Upload
letidebora-enjuvina
View
62
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pbl blok 24
Citation preview
Leukemia Limfositik Akut pada Anak
Letidebora Enjuvina Tambawan
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Nim: 102012300
Pendahuluan
Leukemia Limfositik akut adalah bentuk akut dari leukemia yang
diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa
limfoblas.
Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas,
sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan
dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Faktor
penyebab LLA tidak diketahui, tapi dimungkinkan karena interaksi sejumlah faktor:
neoplasia, infeksi, radiasi, keturunan, zat kimia, mutasi gen.
Leukemia akut cepat terjadi dan lambat penyembuhannya, dapat diakhiri
dengan kematian bila tidak segera diobati. LLA sering ditemukan pada anak-anak (82
%) daripada umur dewasa dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada
anak perempuan.
Anamnesis
Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala anemia, kelemahan
tubuh, berat badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri
tulang, nyeri sendi. Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat
anamnesis , antara lain:
Keluhan utama:
o Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik
dinilai pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan
konjungtiva.
Keluhan penyerta:
Tinjauan Pustaka
o Biasanya anak lemas, demam, penurunan kadar trombosit, muntah
sehingga menunjukkan gejala seperti serangan demam berdarah
bahkan dapat ditemukan kulit yang tampak kuning pucat seperti
penyakit kuning.1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang khas ialah pucat, panas, dan perdarahan disertai
splenomegaly, dan kadang-kadang hepatomegaly serta limfadenopatia. Penderita yang
menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat didiagnosis
leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang anak terdapat
pucak yang mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan, waspadalah leukemia.
Perdarahan dapat berupa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dan
sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali. Gejala
yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalah-tafsirkan sebagai
penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada
alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral
dan sebagainya.2
Gambar 1. Splenomegali.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, gejala yang terlihat adalah adanya pansitopenia,
limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan
terdapat sel blast (menunjukkan gejala patogonomik untuk leukemia).
2
Pemeriksaan sumsum tulang ditemukan gambaran monoton yaitu hanya terdiri
dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).
Pemeriksaan biopsi limfa memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel
yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak seperti: limfosit normal, RES,
granulosit, pulp cell.2
Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan
merupakan kromosom normal, dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat
kecil. Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang
ditemukan. Pada leukemia biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa
limfositosis lebih dari 80% atau terdapat sel blast. Juga diperlukan pemeriksaan dari
sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sel
patologis.
• Biopsi—Dokter mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang pinggul atau
tulang besar lainnya. Seorang ahli patologi memeriksa contoh dibahwah
sebuah mikroskop. Pengangkatan jaringan untuk mencari sel-sel kanker
disebut suatu biopsi. Suatu biopsi adalah cara satu-satunya yang pasti untuk
mengetahui apakah sel-sel leukemia ada didalam sumsum tulang.
• Ada dua cara dokter dapat memperoleh sumsum tulang. Beberapa pasien-pasien
akan mempunyai kedua-duanya prosedur:
Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum tulang): Dokter
menggunakan sebuah jarum untuk mengangkat contoh-contoh dari
sumsum tulang.
Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum Tulang): Dokter menggunakan
suatu jarum yang sangat tebal untuk mengangkat sepotong kecil dari
tulang dan sumsum tulang.
Pembiusan lokal membantu membuat pasien-pasien lebih enak.
• Cytogenetics—Lab melihat pada kromosom-kromosom dari sel-sel dari contoh-
contoh dari peripheral blood, sumsum tulang, atau nodus-nodus getah bening.
• Spinal tap—Dokter mengangkat beberapa dari cairan cerebrospinal (cairan yang
mengisi ruang-ruang di dan sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Dokter
menggunakan suatu jarum panjang yang kecil untuk mengangkat cairan dari
kolom tulang belakang (spinal column). Prosedur memakan waktu kira-kira 30
menit dan dilaksanakan dengan pembiusan lokal. Pasien harus terbaring untuk
3
beberapa jam setelahnya untuk mempertahankannya dari mendapat sakit
kepala. Lab memeriksa cairan untuk sel-sel leukemia dan tanda-tanda lain dari
persoalan-persoalan.
• Chest x-ray—X-ray dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di dada.3
Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemui
Complete blood count leukositosis, anemia, trombositopenia
Bone Marrow Puncture hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti
Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negatif
Fosfatase asam positif (T-ALL), PAS positif (B-ALL)
Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur kembali gen
reseptor sel T dan Ig
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22
Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping untuk
menguraikan klon maligna
Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL CSF
Tabel 1. Gambaran Laboratorium.4
Working Diagnosis
4
Leukemia Limfositik Akut/Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah
keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Pada lebih dari 80% kasus, sel-sel
ganas berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini
merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun
demikian, 20% kasus adalah dewasa. Jika tidak diobati, dapat fatal.
Manifestasi leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut
dengan tanda dan gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal
(kegagalan sumsum tulang) atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.
Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan berkurangnya sel-
sel normal di darah perifer dengan manifestasi utama berupa infeksi, perdarahan, dan
anemia.
Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu:
Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia),
biasanay terjadi pada anak
Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme). Disebabkan
oleh hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel leukemia.
Semua cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang
ganas, sehingga semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin
berkurang, akibatnya gizi pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah.
Kemungkinan lain penyebab penurunan status gizi pasien adalah anemia dan
gangguan oksigenasi jaringan. Peningkatan aktivitas seluler yang terjadi
mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan mekanisme
pengaturan suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya
demam adalah adanya infeksi. Walaupun sel-sel leukosit yang berperan dalam
sistem imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan
sel imun jenis apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh.
Fenomena ini disebut dengan leukopenia fungsional.
Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gram
negatif usus, stafilokokus, streptokokus, serta jamur
Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
Limfadenopati. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan
dalam memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan
5
menyebabkan timbulnya rasa sakit.
Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2)
akibat anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan
yang paling mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik
ke dalam jaringan hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait:
1) infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam
kasus ini, kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi
sel-sel leukemia ke dalam limpa/spleen.
Massa di mediastinum (T-ALL).
Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik,
muntah, kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan
perubahan status mental.5,6
Diagnosis Banding
Diagnosis banding antara anemia aplastik dan stadium dini leukemia yang
aleukemik tanpa pembesaran limpa, sangat sulit. Gambaran darah tepi pada kedua
kelainan ini sama, kecuali bila terdapat limfositosis yang lebih dari 80% atau
terdapatnya sel blas dalam darah tepi, diagnosis lebih cenderung pada leukemia.
Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang masih
dapat menolong. Keadaan anemia aplastik yang merupakan stadium praleukemia
sukar sekali dibedakan dari anemia aplastik murni, kecuali dengan pemeriksaan
electron atau dengan pengawasan lebih lanjut.
Untuk diagnosis morfologis (menentukan jenis sel leukemia), kadang –
kadang diperlukan pewarnaan khusus (pewarnaan PAS, peroksidase) atau
pemeriksaan biokimia 2.
Leukemia mielositik akut (LMA)
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan
rutin membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya
diferensiasi (dengan perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya
ditemukan tanda – tanda diferensiasi kearah granulosit atau monosit pada blas atau
6
progeninya. Diperlukan tes khusus untuk memastikan penegakan diagnosis AML atau
ALL dan untuk membagi lagi kasus – kasus AML atau ALL ke dalam subtype yang
berbeda.
Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya
gambaran AML dan ALL sekaligus. Ciri – ciri ini dapat ditemukan pada sel yang
sama (biphenotypic) atau pada populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini
mencakup ekspresi yang tak wajar dari petanda imunologik atau penataan ulang gen
yang tak wajar. Hal ini disebut leukemia akut hybrid dan pengobatan biasanya
diberikan berdasarkan pola yang dominan 6.
Thalasemia
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif menurut hukum mendel. Gen
Talasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik
manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah – daerah perbatasan
laut medeterania, sebagian besar Afrika Timur Tengah, sub benua India dan Asia
Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Amerika keturunan Italia atau Yunani dan 0,5
dari kulit hitam Amerika membawa Gen untuk Talesemia. Dibeberapa daerah Asia
Tenggara sebanyak 40 % dari populasi mempunyai satu atau lebih gen talasemia.6
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintetis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran
sel – sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defesiensi asam
folat bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi dan
distribusi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian
biomolekuler menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai
Alfa atau Beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil
kombinasi antara transfusi berkurang , peningkatan absorbis besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis. 6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:
a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia yang berat
7
dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda
DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah dicapai
remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp, metotreksat
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti obat
lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan
prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa
alopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau kadidiasis. Bila jumlah
leukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat di kamar yang bebas
hama).
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai remisi dan
jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (mengani
cara pengobatan yang terbaru masih dalam perkembangan).
Cara pengobatan berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman,
tetapi prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar:
a. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut
sampai sel blas dalam sumsum kurang dari 5%. Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa
ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan
L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang
atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari
5%.
b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan
sementara atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya dengan
memberikan sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6
bulan dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX secara
8
intratekal dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik. Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di
dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan
setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Induksi
Sistemik :
a) VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b) ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali
dimulai pada hari ketiga pengobatan
c) Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu
kemudian tapering off selama 1 minggu.
SSP: Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal,
diberikan 5 kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial: dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir
(siklofosfamid)
Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu
setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu
kedua dari konsolidasi
Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis (misalnya Senin
dan Kamis)
Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat - obat
rumat dihentikan.
Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
9
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh
dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kaliSSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kali
Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama.
Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2 ml.
Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama
pengobatan ini, obat – obat rumat diteruskan.
Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).2,7
Etiologi
Etiologinya sampai saat ini masih belum jelas, diduga kemungkinan besar
karena virus (virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan ialah:
1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, hormone, bahan kimia (benzol,
Arsen, preparat sulfat), infeksi (virus, bakteri).
2. Faktor endogen seperti ras (orang Yahudi mudah menderita LLK), faktor
konstitusi seperti kelainan kromosom (angka kejadian LMK lebih tinggi dari
Sindrom Down), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-
beradik atau kembar satu telur), angka kejadian pada anak lebih tinggi sesuai
dengan usia maternal.
Secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai berikut:
bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur
antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh
manusia seandainya struktur antigen manusia itu. Bila struktur antigen individu tidak
sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya, sama
kejadiannya dengan penolakan terhadap benda asing. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terketak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh
WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HLA (Human Leucocyte locus
10
A). Sistem HLA individu ini diturunkan menurut hukum genetika, sehingga agaknya
peranan factor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan.2,7
Faktor predisposisi:
1. Faktor genetik: virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T
cell leukimia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi: lingkungan kerja, prenatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen anti neoplastik
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter misalnya pada kembar satu telur
6. Kelainan kromosom8
Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia
kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak
ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA
mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan
kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang
menjadi LLA.8
Patofisologi
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan pada kasus dewasa ialah
t(9;22)/BCR-ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%) yang prognosisnya buruk.
ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer
molekul fosfat ke substrat protein sehingga terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal
yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel. Mekanisme umum lain
dari pembentukan kanker adalah inaktivasi gen supresor tumor Rb dan p53 yang
berperan mengontrol progresi siklus sel. Kelainan yang lain meliputi delesi,
mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen yang melibatkan p16.
Kasus LLA disubkalasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi,
dan genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada
pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat bervariasi
walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada satu klasifikasi yang
memuaskan. Sistem the French-American-British (FAB) membedakan tiga subtipe
11
morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil dengan sedikit
sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih banyak,
bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 meampunyai kromatin inti
homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan
vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan
korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang
mempunyai arti klinis.
Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik
dan kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel
yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat
ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor , lebih
kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan 1% berasal dari sel B yang relatif
matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik maupun terapeutik. Subtipe
dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya ditunjukkan pada Tabel
2. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan ekspresi antigen
yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau
bifenotipik).6,8
Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak.
Kariotip dari sel leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik.
Mereka menunjukan tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen yang
mungkin terlibat pada transformasi leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan
atas dasar jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali
(rearrangement) kromosom struktural misalnya translokasi. Penanda biologik lain
yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal deoksinukleotidil tranferase
(TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel progenitor-B dan sel T.
Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia dapat berguna untuk
mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit. Misalnya,
aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin menolontg untuk
membedakan relaps susunan saraf sentral awal dengan meningitis aseptik.
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu
diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia
di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat. Karena itu, tidak
ada sistem pembagian stadium (staging) untuk LLA.6,8
12
Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis sel
leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam
jiwa pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar. Terlepasnya komponen
intraselular dapat menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia
dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat
atau nefrokalsinosis. Jarang sekali timbul urolitiasis dengan obstruksi uretersetelah
pasien diobati untuk leukemia. Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium
hidroksida, serta penggunaan alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau
memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat
menimbulkan kegagalan ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid dapat
mengakibatkan peningkatan hormon antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu
yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat mengakibatkan
hipokalemia. Hiperglikemia dapat terjadi pada 10 % pasien setelah pengobatan
dengan prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka
pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi, anak
yang menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi
dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah bakteri, yang
dimanifestasikan oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia,
Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis, dan Haemophilus influenza adalah
organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap pasien yang mengalami febris
dengan granulositopeniayang berat harus dianggap septik dan diobati dengan
antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan untuk pasien dengan
granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon
buruk terhadap pengobatan.
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau
hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau
Aspergillus lebih sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari bahan
darah. CT scan bermanfaatuntuk mengetahui keterlibatan organ viscera. Abses paru,
hati, limpa, ginjal, sinus, atau kulit memberi kesan infeksi jamur. Amfositerin B
adalah pengobatan pilihan, dengan 5-fluorositosin dan rifamisin kadang kala
ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut.
13
Pneumonia Pneumocytis carinii yang timbul selama remisi merupakan
komplikasi yang sering dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang karena
kemoprofilaksis rutin dengan trimetropim-sulfametoksazol. Karena penderita
leukemia lebih rentan terhadap infeksi, vaksin yang mengandung virus hidup ( polio,
mumps, campak, rubella ) tidak boleh diberikan.
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau
pengobatannya, manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada
kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat, paru,
atau saluran cerna jarang terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien. Transfusi
dengan komponen trommbosit diberikan untuk episode perdarahan. Koagulopati
akibat koagulasi intravaskuler diseminata, gangguan fungsi hati, atau kemoterapi pada
LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena perifer atau serebral, atau
keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi pengobatan dengan
prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari komplikasi ini belum
diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi akibat obat. Biasanya, obat
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit, seperti salisilat, harus
dihindaripada penderita leukemia.
Preventif
Tidak diketahui secara pasti cara-cara pencegahan berbagai tipe leukemia.
Karena kebanyakan penderita leukemia tidak mengetahui factor risiko mereka
masing-masing. Beberapa tipe dari leukemia mungkin dapat dicegah dengan cara
menghindari paparan radiasi dosis tinggi (bahkan pasca kemoterapi / terapi radiasi),
pajanan zat kimia (benzene), menghindari merokok ataupun paparan asap rokok.
Prognosis
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi dalam
kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena dapat
hidup lebih dari 10 tahun tanpa pengobatan. Kematian biasanya disebabkan
perdarahan akibat trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi (sepsis, infeksi
jamur).
14
Sebelum ada prednisone, penderita leukemia hanya dapat hidup beberapa
minggu sampai 2 bulan. Dengan pengobatan prednisone jangka waktu hidup penderita
diperpanjang sampai beberapa bulan. Dengan ditambahkannya obat sitostatika (MTX,
6-MP) hidup penderita dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi dan dengan digunakannya
sitostatika yang lebih poten lagi disertai cara pengobatan yang mutakhir, usia
penderita dapat diperpanjang 3-4 tahun lagi, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun.
Kesimpulan
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Pada leukemia akut, sel darah
sangat tidak normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya
meningkat secara cepat. Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan
cepat. Untuk pengobatan leukemia akut, bertujuan untuk menghancurkan sel-sel
kanker sampai habis. Terapi yang biasa dilakukan antara lain pemberian kemoterapi,
radioterapi dan juga transplantasi sumsum tulang.
15
Daftar Pustaka
1. Hassan, et al. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ke-1.
Cetakan ke-11. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.
2. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Hematologi. Hassan, R, Alatas, H.
In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Percetakan Infomedika
Jakarta; 2007. P.469-79.
3. Total Kesehatan Anda. Kanker darah (leukemia). 2008. Diunduh dari,
http://www.totalkesehatananda.com/leukemia7.html, 19 April 2015.
4. Leukemia Limfoblastik Akut. 13 November 2010. Diunduh dari
http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/2010/10/13/leukemia-
limfoblastik-akut / . 19 April 2015.
5. Baldy CM, Gangguan sel darah putih. In: Price SA, Wilson LM, Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6th ed. Jakarta: EGC; 2006.
6. Fianza, PI. Leukemia limfoblastik akut. Sudoyo, AR, editors. In: Ilmu
Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.728-34.
7. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik
Rudolph. Edisi 20. Jakarta: EGC; 2006.
8. Referat Leukemia pada Anak. 15 Juli 2010. Diunduh dari,
http://bukanjokimakalah.co.cc/?p=40, 19 April 2015.
16