Upload
merlitanuryowanda
View
645
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke
dunia selalu mempunyai kecenderungan hidup bersama dengan manusia
lainnya dalam suatu pergaulan hiup. Di dalam bentuknya yang terkecil,
hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga, karena
keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang pada mulanya
dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
telah memenuhi persyaratan yang kita sebut sebagai perkawinan.
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga
sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Hukum negara yang mengatur masalah perkawinan adalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan aturan
lain yang mengatur tentang perkawinan adalah hukum adat, dimana
hukum adat sudah terlahir secara turun menurun dari jaman nenek
moyang yang akan terus ada sampai kapanpun. Dan juga hukum Islam,
dimana setiap agama mempunyai cara masing-masing untuk
melangsungkan sebuah perkawinan.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mempunyai tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (pasal 1).
Untuk dapat mewujudkan tujuan suatu perkawinan, salah satu
syaratnya adalah bahwa pihak yang akan melakukan perkawinan telah
siap secara fisik maupun jiwanya. Oleh karena itu didalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur seseorang
untuk dinyatakan siap dalam melakukan perkawinan. Dalam hal ini
tercantum pada pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : ”Perkawinan hanya
diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.
Berbeda dengan hukum adat, biasanya batas umur tidak dijadikan
suatu kendala untuk melakukan suatu perkawinan. Bahkan hukum adat
memperbolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak
masih berusia anak-anak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum
Adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua belah pihak
mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga yang
mempunyai hubungan kerabat.
Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk
melakukan perkawinan dimaksudkan agar orang yang akan menikah
diharapkan sudah memiliki kematangan dalam berpikir, kematangan jiwa
dan kekuatan fisik yang cukup memadai. Keuntungan lainnya yaitu agar
dapat menghindari perceraian karena pasangan tersebut memiliki
kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan.
Syekh Puji membuat kami cukup antusias untuk membahas lebih
dalam mengenai kasus yang belum lama dialaminya sebagai salah satu
contoh kasus dalam Hukum Perdata. Pujiono Chayo Widianto (43) atau
yang bisa dikenal sebagai Syekh Puji, adalah seorang pemilik pondok
pesantren dan pengusaha kaya asal Semarang. Belakangan ini Syekh
Puji gemar menikahi gadis dibawah umur sehingga kejadian ini
mengakibatkan pengusaha ini dijerat hukum. Lutfiana Ulfa (12) adalah
salah seorang anak yang dinikahinya dan konon akan berlanjut dengan
mempersunting anak umur 7 dan 9 tahun. Calon istri yang dipilih syeikh
puji adalah anak – anak yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah
satu tujuannya adalah karena Syekh Puji ingin membantu calon istrinya
karena kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Tujuannya yang lain dengan memilih anak-anak yang pintar yaitu
karena Syekh Puji menginginkan mereka untuk melanjutkan usaha-usaha
bisnis yang dimiliki Syekh Puji. namun tanpa disadari bahwa semua
perbautan Syekh Puji ternyata melanggar peraturan yang berlaku di
Negara Indonesia sehingga Syekh Puji harus dikenakan hukuman.
Di dalam perkawinan usia ini yang dilakukan Syekh Puji terhadap
Lutfiana Ulfah, merupakan salah satu contoh pernikahan dibawah umur
yang ditentang oleh negara karena dianggap melanggar:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
anak menyatakan : ”perlindungan terhadap anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera”. Sedangkan nyatanya hak hidup Luthfiana
Ulfa sebagai anak berusia 12 Tahun tidak mendapatkan hak sepenuhnya.
Oleh karena itu, dalam proposal ini kami akan membahas lebih jauh
mengenai kasus pernikahan dibawah umur yang dilakukan Syekh Puji
terhadap Lutfiana Ulfah dan menjelaskan beberapa kasus-kasus perdata
yang dijatuhkan kepada Syekh Puji dan beberapa hal yang meliputi kasus
ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah perbuatan yang dilakukan Syekh Puji terhadap Luthfiana
Ulfa melawan hukum Undang-undang Perkawinan dan Undang-Undang
Perlindungan Anak ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang
berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974
Untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan Syekh Puji
terhadap Luthfiana Ulfa melawan hukum Undang-undang
Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak
1.4 MANFAAT PENILITIAN
1.4.1 Akademik
Untuk memberikan pelajaran dan informasi secara luas agar
tahu nilai-nilai yang ada didalam suatu peraturan Negara sehingga
tidak dapat dilanggar
1.4.2 Praktis
Agar masyarakat mengetahui bahwa adanya larangan akan
adanya pernikahan dibawah umur agar dapat mengurangi jumlah
kasus-kasus yang ada saat ini.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam laporan ini sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini kami akan membahas mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta sistematika
penulisan dengan tema pernikahan dibawah umur yang berjudul
”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa”.
BAB II KERANGKA TEORITIS
Dalam bab ini kami akan membahas teori hukum perdata dan teori-
teori yang berkaitan dengan kasus ”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan
Luthfiana Ulfa”. Seperti hukum Perkawinan, Hukum perkawinan dalam
Islam, Hukum Adat Perkawinan, dan Hukum Perlindungan Anak.
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini kami akan menganalisa dan membahus kasus
”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa” secara mendalam.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini kami akan membuat kesimpulan dari masalah ini dan
memnyampaikan saran yang berkaitan dengan kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Hukum Perdata
2.1.1 Sejarah hukum Perdata
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka
KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di
wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia
Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda.
Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia
yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi
yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan
keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri
Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda
mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah
Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas
istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr.
C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836
ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua
Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van
Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem
di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van
Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia
tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang
diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya
diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya
panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka
KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena
KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia.
Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April
1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan
peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan
berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru
berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda
disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia
sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945. Segala Badan Negara
dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum
perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum
perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat
[Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal
dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti
dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan,
Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5
Tahun 1960.
2.1.2 Definisi Hukum Perdata
Mengenai pengertian dari Hukum Perdata ini, oleh para
pakar sarjana hukum diartikan secara berbeda-beda. Pendapat
para pakar sarjana hukum tersebut antara lain adalah :
a. Menurut Prof.Subekti S.H.,
Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum
“privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan.
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H.,
Hukum perdata ( materiil ) ialah kesemuanya kaidah hukum
yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata.
c. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo S.H.,
Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang
mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang
lain di dalam pergaulan masyarakat.
d. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,
Hukum perdata adalah suatu rangkaian hukum antara
orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan
kewajiban.
e. Menurut H.F.A. Vollmar,
Hukum perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma, yang
memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan
perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan
yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu
( negeri Belanda ) terutama yang mengenai hubungan keluarga
dan hubungan lalu-lintas. Hukum perdata disebut juga hukum sipil
atau hukum privat.
f. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H.
Hukum perdata adalah keseluruhan aturan hukum yang
mengatur tingkah laku orang yang seorang terhadap orang yang
lainnya di dalam Negara itu, tingkah laku antara warga masyarakat
dalam hubungan keluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
g. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn
Hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang
obyeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal
akan dipertahankannya atau tidak, diserahkan kepada yang
berkepentingan.
h. Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan
antara warganegara perseorangan yang satu dengan warga
Negara perseorangan yang lain.
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan, bahwa yang
dimaksud dengan hukum perdata adalah hukum yang mengatur
mengenai hubungan hukum antara hak dan kewajiban orang atau
badan hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain
di dalam pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan
pada kepentingan perseorangan atau individu.
2.1.3 Pembagian dan Sistematik Hukum Perdata
Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) kitab
Undang-undang hukum Sipil yang disingkat KUHS (burgerlijk
wetboek,disingkat B.W.).
KUHS itu terdiri atas 4 buku yaitu:
1. buku I, yang berjudul perihal orang(van personen),yang memuat
hukum perorangan dan hukum kekeluargaan;
2. buku II, yang berjudul perihal benda(van zaken),yang memuat
hukum benda dan hukum waris;
3. buku III, yang berjudul perihal perikatan (van
verbintenissen),yang memuat hukum harta kekayaan yang
berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi
orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
4. buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa atau
liwat waktu(van bewjis en verjaring),yang memuat perihal alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-
hubungan hukum.
Menurut ilmu pengetahuan hukum,hukum perdata(yang
termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian,yaitu:
1. Hukum perorangan (personenrecht) yang memuat antara lain:
a. peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek
hukum;
b. peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki
hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-
haknya itu.
2. hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain:
a. perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta
kekayaan antara suami/istri;
b. hubungan antara orang tua dan anak-anaknya
(kekuasaan orang tua-ouderlijke macht);
c. perwalian(voogdij);
d. pengampuan(curatele).
3. hukum harta kekayaan(vermogensrecht),yang mengatur tentang
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang.
Hukum harta kekayaan meliputi:
a. hak mutlak,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap
orang;
b. hak perorangan,yaitu hak-hak yang hanya berlaku
terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
4. hukum waris(erfrecht),yang mengatur tentang benda atau
kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat
dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).
2.2 Perkawinan
2.2.1 Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia yang berlaku
sekarang ini antara lain :
a. Buku I dari Kitab Undang-undang HukumPerdata, yaitu Bab IV
sampai dengan Bab XI.
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemeeerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang
pelaksanaan UU Nomor 1 Tagun 1974 tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan
dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil.
f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).
2.2.2 Definisi Hukum Perkawinan dan Perkawinan
Hukum Perkawinan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya
antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita
dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Sedangkan Perkawinan, menurut Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanta sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.2.3 Bentuk-bentuk Perkawinan
Dilihat dari dua segi :
1. Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri, terdiri atas :
a. Perkawinan Monogami adalah Perkawinan antara pria
dengan seorang wanita.
b. Perkawinan Poligami adalah Perkawinan antara seorang
Pria dengan lebih dari satu wanita (poligini) ataupun
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu
pria (poliandri).
2. Dilihat dari segi asal suami istri, dibedakan menjadi :
a. Perkawinan Eksogami, ialah Perkawinan antara pria dan
wanita yang berlainan suku dan RAS
b. Perkawinan Endogami, ialah Perkawinan antara Pra dan
Wanita yang berasal dari suku dan ras yang sama
c. Perkawinan Homogami,adalah perkawinan antara pria
dan wanita dari lapisan sosial yang sama
d. Perkawinan Heterogami, adalah perkawinan antara pria
dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan
2.2.4 Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Hukum Perdata Barat :
a. Berasas monogami
b. Harus ada kata sepakt dan kemauan bebas antara si pria
dan wanita
c. Pria sudah berusia 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun
d. Ada masa tunggu bagi wanita yang bercerai yaitu 300 hari
sejak perkawinan terakhir bubar
e. Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh ijin kawin
dari orang tua mereka. Mengenai ijin kawin ini diatur dalam
ketentuan-ketentuan berikut ini :
Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang
dibawah pengawasannya harus ada ijin dari wali pengawas.
1. Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tiak
mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan ijin
adalah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,
sedangkan ijin wali masih pula tetap diperlukan
2. Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin,
harus mendapat iji dari bapak dan atau ibu yang mengakuinya.
Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak dibawah
pengawasannya, harus ada ijin dari wali pengawas. Jika
diantara orang-orang yang harus memberi ijin iytu terdapat
perbedaan pendapat, maka pengailan atas permintaan si anak,
berkuasa memberikan ijin
3. Anak luar kawin namun tidak di akui, selama belm dewasa,
tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali
pengawas mereka ( pasal 40 KUHPer )
4. Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30
tahun, masih juga diperlukan izin kawindari orang tuanya.
Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak
dapat memintanya dengan perantaraan hakim ( pasal 42
KUHPer ).
f. Tidak terkena larangan kawin ( pasal 30 sampai 33
KUHPer ).
2.2.5 Larangan Perkawinan
Didalam KUHPer ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara :
a. Mereka yang bertalian keluarga dalam gariskeuturunan lurus
keatas dan kebawah atau dalam garis keturunan menyamping,
yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan ( pasal
30 KUPer ).
b. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua
dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara;
atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau
cucu laki saudara ( pasal 31 KUHPer ).
c. Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah
oleh putusan hakim ( pasal 32 KUHPer ).
d. Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran
perkawinan terakhir jika belum lewat waktu satu tahun ( pasal
33 KUHPer ).
2.2.6Perjanjian Perkawinan
Di dalam ketentuan pasal 139 – 143 KUHPer, di atur
mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian kawin,
yaitu :
a. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
b. Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di
dalam perkawinan.
c. Tidak boleh melanggar ekuasaan orang tua.
d. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang undang
terhadap suami atau istri yang hidup terlama.
e. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai
kepala persatuan suami stri.
f. Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie ( hak
mutlak ) atas warisan dari keturunannya dan mengatur
pembagian warisan dari keturunannya.
g. Tidak boleh di perjanjikan bahwa sesuatu pihak harus
membayar sebagian utang ang lebih besar daripada bagian
keuntungannya.
h. Tidak boleh di perjanjikan dengan jata-kata umum, bahwa
ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang undang luar
negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.
2.3 Hukum Adat
Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma
adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan
manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan
anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam
bermasyarakat dan negara. Kepribadian bangsa kita dapat dilihat dari
keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada Lambang
negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika”
(Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua).
Dengan mempelajari hukum adat di Indonesia maka kita akan
mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum Indonesia, dan
sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di
konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional. Berkat hasil
penelitian Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa
bangsa Indonesia mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian
bangsa Indonesia semenjak tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang –
undang dasarnya dapat mewujudkan tata hukum Indonesia.
Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi,
ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi
(dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam
buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson
Tahun 1850.
2.4Pernikahan menurut Hukum Islam
2.4.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang
kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami
maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan
memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena
menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat
menentukan jalan hidup seseorang.
2.4.2 Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu
dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba
sahayamu yang perempuan." (Q.S. 24-An Nuur : 32)
2.4.3 Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir."
2.4.4 Tata cara Perkawinan dalam Islam
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang
mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun,
dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun
masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut
nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam
yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk
meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan
upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan
melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara
perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih.
Dalam kesempatan kali ini redaksi berupaya menyajikannya secara
singkat dan seperlunya. Adapun Tata Cara atau Runtutan
Perkawinan Dalam Islam adalah sebaga berikut:
1.Khitbah(Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah
hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia
sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang
seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh
orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat
wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang
harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul
Hajat.
3. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan
sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang
orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti
makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, yang artinya: "Makanan paling buruk adalah makanan
dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja
untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang.
Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (HR: [shahih] Muslim 4:154
dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu
orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Janganlah kamu
bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan
makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (HR: [shahih]
Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id
Al-Khudri).
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pernikahan adalah hal yang biasa terjadi, namun dalam pelaksanaannya
sering terjadi penyelewengan yang tidak sesuai dengan undang-undang
perkawinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berlaku di Indonesia.
Kasus Pernikahan Syekh Puji dan Luthfiana Ulfa adalah salah satunya.
Sebagian kelompok masyarakat dibeberapa daerah mengakui bahwa hal ini
lazim dilakukan, karena menurut mereka ini adalah sesuatu yang halal dan tidak
ada masalah karena syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama islam
sudah terpenuhi. Namun sebenarnya hal ini melanggar beberapa aturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan. Karena pernikahan yang dilakukan
Syekh Puji melibatkan mempelai wanita di bawah umur yaitu berusia 12 tahun.
3.1 Cara pandang Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
mengenai Pernikahan dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa.
Kasus pernikahan dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa menjadi
perbincangan hangat di masyarakat karena pernikahan Syekh Puji ini
melibatkan seorang gadis belia yang bernama LUthfiana Ulfa yang baru
berusia 12 tahun. Pernikahan ini ditentang oleh beberapa pihak. Karena
Syekh Puji dituduh telah melanggar tiga ketentuan peraturan perundang-
undangan sekaligus. Yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Beberapa pernyataan dari beberapa pihak yang
berkaitan dengan kasus pernikahan controversial tersebut. Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menjelaskan bahwa
pernikahan dini mempunya dampak yang cukup serius bagi anak
khususnya perempuan, termasuk bahaya kesehatan, trauma psikis yang
berkepanjangan, gangguan perkembangan pribadi, dampak social seperti
putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas dan sering kali
menjadi sebagai pendorong perceraian di usia dini. “ tingginya angka usia
perkawinan dini berkaitan dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan
aksesibilitas pada pendidikan, “ ucap Meutia Hatta dalam Konferensi Pers
‘Dampak Pernikahan Dini’ yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan
Informasi di Jakarta.
Dalam Konferensi Pers tersebut turut hadir ketua MUI Huzaimah
yang menyatakan bahwa masyarakat sebaiknya tidak berpengaruh dan
ikut-ikutan dengan tindakan Syekh Puji yang menikahi anak dibawah
umur. MUI menjelaskan salah satu dasar untuk menikah adalah kesiapan
materi, mental dan kejiwaan. Sehingga tujuan berumah tangga dengan
membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang dapat
diwujudkan. Namun masalahnya jika anak yang belum dikatakan dewasa
dan harus menikah akan mengalami kebingungan dalam memahami arti
cinta dan kasih sayang.
Sementara menteri komunikasi dan informasi juga menghimbau
agar media massa lebih bijaksana dalam memberikan pemberitaan
mengenai kasus pernikahan dini syekh puji dan luthfiana ulfa. Untuk
menghilangkan trauma psikologis dimasa datang seorang anak wajib
mendapat perlindungan dalam hal publikasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
terdapat ketentuan yang ada di dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
dimana dalam ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya. Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap –
tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kedua Undang-Undang ini sangat bertolak belakang.
Menurut pemahaman dalam teori Islam pernikahan yang dilakukan oleh
syekh puji dengan luthfiana Ulfa dianggap sah karena syarat-syarat
sahnya perkawinan menurut agama islam telah terpenuhi. Namun
pencatatan perkawinan tersebut terhalang ketentuan lain yang berkaitan
dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang tersebut
sehingga perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji tidak bisa
dicatatkan.
Ketentuan-ketentuan yang menghalangi perkawinan Syekh Puji
tersebut ialah terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) menentukan bahwa perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah berumur 16 tahun. Dalam hal ini pihak Luthfiana Ulfa yang
baru berusia 12 tahun dan belum mencapai 16 tahun.
Pernikahan dispensasi nikah yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat
(1) dapat dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk.
Pihak keluarga Luthfiana Ulfa mengajukan dispensasi nikah untuk
menikah secara resmi dan sesuai Undang – Undang dengan Pujiono
Cahyo Widianto atau yang dikenal sebagai Syekh Puji melalui ayahnya
yaitu Suroso kepada Pengadilan Agama Kabupaten Semarang namun
ternyata permohonan dispensasi nikah yang diajukan pihak keluarga
Luthfiana Ulfa ditolak Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan
alasan dalam 2 agenda sidang terakhir pihak pemohon dari keluarga
Luthfiana Ulfa tidak hadir dalam persidangan. Disamping itu pemohon
juga tidak menunjukan dan membuktikan apa yang diminta pemohon
kehadapan majelis hakim.
“Kami tidak dapat mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang
diajukan pemohon. Sebab dalam 2 kali persidangan terakhir pemohon
tidak hadir. Selain itu pemohon tidak dapat membuktikan apa yang
diminta selama di pengadilan,” kutipan Rohanna selaku ketua majelis
hakim Pengadilan Agama Kabupaten Semarang yang menangani
permohonan dispensasi nikah Luthfiana Ulfa.
3.2 Cara pandang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengenai Pernikahan Dini Syekh Puji dengan
Luthfiana Ulfa.
Yang dimaksud anak dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak khususnya dalam pasal 1 ayat (1) adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dari sini dapat diketahui, bahwa mempelai wanita,
Luthfiana Ulfa masih termasuk sebagai kategori anak-anak sehigga harus
dilindungi. Dan dalam pasal 3 dinyatakan bahwa Perlindungan terhadap
anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Sedangkan dalam pasal 4
menyatakan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang
dab berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Dan dalam pasal 6 dinyatakan bahwa setiap anak berhak
beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Syekh Puji
telah melanggar ketentuan-ketentuan tersebut karena telah menikahi
Luthfiana Ulfa yang masih termasuk kategori anak. Sehingga, di
khawatirkan Luthfiana Ulfa tidak dapat tumbuh, berkembang, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi karena
perubahan status Luthfiana Ulfa dari seorang anak menjadi Ibu rumah
tangga. Yang berarti telah lepas dari bimbingan orang tuanya.
Lagipula, dalam pasal 9 dinyatakan pula bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
dan dalam pasal 11 dinyatakan setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaakan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain,berekreasi, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri.
Semenjak Luthfiana Ulfa menikah dengan Syekh Puji, Luthfiana
Ulfa tidak meneruskan sekolah dan ini melanggar ketentuan pasal 9 ayat
(1) karena tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui
jalur pendidikan formal yang dapat menghambat pengembangan karakter
dalam diri Luthfiana Ulfa. Karena pernikahan ini pula, Luthfiana Ulfa hanya
mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat, bergaul dan bermain dengan
teman-teman sebayanya karena Luthfiana Ulfa mempunyai kewajiban
terhadap suaminya yaitu Syekh Puji.
Dalam Pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa orangtua mempunyai
tanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua dari
Luthfiana Ulfa telah melanggar ketentuan karena telah melalaikan
kewajibannya untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi
anak serta melanggar hak anak karena memperbolehkan Luthfiana Ulfa
untuk menikah.
Dalam hal ini Syekh Puji juga dianggap melanggar undang-
undang ini dalam pasal 77 A yang berbunyi : Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tindakan:
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3.3 Cara Pandang Hukum Islam dan hukum adat terhadap pernikahan dini
Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa
Jika dua peraturan di atas yaitu undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menentang pernikahan yang dilakukan Syekh
Puji.maka, berbeda dengan hukum Islam dan hukum adat yang berlaku di
Indonesia.
Dimana dalam hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia tidak
melarang perkawinan ini karena telah memenuhi syarat perkawinan yaitu
adanya persetujuan antara kedua belah pihak keluarga dan kemauan dari
diri masing-masing. Maka, dalam hal ini tidak ada hukuman yang menjerat
Syekh Puji karena melakukan pernikahan di bawah umur dengan
Luthfiana Ulfa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pelanggaran dalam pernikahan sebenarnya sudah banyak terjadi di
daerah-daerah tertentu. Namun, karena Syekh Puji merupakan salah
seorang yang terpandang di desanya membuat kasus ini menjadi dibesar-
besarkan dan menimbulkan kontroversi dari berbagai kelompok
masyarakat. Ada yang menyetujuinya dan ada yang tidak. Jika dilihat dari
segi hukum hal itu dinyatakan salah karena menikahi anak di bawah umur
yaitu Luthfiana Ulfa dan dinyatakan melanggar :
1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
2. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak
Dan Syeikh Puji diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun dan
atau denda 100 juta rupiah. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum
adat dan hukum Islam dapat dibenarkan dan dinyatakan sah karena tidak
adanya larangan pernikahan dengan batasan umur.
4.2 Saran
Dengan adanya pemberitaan kasus ini kami selaku penulis
berharap agar pemerintah lebih menegakkan peraturan mengenai
Perkawinan dan Perlindungan anak sehingga tidak terjadi lagi kasus yang
sama sehingga tidak adanya lagi kasus pelanggaran yang terjadi dalam
pernikahan.
Dan semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari masalah ini
dan kemudian di aplikasikan ke kehidupan nyata untuk menjadi yang lebih
baik.