta otentik, sehingga akta merupakan syarat formil untuk adanya
suatu perbuatan hukum.
2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa suatu akta otentik dibuat
dengan sengaja untuk dijadikan pembuktian dikemudian hari, sifat
tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta otentik tidak membuat
sahnya perjanjian, tetapi hanyalah dapat digunakan sebagai alat bukti
dikemudian hari.91
Melihat fungsinya sebagai alat bukti maka akta otentik mempunyai 3
kekuatan pembuktian yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Kekuatan pembuktian lahiriah artinya akta itu dengan sendirinya
mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta
otentik. Dilihat dari lahirnya telah sesuai dengan aturan hukum yang sudah
ditentukan mengenai syarat akta otentik maka akta tersebut berlaku sebagai
akta otentik sampai ada yang membuktikan sebaliknya bahwa akta tersebut
bukan akta otentik secara lahiriah.92
Dalam hal beban pembuktian ada pada
pihak yang menyangkalnya keotentikan akta tersebut. Parameter yang
91
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 114-115.
92
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 116.
66
66
menentukan akta notaris sebagai akta otentik adalah tanda tangan Notaris
yang bersangkutan, baik pada minuta maupun salinan akta.
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).
Kekuatan pembuktian formil artinya akta otentik itu membuktikan
bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar
merupakan uraian kehendak pihak-pihak, itulah kehendak pihak-pihak yang
dinyatakan dalam akta itu oleh atau dihadapan Pejabat yang berwenang
dalam menjalankan jabatannya.93
Akta notaris pada dasarnya harus
memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang tersebut dalam
akta betul-betul dilakukan atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap kepada Notaris pada saat yang tercantum dalam akta sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan dalam pembuktian akta. Dalam arti
formil akta otentik menjamin kebenaran :
- tanggal ;
- tanda tangan ;
- komparan, dan ;
- tempat akta dibuat.
Suatu akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu
yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat
umum dalam menjalankan jabatannya. Akta di bawah tangan tidak
mempunyai kekuatan formil, terkecuali bila si penandatangan dari surat/akta
itu mengakui kebenaran tanda tangannya.
93
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 116-117.
67
67
3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).
Kekuatan pembuktian material artinya bahwa secara hukum (yuridis) isi
dari akta itu telah membuktikan keberadaannya sebagai yang benar terhadap
setiap orang, yang membuat atau menyuruh membuat akta itu sebagai tanda
bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapat
hak darinya).94
Jadi kekuatan pembuktian material ini merupakan kepastian
dari materi akta dan merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku untuk
umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Kekuatan pembuktian ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870, Pasal 1871 dan Pasal 1875 KUH
Perdata. Oleh karena itu akta otentik berlaku sebagai alat bukti sempurna dan
mengikat pihak (pihak-pihak) yang membuat akta itu. Dengan demikian
siapapun yang membantah kebenaran akta otentik sebagai alat bukti, maka ia
harus membuktikan kebalikannya.
Ketiga kekuatan pembuktian diatas merupakan kesempurnaan akta notaris
sebagai akta otentik, apabila dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa ada
salah satu aspek yang tidak terpenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.95
Akta otentik
yang dibuat oleh Notaris dibuat dalam bentuk minuta akta (asli akta) yang
ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris sendiri disimpan oleh
Notaris untuk dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi suatu
94
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 118.
95
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Loc.Cit.
68
68
sengketa atau permasalahan, sedangkan akta yang diberikan kepada kliennya
adalah berupa salinan dari minuta akta tersebut.
2. Akta Di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat bukan dihadapan Notaris.
Hal ini biasa dilakukan karena para pihak tidak mau repot dan sudah saling
percaya atar satu sama lainnya. Dalam Pasal 1874 KUH Perdata disebutkan
bahwa sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan
rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang
pegawai umum. Jadi akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat
oleh pihak-pihak sendiri dengan kesepakatan para pihak, tidak dibuat oleh
pejabat umum, yang oleh para pihak digunakan sebagai alat bukti telah
terjadinya suatu perbuatan hukum.96
Akta yang dibuat di bawah tangan
mempunyai kekuatan pembuktian yang sah jika pembuat akta atau para pihak
mengakui isi akta serta tanda tangan yang mereka bubuhkan pada akta tersebut.
Pada pembuatan akta di bawah tangan Notaris tidak bertanggung jawab terhadap
isi dari kesepakatan atau perjanjian. Notaris hanya bertugas melakukan
legalisasi dan pencatatan dari akta di bawah tangan yang dibawa ke Notaris.
Akta di bawah tangan dapat terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu sebagai
berikut :
1. Akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak yang terlibat tanpa
campur tangan dari Notaris.
96
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 103.
69
69
Akta di bawah tangan yang murni dibuat oleh para pihak sendiri
tanpa adanya campur tangan Notaris tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna. Dimana apabila salah satu pihak tidak mengakui isi
dan tanda tangan dalam perjanjian di bawah tangan tersebut, maka pihak
yang satunya tidak dapat menuntut pihak yang ingkar ke pengadilan
karena perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti.
2. Akta di bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan
lalu didaftarkan ke pihak Notaris.
Akta di bawah tangan ini pembuatan dan penandatangannya
sepenuhnya dilakukan oleh para pihak tidak dihadapan Notaris serta tidak
melibatkan Notaris. Namun setelah akta di bawah tangan tersebut
disepakati dan selesai maka para pihak datang ke Notaris guna
mendaftarkan akta tersebut pada kantor Notaris (waarmerking).
Akta di bawah tangan yang sudah jadi dan didaftarkan di kantor
Notaris tanggung jawabnya sepenuhnya ada pada para pihak baik itu
tentang isi maupun tanda tangan atau cap jempolnya, sedangkan Notaris
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban tentang kebenaran baik tentang
subjek hukum maupun tanda tangannya karena Notaris hanya
mendaftarkan akta yang sudah jadi tersebut. Akta di bawah tangan yang
telah di waarmeking di kantor Notaris akan memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna selama kedua belah pihak dalam akta tersebut tidak
menyangkal tentang isi dan tanda tangan pada akta tersebut, sedangkan
apabila salah satu pihak mengingkari dan atau tidak mengakui adanya akta
70
70
di bawah tangan tersebut dan menyangkal bahwa tanda tangan dalam akta
tersebut bukanlah tanda tangannya, maka kekuatan pembuktian akta
tersebut menjadi lemah.97
3. Akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris.
Akta ini pada umumnya dibuat oleh para pihak yang
berkepentingan atas kesepakatan para pihak tersebut. Para pihak yang
memiliki kepentingan datang kehadapan Notaris membawa akta di bawah
tangan tersebut untuk nantinya melakukan penandatanganan dihadapan
Notaris (legalisasi). Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah
tangan yang dibacakan oleh Notaris pada waktu itu juga untuk menjamin
kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Akta tersebut terlebih
dahulu isinya dibacakan oleh Notaris kemudian ditandatangani oleh para
pihak dihadapan Notaris, setelah itu Notaris memberi nomor legalisasi dan
akta tersebut dicatatkan pada buku khusus daftar legalisasi. Hal ini
mungkin terlihat serupa dengan pembuatan Akta Notaris, yang
membedakannya adalah akta di bawah ini dibuat sepenuhnya oleh para
pihak tanpa campur tangan Notaris, sedangkan akta Notaris pada proses
pembuatannya mengikutsertakan Notaris.
Pertanggungjawaban mengenai isi dan ketentuan-ketentuan dalam
akta terdapat pada pihak yang membuatnya sedangkan Notaris tanggung
jawabnya hanya sebatas pada kebenaran tanda tangan atau cap jempol
dalam akta di bawah tangan tersebut memang benar merupakan tanda
97
Sarwono, Op.Cit, hal. 248-249.
71
71
tangan atau cap jempol pihak yang berkepentingan berdasarkan tanda
pengenal yang dimilikinya (KTP).98
Kekuatan pembuktian legalisasi
antara lain terletak pada tanda tangan atau cap jempol dari orang yang
datang ke hadapan Notaris, sehingga tanda tangan atau cap jempol dalam
akta di bawah tangan yang dilegalisasi tidak dapat disangkal kecuali
Notaris dituduh memberikan suatu keterangan palsu.99
Sehingga suatu akta
bawah tangan yang telah dilegalisasi memiliki kekuatan hukum yang
mutlak sebagai suatu alat bukti di Pengadilan.
2.3 Tinjauan Umum Tanda Tangan
a. Pengertian dan Sejarah Tanda Tangan
Tanda tangan merupakan suatu perbuatan yang sangat lazim dilakukan
pada kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam
melakukan perbuatan hukum dihadapan Notaris. Tanda tangan sendiri penting
keberadaan dalam pembuatan akta otentik. Dimana dalam pembuatan akta otentik
dihadapan Notaris pembubuhan tanda tangan yang dilakukan oleh para pihak
berarti orang yang menandatangani mengetahui dan menyetujui isi dari akta
tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta
tersebut.
Menandatangani (onderteken) secara etimologis yaitu memberi tanda
(teken) di bawah sesuatu. Menurut Mr. C. J.J. De Joncheere tanda tangan tidak
dapat berdiri sendiri, ini diteliti berdasarkan kata onderteken yaitu membuat tanda
di bawah. Di bawah ini berarti di bawah suatu tulisan. Menurut Tan Thong Kie,
98
Sarwono, Op.Cit, hal.248.
99
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal.106.
72
72
tanda tangan adalah suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penanda
tangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan
menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.100
Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan tanda tangan adalah lambang
nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda
pribadi.101
Menurut Scheltema definisi tanda tangan adalah suatu tanda tangan
adalah keseluruhan tanda-tanda huruf yang dibubuhkan dalam tanda tangan yang
mengindividualisir penanda tangan dalam batas tertentu.102
Dari pendapat tersebut
dapat diartikan bahwa tanda tangan dengan hanya nama kecil atau dengan paraf
atau stempel, yang menggambarkan faxsimile dari tanda tangan dapat dianggap
sebagai tanda tangan yang sah sebagai pengindividualisir si penanda tangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo penandatanganan ialah membubuhkan
nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf yaitu singkatan dari
tanda tangan saja belum dirasa cukup.103
Keharusan penadatanganan ini bertujuan
untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya atau akta yang dibuat
oleh orang lain. Jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk
mengindividualisir sebuah akta.104
Tanda tangan sendiri sudah digunakan sejak lama oleh bangsa Saks
(penghuni tertua Inggris), mereka mempunyai kebiasaan untuk menandatangani
100
Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 473.
101
Anonim, yang diakses pada tanggal 01 Agustus 2013, Definisi Tanda
Tangan, http://www.artikata.com/arti-353196-tanda+tangan.html
102
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 204.
103
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 152.
104
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 151.
73
73
dengan menulis namanya (bagi mereka yang dapat menulis) ditambah dengan
membuat sebuah tanda salib (kruis, cross), sedangkan bagi mereka yang tidak bisa
menandatangani hanya akan membubuhkan tanda salib saja. Pada zaman Romawi
suatu kehendak seseorang tidak ditetapkan dalam bentuk suatu tulisan, melainkan
secara lisan dihadapan saksi-saksi. Kehendak orang yang pertama kali dibuat
dalam bentuk tulisan adalah surat wasiat dan dalam surat tersebut juga tidak
menggunakan tanda tangan baik dari pembuat wasiat maupun saksi-saksi. Pada
saat itu digunakan berupa segel, dimana segel tersebut memberikan autensitas
kepada wasiat tersebut. Segel sendiri sudah lama dipakai sejak jaman kuno
diantara orang-orang Parsi dan orang-orang Yahudi. Kaisar Romawi merupakan
orang pertama yang mengatakan bahwa segel saja tidak cukup untuk membuat
suatu tulisan menjadi otentik, sebagaimana hal ini telah diatur juga dalam undang-
undang Theodosius II pada tahun 1943.105
Hal ini terjadi pula di Perancis dahulu kesaksian orang lebih kuat
digunakan dibandingkan alat bukti tertulis, namun sesuai perkembangan jaman
hal tersebut berubah dimana alat bukti tertulis menjadi lebih penting. Dalam akta
notaris di Perancis juga tidak dibubuhi tanda tangan, yang menjadi bukti
autensitas akta tersebut adalah segel kerajaan (le scel royale) yang dilekatkan oleh
Notaris setelah akta tersebut diselesaikan. Karena banyak pemalsuan dan
penipuan yang dapat dilakukan melalui segel tersebut maka raja Perancis Philips
den Schoonen mengeluarkan ordonansi tahun 1304 yang memerintahkan para
Notaris untuk menandatangani akta mereka.
105
Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 475.
74
74
Hanya tanda tangan Notaris yang dapat digunakan untuk membuktikan
keautensitasan akta notaris ini berlangsung sampai tahun 1560. Pada tahun yang
sama keluarlah Ordonansi Karel IX yang menetapkan bahwa tanda tangan notaris
saja tidak cukup membuat suatu akta menjadi otentik, melainkan para pihak
diwajibkan turut serta menandatangani akta. Ketentuan ini tetap berlaku sampai
diundang undangkannya Undang-undang 25 Ventose an (tahun) XI yang
mengatur Notariat dan undang-undang ini menjadi cikal bakal munculnya De
Notariswet di Belanda.
Indonesia sendiri serupa dengan negara-negara tersebut diatas dimana
pada awalnya digunakan perjanjian secara lisan dan seiring perjalanan waktu
digunakan perjanjian tertulis sebagai alat bukti yang harus ditanda tangani oleh
para pihak, sedangkan bagi orang yang tidak bisa menandatangani akan
membubuhkan cap jempol pada perjanjian tertulis tersebut.
Menurut De Joncheere membahas bentuk-bentuk tanda tangan sebagai
berikut :
1. Tanda tangan tersebut dibuat oleh seseorang secara menulis perlahan lahan,
seolah-olah dilukiskan atau berupa coretan.
2. Tanda tangan dibuat dengan mesin cetak, termasuk stempel tanda tangan.
3. Tanda tangan yang dibuat klise (misalnya tanda tangan di uang kertas).
4. Tanda tangan yang dibuat melalui bantuan orang lain. 106
Hanya tanda tangan yang dibuat oleh seseorang secara menulis perlahan-lahan,
seolah-olah dilukiskan atau berupa coretan yang diakui di Indonesia, karena tidak
ada seorang Notaris pun di Indonesia yang mengakui penghadap yang
menandatangani akta dengan menggunakan stempel ataupun klise. Sedangkan
106
Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 475-476.
75
75
tanda tangan yang dibuat melalui bantuan orang lain akan menyebabkan
perbedaan pada tangan tangan yang dibubuhkan pada saat itu.
b. Dasar Hukum Tanda Tangan
Indonesia sendiri sudah memiliki pengaturan hukum yang mengatur
tentang tanda tangan. Pada mulanya tanda tangan diatur dalam Reglement of Het
Notaris Ambt In Indonesia atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Pasal 28 ayat (3)
PJN menentukan bahwa semua akta notaris harus ditandatangani oleh masing-
masing penghadap, segera setelah selesai pembacaan akta itu. Akta itu juga harus
ditanda tangani oleh saksi intrumentair107
dan oleh Notaris sendiri. Biasanya tanda
tangan di dalam akta notaris tidak dapat dibaca, namun tanda tangan tersebut tetap
dianggap sah apabila tanda tangan tersebut benar yang dipergunakan oleh dan
berasal dari yang bersangkutan sebagaimana yang disebutkan Notaris dalam akta.
Seiring dengan perkembangan jaman Peraturan Jabatan Notaris (PJN)
yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat pada saat ini,
maka diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
107
Saksi instrumentair adalah saksi yang bertugas sepanjang mengenai akta
notaris, mereka hadir pada saat pembuatan akta dalam arti pembacaan dan
penandatangan dari akta itu serta ikut menandatangani akta tersebut. Saksi
intrumentair ini harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan pada Pasal 40
ayat (2) UU Perubahan Atas UUJN sebagai berikut :
a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah
menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf;
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping
dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. Anonim, yang
diakses pada tanggal 20 November 2013, Catatan Kuliah Peraturan
Jabatan Notaris, http://notariatundip2011.blogspot.com/2011/11/catatan-
kuliah-peraturan-jabatan.html.
76
76
Notaris (UUJN), maka ketentuan tanda tangan pada PJN tersebut sudah tidak
berlaku lagi. Penandatanganan sebuah akta otentik diatur dalam Pasal 44 ayat (1)
UUJN. Saat ini UUJN telah diubah dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UU Perubahan Atas UUJN). Pada UU Perubahan Atas UUJN
mengatur juga mengenai pembubuhan tanda tangan pada akta otentik dengan
ketentuan yang sama dengan Pasal 44 ayat (1) UUJN, sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU Perubahan Atas UUJN sebagai berikut :
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir akta.
Pasal 44 ini memberikan suatu kewajiban bagi para penghadap untuk
menandatangani akta setelah dibacakan oleh Notaris, dengan pengecualian apabila
para pihak tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka penghadap harus
menyebutkan alasan yang nantinya akan dinyatakan secara tegas dalam akta
tersebut.
Keharusan adanya tanda tangan dalam sebuah akta tidak lain bertujuan
untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain, jadi fungsi tanda tangan
adalah untuk memberikan ciri atau mengindividualisir suatu akta, karena
identifikasi dapat dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta
tersebut. Dalam pembuatan akta pembubuhan tanda tangan sering dilihat dalam
penutup akta dengan klausul yang menyebutkan : “Setelah saya, Notaris
membacakan akta ini kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para
77
77
penghadap, para saksi dan saya, Notaris menandatangani akta ini”. Apabila para
pihak yang hadir tidak dapat membubuhkan tanda tangannya pada akta
dikarenakan buta aksara, keterbatasan fisik dan lain sebagainya, maka pada
praktiknya biasanya digunakan cap jempol ibu jari tangan kirinya sebagai tanda
tangan dengan menyebutkan alasan-alasannya yang jelas pada akhir akta.
Seperti diketahui teknologi saat ini telah berkembang sangat pesat, ini juga
menyebabkan perkembangan pada penggunaan tanda tangan. Saat ini telah
dikenal dengan yang disebut tanda tangan elektronik sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) mengatur tanda tangan elektronik pada Pasal 1 angka 12 UU
ITE adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
2.4 Tinjauan Umum Cap Jempol
Penggunaan cap jempol pada praktek kenotariatan dilakukan apabila para
pihak tidak dapat membubuhkan tanda tangan dalam akta otentik. Penggunaan cap
jempol ini sendiri telah digunakan sejak jaman sebelum kemerdekaan, ini
dikarenakan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak dapat baca tulis
dikarenakan selama masa penjajahan sampai kemerdekaan mereka tidak
mendapatkan pendidikan yang layak, sedangkan pada saat itu kebutuhan terhadap
alat bukti tertulis sudah menjadi suatu hal yang lazim dipergunakan sehingga satu
satunya cara untuk membuat perjanjian tersebut sah adalah dengan menggunakan
cap jempol tangan kirinya.
78
78
Cap jempol sendiri sangat jarang dibahas dalam literatur-literatur. Cap
jempol atau juga dikenal dengan sidik jari merupakan garis pada kulit jari-jari
yang tidak akan berubah dalam jangka waktu apapun dan antara orang yang satu
dengan yang lainnya pastinya memiliki cap jempol yang berbeda. Sidik jari
merupakan struktur genetika dalam bentuk rangka yang sangat detail dan tanda
yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dihapus atau diubah. Sidik jari
dapat diibaratkan sebagai barcode diri manusia yang menandakan tidak ada
pribadi sama.108
Sidik jari (fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik
yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan
pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki.109
Manusia terlahir dengan kode genetis ketika dilahirkan. Salah satu struktur
genetis yang relatif dan menetap yang ada pada manusia adalah sidik jari dan
retina mata. Struktur genetis merupakan cetak biru (blue print) kekuatan atau
kelemahan seseorang serta merupakan suatu “kode” yang membedakan antara
individu yang satu dengan individu lainnya.110
Pola pembentukan sidik jari pada
manusia muncul sejak bayi masi dalam kandungan pada usia 13 minggu dan akan
berkembang secara sempurna pada usia 24 minggu. Jumlah garis sidik jari pada
seseorang tidak akan pernah berubah sejak orang tersebut dilahirkan, karena pola
sidik jari ini dipengaruhi oleh DNA pada orang tersebut.111
108
Ifa H. Misbach, 2010, Dahsyatnya Sidik Jari Menguak Bakat dan
Potensi untuk Merancang Masa Depan Melalui Fingerprint Analysis, Visimedia,
Jakarta, hal. 47.
109
Anonim, yang diakses pada tanggal 20 November 2013, Sidik Jari,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari.
110
Ifa H. Misbach, Op.Cit, hal. 12.
111
Ifa H. Misbach, Op.Cit, hal. 19.
79
79
Goerge Wilton pada tulisannya Fingerprint and Identifikasi Magazine
terbitan Desember 1962 menjelaskan bagaimana cara sidik jari dapat digunakan
untuk memastikan identifikasi penjahat. Selain itu seorang ahli dari Inggris, Henry
Faulds yang telah menarik perhatian umum dengan gambar gambarnya (papillary
ridge design) dalam suatu sidik jari yang dapat mengidentifikasi orang-orang yang
berbeda. Salah satunya diterbitkan foto sidik jari seseorang pada tahun 1905 dan
pada tahun 1962, kedua sidik jari tersebut sama persis dan tidak berubah.112
Hal
ini membuktikan bahwa sidik jari seseorang tidak akan berubah dari waktu ke
waktu walaupun itu terlampau puluhan tahun lamanya.
Terdapat beberapa pengaturan yang mengatur tentang cap jempol yaitu
pada Pasal 1874 ayat (2) pada KUH Perdata menyebutkan sebagai berikut :
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan dibawah tangan dipersamakan suatu
cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seseorang
notaris atu pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata
bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu,
dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pegawai tadi.
Selain itu pengaturan cap jempol serupa dengan Pasal diatas diatur juga dalam
Rechtsgeling Buitengeswesten 286 ayat 2 dan 3. Pada Pasal 156 Reglement op de
Rechtsvondering disebutkan sebagai berikut :
Apabila para pihak tidak mencapai persetujuan mengenai tanda tanda yang
dibandingkan satu sama lain, maka hakim tidak akan menerima tanda tanda
lain dari pada :
(1) akta-akta autentik
(2) dan seterusnya;
(3) sidik jari, yang harus dibubuhkan oleh pihak itu di hadapan dan atas
petunjuk dari hakim atau hakim komisaris. 113
112
Tan Thong Ki, Op.Cit, hal. 479.
113
Tan Thong Ki, Op.Cit, hal. 481.
80
80
Staatsblad 1916-46 jo 43 menjelaskan mengenai waarmerken van
onderhandsche akten enz, dimana dalam peraturan ini terdapar aturan-aturan
mengenai waarmeken atau pendaftaran tanda tangan atau sidik jari. Dalam
undang-undang ini yang diatur hanya kekuatan sidik jari sebagai alat bukti bukan
cara membubuhkannya, keistimewaannya, apa yang harus diperhatikan dan syarat
yang harus dipenuhi agar sidik jari tersebut dapat dipergunakan sebagai tanda
tangan.114
Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan Undang-Undang Nomor 30
tahun 2003 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tidak mengatur tentang cap jempol.
Peraturan Jabatan Notaris Pasal 28 ayat (3) menyebutkan memberikan jalan keluar
bagi orang-orang buta huruf atau orang-orang lain yang karena kecelakaan atau
sebab-sebab lain tidak dapat membubuhkan tanda tangannya di atas akta, agar
mereka juga dapat membuat akta partij (partij acte) dihadapan notaris”. 115
Dalam
peraturan ini cap jempol tidak diakui karena bukan merupakan tanda-tanda huruf,
sehingga karenanya tidak memenuhi persyaratan penandatanganan nama.
Sehingga apabila penghadap tidak dapat menandatangani akta diakibatkan buta
huruf, kecelakaan atau sebab-sebab lain maka penghadap harus menerangkan
alasan tersebut kehadapan Notaris yang kemudian oleh Notaris disebutkan secara
tegas dalam akta.
Pasal dalam PJN ini diimplementasikan ke dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN
yang kemudian mengalami perubahan menjadi Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan
Atas UUJN yang menentukan segera setelah akta dibacakan, akta tersebut
114
Tan Thong Ki, Loc.Cit.
115
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 211.
81
81
ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada
penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan
alasannya. Padahal pada praktek kenotariatan apabila pihak yang membuat akta
otentik dihadapan Notaris tidak dapat menandatangani akta dikarenakan sakit,
cacat fisik, buta aksara dan lain sebagainya, maka dipergunakanlah cap jempol
tangan kirinya sebagai tanda tangan pada akta.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 sebagai Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris mengatur beberapa
ketentuan tambahan salah satunya adalah pengaturan tentang sidik jari yang diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c yang menentukan : Notaris wajib melekatkan surat
dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta. Dengan ketentuan pasal
tersebut berarti telah adanya pengakuan terhadap sidik jari.
Sidik jari yang melekat pada masing-masing individu memiliki beberapa
keunikan karakteristik yaitu sebagai berikut:
1. Sidik jari bersifat spesifik untuk setiap orang, dimana tidak ada pola sidik
jari yang sama antara satu individu dengan individu lainnya hal ini bahkan
terjadi pada anak kembar identik.
2. Sidik jari bersifat permanen, tidak pernah berubah sepanjang hayat dari
sejak lahir hingga akhir hayat pola sidik jari seseorang tetap sama.
Walaupun terdapat perubahan pada bentuk tubuh manusia, namun pola
sidik jari atau alur-alur papilar116
tidak akan berubah. Pola sidik jari dapat
116
Alur papilar adalah alur-alur yang membentuk gambar tertentu pada
kulit ujung jari jari tangan sebelah dalam. Tan Thong Ki, Op.Cit, hal. 483.
82
82
berubah hanya dikarenakan terbakar, jari terpotong atau rusak sedemikian
parah sehingga alur papilar menjadi berubah.
3. Pola sidik jari mudah untuk diklasifikasi, dimana terdapat pola pola
tertentu yang memudahkan apabila ada keperluan dengan sidik jari
tersebut.117
Sidik jari memiliki fungsi sebagai alat forensik identifikasi, yaitu
menentukan perbedaan identitas seseorang melalui pola sidik jari yang dimiliki
tiap individu.118
Dalam praktik kenotariatan cap jempol sebagai salah satu bagian
dari sidik jari sering digunakan apabila pihak yang hadir tidak dapat
membubuhkan tanda tangannya dalam akta otentik dikarenakan alasan-alasan
tertentu, hal ini dimaksudkan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang
lainnya.
117
Ifa H. Misbach, Op.Cit, hal. 47-48.
118
Ifa H. Misbach, Op.Cit, hal. 48.
83
83
BAB III
PENGATURAN HUKUM PENGGUNAAN CAP JEMPOL SEBAGAI
TANDA TANGAN DALAM AKTA NOTARIS
3.1 Fungsi Tanda Tangan Dalam Suatu Alat Bukti Tertulis
Setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum memerlukan suatu hal
yang dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Alat bukti adalah alat
untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh
penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.119
Dalam Hukum Acara
Perdata diatur yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam Pasal 1866 KUH
Perdata yaitu :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Alat bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama
yang digunakan dalam menyelesaikan suatu perkara perdata. Alat bukti tertulis
atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai alat pembuktian.120
Ada beberapa aspek yang
harus dipenuhi sehingga suatu tulisan atau surat dapat dikatakan sebagai alat bukti
yaitu :
119
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 73.
120
Sudikno Mertokususmo I, Op.Cit, hal. 151.
84
84
1. Sebuah tulisan atau surat terdiri dari tanda baca berupa aksara. Dalam hal ini
tidak dipermasalahkan aksara apa yang digunakan, misalnya saja : aksara
latin, arab, cina, aksara lokal (bugis, jawa, batak) dan sebagainya.
2. Agar aksara tersebut dapat menjadi suatu tulisan atau surat maka harus
disusun menjadi kalimat-kalimat sedemikian rupa sebagai ekspresi atau
pernyataan cetusan pikiran atau kehendak orang yang membuatnya.
Rangkaian kalimat ini sedemikian rupa disusun sehingga isinya dapat
dimengerti dengan jelas oleh yang membacanya sesuai dengan apa yang
dikehendaki dalam surat itu.
3. Pada umumnya ditulis pada kertas ataupun bahan lain yang ada pada saat
surat tersebut dibuat misalnya kulit kayu, bambu, kain dan lain-lain.
4. Tulisan itu ditanda tangani oleh pihak yang membuatnya. Dengan tidak
ditanda tanganinya tulisan atau surat yang dibuat oleh para pihak membuat
surat tersebut tidak sempurna sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai
alat bukti tulisan.
5. Tulisan atau surat yang dianggap sempurna sebagai alat bukti tertulis selain
terdapat tanda tangan juga mencantumkan tanggal pembuatan surat tersebut.
Walaupun dengan tidak dicantumkannya tanggal pada sebuah tulisan atau
surat tidak menyebabkan hilangnya fungsi surat tersebut sebagai alat bukti,
namun hal ini dianggap sebagai cacat yang melemahkan eksistensinya
sebagai alat bukti. Tanpa adanya tanggal menyebabkan sulit menentukan
86
85
85
kepastian pembuatannya dan penandatangannya sehingga memberi peluang
besar bagi pihak lawan untuk menyangkal kebenarannya.121
Segala sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut diatas tidak
dapat digolongkan sebagai tulisan atau surat yang berfungsi sebagai alat bukti.
Foto maupun peta bukan termasuk dalam alat bukti tulisan karena tidak
mengandung tanda baca berupa aksara atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan
tetapi tidak mengandung suatu pikiran maka tidak dapat dimasukkan sebagai alat
bukti tertulis. Jadi apabila foto dan peta ini diajukan sebagai alat bukti di
persidangan maka akan digunakan sebagai alat bukti penunjang. Seperti telah
dibahas dalam Bab II sub 2.2 Tinjauan Umum Akta Otentik, alat bukti tulisan
terbagi atas 2 bentuk yaitu :
1. Surat yang bukan akta;
2. Surat yang berupa akta yang dapat dibagi lagi atas 2 bentuk sebagaimana
bunyi Pasal 1867 KUHPerdata :
a. Akta otentik.
b. Akta di bawah tangan.
Add. 1. Surat Yang Bukan Akta
Alat bukti berupa surat bukan akta dalam persidangan di pengadilan
hanyalah dijadikan sebagai alat bukti penunjang dan bukan merupakan alat
bukti pokok dalam suatu sengketa, kecuali dalam sengketa tersebut tidak
terdapat alat bukti lain yang sah maka surat biasa tersebut dijadikan suatu alat
121
M.Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 559-561.
86
86
bukti pokok ditambah dengan alat bukti sumpah. Ini dikarenakan alat bukti
berupa tulisan atau surat-surat lain bukan akta umumnya pembuatannya
dilakukan secara sepihak, seperti surat tanda terima pembayaran (kwitansi),
surat tanda terima penyerahan barang, wesel, pembukuan, polis asuransi dan
sebagainya.
Add 2a. Akta Otentik
Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah
pihak, ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Isi
dari sebuah akta otentik dianggap benar selama tidak ada pihak lain yang
membantah kebenaran isi akta tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1868
KUH Perdata yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Panitera, Jurusita,
Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dan sebagainya.
Tulisan atau akta dari segi hukum pembuktian memiliki beberapa fungsi
yaitu :
1. Akta berfungsi sebagai syarat keabsahan suatu tindakan hukum yang
dilakukan oleh para pihak. Maksudnya adalah tindakan/perbuatan hukum
itu baru dianggap sah (sempurna) apabila telah dituangkan dalam bentuk
tertulis berupa akta. Sehingga dengan demikian tindakan tersebut menurut
hukum telah memenuhi formalitas causa.
87
87
2. Akta berfungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Ini merupakan
fungsi utama dari sebuah akta. Akta ini dibuat oleh para pihak
dimaksudkan untuk menjadi alat bukti apabila terjadi sengketa dikemudian
hari.122
Add. 2b. Akta di Bawah Tangan
Pasal 1874 KUH Perdata mengatur bahwa sebagai tulisan-tulisan
dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan,
surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain
tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. Akta di bawah
tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud
untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum. Akta di bawah tangan
merupakan suatu akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri dengan
kesepakatan para pihak, tidak dibuat oleh pejabat umum, yang oleh para pihak
digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Akta di
bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna seperti akta
otentik, apabila isi dan tanda tangan dalam akta tersebut diakui oleh pihak
yang bersangkutan.
Pembubuhan tanda tangan oleh si pembuat surat merupakan salah satu hal
yang penting dalam pembuatan alat bukti tertulis baik berupa surat bukan akta
maupun surat berupa akta otentik dan akta di bawah tangan. Seperti telah
disebutkan diatas bahwa pembubuhan tanda tangan dalam suatu tulisan atau surat
merupakan syarat yang mutlak, agar nantinya tulisan atau surat tersebut dapat
122
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 563-564.
88
88
dijadikan alat bukti dikemudian hari. Suatu surat atau tulisan yang memuat
pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani
ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna sebagai surat atau akta
sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.123
Tan Thong Kie mendefinisikan tanda tangan sebagai suatu pernyataan
kemauan pembuat tanda tangan (penanda tangan), bahwa ia dengan
membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan
itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.124
Sedangkan Scheltema
mendefinisikan tanda tangan adalah keseluruhan tanda-tanda huruf yang
dibubuhkan dalam tanda tangan yang mengindividualisir penanda tangan dalam
batas tertentu.125
Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh selama tidak ada
pihak lain yang menyangkal kebenaran isi akta tersebut. Notaris memiliki
kewenangan membuat akta otentik, akta otentik yang dibuat oleh Notaris
selanjutnya akan disebut akta notaris. Salah satu syarat mutlak agar suatu akta
otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna adalah dengan
pembubuhan tanda tangan oleh para pihak, saksi-saksi serta Notaris pada akhir
akta. Suatu akta baru dapat dikatakan sebagai akta otentik jika akta tersebut
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang adanya suatu peristiwa yang
ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Dengan demikian unsur-unsur
123
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 560-561.
124
Tan Thong Kie, Op.Cit, hal. 473.
125
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 204.
89
89
yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti
tertulis dan penandatanganan akta tersebut.
UU Perubahan Atas UUJN secara tegas mengatur tentang syarat
penandatanganan akta otentik oleh para pihak setelah akta dibacakan oleh Notaris
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir akta.
Penandatanganan ialah membubuhkan nama dari si penandatangan, sehingga
membubuhkan paraf yaitu singkatan dari tanda tangan saja belum dirasa cukup.126
Terdapat 2 fungsi tanda tangan dalam sebuah alat bukti tertulis yaitu sebagai
berikut :
1. Untuk mengindividualisir sebuah akta.
Fungsi utama dari tanda tangan adalah untuk mengindividualisir sebuah
akta. Kata mengindividualisir sendiri berasal dari kata individual yaitu
berhubungan dengan manusia secara pribadi, bersifat perseorangan.127
Dari
pengertian tersebut kata mengindividualisir diatas dapat ditafsirkan dengan
mengkhususkan suatu akta pada suatu pribadi yang ada dalam akta tersebut.
Mengindividualisir ini bisa juga disebut dengan mempersonalisasi yang berarti
membedakan orang dalam suatu akta, terdapat beberapa kemungkinan dalam
pembuatan suatu akta otentik yaitu:
126
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 152.
127
Anonim, diakses pada tanggal 1 Desember 2013,
http://kamusbahasaindonesia.org/individu/mirip#ixzz2mzlkUqN9,.
90
90
- orang/ penghadap adalah pribadi yang sama dengan jenis akta yang berbeda.
- orang/ penghadap adalah pribadi yang berbeda dengan jenis akta yang sama.
- orang/ penghadap adalah pribadi yang sama dengan jenis akta yang sama.
- orang/ penghadap adalah pribadi yang berbeda dengan jenis akta yang
berbeda.
Setiap pribadi atau orang tentunya dimungkinkan memiliki beberapa
kesamaan, dengan adanya tanda tangan tentunya akan memberikan ciri yang
berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Seperti kita ketahui di dunia
ini sering sekali ditemukan kesamaan baik berupa ciri-ciri fisik maupun nama
serta alamat antara orang yang satu dengan yang lain, akan tetapi hal tersebut
bukan berarti orang yang bernama sama tersebut merupakan 1 (satu) pribadi.
Dalam pembuatan sebuah akta otentik kerap terjadi kesamaan nama antara
para pihak, alamat para pihak, pekerjaan dan lain sebagainya, untuk
menyiasati hal tersebut maka diwajibkan membubuhkan tanda tangan pada
akhir akta sebagai pembeda antara akta yang satu dengan akta yang lainnya.
Tanda tangan sebagai suatu tanda tentunya akan berbeda saat dibubuhkan oleh
individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hal-hal yang diindividualisir
atau dibedakan oleh tanda tangan dalam sebuah akta otentik adalah nama,
tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, alamat serta identitas
lainnya yang melekat dari si penandatangan tersebut sebagaimana disebutkan
pada komparisi akta. Sehingga dengan adanya penandatangan ini, maka dapat
dibedakan antara akta yang satu dengan akta yang dibuat oleh orang lain.128
128
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 151.
91
91
Tanda tangan sebagai pengindividualisiran akta dapat diartikan sebagai
mengelompokkan atau memberikan ciri/pembeda antara akta yang satu
dengan akta yang lain dan juga dapat diartikan dengan mempersonalisasikan
yaitu memberikan ciri/pembeda orang-orang (penghadap) dalam akta tersebut,
sehingga dapat dibedakan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
2. Dengan adanya tanda tangan melambangkan adanya persetujuan.
Dibubuhkannya sebuah tanda tangan dalam alat bukti tertulis baik berupa
akta otentik maupun akta di bawah tangan, itu berarti pihak yang
membubuhkan tanda tangan tersebut telah memberikan persetujuannya atas isi
perjanjian dalam akta tersebut. Dan tentunya secara otomatis isi dari akta itu
mengikat para pihak dan para pihak wajib menjalankan isi dari akta tersebut.
Pitlo mengemukakan terdapat berbagai bentuk tanda tangan yang
dibenarkan oleh hukum antara lain:
1. Menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil.
2. Tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup.
3. Ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel huruf
cetak.
4. Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penanda tangan dengan
syarat:
a. Orang yang mencantumkan kopi itu, berwenang untuk itu dalam hal ini
orang itu sendiri.
b. Orang yang mendapat kuasa atau mandat dari pemilik tanda tangan.
5. Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan mempergunakan karbon.129
Adapun penggunaan karbon saat ini dilakukan demi efesiensi
penandatangan surat atau akta yang terdiri dari beberapa lembar yang isinya sama,
hanya pada bagian pertama saja yang ditandatangani secara langsung. Sedangkan
pada bagian kedua merupakan duplikat dengan cara pemasangan karbon, hal yang
129
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 561.
92
92
seperti ini juga dibenarkan oleh hukum. Yang tidak termasuk atau tidak diakui
keabsahannya sebagai tanda tangan adalah tanda tangan yang terdiri dari :
1. Hanya berupa huruf atau abjad saja.
2. Berbentuk menyerupai tanda silang atau garis lurus.
3. Tanda tangan yang bukan dituliskan oleh tangan penandatangan sendiri,
melainkan melalui stempel yang mencetak tanda tangan si penandatangan.
4. Tanda tangan berupak ketikan komputer.130
Para pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dalam akta
otentik dihadapan Notaris akan membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya
pada akta otentik. Dilihat dari pendekatan histori, cap jempol telah digunakan
sejak jaman sebelum kemerdekaan, dimana pada saat itu masih banyaknya
masyarakat Indonesia yang buta aksara, diakibatkan tidak mendapat pendidikan
yang layak, sehingga tidak dapat membubuhkan tanda tangannya. Pada masa
penjajahan sampai kemerdekaan masih banyak masyarakat tidak mendapatkan
pendidikan yang layak, sedangkan pada saat itu dalam melakukan perbuatan
hukum kerapkali dibuat suatu perjanjian tertulis. Agar masyarakat tetap dapat
membuat suatu perjanjian tertulis maka digunakanlah cap jempol ibu jarinya
sebagai bentuk tanda persetujuannya terhadap isi perjanjian tersebut. Dengan
demikian tanda tangan dapat digantikan oleh yang dinamakan “surrogaat”
menurut hukum :
1. Dalam hal tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena yang
bersangkutan buta huruf; dan
2. dalam hal berhalangan untuk membubuhkan tanda tangannya sekalipun
yang bersangkutan buta huruf, di dalam mana termasuk semua hal atau
keadaan, dimana seseorang karena suatu keadaan, baik yang bersifat tetap
maupun sementara, tidak dapat membubuhkan tanda tangannya di bawah
akta tersebut, walau ia memiliki kemampuan untuk menulis.131
130
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 562.
131
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 212.
93
93
Cap jempol sebagai salah satu bagian dari sidik jari memiliki fungsi
sebagai alat forensik identifikasi, yaitu menentukan perbedaan identitas seseorang
melalui pola sidik jari yang dimiliki tiap individu.132
Dalam praktik kenotariatan
cap jempol ini sering digunakan apabila pihak yang hadir tidak dapat
membubuhkan tanda tangannya dalam akta otentik dikarenakan sakit, cacat, buta
aksara dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mengindividualisir akta
yaitu membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya serta merupakan
tanda persetujuan si pembubuh cap jempol atas isi dari perjanjian tersebut.
Dengan demikian suatu cap jempol yang dibubuhkan dalam suatu akta otentik
memiliki fungsi yang sama dengan tanda tangan yaitu untuk mengindividualisir
suatu akta serta mempersonalisasi penghadap dalam akta otentik tersebut dan cap
jempol ini juga berfungsi sebagai tanda persetujuan si pembubuh cap jempol atas
isi akta tersebut.
3.2 Pengaturan Hukum Penggunaan Cap Jempol Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Cap jempol sudah sangat lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
cap jempol atau yang biasa disebut sidik jari sering digunakan sebagai alat
forensik identifikasi seseorang, apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan
pidana ataupun merupakan korban dari tindak pidana tertentu maupun akibat
peristiwa lainnya. Dalam praktik kenotariatan cap jempol ini sering digunakan
apabila pihak yang hadir tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam akta
otentik dikarenakan sakit, cacat fisik, buta aksara dan lain sebagainya. Hal ini
132
Ifa H. Misbach, Op.Cit, hal. 48.
94
94
dimaksudkan untuk mengindividualisir akta yaitu membedakan akta yang satu
dengan akta yang lainnya serta mempersonalisasi penghadap yang namanya
tertera dalam akta tersebut dan cap jempol juga berfungsi sebagai tanda
persetujuan dari si pembubuh cap jempol atas isi akta yang dibuat.
Cap jempol maupun sidik jari sebelumnya telah diatur dalam bererapa
perundang-undangan yang merupakan warisan Belanda terdahulu seperti diatur
dalam Pasal 156 Reglement op de Rechtsvondering menyebutkan ketentuan
tersebut sebagai berikut :
Apabila para pihak tidak mencapai persetujuan mengenai tanda-tanda yang
dibandingkan satu sama lain, maka hakim tidak akan menerima tanda-tanda
lain dari pada :
(1) akta-akta autentik
(2) dan seterusnya;
(3) sidik jari, yang harus dibubuhkan oleh pihak itu dihadapan dan atas
petunjuk dari hakim atau hakim komisaris. 133
Staatsblad 1916-46 jo 43 menjelaskan mengenai waarmerken van
onderhandsche akten enz, peraturan ini mengatur mengenai waarmeken atau
pendaftaran tanda tangan atau sidik jari. Dalam undang-undang ini yang diatur
hanya kekuatan sidik jari sebagai alat bukti bukan cara membubuhkannya,
keistimewaannya, apa yang harus diperhatikan dan syarat yang harus dipenuhi
agar sidik jari tersebut dapat dipergunakan sebagai tanda tangan.134
Menurut Staatblaad 1919-776, cap jempol berupa cap ibu jari tangan yang
dapat disamakan dengan tanda tangan (handtekening), akan tetapi agar dapat
benar-benar sah sebagai tanda tangan, harus dipenuhi syarat cap jempol tersebut
133
Tan Thong Ki, Op.Cit, hal. 481.
134
Tan Thong Ki, Loc.Cit.
95
95
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang (camat, hakim atau panitera).135
Pasal
1874 ayat (2) pada KUH Perdata mengatur tentang penggunaan cap jempol di
Indonesia yaitu sebagai berikut :
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu
cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seseorang
notaris atu pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata
bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu,
dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pegawai tadi.
Tidak mudah suatu cap jempol dipersamakan dengan tanda tangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata, oleh karena untuk sah dan
sempurnanya cap jempol harus memenuhi beberapa prasyarat antara lain:
1. Dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
2. Dilegalisir diberi tanggal.
3. Pernyataan dari pejabat yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan
cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya.
4. Isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan.
5. Pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut.136
Dilegalisasinya sebuah tulisan di bawah tangan yang dibubuhkan cap jempol
bukan berarti mengubah kedudukan suatu akta dari berkedudukan di bawah
tangan menjadi sebuah akta otentik, melainkan penglegalisasian oleh Notaris
disini pada dasarnya hanya sebatas Notaris menegaskan bahwa memang benar
orang yang tertera namanya dalam akta di bawah tangan tersebut telah
membubuhi cap jempolnya dalam akta di bawah tangan di hadapan Notaris.
Peraturan Jabatan Notaris tidak mengatur secara jelas tentang penggunaan
cap jempol, Pasal 28 ayat (3) peraturan ini hanya menyebutkan memberikan jalan
keluar bagi orang-orang buta huruf atau orang-orang lain yang karena kecelakaan
135
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 53.
136
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 562.
96
96
atau sebab-sebab lain tidak dapat membubuhkan tanda tangannya di atas akta,
agar mereka juga dapat membuat akta partij dihadapan notaris”.137
Seperti kita
ketahui syarat mutlak dalam pembuatan akta partij adalah adanya pembubuhan
tanda tangan pada akhir akta, apabila penghadap tidak dapat menandatangani akta
dikarenakan sebab-sebab tertentu maka tanda tangan itu dinyatakan dengan
memberikan keterangan di akhir akta tersebut. Akan tetapi penggunaan cap
jempol ini tidak diakui dalam PJN, karena cap jempol dianggap bukan sebagai
tanda-tanda huruf sehingga dianggap tidak memenuhi syarat penandatanganan
nama. Jadi dalam peraturan ini penandatanganan dapat ditiadakan, namun akta
tersebut harus menerangkan keterangan-keterangan dari penghadap. Apabila para
penghadap menerangkan tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam akta
atau berhalangan untuk melakukannya, maka keterangan maupun sebab-sebab
tersebut harus diberitahukan oleh Notaris secara tegas dalam akta itu.138
UUJN sebagai implementasi dari PJN juga hanya mengatur tentang
penandatanganan suatu akta otentik tanpa menyebutkan apa yang dapat
dibubuhkan oleh penghadap apabila tidak dapat menandatangani akta
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UUJN sebagai berikut :
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas
dalam akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
137
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 211.
138
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 212.
97
97
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
Tanggal 15 Januari 2014 telah disahkannya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN).
Perubahan UUJN sendiri dikarenakan adanya beberapa ketentuan dalam UUJN
dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat saat ini. Selain itu mengingat akta notaris merupakan alat bukti tertulis
yang terkuat dan terpenuh maka dibuatkan aturan hukum guna memperkuat
kepastian, ketertiban serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat
perjanjian. Dengan demikian beberapa ketentuan dalam UUJN sudah tidak
berlaku lagi khususnya Pasal 44 UUJN dan diubah ke dalam UU Perubahan Atas
UUJN. Beberapa ketentuan UUJN yang diubah dalam UU Perubahan Atas UUJN
terkait dengan penulisan ini antara lain:
1. Mengenai batasan minuta akta, pada Pasal 1 angka 8 disebutkan minuta akta
adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan
Notaris yang disimpan sebagai bagian dari protokol Notaris.139
Dari rumusan
pasal tersebut secara tegas disebutkan bahwa ada 3 hal yang harus terpenuhi
agar dapat dikatakan sebagai minuta akta yaitu tanda tangan penghadap, saksi-
saksi dan Notaris. Sehingga dengan tidak terpenuhinya ketiga unsur tersebut
139
Habib Adjie, 2014, Menafsirkan Tanda Tangan Dan Sidik Jari Pada
Minuta Akta Notaris, Renvoi Nomor 128 Tahun XI, tanggal 3 Januari 2014, hal.
82.
98
98
maka bukanlah merupakan minuta akta. Hal ini menandakan betapa
pentingnya suatu tanda tangan dalam suatu akta Notaris.
2. Terdapat keharusan penghadap untuk membubuhkan sidik jari pada minuta
akta sebagaimana dinyatakan pada Pasal 16 ayat (1) huruf c, bahwa Notaris
wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta
akta.140
Berbeda dengan UUJN yang sama sekali tidak mengatur keberadaan
sidik jari, dalam perumusan pasal ini sidik jari dipandang sebagai sesuatu hal
yang penting sehingga mewajibkan Notaris melekatkan sidik jari penghadap
pada minuta akta. Keharusan pelekatan sidik jari pada minuta akta ini
menimbulkan beberapa penafsiran, apakah pembubuhan sidik jari yang
dimaksud dalam rumusan pasal tersebut cukup dengan cap jempol tangan kiri
saja atau seluruh sidik jari (yaitu sidik jari dari 10 jari tangan dan 10 jari kaki).
Selain itu apakah seluruh sidik jari yang dimaksud tersebut dibubuhkan pada
minuta akta secara langsung atau keseluruhan sidik jari tersebut dibubuhkan
pada lembaran tersendiri sehingga nantinya akan dilekatkan bersamaan
dengan surat dan dokumen pada minuta akta. Berdasarkan hasil Seminar
Sosialisasi Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris
Indonesia (INI) Bali dan NTT pada tanggal 24 Januari 2014 di Hotel Nikki
Bali, disepakati bersama Notaris untuk menyertakan sidik jari hanya berupa
cap jempol ibu jari tangan kanan penghadap pada setiap akta yang dibuat para
penghadap, dimana cap jempol ibu jari tangan kanan penghadap dibubuhkan
140
Ibid, hal. 83.
99
99
pada lembar tersendiri yang nantinya akan dilekatkan menjadi satu bersama
dengan minuta akta yang telah ditandatangani oleh penghadap serta dokumen
pendukung lainnya. Keharusan membubuhkan sidik jari ini pada dasarnya
membantu Notaris dalam menjalankan tugasnya, mengingat selama ini banyak
sekali penghadap yang “nakal” yang menyangkal pernah menandatangani
suatu akta dihadapan Notaris. Dengan adanya aturan ini akan memberikan
kepastian hukum memang benar orang yang hadir adalah benar orang yang
tertera dalam identitas pengenalnya, dimana sidik jari setiap orang tidak
mungkin sama dan tentunya hal ini sulit untuk dipalsukan.
3. Mengenai penandatanganan akta diatur dalam Pasal 44 UU Perubahan UUJN
dengan pengaturan yang sama dengan Pasal 44 UUJN terdahulu sebagai
berikut:
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang
tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan
alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas
pada akhir akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani
oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan
dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN memberikan suatu kewajiban
bagi para penghadap untuk menandatangani akta setelah dibacakan oleh Notaris,
dengan pengecualian apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan
100
100
tanda tangan maka penghadap tersebut harus menyebutkan alasan yang nantinya
akan dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Pengaturan Pasal 44 ayat (1) UU
Perubahan Atas UUJN serupa dengan pengaturan Pasal 44 ayat (1) UUJN, dimana
terdapat pengecualian terhadap kewajiban penandatanganan akta seakan-akan
undang-undang ini memperbolehkan peniadaan tanda tangan. Hal ini
menimbulkan penafsiran apabila seseorang penghadap tidak dapat membubuhkan
tanda tangannya diakibatkan sakit, cacat atau buta aksara maka orang tersebut
dapat tidak menandatangani akta tersebut sama sekali dengan menyebutkan
alasannya secara tegas pada akhir akta dan penghadap tidak diwajibkan
membubuhkan tanda-tanda lainnya dalam akta sebagai pengindividualisiran akta
dan sebagai bentuk persetujuannya terhadap isi akta. Sedangkan dalam praktek
kenotariatan apabila seseorang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya maka
akan dibubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya pada akta otentik tersebut
sebagai pengindividualisiran suatu akta. Hal ini menyebabkan adanya pembedaan
antara tanda tangan dengan cap jempol serta jelas dalam Pasal 44 ayat (1) UU
Perubahan Atas UUJN tersebut terdapat ketidakpengakuan penggunaan cap
jempol sebagai suatu tanda tangan dalam akta otentik sebagai pengindividualisir
akta.
Terdapat perbedaan pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 44
ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN yakni di satu sisi dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c terdapat pengakuan terhadap penggunaan sidik jari, dimana dari rumusan
pasal tersebut dapat dilihat sidik jari digunakan sebagai “senjata penyelamat”
apabila dikemudian hari terdapat penghadap yang “nakal” yang menyangkal
101
101
pernah menandatangani akta, sedangkan pada Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan
Atas UUJN apabila penghadap tidak dapat menandatangani akta dikarenakan
sakit, cacat, buta aksara atau alasan lainnya tidak disebutkan cap jempol yang
merupakan salah satu dari sidik jari manusia dapat digunakan sebagai suatu tanda
tangan. Sehingga dalam UU Perubahan Atas UUJN terlihat bahwa mengakui
keberadaan sidik jari lebih kuat dari sebuah penandatanganan, namun tidak
mengakui suatu cap jempol yang merupakan salah satu dari sidik jari sebagai
suatu hal yang dipersamakan dengan tanda tangan. Disini terlihat
pendiskriminasian suatu cap jempol yang seharusnya berkedudukan sama dengan
tanda tangan.
Dapat kita lihat dari seluruh peraturan yang ada belum sepenuhnya
mengatur tentang penggunaan cap jempol, baik itu dalam PJN maupun dalam
UUJN. PJN sendiri tidak mengakui adanya keberadaan cap jempol sebagai suatu
tanda pengganti tanda tangan, sedangkan dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN tidak
disebutkan secara jelas tentang penggunaan cap jempol sebagai tanda tangan,
sehingga jelas UUJN tidak mengakui keberadaan cap jempol. UU Perubahan Atas
UUJN sebagai perubahan atas UUJN telah mengatur penggunaan sidik jari dalam
Pasal 16 ayat (1), namun disisi lain undang-undang ini tidak mengakui keberadaan
cap jempol sebagai salah satu sidik jari dapat digunakan sebagai tanda tangan
pada akhir minuta akta sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 44 ayat (1)
UU Perubahan Atas UUJN.
Asas kepastian hukum, konsep negara hukum, dan teori keberlakuan
hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalah pertama
102
102
dalam penelitian ini. Indonesia merupakan negara hukum sehingga segala
perbuatan manusia harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan,
termasuk dengan penggunaan cap jempol sebagai tanda tangan dalam suatu akta
otentik. Saat ini penggunaan sidik jari telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c
UU Perubahan Atas UUJN, namun penggunaan cap jempol sebagai suatu tanda
tangan dalam akta otentik belum memiliki pengaturan secara khusus. Padahal
penggunaan cap jempol dalam akta otentik sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat, sehingga telah memenuhi keberlakuan sosiologis. Keberadaan cap
jempol sendiri tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, hanya saja perlu
dibuatkan suatu aturan yang mengkhusus berbentuk peraturan perundang-
undangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi para
pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum yang membuat suatu alat bukti
tertulis berupa akta otentik dengan menggunakan cap jempol ibu jari tangannya.
3.3 Kekuatan Hukum Tanda Tangan dan Cap Jempol
Penggunaan tanda tangan maupun cap jempol dalam suatu alat bukti
tertulis tentunya memiliki akibat hukum terhadap alat bukti tertulis itu sendiri,
baik itu berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta otentik
sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II sebelumnya memiliki 2 fungsi yakni
sebagai :
1. Sebuah akta otentik berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan
untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, maka perbuatan hukum tersebut
harus dituangkan dalam sebuah akta otentik, sehingga akta merupakan
103
103
syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum ini biasa disebut
dengan fungsi formil (formalitas causa).
2. Suatu akta otentik dibuat dengan sengaja untuk dijadikan pembuktian
dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta
otentik tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah dapat digunakan
sebagai alat bukti dikemudian hari, hal ini sering disebut dengan fungsi
sebagai alat bukti (probationis causa).141
Suatu akta otentik yang dalam pembuatannya dibubuhkan suatu tanda
tangan pada akhir aktanya mengakibatkan akta itu menjadi sah dimata hukum dan
dapat dijadikan alat bukti yang sempurna, selama dalam proses pembuatannya
telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sahnya
perjanjian, Pasal 1868 KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris juncto Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai alat bukti
dimata hukum sehingga hakim tidak perlu lagi menguji keotensitasan akta
tersebut, selama tidak ada pihak lain yang menyangkal isi akta tersebut. Demikian
pula halnya apabila suatu tanda tangan dibubuhkan dalam suatu akta di bawah
tangan maka akta di bawah tangan tersebut tetap sah dimata hukum dan memiliki
kekuatan pembuktian sempurna, selama pihak yang menandatangani akta tersebut
tidak menyangkal bahwa memang benar ia yang memiliki tanda tangan pada akta
di bawah tangan tersebut.
141
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal.114-115.
104
104
Suatu akta otentik yang dalam pembuatannya dibubuhkan cap jempol pada
akhir aktanya dikarenakan penghadap tersebut buta aksara, sakit, cacat, dan lain
sebagainya, mengakibatkan akta tersebut tetap sah dimata hukum dan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga dapat dijadikan alat bukti selama
alasan penghadap tidak menandatangani akta tersebut dicantumkan secara tegas
pada akhir akta. Akan tetapi apabila alasan kenapa penghadap tidak
menandatangani akta tidak disebutkan secara tegas pada akhir akta maka akta
notaris tersebut akan menjadi suatu akta di bawah tangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 44 ayat (5) UU Perubahan Atas UUJN. Dan dengan demikian
tentunya akta tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna
sebagaimana yang dimiliki oleh akta otentik. Sedangkan apabila suatu cap jempol
dibubuhkan dalam suatu akta di bawah tangan maka terdapat persyaratan yang
harus dipenuhi agar cap jempol tersebut dapat dipersamakan dengan tanda tangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata sebagai berikut :
1. Dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
2. Dilegalisir diberi tanggal.
3. Pernyataan dari pejabat yang melegalisir, bahwa orang yang
membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya.
4. Isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan.
5. Pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut.142
Seseorang yang membubuhkan cap jempol pada akta di bawah tangan harus
menglegalisasi akta tersebut dihadapan pejabat berwenang. Penerapan legalisasi
pada dasarnya dianggap sebagai syarat imperatif atas keabsahan cap jempol,
sehingga jika akta di bawah tangan tersebut tidak dilegalisir ini membuat cap
142
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 562.
105
105
jempol yang dibubuhkan diatas tidak sah sebagai tanda tangan dalam akta di
bawah tangan.
Tanda tangan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan cap jempol, Tan
Thong Kie mendefinisikan tanda tangan sebagai suatu pernyataan kemauan dari si
pembuat tanda tangan, bahwa ia menghendaki agar tulisan yang dibuat dalam
suatu surat dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri dengan
membubuhkan tanda tangannya di bawah tulisan tersebut. Tan Thong Kie
menyebutkan “membubuhkan tanda tangannya” ini dapat diartikan bahwa yang
dibubuhkan dalam tulisan atau akta adalah tanda dari tangan seseorang, jadi bisa
berupa tanda tangan maupun cap jempol.
Cap jempol sebagai salah satu bentuk dari sidik jari merupakan garis pada
kulit jari-jari yang tidak akan berubah dalam jangka waktu apapun dan antara
orang yang satu dengan yang lainnya pastinya memiliki cap jempol yang berbeda.
Tanda tangan maupun cap jempol sama-sama merupakan suatu tanda yang
dibubuhkan oleh tangan, yang membedakan keduanya adalah dari segi bentuk
serta cara membubuhkannya. Tanda tangan merupakan suatu tanda yang
dibubuhkan oleh tangan seseorang dengan membentuk guratan atau garis tertentu,
sedangkan cap jempol merupakan garis pada kulit jari-jari yang melekat pada tiap
orang yang dibubukan dengan cara menempelkan ibu jari pada tinta daktiloskopi
yang kemudian ditempelkan pada akhir akta otentik. Disini jelas terlihat bahwa
cap jempol merupakan suatu tanda yang melekat pada diri seseorang sejak lahir,
tidak akan berubah sampai kapan pun dan tentunya antara orang yang satu dan
yang lainnya tidak memiliki kesamaan cap jempol, sedangkan tanda tangan
106
106
merupakan suatu tanda yang dibuat oleh masing-masing individu yang bisa ditiru
atau dipalsukan oleh orang lain.
Dilihat dari segi kepastian hukum cap jempol memiliki kekuatan hukum
yang lebih kuat dibandingkan dengan tanda tangan. Cap jempol maupun sidik jari
yang dimiliki oleh masing-masing orang tentunya berberbeda-beda dengan yang
dipunyai oleh orang lain, walaupun secara kasat mata cap jempol terlihat sama. Ini
berarti sangat sulit apabila ada niat jahat dari seorang untuk memalsukannya.
Berbeda halnya dengan tanda tangan yang dengan begitu mudahnya dapat
dipalsukan. Oleh sebab itu kurang tepat kiranya jika dikatakan bahwa cap jempol
tidak dapat disamakan tanda tangan, karena pada dasarnya cap jempol memiliki
kekuatan hukum yang setara bahkan lebih kuat daripada tanda tangan.
107
107
BAB IV
KEABSAHAAN PENGGUNAAN CAP JEMPOL SEBAGAI TANDA
TANGAN DALAM AKTA NOTARIS
4.1 Keabsahan Penggunaan Cap Jempol Sebagai Tanda Tangan Dalam Akta
Notaris
Perikatan (verbintenis) merupakan suatu hubungan (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.143
Dalam suatu perikatan terkandung beberapa unsur yaitu
sebagai berikut :
1. Adanya hubungan hukum;
2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda;
3. Antara dua orang atau lebih;
4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur;
5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur;
6. Adanya prestasi.144
Prestasi dalam sebuah perikatan yang dimaksud oleh undang-undang adalah
sebagai berikut :
1. membuat sesuatu dapat berupa menyerahkan sesuatu, memberikan benda
atau memberikan sesuatu untuk dipakai;
2. berbuat sesuatu;
3. tidak berbuat sesuatu.145
143
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXV,
PT.Intermasa, Jakarta (untuk selanjutnya disebut Subekti II), hal. 122-123.
144
I.G. Rai Widjaya, 2007, Merancang Suatu Kontrak : Contract Drafting
Teori dan Praktik, Kesaint Blanc, Jakarta, hal. 21-22.
145
Ibid, hal. 22.
108
108
Perikatan diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang menentukan bahwa
tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik maupun undang-
undang. Dari rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa perikatan dapat
bersumber dari 2 hal yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian dan perikatan
yang lahir karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian adalah
perikatan yang lahir karena persetujuan dan sengaja dibuat oleh para pihak yang
bersangkutan, sehingga menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban
bagi para pihak yang membuat perjanjian berdasarkan atas kemauan dan
kehendak dari para pihak sendiri. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-
undang adalah perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
mengatur sehingga secara otomatis mengikat seseorang, sehingga perikatan yang
terjadi karena adanya suatu peristiwa hukum tertentu menimbulkan hak dan
kewajiban yang bukan berasal dari kemauan pihak yang bersangkutan melainkan
karena ditentukan oleh undang-undang.146
Perikatan yang lahir dari undangundang dapat dibagi lagi menjadi
perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan
perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara
itu, perikatan yang lahir dari undangundang karena suatu perbuatan orang dapat
lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh
dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Pasal 1353
KUH Perdata).
146
Ibid, hal. 24-25.
109
109
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan, saat ini
dalam melakukan segala perbuatan hukum manusia tidak lepas dari yang namanya
perjanjian. Perjanjian sendiri terdapat 2 bentuk, yakni dalam bentuk tertulis
maupun dalam bentuk lisan. Dalam Black Law Dictionary perjanjian didefinisikan
sebagai berikut : “Agreement is a mutual understanding between two or more
persons about their relative rights and duties regarding past or future
performance; a manifestation of mutual assent by two or more persons..”147
Dapat diterjemahkan sebagai berikut : perjanjian adalah saling pengertian antara
dua orang atau lebih tentang hak dan kewajiban relatif mereka mengenai masa
lalu atau kinerja masa depan, sebuah manifestasi saling persetujuan oleh dua
orang atau lebih.
Menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal,
sedang pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.148
Subekti mendefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.149
Menurut Salim HS perjanjian adalah hubungan hukum antara
subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana
subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang
147
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Tomson
West, Dalas Texas, hal. 74.
148
Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan
Tertentu, Cetakan VIII, Sumur, Bandung, hal. 11.
149
Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta (untuk
selanjutnya disebut Subekti III), hal. 45.
110
110
lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.150
Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.
Dapat dilihat unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian dari
definisi para sarjana diatas, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum yaitu
berupa hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek
hukum dalam KUH Perdata adalah orang dan badan hukum. Sehingga
yang dapat membuat perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya
manusia secara individual, tetapi juga badan hukum atau rechtperson,
misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.
3. Adanya prestasi, prestasi dapat berupa memberi sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu seperti tercantum dalam Pasal
1234 KUH Perdata.
4. Di bidang harta kekayaan pada umumnya kesepakatan yang telah
dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu
bentuk tertulis dan kemudian ditandatangani oleh para pihak.
Syarat-syarat tersebut diatas harus terpenuhi dalam membuat suatu perjanjian dan
semua perjanjian mengikat bagi mereka yang membuatnya, mempunyai hak yang
oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan hal-hal yang
150
Salim HS, 2008, Hukum Kontrak, Teori Dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, (untuk selanjutnya disebut Salim HS II), hal. 27.
111
111
ditentukan dalam perjanjian.151
Sehingga perjanjian yang dibuat tersebut berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Di dalam perjanjian yang
dibuat oleh para pihak terkandung hubungan hukum diantara para pihak.
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.152
Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
1. Adanya Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak terjadinya suatu
perjanjian. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan dan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya
bukan kehendak, karena kehendak itu tidak dapat dilihat ataupun diketahui oleh
orang lain.153 Menurut H. Salim HS terdapat lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak, yaitu dengan:
a. bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. bahasa yang sempurna secara lisan;
c. bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini
mengingat sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak
sempurna sehingga tidak dimengerti oleh orang lain;
151
Abdoel Djamali, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Ke-17,
PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 163.
152
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama,
Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II), hal. 253.
153
Salim HS II, Op.Cit, hal. 33.
112
112
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam asal dipahami atau diterima oleh pihak lainnya.154
Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Pernyataan secara diam-diam banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari
kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar
ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang
tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya
dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian pengangkutan walaupun tidak
dinyatakan secara tegas.
Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan
secara bebas155 dimana sesuatu hal yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
merupakan hal dikehendaki oleh pihak yang lain. Suatu perjanjian dianggap tidak
sah apabila kesepakatan kedua belah pihak tersebut memenuhi unsur paksaan,
kekhilafan serta penipuan (dalam hal ini disebut cacat kehendak). Cacat kehendak
artinya bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang
demikian. Seseorang dikatakan telah membuat perjanjian secara khilaf manakala
dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang
ternyata tidak benar.156
154
H. Salim HS et.al. 2006, Perancangan Kontrak Dan Memorandum Of
Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9-10.
155
Komariah, 2008, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, hal. 175.
156
H.R. Daeng Naja. Op.Cit, hal. 86.
113
113
Cacat kehendak sebagaimana diatur Pasal 1321 KUH Perdata yaitu apabila
suatu perjanjian memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kekhilafan mengenai
orangnya (error in persona) dan kekhilafan terhadap objek perjanjian yang
disepakati (error in substantia), dimana pihak yang lainnya mengetahui akan
kekhilafan tersebut akan tetapi tetap membiarkannya.157
b. Unsur paksaan (dwang)
Paksaan adalah suatu perbuatan ancaman yang dilakukan oleh orang,
karena kedudukannya, usia, jenis kelamin sedemikian rupa hingga dapat
menakutkan orang yang berpikiran sehat, apabila perbuatan ancaman itu
menjadi kenyataan akan dapat memberikan kerugian pada dirinya. Pada
dasarnya tindakan ancaman ini tidak ditujukan kepada fisik melainkan
psikologis seseorang. Ancaman dapat dibagi menjadi 2 yaitu sesuatu yang
diancamkan itu memang sesuatu yang melanggar hukum dan sesuatu yang
diancamkan tersebut bertindak melanggar hukum, tetapi tujuan ancaman itu
untuk mencapai sesuatu yang tidak menjadi haknya.158
c. Unsur penipuan (bedrog)
Pasal 1328 KUH Perdata menentukan bahwa penipuan merupakan suatu
alasan untuk pembatalan perjanjian, di mana perjanjian dibuat karena adanya
157
Mariam Darus Badruizaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 75-76.
158
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,
Implementasi Ketentuan Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan
Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 55-56.
114
114
daya upaya dari salah satu pihak, baik dengan kata-kata ataupun perbuatan
untuk mengelabui pihak lain, sehingga akibat dari itu pihak lain membuat
perjanjian.
d. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden)
Berbeda dengan ketiga unsur cacat kehendak diatas, penyalahgunaan
keadaan memang tidak diatur dalam KUH Perdata. Namun seiring dengan
perkembangan hukum perjanjian, muncullah unsur penyalahgunaan keadaan.
Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja penyalahgunaan keadaan dianggap
sebagai faktor yang membatasi atau menganggu adanya kehendak yang bebas
untuk menentukan kesepakatan antara para pihak. Penyalahgunaan keadaan
diatur dalam Yurisprudensi MA No.3431/Pdt/1985 juncto MA No.1904
K/Sip/1982, tgl 30 Juli 1982. Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa
pernyataan kehendak yang melahirkan suatu perjanjian apabila dipengaruhi oleh
penyalahgunaan kehendak oleh pihak lain, maka akan mengakibatkan perjanjian
tersebut cacat kehendak.159
Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan memenuhi salah satu dari
keempat unsur cacat kehendak di atas, menimbulkan akibat hukum yaitu
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dengan meminta pembatalan kepada hakim
melalui Pengadilan. Karena dalam proses pembuatan perjanjian sudah tidak
terdapat kebebasan dari para pihak untuk membuat pernyataan dari kehendak
mereka.
159
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 177-178.
115
115
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Suatu perjanjian harus dibuat oleh para pihak yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan
akibat hukum yaitu hak dan kewajiban. Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum adalah kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri
yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan subyek hukum
untuk melakukan perbuatan hukum diukur dari standar sebagai berikut :
a. Person (perorangan) diukur dengan standar usia kedewasaan (meerderjarig);
b. Rechtspersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid).160
Cakap atau bekwaan menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa,
yaitu telah berumur 21 tahun (Pasal 330 KUH Perdata). Pada prinsipnya semua
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia dinyatakan tidak cakap
oleh undang-undang. Joseph T. Bockrath dalam bukunya Contracts And The
Legal Environment For Engineers & Architects menyebutkan bahwa:“For
contract purposes a person is considered an infant until he reaches 18 years of
age although there are a few states where the age of majority is 21”.161
Dapat
diterjemahkan sebagai berikut : untuk tujuan kontrak seseorang dianggap masih
dibawah umur sampai dia mencapai usia 18 tahun meskipun ada beberapa negara
dimana usia mayoritas adalah 21 tahun.
160
Ibid, hal. 183-184.
161
Joseph T. Bockrath, 2000, Contracts And The Legal Environment For
Engineers And Architects, Sixth Edition, McGraw-Hill Series in Construction
Engineering and Project Management, United States, hal. 26.
116
116
Ada beberapa golongan oleh Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan tidak
cakap yaitu:
a. Orang yang belum dewasa.
Pasal 330 KUH Perdata menyebutkan belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap berumur 21 tahun, maka
tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang-orang yang diletakkan
di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam
keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap dan boros. Pembuat undang-
undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak dapat menyadari
tanggung jawabnya dan untuk itu tidak cakap bertindak mengadakan
perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak
dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Dimana kedudukannya sama
dengan seorang anak yang belum dewasa, jika seorang anak yang belum
dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang
berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Ketentuan bahwa perempuan tidak cakap bertindak dalam hukum telah
dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengingat saat ini
117
117
kedudukan antara laki laki dan perempuan telah setara di mata hukum
(kesetaraan gender).
3. Adanya suatu hal tertentu
Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, suatu hal tertentu
dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian.
Objek yang diperjanjikan haruslah suatu hal baik berupa barang maupun jasa yang
cukup dapat dinilai dengan uang. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata menentukan
hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-
pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian
itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.162 Objek dari suatu perjanjian selain
barang adalah jasa, dalam menentukan jasa harus ditentukan apa yang harus dan
tidak harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.163
4. Adanya sebab yang halal
Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-
undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian
tanpa sebab atau telah dibuat karena sebab yang palsu, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1335 KUH Perdata adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak
halal.164
Sehubungan dengan sebab yang tidak halal, dapat dijumpai dalam
perjanjian-perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
162
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 58.
163
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 30.
164
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 59.
118
118
umum, kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1254, Pasal 1335 dan Pasal
1337 KUH Perdata, serta perjanjian yang dibuat bertentangan dengan kebiasaan
dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.165
Jadi
seseorang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtbekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta
tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu.166
Suatu perjanjian yang dibuat akan sah apabila keempat syarat sahnya
perjanjian tersebut diatas telah terpenuhi, dengan demikian maka perjanjian
tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu undang-
undang yang mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut (Pasal 1338 KUH
Perdata). Apabila unsur pertama dan kedua yang merupakan syarat subyektif
sahnya perjanjian tidak terpenuhi, akan menimbulkan akibat hukum perjanjian
tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak ke pengadilan. Artinya perjanjian
yang dibuat tanpa memenuhi unsur subyektif tersebut dapat dimintakan
pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan. Sedangkan apabila unsur ketiga
dan keempat yang merupakan syarat objektif sahnya suatu perjanjian tidak
terpenuhi, maka akan menimbulkan akibat hukum perjanjian tersebut batal demi
hukum. Dimana itu berarti sejak awal perjanjian ini dianggap tidak pernah ada,
atau semula secara yuridis tidak pernah ada perikatan. Ini berarti pula bahwa salah
165
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
166
R. Soeroso, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta
(untuk selanjutnya disebut Soeroso I), hal. 145.
119
119
satu pihak tidak dapat melakukan tuntutan hukum terhadap pihak yang lain,
karena tidak ada dasar hukumnya.167
Suatu cap jempol dalam kaitannya dengan keabsahan suatu perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata tersebut diatas. Terkait dengan penggunaan cap jempol akan
dapat kita lihat dalam syarat subyektif yaitu pada saat adanya kesepakatan antara
kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan antara para pihak, maka para
pihak akan membubuhkan suatu tanda baik itu berupa tanda tangan maupun cap
jempol dalam perjanjian yang mereka tuangkan secara tertulis. Tanda tangan
maupun cap jempol inilah yang merupakan tanda persetujuan bagi para pihak
bahwa mereka sepakat membuat perjanjian. Apabila kita kaitkan cap jempol
dengan pembuatan suatu akta otentik selain harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata, akta notaris dapat dikatakan sah atau
sempurna sebagai suatu akta otentik apabila akta tersebut memenuhi ketentuan
Pasal 1868 KUH Perdata tentang akta otentik yaitu “suatu akta otentik adalah
suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana
akta dibuatnya”. Dari rumusan pasal tersebut dapat ditarik beberapa unsur yang
terpenuhi dalam pembuatan akta notaris yaitu :
1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-
undang artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka
167
R. Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis
Pembuatan Dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta untuk selanjutnya disebut
Soeroso II), hal. 24-25.
120
120
salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi
unsur dari padanya maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta
otentik. Akta Notaris pada umumnya telah dibuat dalam bentuk yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
2. Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstaan seorang
pejabat umum. Dalam hal pembuatan akta Notaris, akta harus dibuat oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu yaitu Notaris.
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat. Suatu akta Notaris
harus dibuat oleh seorang Notaris ditempat kedudukan wilayah kerja
Notaris yang bersangkutan.
Suatu akta yang memenuhi unsur-unsur sebagai akta otentik, maka dapat
disebut sah menurut hukum sebagai akta otentik. Selain memenuhi syarat sahnya
suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan syarat sebagai akta otentik (Pasal
1868 KUH Perdata). Dalam rumusan Pasal 1868 KUH Perdata suatu akta harus
dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, akta notaris
sendiri diatur dalam UUJN beserta perubahannya sehingga suatu akta Notaris juga
harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam UUJN dan UU Perubahan
Atas UUJN sebagai undang-undang yang mengatur mengenai jabatan Notaris
sehingga akta notaris tersebut dapat sah dimata hukum.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur tentang bentuk
121
121
dan sifat akta Notaris dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 53. Pasal 38
menyebutkan tentang bentuk akta notaris sebagai berikut :
(1) Setiap akta terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.
(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga
memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya
Melihat rumusan pasal tersebut dapat dilihat terdapat unsur
penandatanganan pada akhir akta. Penandatanganan pada akta notaris sendiri
secara tegas telah diatur dalam Pasal 44 UU Perubahan Atas UUJN yaitu :
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
122
122
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Penandatangan merupakan suatu syarat yang mutlak dalam pembuatan
suatu akta, tanpa adanya penandatangan akta tersebut tidak dapat dikatakan sah
sebagai akta otentik dimata hukum. Dimana pembubuhan tanda tangan ini tidak
hanya dilakukan oleh para penghadap, tetapi juga dibubuhkan oleh saksi-saksi,
dan Notaris. Namun apabila kita lihat kenyataannya masih banyak orang atau para
penghadap yang tidak dapat menandatangani suatu akta dikarenakan buta aksara,
cacat fisik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pada kasus-kasus seperti itu pada
praktek kenotariatan penghadap yang hadir membubuhkan cap jempol ibu jari
tangan kirinya sebagai pengganti tanda tangan. Seperti telah dibahas pada Bab III
bahwa pada dasarnya cap jempol bukanlah pengganti tanda tangan, melainkan cap
jempol merupakan salah satu “tanda” selain tanda tangan seperti yang disebutkan
dalam Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN. Cap jempol memiliki
kedudukan serta kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan, bahkan lebih
kuat dibandingkan tanda tangan karena sangat sulit untuk dipalsukan.
Melihat dari rumusan Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN saat ini
apabila penghadap yang hadir tidak dapat menandatangani suatu akta Notaris,
maka penghadap tersebut wajib membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya
123
123
pada akhir akta, dan pada akhir akta dijelakan secara tegas alasan mengapa
penghadap tidak membubuhkan tanda tangan melainkan membubuhkan cap
jempol ibu jari tangan kirinya. Apabila para penghadap dapat menandatangani
akta maka pada akhir akta akan disebutkan klausul sebagai berikut : “Setelah akta
ini dibacakan oleh saya, Notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi, maka
segera oleh para penghadap, kemudian oleh saksi-saksi dan saya, Notaris
menandatangani akta ini.” Sedangkan apabila para penghadap tidak dapat
membubuhkan tanda tangan melainkan membubuhan cap jempol pada akhir akta,
maka klausul yang disebutkan pada akhir akta dalam hal ini adalah Akta Sewa
Menyewa Tanah yaitu sebagai berikut :
Setelah akta ini dibacakan oleh saya, Notaris kepada para penghadap dan
saksi-saksi, maka segera oleh penghadap yaitu Tuan A, kemudian oleh saksi-
saksi dan saya, Notaris menandatangani akta ini, sedangkan penghadap Tuan
B tidak ikut serta menandatangani akta ini tetapi hanya membubuhkan cap
jempol tangan kiri saja diatas akta ini dihadapan saya, Notaris, dikarenakan
menurut keterangannya tidak bisa baca tulis.
Suatu akta notaris yang dibubuhkan cap jempol ibu jari tangan kiri sebagai
tanda tangan oleh para penghadap, sah dimata hukum sebagai suatu alat otentik
yang dapat dijadikan alat bukti dikemudian hari, dengan syarat pada akhir akta
harus disebutkan secara tegas alasan pembubuhan cap jempol tersebut. Apabila
dalam pembubuhan cap jempol tidak disebutkan alasannya secara tegas pada akhir
akta, maka akta tersebut akan mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (5) UU Perubahan Atas UUJN.
Menurut hemat penulis pembubuhan cap jempol dalam suatu akta notaris
tidak perlu disertai dengan penyebutan alasan secara tegas pada akhir akta. Karena
hal ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap orang yang memiliki cap jempol
124
124
tersebut. Seperti kita telah bahas dalam Bab III Sub Bab 3.3 Kekuatan Hukum
Tanda Tangan dan Cap Jempol, cap jempol atau sidik jari memiliki kekuatan
hukum yang lebih kuat dibandingkan suatu tanda tangan, karena cap jempol
merupakan suatu tanda yang melekat pada tubuh masing-masing individu yang
tidak akan mungkin sama antara yang satu dengan lainnya dan tentunya hal ini
menyebabkan cap jempol sangat sulit untuk dipalsukan. Sehingga sangat sah
apabila seorang penghadap ingin membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kirinya dalam akta notaris walaupun ia sebenarnya bisa membubuhkan tanda
tangan pada akta tersebut. Dan hal ini tentunya tidak diperlukan suatu alasan yang
tegas pada akhir akta mengapa ia memilih membubuhkan cap jempol ibu jari
tangan kirinya.
Suatu akta dapat tidak ditandatangani oleh penghadap apabila merupakan
akta pejabat (ambtelijke akten) seperti Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang
Saham dalam Perseroan Terbatas, jadi suatu akta Berita Acara Rapat Umum
Pemegang Saham tetap dinyatakan sah sebagai suatu akta walaupun
penghadapnya tidak mendatangani akta tersebut dikarenakan menolak
membubuhkan tanda tangan ataupun orang-orang yang hadir telah meninggalkan
rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka notaris cukup menerangkan didalam
akta bahwa para pemegang saham yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum
menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap merupakan akta otentik.
Suatu akta notaris menjadi sempurna dan sah sebagai suatu alat bukti
apabila dalam proses pembuatannya telah memenuhi beberapa persyaratan seperti
telah disebutkan diatas yaitu, memenuhi syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH
125
125
Perdata, memenuhi persyaratan Pasal 1868 KUH Perdata dan Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juncto Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris khususnya dalam penulisan ini memenuhi ketentuan Pasal 44 UU
Perubahan Atas UUJN. Pada dasarnya suatu perjanjian tetap sah sebagai
perjanjian selama telah memenuhi syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH
Perdata, walaupun perjanjian tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH
Perdata, UUJN maupun UU Perubahan Atas UUJN khususnya tentang
pembubuhan cap jempol pada akhir akta. Pembubuhan cap jempol disini berakibat
pada sempurnanya atau tidaknya suatu akta sebagai akta otentik, kedudukan suatu
akta yang awalnya berupa akta otentik apabila tidak dibubuhkan cap jempol sesuai
dengan ketentuan Pasal 44 UU Perubahan Atas UUJN akan berubah menjadi akta
di bawah tangan. Hal ini nantinya akan berpengaruh pada fungsi akta tersebut
sebagai suatu alat bukti di pengadilan.
4.2 Kekuatan Hukum Cap jempol Sebagai Tanda Tangan Dalam Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan
Setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum memerlukan suatu hal
yang dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Pembuktian ini
diperlukan apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Pembuktian adalah upaya
yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan
dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.
Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
126
126
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.168
Membuktikan mengandung
beberapa pengertian yaitu :
1. Membuktikan dalam arti logis artinya memberikan kepastian yang bersifat
mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya
bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti konvensional artinya memberikan kepastian yang
bersifat relatif atau nisbi, tidak merupakan kepastian mutlak, dalam hal ini
dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka (conviction intime)
b. kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3. Membuktikan dalam arti yuridis adalah merupakan pembuktian konvensional
yang bersifat khusus, dimana tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang
logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan akan adanya bukti lawan.169
Tujuan dari adanya pembuktian secara yuridis adalah untuk mengambil
putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan yang mempunyai akibat
hukum. Dalam Pasal 163 HIR170
ditentukan bahwa “barang siapa yang
mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
168
Mohamad Taufik Makarao, Op.Cit, hal. 93.
169
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 136-137.
170
Menurut Undang Undang darurat Tahun 1951 masih dinyatakan berlaku
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui Staatblad 1941 nomor 44 merupakan reglemen tentang hukum acara
perdata yang berlaku untuk bangsa bumiputera dan bangsa timur di Tanah Jawa
dan Madura. Sarwono, Op.Cit, hal 11.
127
127
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Pasal 283 RBg171
menentukan sebagai berikut “barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak
atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang
lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu.”
Hal serupa juga disebutkan dalam rumusan Pasal 1865 KUH Perdata
sebagai berikut “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak
ataupun guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain dengan menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.” Rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan apabila
seseorang ingin meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain maka orang
tersebut diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut. Alat yang digunakan
untuk membuktikan adalah alat bukti. Alat bukti adalah alat untuk membuktikan
kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh
tergugat dalam perkara perdata.172
Alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara
Perdata diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata yaitu :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
171
Menurut Undang-Undang darurat Tahun 1951 masih dinyatakan berlaku
RBg (reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en
madura) atau reglement daerah sebrang staatblad 1927 nomor 227 merupakan
reglemen tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar jawa dan
madura. Sarwono, Loc.Cit.
172
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 73.
128
128
Alat-alat bukti yang difokuskan pada penelitian ini adalah alat bukti dalam hukum
acara perdata. Adapun alat-alat bukti tersebut diatas akan diuraikan satu persatu
sebagai berikut:
1. Bukti Tulisan.
Alat bukti tertulis ini digunakan dalam hukum acara perdata maupun
pidana. Dalam acara perdata bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting
dan paling utama di banding yang lain. Alat bukti tertulis atau surat sendiri
telah dijabarkan secara jelas pada Bab III sub bab 3.1, dimana alat bukti
tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuh mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai alat pembuktian.173
Ada dua macam alat
bukti tertulis atau surat, yaitu:
1. Surat yang bukan akta yaitu tulisan atau surat-surat lain bukan akta yang
pembuatannya dilakukan secara sepihak yang dapat dijadikan alat bukti,
misalnya : surat tanda terima pembayaran (kwitansi), surat tanda terima
penyerahan barang, wesel, pembukuan, polis asuransi dan sebagainya.
Alat bukti berupa surat ini hanyalah dijadikan sebagai alat bukti penunjang
dan bukan merupakan alat bukti pokok dalam suatu sengketa dalam
persidangan di pengadilan, kecuali dalam sengketa tersebut sama sekali
tidak terdapat alat bukti lain yang sah maka surat biasa tersebut dijadikan
suatu alat bukti pokok ditambah dengan alat bukti sumpah.
173
Sudikno Mertokususmo I, Op.Cit, hal. 151.
129
129
2. Surat yang berupa akta yang dapat dibagi lagi atas 2 bentuk sebagaimana
bunyi Pasal 1867 KUH Perdata :
a. Akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat
yang berwenang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
ditempat dimana akta dibuatnya. Isi dari sebuah akta otentik dianggap
benar selama tidak ada pihak lain yang membantah kebenaran isi akta
tersebut. Oleh karena itu akta otentik merupakan alat bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang-orang yang
mendapatkan hak daripadanya.
b. Akta di bawah tangan tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para
pihak sendiri dengan kesepakatan para pihak, tidak dibuat oleh pejabat
umum, yang oleh para pihak digunakan sebagai alat bukti telah
terjadinya suatu perbuatan hukum. Akta di bawah tangan merupakan
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna
seperti akta otentik, apabila isi dan tanda tangan dalam akta tersebut
diakui oleh pihak yang membubuhkan tanda tangannya.
2. Bukti Saksi
Pasal 1895 KUH Perdata menentukan pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Kesaksian merupakan alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi
oleh saksi (yang bukan pihak dalam perkara tersebut) untuk memberikan
kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang
130
130
dipersengketakan.174
Alat bukti saksi dalam hukum acara perdata sangatlah
penting karena berfungsi untuk menguatkan tentang kejadian atau peristiwa
terhadap adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang
sedang berperkara, khususnya kejadian atau perbuatan hukum para pihak yang
pembuatannya dilakukan di bawah tangan. Saksi yang digunakan memperkuat
adanya pembuktian di pengadilan adalah berjumlah setidaknya 2 (dua) orang
saksi. Maksud dan tujuan dipergunakannya 2 orang saksi adalah agar hakim
dapat menyocokkan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi yang
lainnya. Ada 3 (tiga) macam saksi antara lain :
1. Saksi yang keberadaannya sengaja dihadirkan dan sangat diperlukan
karena telah menyaksikan adanya kejadian atau peristiwa dalam suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang membutuhkan
(Pasal 1902 KUH Perdata).
2. Saksi yang kebetulan ada pada saat terjadinya suatu kejadian atau
peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak yang berpekara sehingga
mereka melihat, mendengar dan menyaksikan secara langsung bukan
mendengar dari cerita orang.
3. Kesaksian dari pendengaran (testimonium de auditu atau biasa disebut
saksi de auditu) merupakan saksi yang tidak mengalami dan menyaksikan
secara langsung tentang terjadinya suatu peristiwa hukum, tetapi saksi ini
mengetahui adanya peristiwa hukum hanya berdasarkan cerita orang
tuanya atau orang lain. Misalnya saja para saksi yang bersengketa atau
174
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 92.
131
131
yang menyebabkan terjadinya peristiwa hukum sudah pada meninggal dan
sengketanya belum pernah ada penyelesaiannya, baik melalui jalan damai
maupun jalan hukum.175
Undang-undang membedakan orang yang cakap menjadi saksi
(competence) dan orang yang dilarang atau tidak cakap menjadi saksi
(incompetence). Pada dasarnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat
didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib
memberi kesaksian. Kewajiban untuk memberikan kesaksian ini diatur dalam
Pasal 1909 KUH Perdata, Pasal 139 HIR dan Pasal 165 RBg serta adanya
sanksi-sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak memenuhinya. Selain itu
diatur juga pembatasan bagi orang yang memberikan kesaksian sebagai
berikut:
I. Golongan orang yang tidak mampu atau tidak cakap menjadi saksi.
Mereka dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Kelompok yang tidak mampu atau tidak cakap secara mutlak (absolut).
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang
lurus dari salah satu pihak (Pasal 1910 alenia 1 KUH Perdata, Pasal
145 ayat 1 sub 1 HIR, Pasal 172 ayat 1 sub I RBg). Pembatasan ini
dibuat dengan alasan sebagai berikut :
1. bahwa mereka ini pada umumnya dianggap tidak cukup
obyektif apabila didengar sebagai saksi.
2. untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang baik yang
mungkin akan retak apabila mereka menjadi saksi.
3. untuk mencegah timbulnya tekanan batin setelah memberikan
keterangan.
Akan tetapi Pasal 1910 alenia 2 KUH Perdata, Pasal 145 ayat (2)
HIR, Pasal 172 ayat 2 RBg mengatur bahwa seseorang tidak dapat
menolak menjadi saksi dalam perkara yang menyangkut
175
Sarwono, Op.Cit, hal. 256-257.
132
132
kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam perkara yang
menyangkut perjanjian kerja.
2. Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun telah bercerai
(Pasal 1910 KUH Perdata, Pasal 145 ayat 1 sub 2 HIR, Pasal 172
ayat 1 sub 3 RBg).176
b. Kelompok yang tidak mampu atau tidak cakap secara nisbi (relatif).
1. Anak anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 1912 KUH
Perdata, Pasal 145 ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR, Pasal 1972 ayat 1
jo 173 RBg).
2. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat
(Pasal 1912 KUH Perdata, Pasal 145 ayat 1 sub 4 HIR, Pasal 172
ayat 1 sub 5 RBg).177
Keterangan mereka tersebut diatas hanya boleh dianggap sebagai suatu
penjelasan belaka. Oleh karena itu untuk memberikan keterangan
tersebut maka mereka tidak perlu disumpah.
II. Golongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Mereka yang boleh
mengundurkan diri adalah :
1. saudara laki laki atau perempuan serta ipar laki laki dan perempuan
dari salah satu pihak yang berperkara.
2. keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki laki
dan perempuan daripada suami atau isteri salah satu pihak.
3. semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang
sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan tetapi semata mata hanya
tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan
atau hubungan kerja yang sah tersebut.178
Keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi dalam persidangan
umumnya dapat dipergunakan hakim sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan keputusan suatu perkara, sehingga keterangan saksi yang dapat
176
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 174.
177
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 175.
178
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 176.
133
133
memberikan kepentingan yang benar sangatlah penting dalam suatu perkara.
Akan tetapi, apabila seorang saksi yang telah disumpah dalam memberikan
keterangan yang ternyata palsu maka saksi tersebut dapat dituntut pidana
karena telah memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal
242 KUHP.
3. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah
kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum. Menurut Subekti persangkaan merupakan suatu kesimpulan
yang diambil dari suatu peristiwa terang dan nyata.179
Persangkaan merupakan
suatu alat bukti yang bersifat tidak langsung. Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa persangkaan bukanlah merupakan suatu alat bukti,
melainkan merupakan suatu alat bukti penunjang bagi alat-alat bukti pokok
lainnya.180
Dalam hukum positif di Indonesia, persangkaan dapat dibedakan menjadi
2 yaitu :
1. Persangkaan menurut undang-undang.
Persangkaan menurut undang-undang adalah persangkaan yang didasarkan
suatu ketentuan khusus yang ada di dalam undang-undang yang
dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu. Persangkaan
menurut undang-undang terbagi 2 jenis yaitu :
179
Subekti II, Op.Cit, hal. 181.
180
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 180.
134
134
a. Persangkaan yang masih dimungkinkan pembuktian lawan
(presumptios juris tantum).
b. Persangkaan yang tidak memerlukan pembuktian lawan (presumptios
juris et de jure).
2. Persangkaan menurut Hakim.
Persangkaan Hakim adalah persangkaan-persangkaan yang dilakukan oleh
hakim, berdasarkan kenyataan atau fakta. Jadi hakimlah yang menentukan
jenis-jenis persangkaan ini. 181
4. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah
satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.
Pengakuan dalam hukum acara perdata terdapat 2 macam yaitu :
a. Pengakuan di Muka Hakim.
Pengakuan di muka hakim di Persidangan baik secara tertulis maupun
lisan merupakan keterangan sepihak yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu
pihak di persidangan, yang membenarkan baik sebagian maupun seluruhnya
suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang
mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.182
Pengakuan di muka hakim ini dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu :
1. Pengakuan murni (aveu pur et simple) yaitu pengakuan tergugat
mengenai seluruh isi gugatan penggugat.
2. Pengakuan dengan kualifikasi (aveu qualifie) ialah pengakuan tergugat
tapi disertai dengan sangkalan terhadap sebagian gugatan.
181
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 94.
182
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 183.
135
135
3. Pengakuan dengan klausul (aveu complexe) adalah pengakuan tergugat
yang disertai dengan klausul yang bersifat membebaskan.183
b. Pengakuan di luar Persidangan.
Pengakuan diluar sidang ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang dibenarkan oleh lawannya.184
5. Bukti Sumpah
Sumpah pada umumnya merupakan suatu pernyataan yang khihmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan sifat mahakuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukukm
olehnya.185
Sumpah sebagai alat bukti merupakan sumpah yang diucapkan
oleh seseorang di muka hakim untuk memberikan keterangan keterangan yang
sejujurnya tentang terjadinya suatu peristiwa hukum.186
Sumpah sebagai alat
bukti dikenal ada 3 macam yaitu :
1. Sumpah pemutus (decisoir) adalah sumpah yang dibebankan kepada
salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya.
2. Sumpah pelengkap (supletoir) adalah sumpah yang bersifat
melengkapi alat bukti yang sudah ada namun masih dirasa belum
cukup.
3. Sumpah penaksiran (aestimatoir) adalah sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya.187
183
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 95.
184
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 188.
185
Sudikno Mertokusumo I, Op.Cit, hal. 189.
186
Sarwono, Op.Cit, hal. 279.
187
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 96-97.
136
136
Terdapat lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti dari alat-alat
bukti, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap (volledig bewijsracht)
adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali
kalau ada pembuktian perlawanan sehingga hakim akan memberi hukumnya,
misalnya saja akta otentik.
2. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (onvolledig bewijsracht)
adalah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim tidak
memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti yang lemah. Gugatan
yang menggunakan alat bukti yang lemah harus ditolak.
3. Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht), kekuatan bukti ini
serupa dengan kekuatan bukti lemah Misalnya saja dalam memberikan
kesaksian saksinya hanya satu orang, sedangkan dalam hukum terdapat asas
Unus Testis Nullus Testis yaitu satu saksi bukan saksi.
4. Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijsracht) adalah
kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan adanya pembuktian
perlawanan seperti halnya dalam kekuatan pembuktian sempurna. Contoh : alat
bukti sumpah.
5. Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs) adalah kekuatan dari alat bukti
yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan.188
Akta notaris sebagai akta otentik sebagaimana dikatakan oleh Sudikno
Mertokususmo memiliki fungsi sebagai alat bukti. Akta notaris memiliki kekuatan
188
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op.Cit, hal. 81-84.
137
137
pembuktian yang sempurna selama tidak ada pihak yang menyangkal akan
kebenaran isi akta tersebut. Akta notaris mempunyai 3 kekuatan pembuktian
seperti telah dijabarkan pada Bab II yaitu sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Suatu akta dengan sendirinya mempunyai kemampuan untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik, sepanjang lahirnya
sebagai akta otentik telah sesuai dengan aturan hukum yang sudah
ditentukan mengenai syarat akta otentik. Akta tersebut berlaku sebagai akta
otentik sampai sampai ada yang membuktikan sebaliknya bahwa akta
otentik itu bukan akta otentik secara lahiriah.189
Tanda tangan Notaris dalam
akta notaris sangat menentukan sebagai akta tersebut dikatakan sebagai akta
otentik, baik pada minuta dan salinan dan adanya awal akta mulai dari judul
sampai dengan akhir akta .
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).
Suatu akta otentik membuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan
dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-
pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau dihadapan Pejabat yang
berwenang dalam menjalankan jabatannya. 190
Akta notaris pada dasarnya
harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang tersebut
dalam akta betul-betul disaksikan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-
pihak yang menghadap dalam akta dihadapan Notaris sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan dalam pembuktian akta. Dalam arti formil
189Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 116.
190Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 116-117.
138
138
akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan
tempat akta dibuat. Akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang
disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris
sebagai Pejabat umum dalam menjalankan jabatannya. Berbeda halnya
dengan akta di bawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan formil,
terkecuali bila si penandatangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran
tanda tangannya.
3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).
Isi suatu akta secara hukum (yuridis) telah membuktikan keberadaannya
benar terhadap setiap orang, yang membuat atau menyuruh membuat akta
itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang
lain yang mendapat hak darinya).191
Jadi kekuatan pembuktian material ini
merupakan kepastian dari materi akta dan merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan
hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Oleh
karena itulah, maka akta otentik itu berlaku sebagai alat bukti sempurna dan
mengikat para pihak yang membuatnya. Dengan demikian siapapun yang
membantah kebenaran akta otentik sebagai alat bukti, maka ia harus
membuktikan sebaliknya.
Dengan tidak terpenuhinya salah satu dari ketiga kekuatan pembuktian yang
merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik maka akta yang
191
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 118.
139
139
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan.
Salah satu hal yang dijamin kebenarannya dalam akta otentik adalah tanda
tangan. Tanda tangan merupakan satu hal yang penting sehingga suatu akta
otentik yang dibubuhi tanda tangan oleh para penghadapnya memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa dikemudian
harinya, selama tidak ada pihak lain yang menyangkal kebenaran isi akta tersebut.
Melihat kondisi saat ini masih banyaknya masyarakat Indonesia yang buta
aksara diakibatkan kurangnya pendidikan yang didapat dari masa penjajahan
sampai dengan saat ini, menyebabkan banyaknya penghadap yang tidak dapat
membubuhkan tanda tangannya. Baik akibat buta aksara, sakit dan lain
sebagainya, maka penghadap tersebut dapat membubuhkan cap jempol ibu jari
tangan kirinya sebagai tanda tangan dengan menyebutkan alasannya secara tegas
yang dituangkan pada akhir akta notaris. Penggunaan cap jempol sebagai tanda
tangan dalam akta notaris ini memang belum diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, khususnya pada Pasal 44 UU Perubahan Atas
UUJN yang belum mengatur secara tegas. Namun UU Perubahan Atas UUJN
telah mengatur tentang penggunaan sidik jari, yang mana ini berarti sidik jari
sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang penting, akan tetapi sidik jari yang diatur
Pasal 16 ayat (1) huruf c UU Perubahan Atas UUJN menimbulkan penafsiran
disatu sisi dalam rumusan pasal ini suatu sidik jari merupakan bukti yang kuat
untuk menentukan benar tidaknya seseorang hadir menadatangani suatu akta
dihadapan Notaris. Sedangkan dalam Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN
140
140
suatu cap jempol tidak dipersamakan dengan tanda tangan, padahal kekuatan
hukum cap jempol lebih kuat daripada tanda tangan. Cap jempol atau sidik jari
merupakan garis pada kulit jari-jari yang tidak akan berubah dalam jangka waktu
apapun sehingga antara orang yang satu dengan yang lainnya pastinya memiliki
cap jempol yang berbeda. Dan pemalsuan cap jempol sangat sulit dilakukan.
Suatu akta notaris yang dibubuhi cap jempol pada akhir akta tetap
memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti, ini dapat kita lihat dari beberapa
yurisprudensi hakim. Sebagaimana kita ketahui selain undang-undang terdapat 5
sumber hukum formal yaitu :
1. Undang-undang;
2. Kebiasaan (Custom) dan Adat;
3. Perjanjian antar negara (Traktat/Treaty);
4. Keputusan keputusan hakim (Jurisprudensi);
5. Pendapat atau Pandangan Ahli Hukum (Doktrin).192
Penggunaan cap jempol dalam akta notaris dapat dilihat dalam berbagai
yurisprudensi. Yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering
diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah
yang sama.193
Yurisprudensi merupakan putusan-putusan hakim atau pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah
berkekuatan hukum tetap.194
Tidak semua putusan hakim tingkat pertama dan
tingkat banding dapat dikatakan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut
192
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka,
Jakarta (untuk selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik II), hal. 116.
193
Ibid, hal. 135.
194
H. Zainal Asikin, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 85.
141
141
telah dieksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai
putusan yang telah memenuhi standar yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan keputusan hakim yang selalu dijadikan
pedoman bagi hakim lainnya dalam suatu perkara yang sama. Salah satu putusan
hakim Mahkamah Agung yang memperkuat penggunaan cap jempol sebagai tanda
tangan dalam akta otentik apabila terjadi sengketa dikemudian hari adalah Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1392 K/ PDT/ 2010, dengan
kasus posisi sebagai berikut :
1. H. UKKAS DG. NOJENG, bertempat tinggal di Perum Graha Kalegowa Blok
B-2 Nomor 11, Kelurahan Mangalli, Kecamatan Pallang, Kabupaten Goa
selaku Penggugat merupakan pemilik sebidang tanah/sawah, seluas 1.700 M2,
persil No. 36 Sll, kohir No.112 Cl, terletak di Kampung Talaborong, Desa
Manjaling, Kecamatan Bajeng Barat (dahulu Desa Borimatangkasa,
Kecamatan Bajeng) Kabupaten Gowa dengan batas batas :
- Sebelah Utara : Sawah milik Lengke;
- Sebelah Timur : Sawah milik Lengke;
- Sebelah Selatan : Sawah milik Basendong;
- Sebelah Barat : Sawah milik Lengke;
Penggugat mendapatkan hak milik atas tanah/sawah tersebut dengan
membeli tanah tersebut dari BOMBONG BIN LENGKE, bertempat tinggal di
Kampung Talaborong, Desa Manjaling, Kecamatan Bajeng Barat, Kabupaten
Goa sellaku Tergugat, berdasarkan Akta Jual Beli No. 86/KB/1976 tertanggal
20 Mei 1976, dihadapan Kepala Wilayah Kecamatan Bajeng/ PPAT.
142
142
Tanah/sawah tersebut telah digarap oleh Penggugat selama 28 tahun, dan pada
tahun 2004 Tergugat mengambil alih kembali sawah tersebut diatas secara
paksa/kekerasan dengan menyangkali cap jempolnya (cap jarinya) pada Akta
Jual Beli No. 86/KB/1976 tertanggal 20 Mei 1976. Kemudian hal ini
dilaporkan oleh Penggugat ke Polsekta Bajeng dan dilakukan pemeriksaan
perbandingan sidik jari cap jempol tergugat yang terdapat dalam akta jual beli
sawah tersebut.
Setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap sidik jari/cap jempol
Tergugat, ternyata memang benar cap jempol dalam akta jual beli sawah
tersebut diatas merupakan cap jempol milik Tergugat. Karena Tergugat telah
mengambil paksa tanah/sawah tersebut padahal sudah dijual kepada
Penggugat, maka tergugat telah melakukan perbuatan hukum. Penggugat telah
berupaya menempuh jalur damai agar Tergugat mengembalikan tanah
sengketa tersebut, namun tidak berhasil sehingga Penggugat memutuskan
untuk mengajukan perkara ini ke Pengadilan dengan alasan Penggugat
khawatir Tergugat akan mengalihkan atau memindahtangankan tanah sengketa
tersebut ke pihak lain.
Terhadap perkara tersebut Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan
putusannya tanggal 6 November 2008 Nomor : 9/PDT.G/2008/PN.SUNGG
mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan bahwa tanah
sengketa diatas merupakan milik Penggugat yang dibeli oleh Tergugat
berdasarkan berdasarkan Akta Jual Beli No. 86/KB/1976 tertanggal 20 Mei
1976, di hadapan Kepala Wilayah Kecamatan Bajeng/ PPAT, menyatakan
143
143
bahwa surat-surat yang timbul dari diatas tanah sengketa tersebut tidak sah
dan batal batal demi hukum, menghukum Tergugat atau siapa saja yang
memperoleh hak atas tanah sengketa tersebut diatas menyerahkan kepada
Penggugat tanpa syarat dan dalam keadaan kosong, menghukum Tergugat
membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 50.000,00 setiap harinya
apabila Tergugat tidak melaksanakan isi putusan tersebut diatas, terhitung
sejak putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan menghukum
Tergugat untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 206.000,00.
Tidak puas dengan putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Penggugat
mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Makassar yang diperkuat dengan
putusan No.65/PDT/2009/PT.MKS. tanggal 13 Mei 2009. Kemudian Tergugat
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, dengan putusannya
Nomor : 1392 K/ PDT/2010 Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi
dari Tergugat dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara
tingkat kasasi tersebut.
Penjabaran kasus posisi diatas dapat kita lihat bahwa Mahkamah Agung
memutuskan untuk tidak mengabulkan permohonan kasasi Tergugat dikarenakan
alasan-alasan yang telah dijabarkan dalam putusan tersebut. Dalam perkara
tersebut dapat kita lihat adanya sebuah alat bukti tertulis yaitu Akta Jual Beli yang
dibuat oleh Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta Jual Beli yang merupakan
akta otentik tersebut dibubuhi cap jempol oleh BOMBONG BIN LENGKE
(Tergugat) sebagai suatu bentuk tanda tangan yang berfungsi untuk
pengindividualisiran akta serta menandakan bahwa Tergugat telah menyetujui dan
144
144
mengerti isi dari akta tersebut. Namun setelah berpuluh-puluh tahun cap jempol
dalam Akta Jual Beli tersebut disangkal oleh Tergugat, tetapi setelah dilakukan
pemeriksaan terhadap sidik jari cap jempol tergugat ternyata sidik jari cap jempol
tergugat cocok dengan cap jempol yang dibubuhkan pada Akta Jual Beli tersebut.
Dengan demikian Akta Jual Beli yang dibubuhi cap jempol tersebut tetap sah di
mata hukum sebagai suatu perjanjian dan mengikat para pihak didalamnya untuk
tunduk atas isi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian secara otomatis Akta
Jual Beli tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai suatu
alat bukti tertulis.
Melihat putusan Mahkamah Agung diatas, terlihat bahwa hakim
mengakui penggunaan cap jempol sebagai suatu tanda tangan dalam suatu akta
otentik yang dalam kasus ini adalah Akta Jual Beli. Sehingga dengan demikian
suatu akta otentik yang dibubuhi cap jempol tetap memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna serupa halnya dengan kekuatan pembuktian sebuah akta otentik
yang dibubuhi tanda tangan pada akhir aktanya sebagai suatu pengindividualisiran
akta.
Teori kemanfaatan dan teori perlindungan hukum digunakan sebagai pisau
analisis untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini. Cap jempol
sebagai suatu tanda yang dipersamakan dengan tanda tangan pada dasarnya
dipergunakan untuk memberikan perlindungan kepentingan bagi tiap-tiap individu
untuk mencapai kemanfaatan. Cap jempol memiliki manfaat bagi individu yang
tidak bisa membubuhkan tanda tangannya dalam akta otentik baik itu karena sakit
cacat atau buta aksara, hal ini untuk melindungi kepentingan individu yang
145
145
bersangkutan. Selain itu pembuatan akta otentik yang menggunakan tanda tangan
ataupun cap jempol pada akhir aktanya adalah merupakan suatu upaya
perlindungan hukum secara preventif, yakni menjamin sahnya suatu perjanjian
yang dibuat oleh para pihak dan akta otentik ini dapat dipergunakan sebagai alat
bukti apabila nantinya terjadi sengketa di kemudian hari.
146
146
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan terhadap topik penulisan pada tesis ini
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaturan hukum cap jempol sebagai suatu tanda tangan dalam akta notaris
sampai saat ini belum tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 (UUJN) maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (UU Perubahan Atas
UUJN). Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN tidak mengatur cap
jempol sebagai suatu tanda tangan, sedangkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c,
mengatur sidik jari harus dilekatkan pada minuta akta. Hal tersebut
menunjukkan bahwa cap jempol/sidik jari oleh UU Perubahan Atas UUJN
diberi kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dalam UUJN.
2. Suatu perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris yang menggunakan
cap jempol sah menurut hukum, sepanjang telah dibuat dengan memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga dengan keberadaan akta
notaris tersebut adalah sah sebagai akta otentik apabila dalam proses
dibuatnya akta tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata,
dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun tentang Jabatan Notaris khususnya ketentuan Pasal
147
147
44 walaupun dalam minuta akta salah satu pihak hanya membubuhkan cap
jempol tangannya. Dengan demikian akta notaris tersebut memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna sebagai alat bukti.
5.2 Saran-Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas
terhadap kekuatan hukum cap jempol sebagai tanda tangan dalam akta notaris
adalah sebagai berikut :
1. Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kembali rumusan Pasal 44 ayat
(1) UU Perubahan Atas UUJN dengan memberi pengaturan bahwa cap jempol
yang dibubuhkan pada akhir minuta akta adalah sama kedudukannya dengan
tanda tangan yang membuktikan kebenaran kehadiran serta persetujuan
seseorang dalam proses dibuatnya akta notaris.
2. Cap jempol memiliki kekuatan hukum yang setara atau bahkan lebih kuat dari
suatu tanda tangan, maka disarankan dalam hal pembubuhan cap jempol
dalam akta notaris tidak perlu dibarengi lagi dengan pencantuman alasan
penggunaan cap jempol tersebut dalam akhir akta. Karena dengan adanya
keharusan menyebutkan alasan karena seseorang penghadap tidak dapat
membaca dan menulis, cenderung mengandung diskriminasi terhadap orang
yang membubuhkan cap jempolnya tersebut sebagai tidak terpelajar serta
menimbulkan kerancuan dalam praktek kenotariatan.
148
148
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
_______, 2009, Meneropong Khazanah Notaris Dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan Tentang Notaris Dan PPAT), PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, 2012, Asas Asas Hukum Pembuktian Perdata,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Andasasmita, Komar, 1983, Notaris II, Sumur, Bandung.
Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak,
Udayana University Press, Denpasar.
Asikin, H. Zainal, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Bockrath, Joseph T., 2000, Contracts And The Legal Environment For Engineers
And Architects, Sixth Edition, McGraw-Hill Series in Construction
Engineering and Project Management, United States.
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Darus Badruizaman, Mariam, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Darmodiharjo, Darji dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Djamali, Abdoel, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Ke-17, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fuady, Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern di Era
Globalisasi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
149
149
_______, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Garner, Bryan A., 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Tomson West,
Dalas Texas.
Harahap, M. Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Huda, Ni’Matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta.
Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses,
Jakarta.
Komariah, 2008, Hukum Perdata, UMM Press, Malang.
Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
_______, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-3, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Macdonald, Ros and Denise McGill, 2008, Drafting , Second Edition, Lexis
Nexis Butterworths, Australia.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima,
Liberty, Yogyakarta.
_______, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedelapan, Liberty,
Yogyakarta.
Misbach, Ifa H., 2010, Dahsyatnya Sidik Jari Menguak Bakat Dan Potensi Untuk
Merancang Masa Depan Melalui Fingerprint Analysis, Visimedia, Jakarta.
Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta
Naja, H.R.Daeng, 2006, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis : Contract
Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu
Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta.
150
150
Notohamidjojo, O., 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga.
Prodjodikoro, Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,
Cetakan VIII, Sumur, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta.
Rai Widjaya, I.G., 2007, Merancang Suatu Kontrak : Contract Drafting Teori Dan
Praktik, Kesaint Blanc, Jakarta.
Ratiba, Matome M., 2013, Convecaying Law For Paralegals And Law Students,
bookboon.com.
Riswandi, Budi Agus dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak kekayaan
Intelektual Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta.
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim HS, 2008, Hukum Kontrak, Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta
_______, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Salim HS et.al. H., 2006, Perancangan Kontrak Dan Memorandum Of
Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta
Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,
Refika Aditama, Bandung.
Supriadi, 2010, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris
Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soeroso, R., 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Sinar Grafika,
Jakarta.
_______, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan Dan
Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
151
151
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXV, PT.Intermasa,
Jakarta.
_______, 2008, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
_______, 2010, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta.
Sulihandari, Hartanti dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi
Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta.
Taufik Makarao, Mohamad, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta.
_______, 2011, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Tobing, G.H.S Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.
Tunick, Mark, 1992, Punishment : Theory And Practice, University of California
Press, Los Angeles.
Yudha Hernoko, Agus, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan R.Subekti dan R.
Tjitrosudibio, 2003, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4843).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
152
152
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
III. ARTIKEL
Adjie, Habib, 2014, Menafsirkan Tanda Tangan Dan Sidik Jari Pada Minuta Akta
Notaris, Renvoi Nomor 128 Tahun XI, tanggal 3 Januari 2014.
Anonim, 2004, Langkah Antisipatif NNA, Renvoi Nomor 7 Tahun II, tanggal 3
Desember 2004.
Anonim, diakses pada tanggal 15 Maret 2013, Transaksi dan Tanda Tangan
Digital Etika Profesi Teknologi dan Komunikasi, http://tek-
kom25.blogspot.com/2012/11/transaksi-tanda-tangan-digital.html.
Anonim, diakses pada tanggal 01 Agustus 2013, Definisi Tanda Tangan,
http://www.artikata.com/arti-353196-tanda+tangan.html
Anonim, diakses pada tanggal 20 November 2013, Sidik Jari,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sidik_jari.
Anonim, diakses pada tanggal 20 November 2013, Catatan Kuliah Peraturan
Jabatan Notaris, http://notariatundip2011.blogspot.com/2011/11/catatan-
kuliah-peraturan-jabatan.html
Anonim, diakses pada tanggal 1 Desember 2013,
http://kamusbahasaindonesia.org/individu/mirip#ixzz2mzlkUqN9.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal, yang diakses pada
tanggal 21 April 2014, Anggaran Bantuan Rp. 48,01 Miliar Untuk Daerah
Terpadat Buta Aksara, http://paudni.kemdikbud.go.id/anggaran-bantuan-
rp4801-miliar-untuk-daerah-terpadat-buta-aksara.
Makarim, Edmon, Cybernotary/E-notary, Makalah seminar Internasional
Cybernotary Law and ADR, pada tanggal 17 Januari 2013.
Tjahjono, Jusuf Patrianto, diakses pada tanggal 7 Juli 2012, Arti dan Kedudukan
Tanda Tangan Dalam Sebuah Dokumen,
http://notarissby.blogspot.com/2008/05/arti-dan-kedudukan-tanda-tangan-
dalam.html.