Upload
idha-kurniasih
View
254
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
SEORANG PEREMPUAN 24 TAHUN DENGAN KELUHAN BATUK
LAMA DAN BERAT BADAN TURUN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepanitraan Klinik Stase
Radiologi di RSUD DR. ADHYATMA Tugurejo Semarang
Pembimbing:
dr. Zakiyah, Sp.Rad
Disusun oleh :
Danang Ari Wicaksono
(H2A008042)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2013
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : DANANG ARI WICAKSONO
Nim : H2A008042
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Bidang pendidikan : Radiologi
Judul Kasus : TB PARU AKTIF
Pembimbing : dr. Zakiyah, Sp. Rad
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Maret 2013
Pembimbing
dr. Zakiyah, Sp. Rad
2
DAFTAR MASALAH
Tanggal Masalah Aktif
22-02-2013 TB Paru Demam, sesak nafas, batuk, penurunan berat badan,
nafsu makan berkurang, keringat dingin pada malam
hari
Tanggal Masalah Pasif Keterangan
22-02-2013 JAMKESMAS Biaya pengobatan menggunakan jamkesmas
3
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Ny. Pasmini
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Grendem RT 03/II Campurejo Boja
Kendal
Ruang : Mawar M.4
No. CM : 40-83-61
Tanggal Masuk : Minggu, 17 Maret 2013
Tanggal Pemeriksaan : Jumat, 22 Maret 2013
Biaya pengobatan : JAMKESMASNAS
B. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan kedua kaki bengkak
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kedua kaki bengkak (+), demam
(+), sesak nafas (+) ketika batuk, batuk (+) berdahak, dahak warna kuning
kehijauan (+), lemes (+), pusing (-). Sesak yang dirasakan pasien tidak
dipengaruhi cuaca, emosi, dan alergen. Pasien juga tidak mengeluh nyeri
dada. Pasien juga mengeluh sering keluar keringat dingin pada malam hari
(+). Nafsu makan menurun (+), mual (+), muntah (-), BAB dan BAK
dalam batas normal, tidak nyeri.
2 bulan SMRS pasien mengeluh demam pada waktu sore hari tidak
sampai menggigil, badan terasa pegal-pegal, batuk (+) berdahak, nafsu
4
makan berkurang. Kemudian pasien memeriksakan ke puskesmas diberi
obat keluhan hilang.
1 bulan SMRS pasien mengeluh keluhan yang sama kemudian
memeriksakan ke puskesmas untuk yang kedua kalinya akan tetapi
keluhan tidak kunjung hilang. Pasien merasa tubuhnya semakin kurus
dalam kurun waktu 1 bulan. Kaki pasien semakin lama semakin
membesar. Pasien mengaku bulan kemarin BB : 52 kg, BB sekarang 41
kg.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat sakit seperti ini : Disangkal
2. Riwayat penyakit TB Paru : Disangkal
3. Riwayat penyakit hipertensi : Disangkal
4. Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
6. Riwayat alergi makanan dan obat : Disangkal
7. Riwayat penyakit asma : Disangkal
8. Riwayat sakit di ginjal : Disangkal
9. Riwayat tranfusi darah : Disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit seperti ini : Disangkal
2. Riwayat penyakit TB Paru : Disangkal
3. Riwayat penyakit hipertensi : Disangkal
4. Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
6. Riwayat penyakit asma : Disangkal
7. Riwayat alergi makanan dan obat : Disangkal
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien dulu bekerja sebagai buruh pabrik. Semenjak sakit ini
pasien keluar dari tempat kerjanya. Pasien mempunyai seorang suami
5
dan 1 anak. Pasien tinggal serumah bersama ayah ibunya. Biaya
pengobatan ditanggung Jamkesmasnas.
G.Riwayat Pribadi
1. Riwayat merokok : Disangkal
2. Riwayat konsumsi alkohol : Disangkal
3. Riwayat minum jamu : Disangkal
4. Riwayat konsumsi kopi : Disangkal
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada hari Jumat 22 Februari 2013
Keadaan umum : baik, Compos mentis
Tanda vital : Tensi : 100/90 mmHg
Nadi : 87 x/menit, irama reguler, isi dan
tegangan cukup
Frekuensi respirasi : 24 x/menit, reguler
Suhu : 37,50C (per axiller)
Status gizi : BB : 41 kg
TB : 155 cm
BMI : 17,08kg/m2
KESAN : Underweight
Kulit : Warna kuning/ikterik (-), kering (-), peteki (-),
ekimosis (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,
bergelombang, mudah rontok (-), luka (-)
Wajah : Tampak pucat (-)
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra anemis
(+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil bulat isokor dengan
diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),
edema palbebra (-/-),eksopthalmus (-/-)
6
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
nyeri tekan tragus (-/-), membran timpani intak
(+/+)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
fungsi penghidu normal
Mulut : bibir sianosis (-), bibir pucat (-), gusi berdarah
(-), bibir kering (-), stomatitis (-), luka pada
sudut bibir (-), tonsil T1-T1, hiperemis (-),
faring hiperemis (-)
Leher : bentuk simetris (+), pembesaran kelenjar tiroid
(-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher
kaku (-), distensi vena-vena leher (-),
peningkatan JVP (-)
Thorax : bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
(-), spider nevi (-), pernafasan torakoabdominal,
sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla
(-/-), KGB supraklavikuler (-/-), KGB
infraklavikuler (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VII 2 cm lateral
LMCS, tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung
kiri bawah : ICS V, 2 cm medial linea midclavicularis
sinistra
kiri atas : ICS II linea sternalis sinistra
kanan atas : ICS II linea sternalis dextra
pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Kesan : konfigurasi jantung normal
Auskultasi : Reguler
7
Bunyi jantung I-II reguler
Bising (-), Gallop (-)
Pulmo
Depan :
Inspeksi : Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga
mendatar (-), pengembangan dada simetris kanan = kiri,
sela iga melebar (-), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan melemah
Perkusi : Kanan : sonor seluruh lapang paru
Kiri : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi
basah halus (-/-), ronki basah kasar (+/+)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar, benjolan (-), striae (-),
ikterik (-), spider naevi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), undulasi
(-)
Palpasi : nyeri tekan (-), defans muskuler (-), Hepar :
tidak teraba, Lien : tidak teraba
Ektremitas : Superior Inferior
Akraldingin
Oedem
Pucat
Gerak
Reflex fisiologis
Reflex patologis
-/-
-/-
-/-
Dalam batas normal
+/+
-/-
-/-
+/+
-/-
Dalam batas normal
+/+
-/-
8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN DARAH (18 Februari 2013)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah rutin :
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Diff count :
Eosinofil absolute
Basofil absolute
Netrofil absolute
Limfosit absolute
Monosit absolute
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Tanggal 18-02-13
Kimia klinik :
Glukosa sewaktu
Ureum
Kreatinin
Kalium
Natrium
H 12,03
L 3,57
L 9,20
H 29,6
82,90
L 25,80
L 31,10
472
L 0,02
0,10
H 10,08
L 0,86
H 1,06
L 0,20
0,10
H 83,80
L 7,10
H 8,80
120
16
L 0,48
5,1
1,33
103/ul
106/ul
g/dl
%
Fl
Pg
g/dl
103/ul
103/ul
103/ul
103/ul
103/ul
103/ul
%
%
%
%
%
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mmol/L
mmol/L
3,8-10,6
4,4-5,9
13,2-17,3
40-52
80-100
26-34
32-36
150-440
0,045-0,44
0-0,2
1,8-8
0,9-5,2
0,16-1
2-4
0-1
50-70
25-40
2-8
< 125
10,0-50,0
0,6-0,9
3,5-5,0
135-145
PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI (Tanggal 25 Februari 2013)
BTA Sputum :
Sewaktu : negatif
9
Pagi : positif (1)
Sewaktu : positif (1)
PEMERIKSAAN DARAH (1 Maret 2013)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah rutin :
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
RDW
Diff count :
Eosinofil absolute
Basofil absolute
Netrofil absolute
Limfosit absolute
Monosit absolute
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Tanggal 1-03-13
Kimia klinik :
Kalium
Natrium
Chlorida
Calsium
Albumin
H 20,71
L 3,23
L 8,20
H 27,40
84,80
L 25,40
L 29,90
257
H 18,8
L 0,03
0,50
H 18,12
1,24
H 1,27
L 0,10
0,20
H 87,60
L 6,00
6,10
3,8
L 134
101
8,4
L 2,5
103/ul
106/ul
g/dl
%
Fl
Pg
g/dl
103/ul
%
103/ul
103/ul
103/ul
103/ul
103/ul
%
%
%
%
%
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
g/dL
3,8-10,6
4,4-5,9
13,2-17,3
40-52
80-100
26-34
32-36
150-440
11,5-14,5
0,045-0,44
0-0,2
1,8-8
0,9-5,2
0,16-1
2-4
0-1
50-70
25-40
2-8
3,5-5,0
135-145
95,0-105
8,1-10,4
3,2-5,2
10
2. Pemeriksaan Radiologi
X foto Thoraks tanggal 18 Februari 2013
Pembacaan : x foto thoraks PA
Costa : tidak tampak dicontinuitas, fissure
Sudut costofrenicus : kanan tak tampak, kiri lancip
Diafragma : kiri setinggi costa XI, kanan tidak terlihat
Pulmo : -corakan bronkovaskuler tak jelas
: -tampak bercak kesuraman kanan tengah
: -kesuraman homogen pada kanan tengah
Cor : batas suram
11
KESAN :
Cor : batas suram
Pulmo : TB paru aktif
- Efusi pleura dextra
- Fibrosis
IV. Diagnosa
- TB paru
V. Planning terapi
a. Terapi Non farmakologi :
- Istirahat cukup
- Makan makanan yang bergizi
b. Terapi Farmakologi :
- 2 RHZE/ 4 R3H3
- Paracetamol 3 x 1 jika demam
- Vitamin B complex 2 x 1
c. Monitoring :
- Keadaan umum
- Vital sign
- Keluhan pasien
Evaluasi klinis (keluhan, BB, pemeriksaan fisik)
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Evaluasi efek samping secara klinis
o Dari awal sebaiknya diperiksa fungsi hepar, ginjal dan darah
lengkap.
Evaluasi keteraturan berobat
12
d. Edukasi
- Edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita oleh pasien
- Edukasi rencana pengobatan dan keraturan dalam minum obat
- Menjelaskan efek samping obat yang dimnum
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
13
PEMBAHASAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini
merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel
(cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif.
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).
(Daniel, 1999)Gambar 2.1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan
pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas
asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel,
1999).
14
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar,
2007).
C. CARA PENULARAN
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain
bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
D. PATOFISIOLOGI
Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga
sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kumanTBC ke kelenjar
limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
15
kadang daya tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
E. RESIKO PENULARAN
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara
1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi
tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
F. GEJALA KLINIS
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
GEJALA SISTEMIK/UTAMA
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul.
2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
GEJALA KHUSUS
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
16
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,
pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada inspeksi hemi torak kanan dan kiri simetris
dengan gerakan yang statis dan dinamis. Retraksi interkostal (-) kecuali pada TBC
kronis akibat dari fibrosis jaringan paru.Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang
luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat
tertinggal dalam pernapasan, palpasi fremitus melemah karena cavitas maupun
infiltrate, perkusi memberikan suara pekak / redup ( infiltrat yang luas ),
auskultasi memberikan suara bervariasi bisa yang lemah sampai tidak terdengar
sama sekali, kadang juga terdapat suara tambahan (ronkhi basah, kasar). Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin
yang positif (Bahar, 2007).
17
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada
pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah
apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai
tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah
lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti
infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema
(Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di
bawah ini :
(Bahar, 2007) Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
18
I. DIAGNOSIS
Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Diagnosis TB paru pada orang
dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak
secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita
diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak
mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan.Apabila fasilitas
memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila
tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS :
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau
hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
1. Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif.
2. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk
difoto rontgen dada.
J. PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di
mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh
kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
19
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT
mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat
bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap
obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik,
sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin,
2007).
Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak
tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H),
Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R)
dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah
mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang
didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan
kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB.
Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil
memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut
dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat
lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan
kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua,
penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan
gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi
basil yang persisten (Bahar & Amin, 2007).
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24
bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB
diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap
intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama Rifampisin.
20
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan
intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah
terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan (Bahar & Amin, 2007; Depkes RI, 2006).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis
pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-
obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol
dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid,
Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar
Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan
kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada
perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin,
2007).
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid (H) Bakterisid
Terkuat
Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin
(R)
Bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant
(persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis
Pirazinamid Bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada
21
(Z) dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya
diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.
Streptomisin
(S)
Bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan
organisme ekstraselular.
Etambutol (E) Bakteriostatik -
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu
WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien
menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat
pada tabel di bawah ini (Bahar & Amin, 2007) :
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori
pengobatan TB Pasien TB
Paduan pengobatan TB alternatif
Fase awal
(setiap hari / 3 x
seminggu)
Fase lanjutan
I Kasus baru TB paru dahak
positif ; kasus baru TB paru
dahak negatif dengan
kelainan luas di paru; kasus
baru TB ekstra-pulmonal
berat
2 EHRZ (SHRZ)
2 EHRZ (SHRZ)
2 EHRZ (SHRZ)
6 HE
4 HR
4 H3 R3
II Kambuh, dahak positif;
pengobatan gagal;
pengobatan setelah terputus
2 SHRZE / 1
HRZE
2 SHRZE / 1
HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
III Kasus baru TB paru dahak 2 HRZ atau 6 HE
22
negatif (selain dari kategori I)
; kasus baru TB ekstra-
pulmonal yang tidak berat
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2H3R3Z3
2 HR/4H
2 H3R3/4H
IV Kasus kronis (dahak masih
positif setelah menjalankan
pengobatan ulang )
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO guna
pemakaian obat lini kedua yang
diawasi pada pusat-pusat spesialis)
(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama
2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau
4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase
intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah
negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum
BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1
bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat
dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
23
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja
sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda
(MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II
pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).
Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis
Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB
Pirazinamid (Z) harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S) harian = intermiten : 15 mg/kgBB
usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E) harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
24
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(Depkes RI, 2006) :
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama
56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3x seminggu selama
16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat
badan
Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan3x seminggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg
Streptomisin inj
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg
Streptomisin inj
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
25
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Efek samping pengobatan
Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit
sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat
diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat
mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat
diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, nyeri
otot dan gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain menyerupai
defisiensi piridoksin (pellagra)
dan kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal.
Hepatitis, ikhterus
Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit,
sindrom flu, sindrom perut.
Hepatitis, sindrom respirasi
yang ditandai dengan sesak
nafas, kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan (syok),
purpura, anemia hemolitik yang
akut, gagal ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi, serangan
26
demam, mual dan kemerahan arthritis gout
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas :
demam, sakit kepala, muntah
dan eritema pada kulit
Kerusakan saraf VIII yang
berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman
penglihatan
Buta warna untuk warna merah
dan hijau
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan
kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah
perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
K. KOMPLIKASI
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
2. Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
3. Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis
Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
4. Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
5. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-
1000.
6. Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
7. Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick &
Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:
Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
8. Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
9. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam
Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
11. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,
Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
12. Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
28
13. Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.
14. World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines
for National programmes. Geneva : 3-15
15. World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia
diakses pada 17 Februari 2013 pukul 19.00 WIB
<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/
55/000100150017/2>
29