76
STUDI KRITIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF ILMU LOGIKA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I) Oleh: Miftahul Bari NIM: 207034000570 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M

Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

  • Upload
    lamdieu

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

STUDI KRITIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF

ILMU LOGIKA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:

Miftahul Bari NIM: 207034000570

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M

Page 2: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

STUDI KRITIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF

ILMU LOGIKA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:

Miftahul Bari NIM: 207034000750

Pembimbing:

Dr.Isa H.A.Salam,MA

NIP:195312311986031010

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M

Page 3: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

i

KATA PENGANTAR

“Dengan menyebut nama Allah yang menciptakan akal dan hati”

Jalan hidup adalah pilihan manusia yang ditentukan Allah Swt. Rencana

manusia merupakan awal dari tujuan yang akan didapat, selama penulis menuntut

ilmu, tidak ada persediaan yang serius, hanya bermodal paksaan orang tua dan

kemauan beliau untuk mempunyai anak yang sholeh, penulis harus berpisah

dengan keluarga tercinta semenjak sekolah tingkat dasar kelas empat (MI). Pada

waktu itu, penulis tidak ada yang terbesit bagaimana memprogram diri

kedepanya? hanya dengan keinginan orang tua dan petunjuk sang guru (kiyai),

maka penulis harus mentaatinya, singkatnya penulis harus berada di lingkungan

pesantren kurang lebih delapan tahun lebih, secara tidak sadar, penulis telah

diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mendapatkan pengalaman yang

tidak pernah dialami oleh teman-teman sebaya penulis, akhirnya penulis sadar

bahwa arahan orang tua selama ini merupakan hal yang terbaik pada pada penulis.

Dengan sebab itulah penulis, ditakdirkan masuk di Fakultas Ushuludin

Jurusan Tafsir Hadis, disadari atau tidak, hal tersebut merupakan akumulasi dari

sebab akibat yang telah terjadi sebelumnya, jurusan itulah yang menghantarkan

penulis ke dunia pemahaman Rasionalisme Radikal. Maskipun pilihan penulis

terhadap Jurusan Tafsir Hadis sangat irasional yaitu hanya karena ingin bertemu

dengan guru besar Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Meskipun hingga sekrang ia

tidak pernah masuk kelas.

Page 4: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

ii

Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

kaum intelektual, dengan penuh keyakinan, penulis harus menyelesaikan

penelitian ini.

”Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Ilmu Logika”

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

penghargaan setingi-tingginya kepada:

1. Drs. Rifqi Mukhtar, MA selaku Sekertaris Jurusan merangkap ketua

Jurusan Non-Reguler, Fakultas Ushuluddin, serta Harun Rasyid, MA,

selaku mantan ketua program Non.Reguler “Jazakum Allahu al-Khaira

al-Jaza’”

2. Pembimbing dan Seluruh Tim Penguji; Dr. Isa Salam, Dr. Syamsuri,

Harun Rasyid, MA, Maulana, M.Ag, Muslim, S.Th.I

3. Segenap Dosen serta Staf pengajar yang tidak bisa disebutkan satu

persatu.

Penulis ucapkan terima kasih atas segala nasehat yang telah diberikannya

iringan do‟a selalu penulis persebahkan kepada ayah handa H.Syamsudin serta

ibunda tercinta Hj.Kiptiah,”Semoga ibunda dengan ayah selalu diberikan

kesehatan jasmani dan rohani dan panjang umur sehingga bunda-ayah bisa

menjalani aktifitas setiap hari, dibawa lindungan Allah Swt, Amin”.

Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan salam Takdzim kepada

Keluarga besar Pondok Pesanteren Al-Hamidiy Banyuanyar, PP. Islamic Center

Dar Al-Lughah Ust.Ghazali Salim,MA, PP.Al-Amien Madura, keluarga besar

BKPRMI. Madura, P.P Nurul Huda Madura.

Page 5: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

iii

Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Rumah Zakat Bank

Indonesia (Razbi), Keluarga Besar Lubna El-Idrus, The Habebe Center, Badan

Amil Zakat Nasional, PT.Pertamina Peduli, PT.Takaful Indonesia Peduli, Semoga

Allah Swt selalu memberikan kesehatan dan tambahan limpahan Rahmat. Amin

Kepada temen-temen “Mastah” Reza, Wahid, M. Hasyim dan kawan-

kawan, serta sahabat Didik Surowardi, Asep, Majid, Baidlowi, Latifani Warda dan

temen-temen yang tidak bisa disebutkan satu persatu semoga sehat selalu.

Kepada Sahabat setia Penulis Arif Sabaruddin, Khairus Shaleh, Agus

Gunawan, Ummi Hani, Saipul Agna, Abdu Rahman Wahid, Shohep Hujjah,

Muhammad Risqi, dan anggota diskusi “Persatuan pesanteren Indonesia”, Forum

Komunikasi Islam Indonesia (Fikri), Komunitas Kita Jakarta, dan temen-temen

yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu, Dan temen yang

merasa tersakiti selama di perkuliahan, penulis mohon ma‟af atas segala keslahan

yang disengaja maupun tidak di sengaja,“Ana akhukum fillah”.

Akhirnya, Penulis menyadari banyak pihak yang telah mendorong

terselesainya sekripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Saya ucapkan

banyak terima kasih, mudah mudahan nama anda muncul di pengantar desertasi

saya. Terakhir, semoga Allah Swt membalasnya sebagai kebaikan.

Jakarta, 12 April 2011

Miftahul Bari

Page 6: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

iv

ABSTRAK

Judul Skripsi: “Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Perspektif Ilmu

Logika”

Skripsi ini bersifat pembelaan dan penolakan terhadap hasil formulasi

definisi terdahulu, hal ini di lakukan untuk mengetahui relefansi beberapa definisi

Sunnah dan Hadis dengan Ilmu Mantik atau logika.

Terkait dengan jenis penelitian ini, termasuk dalam katagori penelitian

pustaka (library research) yang menggunakan pendekatan ilmu logika sebagai

perangkat analisis. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui standar

pendekatan yang di lakukan para ulama terdahulu dalam pembentukan definisi

sunnah dan hadits.

Sumber data penelitain ini di katagorikan menjadi dua jenis, yaitu

Pertama. Sumber primer, yaitu berupa pernyataan para ulama terdahulu yang

termuat dalam dalam berbagai leteratur ilmu hadis dan Qawaid al-Hadîts. Kedua,

sumber sekunder yang berupa data analisis seperti ilmu Mantiq atau logika

sebagai prangkat analisa dan kritik. Mengenai tehnik pengumpulan data,

penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu meneliti data-data tertulis

baik primer maupun sekunder. Selanjutnya, data yang terkumpul diolah dan di

analisa dengan cara dibandingkan, dan kritik, hingga terdapat kesimpulan yang

komprehensif.

Penelitian ini membuahkan kesimpulan, Pertama, definisi sunnah dan

hadits terdapat relevansi dengan ilmu mantik dan logika, karena tehnik pembuatan

definesi sebuah objek harus memenuhi kaidah-kaidah mantik. Kedua, sebagian

definisi sunnah dan hadis tidak memenuhi standar ilmu logika, namun sebgian

yang lain definesi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu logika.

Page 7: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

v

Page 8: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

vi

PERNYATAAN KEASLIAN

Assalamu’alaikum.Wr.Wb

Yang bertandatangan di bawah ini,

Nama : Miftahul Bari

Alamat : Dasuk, Sumenep, Jawa timur

TTL : Semenep, 12 Agustus, 1986

Status : Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

NIM : 207034000750

Menyatakan bahwa, karya skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri,

dan bila kelak terbukti hasil karya ini plagiat maka saya akan menerima segala

konsekuensi secara akademik.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat, dengan sebenar-benarnya dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.

Jakarta, 12 April 2011

Penulis,

Miftahul Bari

Page 9: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

q = ق z = ز a = أ

k = ك s = س b = ب

l = ل sy = ش t = ت

m = م s = ص ts = ث

n = ن d = ض j = ج

w = و t = ط h = ح

h = ه z = ظ kh = خ

„ = ء „ = ع d = د

y = ي gh = غ dz = ذ

f = ف r = ر

2. Vokal

Vokal (a) panjang = â, contoh: قال = Qâla

Vokal (i) panjang = î, contoh: قيل = Qîla

Vokal (u) panjang = û, contoh: دون = Dûna

3. Diftong

au = و

ai = ي

4. Syaddah

Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi

tanda tasydid. Misalnya madda.

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال.

Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.

a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai

bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang

langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.

Page 10: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

viii

b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai

dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-Badru,

al-Watan.

5. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /h/. Hal

yang sama juga berlaku bila ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at).

Namun, jika ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksrakan menjadi huruf /t/.

Page 11: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. LatarBelakangMasalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi, PembatasandanPerumussanMasalah ................................ 4

1. IdentifikasiMasalah ........................................................................ 4

2. PembatasanMasalah ........................................................................ 4

3. PerumusanMasalah ......................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

D. ManfaatPenelitian ................................................................................. 5

E. StudiTerdahulu yang Relevan .............................................................. 6

F. MetodologiPenelitian ........................................................................... 8

1. JenisPenelitian ............................................................................... 8

2. SifatPenelitian ............................................................................... 9

3. PendekatanPenelitian .................................................................... 9

4. Sumber Data .................................................................................. 10

G. SistematikaPenulisan ............................................................................ 12

BABII KAIDAH-KAIDAH PEMBUATAN DEFINISI DALAM

PERSPEKTIF ILMU LOGIKA ............................................................ 15

A. KaidahPengertian.................................................................................. 15

B. PengertianDefinisi ................................................................................ 17

C. TujuanDefinisi ...................................................................................... 18

D. Syarat-syaratPembentukanDefinisi ...................................................... 21

Page 12: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

x

1. Syarat-syaratPositif ....................................................................... 21

2. Syarat-syaratNegatif ...................................................................... 22

E. PembentukanDefinisi ........................................................................... 23

F. TugasDefinisi ....................................................................................... 24

G. Macam-macamDefinisi ........................................................................ 24

BAB III DEFINISI SUNNAH DAN HADIS ..................................................... 26

A. Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis ......................................... 26

1. DefinisiSunnahdanHadisPerspektifKamus ..................................... 26

2. Pendapat Para UlamaMengenaiSunnahdanHadis ........................... 27

3. MaknaSunnahdanHadisdalam al-Qur‟an ........................................ 29

B. KajianTerminologiSunnahdanHadis .................................................... 40

1. DefinisiSunnahPerspektifUlamaSalafi ............................................ 40

2. DefinisiHadisPerspektifUlamaSalafi ............................................... 45

3. DefinisiSunnahPerspektifUlama Modern ........................................ 48

4. DefinisiHadisPerspektifUlama Modern ........................................... 50

BABIV STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF

ILMU LOGIKA ................................................................................ 51

A. StudiEtimologiSunnahdanHadis ........................................................... 51

1. PengertianSunnah ........................................................................... 51

2. PengertianHadis ............................................................................... 52

B. StudiTerminologiSunnahdanHadis ....................................................... 53

1. KajianDefinisiSunnah ..................................................................... 53

2. DefinisiUlamaUsulFikih ................................................................. 55

3. DefinisiUlamaFikih ........................................................................ 55

4. DefinisiUlamaHadis ....................................................................... 56

5. DefinisiUlama Modern ................................................................... 57

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 59

A.Kesimpulan ........................................................................................... 59

Page 13: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

xi

B. KritikdanSaran ...................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sering dijumpai pada berbagai literatur, bahwa Islam merupakan agama

penyempurna dari agama sebelumnya. Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai

agama yang berlaku untuk semua umat manusia.1 Hal ini menunjukkan bahwa

Islam merupakan agama universal yang berlaku untuk semua kalangan manusia,

artinya ajaran Islam sangat tidak terkait dengan waktu dan tempat, Islam selalu

hadir kapan pun dan dimana pun dibutuhkan.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw diutus untuk semua mahluk di muka bumi

dan sebagai rahmat bagi segala ruang dan waktu.2 Karena beliau memiliki budi

pekerti yang paling luhur,3sehingga ia pantas menjadi tauladan semua mahluk. Di

sisi lain, Rasulullah Saw sebagai manusia biasa, mempunyai umur terbatas, oleh

karenanya beliau mewariskan dua perkara penting yaitu “Al-Qur’ân wa Al-

Sunnah” untuk dijadikan pedoman hidup manusia bagi generasi berikutnya,

dikarenakan tidak akan ada Rasul berikutnya.4:

1 Q.S. Al-Ma'idah (5) ayat: 3

2 Q.S. Al-Anbiyâ’ (21) ayat: 107

3 Lihat: Q.S. al-Qalam (68) ayat: 04. “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mempunyai

ahlaq (budi) yang paling sempurna”. Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Dar

as-Sunnah, 2002), h. 565 4 M.Suhudi Isma’il, Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al- Hadîts

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 3-

4.

Page 15: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

2

“Rasulullah saw bersabda: wahai manusia sesungguhnya aku telah

meninggalkan dua perkara untuk kalian yaitu al-Qur’an dan Sunnah, jika

kalian berpegang teguh keduanya maka kalian tidak akan tersesat”

Mengingat keterangan di atas, bahwa mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah

wajib bagi kaum muslimin sebagai literatur hidup sehari-hari. Akan tetapi

mengetahui dua hal tersebut sangat sulit, terkecuali terdapat metodologi yang baik

dan benar, salah satunya adalah menentukan objek batasan (definisi) yang sesuai

dengan ilmu mantik.

Namun hingga saat ini sunnah belum ada definisi yang kongkrit, artinya

definisi yang ada masih terdapat ikhtilaf yang prinsipil, contohnya adalah

terminologi yang dirilis oleh ahli hadis dengan ahli usul fiqh, keduanya membatasi

sunnah dengan berbeda pandangan, hal ini dapat mengakibatkan hasil yang

berbeda pula, baik secara teoritis maupun praktis. Perbedaan hal tersebut juga

terjadi dikalangan ilmuan yang lain.

Dalam berbagai literatur, penulis menemukan beberapa perbedaan definisi

sunnah dan hadis,6 penulis sadar bahwa hal itu dipengaruhi oleh latar belakang

pendidikan atau pengetahuan yang dialaminya. Namun, yang menjadi persoalan

adalah mengapa harus berbeda, padahal tujuannya sama, yaitu menjadikan

pedoman hidup masyarakat dan mengetahui sunnah dan hadisdengan kongkrit.

5 Hampir semua praktisi hadis mengutip hadis ini, maskipun bentuk kalimatnya tidak

sama. Lihat: Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, Juz 10. (T.tp: Mauqiu al-

Islâmiah,T.th), h. 114. 6 Untang Ranuwijaya, Ilmu Hadîts (Jakarta: Gaya Media Press, 1996), h. 6

Page 16: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

3

Persoalan yang tidak kalah penting adalah apakah definisi para ulama sebagai

terminologi yang mutlak adanya, artinya sebagai terminologi yang final.

Berdasarkan persoalan di atas, penulis mengingatkan pada sebuah

pernyataan.

“Bahwa orang Islam harus tahu perkembangan adat-istiadat atau budaya

setempat dimana ia tinggal, karena hal tersebut akan mempengaruhi

pemahaman makna teks keagamaan yang akan difahaminya. Artinya sebuah

makna teks benar dan relevan pada masanya dan tidak pada masa yang

lain.”Sedangkan ‘Masa’ akan selalu beruba setiap saat, sesuai dengan masa

sendiri dan perkembangan pikiran manusia.” 7

Dengan kata lain, makna yang ada pada teks hanya berlaku pada masa

tertentu, tapi tidak berlaku pada masa yang lain. Oleh karenanya, hal yang sangat

dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan yang membahas metode pemahaman sunnah

Nabi secara komprehensif. Salah satu metode memahami sunnah dan hadis

dengan baik dan benar adalah mengikuti standar ilmu logika, utamanya dalam hal

pembentukan definisi, karena benar tidaknya sebuah pemahaman, bila orang yang

memahami sebuah objek dapat memenuhi standar definisi dalam ilmu logika.

Inti dari persoalan ini adalah terdapat ketidak saling pahaman antara ulama

satu dengan yang lain, utamanya pada ulama fiqih dan ulama hadis dalam

mendefinisikan kata ”sunnah dan hadis” sebagai terminologi dalam Islam,

artinya mereka tidak mengikuti standar operasional definisi dalam logika.

7 M.Quraish Shihab, “Meningkatkan Pemahaman al-Qur’an di Era Globalisasi”, Kuliah

Umum di Institut Ilmu al-Qur’an, Jakarta. Hari selasa, 04 Mei 2011.

Page 17: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

4

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap

“Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Ilmu Logika” layak untuk

diteruskan.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan untuk memperjelas alur

penelitian ini, penulis perlu mengidentifikasi beberapa masalah berikut untuk

kemudian diteliti lebih lanjut:

a. Apakah semua para ulama sepakat atas definisi sunnah dan hadis yang telah

ada?

b. Apakah definisi sunnah dan hadis yang ada telah memenuhi standar ilmu

logika?

c. Adakah relevansi kata sunnah dan hadis dalam al-Qur’an dengan

terminologi para ulama?

d. Apakah kata sunnah dan hadis dalam al-Qur’an sesuai dengan terminologi

para ulama?

e. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik?

2. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada kajian definisi hadis dan sunnah yang

dirilis oleh para ahli: Ahli Hadis, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Fiqh, dan Ahli Tafsir

modern, karena beberapa pendapat yang lain (selain para ahli di atas) tidak jauh

berbeda dengan di atas. Artinya, definisi yang tidak disebutkan dalam penelitian

Page 18: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

5

ini dapat dipastikan terwakili oleh definisi-definisi yang disebutkan dalam

penelitian ini.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan

permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik?

b. Apakah definisi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu mantik?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka

tujuan penulis yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat penyelesain studi pada

program Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

Jakarta.

b. Tujuan Non Akademis, yaitu penulis ingin memberikan dukungan atau

penolakan terhadap beberapa definisi hadis dan sunnah yang ada (masyhur).

Dengan kata lain, apabila “terminologi” tidak sesuai dengan standar

ilmu mantik maka penulis akan menolaknya, dan bila hal tersebut sesuai

dengan kaidah ilmu mantik maka penulis harus mendukungnya.

D. Manfaat Penelitian

Terkait dengan manfaat atau signifikasi yang terealisasi, penelitian ini

dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu secara teoritis dan praktis:

Page 19: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

6

Pertama, Pada tatanan teoritis, masyarakat dapat memahami persoalan

sunnah dan hadissecara definitif dalam prespektif ilmu logika.

Kedua, Dalam tatanan praktis, hasil penelitian ini sangat diharapkan

memberikan sumbangan pemahaman yang lebih luas prihal sunnah dan hadis,

dalam prespektif ilmu logika.

E. Studi Terdahulu yang Relevan

Setelah penulis melacak hasil penelitian sebelumnya, baik di perpustakaan

maupun dibeberapa situs-situs internet, penulis tidak menemukan hasil penelitian

tentang persoalan ini, hampir semua literatur tidak mempertanyakan penetapan

definisi para ulama perihal sunnah dan hadis. Namun penulis menemukan tiga

literatur dari sekian banyak hasil penelitian yang ada:

Pertama, Buku “Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern” yang

ditulis oleh Daniel W. Brawn. Dalam buku ini menjelaskan bahwa sunnah dan

hadis mempunyai persoalan yang berbeda, sunnah lebih banyak berperan dalam

memberikan keterangan wahyu, sedangkan hadis hanya sebagai atau media untuk

menyampaikan sunnah.8

Kedua, Penulis menemukan sebuah buku yang di tulis oleh salah satu guru

besar STAIN Purwokerto. Buku terebut berjudul “Hadis Semenjak Disabdakan

sampai Dibukukan.9 Dalam buku ini menceritakan dual hal, Pertama, Ia

menceritakan sejarah perjalanan hadis. Kedua, Ia menceritakan bagaimana proses

8 Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah: Jaziar

Radianti.dkk. (Bandung: Mizan, 2000), h. 26

9 Muhammad Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Porwokerto:

Fajar Pustaka, 2010)

Page 20: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

7

pembukuan hadis Rasulullah Saw. Pada bagian pertama penulis telah

memaparkan bukti kongkrit perbedaan sunnah dan hadis, namun ia tidak

memformulasikan secara spesifik mengenai dua kata tersebut.

Ketiga, berupa skripsi mahasiswa Tafsir Hadis Jakarta yang berhubungan

erat dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, hasil penelitian tersebut

adalah:

a. Penelitian yang ditulis dengan judul Otentitas Hadis Menurut Imam al-

Ghâzalî Studi Analitis,10

Beliau melakukan pembahasan tentang tata cara

memahami hadist menurut al-Ghâzalî, secara keseluruhan tidak banyak penulis

mendapatkan informasi penting prihal masalah definisi sunnah dan hadis, Namun

beliau hanya membedakan kedua definisi tersebut.

b. Penelitian yang berbeda, berjudul “Metode Pemahaman Hadis Tela’ah

Historis dan Semantik”.11

Dalam skripsi ini, penulisnya menjelaskan tentang cara

memahami hadis Rasulullah Saw. Dalam hal ini, penulis juga tidak banyak

mendapatkan informasi. Skripsi ini hanya membahas cara memahami hadis yang

benar, padahal untuk memahami sesuatu dengan benar maka harus memahami

persoalan definisi dengan benar pula, karena bila tidak demikian, maka dapat di

pastikan hasil pemahaman tersebut salah.

Dari beberapa hasil penelitian di atas, penulis tidak mendapatkan jawaban

yang memuaskan tentang sunnah dan hadis yang sedang penulis teliti, oleh

10 Kuswandi Yahdi, “Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis,” (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2009). 11

Nurul Huda, “Metode Pemahaman Hadis Tela’ah Historis dan Semantik,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002).

Page 21: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

8

karenanya penulis harus melanjutkan penelitian ini, untuk menyempurnakan

pemahaman sunnah dan hadis.

F. Metodologi Penelitian

Metodologi12

yang penulis gunakan dalam penelitian ini, adalah

metodologi kualitatif, yaitu Metode penelitian yang berlandaskan pada positifisme,

yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, dan hasil penelitian ini lebih

menekankan pada makna dari pada generalisasi.13

Metode dalam kajian ini mempunyai beberapa prosedur yang harus di

tempuh, sebagai sebuah rangkaian keabsahan penelitian sebuah objek.

Adapun Studi ini akan mengikuti prosedur penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengikuti prosedur yang menghasilkan data diskriptif

berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.14

atau dengan ungkapan lain yang menguraikan kata-kata dengan menganalisis satu

persatu yang menyangkut pokok permasalahan.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka15

(Library

Research). Setelah masalah dirumuskan, langkah yang dilakukan dalam mencari

12 Artinya adalah Ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat untuk menganalisa

sesuatu; penjelasan serta penerapan cara. Lihat, Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer,

(Surabaya: Arkola, 2001), h. 461.

13

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif-kualitatif, (Bandung: al-Fabet, 2009), h. 9 14

Lexy J. Meleong,, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2004), h. 4 15

Adapun yang dimaksud dengan perpustakaan adalah koleksi pustaka; tempat koleksi

buku, (Perpustakaan adalah menggunakan buku-buku sebagai bahan penelitian, artinya tidak

memakai data eksperimen). Lihat, Pius A. Partanto.dkk. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arkola,1994), h. 590.

Page 22: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

9

data tersedia, di mana terdapat hubungan yang ingin dipecahkan. Kerja mencari

bahan referensi di perpustakaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari.

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, nama penelitian bersifat deskriptif-analistis16

komperatif,17

yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara

deskriptif,18

di samping itu, penelitian ini juga berupaya mengeksplorasi secara

mendalam yang berhubungan dengan permasalahan ketetapan definisi sunnah dan

hadis. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan pendekatan semantik.

3. Pendekatan Penelitian

Terkait dengan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kausal-

komperatif19

dengan tujuan untuk mengkomparasikan persoalan definisi klasik20

dengan kontemporer21

mengenai sunnah dan hadis dan masing-masing

pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan. Hal tersebut dilakukan dengan

tujuan:

16

Adalah memberikan arti terhadap fenomena (wacana). Dalam prinsip analisis, semua

masalah harus dicari yang menyebabkan serta memecahkannya dengan menggunakan analisi

yang logis, fakta yang mendukung tidak dibiarrkan sebagaimana adanya, atau hanya dibuat

diskripsi saja, Akan tetapi, semua kejadian (di dalam teks) harus dicari sebab akibat dengan

menggunakan analisis yang tajam, Lihat: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h.

53. 17

Adapun yang dimaksud dengan komperatif adalah membandingkan satu variabel dan

sampel besar, Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji teori hingga ditemukan kesamaan dan

perbedaan. Lihat, Iskandar, Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial; Kualitatif dan

Kuantitatif, (Jakarta: GP Press. 2009), h. 62

18 Yaitu mendeskripsikan sesuatu secara sistematis faktual dan akurat terhadap populasi

atau keterangan tertentu, mengenai kerateristik, faktor-faktor, unsur-unsur tertentu; Lihat,

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, h. 36

19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h. 73

20 Yang dimaksud dengan definisi klasik adalah definisi yang di keluarkan pada awal

munculnya ilmu hadîts. Misalkan Imam Syafi’i. Lihat, Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi

Sunnah dalam Islam Moderen, Penerjemah. Jazair Radianti, dkk, (Bandung: Mizan Media

Utama, 2000), h. 19 21

Yang dimaksud dengan definisi kontemporer adalah definisi yang di tetapkan pada era

reformasi yaitu masa kritik ilmu hadis, mulai abad delapan belas, tujuh belas hingga sekarang,

Lihat. Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi Sunnah, h. 37

Page 23: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

10

Pertama, penulis mencari kemungkinan adanya sebab akibat yang

mendasari ulama yang mendefinisikan hadis dan sunnah. Pencarian kausal

tersebut tidak hanya terfokus pada perbandingan para ahli hadis melainkan para

Ulama yang lain, baik di Fuqaha maupun di Theologi, utamanya para Mufassir,

hal ini dilakukan guna bisa menangkap makna baru yang lebih komperehensif.

Kedua, Secara khusus penulis memberikan porsi yang cukup untuk

menyelesaikan persoalan ini, yaitu pendekatan kritik teks yang telah dilakukan

oleh banyak pakar ilmuan muslim mapun non-muslim, hal ini dilakukan sebagai

rangkaian analisis teks dari beberapa definisi masa lalu, dengan harapan bisa

memberikan kontribusi keyakinan yang rasional untuk menyeimbangkan antara

akal dan wahyu. Untuk mencapai kesempurnaan penelitian ini, penulis juga

menggunakan pendekatan ilmu logika (mantik).

4. Sumber Data

Adapun sumber penelitian ini terdapat dua macam: Pertama, Primer22

yaitu sumber utama yang menjadi pembahasa pokok dalam penelitian ini,23

Sumber tersebut diambil dari Ulum al-Hadîts, Mustâlah al-Hadîts, al-Amsthal al-

Hadîts, al-Qawâid al-Hadîts dan sumber-sumber dalam ilmu hadis lainnya.

Adapun referensi dari rujukan ilmu logika, penulis menggunakan Sidi Gazalba

Sistematika Filsafat, Ilmu Mantiq (Logika), Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir

Logik, dan Dasar-dasar Logika.

22 Pius A Parto, dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625

23 J.S. Badudu, dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan,

1996), h. 1089.

Page 24: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

11

Kedua, Sekunder,24

yaitu sumber pendukung dari sumber primer,25

Sumber

tersebut diambil dari kamus-kamus ilmiah, antara lain: Kamus “Arab Indonesia”

hingga kamus “Bahasa Indonesia Ilmiah Populer” dan “Kamus Besar Bahasa

Indonesia” yang lain. Kemudian, Al-Qur’an serta artikel-artikel, Majalah, Buletin

yang berhubungan dengan penelitian ini.

a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey kepustakaan

dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun data dari sejumlah

literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau dari tempat lain ke dalam sebuah

daftar pustaka. Sedangkan studi leteratur adalah mempelajari, menelaah dan

mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang sedang penulis

teliti.

b. Analisis Data

Analisis data26

dilakukan untuk mencari pola sistematika yang paling tepat

dan benar. Analisis ini bersifat induktif, yaitu suatu analisa berdasarkan suatu

yang diperoleh, selajutnya dikembangkan menjadi hipotesis, berdasarkan

hepotesis yang dirumuskan, kemudian dicarikan data lagi secara berulang-ulang

sehingga dapat disimpulkan berdasarkan data yang terkumpul, apakah hal tersebut

bisa diterima atau ditolak? dan bila hal tersebut diterima maka hipotesis tersebut

berkembang menjadi sebuah teori.27

24 Pius A Parto. dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625

25 J.S. Badudu. dkk. Kamus Bahasa Indonesia, h. 1246

26

Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa Analisis data adalah proses mencari dan

menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil catatan, lapangan, dokumentasi. Lihat,

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 244.

27 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 245

Page 25: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

12

Terkait dengan data yang ingin ditelaah dalam penelitian ini adalah, segala

hal yang terkait dengan pembentukan definisi, yang dalam hal ini digunakan teori

ilmu-ilmu maupun logika.28

Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis tunggal yang

fundamental, yaitu menggunakan kaidah ilmu mantik, dalam hal ini dilakukan

untuk mengetahui prosedur pembuatan definisi sunnah dan hadis dengan baik dan

benar.

Dengan demikian, pendekatan ini mempermudah proses analisis dalam

skripsi ini. Sedangkan dalam hal teknik penulisan, penulisan mengacu kepada

buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.29

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah

penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitkan yang erat antara pembahasan

pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab selanjutnya.

Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh

tentang isi penelitian ini, maka sekripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika

28 Ilmu mantiq adalah ilmu tentang kaidah-kaidah berfikir, yang dapat membimbing

manusia kearah berfikir secara benar, sehingga ia terhindar dari berfikir keliru yang menghasilkan

kesimpulan yang salah. Lihat, Baihaqi. A.k, Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpiki Logis (Jakarta:

Darul Ulum Press, 2007), h. 1. Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum

yang digunakanuntuk membedakan penalaran yang betul dengan penalaran yang salah. Lihat,

Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 2. Logika dan mantiq pada

dasarnya sama, namun logika ilmu tehnik berfikir yang bekerja secara umum, namun mantaq

adalah terjemahan dari ilmu logika barat yang disesuaikan dengan dasar-dasar agama Islam.

Lihat, Faris Pari, Ilmu Logika, (Jakarta: Pesantren Ciganjur), h. 2 29

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Sekripsi, Tesis dan Desertasi,

UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007)

Page 26: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

13

pembahasan yang teratur. Adapun sistematika penulisan penelitian ini, penulis

telah membagi menjadi lima bab:

Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan di dalamnya menjelaskan latar

belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Kemudian permasalahan yang

muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi permasalahan

utama, serta arti penting dan mamfaat yang ingin penulis capai dalam penelitian

ini bagi masyarakat.

Pada pembahasan terakhir dalam bab pendahuluan ini, penjelasan

mengenai sistematika pembahasan ini. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga

bab, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Bab kedua, penulis menginformasikan beberapa metode pembentukan

definisi dari berbagai prespektif dalam ilmu logika. Teori inilah disajikan, sebagai

bentuk analisa beberapa definisi sunnah dan hadis. Bab ini meliputi pembahasan

metode pembentukan pengertian hingga kaidah-kaidah pembentukan definisi.

Bab ketiga, penulis menguraikan beberapa definisi sunnah dan hadis baik

secara etimologis maupun terminologis:

Dalam kajian etimologi, penulis ingin menguraikan dua hal: Pertama,

penulis menguraikan makna sunnah dan hadis yang terkandung dalam kamus.

Kedua, uraian tentang etimologi sunnah dan hadis yang telah diformulasikan para

ulama.

Adapun kajian sunnah dan hadis secara terminologi, penulis ingin

menguraikan beberapa pendapat yang meliputi: Prespektif ulama hadis, ushul

Page 27: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

14

fiqh, dan ulama fiqh. Kemudian, penulis menguraikan beberapa pendapat dari

ulama kontemporer.

Bab keempat, Penulis menganalisis dari beberapa definisi yang diuraikan

dalam bab tiga, dengan metode analisa yang diuraikan para ilmuan, yang telah

dikutip dalam Bab ke dua.

Dengan demikian akan ditemukan sebuah kesimpulan yang akan

dipaparkan dalam bab lima yang juga merupakan bab penutup.

Page 28: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

BAB II

KAIDAH-KAIDAH PEMBUATAN DEFINISI

DALAM PERSPEKTIF ILMU LOGIKA

A. Kaidah Pengertian

Keobjektifan makna teks akan ditentukan oleh pengertian yang benar,

sedangkan pengertian yang benar akan ditentukan oleh pembatasan (definisi) kata

yang benar pula,1 persoalannya adalah perkembangan kultur budaya saat ini yang

telah mempengaruhi teks-teks keagamaan, sehingga banyak definisi yang ada

terduga melanggar asas-asas ilmu logika. Hal ini pula dikhawatirkan terjadi pada

definisi sunnah dan hadis.

1. Definisi Pengertian

Pengertian2 adalah abstraksi sebuah objek yang divisualisasikan.

Pengertian merupakan kerangka pertama dalam ilmu logika atau asas logika.

Dalam pembicaraan sehari-hari sering sekali mempersoalkan pengertian,

manakala sesuatu objek tidak jelas, dirpertanyakan lah apa pengertian itu.

2. Metode Pembentukan Pengertian

Metode pembentukan pengertian adalah abstraksi, berarti gambaran,

dengan melalukan abstraksi terbentuklah sebuah pengertian, abstraksi tersebut di

peroleh dari kejadian khusus yang kongkret.

Kata abstrak berarti sebuah gambaran umum, menjadikan abstrak yaitu

memisahkan dalam pikiran, meninggalkan unsur-unsur aksidensi, sehingga yang

1Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu Pengetahuan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 47. 2 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 47-59.

Page 29: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

16

tinggal adalah esensi, tidak mengindahkan ciri visual yaitu ciri yang dapat dilihat,

atau non visual.

Adapun yang dimaksud ciri aksiden: yaitu yang kebetulan, yang pokok,

yang khusus, yang ada pada individu. Dengan meninggalkan ciri-ciri yang bukan

pokok, khusus terbentuklah objek tersebut menurut hakikatnya yang disebut

esensi.

Contoh: Pohon, ia bersifat pribadi, berdiri sendiri, mempunyai kekhususan

dari masing-masing pohon, dan yang ada pada masing-masing pohon mempunyai

ciri keumuman: tinggi, gembuk, rendah, yang membedakan dengan yang lain,

maka hal itulah yang disebut ciri aksidensi3 (ciri umum). Di samping itu, pohon

mempunyai ciri khusus, tumbuh, berbatang, dan kalau tidak ada ciri tersebut, tidak

akan disebut pohon, contoh berakar, maka hal inilah yang disebut esensi

(hakikat4), dengan ciri inilah dibentuk oleh budi (tanggapan), dengan

meninggalkan ciri aksiden, hal itulah disebut pengertian.

Kesimpulannya adalah: subjek harus menentukan objek yang akan di

gambarkan, dan gambaran yang telah didapatkan akan ditransformasikan kepada

penentuan lambang yang bisa dikenal dengan “kata”, kemudian subjek

3 Ada sepuluh kategori ciri-ciri aksidensi, (Seekor) Jumlah, (kuda) Subtansi, (yang gagah)

Sifat, (punya ahmad) Hubungan, (sebagai lomba) Sikap, (kemarin) Waktu, (digelanggang bogor)

Tempat, (Ikut berpacu) Situasi, (Memperebutkan) Aksi, (Piala gubenur) Pasif.Lihat, Sidi Gazalba,

Sistematika Filsafat, h. 50-51 4 Esensi sebuah objek, menunjuk halnya sebuah objek tersebut, sedangkan ciri aksidensi

objek adalah sesuatu yang melekat pada hakikat, seperti jumalah, waktu. Subtansi menunjuk satu

hal, sedangkan aksidensi, sifat, aspek secara kebetulan melekat pada subtansi. Lihat, Sidi

Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 50

Page 30: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

17

menentuan unsur-unsur yang mengikat pada objek tersebut, dari sinilah subjek

menjadikan sebuah abstraksi yang disebut pengertian.

B. Pengertian Definisi

Pengertian5 merupakan kata yang tidak jelas batasnya, maka hal itu disebut

“Chaos of Ideas” (ide-ide yang tidak tersusun). Oleh karena itu, hal tersebut

harus didefinisikan. Definisi atau definisi secara lugawi adalah memperkenalkan,

memberitahu sampai jelas dan terang mengenai sesuatu.6 Secara logika definisi

adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya

diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan/diperkenalkan.

Definisi adalah pengetahuan yang dibutuhkan. Dalam kehidupan ilmiah

maupun kehidupan sehari-hari, seseorang banyak berurusan dengan definisi.

Sewaktu orang memasuki pembicaraan permulaan suatu ilmu, ia akan bertemu

dengan definisinya. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang diminta untuk

menjelaskan pengertian kata yang digunakan. Menjelaskan pengertian kata agar

tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penggunaannya merupakan tugas definisi.7

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi adalah suatu

cara dan alat untuk mengenal dan memahami tentang pengertian objek dan untuk

mendapatkan gambaran yang sejelas jelasnya terhadap objek tersebut. Artinya

mendefinisikan sesuatu adalah mengenalkan sesuatu menurut hakikatnya.8

5 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 60-63

6 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), h. 47

7 Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo,1994), h. 37

8 Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Mantiq (Yogyakarta: IKAPI, 1995), h. 57

Page 31: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

18

C. Tujuan Definisi

Tujuan dari definisi secara umum adalah kemampuan untuk menyatakan

term-term sesuai dengan kebenaran yang dikandung di dalamnya, di sisi lain

untuk menghindarkan pemikiran sesat yang sering terjadi pada pola-pola

penalaran yang tidak logis.

Secara rinci dapat dirperjelas dengan beberapa bagian yaitu memperkaya

kosa kata, membatasi ambigusitas, menghilangkan makna yang kering,

membarikan penjelasan teoretis dan mempengaruhi perilaku.

1. Memperkaya Kosa Kata

Dalam percakapan atau dalam membaca, sering dijumpai kata yang masih

asing dan maknanya sulit dipahami, baik sebagai kata secara individual maupun

dalam konteksnya. Untuk memahami apa yang dikatakan orang lain atau yang

tertulis dalam sebuah teks, kiranya penting untuk diketahui maknanya yang benar

dan tepat, Di sini lah dibutuhkan definisi. Dengan definisi pula pada akhirnya

akan diperoleh tambahan perbendaharaan makna pada kata-kata yang sudah

dipergunakan.

2. Membatasi Ambiguitas

Sangat sering dijumpai bahwa terdapat suatu kata yang mempunyai lebih

dari satu makna. Hal tersebut tidak bisa terhindar dari kata tersebut karena itu

adalah kenyataan yang ada pada suatu kata. Keadaan seperti itu jelas akan

membingungkan seeorang ketika mendengar ataupun membaca kata tersebut,

apakah ia bermakna {a} atau bermakna {b} atau malah bermakna {c}. pada

akhirnya akan muncul suatu kerancuan makna.

Page 32: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

19

Dalam keadaan seperti itu sangat perlu menyusun sebuah definisi atas kata

yang rancu tadi dengan maksud untuk memilah-milah makna yang berbeda-beda

yang terkandung di dalamnya.

Makna bahasa yang bermakna ambigu dapat membawa pada perdebatan

verbal, terutama yang berhubungan dengan penggunaan term. Sebagai contoh

adalah makna term aman dan terkendali. Term ini dapat mengundang makna

rancu, sebab apabila term-term tersebut diucapkan oleh seorang politisi, makna

ada kemungkinan akan timbul perbedaan dengan makna bila yang mengucapkan

itu adalah warga masyarakat biasa. Jadi, penyusunan definisi itu memang perlu

dengan maksud untuk mengatasi ambiguitas kata-kata atau term, frase atau

kalimat.

3. Menghilangkan Makna yang Kering

Maksud dari makna yang kering di sini adalah ada suatu kata yang bila

digabung dengan kalimat tertentu sangat sulit difahami, tidak semua orang bisa

paham maksud kata tersebut. Sedangkan orang yang tidak memahami terhadap

kata tersebut menganggap bahwa kata itu adalah kata yang bermakna kering.

Maka dari itu dibutuhkan definisi khusus untuk menjelaskan kata itu demi

pemahaman orang yang membaca atau mendengarkan.

Contohnya adalah mengembang terkendali yang dihubungkan dengan

kondisi ekonomi atau contoh lain pernyataan hak cipta dilindungi undang-undang

menjadi kering atau tidak bermakna jika ternyata banyak orang yang masih

memfotocopi karya tulis yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta.

Page 33: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

20

4. Memberikan Penjelasan Teoretis

Selain penjelasan di atas, definisi juga bertujuan untuk merumuskan

karakteristik yang secara teoritis meyakinkan dan secara ilmiah berguna bagi

penjelasan atas objek-objek dimana definisi diterapkan. Sebagai contoh, definisi

keadilan sebagai kehendak objek untuk memberikan kepada orang lain apa saja

yang menjadi haknya. Definisi ini tidak memberikan pembendaharaan tambahan

perbendaharaan kata dan juga tidak membatasi ambiguitas sabab definisi ini

hanya dimaksudkan untuk menjelaskna hubungan yang ada diantara konsep adil

dengan konsep tentang hak yang dimiliki seseorang.

5. Mempengaruhi Perilaku

Salah satu dari tujuan definisi adalah untuk mengendalikan emosi orang.

Suatu contoh seorang telah mengajukan pembalaan atas diri teman yang dituduh

telah melakukan tindakan subversive melalui penjualan buku terlarang dengan

cara memaparkan netralitas definisi term penjualan dikaitkan dengan profesi

seseorang sebagai pedagang atau memaparkan batasan profesi seseorang

rohaniwan yang memiliki kewajiban moral membantu umat yang membutuhkan

perlindungan spriritual.9

6. Memperkenalkan Makna

Makna dari sebuah objek biasanya tidak tunggal, malainkan mempunyai

ragam makna, definisi memilih makna yang relevan untuk objek yang sedang

ingin di ketahui. Artinya definisi memperkenalkan makna yang relevan.10

9 E. Sumaryono, Dasar-Dasar Logika (Yogyakarta: IKAPI, 1999), h. 38-40

10 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq (Yogyakarta: IKAPI, 1995), h. 57

Page 34: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

21

D. Syarat-syarat Pembentukan Definisi

a. Syarat-syarat Positif

Adapun syarat-syarat positif dari pembentukan definisi adalah sebagai

berikut:

1. Jami’, berarti mengumpulkan, artinya mengumpulkan semua satuan

yang di definisikan kedalam bentuk definisi.

2. Mani’ berarti mencegah, artinya melarang semua satuan hakikat lain

dari yang didefinisikan kedalam definisi.11

3. Ma’qul wa Mubin berarti masuk akal dan kongkrit, artinya definisi

harus dapat diterima oleh akal manusia, dan definisi harus lebih jelas dari

yang di definisikan.12

4. Harus sunyi dari kesalahan-kesalahan kata. Misalnya, menggunakan

kata kerja tanpa subjek, menggunkan sifat tanpa mausuf dan yang

dianggap salah oleh ahli bahasa.13

5. Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan.

Artinya, luas keduanya harus sama. Contohnya, hewan yang berakal budi

harus dapat dibolak-balikkan dengan manusia.

6. Definisi harus sama pengertiannya dengan yang didefinisikan.

Contohnya rokok adalah tembakau yang dibungkus dengan kertas yang

11 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 51

12 M.Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61

13 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 62

Page 35: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

22

dibakar ujungnya untuk dihisap pada ujung yang lainya dan dihembuskan

sebagian asapnya.14

b. Syarat-syarat Negatif

Sedangkan untuk syarat-syarat negatif dari suatu pembentukan definisi

adalah sebagai berikut:

1. Definisi tidak boleh lebih luas maknanya dari yang definisikan.

Contohnya “Merpati adalah burung yang terbang cepat”.

2. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinsikan atau kata

yang berulang-ulang. Contoh “Kafir adalah orang yang ingkar”

3. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang negatif. Contoh “Benar

adalah sesuatu yang tidak salah”15

4. Ciri-ciri atau unsur yang akan dirumuskan tidak boleh lebih dan kurang

dan berlebihan. Contoh, agama Islam lahir di tanah Mekkah-Madinah yang

menyebar ke seluruh dunia, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

5. Definisi tidak boleh memakai kata yang terlalu umum. Contoh agama

adalah syari’ah.16

6. Definisi tidak boleh memakai kata majâz tanpa adanya qârinah yang

menentukan maksud dari kata yang didefinisikan. Definisi dapat

menggunakan kata majâz bila terdapat qârinah yang menentukan maksud

dari definisi. Contoh kata dâbbah berarti segala yang merayap di muka

bumi. Bila diistilahkan binatang yang mempunyai kaki empat.

14 Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 52-53

15 Mundiri, Logika, h. 39-41

16 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61

Page 36: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

23

7. Jangan menggunakan kata musytarak, kata yang mengandung makna

banyak tanpa ada qorinah yang menentukan salah satu dari makna yang

banyak tadi. Contohnya, kata ‘ain yang mengadung beberapa arti di

antaranya ialah matahari, mata air, mata manusia, mata uang atau hakikat

sesuatu.

8. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang garib artinya kata yang

tidak terang maknanya atas maksud yang dikehendaki, atau kata yang

mengandung arti yang tidak ada hubungannya dengan yang didefinisikan.

9. Definisi tidak boleh mengandung makna yang berakibat kemustahilan

atau tasalsul. Seperti berkumpulnya dua hal yang bertentangan.17

E. Pembentukan Definisi

Ilmu pengetahuan pembentukan definisi lazim-nya berpedoman sebagai

berikut; memasukkan objek yang didefinisikan ke dalam jenis yang berdekatan,

sambil menunjukkan ciri-cirinya khusus, yang membedakan dengan jenis lain.

Contoh: al-Qur’an adalah firman Allah Swt yang tercatat dalam bahasa Arab

dangan bahasa paling indah.18

Hal yang sama disebutkan pula bahwa mendefinisikan adalah menyebut

sekelompok kerakteristik suatu kata sehingga dapat mengetahui pengertiannya

serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk objek yang lain pula. Dan yang

dimaksud dengan kerakteristik adalah genera (jenis) dan defiferentia (sifat

pembeda), jadi mendefinsikan suatu objek adalah menganalisis jenis dan sifat

17 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 61-63

18 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 63

Page 37: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

24

pembeda yang dikandungnya,19

hal ini hanya sebagai penegasan dari pernyataan

sebelumnya.

Artinya, bila objek tidak dapat ditemukan genera dan defiferentia maka

objek tersebut tidak dapat didefinisikan, objek tersebut hanya berhenti

dipengertiannya saja.

F. Tugas Definisi

Tugas definisi secara global adalah menerangkan. Dengan definisi akan

diketahui atau dikenal sesuatu, yang tadinya memang belum diketahui atau

dikenal. Kalau ia tidak berhasil maka definisi tersebut gagal. Sebagai sebuah

contoh, Apa itu manusia? jawabannya adalah “manusia itu bukan hewan,” definisi

ini gagal menjalankan tugasnya, sebab masih belum diketahui apa yang

sesungguhnya. Karena yang bukan hewan selain manusia sangat banyak

ditemukan.20

G. Macam-macam Definisi

Definisi adalah rumusan pengertian, dan pengertian adalah definisi yang

belum selesai. Adapun macam-macam definisi sebagaimana berikut:

1. Definisi Persamaan Ungkapan

Kata yang diberikan definisi dengan kata sinonim atau kata terjemahan.

contoh: sunnah itu tuntunan, atau hadis adalah sabda.

19 Mundiri, Logika, h. 37.

20 Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat, h.62

Page 38: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

25

2. Definisi Peragaan

Menerangkan sesuatu dengan cara memperagakan Contoh: anda melihat

guru mengajar geografi yang bertemakan pengetahuan peta Arab Saudi, beliau

sambil menunjuk sebuah peta bahwa kota Mekkah merupakan tempat kelahiran

Nabi Muhammad Saw.

3. Definisi Luas

Menerangkan sesuatu dengan memberikan contohnya sekali. Misalnya:

sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah Saw: seperti,

perkataannya, perbuatanya, sifatnya, rencana.

4. Definisi Uraian

Menerangkan sesuatu dengan menganalisa bagian-bagiannya satu persatu.

Contoh, Islam adalah agama yang paling akhir. Allah swt tidak memaksa

hambanya untuk masuk Islam, namun bila seorang hamba masuk Islam maka ia

harus mematuhi segala peraturan yang telah diatur dalam Islam.

5. Definisi Lukisan

Menerangkan sesuatu dengan melukiskan sifat-sifatnya. Contoh,

Muhammad Saw adalah rasul yang terakhir diutus sebagai pembawa syari’ah. Ia

manusia biasa, tampan dan kalau siang hari sinarnya melebihi matahari yang

sedang bersinar.21

Beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa kaidah kaidah definisi di

atas dapat berlaku pada semua disiplin ilmu yang dapat dikaji oleh manusia.

21 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 62

Page 39: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

26

BAB III

DEFINISI SUNNAH DAN HADIS

A. Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis

1. Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Kamus

Sunnah berasal dari bahasa arab ( ) berarti mengasah atau

manajamkan. Namun, kata tersebut tidak hanya mempunyai makna tunggal,

melainkan memiliki makna yang sangat luas, ia sangat tergantung pada susunan

kalimatnya. Bila kata sunnah disandarkan pada kata (انطشيقح) maka ia berarti

“berjalan di jalan”, dan bila kata tersebut disandarkan pada manusia maka ia

berarti “Mengadakan sunnah untuk mereka,” dan bila kata tersebut diberi syiddah

( س-ض-سح maka ia berarti “jalan, tabi‟at, peri kehidupan.” Intinya adalah makna

kata sunnah sangat dipengaruhi oleh kalimat yang mengikutinya.1 Hal tersebut

didukung oleh penulis kamus yang lain seperti kamus al-Munawir,2 kamus Arab-

Kontemporer.3

Hal yang sama juga terjadi pada hadis, artinya kata hadis berasal dari bahasa

Arab, yaitu حذشا-يحذز-حذز berlaku, terjadi. ( حذاشح-يحذز-حذز berarti baru,

bilamana kata tersebut ber-syiddah, maka ia berarti menceritakan, memberikan.

1 Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 180

2Ahmad Warson Munawwar, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap

(Jogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 670 3Ahmad Zuhdi Muhdior, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan

Ali Maksum, 1996), h. 1092

Page 40: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

27

Apabila kata tersebut dirubah harkah menjadi ( احاديس-ض-حذيس berarti cerita,

berita, riwayat dari nabi Muhammad saw.4

2. Pendapat Para Ulama Mengenai Sunnah dan Hadis

a. Etimologi Sunnah

Kebanyakan para ulama dunia Islam menetapkan definisi sunnah secara

etimologis adalah:

انؼرادج حسح كاد قثحيحانسيشج انطشيقح

"Jejak dan jalan yang bersifat kebiasaan baik bagus maupun jelek"

حسح كاد قثحيحانسيشج"Jalan (yang dijalani) baik terpuji maupun tercelah.

5"

انسرقيح انطشيقح"Jalan yang lurus"atau jalan yang harus ditempuh.

6”

Ulama yang berbeda berpendapat, bahwa kata sunnah dapat diartikan

“politik” kata tersebut diambil dari bahasa Yunani „politeia‟ yang berarti

konstitusi atau repulik, secara filosofis ia mempunyai arti tentang keadilan,7

intinya adalah kesatuan negara dan masyarakat, politik merupakan aturan main

yang berada di dalamnya.8 Dalam hal ini Rasulullah.saw merupakan seorang

4 Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h.98

5 Nur al-Din 'Atar, Manhâj al-Nâqidi Fî Ulumu al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h.

27 6 Taqiyuddin al-Nabhani,Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah, Penerjemah.

Abu Amin,dkk (Jakarta: HTI Press, 2010), h. 122 7 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1997), h. 7-8

8 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia: Satu Model Pengantar (Bandung: Sinar

Baru Algesindo, 1999), h. 2

Page 41: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

28

Rasulullah yang merangkap sebagai presiden yang mengatur semua sistem

kehidupan masyarakat waktu itu.9

Berdasarkan etimologi di atas, penulis pahami bahwa kata sunnah

mempunyai dua unsur atau ciri khusus yaitu, jalan dan perjalanan atau jejak

(sejarah). Dua ciri tersebut harus disebutkan dalam terminologi.

b. Etimologi Hadis

Secara etimologi,10 kata hadis merupakan serapan dari bahasa arab, yang

aslinya berbunyi al-Hadîts. Dalam hal ini para ulama memberikan sikap yang

berbeda-beda, maskipun tidak terlalu tajam, artinya hal tersebut masih bisa

ditolerir: Berikut beberapa pendapat para ulama perihal etimologi hadis:

1. Menurut al-Fayumiy, telah mengartikan kata hadis dengan:

ذجذ د جد يا يرحذ ز ت يقم قشية

“Yang baru keberadaanya, apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan

dekat atau menjelang”11

2. Menurut Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, lebih

dikenal dengan penggilan Ibn Manzhur , mengartikan hadis sebagai berikut:

انجذيذ ي االشياءانخثش ياذ ػ انقهيم انكصيش

“Sesuatu yang baru berupa berita yang datang, baik sedikit atau banyak”

9Abd A‟la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir,

(Bandung: Mizan, 2007), h. 55 10

Penyelidikan mengenai asal-usul kata atau istilah serta pembahasannya, Lihat, Pius A

Partanto, dkk, Kamus Ilmiah Populer, h. 162 11

Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi

Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi‟iy (Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th), h. 135

Page 42: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

29

Selanjutnya dikatakan bahwa kata jamak ialah hadis

sebagaimana kata

qata‟a –aqti‟ hanya saja kata jamak dengan model seperti ini adalah syadz dan

menyalahi qiyas.12

3. Badr al-Dîn Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah, Mengartikan:

ايا انحذيس فاصه ضذ انقذيى قذ اسرؼم ف قهيم انخثش كيصش

“Adapun asal makna kata al-Hadîts adalah lawan dari kata al-Qadim

(terdahulu), dan kadang dipakai untuk makna berita baik yang sedikit

maupun banyak”

Pakar ilmu hadis Rasulullah Saw, „Ajaj al-Khatib dalam dua bukunya,

dengan tegas mengartikan, kata hadis secara etimologi (al-Jadîd) yang baru, (al-

Qarib) dekat. Subhi Shaleh menambahkan bahwa makna hadis adalah (al-kalam)

pembicaraan,13 secara bahasa hal ini terlihat berseberangan dengan al-Qur‟an

yang bersifat (Al-Qadim) yang terdahulu.14

Pada literatur yang berbeda disebutkan, bahwa makna kata hadis sangat di

tentukan oleh kata yang mengikutinya, bila kata tersebut disandarkan pada Allah

Saw maka ia menjadi hadis qudsi.15 Apabila kata tersebut disandarkan pada kata

Nabi maka ia menjadi hadis nabawi.

3. Makna Sunnah dan Hadis dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an penyebutan sunnah dan hadis tedapat dua macam;

Pertama, penyebutan secara langsung. Kedua, penyebutan secara tidak langsung.

Penyebutan sunnah secara langsung adalah:

12 Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Anshariy, Lisân al-Arab, Juz. 11, h. 437.

13 Subhi Shaleh. Ulum al-Hadîth wa Mustalahu, h. 3

14 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadîts‟Ulumuhu wa Mustalahuhu, h.26-27

15 M. Agus Solahuddin, dkk, Ulumul Hadis, (Bandung; Pustaka setia, 2009), h.25-26

Page 43: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

30

a. Kata Sunnah dalam al-Qur‟an

Para ulama mengutip, kata sunnah dari al-Qur'an, mereka gunakan dalam

artian khusus yaitu: "Cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama: kata

Sunnah dalam awal periode Islam dikenal dengan arti tersebut.16

Kemudian, kata sunnah disebutkan diberbagai tempat, dengan tujuan yang

berbeda-beda. Penulis harus menguraikan hal ini, untuk mengetahui perubahan

makna sunnah dalam al-Qur‟an, sebagaimana berikut:

“Sebagai suatu sunnatullah (hukum Allah.swt yang telah ditetapkan) yang

berlaku, sebelum kamu, dan tiada akan menemukan perubahan bagi

Sunnahtullah tersebut.”17

“Kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap

Rasul-rasul Kami yang kami utus sebelumu, dan tiap-tiap ummat yang

mengusir Rasul, pasti akan di binasakan Allah.swt. Demikianlah Sunnah

(ketetapan Allah.swt) dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi

ketetapan kami itu”18

“Sebagai Sunnatullah yang berlaku atas orang-orang sebelum kamu, dan

kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sunnahtullah”19

16 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, h. 37

17Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Madinah al-Munawarah:

Mujama' al-Malik Fahd li Thibâ'at al-Mushaf, T.th.) Q.S.Al-Fath (48) ayat: 23. 18

Q.S. Al-Isrâ‟ (17) ayat: 77. 19

Q.S. Al-Ahzâb (33) ayat: 62.

Page 44: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

31

“Maka Iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah

melihat siksa kami. Itulah Sunnahtullah yang telah berlaku terhadap

hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir”20

“Karena kebohongan mereka di bumi dan arena renacana mereka yang

jahat. Rencana itu tidak akan menimpa selain orang yang merencakannya

sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya)

Sunnah kepada orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan

mendapat penggantian bagi Sunnah Allah.swt dan sekali-kali tidak akan

menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah.swt itu”21

“Dan tidak ada satupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika

petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada

tuhannya, kecuali keinginan menanti datangnya hukum Allah.swt yang

telah berlaku pada umat-umat yang dahulu atau datannya adzab atas

mereka datangnya nyata”22

20 Q.S. Al-Mukmin (Ghafir) (40) ayat: 85

21 Q.S. Fâthir (35) ayat: 43.

22 Q.S. Al-Kahfi (18) ayat: 55.

Page 45: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

32

“Mereka tidak beriman kepada al-Qur‟an dan sesungguhnya telah berlalu

Sunnatullah (membinasakan orang-orang yang mendustakan rasul)

terhadap orang-orang dahulu.23

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti

ingkar, niscaya Allah.swt akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa

mereka yang lalu; dan jika mereka kembali lagi(kembali memerangi

nabi), sesungguhnya akan berlaku kepada mereka Sunnahtullah orang-

orang terdahulu”24

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu Sunnah Allah.swt, yang

dimaksud dengan Sunnah Allah.swt di sini ialah hukuman-hukuman

Allah.swt yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada

orang-orang yang mendustakan Rasul. karena itu berjalanlah kamu dimuka

bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang

mendustakan(Rasul-rasul)”25

26

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan

mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau, dan

mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (al-

Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya engkaulah yang maha

kuasa lagi maha bijaksana”27

23 Q.S. Al-Hijr (15) ayat: 13.

24 Q.S. Al-Anfâl (08) ayat: 38.

25 Q.S. Ali-Imrân (3) ayat: 137.

26 Q.S. Al-Baqarah (2) ayat: 129.

27 H. Muhammad Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, h. 42

Page 46: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

33

Pada ayat terakhir disebutkan, bahwa yang dimaksud kata al-hikmah

adalah Sunnah, dalam tradisi filsafat, kata hikmah diartikan filsafat atau

kebenaran,28 para ahli hadis mengistilahkan bahwa kebenaran yang hakiki adalah

sunnah.29

Dalam pemaparan ayat-ayat di atas, dapat penulis pahami bahwa yang di

maksud dengan kata sunnah tidak berhubungan langsung dengan Rasulullah.saw,

melainkan berhubungan dengan Allah.swt yang telah berlaku, maupun yang akan

berlaku.

Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: Pertama,

Sunnatullâh, yaitu aturan yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak satupun yang bisa

menggugatnya. Kedua, Sunnah orang terdahulu (adat-istiadat sejarah). Ketiga,

Filsafat.

b. Kata Hadis dalam al-Qur‟an

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa kata hadis dalam al-Qur‟an

menempati beberapa tempat:

“Dan sesungguhnya Allah.swt telah menurunkan Al-Qur‟an bahwa apabila

kamu mendengar ayat-ayat Allah.swt diingkari dan diperolok-olokkan

oleh orang kafir, maka janganlah kamu duduk berserta mereka, sehingga

28 Aksin wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur‟an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis- Hermeneutis,

(Yogjakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009), h.71 29

Muhammad Dailamiy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan,..h.42

Page 47: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

34

mereka mamasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya

Allah.swt akan mengumpulkan semua orang-orang munafik di dalam

neraka”30

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat Kami,

maka tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan yang lain. Dan

menjadikan kamu lupa akan larangan ini, maka janganlah kamu duduk

bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat akan larangan

tersebut”31

“Apakah mereka tidak mempertahatikan kerajaan langit-bumi dan segala

sesuatu yang di ciptakan Allah.swt dan kemungkinan telah dekatnya

kebinasaan mereka? maka kepada mereka? maka kepada berita manakah

mereka akan beriman selain kepada Al-Qur‟an tersebut”32

“Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telah menganugerahkan kapadaku

sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian Ta‟bir mimpi.

30 Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Asy-syarif Medinah

Munawarah. 9960): Q.S. al-Nisâ‟ (04) ayat: 140. 31

Q.S. Al-An‟âm (6) ayat: 68 32

Q.S. Al-A‟râf (7) Ayat: 185

Page 48: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

35

Ya tuhan pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku didunia dan

akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan islam dan gabungkanlah aku

dengan orang-orang yang saleh”33

“Dan orang mesir yang membelinya berkata kepada isterinya; berikanlah

kepadanya tempat dan layanan yang baik, boleh jadi dia bermamfaat

kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak,”Dan demikian pulalah kami

memberikan kedudukan yang baik kepada yusuf di muka bumi mesir, dan

agar kami ajarkan kepadanya ta‟bir mimipi. Dan Allah.swt berkuasa

terhadap urusannya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuianya”34

“Dan demikianlah tuhanmu, memilih kamu untuk menjadi Rasulullah.saw

dan di ajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta‟bir mimpi dan

disempurnakan-Nya nikmat kepadamu dan kepada keluarga yakqub,

sebagaimana dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang

bapakmu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan ishaq. Sesungguhnya tuhanmu

maha mengetahui lagi maha bijaksana”35

33 Q.S. Yusuf (12) ayat: 101

34 Q.S. Yusuf (12) ayat : 21

35 Q.S. Yusuf (12) ayat: 06

Page 49: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

36

“Sesungguhnya kepada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an itu bukanlah cerita yang di

buat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan

menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum

yang beriman.”36

“Dan ingatlah ketika Rasulullah.saw membicarakan secara rahasia kepada

salah seorang isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala

hafshah menceritakan kepada aisyah dan Allah.swt memberitahukan

pembicaraan kedua isteri rasul kepada Rasulullah.saw lalu beliau

memberitahukan sebagian yang lain kepada hafshah. Maka tatkala

Rasulullah.saw memberitahukan kepada kedua isterinya lalu hafsha

bertanya; siapakah yang telah member tahukan kepadamu?

Rasulullah.sawmenjawab; Allah.swt telah memberitahukan kepadaku yang

maha mengetahui”37

36 Q.S. Yusuf (12) ayat: 11

37 Q.S. At-Tahrim (66) ayat: 3

Page 50: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

37

“Dimana saja kamu berada, kematian akan menghampirimu, kendatipun

kamu dalam benteng yang tinggih dan kokoh. Dan jika mereka

memperoleh kebaikan, mereka mengatakan; ”Ini adalah dari sisi

Allah.swt”, dan kalau mereka di timpa sesuatu bencana mereka

mengatakan” ini datangnya dari sisi kamu Muhammad.saw ”katakanlah”

semunya datang dari sisi Allah.swt“ maka mengapa orang-orang tersebut

munafik hampir tidak memahami sedikit pembicaraan”38

“Allah.swt telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya

kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang

kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.swt, Itulah petunjuk

Allah,swt dengan kitab itu, dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.

dan barangsiapa yang disesatkan Allah.swt niscaya tidak ada baginya

seorang pemimpinpun.” 39

“Pada hari itu orang kafir dan orang-orang yang mendurkahai rasul, ingin

selalu mensamaratakan dengan rata,dan mereka tidak dapat

menyembunyikan sesuatu kejadian apapun.”40

38 Q.S. Al-Nisâ‟(4) ayat: 78

39 Q.S. Al-Zumar (39) ayat: 23

40 Q.S. Al-Nisâ‟(4) ayat: 42

Page 51: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

38

“Allah.swt tidak ada tuhan selain dia. Sesungguhnya dia akan

mengumpulkan kamu hari Qiamat, yang ada keraguan terjadinya. Dan

siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.swt.”41

“Itulah ayat-ayat Allah.swt yang kami membacakannya kepadamu dengan

sebenarnya; maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman

sesudah (kalam) Allah.swt dan keterangan-keterangan-Nya”42

-

“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu

menetertawakan dan tidak menangis?” 43

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih

hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada

keterangan ini”44

“Apakah kamu menganggap remeh saja al-Qur‟an ini?”45

41 Q.S. An-Nisâ‟(4), ayat: 87

42 Q.S. Al-Jâtsiyah (45) ayat: 6

43 Q.S. Al-Najm (53)ayat: 59-60

44 Q.S. Al-Kahfi (18) ayat: 6.

45 Q.S. Al-Wâqi‟ah (56) ayat: 81.

Page 52: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

39

“Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian di

bawanya daging anak sapi gemuk”46

“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?”47

“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran

itu jika mereka orang-orang yang benar”48

“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang?”49

“Apakah telah sampai kepadamu kisah musa?”50

“Maka serahkanlah (Ya Muhammad.saw) kepada-Ku (urusan) orang-orang

yang mendustakan hadis ini (al-Quran). nanti kami akan menarik mereka

dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka

ketahui”

46 Q.S. Al-Dzâriyât (51) ayat: 24.

47 Q.S. Al-Ghasyiyah (88) ayat: 01.

48 Q.S. Al-thûr (52) ayat: 34.

49 Q.S. Al-Burûj (85) ayat: 17.

50 Q.S. Thâhâ (20) ayat: 9. Dengan ayat dan posisi yang sama, disebutkan dalam surah

(79) ayat: 15. 51

Q.S. Al-Qalâm:(68) ayat: 44

Page 53: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

40

Kata hadis dalam al-Qur‟an mempunyai banyak makna, namun makna-

makna tersebut sangat konteras dengan temuan dari beberapa kamus sebelumnya.

Adapun makna hadis dalam al-Qur‟an adalah: “Berita-cerita atau komunikasi,

religius, kisah-risalah, dari masa lampau ataupun masa kini.52

Ta'bir mimpi,

kejadian atau peristiwa, keterangan, al-Qur‟an, diam-diam.

B. Kajian Terminologi Sunnah dan Hadis

1. Definisi Sunnah Prespektif Ulama Salafi

Ulama Salafi53

memandang teks, cenderung pada tekstualis atau leteralis,

bila mereka memutuskan sesuatu atau memberikan batasan pada sebuah objek

tertentu, maka yang menjadi rujukan adalah teks al-Qur'an dan hadis, bila

keduanya tidak ditemukan, mereka melakukan Ijtihad,54

a. Ahli Hadis mendefinisikan bahwa sunnah adalah:

كا كم يا ا شش ػ اانثي ي قل افؼم ا ذقشيش ا صفح خهقيح ا سييشج ساء

رنك قثم انثؼصح اتؼذ ا

“Segala yang bersumber dari Nabi.Muhammad.saw baik berupa perkataan,

perbuatan, pengakuan, Tabiat, Budi pekerti, atau Perjalanan hidupnya,

baik sebelum diangkat menjadi Rasul,56

maupun sesudahnya.”

52 M.M. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literater, Terj.Meth Kieraha.

(Jakarta: Lentera, 2003), h. 21-23. 53

Kata salaf, berarti yang terdahulu, atau Jamaat yang berpendapat , bahwa seorang

bebas melakukan perbuatan yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. Lihat, Pius

Apartanto,dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 689 54

Sebagaimana disyariatkan oleh dalam agama islam, Lihat.Abu Dawud, Sulaiman bin

al-Asy'ats al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, Juz III, h. 412-413. Diperkuat oleh Shahih al-Bukhori

juz III, hal. 407 55

Abbas Mutawali Hamdah, As-sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-Tasyri'. Kairo:

Dar-al-Qaumiyah), h. 23

Page 54: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

41

Bagi ulama muhaditsin yang menjadi objek peninjauannya adalah pribadi

Rasulullah.saw sebagai orang yang harus dicontoh. Oleh sebab itu ulama

menukilkan bahwa semua yang berhubungan dengan beliau, baik mewudkan

syara‟ mapun tidak.57

Adapun masa berlakunya sunnah mulai pra kerasulan

Muhammad saw hingga pasca kerasulannya, beliau dapat dijadikan suri tauladan

yang baik. Sebagaimana firman Allah swt:

.58

“Sesungguhnya telah ada untuk kalian, seorang diri Rasulullah.saw itu suri

tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah

swt dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.swt”

Dalam tafsir Zamakhsyari disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata

“Uswah Hasanah” terdapat dua makna: Pertama, Rasulullah.saw secara fisik

dapat di jadikan contoh. Kedua, Beliau secara Maqam (derajat) telah menempati

tempat yang paling sempurna, yaitu Maqam al-Hakiqi.59

Menurut penulis kata ”uswah” yang berarti contoh, hal ini tidak berarti

wajib diikuti, melainkan pula wajib ditinggalkan. Artinya mengikuti segala

sesuatu yang diperintah Rasulullah.saw dan meninggalkan segala hal yang

dilarang olehnya.

56 Maksud dari kata “Qabla al-Bi‟tsah,” seperti proses tahanuts-nya Nabi di Gua Hira,

kemulaan budi pekertinya, kebeikan perjalanan hidupnya. Lihat, Muhammad „Ajjaj Al-Khathib,

Ushul Al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr.1989), h.19 57

Muhammad Ajajj Al-Khatib, Usul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar

al-Fikr.tth).Cet.3,h.19 58

Q.S. Al-ahzâb (33) ayat: 21 59

Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Ibn Ahmad Zamakhshari, Al-kasyaf, (Beirut: Dâr

al-Fikr, T.th), h. 318

Page 55: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

42

Mengikuti jejak kehidupan Nabi Muhammad saw dari lahir hingga wafat

merupakan tindakan yang paling sempurna dan tidak akan pernah salah, karena

Allah swt telah memberikan beberapa Rekomendasi dalam firman-Nya:

. 60

“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Allah swt memuji Rasulullah saw memakai kata mukhatab dan tanpa

menggunakan durasi waktu, berapa lama dan mulai kapan Allah saw memuji

Rasulullah saw, artinya Rasulullah saw telah dijadikan figur semenjak ia tercipta

hingga ia wafat.61

. 62

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati

Allah.swt.”

Berdasarkan pernyataan di atas, dalam ayat ini Allah swt menegaskan

bahwa seseorang yang telah mentaati Rasul maka ia berarti pula mantaati Allah

swt. Begitu pun sebaliknya,63

karena Rasulullah saw hanya menyampaikan segala

hal yang diperintahkan Allah swt.64

60 Q.S. Al-Qalâm (68) ayat: 04

61Abu al-Fidâ‟ Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimasqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhzim

(Damaskus: Dâr Thayyibah.1999) Juz VI, h.193 62

Q.S. Al-Nisâ (4), ayat: 80 63

Abu al-Fada‟ Ismail ibn Umar Ibn Katsir al-Dimasqî, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhzim, Juz

VIII, h. 442 64

Q.S. al-Nahl (16) ayat: 35

Page 56: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

43

b. Ahli Ushul Fikih mendefinisikan Sunnah:

غيش انقشا انكشيى ي قل ا فؼم اذقش يش يا - ص و- كم يا صذ سػ انثي

ا يك دنييال نحكى ششػ يصهح

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi.Muhammad.saw selain al-

Qur'an al-karim yang berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan,

yang pantas untuk di Jadikan dalil hukum Syari'a”.

Definisi ini yang menjadi objek peninjauannya adalah Rasulullah.saw.,

tokoh yang harus ditaati, sebagai pengatur yang menetapkan hukum, maka ulama

mengambil semua hal yang ditetapkan oleh Rasulullah saw untuk melahirkan

formula hukum.66

Ulama ushul fikih memandang bahwa pribadi Rasulullah.saw adalah orang

yang menciptakan dasar-dasar Ijtihad yang datang sesudahnya. Oleh karenya

sunnah dibatasi dengan penetapan hukum Islam.67

Difinisi ini membatasi sunnah hanya pada suatu yang bersumber yaitu

Rasulullah.saw, yang mempunyai relevansi dengan hukum syara', artinya segala

sesuatu yang tidak ada relevansinya dengan hukum syara', maka hal tersebut tidak

disebut sunnah karena menurut mereka, sunnah terhitung semenjak pasca

kerasulan Muhammad saw. Hal tersebut didasarkan pada sebuah argumentasi

bahwa Rasulullah saw. pengatur undang-undang yang menerangkan pada manusia

perihal aturan hukum.68

65 Muhammad Ajjâj al-Khathib, Ushul al-Hadis: "Ulûmuhu wa Musthalahu" (Beirut:

Dâr al-Fikr, 1989), h.19 66

Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), h. 4. 67

M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 2-10 68

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 8-9

Page 57: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

44

c. Definisi Sunnah menurut Ahli fikih, ialah:

ذقاتم اناجة غيش ي .ي غيشافرشاض الجب-و-ص-يا شثد ػ انث

االحكاو انخسح

“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi.Muhammad.saw selain yang di-

Fardukan dan bukan pula yang di wajibkan, wajib dan sunnah termasuk

bagian dari hukum taklif yang lima”

Pada redaksi yang berbeda disebutkan:

نى يك ي تاب انفشض الاناجة-كم يا شثد ػ انث صهؼى70

“Setiap sesuatu yang telah ditetapkan dari Nabi Muhammad.saw yang

bukan dari bab fardu dan bukan pula dari bab wajib.”

Definisi kedua menguatkan definisi yang pertama, dan para ulama‟

menafsirkan bahwa sesuatu yang dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan bila di

tinggalkan tidak akan mendapatkan dosa.71

ulama fikih memandang bawah

pribadi dan kehidupan Rasulullah.saw mengandung hukum Syara‟72

yang harus

dicontoh dalam menjalani aktifitas kehidupan.

Dari sebab di atas, ulama fikih merangkai terminologi khusus untuk

kepentingan hukum syara‟ di masa yang akan datang.

69 Musthafa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-Islami, (Kairo: Dâr al-

Qaumiyah.1949), h. 54 70

Muhammad „Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h. 19 71

Racmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, h.60 72

M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, h.2

Page 58: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

45

2. Definisi Hadis Prespektif Ulama Salafi

Dalam berbagai literatur, banyak sekali yang menyamakan persoalan hadis

dengan sunnah, dengan kata lain, bahwa keduanya berbentuk sinonim,73

Namun

tidak sedikit pula yang yang membedakan keduanya, salah satunya adalah:

ي فل افؼم فقط ا ا خاص تانشفع فقط -صهؼى-يا اضيف ان انث

االقال االفؼال ي انث د ذقشيش الانصفاخ الاخاصح تاقال انصحاتح

. ف زا انشا74

“Hadis adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad.saw

hanya dari perkataan, pekerjaan saja, artinya dua komponen tersebut

khusus pada hadis Nabi atau hadis Mar‟fu‟, Adapun Taqrir dan Sifat tidak

termasuk bagian hadis Nabi melainkan khusus pada perkataan para

sahabat.”

Artinya sifat dan taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad saw dikeluarkan

oleh para sahabat, karena mereka yang menyaksikan langsung keadaan Rasulullah

saw. kalaupun dua komponen kata tersebut di masukkan dalam hadis maka

keduanya tersmasuk hadis mauquf.

Dalam redaksi yang berbeda, disebutkan bahwa:

قيم ف .ي قل ا فؼم ذقشيشا اصفح خهقييح ا خهقييح-صهى-يااضيف ان انث

صهى ا انصحاتح انراتؼي ي ي قل ا -رنك ػه انرسغ يااضيف ان انث

صف خهق ا خهق فؼم ذقشيشا ا75

73 Lihat, Abdul Majid Mahmud, Amtsal al-Hadits Ma‟taqdimatin Fi ulum al-Hadist,

(Cairo:Dâr al-Turas, T. th), h. 4 74

Musthafa Abu Sulaiman, Majmu‟ah risâlah, h.9 75

Musthafa Abu Sulaiman, Majmu‟ah Risâlah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, T.th), h. 8-

9

Page 59: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

46

”Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik dari

pembicaraan, pekerjaan, persetujuan, sifat kepribadian maupun bentuk

Jasad Nabi.”

Sebagian ulama memperluas definisi tersebut sebagai berikut:

“Bahwa sunnah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad.saw,

para sahabat dan tabi‟in, baik dari pembiacaraan, pekerjaan, pengakuan,

sifat kepribadian, sifat bentuk jasad Nabi.”

Terminologi di atas sejalan dengan hasil penelitian Muhammad Suhudi

Ismail dalam disertasinya bahwa hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

saw maka ia disebut hadis marfu‟. Adapun hadis yang sandarkan kepada Sahabat

Nabi, maka ia disebut hadis mauquf. Sedangkan hadis yang disandarkan kepada

Tabi‟n, maka ia disebut hadis maqtu‟.76

Definisi sunnah di atas, sejalan dengan sebuah hadis dari Nabi

Muhammad.saw:

ت ػثذ انشح ػ يؼذا يزيذ حذش خانذ ت س ت أخثشا أت ػاصى أخثشا ش

ساسيح قال ػشتاض ت ش ػ : ػ ا سسل انه صالج - صه اهلل ػهي سهى-صه ن

ا انقهب ، فقال قائم جهد ي ا انؼي ػظح تهيغح ، رسفد ي ػظا ي : انفجش شى

صا دع فأ ػظح ي ا ي كأ انطاػح :فقال. يا سسل انه غ انس انه أصيكى ترق

كى تؼذ فسيش اخرالفا كصيشا ، يؼش ي ي ػثذا حثشيا ، فإ كا فؼهيكى تسر إ

اجز ا تان ، ػضا ػهي ذيي ان سح انخهفاء انشاشذي

76 M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 27. 77

Abdullah bin „Abd al-Rahman Abu Muhammad Ad-Darimiy, Sunan al-Darimi.

(Beirut: Dâr al-Kutûb,1407 H), h. 468

Page 60: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

47

Maksud dari hadis ini dapat menggambarkan bahwa makna sunnah tidak di

dominasi oleh Rasulullah saw, malainkan pula pada para sahabat, artinya selain

sunnah Rasulullah.saw terdapat pula sunnah para Sahabat dan Tabi‟in.

نك اراطهق نفظ انحذيس اصشف ،قثم انثؼصح تؼذا-صهؼى-كم يا اشش ػ سسل اهلل

78ي قن فؼه اقشاس:تؼذ انث-في انغانة ان يا يش ػ انشسل اهلل

“Setiap sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw baik sebelum

menjadi Rasul hingga pasca ia menjadi Rasul, akan tetapi bila kata Sunnah

berdisi sendiri para ulama biasanya memberikan definisi segara sesuatu

yang di riwayatkan dari Nabi Muhammad saw pasca Kerasulan beliau.

Dari terminologi sunnah lebih umum dari hadis”

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa definisi para ulama salaf

terdapat perbedaan yang sangat tajam, tentunya disebabkan olah latar belakang

yang berbada-beda dalam melihat teks yang didefinisikan:

a. Pada mulanya para ulama hadis membahas perihal Rasulullah.saw yang

telah diberikan wahyu Allah.swt, mereka beralih pada terminologi yang lebih luas,

yaitu ”Setiap sesuatu yang berhubungan dengan jejak, penciptaan, unsur-unsur

individu, berita dan perkataan dan perbuatan, baik yang menjadi ketepan syara‟

ataupun tidak menjadi ketetapan Syara‟.”

b. Adapun ulama usul fiqh membahas tentang Rasulullah saw dari sudut

pandang syariahnya yang menjadi undang-undang bagi masyarakat dalam

menjalani aktifitas. Artinya adalah mereka memandang perkataan, perbuatan,

pengakuan yang telah ditetapkan sebagai hukum syara‟.

78 Muhammad „Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulûmuhu wa Musthalatuhu, h. 27

Page 61: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

48

c. Sedangkan ulama fikih membahas tentang Rasulullah saw yang

menunjukkan pada pekerjaan yang berhubungan dengan hukum syara‟, Dan

mereka membagi tiga hal: Wajib, Sunnah, Mubah.79

Adapun Haram tidak

termasuk urutan bagian di atas, karena kata tersebut lawan dari kata Wajib.

3. Definisi Sunnah Prespektif Ulama Modern

Ilmuan modern80

tidak banyak berbeda pandangan dengan kaum salafi,

namun perbedaan yang sangat fundamental, tercatat tiga hal: Pertama, logika

berfikir yang lebih cenderung kontekstual. Kedua, al-Qur'an dan sunnah lebih

dijadikan sebuah metodologi pemahaman keagamaan dari pada dijadikan sumber

hukum masyarakat, karena mereka berfikir bahwa tidak lagi sezaman lagi dengan

Rasulullah saw. Fazlur Rahman dengan Muhammad saw Syahrur, merupakan dua

ulama modern terkemuka yang bisa mewakili para ilmuan yang lain, kerena

beberapa pendapat beliau sangat komperehensif dan universal yang telah diakui

dunia.

a. Muhammad Syahrur

Adapun sunnah menurut Syahrur berarti mudah. Sebab, kata Sunnah

berasal dari kata “Sanna” yang berarti mudah, sebagaimana dikatakan: "Air yang

mengalir dengan mudah dan lancar”. Menurutnya, pengertian ini sesuai dengan

79 Muhammad „Ajâjj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h. 18

80 Dalam kamus kata “Modern” berarti cara baru, bentuk baru, kreasi baru: Mutahir.

Lihat: Pius A.Partanto.dkk, Kamus Ilmiah Populer, h.476.Namun menurut Prof.Hamdani Anwar

kata modern terbagi menjadi dua, Pertama berdasarkan masa, artinnya orang-orang yang hidup

pada masa kini disebut masyarakat modern. Kedua, berdasarkan ideologi, artinya pemikiran

seseorang yang cemerlang, hal tersebut bermamfaat bagi masyarakat banyak baik masa lalu,masa

sekarang, maupun masa depan. orang tersebut modern. Adapun masyarakat klasik kebalikannya.

Sumber: mata kuliah pada tahun 2010-2011.

Page 62: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

49

prinsip dasar ajaran Islam yaitu membawa kemudahan bagi umatnya sebagaimana

yang ditegaskan dalam firman Allah.swt :

“Allah swt menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan

hendaklah kamu mengagungkan Allah.swt atas petunjuk-Nya yang

diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”81

Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa Rasulullah.saw senantiasa memilih

yang mudah bagi umatnya dan meninggalkan yang sulit.82

b. Fazlur Rahman

Al-Qur'an tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan Rasulullah.saw, karena

beliau merupakan gambaran dari al-Qur'an. Pada awal datangnya Islam beliau

hidup sangat membutuhkan kitab sebagai pedoman masyarakat umum, yang

kemudian Allah.swt meresponnya dengan menurunkan kitab al-Qur'an, dan Allah

swt mengamanahkan pada Muhammad saw sebagai penyampai wahyu. Cara

tersebut dikenal dengan sunnah, Rasulullah saw tidak mempunyai sunnah ektra-

al-Qur'an, sunnah adalah rekam jejak Rasulullah saw yang terkonsep dalam hadis

Rasulullah saw.83

81 Q.S al-Baqarah (2) ayat: 185.

82 Muhammad Syahrur, Al-kitâb wa al-Qur'an: Qira'ah Mua'shirah, (Damaskus: al-Ahli,

1990), h. 546. 83

Fazlur Rahman, Islam Fazlur Rahman, h. 51.

Page 63: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

50

4. Definisi Hadis Prespektif Ulama Modern

Menurut pandangan Islam modern, para ulama memberikan terminologi

sebuah objek lebih mengutamakan konteks yang bersifat humanistik, Utamanya

dalam hal sunnah dan hadits.

Salah satu contohnya adalah Nurcholish Majid, ia berkomentar dalam

pengantar hasil terjemahannya, bahwa Hadis adalah laporan tentang aktifitas

Rasulullah.saw.84

Hal ini sejalan dengan kutipan Fazlur Rahman, hadis adalah

sunnah yang terkonsep, atau konsep-konsep sunnah.85

Namun, pendapat Muhammad Syahrur tidak demikian, ia menjelaskan

bahwa hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad saw sebagai seorang Rasul

(pembawa berita) dan manusia dan manusia yang hidup di dunia nyata. Jadi,

Hadis menrupakan hasil interaksi dengan kejadian-kejadian tertentu dengan

situasi tertentu pula pada masa tertentu pula (prodak sejarah).86

Dari beberapa pembahasan di atas, penulis sengaja tidak meyebutkan

aneka macam definisi dari berbagai prespektif para ulama‟ pada definisi hadis

sebagaimana di sebutkan pada definisi sunnah, karena kebanyakan para ulama‟

beranggapan bahwa sunnah dan hadis merupakan kata yang sinonem. Sedangkan

penulis mengambil definisi para ulama yang menoritas, sebagai pertimbangan

akademik secara kualitatif.

84 Musthafa al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya Palam Penetapan Hukum Islam,

Penerjemah. Nurcholish Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. ix 85

Fazlur Rahman, Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 43 86

Muhammad Syahrur, Al-kitab wa al-Qur'an, h. 546

Page 64: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

51

BAB IV

STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS

PERSPEKTIF ILMU LOGIKA

Definisi sunnah dan hadis mempunyai relevansi yang sangat kuat dengan

ilmu logika (mantik), ilmu mantik adalah metode tentang undang-undang berfikir

ilmiah.1 Adapun bagian dari hal tersebut adalah definisi atau ta’rif, hal ini untuk

para pekerja ilmu pengetahuan (para ilmuan),2 sedangkan definisi sunnah dan

hadis bagian dari cara kerja ilmiah yang wajib mengikuti standar prosedur ilmu

logika, untuk mendapatkan legitimasi kebenaran dari ilmu pengetahuan.

Mengacu pada pembahasan pada bab II, dalam bab ini penulis berupaya

menganalisis beberapa definisi sunnah dan hadis yang ada, dengan ilmu mantik

atau logika. Objek kajian tersebut meliputi kajian etimologi hingga pada

terminologi.

A. Studi Etimologi Sunnah dan Hadis

1. Pengertian Sunnah

Secara etimologi sunnah adalah sebagai berikut :

انعرادج حسح كاد قثحيحانسيشج انطشيقح

. حسح كاد قثحيحانسيشج3

. انسرقيحانطشيقح4

1 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq.(Jakarta;Widjaya.1995).h.16

2 M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 63

3 Nur al-Din 'Atar, Manhaj al-Naqidi fi Ulmu al-Hadits, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 27

Page 65: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

52

Mengacu pada kaidah-kaidah ilmu logika yang telah di sebutkan

sebelumnya, penulis melihat bahwa tiga definisi etimologi telah memenuhi

standar ilmu logika yang telah disepakati para ulama mantik. Karena telah

memenuhi dua kriteria yaitu. Pertama, Memenuhi tujuan definisi. Kedua,

Memenuhi seluruh persyaratan dalam ilmu logika.

2. Pengertian Hadis:

ذجذ د جد يا يرحذ ز ت يقم قشية5

Pada definisi secara kebahasaan tidak terdapat masalah, namun dalam

prespektif ilmu logika terdapat pelanggaran yang serius, yaitu pembuat definisi

menggunakan kata yang definisikan yaitu kata hadits, padahal kata itu sangat di

larang dalam aturan pembuatan definisi prespektif ilmu logika.

انجذيذ ي االشياءانخثش ياذ ع انقهيم انكصيش6

ايا انحذيس فاصه ضذ انقذيى قذ اسرعم ف قهيم انخثش كيصش7

Dua etimologi hadis ini tidak terdapat pelanggaran baik secara kebahasaan

maupun ilmu logika, artinya dua definisi ini cukup sempurna secara etimologis.

Dari beberapa definisi di atas sementara penulis simpulkan, bahwa secara ilmu

logika, etemologis sunnah dan hadis mayoritas telah memenuhi standar ilmu

logika terkecuali pada etemologi hadis yang pertama

4 Taqiyuddin al-Nabhani, Penuturan Hidup Dalam Islamidisi Mu'tamadah, Penerjemah:

Abu Amin, dkk. (Jakarta: HTI Press, 2010), h.122. 5 Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi Gharib

al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy (Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th, Juz 1), h. 135 6 Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan Al-‘Arab, (Dâr Li al-Ta’lif

wa al-Tarjamat, T.th), Juz II, h.437. 7 Muhammad ‘Ajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Dâr al-Fikr;

Beirut Libanon.1981), cek.I, h.20

Page 66: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

53

B. Studi Terminologi Sunnah dan Hadis

1. Kajian Definisi Sunnah

Adapun definisi sunnah dapat disebut sebagai berikut:

كا كم يا ا شش ع اانثي ي قل افعم ا ذقشيش ا صفح خهقيح ا سييشج ساء

رنك قثم انثعصح ا تعذا

Secara bahasa penulis melihat dua kelemahan dalam definisi ini, yaitu

Pertama, kata ( kata lebih sempit dari kata Rasul, Nabi dan Rasul (ع انثي

merupakan dua kata yang berbeda, bila seseorang menyebut maka Nabi maka

tidak berarti ia bermakna Rasul, namun bila ia menyebut kata Rasul maka dapat

dipastikan bermakna Nabi.9

Kedua, kata taqrîr yang bermakna persetujuan, kata ini seharusnya tidak

disebutkan karena ia sudah termasuk kedalam makna (Qaul wa Fi’lun) yaitu

perkataan dan pekerjaan, artinya perkataan atau pekerjaan Rasulullah saw

mewujudkan sebuah persetujuan.10

Mengacu pada kaidah ilmu logika yang telah disebutkan dalam bab kedua,

penulis melihat bahwa definisi di atas bermasalah pada dua hal:

Pertama, Pembuat definisi ini menggunakan kata yang mutasil dan

Tasalsul, yaitu berkumpulnya dua makna kata yang berseberangan. Contohnya

kata taqrîr, kata tersebut merupakan masdar dari kata qarara, dalam kamus

8 Abbas Mutawali Hamdah, Al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makanatuh Fi al-Tasyri'.

(Kairo: Dâr al-Qaumiyah), h.23. 9 Syaik Ibrohim, Al-Bâjuri, (Surabaya: al-Hidayah, 1999), h. 15

10 M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis;Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 26.

Page 67: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

54

bahasa arab, berarti penetapan, pengakuan, persetujuan.11

Dalam literatur yang

berbeda disebutkan bahwa kata taqrîr berarti ketetapan dan kenyataan. Sedangkan

kata yang berarti pengakuan adalah kata aqarra, yuqirru.12

Artinya, bila kata

taqrîr diartikan pengakuan, sangat tidak cocok, disebabkan berbeda wazan

meskipun dalam akar katanya sama.

Menurut penulis kata ‘pengakuan’ atau ‘persetujuan’ bahkan ‘penetapan’

harus melalui ucapan dari subjek atau seorang yang menyetujui, mengakui tentang

sesuatu. Contoh kasus:

Rasulullah saw bila ia diam terhadap sebuah peristiwa yang dilakukan

para sahabat, kemungkinan terbesar adalah belum turunnya wahyu, karena ia

tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa adanya wahyu13

dan penyampaian wahyu

harus dilakukan dengan lisan. Apabila para ulama menyatakan bahwa taqrîr yang

berarti persetujuan masuk dalam katagori hadis Rasulullah saw, hanya penafsiran

para sahabat pada sebuah peristiwa, yang menurut logika hal tersebut mustahil.

Kedua, sebagian para ulama menyatakan bahwa kata taqrîr, termasuk atau

bagian dari kata afa’l (pekerjaan) kata taqrîr dinyatakan secara eksplisit, maka

rumusan definisi akan menjadi gharu mani’.14

Artinya bilamana kata taqrîr

dipaksakan masuk kedalam unsur definisi maka ia definisi tersebut cacat secara

hukum logika. Karena hukum logika sebuah definisi harus mani’.

11

Muhammad bin Mukran bin Mansur, Lisan al-‘Arâb, (Mesir: Dâr Al-Misriyyah, T.th)

Juz VI, h. 394. 12

Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972), h. 334-

335. 13

Q.S. al-Najm:(53)2-3 14

M.Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 26

Page 68: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

55

2. Definisi Ulama Usul Fikih

غيش انقشا انكشيى ي قل ا فعم اذقش يش يا - ص و- كم يا صذ سع انثي

ا يك دنييال نحكى ششع يصهح

Definisi yang ketiga di rilis oleh Ulama Usul Fikih, definisi ini secara

kebahasaan tidak bermasalah, Namun secara ilmu logika definisi ini mempunyai

persoalan yang sama dengan definisi sebelumnya, yaitu pada kata (taqrîr) yang

berarti sebuah persetujuan, persoalan ini telah dijelaskan sebelumnya.

3. Definisi Ulama Fikih

ذقاتم اناجة غيش ي .ي غيشافرشاض الجب-و-ص-يا شثد ع انث

االحكاو انخسح

نى يك ي تاب انفشض الاناجة-كم يا شثد ع انث صهعى17

Dari dua definisi di atas dapat dianalisa bahwa kalimat yang di gunakan

sangat relevan dengan ilmu bahasa maupun ilmu logika. Definisi kedua hanya

menguatkan definisi di atas. Namun secara keseluruhan definisi ini tidak ada

masalah dan hampir terbilang sempurna.

Namun secara ilmu logika dua definisi di atas tidak memenuhi standar ilmu

logika karena pembuat definisi telah melanggar persyaratan negatif yaitu tidak

boleh memakai kata nafi ‘tidak’ sedangkan kata di atas memakai kata tersebut

dalam struktur definisi.

15

Muhammad Ajjâj al-Khathib, Ushul al-Hadis, "Ulumuhu wa Musthalahu" (Beirut:

Dâr al-Fikr, 1989), h. 19. 16

Musthafa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makânatuha Fi al-Tasrî al-Islam (Kairo:Dâr al-

Qaumiyah, 1949), h.54 17

Muhammad ‘Ajâjj al-Khatib, Usul al-Hadits, h.19

Page 69: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

56

4. Definisi Ulama Hadis

ي فل افعم فقط ا ا خاص تانشفع فقط -صهعى-يا اضيف ان انث

االقال االفعال ي انث د ذقشيش الانصفاخ الاخاصح تاقال انصحاتح ف

.زا انشا18

Definisi ini telah memberikan hal yang baru daripada sebelumnya,

maskipun dalam hal ini kembali menyinggung persoalan taqrîr, pembuat definisi

menegaskan bahwa taqrîr dikeluarkan oleh para sahabat, artinya hal ini masuk

dalam kategori hadis mauquf.

Secara ilmu logika penulis melihat bahwa definisi ini tidak bermasalah,

artinya telah memenuhi standar ilmu logika. Namun secara kebahasaan sedikit

bermasalah yaitu pada kata ‘يااضيف ’:

قيم ف .ي قل ا فعم ذقشيشا اصفح خهقييح ا خهقييح-صهى-يااضيف ان انث

صهى ا انصحاتح انراتعي ي ي قل ا -رنك عه انرسع يااضيف ان انث

صف خهق ا خهق فعم ذقشيشا ا19

Dua definisi di atas penulis pahami, bahwa terdapat dua kata yang

bermasalah penting secara bahasa: Pertama kata (اضيف) yang berarti disandarkan,

merupakan kata yang bermasalah, contohnya adalah A bersandar pada B, artinya

A tidak termasuk bagian dari B, Sesuatu yang bersandar dengan yang di

sandarkan merupakan dua hal yang berbeda.

18

Musthafa Abu Sulaiman, Majmu’ah risalah, h.9

19

Musthafa abu Sulaiman, Majmu’ah risalah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah.tth), h. 8-9

Page 70: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

57

Menurut ilmu logika definisi di atas tidak bermasalah dengan dua hal:

Pertama, Pembuat definisi memberikan kata yang mengakibatkan kemustahilan

dalam pengertian. Kedua, Memasukkan unsur kata yang seharusnya tidak ada.

Kata tersebut adalah taqrîr dengan sifat, karena dua kata tesebut termasuk

hadis mauquf yaitu berita yang dikeluarkan oleh para sahabat, padahal dua hal

tersebut tidak boleh terwujud dalam definisi.

نك اراطهق نفظ انحذيس ,قثم انثعصح تعذا-صهعى-كم يا اشش ع سسل اهلل

ي قن فعه :تعذ انث-اصشف في انغانة ان يا يش ع انشسل اهلل

20اقشاس

Definisi ini secara kebahasaan maupun ilmu logika merupakan definisi

yang sempurna, maskipun terdapat kata ‘iqrar’ kata ini tidak termasuk kata

mustarak karena kata tersebut lebih kusus dari pada kata taqrîr.

5. Definisi Ulama Modern

Terdapat tiga ulama Modern yang penulis kutip dalam kajian ini, Pertama,

Muhammad Syahrur. Kedua, Fazlur Rahman. Ketiga, Nurcholish Majid Ketiga

ulama di atas dapat mewakili dari beberapa pendapat ulama yang lain.

Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sunnah adalah segala yang

mudah dan dimudahkan. Sedangkan hadis adalah kehidupan Nabi Muhammad

saw sebagai seorang rasul pembawa berita Allah swt dan manusia yang hidup di

alam nyata.

Fazlur Rahman berpendapat bahwa sunnah adalah rekam jejak Nabi

Muhammad saw yang sebagian terkonsep oleh hadits. Sedangkan hadis adalah

20 Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Usul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalatuhu, h.27

Page 71: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

58

hasil konsep sunnah, atau sunnah yang terkonsep. Nurcholish Majid berkomentar

sama dengan komentar Fazlur Rahman yaitu hadis adalah laporan tentang

aktifitas Rasulullah saw.

Menurut ilmu logika beberapa definisi yang dirilis oleh dua ulama modern

penulis tidak menemukan pelanggaran, artinya beberapa definisi di atas telah

memenuhi standar dalam ilmu logika, maskipun corak definisi tersebut terkesan

bersebrangan dengan ulama salaf.

Page 72: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan dua hal:

Pertama, Definisi sunnah merupakan prangkat ilmu pengetahuan yang

harus mematuhi aturan, yang telah ditetapkan dalam ilmu logika. Sedangkan ilmu

logika merupakan seperangkat aturan ilmiah yang dapat di gunakan pada semua

objek ilmu pengetahuan, utamanya pada persoalan definisi sunnah dan hadis.

Kedua, Definisi yang dikeluarkan oleh ulama hadis dan ushul fikih

menurut Jamhur ulama tidak memenuhi standar ilmu logika, karena mereka

mempersoalkan kata taqrîr dalam definisi tersebut. Hal yang sama terjadi pula

pada definisi sunnah dari ulama fikih, maskipun alasannya berbeda, pelanggaran

yang terjadi pada definisi tersebut adalah mereka memakai kata “nafi” yang

dalam ilmu logika sangat dilarang.

Ketiga, Sedangkan definisi hadis pertama dan ketiga dalam perspektif

Ilmu Mantik telah memenuhi standar sebagai sebuah definisi yang sempurna.

Namun definisi hadis yang kedua, terdapat persoalan sebagaimana yang di

persoalan pada definisi sunnah yaitu kata taqrîr.

B. Kritik dan Saran

Hasil penelitian ini hakikatnya hanya sebagai penegasan dan untuk

mengembalikan pada terminologi yang semestinya, penulis tidak bermaksud

untuk menyalahkan para ulama yang berbeda pendapat dengan hasil penelitian ini,

Page 73: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

60

hanya saja penulis inginkan agar selalu berhati-hati dalam memahami teks agama,

sebab bila seseorang salah memahami teks keagamaan dapat dipastikan pula salah

dalam mengamalkan agama yang ia anut dan kesalahan terbanyak dalam

pemahaman teks keagamaan adalah pada kasus pengertian atau definisi.

Dari beberapa kesimpulan di atas, bahwa tulisan yang ada di tangan

pembaca ini, merupakan hasil dari sekian banyak penelitian yang ada. Penulis

sadari penelitian ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu

diperbaiki, baik dari sistematika penulisan maupun bentuk tulisan. Harapan

penulis agar pembaca bisa memberikan sumbangsih pemikiran baik kritik mapun

saran untuk kesempurnaan penelitian ini. Terus terang hal ini perlu penelitian

lanjutan agar memahami sunnah dan hadis secara komprehensif.

Page 74: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

DAFTAR PUSTAKA

Abd Mu‟in, Taib Thahir. Ilmu Mantiq. Yogyakarta: IKAPI, 1995.

Abu Sulaiman, Musthafa. Majmu’âh Risâlah. Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, T.th.

al-Anshari, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram. Lisan Al-‘Arab. Dâr Li al-

Ta‟lifwa al-Tarjamat, T.th.

'Atar, Nur ad-Din. Manhaj an-Naqidi fi Ulumu al-Hadits. Beirut: Dâr al-

Fikr,1979.

Azami, M.M. Studies in Hadis Methodology and Literater. Terj. Meth Kieraha.

Jakarta: Lentera, 2003.

Badudu, J.S. dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustakan Sinar

Harapan, 1996.

Baihaqi. Ak. Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpikir Logis. Jakarta: Darul Ulum

Press, 2007.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah:

Jaziar Radianti. dkk. Bandung: Mizan, 2000.

al-Dailamy, Muhammad. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan.

Porwokerto: Fajar Pustaka, 2010.

al-Darimiy, Abdullah Bin „Abd al-Rahman Abu Muhammad. Sunan al-Darimi.

Juz 10. Beirut: Dâr al-Kutûb, 1407 H.

Depag RI. al-Quran dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra, 1996.

E. Sumaryono. Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: IKAPI, 1999.

Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press, 1994.

al-Fayyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy. al-Misbah al-Munir Fi

Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy. Juz 1.Saudi Arabia: Al-

Mamlakah, T.th.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu

Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hamdah, Abbas Mutawali. al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makânatuh Fi al-Tasyri'.

Kairo: Dâr al-Qaumiyah, T.th.

Huda, Nurul. “Metode Pemahaman Hadis Tela‟ah Historis dan Semantik.” Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2002.

Page 75: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

Ibn Katsir al-Damasqi, Abu al-Fida‟ Ismail ibn Umar. Tafsir al-Qur’an al-

‘Adhzim. Juz VI. Damaskus: Dâr-Thayyibah, 1999.

Ibrohim, Syaik. al-Bâjuri. Surabaya: al-Hidayah, 1999.

Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, juz 10. T.tp: Mauqiu al-

Islamiah, T.th.

Iskandar.Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial: Kualitatif dan Kuantitatif.

Jakarta: GP Press.2009.

Isma‟il, M. Suhudi. Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al-

Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal.

Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

-----------,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah.Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia: Satu model pengantar. Bandung:

Sinar Baru Algesindo,1999.

Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an Dan Terjemahannya. Madinah al-Munawarah:

Mujama' al-Malik Fahd li Thiba'at al-Mush-Haf, T.th.

al-Khathib, Muhammad „Ajjaj. Usul Al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr,1989.

Mahmud, Abdul Majid. Amtsal al-Hadits Ma’taqdimatin Fi ulum al-Hadist.

Cairo: Dâr al-Turas, T.th.

al-Maududi, Abd. A‟la. Khalifah dan kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir.

Bandung: Mizan, 2007.

Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda

Karya, 2004

Muhdior,Ahmad Zuhdi.Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia. Yogjakarta:

Yayasan Ali Maksum, 1996.

Munawwar, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.

Jogjakarta: Pustaka Progresif, 1997.

Mundiri. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

al-Nabhani, Taqiyuddin. Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah,

Penerjemah. Abu Amin, dkk. Jakarta: HTI Press, 2010.

Naisaburi, Muhammad „Ajjaj al-Qusyairi. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut:

Dâr al-Fikr, 1981.

Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan

Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007.

Page 76: Miftahul Bari - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5044/1/MIFTAHUL... · Skripsi ini berawal dari renungan penulis atas masalah yang menimpa

Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1997.

Pari, Faris. Ilmu Logika. Jakarta: Pesantren Ciganjur, 2009.

Partanto, Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 2001.

Rahman, Fazlur. Islam Fazlur Rahman. Bandung: Pustaka, 2000.

Ranuwijaya, Untang. Ilmu Hadîts. Jakarta: Gaya Media Press,1996.

al-Siba‟i,Musthafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam.

Penerjemah. Nurcholish Majid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

-----------,al-Sunnah wa Makânatuha Fi al-Tasyri al-Islâmi. Kairo: Dâr al-

Qaumiyah,1949.

Solahuddin, M. Agus. dkk.Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia, 2009.

Sugiono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: al-Fabet, 2009.

Syahrur, Muhammad. al-Kitâb Wa al-Qur'an: Qira'ah Mua'shirah. Damaskus: al-

Ahli, 1990.

Wijaya, Aksin. Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis

Hermeneutis. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009.

Yahdi, Kuswandi.“Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis.

”Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.

Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Ibn Ahmad. Tafsir Al-kasyaf.

Beirut: Dâr al-Fikr. T.th.