Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LITERASI MATEMATIKA DALAM BUDAYA:
MENUJU PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA
Dr. Wara Sabon Dominikus, M.Sc
Menjadi Kebahagiaan tersendiri bagi saya hari ini dan di sini berdiri
dihadapan segenap civitas akademika STKIP Nusa Bunga Floresta, para wisudwan
serta para orangtua wisudawan dan seluruh Undangan. Saya Sangat berbahagia
karena mendapat penghormatan dan dipercayakan membawakan Orasi Ilmiah pada
wisuda perdana STKIP Nusa Bunga Floresta hari ini saat ini. Berawal dari diksusi
lewat SMS dan WA dengan Ketua STKIP Nusa Bunga Floresta, Prof. Dr. A. Mans
Mandaru, M.Pd, untuk suatu kuliah umum atau seminar bagi mahasiswa tapi akhirnya
beralih untuk membawakan orasi ilmiah sekarang.
Orasi Ilmiah pada wisuda perdana STKIP Nusa Bunga Floresta ini dengan
judul: Literasi Matematika Dalam Budaya: Menuju Pembelajaran Berbasis
Budaya. Suatu thema yang sudah pasti menimbulkan pro-kontra dan membingungkan
banyak orang, tapi sekaligus thema yang menarik bagi tidak sedikit orang. Pesatnya
perkembangan teknologi berdampak pada perubahan budaya dan terciptanya
peradaban baru. Budaya yang diwariskan leluhur terdegradasi bahkan terancam
punah, dipandang kuno dan tradisional oleh generasi mileneal (Gen-Z). Kosa kata
bahasa daerah semakin banyak hilang dan tak dikenal bahkan tidak digunakan lagi.
Ritual budaya dan prosesi adat dipandang menghambat, tidak praktis, penuh mistis,
dan ketinggalan zaman.
Kita harus terpanggil kembali menengok budaya kita dan menggali kandungan
budaya di dalamnya. Kandungan falsafah hidup dan nilai-nilai hidup yang terkandung
dalam budaya, dan juga kandungan matematika dalam budaya. Kita akan kagum
terpesona menemukan banyak hal yang luar biasa yang dilakukan oleh leluhur kita
yang telah diwariskan kepada kita.
A. Apakah Dalam Budaya Ada Matematika?
Kebanyakan kita pasti merasa janggal dan berpikir sangat tidak masuk
di akal bahwa dalam budaya ada terdapat matematika. Banyak alasan yang
melandasinya. Pertama, Kata “matematika” bukanlah kosa kata dalam bahasa
daerah manapun di setiap etnis atau suku bangsa di NTT khususnya dan
Indonesia umumnya. Kedua, Matematika itu pelajaran yang diajarkan di
sekolah tentang hitung menghitung, mengukur, tambah, kurang, kali, dan bagi.
Ketiga, Matematika itu ilmu yang abstrak dan kadang tidak masuk akal, dan
hanya dalam khayalan atau pikiran saja. Pandangan ini memang tidak salah
karena demikianlah yang diketahui khalayak tentang matematika itu sendiri
dan pengalaman tentang matematika yang dipelajari dan diajarkan di sekolah
selama ini.
Matematika yang dipelajari dan diajarkan di lembaga pendidikan
formal (pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi) merupakan kristalisasi
matematika yang berasal dari India, Cina, dan Arab, dan Negara Eropa yang
telah disusun sesuai metode keilmuan sehingga menjadi suatu bidang ilmu.
Dalam sejarah matematika dikenal adanya matematika India, matematika
Cina, dan matematika Arab.
Matematika yang dipelajari di sekolah saat ini lebih dikenal sebagai
matematika modern (new mathematics) yang dulunya dikenal dengan sebutan
ilmu berhitung. Pada hakekatnya matematika menjadi ratu ilmu yang melayani
ilmu-ilmu dan digunakan untuk pengembangan ilmu-ilmu lain. Matematika juga
menjadi bahasa komunikasi berbagai ilmu.
Kita mestinya menyadari dan meyakini bahwa sesungguhnya matematika
itu ada disekitar kita dan kita punya “matematika”. Mengapa? Karena
matematika itu ada dalam hampir seluruh aktivitas manusia. Dalam aktivitas
memasak nasi, sesungguhnya para ibu sedang bermatematika. Mengukur
banyaknya beras yang harus dimasak dan takaran air yang sesuai merupakan
bagian dari matematika.
Dalam aktivitas menenun sesungguhnya para penenun sedang
bermatematika. Menghitung banyaknya benang yang harus digunakan untuk
menyelesaikan satu lembar kain tenun. Mengukur panjang atau lebar kain
tenun yang akan dihasilkan. Membentuk motif atau corak pada kain tenun,
semuanya itu adalah aktivitas yang mengandung matematika. Menentukan
takaran pewarna alami benang dari bahan lokal seperti tarum, mengkudu dan
kapur, semuanya merupakan aktivitas matematis.
Dalam aktivitas berladang pun demikian, sangat banyak mengandung
aktivitas matematis. Penentuan waktu untuk membuka kebun baru, menanam,
dan memanen menggunakan tanda-tanda alam. Menghitung banyaknya hasil
panen jagung dan padi dengan berbagai satuan hitung. Semuanya itu
merupakan aktivitas matematis yang terkait erat dengan matematika yang
dipelajari di sekolah. Tidaklah berlebihan bila kita mengatakan bahwa
sesungguhnya matematika adalah aktivitas manusia.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dalam berbagai aktivitas
budaya terkandung matematika. Matematika ada dalam setiap budaya,
terkandung dalam budaya sebagai matematika beku (frozen mathematics),
matematika tersembunyi (hidden mathematics), dan matematika tertanam
dalam budaya (embedded mathematics) (Dominikus, 2017, 2018).
B. RAGAM MATEMATIKA DALAM BUDAYA
Sebagai Negara agraris , mata pencaharian masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah bercocok tanam atau berladang selain menenun dan sebagai
nelayan. Pola berladang adalah berpindah-pindah setelah mengerjakan
sebidang tanah untuk beberapa kali masa panen. Umumnya ditanam padi dan
jagung serta kacang-kacangan karena menjadi makanan pokok masyarakat.
Ada cerita rakyat (mitos) tentang asal mula padi pada beberapa
kelompok etnis di Flores. Walaupun terdapat banyak versi tentang asal mula
padi, namun dalam garis besar mempunyai kesamaan. Diceritakan bahwa padi
itu tumbuh dari bagian tertentu dari tubuh seorang gadis yang dengan suka
rela membiarkan dirinya dibunuh oleh saudara laki-lakinya karena merasa iba
terhadap manusia yang tidak mengenal nasi atau tidak memiliki benih untuk
ditanam di kebun yang telah dikerjakan. Setelah berhias dan berdandan
secara indah, si gadis membiarkan dirinya dibunuh dan dicincang halus.
Dagingnya lalu ditaburkan di seluruh area ladang. Beberapa hari kemudian
tumbuhlah padi dalam ladang itu.
Pada kelompok etnis Lio di kabupaten Ende, gadis yang dimitoskan
sebagai pemberi padi bernama Ine Mbu atau Ina Pare. Gadis yang dimitoskan
di daratan Flores bagian timur dikenal dengan Tonu Wujo Besi Pare‟. Gadis
yang dimitoskan di Ata Baolangu Lembata dikenal dengan Ina Peni, dan di
Tana „Ai - Maumere dikenal dengan Du‟a Pare‟ Wai Nalu (Daeng: 2012; Kohl:
2009; Lee & Prior: 2015). Gadis yang dimitoskan di pulau Adoara dikenal
dengan: Peni Masan Dai (Adonara Tengah, Adonara Barat), Muli Ola Ina
(Adonara Timur), Besi Lelu Ema Hingi-Bare Pare Ola Ina (Adonara Utara) (
Dominikus, 2016a, 2016b, 2018).
Bagi masyarakat yang memiliki mitos tentang dewi padi, berladang bagi
mereka tidak hanya sekedar menanam padi di ladang, lebih dari itu menanam
padi merupakan usaha menjodohkan dan mengawinkan dewi padi dengan bumi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada setiap siklus berladang mulai
dari pembukaan lahan, penanaman benih, penyiangan, masa panen, dan
penyimpanan hasil di lumbung selalu disertai dengan berbagai upacara dan
ritual. Ritual juga dilakukan pada saat ada serangan hama dan penyakit yang
tidak seperti biasanya pada tanaman di kebun.
Kaum laki-laki umumnya sebagai petani dan pelaut. Kaum perempuan
membantu kaum laki-laki berladang, mengolah hasil, dan menenun. Saat ini
aktivitas menenun bagi kaum perempuan bukan lagi sekedar sebagai pengisi
waktu luang setelah masa panen, tetapi sudah menjadi mata pencaharian
bahkan menjadi sumber ekonomi keluarga dewasa ini . Proses menenun mulai
dari membuat benang dari serat kapas sampai menghasilkan kain tenun
menggunakan berbagai alat dan perlengkapan tenun. Alat dan perlengkapan
yang digunakan untuk menenun mirip bentuknya di setiap daerah atau budaya.
Dalam keseluruhan aktivitas menenun sangat banyak aktivitas matematis yang
terkait erat dengan konsep matematika yang diajarkan di sekolah (Dominikus,
2017).
Ragam bentuk matematika dalam beberapa aktivitas budaya antara
lain:
1. Bilangan dan Basis bilangan
Bilangan merupakan sarana dalam berkomunikasi. Bilangan merupakan
hasil dari menghitung banyaknya kumpulan benda. Cara menghitung
menggunakan bahasa yang berlaku di suatu komunitas masyarakat.
Beragamnya bahasa daerah yang digunakan di NTT berdampak pada begitu
banyaknya bilangan yang kita temui di NTT. Walau demikian belum ditemukan
lambang bilangan pada masing-masing budaya. Hal ini disebabkan karena
masyarakat NTT umumnya memiliki tradisi tutur (oral tradition) tanpa
bentuk tulisan.
Tabel 1. Bilangan Dalam Beberapa Budaya di NTT
Bilang
an
Dalam Budaya
Lamaholot
Dalam budaya
Tana Ai‟ Sikka
Dalam Budaya
Manggarai
Dalam Budaya
Nagekeo
Dalam Budaya
Kabola-Alor
1 To‟u Ha Ca Esa Nu
2 Rua Rua Sua Zua Alu
3 Telo Teku Telu Telu Towo
4 Paat Hutu Pat Wutu Wutt
5 Lema Lima Lima Lima Weheng
6 Neme Ena Enem Limaesa Talang
7 Pito Pitu Pitu Limazua Ucuto
8 Buto Walu Alo zuabutu Turlo
9 Hiwa Hiwa Ciok Taraesa Tiinu
10 Pulo Pulu ha Cepulu Sebulu Arnyu
11 Pulokto‟u/pulo noon to‟u
Pulu ha wot ha Capulu ca Sebulu sa esa Arnyu waling nu
12 Pulokrua/pulo noon rua
Pulu ha wot
rua
Capulu sua Sebulu sa zua Arnyu waling alu
13 Puloktelo/pulo noon telo
Pulu ha wot
telu
Capulutelu Sebulu sa telu Arnyu waling towo
14 Pulokpaat/pulo noon paat
Pulu ha wot
hutu
Capulupat Sebulu sa wutu Arnyu waling wutt
15 Puloklema/pulo noon lema
Pulu ha wot
lima
Capululima Sebulu sa lima Arnyu waling weheng
16 Pulokneme/pulo noon neme
Pulu ha wot
ena
Capuluenem Sebulu sa limaesa Arnyu waling talang
17 Pulokpito/pulo noon pito
Pulu ha wot
pitu
Capulupitu Sebulu sa limazua Arnyu waling ucuto
18 Pulokbuto/pulo noon buto
Pulu ha wot
walu
Capulualo Sebulusa sa zuabutu
Arnyu waling turlo
19 Pulokhiwa/pulo noon hiwa
Pulu ha wot
hiwa
Capuluciok Sebulu sa taraesa Arnyu waling tiinu
20 Pulurua Pulu rua Suampulu Bulu zua Ariyalu
90 Puluhiwa Pulu hiwa Ciokpulu Bulu taraesa Ariytiinu
100 Teratu Ngasu ha Sangasu
… … … … …
Dari Konstruksi bilangan dalam beberapa budaya yang disajikan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Lamaholot, tana Ai‟ Sikka,
Manggarai, Nagekeo, dan Kabola Alor menghitung menggunakan sistim
bilangan basis 10. Namun dapat ditemukan juga bahwa dalam budaya suku
atau etnis tertentu menggunakan basis bilangan yang tidak tunggal. Di suku
Lamaholot (Flores Timur, Lembata, dan Pantar) dan Nagekeo misalnya,
terdapat basis 4. Basis 4 dapat ditemukan dalam ikatan jagung dan
permainan kemiri. Ikatan jagung yang terdiri dari 4 bulir disebut dengan
kolen dan susunan kemiri berbentuk piramida yang terdiri dari 4 buah kemiri
disebut dengan mata‟. Sehingga jagung sebanyak 11 bulir disebut dengan
jagung 2 kolen dan 3 bulir. Jagung sebanyak 16 bulir disebut dengan jagung 4
kolen. Dalam budaya Nagekeo dapat ditemukan pula basis 4 dalam
perhitungan jagung yakni ikatan jagung sebanyak 4 bulir disebut dengan sa
liwu.
Bilangan dan basis bilangan dalam budaya dapat disejajarkan dengan
konsep matematika sekolah antara lain: konsep penjumlahan, perkalian, hitung
campuran, bentuk panjang suatu bilangan, basis bilangan. Dengan demikian
pembelajaran konsep matematika sekolah tersebut di atas dapat
menggunakan konteks bilangan dan basis bilangan dalam budaya.
Gambar 1a. Ikatan Jagung
kolen
Gambar 1. Kolen dan Mata’
Gambar 1b. Susunan Kemiri
mata’
2. Penamaan Waktu
Jauh sebelum dikenal adanya penanda waktu modern seperti sekarang
ini, masyarakat pada setiap suku manapun mempunyai cara tersendiri dalam
menentukan dan menamakan waktu. Posisi matahari dan bulan, letak bintang,
kicauan burung, aktivitas tertentu, dan gejala alam lainnya sering digunakan
sebagai penanda waktu.
Penentuan waktu siang hari yaitu waktu dari pagi sampai sore oleh
masyarakat Lamaholot berdasarkan posisi matahari dan tanda alam lainnya
serta aktivitas yang akan dilakukan. Waktu siang hari dibagi menjadi 8
penggalan waktu dengan nama sebagai berikut.
Tabel 2. Penamaan Waktu Siang Hari Kode Nama Waktu Arti Bersesuaian Perkiraan Waktu
A Rera Gere /hogo hulen Matahari terbit/pagi
hari
Pkl. 06.00 – 07.00
B Rera Tanga Taa‟ Matahari mulai tinggi Pkl. 07.00 – 09.00
C Koli Kenema Tepo‟ Matahari mulai panas,
daun lontar mulai garing
Pkl. 09.00 – 11.00
D Ukenet keru ka‟ Bayangan semakin
pendek
Pkl. 11.00 – 12.00,
E Rera Hunge mu/reron tukan/ sedan ukenet
Matahari tepat di atas
kepala/ tengah hari/
menginjak bayangan
Pkl. 12.00 – 13.00
F Rera Sepat Matahari mulai condong
ke barat
Pkl. 13.00 – 15.00
G Rera lodo lere- tuak nuan ne
Matahari hampir
terbenanm, saatnya
menyadap tuak
Pkl. 15.00 – 17.00
H Rera Helen- manuk geri karo
Matahari terbenam,
ayam naik ke pohon
Pkl. 17.00 – 18.00
Gambar 2a. Ikatan Jagung Gambar 2b. Ikatan Kopra
Gambar 2. Ikatan Jagung dan Kopra (koe)
Dari delapan penggalan waktu siang hari tersebut terdapat 3 pembatas
waktu yakni Rera gere (pkl. 06.00), Rera hunge mu (pkl. 12.00). dan Rera
helen (pkl. 18.00). Hubungan antara penggalan waktu siang hari dalam budaya
Lamaholot dan penunjuk waktu pada permukaan jam ditunjukkan dalam
Gambar 3. Huruf A sampai H pada bagian dalam permukaan jam menunjukkan
kedelapan penggalan waktu dan bilangan 1 – 12 pada keliling permukaan jam
menunjukkan waktu yang biasa dikenal. Dari Gambar 3. terlihat interval
waktu antara tiap penggalan waku berbeda-beda di mana ada yang interval
waktu 1 dan ada yang 2. Hal ini berbeda dengan interval waktu pada
permukaan jam yang kita kenal di mana tiap interval waktunya sama yaitu 1.
Pada penggalan waktu A (pkl. 06.00 – 07.00) merupakan waktu untuk
sarapan pagi dan persiapan untuk berangkat ke ladang serta aktivitas sosial
lainnya. Bagi yang pada dini hari belum berangkat ke ladang untuk menyadap
tuak, maka waktu ini digunakan untuk berangkat ke ladang lebih awal untuk
menyadap tuak, mengeluarkan ayam dari dalam kandang serta memberi makan
ternak lainnya. Pada penggalan waktu B – C (pkl. 07.00 – 11.00) dan penggalan
waktu F – G (pkl. 13.00 – 17.00) merupakan waktu untuk berbagai aktivitas
utama mata pencaharian seperti bekerja di kebun dan menenun. Sehingga
aktivitas utama mata pencaharian sekitar 6 – 7 jam setiap hari. Penggalan
waktu D – E (pkl. 11.00 – 13.00) merupakan waktu untuk istirahat dan makan
4
2 10
8
7 6
5
3
1 12
11
1
9
B
C
G
F
A H
E D
Gambar 3. Penggalan Waktu Siang Hari dan
Permukaan Jam
siang. Waktu ini digunakan untuk mempersiapkan makan siang baik di rumah
maupun di kebun. Setelah makan siang digunakan waktu untuk istirahat dan
bekerja lagi setelah itu. Pada penggalan waktu H (pkl. 17.00 – 18.00)
merupakan waktu untuk menyadap tuak, memberi makan ternak, dan
mengamankan ayam dalam kandang atau tempat yang disebut kubu serta
menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa pulang ke rumah.
Waktu malam hari yaitu mulai dari sore hari hingga pagi hari
berikutnya dibagi dalam 8 penggalan waktu. Penentuan waktu dari malam hari
hingga pagi hari sebagai berikut.
Tabel 3. Penamaan Waktu Malam Hari Kode Nama Waktu Arti Bersesuaian Perkiraan Waktu
A Rema progena-padu lango gere
Hari mulai gelap,
saatnya menyalakan
lampu
Pkl. 18.00- 19.00
B Tait gike kae na-bua nuan ne
Perut terasa pedis,
saatnya makan.
Dilanjutkan cerita
tentang adat dan
lainnya
Pkl. 19.00 – 21.00
C Rema doan Mulai larut malam Pkl. 2100 – 22.00
D Manuk gokok muan Ayam berkokok
pertama kalinya
Pkl. 22.00- 23.00
E Rema tukan-odo nuane
Tengah malam, saat
tidur lelap
Pkl. 23.00 – 03.00
F Manuk gokok muan rua
Ayam berkokok
kedua kalinya
Pkl. 03.00 – 04.00
G Belia gere kae/ burak bele‟ wa‟
Bintang Timur sudah
muncul/hari belum
terang
Pkl. 04.00 – 05.00
H Ekan Doan dahe/burak bele‟ ka‟
Hampir pagi/ hari
sudah mulai terang
Pkl. 05.00 – 06.00
Dari delapan penggalan waktu malam hari tersebut terdapat 3
pembatas waktu yakni Rera helen (pkl. 18.00), Rema tukan (pkl. 24.00). dan
Rera gere (pkl. 06.00). Hubungan antara penggalan waktu malam hari dalam
budaya Lamaholot dan penunjuk waktu pada permukaan jam ditunjukkan
dalam Gambar 4. Huruf A sampai H pada bagian dalam permukaan jam
menunjukkan kedelapan penggalan waktu dan bilangan 1 – 12 pada keliling
permukaan jam menunjukkan waktu yang biasa dikenal. Dari Gambar 4.
terlihat interval waktu antara tiap penggalan waku berbeda-beda yakni
interval waktu 1, 2, dan 4. Hal ini berbeda dengan interval waktu pada
permukaan jam yang kita kenal di mana tiap interval waktu sama yaitu 1.
Pada penggalan waktu A (pkl. 18.00 – 19.00) merupakan waktu pulang
dari kebun, dilanjutkan untuk mandi-mandi dan mempersiapkan makan malam
jika belum disiapkan. Pada penggalan waktu B – D merupakan waktu untuk
makan malam dan dilanjutkan dengan penuturan cerita tentang adat, mitos,
dan merencanakan apa yang akan dikerjakan hari berikutnya. Pada rentang
waktu ini akan terdengar kokok ayam pertanda semakin larut malam dan
saatnya untuk tidur malam. Jika penuturan cerita belum selesai maka
terkadang diakhiri untuk disambung pada malam berikutnya. Pada penggalan
waktu ke E yaitu pukul 23.00 – 03.00 memiliki interval waktu terpanjang yaitu
interval 4 karena pada rentang waktu ini tidak ada aktvivitas lain selain tidur
dan saatnya lelap tidur. Pada penggalan waktu G (pkl. 04.00 – 05.00) saatnya
bangun dari tidur dan para ibu mulai mempersiapkan diri ke pasar sedangkan
para bapak bersiap ke kebun untuk menyadap tuak dan mengurus ternak.
Penamaan waktu di atas menunjukkan bahwa masyarakat Lamaholot
memiliki kepekaan terhadap alam dan juga memiliki pengetahuan yang baik
tentang alam dan lingkungan hidupnya. Dalam budaya suku yang lain pun dapat
ditemukan cara penentuan waktu yang berbeda untuk berbagai aktivitas.
Seperti nampak dalam penentuan waktu untuk pembenaman benih padi dan
4
2 10
8
7 6
5
3
1 12
11
1
9
B
C
G
F
A H
E D
Gambar 4. Penggalan Waktu Malam Hari dan
Permukaan Jam
jagung serta waktu untuk memetik padi dan jagung. Untuk menyiapkan lahan
berkebun dan mulai membenamkan benih digunakan tanda-tanda alam seperti
kicauan burung tertentu, tumbuhnya tunas atau bunga tanaman tertentu,
tampaknya rasi bintang, dan lainnya. Semua aktivitas penentuan waktu di atas
merupakan aktivitas matematis dan terkait dengan konsep matematika
pengukuran waktu seperti yang diajarkan di sekolah.
3. Cara Menghitung Banyaknya Jagung dan Padi
Aktivitas menghitung juga dilakukan untuk mengetahui banyaknya hasil
panen baik padi maupun jagung. Dari menghitung banyaknya jagung, maka
terjadi pengembangan bilangan ke bilangan yang lebih besar. Dalam hal ini
ditemukan juga cara penamaan bilangan besar sehingga memudahkan
menghitung jumlah yang lebih besar.
Tabel 4. Cara Menghitung Banyaknya Jagung Sebutan
banyaknya
jagung oleh
orang Lamaholot
Banyaknya
Jagung
(Bulir)
Sebutan
banyaknya
jagung oleh
orang
Nagekeo
Banyaknya
Jagung
(Bulir)
Sebutan
banyaknya
jagung oleh
orang
Amarasi
Timor
Banyaknya
Jagung
(Bulir)
Eket/Ulet 2 Sa liwu 4 To‟e 1
Kolen 4 Sa teke 28= 7 teke Tuus 10
Koe 20 Sa ulu 40=10 liwu
Mulen/Wuke‟ 100 Sa kedu 280=7 ulu
=10 teke
Komu 100=10 tuus
Beleba‟ 200 Nepat/Roit 200=2 komu
Madun/Tale‟ 1.000 Tokob 300=3 komu
Selak 10.000
Seketi 100.000
Aya tua‟ >100.000
Dari kegiatan menghitung banyaknya jagung oleh orang Lamaholot maka
diketahui bahwa bilangan yang terbesar dalam budaya Lamaholot adalah
seratusribu yang disebut dengan seketi. Bilangan yang lebih besar dari
seratusribu atau seketi hanya disebut dengan gasi toi hala kae (sudah tak
bisa dihitung lagi) atau aya tua’ (terlalu banyak). Hasil panen jagung dalam
jumlah tertentu dapat dinyatakan dalam berbagai satuan hitung yang sesuai
sebagaimana disajikan dalam tabel di atas. Dengan demikian terdapat banyak
cara untuk menyatakan banyaknya jagung berdasarakan sebutan jumlah
jagung tertentu seperti disajikan dalam Tabel di atas. Lebih dari itu dalam
menyatakan banyaknya jagung digunakan operasi hitung campuran perkalian
dan penjumlahan. Cara menyatakan banyaknya jagung dalam budaya
Lamaholot, budaya Nagekeo, dan budaya Amarasi Timor ini dapat
disejajarkan dengan cara menyatakan suatu bilangan sesuai nilai tempat pada
sistem desimal.
Untuk mengetahui banyaknya padi baik untuk mengetahui banyaknya
hasil panen maupun untuk keperluan sehari-hari digunakan beberapa hasil
anyaman berupa sokal dan nyiru berbagai ukuran. Dalam Budaya Lamaholot,
Nyiru dengan ukuran dari yang kecil ke besar berurut-turut dikenal dengan
nama: monga, liwan/lekan, kebala‟, neren, dan baku‟/hora‟. Sokal hanya ada dua
ukuran saja, yang lebih kecil disebut lepo dengan tinggi 4 jengkal, dan yang
lebih besar disebut boka‟ dengan tinggi 10 – 15 jengkal dan besar 2-3
pelukan.
Gambar 6: sokal berbagai ukuran
Hubungan antara berbagai jenis nyiru dan sokal disajikan dalam Tabel
5 berikut.
Tabel 5. Hubungan antara Nyiru dan Sokal
Ukuran Hubungan Ukuran Baku
Monga - 1 kg
Liwan/lekan 2 monga 2 kg
Kebala‟ 3 liwan 6 kg
Neren 3 kebala‟ 18 kg
Baku‟/hora‟ 3 neren 54 kg
Lepo 1,5 baku‟ 81 kg
Boka‟ 30 lepo 2.430 kg
Jika pada satu musim tanam hasil padinya sebanyak 70 lepo, maka
dalam bahasa Lamaholot diucapkan sebagai berikut, waha lepo pulupito.
Setelah padi ini diisi dalam boka‟ maka ada 2 boka‟ dan 10 lepo yang dalam
bahasa daerah diungkapkan dengan waha boka‟ rua noon lepo pulo. Jelas
terlihat bahwa ukuran berat atau banyaknya padi atau pun beras dinyatakan
dalam satuan monga, liwan, kebala’, neren, baku’/hora’, lepo, dan boka’.
Jadi tidak digunakan satuan ukuran baku seperti gram, kilo gram, dan ton
serta satuan ukuran baku lainnya (Dominikus, 2016).
4. Matematika Dalam Aktivitas Menenun
NTT Sangat kaya dengan ragam kain tenun karena tiap etnis di NTT
memiliki kain tenun yang berbeda-beda. Dari motif atau corak kain tenun
sudah bisa dipastikan dari suku mana asal kain tenun itu. Sangat banyak motif
atau corak pada kain tenun di setiap suku. Motif pada kain tenun merupakan
hasil pengembangan para penenun yang dirancang hanya dalam pikirannya saja
atau dibayangkan saja, bukan dirancang secara gambar visual. Motif pada kain
tenun mengandung pesan dan niai hidup tertentu yang menjadi pemahaman
besama orang dalam suku itu.
Motif yang tampak pada berbagai kain tenun NTT mirip dengan bentuk
bangun datar dalam matematika sekolah. Ada motif yang berbentuk segitiga
siku-siku, ada motif yang berbentuk segitiga sama sisi, Ada Motif yang
berbentuk belah ketupat, ada motif yang berbentuk jajar genjang, ada motif
yang berbentuk garis lurus, ada motif yang berbentuk grafik fungsi
trigonometri ( Dominikus, 2015, 2016, 2017).
Motif mata burung (kolon matan) dalam kain tenun Lamaholot
berbentuk belah ketupat, Gambar 7a. Bentuk ini merupakan perubahan dari
bentuk mata burung yang sebenarnya berbentuk oval. Bentuk belah ketupat
ini dibentuk dengan mengangkat benang dengan pola tertentu. Banyaknya
benang yang diangkat dalam membentuk motif mata burung (kolon matan)
secara beruturut-turut adalah: 1-2-3-4-3-2-1. Hal ini menggambarkan daya
pikir dan daya kreasi dari penenun untuk mengubah bentuk geometri pada
realita (mata burung) ke bentuk geometri pada kain tenun (belah ketupat).
Gambar 7 Beberapa Motif pada Kain Tenun
Motif rebahan daun kelapa (kau ne‟pin) pada kain tenun Lamaholot
berbentuk segitiga siku-siku, Gambar 7b. Bentuk ini mirip dengan bentuk
yang ada pada sepanjang pelepah daun kelapa setelah daun kelapa direbahkan.
Bentuk segitiga siku-siku pada motif kau ne‟pin dibentuk dengan cara
mengangkat benang dengan pola tertentu. Banyaknya benang yang diangkat
dalam membentuk motif kau ne‟pin secara beruturut-turut dari kanan ke kiri
adalah : 3-2-2-1-1 atau dari kiri ke kanan adalah 1-1-2-2-3. Hal ini
menggambarkan daya pikir dan daya kreasi dari penenun untuk mengalihkan
bentuk geometri pada realita (rebahan daun kelapa) ke bentuk geometri pada
kain tenun (segitiga siku-siku).
7a.motif
Kolon Matan
7b. Motif
Kau Ne’pin 7c. Motif Ile
Wurune
7d. Motif
Muko Kena’lan
Motif gunung (ile wurune) pada kain tenun Lamaholot berbentuk
segitiga sama sisi, Gambar 7c. Bentuk segitiga sama sisi ini dibentuk dengan
cara mengangkat benang pada lajur motif berturut-turut sebanyak 1-1-2-2-
3-2-2-1-1. Hal ini menunjukkan bahwa penenun memiliki daya imajinasi dan
daya kreasi yang tinggi untuk mengalihkan bentuk geometri pada realita
(gunung) ke bentuk geometri segitiga sama sisi pada kain tenun.
Motif irisan buah pisang (muko kena‟lan) pada kain tenun Lamaholo
berbentuk jajargenjang, Gambar 7d. Bentuk jaargenjang pada motif muko
kena‟lan ini dibentuk dengan cara mengangkat benang dengan pola tertentu.
Banyaknya benang yang diangkat dalam membentuk motif muko kena‟lan
secara beruturut-turut adalah: 1-1-2-2-3-2-2-1-1. Hal ini menggambarkan
daya imajinasi penenun untuk mengalihkan bentuk geometri pada realita
(irisan buah pisang) ke bentuk geometri pada kain tenun (jajargenjang).
Banyak konsep matematika sekolah yang terkandung dalam berbagai
motif kain tenun antara lain: bentuk-bentuk bangun datar, simetri, sudut,
rotasi, translasi, dilatasi, pola bilangan, bilangan polindromik (bilangan yang
angka-angkanya sama bila dibaca dari depan dan dari belakang)
Mengacu pada konsep geometri maka dapat dikatakan bahwa segitiga
sama sisi pada motif gunung (ile wurune) dapat dibentuk dengan cara
mencerminkan segitiga siku-siku pada motif rebahan daun kelapa (kau ne‟pin)
dengan salah satu sisi siku-siku sebagai sumbu cermin. Sedangkan,
jajargenjang pada motif irisan pisang (muko kena‟lan) dibentuk dengan cara
merotasikan segitiga siku-siku pada motif rebahan daun kelapa (kau ne‟pin)
sebesar 1800 searah jarum dilanjutkan dengan translasi mendatar.
C. PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA
Pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus globalisasi telah
berpengaruh pada perubahan pola hidup masyarakat. Demikian juga
dampaknya terhadap perubahan budaya baik budaya bangsa maupun budaya
lokal. Nilai-nilai budaya yang menjadi perekat kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara semakin luntur. Sikap dan perilaku ramah, santun,
kerjasama, saling menolong, saling menghormati, dan saling menghargai
semakin terkikis dan bahkan lama-kelamaan bisa hilang. Perkelahian para
pelajar, kekerasan terhadap siswa, pemukulan guru oleh orangtua murid,
perkelahian antar suku, konflik horizontal dalam masyarakat sering terjadi di
mana-mana baik di lingkungan desa maupun di kota.
Berbagai usaha dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan
dan melestarikan budaya bangsa dan budaya lokal. Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah adalah melalui pelaksanaan pendidikan karakter dan
budaya bangsa bagi para siswa di jalur pendidikan formal.
Pendidikan matematika sebagai bagian dari pendidikan formal turut
berperan dalam upaya pelestarian budaya dan penanaman nilai-nilai budaya
serta pembangunan budaya bangsa. Untuk itu kajian matematika dalam
budaya sangat dibutuhkan karena matematika merupakan konstruksi sosial-
budaya, produk budaya, dan terkandung dalam budaya (Ernest, 1993; Bishop,
1988; Dowling, 1998; Gerdes, 1997).
Hasil kajian matematika dalam budaya yang kemudian diintegrasikan
dalam pembelajaran matematika merupakan upaya sistematis melalui
pendidikan (pendidikan matematika) dalam pelestarian dan pewarisan budaya.
Dalam hal ini matematika juga memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk
mempertahankan budaya dan memajukan budaya karena matematika itu
sendiri terkandung dalam budaya dan menyatu dengan budaya.
Pertanyaan di awal orasi ilmiah saya ini: apakah dalam budaya ada
matematika? Telah terjawab. Bahwa dalam budaya ada matematika yang
lebih dikenal dengan Etnomatematika (matematika budaya). Dalam setiap
aktivitas budaya terdapat matematika atau etnomatematika. Dalam setiap
suku atau etnis ada matematika atau etnomatematika, maka yang patut
dilakukan di sekolah adalah bagaimana membelajarkan matematika dengan
menggunakan konteks budaya.
Pembelajaran matematika berbasis budaya juga merupakan salah satu
tuntutan kurikulum 2013 yang sedang diterapkan di setiap sekolah saat ini. Di
mana pembelajaran yang berbasis etnomatematika memfasilitasi
pengonstruksian konsep matematika oleh siswa sendiri bermodalkan
pengetahuan tentang budaya yang mereka miliki.
Selain itu integrasi budaya dalam pembelajaran matematika yang
sesuai dengan kurikulum 2013 dapat memunculkan adanya kebermaknaan
materi yang dipelajari sehingga mampu menyentuh aspek kehidupan sehari-
hari siswa. Kebermaknaan ini diperoleh karena materi matematika
dihubungkan dengan pengalaman siswa, kehidupan sosial, bahkan menyentuh
ranah seni dan budaya setempat. Selain itu, pembelajaran berbasis budaya ini
mampu menumbuhkan rasa cinta peserta didik pada budaya-budaya lokal
sebagai bagian dari perwujudan rasa nasionalisme.
Dengan pembelajaran matematika berbasis budaya, maka secara
simultan anak sekolah diperkenalkan budayanya dan sekaligus belajar
matematika. Semakin anak sekolah mengenal budayanya maka semakin mereka
menyenangi dan mencintai budayanya . Dengan pengintegrasian budaya dalam
belajar matematika di sekolah maka di satu sisi membantu upaya pelestarian
budaya dan di sisi lain para siswa akan berkembang dan bertumbuh di atas
budayanya.
REFERENSI
Bishop, A.J., 1988, The Interaction of Mathematics Education with Culture,
Culture Dynamics 1988:1; pp. 145-157.
DOI:10.1177/92137408800100200
Daeng, H.J.,2012, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis, Pusataka Pelajar, Yogyakarta
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014a,
Ethnomathematics in Shifting Cultivation of Adonara Societty and
Integration Within Curriculum of Primary Schools, Proceedings: The 1st Sriwijaya University Learning and Education International Conference (SULE-IC) 2014, Sriwijaya University, May 16-18, 2014,
Palembang, pp. D16-786 – D16-793.
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014b,
Etnomatematika Dalam Permainan Masyarakat Adonara dan Kaitannya
Dengan Matematika Sekolah Dasar, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, 13 September 2014, Yogyakarta, pp. 531-542
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2015,
Ethnomathematics of Adonara Society in The Weaving Activity, Paper
presented on International Conference of Mathematics and Scince
Education (ICMSE), Mataram University, November 4-6, 2015,
Mataram, pp. 1-10.
Dominikus, 2016, Etnomatematika Adonara dan Kaitannya Dengan Matematika Sekolah, Disertasi Universitas Negeri Malang, Malang
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016a,
Ethnomathematics in Marriage Tardition in Adonara Island-East
Flores, Proceedings: 3rd International Conference on research Implementation, and Education of Mathematics and Science 2016 ( 3rd ICRIEMS), Yogyakarta State University, May 16-17, 2016 Yogyakarta,
pp. ME-269 – ME-274.
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016b, Link Between
Ethnomathematics in Marriage Tradition in Adonara Island and School
Mathematics, IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME), Volume 6, Issue 3 Ver. IV (May-June 2016), pp. 56-62,
DOI:10.9790/7388-0603045662
Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2017,
Ethnomathematical Ideas in the Weaving Practice of Adonara Society
in Indonesia, Journal of Mathematics and Culture, December- 11(4).
pp. 83-95,
Dominikus, W.S., 2018, Literasi Matematika Dalam Budaya Lamaholot,
Makalah disampaikan dalam Seminar : Aku Dalam Pusaran Budaya
Lamaholot, Seminar HUT Ikatan Keluarga Adonara (IKA) Lembata, di
Lewoleba, 14 Mei 2018
Dowling, P., 1998, The Sociology of Mathematics Education, Studies in
Mathematics Education Series 7, The Falmer Press, London
Ernest,P., 1993, The Philosophy of Mathematics Education, The Falmer
Press, London
Gerdes,P., 1997, Survey of Current Work on Ethnomathematics, In A.
Powell & M. Frankenstein (eds), Ethnomathematics, Challenging
Eurocentrism in Mathematics Education (pp. 331-372), Albany: State
University of New York Press.
Kohl, K. H., 2009, Der Tod der Reisjungfrau, Mythen, Kulte und Alianzen in Einer Ostindonesischen Lokalkultur, Terjemahan: Raran Tonu Wujo:
Aspek-aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur oleh Paul
Sabon Nama, Penerbit Ledalero, Maumere.
Lee, J.C.H. & Prior, J.M., 2015, Pemburu Yang Cekatan- Anjangsana Bersama Karya-karya E. Douglas Lewis, Penerbit Ledalero, Maumere.
CURRICULUM VITAE
I. DATA PRIBADI
1. N a m a : Dr. Wara Sabon Dominikus, MSc
2. NIP : 19670804 199303 1 003
3. NPWP : 14.668.171.3-922.000
4. Tempat Tanggal Lahir : Adobala-Flotim, 4 Agustus 1967
5. Pekerjaan : Dosen Pendidikan Matematika
FKIP UNDANA
6. Pangkat /Gol : Pembina Tkt. I/IV-B
7. Jabatan : Lektor Kepala
8. Alamat : Jl. Binilaka Raya No. 25 Penfui, Kupang
85361. HP/WA. 081339411585;
082132350020
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Sarjana : Pendidikan Matematika FKIP Undana
21 Juli 1991
2. Post Graduate Diploma : Mathematical Sciences of The University
Of Adelaide South Australia, 11 Oktober 1999
3. Master : Mathematical Sciences of The university of
Adelaide, South Australia, 17 Maret 2001
4. Doktor : Pendidikan Matematika, universitas Negeri
Malang, 19 Desember 2016
III. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Asisten Dosen pada Prog. Pendidikan Teknik FKIP Undana, 1989-1992
2. Dosen Pada Program Studi Pendidikan Matematika-PMIPA FKIP Universitas
Nusa Cendana Kupang, 1993 – sekarang
2. Ketua Program Studi Pendidikan Matematika : 2005 – 2009
3. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FKIP Undana : 2008 – 2012
4. Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Pembelajaran Matematika Realistik
Indonesia (P4MRI) Undana : 2011 – sekarang
5. Ketua Pengelola PGMIPABI (Pendidikan Guru MIPA Bertaraf Internasional) FKIP
Undana : 2012 – sekarang
6. Ketua Asosiasi Pendidik dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah
NTT : 2016-sekarang
7. Pengurus Himpunan Matematika Indonesia (IndoMS), Ketua Pengembangan
Profesi Pendidik SD: 2016-2018.
8. Anggota North America Study Group on Ethnomathematics (NASGEm): 2014-
sekarang
6. Koordinator Pendidikan Profesi Guru (PPG) Pendidikan Matematika FKIP Undana :
2018- sekarang
7. Kepala Laboratorium Pendidikan Matematika Undana : 2018 - sekarang
IV. PUBLIKASI ILMIAH (TENTANG MATEMATIKA DALAM BUDAYA)
1. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014,
Ethnomathematics in Shifting Cultivation of Adonara Societty and
Integration Within Curriculum of Primary Schools, Proceedings: The 1st Sriwijaya University Learning and Education International Conference (SULE-IC) 2014, Sriwijaya University, May 16-18, 2014, Palembang, pp. D16-
786 – D16-793.
2. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2014,
Etnomatematika Dalam Permainan Masyarakat Adonara dan Kaitannya Dengan
Matematika Sekolah Dasar, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 13
September 2014, Yogyakarta, pp. 531-542
3. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2015,
Ethnomathematics of Adonara Society in The Weaving Activity, Paper
presented on International Conference of Mathematics and Scince Education
(ICMSE), Mataram University, November 4-6, 2015, Mataram, pp. 1-10.
4. Dominikus, 2016, Etnomatematika Adonara dan Kaitannya Dengan Matematika Sekolah, Disertasi Universitas Negeri Malang, Malang
5. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016,
Ethnomathematics in Marriage Tardition in Adonara Island-East Flores,
Proceedings: 3rd International Conference on research Implementation, and Education of Mathematics and Science 2016 ( 3rd ICRIEMS), Yogyakarta
State University, May 16-17, 2016 Yogyakarta, pp. ME-269 – ME-274.
6. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2016, Link Between
Ethnomathematics in Marriage Tradition in Adonara Island and School
Mathematics, IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME), Volume 6, Issue 3 Ver. IV (May-June 2016), pp. 56-62,
DOI:10.9790/7388-0603045662
7. Dominikus,W.S, 2016, Link Between Ethnomathematics in Farming Culture in Adonara Island and School Mathematics, Paper presented on International
Conference on Education (ICE), 23-24 November 2016, Pasca Sarjana
Universitas Negeri Malang
8. Dominikus, W.S, 2017, The Counting System and Measurement Unit in Adonara Culture (An Ethnomathematics Study in Adonara Island), paper
Presented on Internatioal Conference on Mathematics, Science, and
Education (ICoMSE), 29-30 Agustus 2017, Universitas Negeri Malang
9. Dominikus, W.S., Nusantara, T., Subanji, & Muksar, M., 2017,
Ethnomathematical Ideas in the Weaving Practice of Adonara Society in
Indonesia, Journal of Mathematics and Culture, December- 11(4). pp. 83-95,
Kupang, 27 Agustus 2018
Yang Membuat
Dr. Wara Sabon Dominikus,M.Sc
NIP. 19670804 199303 1 003