Upload
trannhi
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
7
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Penelitian Terdahulu
Untuk memenuhi data dalam skripsi ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan topik yang sama yaitu tentang human trafficking pada kaum
perempuan. Berikut penelitian terdahulu yang digunakan oleh penulis, yaitu
1. Penelitian pertama, Skripsi ditulis oleh Zakiah Putri mahasiswa Ilmu Komunikasi
program studi Jurnalistik dari Universitas Hasanuddin, dengan judul “Representasi
Human Trafficking dan Kekerasan pada Perempuan dalam Novel Galaksi Kinanthi”
tahun 2007. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi human trafficking
dan kekerasan pada Perempuan dalam novel Galaksi Kinanthi dan representasi posisi
subyek-obyek dan posisi pembaca ditampilkan dalam novel Galaksi Kinanthi..
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
menganalisis obyek penelitian yakni novel Galaksi Kinanthi dan mengumpulkan data
pustaka, artikel, dan wawancara. Hasil analisis yang diperoleh dari penggunaan teori
konstruksi sosial Luckmann-Berger adalah teks yang dihasilkan hasil konstruksi yang
melalui tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi sehingga lahirlah teks
trafficking dan kekerasan pada perempuan dalam novel. Representasi posisi subyek-
obyek dan posisi pembaca dilakukan dengan menggunakan metode analisis wacana Sara
Mills. Kemudian dari analisis representasi ini terdapat pesan yang ingin disampaikan
bahwa trafficking terjadi karena faktor kemiskinan dan pendidikan yang rendah, Tingkat
kekerasan yang menimpa perempuan yang bekerja sebagai TKW di luar negeri masih
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
8
tinggi, Perempuan adalah korban utama dari trafficking dan kekerasan yang menimpa
tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Perbedaan skripsi penelitian pertama dengan
penulis,
2. Penelitian kedua, Thesis ditulis oleh Dian Fitriani Afifah dan Neneng Yani Yuningsih
dari Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran, dengan judul
“Analisis Kebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan dan Penanganan Korban
Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Kabupaten Garut” tahun 2013. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menghasilkan data tentang penanganan dan pencegahan
trafficking di Kabupaten Garut sebagai salah satu upaya meminimalisir potensi trafficking
yang semakin terbuka di Kabupaten Garut. Metodologi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data yang dilakukan
melalui studi pustaka dan studi lapangan berdasarkan observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Sedangkan informan ditentukan secara purposive. Hasil secara umum
meperlihatkan akibat lemahnya koordinasi dan kerjasama antar sesama anggota
perdagangan manusia di Kabupaten Garut belum terselesaikan dengan baik. Sehingga
dibutuhkan beberapa tindakan seperti peningkatan kualitas pejabat public; adanya
evaluasi, adanya hukuman; perbaikan dalam perumusan program; dan pemilihan media
sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki kesamaan dengan penelitian
sebelumnya, hanya saja penulis menggunakan pisau Analisis Wacana Kritis Sara Mills
(Eriyanto, 2001, h.200), serta tambahan teori yang berbeda. Analisis yang dilakukan oleh
penulis adalah wacana human trafficking pada kaum perempuan dalam novel Lady In The
Glass karya Laurentia Mira. Adapun teori yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
9
adalah teori analisis wacana kritis Sara Mills, dan teori feminism. Selain itu, fokus penelitian
dalam skripsi ini adalah lebih melihat kepada bagaimana peran perempuan di gambarkan
sebagai human trafficking dalam novel Lady In The Glass karya Laurentia Mira, dengan
tujuan setelah penelitian ini human trafficking pada kaum perempuan di Indonesia khusus
nya di kota Bandung berkurang dan di adakan lapangan pekerjaan yang lebih luas untuk
perempuan yang berpendidikan maupun kurang berpendidikan.
Penulis menggunakan pisau Analisis Wacana Kritis Sara Mills (Eriyanto, 2001,
h.199). Berdasarkan analisis wacana yang dilakukan, diketahui bahwa novel Lady In The
Glass melakukan penggambaran secara jelas feminisme terhadap perempuan tentang
perdagangan manusia (human trafficking).
Novel karya Laurentia Mira juga menceritakan kisah nyata yang dilampirkannya
melalui sebuah karya tulisan yang bertema hukum. Dalam novel ini, dikisahkan bagaimana
kisah Ella yang sejak kecil dijual orang tuanya kepada para pelaku human trafficking.
Bermula dari Ali Pandawa, ayah Ella, yang bekerja sebagai buruh nelayan dan
berpenghasilan rendah. Mengalami kesulitan ekonomi, yang membuat Ali merelakan istri
dan anak perempuannya dibawa seorang pria "sponsor" pengiriman tenaga kerja Indonesia.
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
10
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Penulis
(Sumber : Olahan Penulis)
KETERANGAN PENELITIAN I PENELITIAN II PENELITIAN PENULIS
Judul Penelitian Representasi Human
Trafficking dan Kekerasan
pada Perempuan dalam
Novel Galaksi Kinanthi
Analisis Kebijakan
Pemerintah Tentang
Pencegahan dan
Penanganan Korban
Perdagangan
Perempuan
(Trafficking) di
Kabupaten Garut
Wacana Human
Trafficking pada Kaum
Perempuan di Novel Lady
In The Glass karya
Laurentia Mira
Penelitian dari Universitas Hasanuddin,
2007
Departemen Ilmu
Pemerintahan FISIP
Universitas
Padjadjaran, 2013
Universitas Multimedia
Nusantara, 2017
Teori / konsep
yang digunakan
Teori konstruksi sosial
Luckmann-Berger
Nilai, fakta dan
tindakan dari
kebijakan
pemerintah
Analisis wacana Sara
Mills, Human Trafficking
dalam Media Massa,
Human Trafficking, Teori
Feminisme
Metodologi Deskriptif kualitatif,
mengumpulkan data pustaka,
artikel, dan wawancara
Deskriptif dengan
pendekatan
kualitatif, studi
pustaka dan studi
Kualitatif, dan analisis
wacana kritis
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
11
lapangan
Pengumpulan
Data
Eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi
Observasi,
wawancara, dan
dokumentasi
Diseleksi, Diklasifikasi,
Dianalisis,
Diinterpretasikan, Ditarik
kesimpulan
Narasumber Tasaro selaku penulis Novel
Galaksi Kinanthi
Ketua Komisi IV
DPRD Kabupaten
Garut; Asisten
Daerah Bidang
Kesejahteraan
Masyarakat
Sekretaris Daerah;
Bidang Pelayanan
Umum P2TP2A;
Kepala Sub Bidang
Pemberdayaan
Perempuan
BKBPP; Ketua
LSM Lepas; Pelaku
(Trafficker); Kepala
Sub Bidang
Ketenagakerjaan
Dinsosnakertrans
Laurentia Mira selaku
penulis Novel Lady In The
Glass
Hasil
Penelitian
Hasil analisis yang diperoleh
dari penggunaan teori
konstruksi sosial Luckmann-
Berger adalah teks yang
dihasilkan penulis dalam
novel ini adalah hasil
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa Kabupaten
Garut telah
mengeluarkan
beberapa kebijakan
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
12
konstruksi yang melalui tiga
tahap yaitu eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi
sehingga lahirlah teks
trafficking dan kekerasan
pada perempuan dalam
novel.
namun faktanya
hingga saat ini
permasalahan
perdagangan
manusia belum
terselesaikan
dengan baik.
2.2 Teori dan Konsep
2.2.1 Teori Feminis
Sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan
pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap
sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang disebut
sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada, atau institusi
rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya (Fakih, 2007, h.81).
Berdasarkan asumsi tersebut, gerakan feminism tidak mudah diterima oleh masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep feminisme tersebut perlu diluruskan.
Pemahaman konsep terhadap feminisme yang sesuai diharapkan akan
membuka cakrawala masyarakat tentang gerakan feminisme secara seimbang.
Feminisme berarti memiliki sifat keperempuan. Feminisme diwakili oleh
persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki yang terjadi
di masyarakat. Akibat dari persepsi itu, timbul berbagai upaya untuk mengkaji
ketimpangan tersebut serta menemukan cara untuk menyejajarkan kaum perempuan
dan laki-laki sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka sebagai manusia.
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
13
Para feminis mengakui bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang
berakar pada kesadaran kaum perempuan.Perempuan sering berada dalam keadaan
ditindas dan dieksploitasi sehingga penindasan dan eksploitasi terhadap kaum
perempuan harus diakhiri.Selain itu, gerakan feminism bertujuan untuk
memperjuangkan kesetaraan dan kedudukan martabat perempuan dengan laki-laki,
serta kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan mereka sendiri baik di
dalam maupun di luar rumah. Harsono dalam Mustaqim (2008, h.84)
mengatakan bahwa feminism sebenarnya merupakan konsep yang timbul dalam
kaitannya dengan perubahan sosial (social change), teori-teori pembangunan, kesadaran
politik perempuan dan gerakan pembebasan kaum perempuan, termasuk pemikiran
kembali institusi keluarga dalam konteks masyarakat modern dewasa ini. Mustaqim
(2008, h.85) mengatakan bahwa feminisme merupakan paham yang ingin menghormati
perempuan sehingga hak-hak dan peranan mereka lebih optimal dan setara, tidak ada
diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Bashin dan Khan dalam Mustaqim (2008, h.4) mangatakan bahwa feminisme
didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan
sadar oleh perempuanmaupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut sehingga
terjadi suatu kondisi kehidupan harmoni antara laki-laki dan perempuan, bebas dari
segala bentuk subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi.
Secara etimologis, feminism berasal dari kata Femme (woman), perempuan
(tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak)
sebagai kelas sosial. Feminisme adalah paham perempuan yang berupaya
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
14
memperjuangkan hak-haknya sebagai kelas sosial.Adapun dalam hubungan ini perlu
dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis dan hakikat
alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan cultural).
Sementara itu, masculine–feminine mengacu kepada jenis kelamin atau gender
sehingga he dan she (Selden dalam Sugihastuti, 2000, h.32)
Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang.Teori ini
berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik kelas, ras, dan terutama adanya konflik gender.Feminisme mencoba untuk
menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah yang dianggap lebih kuat.
Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki
(Ratna, 2007, h.186).
Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat
perempuan dan laki-laki.Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek biologis
sebagai hakikat alamiah, kodrati.Adapun ungkapan masculine-feminine merupakan
aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2002, h.184).Kaum feminis radikal-
kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari
faktor biologis, melainkan juga darisosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi
perempuan di dalam masyarakat yang patriarkhal (Tong, 2008, h.71). Simon de
Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan
sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxime sexe)yang lebih
rendah menurut kodratnya (Selden dalam Muslikhati, 2004, h.37).Kedudukan sebagai
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
15
Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan
(Cavallaro, 2001, h.202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisologi
perempuan menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki
sebagai dasar untuk perempuan membangun serangkaian identitas dan perilaku
maskulin dan feminine yang diberlakukan untuk memperdayakan laki-laki di
satu sisi dan melemahkan di sisi lain. Masyarakat patriarkal meyakinkan dirinya
sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas”
seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku
gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis
seseorang. Masyarakat patriarkal menggunkan peran gender yang kaku untuk
memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap
simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif,
penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil,
kompetitif) (Tong, 2008, h.72-73).
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori feminism khususnya yang ditulis
oleh June Hannam (2007, h.22) di dalam bukunya Feminism. Penulis menganggap teori
ini sesuai dengan isi novel yang akan di analisis.
2.2.1.1 Teori Feminisme
Feminisme Sosialis merupakan sintesis dari feminisme radikal dan feminism
marxis. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa hidup di dalam masyarakat yang
kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama bagi keterbelakangan perempuan,
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
16
Feminisme sosialis memandang bahwa perempuan mengalami penurunan
(reducing process)dalam hubungan masyarakatnya, dan bukan perubahan radikal atau
perjuangan kelas (Mustaqim, 2008, h.102).
Feminisme sosialis-Marxis mendapat pengaruh yang cukup kuat dari feminisme
radikal. Sumbangan pengaruh feminisme radikal terhadap feminisme sosialis-Marxis di
antaranya ada pada soal pertanyaan-pertanyaan kritis seputar dominasi laki-laki yang
begitu kuat sepanjang sejarah dalam hal seksualitas, hubungan-hubungan interpersonal,
dan ideologi. Di level teori, konsep woman question dari kaum sosialis telah menjadi
salah satu pijakan utama yang digunakan oleh para feminis sosialis/Marxis hingga saat
ini. Namun, menurut Vogel (2013, h.7-8), bangunan teori tradisional sosialis belum
mencukupi untuk menjawab woman question ini, sebagaimana yang kemudian ditemukan
oleh para feminis sosialis-Marxis. Adapun pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan
oleh feminis sosialis-Marxis terkait dengan woman question ini, menurut Vogel, berpusat
pada tiga hal yang saling berhubungan.
Vogel(2013, 8-9) Pertama, semua perempuan, bukan hanya perempuan kelas
pekerja, mengalami penindasan di dalam masyarakat kapitalis. Dalam hal ini, pertanyaan
yang muncul ialah apa yang menjadi akar dari penindasan perempuan dan bagaimana
karakter yang lintas kelas dan sejarah tersebut dapat dipahami secara teoritis. Kedua,
pembagian kerja secara seksual ada di setiap masyarakat: laki-laki dan perempuan
melakukan kerja yang berbeda-beda dimana perempuan cenderung bertanggung jawab
pada soal pengurusan dan perawatan anak serta pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya di
dalam rumah tangga, sementara mereka juga mungkin terlibat di dalam kegiatan
produksi. Pertanyaan yang muncul ialah mengenai hubungan pembagian kerja secara
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
17
seksual ini dengan penindasan terhadap perempuan, bagaimana perempuan dapat benar-
benar mencapai kesetaraan ketika beban kerja pengurusan dan perawatan anak ada di
pundaknya, serta apakah gagasan mengenai kesetaraan harus dibuang agar perempuan
dapat terbebaskan. Ketiga, penindasan terhadap perempuan mengandung analogi yang
kuat dengan penindasan terhadap kelompok-kelompok rasial, sebagaimana juga
ekspolitasi yang terjadi pada kelas-kelas yang subordinat. Terkait hal ini, pertanyaan
yang muncul ialah apakah penindasan secara seksual, rasial dan kelas secara esensi
merupakan hal yang sama serta apakah penindasan perempuan memiliki karakter
teoritikal yang spesifik. Selain itu, pertanyaan lain yang muncul ialah bagaimana
hubungan antara perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan dengan
perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialime.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi,
hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem
kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan
domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-
mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara
gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan
rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah
keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme
dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru
berkonsentrasi pada analisis kelas. (Nope, 2005, h.152)
Feminisme adalah sebuah paham yang muncul ketika wanita menuntut untuk
mendapatkan kesetaraan hak yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
18
digunakan di dalam debat politik di Perancis di akhir abad 19. Menurut June Hannam
(2007, h.22) di dalam buku Feminism, kata feminisme bisa diartikan sebagai:
1. A recognition of an imbalance of power between the sexes, with woman in a
subordinate role to men. (Pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara dua
jenis kelamin, dengan peranan wanita berada dibawah pria.)
2. A belief that woman condition is social constructed and therefore can be changed.
(Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentuk secara sosial dan maka dari itu dapat
diubah.)
3. An emphasis on female autonomy. (Penekanan pada otonomi wanita.)
Di bidang kajian budaya, perspektif feminis telah merambah banyak bidang.
Banyak inovasi terbaru tentang studi perempuan di seperti opera sabun, novel romansa
dan majalah perempuan dan khalayak. Usaha akademis feminis secara intrinsik politik.
Pada tahun-tahun awal gerakan feminis ini dihidupkan kembali, penelitian,teks , dan
aktivis politik adalah praktek umum.
Dengan penelitian tersebut, terdapat hubungan timbal balik antara teori, politik
dan aktivisme, komitmen akademisi feminis untuk memiliki pekerjaan mereka
memberikan kontribusi untuk tujuan feminis yang lebih besar, namun mendefinisikan
antara garis kabur feminis sebagai akademik dan feminis sebagai aktivis, yang
membedakan perspektif tentang media dari perspektif lain yang mungkin.
Kesadaran feminis di Jepang merupakan bagian dari perlawanan perkembangan
modernisasi (Mackie, 2003, h.2). Dalam membentuk negara modern industrialisasi,
wanita dideskripsikan sebagi “istri yang baik dan ibu yang bijaksana yang
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
19
perannya adalah untuk reproduksi dan mengurus anak. Mereka berperan sebagai
pendukung pasif dalam pembentukan “negara yang kaya dan tentara yang kuat”.
Wanita lainnya tertarik untuk mencari tahu arti individualisme bagi wanita
dan kegiatan seksualitas wanita. Para “wanita baru” ini menghadapi dilema tentang
wanita aktif heteroseksual dan berdebat tentang pengontrolan reproduksi dalam
percobaan mereka di dekade pertama pada abad ke-20. Mereka berpendapat bentuk
kebijakan sosial untuk wanita diperlukan untuk mencapai kemerdekaan tanpa harus
mengorbankan peran reproduksi mereka dan beberapa bergerak di dalam kampanye
tentang hak pilih wanita. (Mackie, 2003, h.4)
Selain itu, perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan
hanya dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan dalam
rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam perhitungan
ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai ekonomis, sosial, dan politik
dalam kehidupan berumah tangga maka perempuan dianggap tidak lebih
bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki dianggap lebih bernilai karena memiliki
pekerjaan yang ekonomis dan memberi masukan nafkah kepada keluarga. Oleh
karena itu, perjuangan feminis marxis adalah menuntut agar pekerjaan rumah
tangga dihargai dan bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan rumah tangga adalah
produktif dan menciptakan surplus velue atau nilai tambah dalam kehidupan berumah
tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama karena
secara ekonomis keduanya mempunyai pekerjaan yang sama nilai ekonomis. (Keraf,
2010, h.150)
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
20
Dalam pandangan Margaret Benston (1865), perempuan harus diberi pekerjaan
yang bernilai ekonomi dalam ranah publik, tetapi apabila tugas rumah tangga masih
dibebankan sepenuhnya kepada perempuan maka hal ini akan menambah beban
pekerjaannya. Sehingga feminis marxis memiliki solusi lainnya, yaitu pekerjaan
rumah tangga tidak dilakukan secara sendiri oleh perempuan.
Feminisme ini adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Untuk
membahas permasalahan diatas, penulis mencoba menjelaskan menggunakan aliran
feminist Marxis, karena fokus aliran ini, menuntut adanya pembebasan wanita.
Pembebasan terhadap kaum wanita tersebut karena wanita disingkirkan secara ekonomi.
Di beberapa negara di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam
rumah, dirampas hak demokratis dan ekonominya, dan akhirnya menjadi seorang pekerja
seks sebagai korban penindasan laki-laki. Feminist Marxis dan sosialis percaya bahwa
opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan
produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 1998,
h.139).
2.2.2 Analisis Wacana
Wanita cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, marjinal
dibandingkan dengan pihak laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk
mengenai wanita inilah yang menjadi sasaran utama dari tulisan Sara Mills. Sara Mills
banyak menulis tentang teori wacana, titik perhatian utamanya mengenai feminisme :
bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik novel, gambar, foto, ataupun dalam
berita. Banyak berita menampilkan wanita sebagai obyek pemberitaan. Titik perhatian
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
21
dari analisis wacana feminis adalah bagaimana teks bias dalam menampilkan,
menggambarkan serta bagaimana wanita dimarjinalkan.
Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-
posisi ini dalam arti siapa yang menjadi “subyek” penceritaan dan siapa yang menjadi
“obyek” penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Mills
juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam
teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan
teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan
mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana pula actor sosial ini
ditempatkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan
ditampilkam dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan illegitimate.
(Eriyanto, 2009, h.200)
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk maju (dalam
pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, dan komunikasi buah
pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.” (Sobur, 2006, h.10).
Menurut Sudjiman dalam Sobur (2006, h.12), wacana disebut transaksional jika
yang dipentingkan ialah isi komunikasi, dan disebut interaksional jika yang dipentingkan
hubungan timbal balik antara penyapa (addresser) dan pesapa (addressee). (Sobur,2006,
h.12)
Sara Mills banyak dipengaruhi oleh teori wacana yang dikemukakan oleh
Foucault. Pada awalnya teori Foucault dianggap terlihat rancu ketika diadaptasi ke dalam
teori feminis karena karya Foucault hanya menyentuh sedikit saja masalah hysteria
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
22
perempuan, serta kesulitan pemahaman dalam perumusan agenda politik yang dijelaskan
dalam teori Foucault. Namun, pada umumnya teoritisi feminism berupaya menganalisa
relasi kuasa dan cara bagaimana perempuan sebagai individu dan anggota kelompok akan
menegosiasikan relasi kuasa tersebut. Karya feminis belakangan ini tidak lagi
memandang perempuan hanya sebagai kelompok yang tertindas dan sebagai korban
dominasi laki-laki, namun beberapa karya mencoba merumuskan cara-cara menganalisis
kekuasaan ketika kekuasaan itu menampakkan dirinya dan ketika kekuasaan itu
mendapat tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Analisis Foucault tentang kekuasaan,
seperti yang ditulis oleh Mills dalam bukunya, sangat berpengaruh di kalangan teoritis
feminis, karena teorinya member kemungkinan untuk mengembangkan suatu model
relasi kekuasaan yang cukup kompleks dan dapat menyentuh berbagai variabel lain,
seperti ras dan kelas tanpa harus memprioritaskan salah satunya.
2.2.2.1 Pendekatan Analisis Wacana
Wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan, yaitu semua
ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata (Sobur,
2006, h.11). Guy Cook menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana :
teks, konteks, wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, gambar,
efek suara, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di
luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi
dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana
disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
23
analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam
suatu proses komunikasi (Eriyanto, 2009, h.9).
Keberadaan konteks dalam suatu struktur wacana menunjukkan bahwa teks
tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Gejala ini yang
menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Konteks, dengan demikian,
berfungsi sebagai alat bantu memahami dan menganalisis wacana (Mulyana, 2005, h.10).
Dalam menganalisis media massa , maka penulis menggunakan model analisis Sara
Mills, karena Mills melihat pada bagaimana posisi aktor ditempatkan dalam teks. Posisi-
posisi itu dalam arti siapa yang menjadi obyek penceritaan, akan menentukan bagaimana
struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.
(Eriyanto, 2009, h.200)
Sara Mills telah dikenal sebagai salah satu penulis teori wacana yang lebih banyak
memusatkan perhatian pada wacana mengenai feminism; bagaimana perempuan
ditampilkan dalam teks. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Sara Mills sering juga
disebut sebagai pandangan teori feminis. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis
adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan.
Seperti analisis wacana lain, Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian
terpenting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau
peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi
pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Akan tetapi berbeda dengan analisis dari
tradisi critical linguistic yang memusatkan perhatian pada struktur kata, kalimat, atau
kebahasaan, Mills lebih menekankan pada bagaimana posisi berbagai actor sosial, posisi
gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks. (Eriyanto, 2009, h.200).
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
24
2.2.2.2 Human Trafficking dalam Media Massa
Selama ini, Human trafficking sering disalah artikan sebagai bentuk
penyelundupan orang secara ilegal. Sebenarnya, arti human trafficking lebih dari itu. para
pelaku sering memindahkan para korban mereka dari satu tempat ke tempat lain dengan
tidak ada rasa berdosa sedikit pun. Yang menjadi korban human trafficking adalah orang-
orang yang dieksploitasi melalui kekerasan, penipuan, dan paksaan. Para pelaku
mengambil keuntungan dari para korban dengan cara menjual mereka menjadi pekerja
seks atau pekerja paksa (Farrell, 2011).
Salah satu wadah untuk menayangkan atau menyajikan kasus-kasus mengenai
human trafficking adalah media. Berdasarkan situs resmi milik The United Nations
Global Initiative to Fight Human trafficking (UN.GIFT), media selalu memiliki peran
dalam mendidik orang-orang tentang banyak manifestasi perdagangan manusia sebagai
isu global, media menyajikan semua masalah mengenai manusia dan semua hal yang
menyakitkan dari mereka. Namun, liputan media masih lemah dalam beberapa bagian
dunia. Beberapa berita media masih lemah dalam hal belum menyadari mengenai human
trafficking atau masih bingung dengan isu-isu lain seperti migrasi ilegal dan
penyelundupan orang asing. Sebenarnya, media memiliki peranan yang besar untuk
mendominasi dukungan publik dan keterlibatan mereka untuk membantu mencegah dan
memerangi perdagangan manusia. Karena jangkauan dan kemampuan untuk meraih
pendapat publik itulah, alat yang ampuh untuk melakukan perubahan sosial. Jurnalisme
investigatif pada perdagangan manusia perlu dipromosikan. Namun, publisitas media
harus mempertimbangkan pendekatan terhadap hak dan memastikan bahwa tidak ada
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
25
pelanggaran pada hak-hak para korban. Jadi, ada kebutuhan untuk mengembangkan
standar minimum untuk media dalam memberitakan mengenai human trafficking (How
The Media Reports Human trafficking, 2006).
2.2.2.3 Human Trafficking
Pengertian perdagangan manusia (human trafficking) mempunyai arti yang
berbeda bagi setiap orang. Perdagangan manusia meliputi sederetan masalah dan isu
sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut
pandang pribadi atau organisasinya. (Rosenberg, 2003)
Pada masa lalu, masyarakat biasanya berfikir bahwa perdagangan manusia adalah
memindahkan perempuan melewati perbatasan, di luar keinginan mereka dan memaksa
mereka memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu masyarakat lebih
memahami mengenai isu perdagangan manusia yang kompleks dan sekarang melihat
bahwa pada kenyataannya perdagangan manusia melibatkan berbagai macam situasi.
Perluasan definisi perdagangan sebagaimana dikutip dari Wijers dan Lap-Chew
yaitu perdagangan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak),
dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar
negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan
perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage). (Rosenberg, 2003)
Definisi yang luas ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang Indonesia yang
telah mengalami kekerasan yang berkaitan dengan perdagangan manusia daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kepada suatu konsepsi baru mengenai
perdagangan. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
26
pergeseran dalam beberapa situasi dibawah ini yang didasari atas poin-poin yang
diberikan Wijers dan Lap-Chew:
1. Dari “Perekrutan” menjadi “Eksploitasi”
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai
sekedar perekrutan menjadi kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai
akibat perekrutannya. Pada tahun 1904 dibuat konvensi internasional pertama anti
perdagangan,yaitu International Agreement for the Suppression of The White
Slave Trade (Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan Budak
Berkulit Putih). Samillsn konvensi ini adalah perekrutan internasional yang
dilakukan terhadap perempuan, di luar kemauan mereka, untuk tujuan eksploitasi
seksual. Kemudian pada tahun 1910 dibuat konvensi yang bersifat memperluas
konvensi tahun 1904 dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam
negeri. Kedua konvensi ini membahas proses perekrutan yang dilakukan secara
paksa atau dengan kekerasan terhadap perempuan dewasa untuk tujuan eksploitasi
seksual.
2. Dari “Pemaksaan” menjadi “dengan atau tanpa persetujuan”
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus
melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan
bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia
menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ketempat lain.
3. Dari “prostitusi” menjadi “perburuhan yang informal dan tidak diatur oleh
hukum”
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
27
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan
perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga
memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga
untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan
sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk
kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun
seksual”
4. Dari “kekerasan terhadap perempuan” menjadi “pelanggaran hak asasi
manusia”
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang
perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan
berada di luar yuridiksi negara menjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi
manusia yang mendasar.
5. Dari “Perdagangan Perempuan” menjadi “Migrasi Ilegal”
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi
Negara-negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal
dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi negatif.
Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang
berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan, yaitu
pertama, ada banyak kasus perdagangan dimana perempuan masuk ke negara
tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan
perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
28
menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu
dari migrasi ilegal dimana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban.
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan karena penulis ingin melihat bahwa human trafficking
pada kaum perempuan di novel lady in the glass menjadi faktor yang penting untuk
pemerintah lebih membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi kaum perempuan bukan
dilihat dari yang berpendidikannya saja.
Selain itu, penulis juga ingin melihat bagaimana cara Laurentia Mira (penulis
novel lady in the glass) memandang korban human trafficking pada kaum perempuan di
Bandung sebelum dia menjadikan mereka sebagai nama yang disamarkan dalam
penulisan novelnya tersebut.
Menurut Black’s Law Dictionary (1979, h.13), “Victims is The person who is the
object of a crime or tort, as the victim of robbery is the person robbed”, sedangkan
menurut Muladi, sebagaimana dikutip oleh Suryono Ekatama (1979, h.176), yang
dimaksud dengan korban adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat
suatu kejahatan dana tau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai
akibat pengalamannya sebagai target / sasaran kejahatan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metodologi kualitatif agar lebih bisa
menulusuri kisah yang tergambarkan oleh Laurentia Mira sebelum karya nya muncul
sebagai novel Lady In The Glass. Penulis melakukan wawancara terhadap Laurentia Mira
terkait penulis novel Lady In The Glass.
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017
29
Bagan 2.2 Kerangka Pemikiran
Wacana Human Trafficking pada Kaum Perempuan
Teori Feminisme
1. Teori Feminisme Sosial – Marxis
Teori Analisis Wacana Kritis
Sara Mills
1. Posisi Subyek-Obyek
2. Posisi Pembaca
Wacana Human Trafficking pada Kaum
Perempuan di Novel Lady In The Glass
karya Laurentia Mira
PARADIGMA KRITIS
Konsep Human Trafficking
1. Karakteristik Human Trafficking
2. Kekuatan Human Trafficking
Di Novel Lady In The Glass karya Laurentia Mira
Wacana Human Trafficking..., Mizan Amalia Putri, FIKOM UMN, 2017