172

Love From de Grote Postweg

Embed Size (px)

Citation preview

Saya sangat terkesan dengan tokoh Epul yang sangat kocak, lugu, tetapi

memberi inspirasi kepada kita untuk hidup bekerja keras, sekaligus tawakal.

Penulis novel ini berhasil membuat suasana kocak, mengharukan, inspiratif,

tapi tidak terkesan menggurui.

- Bambang Suharno, Direktur Indonesian Entrepreneur Society

"Sebuah kisah yang dirangkai secara apik mengenai persahabatan dan

kehidupan dunia kampus yang penuh dengan guyonan segar, humor,

pergulatan dan konflik khas ala mahasiswa. Membacanya kita seakan ikut

terlarut dalam alur ceritanya. Di awal cerita Noerhidajat dengan luar biasa

mampu mendeskripsikan situasi “Bandoeng tempo doeloe” dan kota Amsterdam.

- Setia Pramana, PhD student Hasselt Belgium, Dosen STIS, Jakarta

NavAksara - 2010

“Novel tentang Keindahan Mimpi, Persahabatan, dan Cinta”Noerhidajat

iv | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | v

Love from De Grote Postweg

Noerhidajat

Cetakan Pertama, Februari 2010

Penyunting: Desi SaraswatiPemeriksa Aksara: Sinta SusantiPerancang Sampul: AlzaleaIlustrasi Isi: Ida HariFoto: Noerhidajat

Model:Firman Al-AminDea AdlinaGedung De Vries, Jalan Asia-Afrika, Bandung Diterbitkan oleh:Penerbit NavAksaraKompleks Taman Melati Blok CB No. 123APengasinan, Sawangan, Depok 16516Telp. 08816875270 E-mail: [email protected]

KeteranganDe Grote Postweg: jl. Asia-AfrikaTjikapoendoeng oost:Jl. Cikapundung TimurTjikapoendoeng west: jl. Cikapundung BaratBoeah batoeweg: jl. Buah batuKarapitanweg: jl. KarapitanABC straat: jl. ABCNaripanweg: jl. NaripanPapandajanlaan: jl. Gatot SubrotoBragaweg: jl. BragaSoeniaradjaweg: jl. SuniarajaPasarbaroeweg: jl. Otto IskandardinataTjitjendoweg: jl. CicendoMerdikaweg: jl. Merdeka

Lembangweg: jl.CihampelasOude Hospitalweg: jl. LembongRiauwstraat: jl. RE. MartadinataKiaratjondongweg: KiaracondongWilhemina boulevard: jl.P. DiponegoroJuliana Boulevard: jl. SurapatiBeatrix boulevard: jl. Dipati UkurDagostraat: jl. Ir. Djuandadr.De Grootweg: jl. Siliwangivan Houten: jl. TamansariBerd en Dalseweg: jl. CiumbuleuitR. Tjikapoendoeng: Sungai CikapundungBurgemeester Coopsweg:jl. Padjadjaran

Societeit Concordia: Gedung MerdekaHet Snoephuis: Sumber HidanganMaison Bogerijen: Braga PermaiMajestic: Gedung AACCTechnische Hogeschool (THS): Institut Teknologi Bandung (ITB)Soenda Openlutch Museum: Taman Hutan Ir. DjuandaKweekschool (sekolah guru): Markas Kapolwiltabes BandungStaats Spoorwegen: PT. K.A. IndonesiaVan Dorp: Braga LandmarkGouvernement Bedrijven: gedung sate

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Noerhidajat Love from De Grote Postweg/ Noerhidajat; penyunting, Desi Saraswati - Jakarta: Navaksara, 2010.iv + 336 hlm; 20,5 cm

ISBN: 978-602-96098-0-6

I. Judul II. Desi Saraswati

vi | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 1

Prelude

Hindia Belanda, tahun 1942Catatan Harian Seorang Amtenaar Gemeente Bandoeng

Harian surat kabar ‘Preangerbode1’ mengembuskan berita yang mencemaskan. Bala tentara Jepang sedang merangsek ke Gemeente2 Bandoeng, setelah sebelumnya mendarat di Banten tanggal 4 Maret 1942. Aku pikir takkan secepat itu pasukan bergerak dari Batavia menuju Bandoeng. Kendaraan mereka seadanya. Lagipula, perlengkapan personil mereka tidak secanggih apa yang dimiliki oleh tentara KNIL.3 Ternyata, dugaanku salah.

Tanggal 8 Maret 1942, Minggu malam, aku terbangun dari tidur gelisahku. Hawa malam terasa dingin dan lembab. Suasana di kompleks perumahan Fokkerhuise sunyi senyap, selain suara cicak yang berdecak di dinding rumah. Suara jarum jam nyaring memecah keheningan. Kulihat wajah istriku damai dalam tidur lelapnya. Aku bergegas ke ruang tengah, melihat jam yang berdiri di pojok ruang, pukul 23.00 tepat. Aku tidak bisa tidur lagi. Mata sulit terpejam karena cemas yang semakin menghimpit. Aku beralih ke radio tabung Phillips, lalu menyetelnya. Kuarahkan pemutar pada gelombang NIROM4. Suara lamat-lamat itu

1 Salah satu nama surat kabar di Gemeente Bandoeng waktu itu.

2 Kota yang sudah mempunyai pemerintahan sendiri di masa Hindia Belanda.

3 Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)

4 Netherlandch Indische Radio Omroep Maatschappij (Maskapai atau perusahaan

Daftar IsiPrelude -/- 1

Largo -/- 9

Adagio -/- 26

Sonata -/- 65

Serenade -/- 81

Andante -/- 100

Minuet -/- 112

Symphony -/- 128

Rhapsody -/- 166

Allegro -/- 185

Overture -/- 229

Interlude -/- 297

Concerto -/- 323

2 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 3

terdengar menegangkan, mengguncangkan hatiku. Suara parau penyiarnya mengucapkan salam perpisahan.

“Wij sluiten nu. Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin! Kami tutup siaran ini sekarang. Selamat berpisah. Sampai berjumpa kembali di waktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu!”

Sebelumnya, penyiar itu mewartakan kabar mengenai tentara Belanda yang dikomandoi Jenderal Ter Poorten. Mereka bertekuk lutut di hadapan ’raja baru’ Jepang dengan disepakatinya Kapitulasi Kalijati tanggal 8 Maret tadi sore.

Aku kembali ke tempat tidur. Perasaan gundahku semakin menghimpit. Baru saja merebahkan badan di kasur, tiba-tiba aku mendengar gedoran pada daun pintu depan beberapa kali. Istriku terjaga, bangun dengan wajah tegang memandangiku.

“Kau tetap di sini! Biar aku yang membuka pintu.” ucapku menidurkannya kembali.

Lagi-lagi, suara gedoran di daun pintu mengusik kesunyian malam. Kedua kakiku menyelasari sandal lalu berjalan keluar kamar dan mendekati pintu depan. Setelah kubuka gerendel kunci, beberapa orang bertopi hijau dan berseragam lusuh langsung menyeruak masuk. Aku tak sempat mencerna identitas mereka dari fisiknya. Mereka membentak dan menghardikku dengan bahasa yang tak kupahami. Lalu, mereka menarik kerah baju piyamaku dan mencerabutku sekuat tenaga. Mereka menghempaskanku ke dinding rumah, lalu ke dinding yang lain. Badanku memantul-mantul seperti bola. Tak henti-hentinya mereka memarahi dan mengomeliku. Aku seperti seekor tikus di tengah sekawanan kucing buas yang kelaparan. Keseimbanganku hilang, tubuhku jatuh terjerembab di dekat kursi. Saat dua orang di antara mereka menyeruak menuju kamar, terdengar jeritan histeris istriku dari dalam kamar. Tangis anakku pecah, ketakutan. Aku memaksa bangkit, semburat menghalangi pintu.

“Jangan ganggu! Dia Indonesier5!” teriakku pada mereka.

Siaran Radio Hindia Belanda).

5 Sebutan terhormat untuk pribumi, orang Indonesia waktu itu.

Dua orang yang berdiri tertegun di mulut pintu itu mengalihkan pandangan nanar ke arahku. Mereka maju beberapa langkah ke arahku, lalu mendaratkan sodokan laras senapan ke arah kepala. Satu orang lagi meraih tubuhku, menyeretku, lalu menghempaskan tubuhku. Aku tersungkur di tepi sandaran kursi. Kepalaku membentur sudut kayunya. Darah mengucur dari pelipisku. Pandangan seperti berputar. Aku kehilangan kesadaran dan tidak ingat apa-apa lagi.

Menjelang subuh, aku tersadar saat tendangan sepatu karet tentara Jepang mendarat di punggungku. Mereka menyuruhku bangkit. Masih setengah sadar, kulihat keadaan ruang tengah rumahku berserakan. Rupanya, para tentara itu menggunakan rumahku sebagai tempat menginap. Tanpa ampun mereka mendorong-dorong tubuhku dan menggiringku keluar rumah. Dalam keremangan pagi, semakin sayup kudengar suara istriku menangis tak henti sepeninggalku. Ragaku menjauh dari rumah itu, tapi jiwaku tertinggal di sana. Aku tidak tahu pasti tangan nasib yang akan menjemputku. Sesampai di jalan Burgemeester Coopsweg6, aku dan bala tentara itu bergabung dengan satu peleton pasukan infanteri. Di depan pasukan itu, aku bertemu dengan orang-orang Belanda yang senasib denganku.

Sejak ke luar kompleks perumahan Fokkerhuise, aku bersama para tawanan lain yang berjumlah sekitar duapuluhan berada paling depan. Kami digiring dengan todongan laras senapan pasukan Jepang dan dijadikan tameng keselamatan mereka. Di antara manusia berseragam serdadu itu, terdapat beberapa anak muda Indonesier. Selembar ban putih membalut lengan mereka bertuliskan ‘F’7 di tengah. Salah seorang dari mereka entah kenapa selalu memerhatikanku. Beberapa kali ia tertangkap basah saat lekat memandangku.

Hari beranjak terang. Matahari menyembul dari celah-celah tajuk pohon damar tepi jalan. Tiba-tiba, beberapa serdadu berteriak. Aku tak paham maksudnya. Tapi, seluruh pasukan 6 Jalan Padjadjaran

7 Huruf F adalah singkatan dari Fujiwara, sebuah organisasi orang Indonesia yang

bertugas menjadi penunjuk jalan bagi tentara Jepang.

4 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 5

berdiam diri. Mereka menghadap timur dan membungkukkan badan ke arah matahari yang masih samar. Dalam keheranan, kepalaku terhentak ke depan. Aku memutarkan kepala, seorang serdadu memaksa kami membungkuk.

Setelah berjalan berkilo-kilo meter dicekam ketakutan, tibalah kami di simpang Riau Straat dan Dagoweg8. Di sana, kami berhenti sejenak saat berpapasan dengan iringan tentara Jepang yang mengalir dari arah utara. Betapa aku terhenyak, jumlah pasukan itu luar biasa. Mereka berjalan melewatiku tak putus-putus, bak aliran air sungai di musim penghujan. Pasukan itu berjalan kaki dan mengendarai sepeda. Sepatu mereka terbuat dari karet keras, berlubang pada ujung ibu jari kakinya. Aku dan rekan senasibku seperti tontonan aneh bagi mereka. Iring-iringan pasukan infanteri dan bersepeda disudahi oleh bala tentara kavaleri sederhana. Mereka mengendarai kendaraan berat dan tank baja. Melihat identitasnya, aku yakin, kendaraan itu hasil jarahan dari KNIL. Selanjutnya kami digiring ke gedung Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzern9 di Jalan Merdikaweg10.

Kami dikurung di dalam sebuah ruangan kelas. Semua orang yang menghuni ruang itu adalah laki-laki Belanda sipil, dari anak remaja hingga yang berusia diatas 50-an. Kami hanya saling pandang, dalam ketegangan. Selama penahanan itu, mereka memperlakukan kami sangat kasar. Orang yang hendak ke kamar kecil dikawal ketat seorang serdadu. Kami dibiarkan tanpa makanan ataupun minuman. Beberapa dari kami mengeluh kelaparan. Hari hampir petang, tapi belum secuil pun makanan atau minuman yang masuk ke perut sejak tadi subuh.

Badanku semakin lemas. Aku mencoba pasrah. Untuk menghemat tenaga, sengaja aku berbaring dan tidak banyak bercakap-cakap. Sambil memandangi langit-langit ruang, pikiranku mengembara. Kemarin, seperti baru saja terjadi.

8 Jalan Dago, sekarang Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung.

9 Sekolah guru bagi Kaum Pribumi. Gedung ini sekarang menjadi markas Kapolwiltabes

Bandung.

10 Sekarang Jalan Merdeka, Bandung

Keadaan baik-baik saja. Seorang serdadu Jepang dengan samurai terhunus

menghampiri kami. Ia berteriak menyuruh kami bangkit dan segera keluar dari ruangan tersebut. Dengan bentakan dan todongan laras senjata, aku dan tahanan lainnya berduyun-duyun ke luar ruangan. Kami dipaksa menaiki sebuah kendaraan truk tentara yang terparkir di depan gedung.

Dalam barisan, kami satu per satu menaiki truk itu. Di atas bak truk, seorang tentara Jepang menarik tangan kami satu per satu. Aku berada di ujung barisan. Beberapa langkah di depanku, aku melihat pemuda itu lagi, yang tadi siang selalu lekat memerhatikanku. Aku tidak tahu, apa maksud tatapan pemuda itu. Saat aku akan menuruni undakan tangga lantai, tiba-tiba ia menghampiriku. Sebelum sempat aku berpikir, ia menghajar wajahku tiba-tiba. Aku limbung. Karena badan tak bertenaga, tubuhku langsung tersungkur. Dari atas truk tentara, serdadu Jepang itu berteriak,

”Ada apa?” tanyanya dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Pemuda itu menjawab, “Dia ingin kabur! Aku baru saja menghajarnya.”

Mendengar jawaban pemuda tersebut, serdadu itu menyeringai puas. Ia kembali sibuk menaikkan para tawanan. Aku masih terkapar. Darah mengucur deras dari lubang hidungku. Tanganku menyekanya.

“Aku akan memberinya pelajaran!” teriak pemuda itu lagi sambil menoleh kepada serdadu Jepang yang berdiri di atas truk. Ia menyambar kerah bajuku, lalu menyeretku menjauhi tempat itu. Aku ditarik ke bagian samping gedung. Tempat itu luput dari pengawasan serdadu Jepang.

Tanpa kuduga, pemuda berwajah penuh amarah itu berjongkok.

“Meneer11, masih ingatkah pada saya?” bisik pemuda itu. Pandangan siaganya berkeliling. Kali ini, entah kenapa wajahnya

11 Tuan.

6 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 7

mendadak mencair. Senyumnya tampak bersahabat.Aku menggeleng. Aku amati wajah pemuda itu, tetap tak

ingat apapun kecuali kejadian tadi pagi. Rasa takut masih mencengkeramku.

“Aku adalah orang yang tempo hari Meneer tolong. Waktu aku kelelahan berjalan menanggung dua karung kopi, mobil Meneer melintas dan Meneer menawariku menaiki mobil. Itulah sekali dalam hidupku aku merasakan naik kendaraan modern. Terima kasih, Meneer.”

Mendengar uraiannya, legalah hatiku. Aku baru ingat kejadian itu. Kurang lebih dua bulan yang lalu, aku pulang dari perjalanan dinas mengunjungi daerah Bandung selatan untuk pembangunan perumahan rakyat. Saat melewati Alun-alun Masjid Agung, aku berpapasan dengan pemuda tersebut. Aku tidak tega saat membiarkan seorang pribumi yang memikul dua buah karung besar penuh berisi kopi dalam kelelahan. Saat itu siang hari, matahari terik bersinar. Ia pasti sudah berjalan berkilo-kilo meter. Keringatnya bercucuran di wajah. Langsung saja aku hentikan mobil dan menawarinya tumpangan. Ia sempat ragu dan tidak percaya diri. Namun setelah kupaksa, akhirnya ia menaiki kendaraanku. Sepanjang perjalanan, aku bercerita banyak kepadanya. Akan tetapi, ia hanya mendengarkan saja ceritaku. Seingatku, ia adalah pemuda yang ramah dan sopan, layaknya pribumi pada umumnya.

“Sekarang,” bisik pemuda itu lagi, “mumpung serdadu itu lengah, Meneer lari ke arah belakang bangunan ini. Rutenya memutar agar tidak melewati pos jaga. Aku yakin, serdadu itu tak akan merasa kehilangan Meneer. Ia tidak akan hafal wajah tawanan satu per satu. Dari belakang gedung ini, berjalanlah ke arah tenggara dan tunggulah beberapa saat di tepi rel kereta, nanti aku susul! Aku yakin daerah itu aman dari pengamatan serdadu Jepang kecuali di stasiun keretanya.” Terang pemuda itu hati-hati dengan pandangan waspada.

”Bagaimana dengan nasib tawanan yang lain?” Tanyaku.

”Meneer tak bisa berbuat banyak. Kalau Meneer tidak

melarikan diri sekarang,” sambungnya lagi sambil tangannya membenarkan letak senjata yang terselempang di bahunya, “Meneer akan menjadi interniran12 di Penjara Sukamiskin bersama orang Belanda lainnya.” ucapnya penuh siaga.

Aku mengangguk, lalu menuruti perintahnya. Aku berjalan diam-diam, gesit menyelinap menempel pada dinding. Sesampai di belakang bangunan itu, aku berlari sekuat mungkin, dengan segenap tenaga yang tersisa. Setelah sampai di tepi rel baja panjang tak bertepi itu, aku menunggu resah. Terbersit di benakku, aku bisa saja dijebak oleh pemuda itu. Siapa yang bisa menjamin mana kawan dan lawan dalam keadaan kacau balau seperti ini? Aku menunggu dalam ketegangan. Sampai kemudian, pemuda itu menepati janjinya. Hatiku lega. Ia datang menunggangi kuda dan mengantarkanku hingga di depan rumahku, Kompleks Perumahan Fokkerhuise13. Ia berbalik lagi setelah menganggukkan kepala.

Begitulah kisah terusirnya aku dari surgaku, Bandoeng, Netherlandsch Indie, setelah hidup tenang dan damai selama 9 tahun. Saat ini, aku berada di atas kapal yang berangkat dari Batavia menuju benua persembunyian, Australia. Aku menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Netherlands.

Sebelumnya, berjam-jam aku menaiki kereta barang secara sembunyi-sembunyi untuk sampai ke Batavia. Di kapal ini, aku bertemu dengan beberapa orang yang senasib, melarikan diri dari kematian yang menjemput. Aku meninggalkan negeri hangat ini karena tak ada janji akan kehidupan masa depan, saat mendapati rumahku dengan pintu terbuka lebar. Aku hanya mendapati buah hatiku, Herman Janssen. Di undakan rumah, ia duduk bersimpuh dalam kekagetan, memandang hampa sambil terisak pedih. Di sana-sini, kulihat perabotan berantakan berhamburan di teras rumah dan halaman. Tak ada barang berharga yang tersisa. Aku tak menemukan jejak istri tercintaku, ’kembang sepatuku’ yang sangat aku cintai sepenuh hati.

12 Orang yang mendekam di penjara karena urusan politik

13 Fokkerhuis adalah julukan salah satu daerah di Bandung bagian barat sekitar Andir

pada awal abad 20.

8 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 9

Di sini, aku melihat wajah damai anakku yang tertidur kelelahan di pangkuanku. Ia menanggung kenyataan pahit yang seharusnya tidak dialami oleh anak seusianya. Ia baru berumur 5 tahun. Ia tak berdosa, tak seharusnya mengalami getir kehidupan akibat perang ini. Hatiku remuk redam mengingat kejadian yang baru saja kualami. Betapa perang selalu menjadi hantu bengis, yang selalu menebarkan perangai kejamnya tak pandang siapa.

Saat ini aku teringat. Baru beberapa hari yang lalu, aku, istri, dan anakku berjalan-jalan ke daerah Ciumbuleuit, Bandung utara. Sawah-sawah di sana baru beberapa minggu ditanami padi. Pribumi bilang, ‘tandur’ di sawah. Warna hijau daun padi menyejukkan mata. Air bening dari pancuran sungainya menjelajahi setiap jengkal tanah dan menggenangi lumpur di dalam petakannya. Perlahan, air mengalir melalui selubung-selubung bambu, menuju petak-petak sawah di lereng bawah. Suaranya gemericik merdu merasuk ke jiwa. Pohon-pohon kelapa menjulang. Pelepahnya gemulai mengiringi belaian angin lembut. Pohon-pohon pisang bergerombol di tepian pematang. Beberapa orang pribumi dengan topi caping merunduk menyiangi gulma. Lumpur mengubur setengah betis-betis mereka. Di hamparan tanah lapangnya yang hijau, beberapa ekor kerbau merundukkan kepala, menikmati suguhan alam nan asri. Helaian demi helaian rumput hijau nan segar bercampur beningnya embun. Seorang bocah duduk di salah satu punggung gembalaannya, meniup seruling bambu. Melantunkan irama alam nan merdu.

Kami duduk di atas hamparan tikar. Meresapi kemolekan alam Priangan, sebuah kota kecil pegunungan yang sejuk, di Netherlandsch Indie. Penghuni negerinya ramah lagi sopan. Alamnya subur permai tiada banding. Hawanya hangat, bergelimang sinar mentari sepanjang tahun. Dan, itulah waktu aku terbangun dari buaian tangan kehidupan tenang nan damai. Tak kusangka, ternyata itu adalah terakhir kalinya aku menghirup bumi surga tropis itu. Saat ini, kulihat pohon nyiur di tepi pantai Batavia itu merunduk membisu. Daunnya melambai membisikkan kata perpisahan. Hatiku pilu meninggalkan surga

tropisku. Aku tak rela penduduk yang ramah dan baik hati itu diperlakukan semena-mena. Selamat tinggal Netherlandsch Indie!

lll

Largo

The Netherlands, penghujung tahun 1998

Berkat iklim subtropis lautnya, cuaca musim dingin terasa lembut di kota Haarlem. Ibu kota provinsi Noord Holland ini terletak di sebelah barat kota Amsterdam. Masih tampak sejauh mata memandang, onggokan salju menutupi ranting pepohonan, pagar, atap rumah, dan hamparan tanah. Angin utara dari Noord Zee14 menyeruak membawa serpihan salju ke arah daratan. Hari sudah menjelang siang, tetapi matahari masih samar terlihat di arah tenggara. Di dalam sebuah rumah, seorang gadis, Renee van Fokkerhuise, berdiri di balik kaca jendela ruang tengah. Seutas syal katun terlingkar di lehernya. Matanya memandang jauh ke arah timur.

“Keras kepala!” bentak Herman Janssen, seorang lelaki berusia 60-an. Ia duduk menghadap perapian. Sikapnya marah dengan ungkapan keras hati putri semata wayangnya, Renee. Di depannya, segelas kopi panas dengan cerutu yang masih menyala di atas asbak tergeletak di atas meja kayu. Di atas cawan, terhidang dua kerat Krentenbroodjes15. Tatapannya lekat

14 North Sea, Laut Utara

15 Semacam roti kismis

10 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 11

pada surat kabar ’De Telegraaf’ yang terbentang di antara kedua tangannya.

“Papie, Ik16 hanya ingin menemukan keindahan yang sering dikatakan Opa!”

“Jij17 bilang keindahan? Dari mana? Sudahlah... Jij jangan mengungkit-ungkit nama itu lagi. Itu adalah kesalahan sejarah. Seharusnya nenek moyang kita tidak melakukannya. Karena kesalahan merekalah, kita dicap sebagai bangsa penjajah selamanya, tercatat di dalam buku-buku sejarah mereka!”

Renee menunduk. Air matanya jatuh menggenang pada lensa kacamatanya. Ia mencoba meraih kata-kata.

“Papie, Ik ingin melanjutkan studi di sana! Mencari pengalaman baru. Mencoba belajar bagaimana hidup di negara tropis dan mempelajari kebudayaan masyarakat di sana.” ujarnya. Suaranya bergetar sarat emosi.

“Ja18, Papie hargai keinginan luhurmu. Tapi konsekuensi pilihanmu sangat berat. Kau lihat bagaimana penderitaan Opamu? Hanya Jij satu-satunya orang yang bisa melipur laranya.”

“Nee, Papie, Ik tak akan melupakan Opa. Ik akan secara teratur pulang ke sini kalau sedang liburan.” Kilahnya, mengalihkan tatapan ke arahnya. “Lagipula, Ik merasa menjadi pertalian dua bangsa. Bukankah Oma adalah orang Indonesia? Jadi tidak salah kalau Ik ingin sekali tinggal di sana?”

“Keadaan sudah berbeda. Semua sudah berakhir! Papie takkan mengizinkanmu ke sana, sampai kapan pun!” semprotnya, berganti pandangan sekilas kepada putrinya. Kemudian, ia kembali lagi pada lembaran kertas yang memuat kolom-kolom tulisan.

“Tidak! Indonesia adalah negeriku, rumahku! Indonesia is het paradijs der aardsche schoonen!19” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

16 Saya

17 Kamu

18 Ya

19 Indonesia adalah surga permai di atas dunia.

Mendengar kata itu diucapkan, kedua tangan Herman Janssen kaku. Koran yang sedang dibacanya terjatuh perlahan ke atas lantai parket kayu. Itulah ungkapan yang sering dilontarkan oleh orang-orang Belanda dahulu yang pernah mencicipi sekeping surga tropis, Netherlandch Indie. Ia teringat akan negeri yang hangat dan ramah saat masa kecilnya. Ia terkenang kembali kampung halaman masa kecilnya, Bandung, alam priangan, yang kerap dijuluki oleh bangsa Belanda sebagai sebuah Paradisj op Aarde. Ia terjerap kerinduan yang mendalam akan tanah kelahirannya, alam masa kecilnya dahulu.

Masa kecil yang indah. Sebuah kehidupan yang sempurna sebagai anak kecil dari keturunan Eropa yang mempunyai kedudukan terhormat di tanah koloni. Lalu sekonyong-konyong, surga itu tercabik dan terbakar. Takdir telah membalikkan tangannya. Kehidupan yang nyaris sempurna itu berakhir dengan kesengsaraan ayahnya yang nyaris menjadi interniran kamp Jepang. Lalu berakhir saat terusir dari tanah koloni di pertengahan tahun 1942. Masa-masa itu menjadi saat kelam dan getir, yang meluluhlantakkan kesejukan surganya, Bandung, Indische kolonial staad di Netherlandsch Indie20. Sehingga menjadi neraka bagi keluarga dan bangsanya. Kebahagiaan keluarganya hancur berserakan. Bahkan, ia sendiri belum puas mendapat belaian kasih sayang seorang ibu yang penuh cinta ketika peristiwa itu menebarkan wajah bengisnya. Luka itu menjadi sebuah trauma masa kecil yang akan selalu menganga dalam benaknya.

Pandangannya berganti ke arah foto hitam putih seukuran A2 tergantung kaku di dinding, yang bertutur tentang kisah seorang balita tengah tersenyum, duduk di atas pangkuan wanita Indonesia yang mengenakan baju kebaya. Di sampingnya, berdiri pria Belanda gagah mengenakan jas hitam berdasi kupu-kupu dengan kacamata berbingkai bulat. Di belakangnya, tampak rindang pohon ki hujan beserta air mancur menaungi taman Insulinde park21. Pelupuk matanya berkaca-kaca. Tatapannya 20 Indonesia

21 Insulinde Park (Taman Nusantara), sekarang bernama Taman Lalu Lintas Ade Irma

Suryani, Bandung.

12 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 13

menerawang jauh. Benaknya melintasi puluhan tahun masa silam, terbang beribu-ribu mil ke negeri timur. Negeri tropis nan hangat itu samar ia ingat. Saat peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang, ia masih berusia 5 tahun.

“Ik berhak menikmati keindahan negeri itu, kehangatan, dan keramahtamahan penghuninya. Darahku sebagian berasal dari sana. Ik ingin mencari keluarga Oma.” ucap Renee.

Di saat yang sama, Mamie Renee turun dari tangga tergesa-gesa. Ia menghampiri Papie dan menyela perbincangan. Dengan wajah tegang, ia menarik kursi dan mendudukinya. Pandangan khawatirnya berganti antara Papie dengan Renee.

“Asma Opamu kambuh lagi, tolong belikan bronkodilator!” ucap Mamie dalam kalut. Mendengar hal itu, Renee sigap. Ia langsung menghampiri Mamie dan menerima uang yang disodorkannya. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju pintu dan keluar. Melewati beranda rumah, tangannya meraih setang sepeda yang tersandar di dinding lantas menaikinya.

Selepas Renee pergi, Herman tertegun. Sekonyong-konyong, ungkapan keras hati dari anaknya itu menohok hatinya. Ia sadar, keinginannya itu begitu kuat, bahkan dirinya pun ingin sekali seperti itu jika saja ia sanggup memungkiri realitas.

lll

Renee mengayuh sepeda kuat-kuat melewati jalur paving block berlapis salju tipis. Ia harus segera tiba di rumah supaya obat yang saat ini ada di tangannya segera digunakan. Pikirannya tercekam ketakutan hal yang tak diinginkan terjadi pada Opa kesayangannya.

Di sisi kiri dan kanan jalur sepeda terdapat beberapa kursi kayu membisu. Burung-burung yang sedang hinggap di tepi jalan terkaget terbang saat sepeda melintas. Di sekitar kelokan, sebatang kayu melintang di atas jalan. Tak sadar akan hal itu,

ia tetap melajukan sepedanya kencang. Tak pelak lagi, saat roda depan melindasnya, sepeda oleng ke kiri. Ia berteriak kaget. Sepeda menggelosor. Badannya terhempas dan membumi pada tepi jalur sepeda. Kepalanya nyaris membentur tabung besi fire hydrant pada tepi jalan.

Segera saja tangannya menyasari tanah, mencari kacamatanya yang terpelanting di sekitar tempat itu.

Pada saat bersamaan, seorang gadis yang mengenakan celana jeans biru tua menghampiri dan berjongkok di depannya. Tangannya menyodorkan bingkai berlensa yang sedang dicari Renee. Bibirnya mengulum senyum, sembari mengulurkan tangan untuk membantu Renee bangkit. Tampak dari wajahnya, usianya tak akan beda jauh dengan Renee.

“Kau tidak apa-apa?” tanya gadis itu. Tak sengaja ia berbicara dalam bahasa Indonesia. Tak lama, ia sadar bahwa dirinya tidak sedang berada di negaranya, “Are you ok?” ralatnya.

Renee mengangguk pelan sembari membersihkan mantel merahnya dari serpihan salju.

“Dank u wel22,” ucap Renee sembari berusaha bangkit. Ia mengamati setang sepeda, memastikan bahwa obat yang baru saja ia beli masih berada di tempatnya.

“Graag gedaan23,” balas gadis itu.“I am Renee,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Bibirnya

mekar tersenyum. “Serenada. Panggil aku ’Nada’.” Jawab gadis itu sembari

menerima uluran tangan Renee.“Apakah kamu dari Indonesia?” tanya Renee dengan

pandangan menyelidik.Nada mengangguk. Ia terheran.”Dari mana kau tahu?””Baru saja kau berbicara Bahasa Indonesia.” Jawab Renee.”Oh..Rupanya kau mengerti.” ucap gadis itu. Keheranannya

mencair, ”ya, benar. Aku dari Indonesia. Jakarta, tepatnya.” ucapnya sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke 22 Terima kasih

23 Terima kasih kembali

14 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 15

dalam saku mantel menghalau dingin cuaca.“Sungguh?” tanya Renee memastikan.Nada mengangguk. “Memangnya kenapa?” tanyanya heran melihat Renee yang

tampak bersemangat mendengar kata ’Indonesia’.“Kalau boleh tahu, sampai kapan kau berada di sini?” “Tidak lama. Besok aku akan kembali ke Indonesia.”“Sayang sekali. Sebenarnya aku ingin berbincang banyak

hal denganmu mengenai Indonesia. Akan tetapi, aku harus segera sampai di rumah. Aku sedang terburu-buru. Maukah kau menyempatkan waktu untuk bertemu denganku sebelum berangkat?”

Serenada tertegun, “Untuk apa?” tanyanya heran. “Ayolah, kumohon!”“Baiklah,” ucap Serenada mengabulkan.”Dimana kita bertemu?”“Bagaimana kalau di bandara?”“Jam berapa?”“Pesawatku berangkat pukul 11.20. Aku tunggu kau di

lounge 2.”“I can make it. Aku akan menyusulmu.”Renee langsung menghampiri sepedanya yang tergeletak,

lalu menaikinya kembali. Ia berlalu dengan meninggalkan senyuman hangat.

Sepeninggal Renee, tatapan Nada masih lekat pada punggungnya yang menjauh. Ada yang menarik dari gadis bersepeda itu. Sorot mata birunya bening dan bersahabat. Ia langsung terpikat kepadanya. Ada sesuatu yang istimewa mengenai dirinya.

lll

Di Belanda, Serenada tinggal di salah satu penginapan sederhana di Gemeente Amstelveen, sebuah kota di selatan Amsterdam. Kota ini bisa dicapai dalam waktu kurang lebih

10–15 menit dari Amsterdam dengan menumpang trem. Sengaja ia memilih tempat tersebut agar tidak terlalu jauh dari Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam.

Sudah tiga hari ia berada di Negeri Bunga Tulip itu. Seperti rencananya, hari ini ia akan kembali ke negaranya, Indonesia. Keluar dari penginapannya yang terletak di salah satu ruas jalan Rembrandtweg, ia berjalan ke arah bangunan pertokoan di seberang jalan, lalu memasuki sebuah toko roti ‘Banketbakkerij J. Koolhaas’ untuk sarapan pagi. Meskipun pertokoan, bangunan itu dirancang dengan apik. Di puncak atapnya, menyembul cerobong asap, layaknya rumah-rumah di negara subtropik.

Baru saja kakinya memasuki mulut pintu toko, seorang pelayan menghampiri dan menyapanya dengan ramah dalam bahasa Inggris yang fasih. Orang Belanda umumnya menguasai minimal satu bahasa asing, terutama Inggris disamping bahasa ibunya, Belanda. Ia pergi mengambilkan pesanan Serenada. Tak sampai hitungan menit, ia kembali sembari menyodorkan sebungkus croissants pesanannya. Setelah membayar, Serenada berjalan keluar toko itu menuju tempat pemberhentian bis tujuan Schiphol. Beberapa orang sudah berdiri di halte itu menunggu bis yang biasanya lewat setiap 15 menit sekali menuju bandara.

Tak sampai lima menit, sebuah bis warna merah menepi. Beberapa orang memasukinya dengan tertib. Serenada mendapat tempat duduk di belakang pengemudi. Di dalam bis, seorang pemuda berambut panjang mengamatinya dengan wajah menantang. Anting melingkar pada hidungnya. Serenada menangkap basah saat tatap mata pemuda itu lekat padanya. Meski risih, ia berusaha bersikap wajar.

Bis melaju kencang di jalan beraspal mulus, melewati lahan yang ditumbuhi pepohonan rindang di sisi kiri dan kanannya. Kurang lebih 15 menit, bis sudah mencapai kompleks bandara, lalu menepi di halte depan Plaza Bandara Schiphol. Serenada lekas-lekas bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Pemuda itu membuntuti tak ingin tertinggal. Tubuh jangkungnya menerabas beberapa penumpang yang berdiri menuju pintu

16 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 17

keluar. Saat Serenada baru saja akan mengeluarkan kaki kirinya dari pintu kendaraan, tubuh pemuda itu memaksa keluar lebih dulu. Pada saat yang sama, lengannya menyikut badan Serenada agar mengalah. Tubuh Nada oleng. Hampir saja terjatuh jika saja ia tidak segera meloncat keluar. Pemuda itu hanya menoleh dan mengucapkan ‘Het Spijt me!’24 dan berlari membaur ke tengah kerumunan.

Serenada meneguhkan badan, geleng-geleng kepala. Tak mau ambil pusing, ia lantas berjalan ke dalam Plaza Schiphol menuju tangga ruang pemberangkatan. Sesampainya ia di depan pintu check in di gerbang keberangkatan E, salah seorang dalam barisan polisi militer Belanda (Koninklijke Marechaussee) menanyakan paspornya untuk diperiksa.

Serenada masih ingat, terakhir kali sehabis membeli roti untuk sarapan, ia menyimpan dompetnya di dalam tas tersebut. Saat merogoh tas tangannya, ia heran. Ada kejanggalan dengan tas itu. Sebelum ia membukanya, risleting dalam keadaan sudah tak terkunci. Lalu, setelah berulang kali menyasarinya, ia tak menemukan benda itu di dalamnya meskipun sudah memeriksanya lebih teliti. Benda yang berisi paspor dan dokumen berharga lainnya tak ditemukan. Lagi, tangannya mengaduk-aduk seluruh isi tas. Tetap saja, ia tak menemukan barang tersebut. Petugas itu semakin tak sabar. Di belakangnya, beberapa calon penumpang berdiri dalam antrian kecil.

“Silakan Anda cari dulu lebih teliti!” kata petugas dingin. Ia mempersilakan orang berikutnya di belakang Nada.

Nada berlalu dari petugas itu. Duduk di atas kursi, penasaran, ia tumpahkan seluruh isi tas ke atas pangkuan. Nihil, tetap saja ia tak menemukan dompet itu. Tiba-tiba, ia teringat kepada pemuda bertingkah aneh sewaktu di bis. Mungkinkah benda itu dicurinya sewaktu bertubrukan? Rasa was-was mulai merasukinya. Kalau benar barang berharga itu hilang, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Nada terpaku diam, bagaimana

24 Maafkan saya

bisa ia kembali ke Indonesia tanpa dokumen itu. Bahkan, ia tak punya uang tunai dalam jumlah memadai. Kartu ATM, cek perjalanan, dan identitas pribadi dalam dompet itu, semuanya raib. Beruntung, tiket pesawat, bekal perjalanannya pulang ke Indonesia selamat karena tidak ia simpan di dalam dompet.

Kecemasan mulai menghimpitnya. Ia berada di negeri asing tanpa dokumen resmi, uang, maupun sanak famili. KBRI berada di Den Haag. Paling tidak, ia harus mengunjungi Konsulat Indonesia di Amsterdam. Untuk sampai di sana, ia punya cukup uang sisa ongkos tadi. Akan tetapi, bagaimana dengan pengurusan paspor yang hilang? Bukankah itu memakan biaya? Tiket pesawat yang tersisa di tangannya kini nyaris tidak akan membantu. Setengah jam lagi pesawat akan berangkat. Bisakah ia mengurusi seluruh dokumen hilang dalam waktu 30 menit? Sangat mustahil. Otomatis, tiket ini akan hangus dan tak ada yang tersisa baginya selain ketidakpastian. Lalu, dari mana ia harus mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat pengganti?

Pikirannya berkecamuk ketika dua orang berseragam kepolisian Belanda - Koninklijke Marechaussee , menghampirinya. Beberapa waktu terjadi perbincangan di antara mereka bertiga. Dua petugas itu meminta Nada untuk tinggal sementara di ruang imigrasi bandara untuk pemeriksaan lebih lanjut, sementara ia belum bisa membuktikan identitas pribadinya.

Terpaksa atau sukarela, Nada harus menuruti permintaan dua orang petugas itu. Tak ada pilihan lain yang tersisa baginya. Ia harus rela rencana kepulangannya ke Indonesia tertunda. Berjalan lesu, ia diapit dua petugas dengan menanggung malu dari tatapan mata curiga setiap orang yang melewatinya. Ia merasa seolah menjadi penyelundup yang tertangkap basah di negeri asing.

lll

Usai membayar ongkos, Renee setengah berlari keluar dari taksinya. Ia langsung memasuki Plaza Schiphol menuju ruang

18 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 19

keberangkatan 2. Sembari melangkahkan kaki, ia mengitarkan pandangan sekelilingnya. Di depan Kafe Het Paleis, langkahnya terhenti. Ia celingukan mencari meja informasi. Tak jauh dari tempat itu, ia tersenyum saat melihat tempat yang dicarinya. Langsung saja ia menghambur ke arah meja tersebut. Di seberangnya, ia terhenti beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Setelah menghimpun oksigen di rongga dada, kakinya melangkah menghampiri meja itu. Ia menanyakan ruang tunggu keberangkatan gerbang E.

Sekarang, ia sudah berada di lounge 2, seperti tempat yang dijanjikan Nada. Dengan napas tersengal, ia pandangi beberapa orang yang berada di sana. Namun, ia tak melihat Nada di tempat itu. Pikirannya kalut. Lalu mengamati papan informasi boarding ke Indonesia. Sudah tutup. Gawat! Renee gusar. Mungkinkah pesawat sudah berangkat? Ia berjalan menghampiri seorang petugas bandara yang berdiri di samping pintu.

“Maaf, keberangkatan pesawat menuju Indonesia melalui gerbang ini?” tanyanya di sela-sela tarikan napas.

“Berapa nomor penerbangannya?”

Renee mengeluarkan secarik kertas dari saku mantelnya dan membentangkannya.

“KLM 0808.”

Petugas itu mengangguk.

“Tapi pesawat yang Anda maksud sudah berangkat lima menit yang lalu!” ucapnya dingin.

“Sudah berangkat?” gumamnya kaget.

Renee mengitarkan pandangan. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 11.35. Lemaslah ia. Usahanya bertemu dengan Nada sia-sia.

Renee pamit usai berterima kasih kepada petugas itu. Ia terhuyung, membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada kedua lutut sambil mengatur napas. Ia mencoba melepaskan keletihan satu per satu, menarik napas dalam-dalam. Kain syal

katunnya menjuntai lemas di lehernya. Ia menegakkan badan dan berbalik menyeret langkah, menjauh.

Ia menyesali tindakan konyolnya. Kenapa ia ingin mencari seorang ‘Serenada’ di antara ribuan penumpang di bandara sebesar itu. Seandainya waktu itu ia tidak langsung pergi, berbincang dahulu, sekarang ia pasti sudah menjadi teman. Paling tidak, ia bisa tahu alamatnya untuk berhubungan.

Rasa haus mencekik kerongkongannya. Ia bergegas menuju vending machine atau automatik minuman, memasukkan beberapa koin ke dalamnya, dan mengambil sekaleng minuman coke.

Saat wajahnya menengadah, tatapannya tertumbuk pada dua orang petugas yang mengapit seorang gadis di kejauhan. Tangan Renee membekap mulutnya sendiri. Hampir saja ia meloncat girang. Namun, ia masih belum yakin dengan pandangannya. Benarkah gadis yang diapit petugas itu adalah Nada, orang yang sedang dicarinya? Bukankah pesawatnya sudah berangkat? Penasaran, ia menyeruak mendekat.

Setelah dekat, ia yakin bahwa gadis itu adalah orang yang bertemu dengannya tempo hari. Tidak salah lagi. Dia Nada!

“Nada?” teriak Renee dari arah samping.Nada menolehkan kepala, “Renee?”Dua gadis itu saling berpandangan beberapa saat.“Tuan, bolehkan saya berbicara dengan gadis ini?” pinta

Renee dalam bahasa Belanda.Kedua petugas itu mengalihkan pandangan kepada Renee. “Mijn, excuse, dame25. Anda siapa?” tanya salah satu petugas

berseragam biru tua itu bertolak pinggang.“Saya sahabatnya,” ucap Renee. “Bolehkah saya berbicara

sebentar dengannya?” ucapnya memohon kepada petugas itu, mengulangi permintaannya.

Dua orang petugas itu saling bertukar pandang. Lalu, salah seorang darinya mengangguk.

“Silakan!” jawab petugas itu singkat.

25 Mohon maaf, Nona.

20 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 21

Sepeninggal dua petugas itu, Renee mengalihkan pandangan kepada Nada dan mendekatinya.

“Apa yang terjadi?”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja pasporku raib. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa pulang.” Ucap Nada kalut.

“Jadi kamu tidak kembali ke Indonesia sekarang?”

“Bagaimana bisa?” Tanya Nada. Matanya berkaca-kaca. “Aku baru bisa kembali setelah identitasku jelas.”

“Kau sudah menghubungi kedutaan besar negaramu?”

Nada menggeleng, “Justru itulah harapanku satu-satunya. Tapi, mengajukan paspor baru atau setidaknya SPLP26 membutuhkan uang!” ujarnya kalut. Pipinya berurai air mata. “Aku tidak punya uang untuk itu karena cek perjalananku juga hilang. Sialnya, aku kehilangan nota pembeliannya juga.”

“Sekarang, ikutlah ke rumahku. Nanti kita bicarakan setelah sampai di sana.”

Nada menggeleng, “Tidak akan bisa. Aku harus tinggal di sini untuk menjalani pemeriksaan. Lagipula, aku sangsi mereka mengijinkanku bepergian tanpa paspor dan visa.”

Dua orang itu termenung sebentar, memikirkan jalan keluar. Nada tertunduk.

“Begini saja,” ucap Renee memecah hening. “Aku yang akan pergi ke KBRI di Den Haag. Jika dirasa cukup, aku akan ke Konsulat di kota ini. Sementara kau di sini.”

Nada mengangkat wajah. Kini sorot matanya menyala.

“Benarkah?”

Renee mengangguk, tersenyum.

“Lalu bagaimana dengan semua biayanya?”

“Kau tidak usah khawatir.”

“Jangan! Aku tidak mau merepotkanmu!” Potong Nada.

“Kau ingin pulang, kan?”

26 Surat Perjalanan Laksana Paspor, sebagai pengganti paspor yang hilang.

Nada terdiam. Ia memang tidak punya pilihan lain.

“Terima kasih atas kebaikanmu.” Ucap Nada di tengah isakan harunya. “Aku berhutang kebaikan yang sangat besar kepadamu. Sampai kapan pun, aku takkan melupakan kejadian ini.” Kedua tangannya meraih tubuh Renee, lalu mendekapnya erat-erat.

“Don’t mention it!” Timpal Renee dalam pelukan, “lagipula aku merasa beruntung, karena masih bisa bertemu denganmu lagi. Tadinya aku pikir kau sudah berangkat.”

Dua orang itu saling melepaskan rangkulan. Renee bangkit dan menatapnya sebelum pergi.

“Aku berjanji semuanya akan beres. Setelah itu, aku akan mengajakmu ke rumahku.”

Nada membalasnya dengan anggukan.Setelah berpamitan kepada kedua petugas itu, Renee pergi

meninggalkan tempat tersebut.

lll

Haarlem, Noord Holland

Rumah Renee terletak di pinggiran kota Haarlem. Letaknya berhadapan muka dengan Sungai Het Spaarne yang membentang dari selatan ke arah utara, menghubungkan Ringvaart di bagian selatan dengan salah satu sisi Kanal Laut Utara.

Pagi itu, sekumpulan orang bersuka ria berselancar es di atas air sungai Het Spaarne yang membeku. Pepohonan willow yang tumbuh di tanggul sungai hanya menyisakan cabang dan ranting yang telanjang, menjulur-julur menyebar dari batang utama. Temaram cahaya lembut matahari di belahan langit selatan mengenai sekumpulan orang dan pepohonan, membentuk bayangan panjang pada permukaan bumi. Di seberang sungai, rumah-rumah berjajar rapi. Tepat di depannya, kincir air ‘De Eenhoorne’ setinggi 15 meter yang sudah berusia ratusan tahun berputar pelan dengan anggunnya. Bayangannya yang kecokelatan terpantul pada permukaan sungai yang berkilauan, menjadi alas

22 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 23

ramainya peselancar es yang hilir mudik di atasnya.Suara riang tawa anak-anak yang sedang berselancar

dipandu oleh orang tuanya menggema dari arah sungai itu. Suhu udara yang mendekati 0 derajat celcius tidak menghalangi mereka bersuka ria.

“Air sungai sedang membeku.” Ucap Renee sambil menghampiri Nada yang sedang asyik menyaksikan pemandangan sungai dari balkon rumah. Mendengar itu, Nada berbalik muka dan tersenyum.

“Di Indonesia aku tidak pernah menyaksikan pemandangan indah seperti ini.”

“Memang. Yang kudengar, salju hanya terdapat di Pulau Papua, itu juga di puncak gunungnya saja.” Timpal Renee sembari memberikan secangkir coklat hangat kepada Nada.

“By the way, bagaimana ceritamu sampai di sini?” Tanya Renee lagi.

“Ceritanya panjang. Aku habis menonton konser RCO27.”

“That’s it?” tanya Renee menyangsikan, “hanya untuk itu kamu datang ke sini?”

Nada mengangguk. Bibirnya mengembang senyum.

“Sejak umur sembilan tahun aku belajar biola. Waktu itu, aku ingin menjadi violinist termasyhur. Saat melihat tayangan konser RCO dari Concertgebouw28 di televisi tahun 1988, aku mulai bermimpi untuk menontonnya, langsung dari sini, Amsterdam. Aku terkagum dengan keindahannya. Bertahun-tahun aku menabung untuk mewujudkan impian ini.”

Renee mengangguk-angguk menyimak pemaparan Nada.

“Oh iya, ini tiket pesawatmu ke Indonesia, berangkat pukul 12 siang. Transit sekali di Kuala Lumpur.” Ucap Renee sembari menyodorkan selembar tiket pesawat.

27 Royal Concertgebouw Orchestra of Amsterdam (Koninklijk Concertgebouworkest)

kelompok orkestra Belanda yang mempunyai reputasi internasional.

28 Concertgebouw atau Concert Hall Amsterdam, gedung konser di Amsterdam, tempat

RCO sering mengadakan konser secara berkala.

“Terima kasih banyak,” ucap Nada, “aku minta nomor rekeningmu untuk mengganti semuanya!”

Renee geleng-geleng kepala. “Sudahlah, tak ada yang perlu kau ganti. Aku senang bisa membantumu.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Aku benar-benar merasa berhutang budi kepadamu. Aku takkan pernah melupakan kejadian ini.” ucap Nada sungguh-sungguh, ”oh ya, aku tidak habis pikir, siapa orang yang berbaik hati mengantarkan pasporku ke KBRI, ya? Aku lupa menanyakannya.”

“Menurut petugas kedutaan yang aku tanyai, seorang polisi menerima dompet itu dari seorang wanita yang menemukannya di stasiun kereta bandara. Saat polisi tersebut mengeceknya, ternyata itu adalah paspor warga negara Indonesia. Jadi, dia langsung mengantarkannya ke KBRI.”

Nada mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku berhutang budi kepadamu dan polisi itu.”

Dua gadis itu tertawa renyah. Pandangan mereka kembali ke arah sungai.

“Nah, sekarang semua urusan sudah beres. Seperti janjiku, aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota Amsterdam. Anggap saja ini hari terakhirmu berada di Negeri Kincir Angin ini.”

lll

Dam di atas Sungai Amstel

Setelah sekitar 20 menit perjalanan kereta, Renee dan Nada sampai di Ibukota Negara Belanda, Amsterdam. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri kanal Amsterdam. Mencoba melepas lelah seusai berkeliling di kota sarat sejarah, dua gadis itu berjalan ke arah Monumen

24 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 25

Nasional. Mereka duduk-duduk di atas undakan tangganya usai membersihkannya dari serpihan salju yang berserak. Tepat di depan mereka, berdiri menjulang Istana Kerajaan yang berusia lebih dari tiga abad, sebuah saksi bisu era kegemilangan ‘Golden Age’. Melintasi masa-masa suram yang pernah dilalui sebuah bangsa penakluk alam pada masa keganasan Perang Dunia II. Berlatar belakang Gedung Magna Plaza yang berwarna-warni, bangunan berarsitektur empire style ini menjadi bukti perjuangan sebuah bangsa untuk memerdekakan diri dari penjajahan Perancis.

“Pada abad ke-13, orang Belanda membendung Sungai Amstel dengan puluhan ribu balok kayu. Dengan tumpukan kayu itu, mereka membangun sebuah bendungan (dam). Selama ratusan tahun setelah itu, kayu tersebut berubah menjadi tanah yang selalu lembab. Lalu, di atasnya dibangunlah Istana Kerajaan ini dan alun-alunnya. Dari sanalah awal nama ‘Amsterdam’ muncul,” ucap Renee menunjuk pada Alun-alun Dam (Dam Square). ”Itulah kenapa istana ini dijuluki pula dengan nama Dam Palace.”

“Dan yang ini,” sambung Renee menunjuk kepada Monumen Nasional, tugu yang mengerucut semakin ke atas, ”tingginya lebih dari 10 m, dibangun untuk mengenang korban Perang Dunia II.”

Nada menyimaknya seksama. Lalu pandangan jauhnya berganti menatap Renee.

“Semalam kau bercerita ingin kuliah di Indonesia. Kenapa tidak di sini saja? Aku pikir kualitas pendidikan di sini malah jauh lebih baik dari negeriku.” Tanya Nada berganti topik.

“Bukan hanya itu pertimbanganku. Bagiku, Indonesia memiliki tempat yang istimewa di dalam hatiku. Aku yakin, bukan hanya aku. Banyak orang di sini, generasi kedua atau ketiga yang masih merasakan ikatan batin dengan Indonesia. Terlebih generasi pertama. Buktinya, di kota ini, ada sekelompok jalan dengan jalur utamanya bernama Insulindeweg, mengabadikan nama-nama tempat di Indonesia. Sebut saja, Madura straat,

Sunda straat, Celebes straat, Borneo straat, dan lainnya. Banyak juga komunitas masyarakat di sini yang tekun mempelajari kesenian tradisional Indonesia. Ini membuktikan bahwa mereka tidak ingin melupakan Indonesia begitu saja, surga mereka di masa lalu.”

“Termasuk kau juga?” Sela Nada.Renee mengangguk. “Benar. Itulah kenapa, aku ingin

mempunyai sahabat di Indonesia. Aku sedang mencari informasi mengenai pendidikan di sana. Kau bisa membantu, kan?”

Serenada mengangguk. “Certainly!”Ia lantas menuliskan alamat email, alamat rumah, lengkap

dengan nomor teleponnya di Jakarta.Puas menikmati pemandangan, Renee dan Serenada

beranjak dari kawasan bersejarah itu dan pulang menuju kota Haarlem.

Esok harinya, seperti beberapa hari yang lalu, Serenada dan Renee berada di Bandara Schiphol. Namun, kali ini perpisahan dua sahabat baru itu tampaknya benar-benar terjadi. Renee mengantarnya hingga pintu keberangkatan. Agak lama mereka berangkulan. Serenada sudah merasa akrab dengan gadis Indo-Belanda itu, meskipun baru beberapa hari mengenalnya. Seolah ada ikatan batin yang mendekatkan mereka. Dalam hatinya, ia bertekad, akan terus mengenang kejadian ini.

“Kirimlah kabar segera setelah kau sampai di Indonesia,” ucap Renee serak dalam isakan.

Pada pundak Renee, Serenada mengangguk.“Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu, sampai

kapan pun!” balas Serenada.“Sama-sama. Kau juga sudah membantuku.” Ucapnya lirih.Lantas, dua gadis itu perlahan melepaskan rangkulan satu

sama lain. Pipi Serenada sembab oleh air mata. Begitu juga dengan Renee.

“Sampai bertemu di Indonesia.” ucap Serenada memaksa

26 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 27

tersenyum. Renee mengangguk. Serenada lalu memutar badan dan berjalan menuju ruang pemberangkatan sembari menarik tas perjalanannya.

lll

Adagio

Indonesia, Pertengahan 1999

Dari ketinggian 40.000 kaki, pesawat KLM-Royal Dutch Airlines mulai menukikkan moncong arah Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Melalui kaca jendela pesawat, pada celah-celah awan, tampak perpaduan warna cokelat dan hijau, terapung-apung di antara warna biru laut Jawa. Seorang pramugari berdiri di tengah kabin pesawat. Ia mengingatkan penumpang untuk bersiap landing, mengencangkan sabuk pengaman. Pesawat merendah menuju landasan, kemudian berguncang hebat saat roda-roda beradu dengan permukaan betonnya.

Hampir semua penumpang pesawat berwajah Kaukasoid29, khususnya Eropa utara. Di antara mereka, duduk di kursi 1A seorang gadis Indo-Belanda, Renee van Fokkerhuise. Di balik kacamatanya yang berbingkai tipis silver, iris mata berwarna biru. Hidung mancung dengan rahang yang tegas pada wajahnya bawaan dari Eropa. Sementara rambutnya yang hitam keemasan dan kulitnya yang putih kekuningan menandaskan bahwa setidaknya darah Asia mengalir di dalam dirinya. Tubuhnya tinggi semampai sekitar 170 cm dengan sepasang kaki lenjang yang terbalut celana jeans biru muda.

29 Ras bangsa Eropa

Beberapa saat setelah landing, ia menarik napas, tersenyum lega. Indonesia, sebuah keindahan di seberang lautan yang sebelumnya hanya ia dengar dari kisah kakeknya. Keindahan alam, keramahan penduduk, dan kehangatan alamnya kini sudah ada di depan hidungnya. Indonesia, selalu menjadi sebuah obsesi di masa kecilnya. Gairah saat mengunjungi perpustakaan di negerinya. Melahap berbagai literatur mengenai negeri dan penduduknya. Saat ia begitu antusias menghadiri pameran foto Netherlandsch Indie masa awal abad 20. Saat ia menyimak berbagai pertunjukan musik etnik, gamelan, angklung, seruling bambu, apapun membuatnya menjadi seorang pecandu. Semua itu ia hirup hawanya dari seberang sana, beribu-ribu mil jauhnya dari negeri hangat ini. Saat ini, udara tropis sudah memenuhi paru-parunya. Bibirnya mengembang senyum. Ia hampir menjejakkan kaki di tanah impiannya.

Jakarta hanyalah kota transit. Selanjutnya, ia akan pergi menuju selatan, ke sebuah kota pegunungan yang bersejarah bagi keluarganya. Sebuah kota yang sarat kenangan. Berdasarkan peta yang ia bawa, Bandung, kota yang ia tuju, berjarak sekitar 150 km dari kota Jakarta, tempat sekarang dirinya berada.

Ia keluar dari terminal 2 setelah melewati petugas keimigrasian. Tangan kirinya menarik travel bag, sedangkan tangan kanannya membawa tas kecil. Segera ia masuk lounge. Duduk sejenak melepas pegal setelah hampir 16 jam duduk di dalam pesawat. Tangannya membuka-buka buku agenda berisi buku panduan perjalanan di Indonesia yang ia beli jauh hari sebelum keberangkatan. Di dalamnya ia simpan berbagai dokumen perjalanan, di antaranya paspor serta beberapa alamat dan nomor telefon penting lainnya di Indonesia.

Melihat jam tangannya, waktu hampir pukul 5 sore. Ia harus berkemas agar tidak terlalu malam di jalan. Tujuan berikutnya adalah ke Stasiun Kereta Api Gambir. Selanjutnya, ia akan menuju Bandung menaiki kereta. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Serenada, transportasi darat di Jakarta sering memakan waktu lama karena kemacetan yang parah.

28 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 29

“I’ve got to hurry!” Gumamnya. Ia lalu bangkit dari duduknya. Tangan kanan kirinya

langsung menyambar masing-masing tas yang tergeletak di lantai. Ia berjalan cepat menuju pintu keluar. Setelah berada di luar, ia celingukan mencari taksi. Beruntung, sebuah taksi warna hitam mendekat. Ia langsung memasukinya setelah mengemasi tas ke dalam ruang bagasi mobil. Kendaraan melaju perlahan meninggalkan bangunan utama bandara.

Satu jam perjalanan ia tempuh untuk sampai di Stasiun Kereta Api Gambir. Kemacetan hari itu tidak terlampau parah. Setibanya di stasiun, ia langsung menuju loket pembelian tiket kereta jurusan Bandung di lantai pertama. Dari tiket yang sekarang dipegangnya, ia tahu bahwa kereta akan berangkat 20 menit ke depan.

Stasiun K.A. Gambir menempati lahan sebelah timur kompleks taman Monumen Nasional. Memiliki tiga lantai, sebagian besar bangunannya berada dua lantai di atas tanah. Lantai pertama berupa aula utama, ATM, ticketing, dan beberapa toko. Diatasnya lagi, terdapat ruang tunggu dan beberapa restoran cepat saji. Sedangkan jalur rel kereta terletak pada lantai ke-3.

Tak mau buang waktu, Renee berjalan menuju eskalator jalur keberangkatan kereta. Akan tetapi, ada satu hal yang lupa ia tanyakan sewaktu membeli tiket, yaitu mengenai jalur kereta mana yang akan dinaikinya. Setelah berada di lantai tiga, ia coba mencari orang untuk ditanya.

Di sebelah kanannya, beberapa langkah dari tempatnya berdiri, duduk seorang pemuda, berdampingan dengan ranselnya di kursi tunggu. Ia hanya sendirian. Berwarna sawo matang, kulitnya tampak terbakar matahari. Keringat mengucur membasahi wajahnya. Kedua siku lengan menopang badannya yang tegap pada kedua pahanya. Duduknya condong ke depan. Berulang kali, tangan kanannya mengipaskan sebuah topi ke arah wajahnya mengusir panas. Pemuda itu bernama Dika.

Renee segera menghampirinya.”Excuse me!” ucap Renee setelah berada di depan pemuda

itu, ”dimana jalur kereta ke arah Bandung?” tanyanya sambil menurunkan tasnya di atas lantai, mengurangi sedikit pegal di kedua pundaknya. Buku agenda yang ia pegang pun diletakkan di atas tas tersebut.

Dika menengok ke arah Renee, lalu mengalihkan pandangan ke arah jalur kereta dua blok di seberangnya.

“Oh, anda salah jalur,” jawab Dika, “blok ini adalah jalur 1 dan 2. Kereta jurusan Bandung berangkat di jalur 4.” sambil menunjuk ke arah jalur kereta di seberang kompartemen30.

“Oh my God!” gumam Renee kaget, “adakah jalan memotong untuk sampai ke seberang sana?” tanyanya, memandangi jalur rel kereta yang letaknya sedalam pinggang orang dewasa dari tempatnya berdiri.

“Tidak ada, Nona.” Jawab Dika, ia berdiri, “anda terpaksa harus turun tangga lagi ke lantai dua. Setelah itu, anda pergi ke seberang lalu naiki tangga kembali.” Ucapnya sambil memetakannya dengan tangan.

Tatapan Renee mengitar.“Oh, apakah itu keretanya?” tanya Renee kalut saat melihat

kereta yang sedang bersiap-siap berangkat.“Benar sekali, anda sebaiknya lekas kesana. Biasanya tidak

akan lama untuk berangkat.”“Kalau begitu, terima kasih informasinya.” Tutup Renee

sembari menyambar tas dari lantai dan menggendongnya kembali.

“Sama-sama.” Ucap Dika, lalu duduk kembali.Renee menuruni tangga setengah berlari, khawatir kalau-

kalau ia ketinggalan kereta. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 petang.

Sepeninggal Renee, Dika meraih ranselnya. Rasa lelahnya sedikit mereda. Perjalanan menjelajahi ujung barat Pulau Jawa, Ujung Kulon, cukup menguras tenaganya. Ia bergegas bangkit dari kursi untuk membeli sebotol minuman. Rasa haus mencekik kerongkongannya. Namun, betapa kagetnya ia. Melihat sebuah benda berwarna coklat tergeletak di lantai, ia 30 Lantai stasiun di antara peron tempat calon penumpang menunggu kereta.

30 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 31

segera menghampirinya. Setelah mendekatinya, ia raih benda itu dan ternyata benda itu adalah sebuah agenda. Termenung Dika beberapa saat. Dugaannya kuat bahwa buku itu milik seorang gadis Indo-Belanda tadi. Apalagi, setelah ia cek, ternyata agenda itu berisi berbagai kartu identitas, fotonya cocok sekali dengannya. Sekarang ia semakin yakin.

Ia paham, betapa berharga barang tersebut bagi pemiliknya. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari menyusulnya meskipun tenaga belum sepenuhnya pulih. Ia menuruni undakan tangga menuju lantai dua. Di antara riuh rendah suara-suara di ruang itu, mencuat pemberitahuan dari pengeras suara bahwa kereta Parahyangan jurusan Bandung akan segera berangkat. Dika semakin tak keruan, takut tak bisa lagi menemui pemilik dokumen berharga yang saat ini ada ditangannya. Ia mempercepat langkah. Setelah mencapai tangga menuju jalur 4, ia lekas menaikinya. Kakinya menaiki undakan tangga tak sabar. Saat sudah sampai di lantai pemberangkatan, kereta tampak mulai bergerak.

Namun, kini Dika tertegun bimbang.

“Ah, bagaimana mungkin aku mencari satu orang di antara ratusan orang hanya dari jendela gerbong?” ucap Dika membatin. Hanya faktor keberuntungan yang ia andalkan. Di tepi lantai kompartemen, ia berjalan, searah dengan gerak kereta. Langkahnya menyusuri untaian gerbong yang sedang bersiap meluncur. Di setiap gerbong, matanya menepi pada kaca jendelanya. Ia amati wajah setiap penumpang yang berada di dalamnya. Buku itu sengaja ia acung-acungkan di atas kepala, kalau-kalau pemiliknya melihat lalu memanggilnya. Gerbong kereta bergerak semakin cepat, Dika semakin gusar. Ia tak mungkin masuk kereta itu. Ia tidak memiliki secarik tiket untuk bisa menaikinya. Tak ada pilihan lain. Ia berlari lebih kencang lagi. Di dalam kekalutannya, ia mendengar teriakan seorang gadis. Suara itu berasal dari gerbong kereta di depannya. Saat Dika melemparkan pandangan, kaca salah satu jendela gerbong sedikit tersibak. Gadis tersebut menjulurkan tangannya dari jendela yang sedikit terbuka itu. Wajahnya menepi pada

kacanya.

“I am here!” teriak Renee histeris, sembari melambai-lambaikan tangan,“come on!”

Dika sumringah. Pencariannya tak sia-sia. Ia berlari menyusuri tepi lantai kompartemen, mendekati jendela itu. Gerbong melaju semakin cepat, Dika mencoba mengejar. Terjadilah adegan lari jarak pendek antara tenaga mesin dengan manusia. Seorang sprinter dadakan mengejar kereta. Dika menjulurkan tangannya. Renee menyambut uluran tangannya. Tangan kedua orang itu mencoba saling meraih. Dika semakin mempercepat larinya. Pada waktunya yang tepat, tangan Renee berhasil menggamit buku agenda itu. Beberapa detik lagi Dika akan melepaskannya. Namun, ia tak sadar, ujung kompartemen di depannya semakin dekat. Saat tangan Renee sudah kokoh menggenggam benda itu, Dika melepaskannya. Buku itu selamat, Renee girang tak kepalang. Tapi ia khawatir, menyadari Dika sudah tak lagi menapak di lantai kompartemen. Kakinya menendang-nendang di udara. Badannya seolah melayang selama beberapa detik. Ia seperti seorang superman tak bersayap. Saat Dika sadar, ujung kompartemen sudah beberapa langkah di belakangnya. Pada detik itulah, ia berteriak kaget. Seluruh perhatian orang-orang di tempat itu tertuju padanya.

“Ahh!”“Awass!”“Auw!”“Hati-hati!”Seru mereka spontan. Menunggu saat-saat sangat

mendebarkan, beberapa di antara mereka menahan napas, membekap mulut dengan pandangan was-was.

“Bruk!” badan Dika terguling di atas hamparan kerikil, melayang dari ketinggian 1,5 meter lantai kompartemen stasiun. Sialnya, ia tidak sempat mempersiapkan kakinya ‘jurus mendarat kucing kungfu’. Untungnya, ia sempat membalikkan badan saat terjatuh. Sehingga, ransel yang bertengger di punggungnya menjadi bantalan tubuh.

32 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 33

Beberapa orang yang tadi melihat kejadian itu serta merta menghambur, mendekati tempat Dika terjun rendah. Mereka langsung mengerubung dan membantunya bangkit.

“Mas, tidak apa-apa?”“Syukurlah kau selamat!”“Saya salut dengan aksi heroik anda!”“Saya tadi sempat merekam adegan anda berlari di udara.

Tidak keberatan, kan, kalau saya menayangkannya di acara ‘Believe it or not’?”

Kereta Parahyangan semakin melaju cepat, meninggalkan Stasiun Gambir. Akan tetapi, wajah cemas Renee masih menepi di kaca jendela gerbong. Ia khawatir dengan nasib pemuda yang menolongnya itu. Sepanjang perjalanan tak pernah henti memikirkannya. Tapi, ia juga salut dengan pengorbanannya.

lll

Terminal Bis Cicaheum, Bandung, Agustus 1999

Suasana terminal bis ramai riuh, sesak pengunjung berlalu lalang. Raungan liar mesin bis-bis besar menjejali genderang telinga dengan kebisingan. Debu kemarau bercampur asap knalpot membubung, menyumbat napas. Beberapa pedagang asongan terlihat sibuk menyapa orang-orang yang duduk di kursi kayu, mengganggu perbincangan dengan teman seperjalannya. Dua orang pengamen cilik pandangannya lincah mengamati kendaraan yang hilir mudik. Berwajah kumal, rambut mereka memerah akibat terbakar sinar matahari.

Seorang pemuda lugu menenteng koper hitam menantang terik. Topi hitam sekenanya ia pakai, asalkan wajahnya tidak terbakar terik matahari. Jauh dari fungsi topi sebagai fashion style. Pemuda itu bernama Epul Saepul. Pandangannya polos, sibuk membaca huruf yang tertera pada muka setiap kendaraan angkutan kota yang melintas di depan hidungnya. Sebuah angkot berhenti di depannya. Setelah memastikan tujuan kendaraan itu,

ia memasuki kijang tua yang bercat hijau tersebut. Ia duduk di jok paling belakang. Tangannya mengibas-ngibaskan lipatan surat kabar ke arah muka untuk mengusir hawa panas yang membakar. Di koran itulah, namanya terpampang di antara ribuan siswa lainnya yang beruntung lulus UMPTN31. Itu adalah kali pertama nama seorang bocah kampung sepertinya tersebar ke seluruh pelosok Indonesia.

Lama sekali kendaraan tersebut berangkat. Nampaknya pengemudi enggan jalan sebelum penumpang di dalamnya melampaui biaya operasional perjalanan. Jelas-jelas ia menelikung sesumbarnya ‘takkan lama lagi berangkat’. Persyaratan sebuah angkot layak jalan adalah jika formasi penumpang sudah mencapai 2 – 2 – 7 – 5 (2 orang di kursi depan, 2 menghadap belakang, 7 menghadap tepi jalan, 5 menghadap tengah jalan). Jika belum seperti ini, kendaraan ibarat lesu darah. Jika berjalan pun, pasti sangat pelan dan sering berhenti. Inilah gambaran khas transportasi publik di negara berkembang, jauh dari kesan efisien, tepat waktu, dan nyaman seperti yang akrab di negara-negara maju.

Seorang penumpang protes karena mobil tak juga berangkat. Pengemudi gerah, tak puas rasa jika ruang kursi ada sedikit saja yang tersisa. Untuk menghibur penumpang, pengemudi itu menyalakan mesin kendaraan. Namun mobil tak kunjung jalan, geraknya maju mundur, sengaja mengulur-ngulur waktu mencari penumpang. Baru setelah seorang ibu berbadan dua masuk, pengemudi itu berani menginjak pedal gas.

Perjalanan penuh kesabaran sejak dari Ciamis tadi subuh membuat Epul kelelahan. Betapa tidak, bis jurusan Ciamis – Bandung kelas ekonomi yang ditumpanginya tidak nyaman sama sekali. Karena semua kursi sudah terisi penuh, terpaksa ia harus berdiri sampai tiba di Bandung. Di beberapa tempat transit, bis tersebut berhenti lama sekali mencari penumpang tambahan. Ditambah lagi, sepanjang jalan ia harus tahan dengan udara dalam bis yang pengap dengan asap tembakau dari para 31 Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri

34 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 35

penumpang, membuat napas sesak dan mata perih.

Di dalam angkot, Epul harus berbagi tempat duduk dengan ibu yang tengah hamil tua. Pantatnya terpaksa ditarik sedikit maju, agar wanita itu mendapat tempat. Belaian angin dari jendela mobil yang sedikit terbuka membuatnya sulit untuk tetap membuka mata. Perlahan, kedua matanya mulai mengatup. Tak berapa lama, ia pun tertidur lelap dalam kendaraan tersebut.

Sampai di tujuan terakhir, kampus Universitas Bandung, Epul masih belum terjaga. Kendaraan akan berbalik arah, ia masih belum sadar dari alam mimpinya. Agak samar, ia merasakan seseorang menepuk pundaknya pelan sambil bertanya,

“Cep, mau turun di mana?”

Sapaan itu lembut tapi cukup membuyarkan mimpinya. Epul kaget, matanya mengerjap terbuka. Segera saja, tangannya menyeka cairan yang hampir menetes dari sudut bibirnya. Matanya lirik kanan kiri, semua jok kosong, penumpang sudah turun semua. Ia menggosok-gosok mata. Menyaksikan itu, pengemudi angkutan kota tersebut menahan senyum gelinya, sampai-sampai kumisnya yang seperti formasi anyaman ijuk runcing itu bergerak naik turun.

“Oh.. nuhun, terima kasih atuh, Pak,” jawab Epul ringkas. Dengan kesadaran yang belum terkumpul penuh, ia berdiri membungkuk keluar dari kendaraan tersebut.

“JDAK!” suara kepala beradu dengan palang pintu kendaraan.

“AUW!” jerit Epul menahan sakit.

“Ahh!” desah Pak Supir. Ia menepuk dahinya sendiri. Menyesal, kenapa ia terlambat memberi tahu bahwa palang pintu itu sudah banyak memakan korban. Kejadian ini membuat Pak Sopir semakin geli. Tapi, ia berusaha membungkam tawanya.

Keluar dari kendaraan tersebut, Epul berjalan menyeret langkah, meninggalkan pengemudi yang menahan tawa sampai berurai air mata. Koper ia selempangkan di bahu kanan.

Tangan kirinya mengelus-elus bagian kepala yang baru saja bertumbukan.

Terburu-buru karena khawatir telat registrasi mahasiswa baru, ia bergegas menyeberangi jalan. Ia menoleh ke kanan untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat. Langkahnya cepat, ia ayunkan kakinya menyeberangi jalan. Tapi, sesuatu luput dari perhatian.

“BRUKK!!!”

Tubuh jangkung Epul menabrak bumper belakang sebuah angkot yang berhenti tiba-tiba di depannya. Ia tersungkur. Kopernya terguling. Bukunya terpelanting.

“Eh... monyong-monyong kampret kacrut kupret..pret!!” teriak seorang ibu latah dari dalam angkutan kota itu, saat kendaraan beserta isinya berguncang. Memang benar, fungsi bumper adalah melindungi kendaraan saat terjadi benturan. Tetapi, tidak berfungsi melindungi benda yang membenturnya.

Epul memaksakan diri untuk bangun. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian di tengah keramaian itu. Untuk menghindari malu, ia buru-buru pasang ’langkah seribu’ dan melesat seperti orang yang kebelet ke toilet. Sepintas lewat, ia melihat dari kaca jendela kendaraan itu. Beberapa penumpang menahan tawa melihat kejadian konyol yang baru saja ia alami. Hiburan bagi orang lain, derita bagi yang mengalami. Kadang, seperti itulah hidup.

Dengan pandangan takjub, Epul menjejakkan kaki di halaman gedung rektorat Universitas Bandung yang tampak megah perkasa. Simetris membelah taman yang tertutup oleh hijaunya rerumputan, bangunan berarsitektur artdeco itu menyembul kontras di tengah-tengah rimbunnya tajuk pepohonan. Dindingnya berwarna putih, mencolok dengan

36 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 37

warna sekelilingnya yang didominasi warna hijau dan merah muda. Jendelanya tinggi, bercat hitam dengan bentuk oval pada bagian puncaknya.

lll

Kampus Universitas Bandung

Hari sudah menjelang petang. Matahari sudah lungsur di langit barat. Seorang gadis berambut hitam keemasan, Renee van Fokkerhuise, berdiri di tengah kerumunan calon mahasiswa baru berseragam putih abu. Mereka sibuk melakukan registrasi. Tanpa ditemani siapa pun, ia celingukan. Keningnya basah dipenuhi keringat bercucuran. Ia tampak bingung, belum paham dengan prosedur registrasi mahasiswa baru di kampus UNIBA. Berulang kali tangannya membolak-balik formulir yang sebagian besar berbahasa Indonesia. Namun, ia tetap tak mengerti dengan tulisan dalam formulir itu.

Jarak beberapa meter di belakangnya, seorang pemuda tengah memerhatikan tingkahnya. Nampaknya ia berempati dengan gadis itu.

“Hai, perlu pemandu wisata?” sapa sang pemuda itu setelah mendekat. Ia tersenyum.

Renee menengok dan tersenyum atas canda pemuda itu. Ia tak langsung menjawab. Beberapa saat ia amati wajah pemuda itu. Selintas, wajah pemuda itu sedikit familiar di pandangannya.

”Di kampus ini? Aku hanya membutuhkan konsultan pendidikan.” Jawab Renee balas tersenyum.

Pemuda itu mengangguk, tertawa. “Aku tahu. Oh, kamu bersama dengan orang yang tepat.” ucap

pemuda itu. ”Aku calon mahasiswa teknologi pangan.” ucapnya sambil tersenyum tipis. Ia menyodorkan tangan kanannya, mengajak bersalaman. Renee menyambut uluran tangannya. Dua orang mahasiswa baru itu saling berjabatan tangan.

“Perkenalkan, nama saya Dika.”

“Renee van Fokkerhuise. You can call me Renee. Aku di Jurusan Antropologi.”

“Kau sepertinya punya masalah?”Renee mengangguk. “I can hardly understand what to do with the

requirement.” “Bisa diatur. Kalau begitu bareng saja denganku, aku juga

belum lengkap semua kok, bagaimana?” tawar sang pemuda. Sekali lagi, Renee mengangguk dan terlihat girang sekali.“Yuk, tunggu apa lagi?” ajak Dika. Mereka pun berjalan ke arah loket dan meja panitia yang

berderet. Suasana hening sejenak. Sembari berjalan, Renee banyak bertanya mengenai point-point dalam formulir yang tak ia pahami. Dika menjelaskannya dengan rinci. Dua mahasiswa baru itu berjalan di sepanjang koridor kampus menuju loket panitia registrasi. Melalui sudut matanya, Renee mengamati wajah Dika.

“May I ask you something?” tanyanya setelah menghimpun keberanian. Dika mengangguk.

“Apakah kamu pernah berada di Stasiun Gambir?”“Maksud kamu?”“A month ago, seorang pemuda menemukan buku agendaku

dan mengembalikannya kepadaku. Is that you?”Dika menghentikan langkah. Langkah Renee serta-merta

terhenti. Ia amati wajah Renee dengan seksama. Perlahan-lahan, bibirnya mengembang, lalu tersenyum lebar.

“Oh, jadi itu kamu?” jari tangan kanannya menunjuk.“Iya!” jawab Renee, mengangguk-angguk. Badannya

berguncang penuh semangat, “But I am afraid I might be mistaken.” tawanya lepas. Dika pun terbawa riang.

”Tapi aku benar-benar minta maaf sudah merepotkanmu. Sepanjang perjalanan aku cemas memikirkanmu.” ucap Renee.

”Oh, tidak apa-apa. Untungnya, aku sempat berbalik badan. Ranselku bisa menjadi bantalan tubuhku sewaktu mendarat.”

”Syukurlah kalau begitu.” kata Renee lega.

38 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 39

Segera saja keakraban terjalin di antara mereka. Sementara menunggu namanya dipanggil, kedua calon mahasiswa itu duduk di kursi tunggu. Beberapa calon mahasiswa berjajar di meja panitia. Tinggal mereka berdua untuk menunggu giliran dipanggil. Nampaknya saat itu adalah kesempatan terakhir untuk registrasi pada hari tersebut.

“Renee van Fokkerhuis.” panggil petugas administrasi.Renee menghampiri meja panitia, meninggalkan Dika

duduk di kursi.“Anda sudah baca prosedur registrasi yang ada di depan?”

tanya petugas itu memastikan. Renee mengangguk. “Maaf Bu,... something wrong?” sambil

melihat ke arah formulir persyaratannya.“Peryaratan registrasi kamu tidak lengkap. Seharusnya

formulir dilengkapi dengan materai,” ucap petugas tersebut. “Anda besok ke sini lagi saja.” sambungnya sambil sibuk membereskan lembaran-lembaran formulir yang sudah terisi.

“Tapi, Bu… saya akan cari sekarang juga.”“Maaf! lima menit lagi kami akan tutup, kecuali kalau bisa

melengkapinya dalam waktu itu!” ucap ibu petugas registrasi tegas.

Bersebelahan dengan meja registrasi Renee, Epul baru saja selesai mengisi formulir kelengkapan administrasi. Kemudian, ia meninggalkan meja petugas setelah beres melakukan pembayaran. Tangannya menjinjing koper. Pandangannya mengeliling. Ia khawatir, hari sudah senja tapi belum melaksanakan shalat asar. Tak tahu letak masjid di kampus tersebut, Epul mencoba mencari seseorang untuk ditanya. Saat menoleh ke belakang, ia melihat Dika yang sedang duduk menunggu. Epul berjalan mendekatinya.

“Maaf, Kang, sekarang teh jam berapa yah?” tanyanya setelah berada di depan Dika. Tangannya menurunkan koper dan tasnya dari pundak ke atas lantai.

Dika melihat jam tangannya. “Oh, jam 4.55,” ucapnya tersenyum.

“Waduh, jam 4.55? cilaka, saya belum shalat asar, euy,” gumam Epul kaget. Tangannya menepuk kepalanya sendiri. “Kalau begituh, di mana yah masjid kampus teh?” tanyanya kalut.

Dika memetakan arah masjid dengan tangannya.“Sekitar 200 meter dari tempat ini.” tutupnya.“Wah, nuhun atuh, terima kasih banyak yah!” ucap Epul.

Tangannya kemudian menyambar koper dan tasnya. Berjalan terburu-buru, ia meninggalkan tempat itu.

Mengamati Epul, Dika tersenyum kecil. Pandangannya kembali kepada Renee yang masih melakukan registrasi. Di saat yang sama, Renee menoleh ke arahnya. Ia memberi isyarat supaya Dika mendekat. Dika surti. Ia menghampirinya.

“Kenapa Renee, ada yang tidak beres?” tanya Dika setelah mendekat.

“Kamu punya materai lebih?””Sebentar aku cari dulu, mudah-mudahan masih ada.”Dika membuka tas gendongnya. Tangannya membolak-

balik seluruh isinya.“Nah..ini dia!” teriaknya girang, lalu ia berikan potongan

kertas persegi itu kepada Renee.”Oh, terima kasih, Dika,” ujarnya tersenyum renyah, ”you

always save me!”Tepat jam 5.00, urusan Renee selesai. Ia menjadi pamungkas

calon mahasiswa yang mendaftar hari itu bersamaan dengan bubarnya panitia.

Selesai registrasi, Dika mengajaknya mencari penjual minuman. Mereka berjalan menuju sebuah kantin yang terletak di sebelah barat Gedung Rektorat. Kantin tersebut dikelilingi oleh danau dan pepohonan. Kantin yang beratap rumbia dan berlantai kayu itu menjorok ke arah danau kampus. Jendelanya dibiarkan tak berkaca sehingga pengunjung bisa memandang keluar dengan jelas. Dengan begitu, angin bisa leluasa menyapa setiap orang di tempat tersebut.

Di dalamnya, mereka mengambil tempat duduk yang

40 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 41

menghadap ke arah danau kampus. Embusan angin sejuk dari hamparan air itu menyelinap masuk melalui bukaan-bukaan jendela yang tak bersekat. Sambil menikmati dinginnya minuman, mereka asik memandangi matahari yang sebentar lagi tenggelam di balik pepohonan. Perbicangan mengalir di antara mereka.

Sembari menunggu pesanan, Renee mengambil kotak makanan dari dalam tasnya. “Dika, kau mau?” tawarnya.

“Apa itu?”“Ini dia…makanan kesukaanku!” Seru Renee semangat,

sembari membuka penutup wadah plastik itu. Di dalamnya, tampak sederet gulungan pastel goreng isi kornet yang masih hangat menggugah selera. Dika mengambil segulung dan mencicipinya.

Terpaut beberapa meja dari mereka, seorang laki-laki terduduk seorang diri. Di depannya hanya tersaji sebotol minuman dingin. Asap rokok bergulung-gulung membubung dari mulutnya. Beberapa kali ia melemparkan pandangan pada meja tempat Renee dan Dika berada. Suatu saat, Renee sempat memergokinya. Pria itu jadi salah tingkah. Renee sedikit kaget. Mata pria itu ternyata bukan tertuju padanya. Tapi, pada Dika!

”Sttt...Dika!” Bisiknya.Dika beralih dari minumannya. Mulutnya melepaskan

sedotan di tepi gelas. ”Ada apa?””Coba lihat pria di meja seberang, arah jam 9 dari kamu!”Dika menurut. Ia melirikkan pandangan sesaat pada pria

yang dimaksud Renee. ”Memangnya kenapa?” ”Pria itu dari tadi memerhatikanmu terus. Aku curiga ia

naksir kamu!” Ucap Renee tersenyum.”Hush! Kamu jangan ngaco! Dia itu naksir kamu. Masa jeruk

naksir jeruk!” Jawab Dika tersenyum.”Serius!” bisiknya sungguh-sungguh, ”Ia terus menatapmu,

penuh hasrat!” Ia tersenyum geli. ”Di negaraku, hal seperti ini sudah lazim. Malah hubungan sesama jenis sudah dilegalkan.”

”Hii...” Dika bergidik, ”naudzubillah. Sudah abaikan saja!”

Menyela perbincangan seru mereka, seorang gadis pramusaji menghampiri meja mereka, menghidangkan makanan pesanan. Dua mangkok mie hangat sudah tersaji di depan mereka.

“Eet smakelijk32” ujar Renee tersenyum memandangi Dika.“Apa?” sendok Dika terhenti di udara. Ia tak paham dengan

ucapan Renee.“Have a great meal,” ucap Renee tersenyum simpul.Di saat dua anak muda itu menikmati hidangan, pria

seberang meja berjalan menghampiri mereka. Renee menyadari itu. Ia berbisik kepada Dika. Renee khawatir. Dika cemas orang itu benar-benar gay, seperti ucapan Renee. Jantungnya berdebar-debar.

“Mas, maaf mengganggu!” Ucap pria itu mendayu-dayu.Dika semakin yakin dengan dugaan Renee, orang itu

benar-benar gay. Hatinya mengerut ciut. Ia memberanikan diri menjawab, “Iya...ada..ada apa?” Tanyanya terbata-bata.

“Mas yang tadi shalat asar berjamaah, kan?” Tanya pria itu.Dika mengangguk. “Sepatu Mas merek apa?” Tanyanya lagi. “Robeek.” Jawab Dika. Ia ingat, sepasang sepatu itu ia beli

dua bulan lalu dari penjual sepatu imitasi kaki lima di Jalan Kembang Sepatu, dekat Pasar Kosambi.

“Coba tengok, merek sepatu yang sekarang Mas pakai!”Dika menurut. Ia melongokkan pandangan ke bawah,

pada dua sepatu hitamnya. “Reebok ™!” gumamnya kaget. Ia mengalihkan pandangan pada kaki orang itu.

“Hah, Robeek! Berarti itu sepatuku!” Teriak Dika.“Ya. Mas salah pakai sepatu sewaktu keluar dari masjid.”Dika tersipu malu menyadari keteledorannya. Sepintas,

dua pasang sepatu itu tak ada yang berbeda. Berwarna hitam, seukuran, dan mereknya hampir sama, ‘Reebok™’ dan ‘Robeek.’ Setelah menyadari kekeliruannya, Dika melepas sepatu yang dipakainya dan menukarkannya dengan miliknya.

“Maaf, Pak, saya tadi buru-buru registrasi. Saya tak sengaja..”

32 Ucapan yang biasa diucapkan orang Belanda sebelum makan

42 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 43

ucap Dika. Mukanya merah padam menanggung malu.“Tidak apa-apa. Lain kali lebih teliti ya!”Setelah mengucapkan itu, orang itu ngeloyor pergi. Sesaat

setelah kepergian laki-laki itu, tawa Renee yang sejak tadi tertahan, meledak.

lll

Epul bersandar di dinding Masjid kampus UNIBA. Tak ada sanak famili di Bandung, mengharuskan Epul harus hidup mandiri. Untuk perbekalan, ia membawa beberapa setel pakaian yang cukup untuk beberapa hari. Baru saja ia menunaikan shalat asar. Hari sudah senja, pukul 5.30 menjelang Magrib. Tak mungkin ia pulang ke Ciamis. Uang yang tersisa di sakunya tidak cukup untuk ongkos naik bis. Tadi siang, ia sudah menyelesaikan pembayaran uang gedung dan SPP untuk semester awal. Sisanya, yaitu uang praktikum dan fasilitas kegiatan mahasiswa, belum ia bayar mengingat habisnya uang di tangan. Satu-satunya harapan adalah sejumlah uang yang akan ditransfer dari kampungnya, yang saat ini belum ia terima. Padahal, batas pelunasan biaya paling lambat dilakukan besok pagi. Cara yang paling masuk akal adalah menghubungi Pak Haji Dulah, satu dari dua keluarga yang mempunyai pesawat telefon rumah di kampungnya.

Pak Haji Dulah adalah seorang saudagar kaya raya, pemilik penggilingan padi yang baik hati.

Dengan prinsip ‘mudah-mudahan’ yang selalu ia terapkan dalam hidupnya, Epul mencoba mencari kios telefon umum sekitar kampus. Ia harus segera mengontak bapaknya untuk memberitahu bahwa waktu registrasi mahasiswa baru tinggal sehari lagi. Besok dia harus mengantri lagi untuk melakukan pembayaran.

“Assalamu’alaikum, dengan Pak Haji Dulah?” Salam Epul pada pesawat telefon.

“Wa’alaikum salam,” terdengar jawaban pelan.“Ini dari Epul di Bandung. Pak Haji, bisa minta tolong mau

bicara dengan Abah?”

Tak berapa lama, ayahnya dipanggil dan sudah berada di ujung telefon.

“Cep33, Abah34 tadi sudah minta tolong ke anaknya Pak Haji untuk mengirim uang ke bank terdekat. Katanya baru akan sampai kurang lebih besok. Dia bilang, harusnya hari ini sampai.Tapi, karena ada gangguan jaringan, transfer jadi tertunda. Begitu kata petugas banknya.”

“Alhamdulillah, syukurlah. Terima kasih Abah. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar.”

Untuk membiayai kuliah Epul, Abah terpaksa harus menjual separo kebun cengkehnya yang ada di pasir35. Namun, harganya tak seberapa. Itu karena selain harga cengkeh akhir-akhir ini turun, usia pohonnya pun sudah tua. Semakin tua pohon, buah cengkeh yang dihasilkan semakin menurun. Adapun kekurangan uang muka registrasi itu, Abah harus merelakan domba bagi hasil yang ia terima sebagai upah memelihara domba milik Pak Haji.

Seusai dari kios telefon, Epul kembali lagi ke masjid kampus. Sebentar lagi masuk waktu magrib. Ia mengambil air wudu dalam kecemasan. Semoga uang itu sampai tepat waktu, pikirnya. Di dalam masjid kampus, sebanyak tiga shaf mahasiswa melakukan shalat maghrib berjamaah. Satu jam kemudian, semakin berkurang saat shalat isya karena sudah banyak mahasiswa yang pulang. Suasana masjid semakin sepi.

Udara dingin menjelang musim pancaroba. Angin berembus begitu kencang. Selepas shalat isya, Epul menyelonjorkan kaki. Rasanya pegal setelah berdiri sepanjang perjalanan dari Ciamis hingga terminal Cicaheum. Bis sesak dipenuhi penumpang. Iseng, ia buka koper jinjingnya yang berisi pakaian dan peralatan mandi, beberapa lembar formulir registrasi untuk esok hari, fotokopi ijazah SMA yang sudah dilegalisir, dan beberapa surat keterangan dari sekolah. Ia duduk bersandar pada dinding samping masjid di bawah papan peringatan yang berbunyi: “Dilarang tidur di dalam masjid”33 Cep, atau Asep adalah panggilan untuk anak laki-laki

34 Bah, atau Abah adalah panggilan untuk bapak

35 Bukit yang menyerupai gunung kecil

44 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 45

Wajahnya terpekur, mencoba menahan mata yang sulit sekali untuk tidak terpejam. Tak kuasa menahan letih, kepalanya terkantuk-kantuk. Tangan kanannya sesekali membenarkan letak jaketnya yang diselimutkan di kaki untuk menahan dingin.

Dari sisi masjid yang lain, Dika baru saja usai melaksanakan shalat. Ia tertinggal, tak sempat ikut shalat berjamaah. Saat langkahnya menuju pintu keluar masjid, ia melihat Epul. Dika masih ingat, ia adalah mahasiswa yang tadi sore menanyakan arah masjid kepadanya. Merasa iba melihatnya, beberapa saat kemudian ia menghampirinya.

“Hei, kamu mahasiswa baru yang tadi registrasi, kan?” tanya Dika mengguncangkan kaki Epul perlahan.

Epul terperanjat dari kantuknya. Ia mengangguk, menjawab terburu-buru sambil membenarkan posisi duduknya yang condong ke samping.

“Kamu tidak pulang? Rumah kamu dimana?” tanya Dika.“Sayah dari Ciamis.”“Ciamis? Lalu, di Bandung tinggal dimana?”Epul menggeleng. “Sayah baru akan mencari tempat kost

nanti beberapa hari lagi,” jawabnya, berusaha untuk tidak terlalu terbuka.

“Kenapa tidak sekarang saja?” tanya Dika.Tatapan matanya menyelidik.Epul tersenyum lalu menunduk, “Sayah sedang menunggu

kiriman uang dari kampung.” Terangnya, ia tidak bisa berbohong.

Kedua orang itu terdiam beberapa saat.“Oh iya, kita belum kenalan, nama saya Dika. Siapa nama

kamu?”“Sayah Epul,” jawabnya sambil tersenyum. “Calon

mahasiswa Teknologi Pangan,” lanjutnya.“Oh, kebetulan sekali. Kita akan menjadi teman sejurusan.”

ucap Dika berbinar matanya.“Begini saja, kalau kamu butuh tempat menginap, kamu bisa

tinggal sementara di tempat saya,” tawar Dika simpati, “kamu

tidak perlu bayar, alias gratis!”

“Oh, tidak, terima kasih, biar sayah tidur di sini saja.”

“Tapi…di sini dilarang tidur,” katanya, sambil mengarahkan pandangannya pada papan peringatan di dinding.

“Biasanya tidak kalau di luar masjid,” ucap Epul yakin.

“Kamu akan kedinginan kalau tidur di luar.”

“Di kampung, sayah sudah terbiasa tidur di luar rumah.”

Dika mengangguk-angguk menyimaknya. Ia terdiam beberapa saat. Lalu mengambil tas gendongnya. Tangannya mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, lalu menuliskan beberapa kata.

“Kalau kamu berubah pikiran, datang saja ke alamat ini.” katanya sambil menyodorkan secarik kertas kepada Epul. Lalu, ia undur diri. Saat berada di ambang pintu, wajahnya menengok ke arah Epul.

“Pul, kalau jalan di sekitar sini, hati-hati!”

“Memangnya kenapa?” Tanya Epul terpancing.

“Banyak penjual ‘jasa sedot septik tank’, hehe!” ucap Dika terkekeh, sembari mengedipkan sebelah matanya. Kemudian ia melangkah keluar, meninggalkan Epul yang masih mencerna perkataannya baru saja.

Hari sudah larut, beberapa mahasiswa yang baru saja menunaikan shalat isya satu per satu beranjak pergi. Masjid kampus lengang, Epul bersandar di depan mimbar. Rasa kantuk menyerang lagi. Ia terlelap.

Dari pintu masjid, berjalan masuk seorang lelaki tua, membungkuk dan menghampiri sajadah terbentang. Tepat di sebelah kanan Epul, ia menunaikan shalat. Usai menyelesaikan salam, masih menolehkan wajah ke arah kiri, ia melambaikan tangan ke arah Epul. Menyuruhnya mendekat. Epul bangkit dan menghampirinya. Ia menyalami dan mencium tangannya.

“Ada apa, Abah?”

“Abah ingin berwasiat, teguhlah dalam meraih cita-cita. Jalan terjal berkerikil pasti ada. Jika merasa semua tak tertanggungkan,

46 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 47

itu pertanda kita akan segera mencapai puncak. Sesungguhnya, bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong.

Epul adalah harapan Abah dan keluarga. Di pundak hidep, penduduk kampung menaruh harapan akan perbaikan masa depan mereka.” Tutur Abah sembari mengelus kepala Epul.

Menyela percakapan mereka, terdengar suara seorang perempuan mengucapkan salam tiba-tiba,

“Assalamu’alaikum.”

Epul dan Abah menoleh ke arah sumber suara.

“Wa’alaikum salam. Iis?” gumam Epul kaget. Ia hampir tak percaya, Iis, gadis sekampung tambatan hatinya, sudah berada di depan hidungnya, sedang berdiri di ambang pintu masjid.

Iis mengenakan baju dan kerudung putih. Jilbabnya berkibar tertiup angin malam. Ia tersenyum, lalu menunduk. Perlahan, ia berjalan menghampiri Epul dan Abah, lalu menyalami Abah dan mencium tangannya.

“Aa36, Abah, bagaimana kabarnya?” sapa Iis, memandang dua orang itu bergantian. Epul mengangguk pelan.

“Alhamdulillah sehat.” jawab Epul masih tercengang. Ia masih tak percaya dengan pandangannya sendiri.

“Kamu bagaimana bisa sampai di sini?” tanya Epul masih terkesima.

Iis tidak menjawab.Epul mengulang pertanyaan. Iis tetap tak menjawab.“Iis, kenapa kamu…?” gumam Epul terheran-heran.Epul terkesima mengamati wajah Iis. Semakin lama diamati,

wajah Iis menjadi semakin maskulin. Dari atas bibirnya, tumbuh bulu-bulu tegak menyerupai ijuk, membentuk kumis yang lebat.

“Iis, wajahmu kenapa berkumis?”“Iis...?” teriak Epul beringsut mundur, ”Abah, Iis kenapa?

Abah, Iis...”“Dik, bangun! Bangun!” Ucap seorang lelaki di hadapan

Epul.

36 Sapaan untuk laki-laki yang dihormati/ lebih tua.

Epul terjaga kaget. Matanya terbelalak. Badannya terjungkal dalam ketakutan.

“Kenapa, Dik?” tanya lelaki paruh baya berkumis tebal itu. Kedua tangannya mengguncang-guncang bahu Epul.

“Iis kemana?” tanya Epul heran. Pandangannya mengitar.“Iya, saya. Nama saya Iskandar, biasa dipanggil Iis. Dari

tadi, kenapa Adik panggil-panggil nama saya? Ada yang bisa saya bantu?”

Epul tersadar, ia baru saja bermimpi. Pria di depannya adalah petugas masjid kampus. Sedari tadi, ia khawatir mengamati Epul yang tertidur mengigau.

“Oh, tidak Pak. Tidak ada yang perlu dibantu.” Tutup Epul.“Pulang ke mana?” tanya petugas masjid.Epul terdiam sesaat, berpikir ulang mengenai niatnya untuk

tidur di luar masjid. “Sayah mau ke tempat teman, Pak.” Ucapnya berubah pikiran.

Selepas petugas masjid kampus itu ngeloyor, Epul mengemasi barang-barang. Ia memasukkannya ke dalam koper lusuhnya.

Keluar kompleks kampus, ia masih tak tahu harus naik apa untuk sampai di rumah Dika. Berniat untuk menanyakan jalan, ia menghampiri dua orang berambut panjang. Dandanan dua orang itu aduhai. Mereka berdiri di bawah pohon rindang. Di atasnya, sorot kuning lampu jalan remang-remang.

Mungkin ibu-ibu itu sedang menunggu kendaraan juga, pikir Epul.

“Maaf, Ibu-ibu…” sapa Epul setelah mendekat. Kedua orang berambut panjang itu menoleh serempak. Epul

meloncat mundur. Loh, ternyata salah satunya berkumis, pikirnya. “Eh, maaf, Bapak…Mas...” ralatnya kaget.Dua orang berambut panjang itu tersungging senyum.“Hai...” sapa salah seorang yang belahan dagunya mirip

Jhon Travolta. Sembari tangannya mengelus-elus rok sejengkal di atas lutut. Dua kakinya terbalut stocking hitam. Betisnya menggumpal, kekar berotot mirip pria yang sering mengayuh

48 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 49

becak. Pria satunya lagi, berkumis dengan dagu dan ujung hidungnya berbonggol-bonggol. Akibat silikon yang ditanam di bawah permukaan kulitnya berdesakan. Bedak putih tebal yang dikenakannya sanggup menutupi pembesaran pori-pori kulit dan lubang-lubang bekas jerawat pada wajahnya. Lidahnya mengulum senyum.

Ingin sekali Epul lari terbirit-birit menyadari kedua orang itu ternyata bencong macho. Tapi, sudah terlanjur basah kuyup, mandi saja sekalian, pikirnya.

“Ada apa Mas, ahhh..?” tanyanya lagi. Matanya dibuat sayu menatap mesra Epul yang melongo, dengan mulut membentuk huruf O besar. Tubuhnya menggeliat-geliat genit. Dua bencong itu semakin punya hati, bertukar pandang, lalu bibir-bibir tebal berlumur lipstik merah menyala itu tertawa cekikikan. Menampakkan jajaran gigi dengan sela-sela yang hitam akibat gempuran nikotin rokok.

“Ma...mau tanya, kalau ke Jalan Kejaksaan, Braga, naik angkot, atau...” tanyanya terbata-bata.

“Atau apa?… Atau digendong aja, yuk?” potong si bencong berkumis. “Hihihi...,” tawanya genit, mengedipkan matanya.

Melihat Epul gelagapan, ia tertawa terkekeh. Persis seperti ABG yang sedang dikelitiki oleh om-om girang.

“Ih, si Mas pake malu-malu deh.” timpal satunya lagi semakin berani. Telunjuknya menyentil dagu Epul yang mati kutu.

“Mas, ahh…sedot dulu yuk, ahhh?” bisiknya melalui tangannya yang ditelungkupkan dekat telinga Epul. Mata si bencong mengerjap-ngerjap persis seperti orang cacingan, menderita ayan, kelilipan debu pula. Epul menjauh menjaga jarak.

Sedot?? tanyanya dalam hati. Dia pikir sayah septic tank mampet? pikirnya tak paham. Ia melepas topinya sambil garuk-garuk kepala. Orang kota memang aneh! Apakah ini yang tadi disebut Dika sebagai ’penjual jasa sedot septik tank’?

Tiba-tiba, bencong satunya lagi mendekat. Tangannya mengayun menuju daerah vital Epul. Sadar apa yang akan

dilakukan orang itu, Epul sigap. Ia mundur beberapa langkah, menjauh. Melihat kedua orang itu semakin beringas dan hendak ’menerkamnya’, ia menjerit sekuat tenaga minta tolong. Lalu ia berlari pontang-panting seperti maling ayam yang kepergok petugas hansip kampung.

“Lontong..eh TOLOOOONG!” Akibat panik, mulutnya tidak bisa membedakan pelafalan

kata ‘perlu bantuan’ dengan jenis makanan dari beras.“Mas, diskon, deh Mas!” teriak bencong itu. Tak sanggup

mengatur pita suara saat berteriak, suara aslinya yang serak dan berat akhirnya keluar juga.

Setelah naik angkutan umum satu kali, Epul sampai di daerah Jalan Kejaksaan, Braga. Ia tertegun di depan sebuah rumah sederhana dengan taman yang dipenuhi bunga wisteria dan bogenvil. Tatapannya berganti antara carik kertas yang dibawanya dengan papan alamat yang tertempel pada dinding pagar. Nomor rumah yang tertera di atas kertas yang dibawanya sama dengan papan alamat yang tertempel di dinding pagar tersebut. Ia yakin, tempat itulah yang sedang ia cari. Tangannya meraih tombol bel beberapa jengkal di depannya, lalu menekannya. Kesabarannya menunggu, sedangkan pikirannya berkecamuk. Ia takut kalau uang yang ditransfer dari kampungnya ternyata tidak cukup untuk membayar sewa kamar kontrakan, apakah ia akan tetap menumpang.

Pintu rumah terbuka. Seorang pemuda, Dika, menyembul dari mulut pintu. Saat menyadari siapa yang datang, ia tersenyum dan melangkah mendekati gerbang taman.

“Epul? Sudah lama?” tanya Dika. Tangannya membuka kunci pagar.

“Tidak, sayah baru saja sampai di sini,” jawab Epul tersenyum lega.

“Silakan masuk!” ucapnya memberi jalan.“Dika, sayah teh berubah pikiran. Boleh, kan menumpang

sementara, satu atau dua hari?”Dika mengangguk. “Dengan senang hati,” ucapnya sambil

50 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 51

merangkul sahabat barunya itu. Mereka berjalan memasuki rumah melewati taman yang bercahaya kuning remang. Dika membawanya ke arah pintu belakang, menuju kamar kosong yang biasa ditempati jika ada pengunjung.

“Kamu bisa tidur di sini.” ucap Dika. Tangannya membuka daun pintu kamar yang sengaja digunakan untuk tamu menginap. Perlahan, Epul melangkah masuk ruang itu. Tatapannya mengitari seisi ruang itu.

“Wah, ini teh seperti di hotel sajah.” Dika hanya menyeringai.Epul berjalan menuju spring bed, lalu duduk di atasnya.

Pantatnya memantul-mantul di atas kasur, persis seperti sedang mendribble bola basket.

“Beda sekali dengan kasur di kampung sayah! Ambu37 biasa buat kasur dari kapuk. Rasanya keras, tidak empuk seperti ini!” ucapnya polos, dengan sorot mata berbinar.

Dika tersenyum mendengarkan ceracaunya.Epul melemparkan pandangan pada beberapa foto

berbingkai seukuran A2 yang tertempel di dinding kamar. “Itu kamu, kan?” tanya Epul, tangannya menunjuk pada

foto di dinding.“Iya, waktu menang lomba panjat tebing SLTA Nasional.” “Wah, kamu hebat, euy,” puji Epul berdecak kagum. “Sayah

juga biasa manjat tebing sewaktu di kampung. Tapi, karena mau memanen hiris38, bukan untuk lomba.”

“Aku hanya melakukan hobi saja.” ucap Dika.Tatapan Epul berganti pada foto seorang pria yang

menggendong anak kecil di tengah hamparan tanaman teh.“Kalau itu, teh kamu waktu kecil?” tanya Epul.Dika mengangguk, “Itu saya bersama ayahku, tahun 1985.

Sewaktu di perkebunan teh Rancabali, Ciwidey.””Jadi itu perkebunan ayahmu? Wah hebat sekali kamu, teh!”

Ucap Epul berdecak kagum.

37 Panggilan untuk ibu

38 Sejenis tanaman kacang yang biasa tumbuh di tebing.

Sambil terkekeh, Dika menggelengkan kepala.”Tentu saja bukan. Ayah hanya karyawan biasa. Kami bukan

konglomerat, tapi konglomelarat!” timpalnya tertawa.”Jadi, ayah kamu sampai sekarang masih bekerja di sana?”

tanya Epul lagi.Dika menggeleng. ”Sudah tidak lagi.””Jadi?” tanya Epul penasaran.”Beliau sudah meninggal sejak aku belum masuk sekolah.””Waduh...Maaf atuh saya bertanya seperti itu.” sesal Epul

dengan raut wajah bersedih.Dika mencoba tersenyum, mengisyaratkan bahwa tidak ada

yang perlu disesali.“Oh, iya,” sambung Dika sembari bangkit dari kursi, “kalau

kamu mau bersih-bersih, itu kamar mandinya.” tangannya menunjuk ke arah ruangan kecil berdaun pintu cokelat tua.

Epul mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dika berpamitan dan keluar ruang tersebut.

Freshman Year

Pikiran Dika cemas. Berjalan menyusuri trotoar jalan kampus, berulang kali ia melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.40. Kuliah pertama Pengantar Teknologi Pangan sudah dimulai 10 menit yang lalu. Waktu yang tersedia benar-benar sangat sempit. Toleransi keterlambatan kuliah hanya 15 menit. Jika melebihi waktu tersebut, dosen sangat disiplin itu tidak akan mengizinkan mahasiswa yang terlambat mengikuti perkuliahannya. Sebagai gantinya, mahasiswa bersangkutan harus membuat summary perkuliahan, lalu difotokopi sesuai dengan jumlah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah itu.

“Ah, ini semua gara-gara kartu sialan ini!” ucap Dika membatin, mengutuki kekonyolannya sendiri. Langkahnya terburu-buru setengah berlari. Ia gemas melihat kartu perdana GSM yang ada di genggamannya. Sebelumnya, sewaktu dalam

52 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 53

perjalanan menuju kampus, ia dihadang oleh seorang SPG cantik jelita berkostum aduhai. Hal itu membuat Dika tak kuasa menolak untuk diwawancara olehnya. Wajah gadis tersebut mirip artis asal Amerika bintang iklan sabun mandi. Di iklan tersebut, setiap pria yang melihatnya jungkir-balik saking terpesona oleh kemolekannya.

Tak hanya itu, rok SPG tersebut yang beberapa sentimeter di atas lutut membuat mata pria muda tak sanggup berkedip. Pemuda normal mana yang sanggup menolak berbincang dengan gadis secantik SPG tadi? Andai saja tadi menolak tawaran untuk diwawancara, ia pasti tak akan terhimpit waktu seperti ini. Tapi, sudahlah. Tak ada gunanya berandai-andai dan menyesali kejadian lampau. Sekarang ia sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapinya. Bahkan, jika ia tidak diizinkan untuk mengikuti praktikum minggu depan.

Lain halnya dengan Epul. Pada hari pertama masuk kuliah itu, ia tahu bahwa mahasiswa tidak perlu lagi mengenakan seragam. Gantinya, ia mengenakan pakaian paling bagus yang dibawanya dari kampung. Kemeja lengan panjang putih dengan celana panjang hitam yang mengerucut pada bagian tumitnya. Sepatu kulitnya hitam mengilap dengan ujung lancip, mirip sepatu Aladin. Ia berangkat dari tempat kost yang baru ditinggalinya beberapa hari lalu pagi-pagi sekali. Dengan bergelayutan di pintu bis Damri, ia menuju kampus. Rambutnya yang semula ia sisir rapi mengenakan minyak rambut ‘orang aring’ menjadi tak karuan mencuat kesana-kemari akibat terpaan angin kencang. Melewati jalan utama kampus, ia meloncat turun dari kendaraan itu. Sesampainya di gerbang kampus, ia langsung menuju gedung rektorat yang berada di tengah kompleks. Seingatnya, mata kuliah Pengantar Teknologi Pangan akan dilaksanakan di gedung B ruang 201. Melewati pos jaga, ia hampiri petugas.

“Permisi Pak, selamat pagi.” sapa Epul membungkuk sopan.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak satpam.“Sayah mencari ruang 201 gedung B, dimana yah?”

Petugas satpam itu mengamati dandanan Epul dari rambut hingga ujung sepatu.

Hmm, dari dandanannya, pasti anak ini salesman, pikir satpam itu.

“Ee, maaf, bukannya kami tega. Tapi kampus ini menerapkan peraturan larangan berjualan di areal sekitar kampus. Apalagi pada saat jam perkuliahan,” terang Pak satpam melirik jam yang melilit pergelangan tangan kirinya.

“Maaf, Pak, sayah teh mau ikut perkuliahan, bukan mau berjualan.” ucap Epul garuk-garuk kepala tidak paham.

“Oh, mau ikut kuliah?” tanya petugas berbadan tinggi besar itu. Tangan kanannya sibuk mencabuti beberapa helai jenggot yang menjuntai di dagunya dengan dua keping uang logam 500 rupiah. Sesekali, wajahnya meringis menahan perih.

“Kalau begitu, Mas harus ikut dulu seleksi masuk perguruan tinggi negeri atau disingkat UMPTN,” terangnya. “Tapi susah lho, saya juga dulu ikut UMPTN, memilih jurusan astrologi, tapi tidak lulus. Saingannya berat! Makanya saya hanya jadi satpam sampai sekarang. Hehe...”

Epul mengernyitkan dahi. Jurusan astrologi? Ah ini satpam teh asbun (asal bunyi), pikirnya.

“Maksud Bapak jurusan astronomi?” tanya Epul berusaha meluruskan.

“Oh, beda, Mas. Kalau astronomi itu bukan jurusan, tapi ramalan bintang. Nama kerennya zodiak,” ucap satpam itu sangat percaya diri. Jari-jarinya memelintir kumisnya yang baplang hingga kedua ujungnya meruncing ke atas.

Terserah deh, gerutu Epul dalam hati. “Sayah mahasiswa, Pak!”

Satpam terkaget, “Oh ya? Ada tanda pengenal?”“Ada,” tegasnya. Epul mengeluarkan kartu mahasiswa dan menyodorkannya.

Petugas itu menerimanya. Sembari membolak-balikkannya, ia mengamati lembar kartu pengenal itu dan manggut-manggut.

“Oh...jadi anda mahasiswa,” ujar petugas satpam salah

54 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 55

tingkah, “kenapa tidak bilang dari tadi?”Epul terdiam. Bagaimana mau bilang, dari tadi Bapak

langsung main tembak saja, ucapnya membatin. “Tadi tanya gedung apa?” tanyanya lagi.“Ruang 201 gedung B.” Ulang Epul.“Ooh…Sebentar, saya lihat denah ruang dulu, yah. Maklum,

saya baru sebulan bekerja di sini, hehehe,” ucapnya tersenyum malu, sembari menjungkit-jungkitkan kedua alisnya. Ia masuk ruangan. Saat kembali, ia membawa kertas denah.

Satpam itu membentangkan kertas denah di antara dua tangannya. Setelah mempelajarinya beberapa saat, ia berucap,

“Mas langsung saja ke lantai dua gedung ini.” tangannya memetakan, ”ruangnya ada di sebelah kiri lorong gedung.”

“Terima kasih atuh, Pak. Permisi.” Tutup Epul berpamitan dan pergi.

Setelah masuk ruangan, Epul mengambil tempat duduk di barisan depan. Ruangan masih separuh terisi. Beberapa menit kemudian, kursi hampir penuh. Tepat pukul 7.30 dosen masuk ruangan dan memulai kuliah perdananya.

Sepuluh menit sudah perkuliahan berlangsung. Namun, Epul masih belum juga bisa menangkap kemana arah pemaparan sang dosen.

Kenapa pengantar perkuliahan Pengantar Teknologi Pangan berbelit-belit? Apakah untuk mengolah pangan perlu menguasai ilmu aerodinamis? pikirnya.

Selagi menerangkan, dosen berkeliling. “Nah, Anda!” tunjuk pria itu kepada salah satu mahasiswa dengan isyarat tatapan mata. “Apa yang dimaksud dengan gaya dorong?” tanyanya.

Tak ada mahasiswa yang menjawab pertanyaan pria paruh baya itu karena kebingungan. Mereka yang duduk di jajaran kursi depan pun bertanya-tanya siapa mahasiswa yang dimaksud sang dosen.

“Ya, Anda yang berkemeja putih.” ulang dosen itu lagi. Kali ini tangannya menunjuk ke arah mahasiswa yang dimaksud.

“Ooh!” gumam para mahasiswa gempar. Mereka mengerti,

ternyata pandangan dosen itu mengalami deviasi 45o ke arah kanan. Jadi saat matanya melihat ke timur, sebenarnya ia sedang memandang ke arah tenggara. Kini para mahasiswa tahu, siapa orang yang dimaksud oleh dosen tersebut. Orang yang dimaksud dosen itu tak lain adalah Epul, mahasiswa berwajah polos yang menyimpan segudang pertanyaan.

“Tapi Pak, maap39,” Epul angkat tangan, “karena Bapak bertanya maka sayah akan bertanya terlebih dulu.”

Semua mahasiswa tersenyum mendengar pernyataannya yang polos tidak biasa. Ekspresi wajahnya tak bersalah.

“Apakah untuk pengolahan pangan kita perlu menguasai aerodinamis, gaya gesek udara terhadap kendaraan, dan lain-lainnya?” tanyanya tanpa ragu.

Kali ini tak hanya Epul yang bingung. Dosen dan seluruh mahasiswa yang berada di ruangan itu dibuat bingung tujuh keliling oleh pertanyaannya.

“Maksud Anda?” tanya dosen mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu meremang sehabis cukuran.

“Ini kuliah Pengantar Teknologi Pangan, kan?” bisik Epul kepada mahasiswi yang duduk disampingnya.

“Pangan? Ini kuliah perancangan mesin.”“Ini ruang 201?”“Benar.”“Gedung B?”“Gedung A!”“Oh!” hanya itu yang bisa diucapkan Epul. Tangannya

menepuk keningnya sendiri. Ia sadar sudah salah masuk ruangan. Petugas satpam tadi telah salah memberi informasi.

“Pak,” jawab Epul angkat tangan, “Maap, sayah tidak jadi bertanya.”

“Pertanyaan anda tadi apa?” ulang dosen itu.“Maap, Pak, tidak perlu dijawab. Ternyata, sayah salah

masuk ruangan. Permisi.” Ucap Epul, seraya bangkit dari duduk. Buru-buru ia angkat kaki keluar ruangan. Suasana ruang kuliah

39 Epullebihseringmelafalkanhuruf‘f’dengan‘p’

56 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 57

menjadi gaduh. Para mahasiswa di ruang kuliah tergelak tawa. Sebagian lain terpingkal-pingkal. Dosen hanya tersenyum tipis dan berusaha menenangkan suasana.

“Kita lanjutkan kuliahnya.” ajak dosen kepada para mahasiswa, selepas kepergian Epul.

Setengah berlari, Epul keluar ruang perkuliahan. Ingin sekali waktu itu ia melakukan operasi plastik, ganti muka untuk menghindari malu dan menukar identitas. Pengalaman kuliah perdana yang mengesankan.

Tepat setelah Epul memasuki ruang kuliah Pengantar Teknologi Pangan, terdengar suara ketukan pada pintu ruang perkuliahan. Pintu terbuka setengah. Di baliknya tampak Dika sedang berdiri. Wajahnya memelas meminta belas kasihan. Tangannya masih memegang kusen pintu kayu yang berwarna cokelat mengilap itu.

Pak Dosen cemberut, sedikit kesal karena pembicaraannya terpotong. Ia membetulkan letak kacamatanya yang melorot sembari melirik jam tangannya. Beruntung Dika, datang tepat pada batas akhir toleransi keterlambatan, 15 menit.

Di jajaran tengah, beberapa kursi masih kosong. Dika menghampirinya dan duduk di sebelah mahasiswa berambut cepak mirip tentara. Rahangnya kokoh dengan letak mata menjorok ke dalam. Nama mahasiswa tersebut adalah Gerhard Rajagukguk. Ia berasal dari Sumatera Utara. Duduknya tegak dengan dada membusung layaknya posisi siap seorang tamtama yang sedang berbaris. Celananya loreng-loreng cokelat lengkap dengan sepatu tentara, mirip seragam yang dipakai tentara gurun pasir. Belakangan Dika tahu bahwa mahasiswa tersebut sangat terobsesi dengan gaya hidup militerisme. Setahun sebelumnya, ia pernah mendaftar ke AKABRI. Namun, ia gagal karena tinggi tubuhnya kurang dari 160 cm.

Di sampingnya lagi, duduk seorang mahasiswa berambut keriting, bernama Sarkadhut. Kulit wajahnya coklat, dipenuhi bintik-bintik hitam berlubang. Bekas jerawat yang diledakkan

sebelum waktunya. Beberapa helai bulu menjuntai di bawah dagunya. Panjangnya beberapa sentimeter. Helaian ini lebih mirip akar gigi ketimbang jenggot. Asalnya dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah paling barat. Hal ini bisa ditengarai dari logat bicaranya yang khas, istilahnya Bahasa Jawa ‘ngapak-ngapak’.

Badannya yang kerempeng mengenakan kaos hitam berkerah dibalut jaket jeans warna biru tua. Setiap beberapa menit, tangan kanannya menggaruki kulit kepalanya yang terasa gatal akibat gempuran ketombe yang menggila. Setelah itu, ia tempelkan jemarinya itu di depan hidung sambil menghirup napas dalam-dalam. Puas melakukan hal itu, kuku ibu jarinya menjentik-jentik kuku jemari lain untuk membersihkannya. Sehingga, gumpalan kecil benda-benda putih itu belingsatan di udara.

Tak ayal, tingkah tengilnya itu membuat konsentrasi mahasiswa lain yang duduk di depannya sedikit terganggu. Itulah kenapa, dua orang mahasiswi, Rida dan Victoria, berpindah tempat duduk menjauhinya. Mereka mengambil tempat duduk di jajaran depan yang masih kosong. Namun, Sarkadhut tak ambil pusing. Tingkahnya sangat percaya diri.

Dosen yang sedang memberi kuliah itu bernama Pak Firman, pria berumur 55 tahun yang menjabat koordinator mata kuliah Pengantar Teknologi Pangan. Ia tegas dan sangat disiplin. Rumor yang beredar dari kakak angkatan, dia terlalu pelit untuk memberi nilai bagus kepada mahasiswa. Beliau adalah lulusan Wageningen University, The Netherlands. Setelah menyelesaikan program S1 di Indonesia, ia tinggal di Belanda selama 15 tahun untuk menyelesaikan kuliah pascasarjana hingga memperoleh gelar doktor dan menjadi dosen ahli di universitas itu hingga tahun 1995. Setelah itu, ia kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu di almamaternya. Namun sayang, mungkin karena terlalu lama tinggal di Belanda, bahasa Indonesianya sangat kacau. Karena lebih sering menggunakan bahasa asing daripada bahasa ibunya sendiri, ia lupa aturan ‘berbahasa Indonesia yang baik

58 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 59

dan benar’ seperti yang diajarkan oleh J.S. Badudu. Setelah dua jam kuliah berlangsung, sang dosen mulai

bersiap-siap menyudahi pembicaraannya. “OK…para mahasiswa sekalian,” ucapnya menutup

perkuliahan. “Oleh karena daripada minggu depan adalah praktikum, kalian patut bersiap-siap. Get ready yah! So, oleh karena itu, daripada bahan yang perlu dipersiapkan semua ada di dalam buku panduan praktikum. Oleh karena itu40, you sekalian don’t need untuk membawa daripada bahan-bahan secara perorangan yah. Koordinator laboratorium sudah menyediakannnya en membagi peserta ke dalam beberapa kelompok. Any questions?” tanya Pak Firman.

Telunjuknya lagi-lagi mendorong letak kacamatanya yang merosot. Pandangannya menatapi setiap wajah mahasiswa di ruangan tersebut.

Semua mahasiswa hanya terdiam. Sepertinya tak akan ada yang mau bertanya. Di antara mereka, ada beberapa orang yang sibuk dengan kertas catatan, menghitung kesalahan berbahasa Indonesia sang dosen. Sarkadhut dan Gerhard, dua orang mahasiswa iseng itu, saling berpandangan dan tersenyum puas setelah melihat catatan yang mereka buat sendiri. Berdasarkan catatan itu, Pak Firman mengulang frase: ‘daripada’ = 35 kali, you sekalian = 23 kali, oleh karena daripada = 49 kali, selama dua jam perkuliahan.

“Well,” ucap lelaki itu, tangannya sibuk mematikan saklar projector digital dan notebook, lalu membereskan buku-buku teksnya. “Oleh karena kalian semua tidak ada pertanyaan maka daripada itu, kita tutup saja class hari ini, see you then.”

“Auuw!” teriak Rida meringis, melihat mata kanan sang dosen yang tercolok frame kacamata sewaktu akan memasangnya di wajah. Beberapa mahasiswa menahan senyum. Pak Firman menggosok-gosok kelopak mata beberapa saat menghalau perih. Setelah dosen meninggalkan ruangan, semua mahasiswa bergegas meninggalkan tempat duduknya. Kuliah perdana

40 Maaf, ini bukan merusak bahasa. dosen ini benar-benar lupa cara berbahasa Indonesia

yangbaikdanbenarsehinggaoverdosismenggunakanfrase ‘'olehkarena'’dan

‘'daripada'’besertacampuranbahasaIndonesia-Inggris.

sudah selesai. Mereka tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk mempersiapkan praktikum dan menunggu pengumuman pembagian kelompok keluar.

Usai kuliah, para mahasiswa berjalan menuju pintu keluar ruang perkuliahan. Dika berjalan menghampiri Epul, dan bersenda gurau dengannya. Dari selasar ruang, dua orang sahabat itu berjalan menuju kursi taman. Gerhard yang baru saja berkenalan dengan Dika mengikuti dua orang itu, lalu duduk di samping Dika.

“Eh, Gerhard, kenalkan ini sahabatku, namanya Epul.”ucap Dika sembari mengarahkan tangan pada Epul. Gerhard menyalami Epul dan menyebutkan nama. Perbicangan terjadi di antara tiga orang mahasiswa itu. Semangat sekali mereka menceritakan kisah-kisah mereka lulus lubang jarum UMPTN, hingga rencana-rencana kegiatan kemahasiswaan yang akan mereka ikuti.

“Kau sendiri, tertarik masuk unit apa, Bah?” tanya Gerhard.

Dika merenung, “Aku masih bingung.” ucapnya.“Kau?” tanya Gerhard beralih pandangan ke Epul.Epul menggeleng.“Sebetulnya, aku suka kegiatan yang berhubungan dengan

alam.” Ucap Dika menyela.“Wah, kebetulan sekali, bah. Aku juga suka hobi itu.

Bagaimana kalau kita gabung Mountaineer?”“Mountaineer?” tanya Dika mengernyitkan dahi.“Ya, unit kegiatan pecinta alam UNIBA. Bagaimana kalau

kita daftar?” Tanya Gerhard semangat.“Tapi...” jawab Dika ragu.“Kenapa?”“Kau pernah dengar kegiatan rekrutmen anggota baru yang

menelan korban?”“Ha..ha...ha...” Gerhard tergelak tawa, “jangan khawatir,

di kampus ini kegiatan-kegiatan yang berbau kekerasan sudah tidak diijinkan lagi.”

“Benarkah?”

60 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 61

Gerhard mengangguk, tersenyum yakin.“Kalau begitu, sign me up!” ucap Dika semangat.“Bagaimana dengan kamu, Pul?” tanya Dika kepada Epul.Epul menunduk.“Sayah tidak ikut apa-apa.” jawabnya.“Ayolah!” bujuk Gerhard mendukung Dika.“Sayah tidak diijinkan sama Abah.”Usai berbincang-bincang, Dika dan Gerhard beranjak

dari taman kampus. Mereka berniat mendaftarkan diri pada Kegiatan Mahasiswa ‘Mountaineer’. Ruang sekretariatnya tidak begitu jauh dari taman itu. Saat Dika dan Gerhard baru berjalan beberapa langkah, Sarkadhut tergopoh mengikutinya keluar dari ruang toilet sembari berteriak,

“Hei! Gerhard..! Dhikaa!..” teriaknya pada sahabat barunya, “tunggu inyong!”

Sembari berlari, tangannya sibuk menutup risleting celana yang masih terbuka. Sampai di depan dua sahabatnya, wajah Sarkadhut meringis dengan badan terhuyung. Matanya mendelik, menahan sakit yang tak tertanggungkan. Dika dan Gerhard tidak tahu apa penyebabnya.

lll

Sekretariat Mountaineer

Seorang mahasiswa, berambut panjang terikat, sedang memberi pengarahan kepada para mahasiswa yang baru saja dilantik menjadi anggota Mountaineer. Mahasiswa tersebut biasa dipanggil ‘Kang Kunkun.’ Nama sebenarnya mahasiswa gagah itu adalah ‘Pria Perkasa Sembada.’ Banyak orang bertanya-khususnya anggota baru, dari mana panggilan ‘Kang Kunkun’ itu berasal. Mengingat, nama asli dan nama panggilan dedengkot Mountaineer itu sangat jauh berbeda.

Dika, Gerhard, dan Sarkadhut tampak memaku konsentrasi pada orasi ketua Mountaineer tersebut di tengah sekumpulan mahasiswa berambut cepak.

“Sebagai bentuk kepedulian kita kepada alam, kita-anggota Mountaineer, dirasa perlu untuk menyikapi adanya rencana pembangunan pabrik air mineral. Mengingat pembangunannya akan dilakukan di daerah yang termasuk bagian Cagar Alam Taman Hutan Ir. Djuanda. Ini jelas-jelas akan merusak alam. Disamping itu, supply air bersih untuk masyarakat di sekitar pabrik akan terancam mengingat adanya monopoli penguasaan sumber air.”

Para anggota Mountaineer baru, sebagian besarnya adalah mahasiswa baru yang masih polos, tersulut semangat mendengar paparan dari Kang Kunkun yang berkobar-kobar.

“Oleh karena itu,” sambung dedengkot Mountaineer itu, “besok kita turun ke jalan, menyuarakan suara rakyat, suara alam, demi Indonesia yang berkeadilan. Kalian siap??”

“SIAAPP!” teriak para anggota serempak, sembari mengepalkan tangan ke udara.

lll

Kantor PT. CAI Ngagolontor, Tbk., Bandung

Dalam ruang ber-AC di kantor yang terletak di Jalan P. Diponegoro, Bandung, beberapa orang petinggi PT. CAI Ngagolontor, Tbk., sedang melakukan rapat pematangan rencana ekspansi produksi di daerah Jawa Barat.

“Berdasarkan pengujian sampel air di laboratorium, kualitas airnya lebih dari layak Pak!” ucap presenter yang merupakan salah satu staff R&D. Pandangannya beralih kepada slide presentasi di layar putih. Direktur perusahaan PT. CAI Ngagolontor, Tbk., Pak Ryanto, mengangguk setuju. Ia melirik ke salah satu stafnya untuk melanjutkan presentasinya. Staf pun mengangguk lalu melanjutkan kembali penjelasannya.

“Beberapa kriteria sesuai dengan baku mutu air minum dan SNI, saya paparkan di sini.” sambung presenter itu. Tangannya menyentuh keyboard lembut laptop yang tersanding di atas meja. Ia menerangkan point-point penting. Peserta rapat rencana

62 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 63

pembangunan instalasi air minum dalam kemasan (AMDK) dalam ruangan tersebut mengangguk-angguk.

PT. CAI Ngagolontor, Tbk., adalah salah satu perusahaan kategori PMA asal negeri tetangga, yang bergerak di bidang air minum mineral dalam kemasan. Produknya selama ini sudah diterima secara luas di pasar dalam negeri dengan merk, ‘Siip’.

“Lalu bagaimana dengan penduduk sekitar, apakah mereka sudah mengijinkan?” tanya Pak Ryanto.

Berdirilah salah seorang dari divisi humas. “Kami sudah membicarakannya dengan pejabat setempat,” jawabnya, berhenti sejenak, sambil mendehem, “kita sudah melobi supaya mereka sendiri yang berhubungan dengan penduduk.”

“Bagus!” ucap direktur singkat, “jadi kita tinggal kasih pejabat itu fee, sesuaikan saja dengan anggaran yang tersedia” bibirnya menyeringai puas. Staf Humas itu mengangguk setuju.

“Ok..saya rasa, rapat saat ini sudah cukup, silakan ditutup!” lanjut direktur melirik ke pimpinan rapat.

Beberapa hari kemudian, proses pembebasan lahan pun dilaksanakan. Prosesnya dikawal oleh beberapa kompi pasukan dari kepolisian. Patok-patok batas untuk pembangunan pabrik air mineral sudah terpasang. Di lahan yang sudah dipatoki itu, beberapa petugas dari pemerintahan dan PT. CAI Ngagolontor, Tbk., sedang berbincang-bincang.

Di jalan, beberapa ratus meter dari tempat itu, puluhan mahasiswa mengenakan ikat kepala putih bergerak dikomando oleh seorang koordinator yang membawa megaphone. Mereka mengenakan atribut ‘Pasukan Mountaineer’, dan sebagian membawa panji dan bendera UNIBA. Pengunjuk rasa di jajaran depan meneriakkan yel-yel perlawanan, sembari membawa beberapa poster dan spanduk bertuliskan:

“Kami Tidak Sudi Pembangunan Pabrik”“Jangan Rebut Air Kami”“Turunkan pejabat yang sudah melakukan konspirasi

dengan pihak PT CAI”Pengunjuk rasa melakukan barikade di sekeliling tanah-

tanah yang sudah berpatok. Pria berambut gondrong-Kang

Kunkun yang menjadi motor utama unjuk rasa itu, memberi perintah pasukan menyebar berkeliling. Barisan ‘Border’ saling bergandengan tangan, menjaga pasukan dari penyusup.

Di tengah aksi dorong-mendorong pengunjuk rasa dan pasukan keamanan, Dika dan Gerhard saling merapat. Mereka mengamati salah satu poster yang terlihat ganjil.

“Kau lihat poster itu, bah!” bisik Gerhard pada telinga Dika.“Turunkan harga BBM.”“Loh..kok BBM?” tanya Dika, melihat keganjilan poster

dalam unjuk rasa itu. Lalu dia membisikkan sesuatu pada Gerhard. Mereka saling mengangguk dan berjalan mendekati koordinator unjuk rasa, Kang Kunkun.

“Hei...Inyong melu!” teriak Sarkadhut yang tak ingin ketinggalan. Ia berlari menyusul kedua sahabatnya.

“Kang koordinator, ada yang sengaja mengalihkan isu!” bisik Dika serius berlipat-lipat ke koordinator unjuk rasa, “pasti ada provokator!..penyusup! saya yakin itu!”

Wajah serius Sarkadhut hanya manggut-manggut.“Maksud kamu?” tanya koodinator sambil mengelap keringat

yang mengucur di dahinya.“Tuh lihat di sebelah kanan kita, orang saltum itu!” bisik

Gerhard lagi sambil memberi isyarat dengan lirikan matanya.“Astaghfirullah! Salto? Waduh..gawat kita aksi damai..tidak

usah, deh pakai salto-saltoan!”“Saltum..Kang!..salah kostum! Bukan salto…Tuh, orang

yang pakai sarung.” ujar Dika sedikit geli, “Lagipula, sejak kapan unjuk rasa ini isunya BBM?”

Koordinator mengangguk-angguk, “Iya..iya…kamu cerdas sekali.” pujinya sambil bersidekap.

“Ah..Kang Kunkun, ...orang bego juga tahu!”“Syukurlah..kalau kamu sadar. Aku juga ngga sungguh-

sungguh muji kamu.” ucapnya menyeringai, sambil tangannya sibuk mengelus-elus rambut gondrongnya yang jarang keramas.

“Nih..tolong titip megaphonenya.” Ucap Kang Kunkun kepada Sarkadhut. Sarkadhut mengangguk senang. Ia seperti seorang anak kecil yang diberi mainan baru. Seumur-umur, baru

64 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 65

kali ini ia bisa memegang alat yang membuat suara terdengar lebih garang. Obsesinya sejak SMA, ia ingin merasakan berdemonstrasi di jalan, merasakan kebanggaan seperti kakak-kakak mahasiswa yang terlihat gagah saat melakukan orasi.

Setelah menitipkan megaphone, Kang Kunkun berjalan mendekati orang yang membawa poster salah jurusan.

“Hei..Mas!, kamu ini aksi bayaran, ya?” tanya Kang Kunkun setelah mendekat.

“Maksud Anda?” tanya demonstran balik, “Mas jangan sembarangan menuduh dong!” ucap pemuda itu sewot.

“Itu poster kamu, kok turunkan harga BBM? Kamu tidak tahu ini demonstrasi untuk membatalkan pembangunan pabrik PT. CAI?”

“Loh..tadi pagi, kan anda yang ngasih ke saya?” jawabnya dengan ekspresi agak bingung.

“Loh…” tanya koordinator, sambil menepuk keningnya sendiri, “yang benar?”

“Iya..sumpah, Mas!” ucap demonstran teguh.“Mas bukan mahasiswa, kan?” tanya Kang Kunkun.“Memang bukan.” jawab pemuda itu.“Lalu, kalau boleh tahu, Mas ini siapa, ya?”Orang itu geleng-geleng kepala, “Masa, sih, lupa?” tanya balik orang yang mengenakan

rompi bertuliskan nama surat kabar harian di Indonesia.Dahi Kang Kunkun berlipat-lipat, mencoba mengingat

sesuatu. Ia garuk-garuk kepala tak gatal.“Tadi, saya kan sedang berkeliling jualan koran. Lalu Mas

datang, dan mengajak ikut aksi karena jumlah pengunjuk rasa tidak terlalu banyak. Saya dijanjikan akan diberi makan siang. Karena aksi ini damai, ya...saya ikut. Begitulah.”

Kang Kunkun, “Ohh...jadi..kamu tukang koran itu, ya?”Demonstran itu mengangguk.“Kalau begitu, saya minta maaf. Saya lupa!” ucap Kang

Kunkun sambil ngeloyor.Kejadian ini membuat Dika dan anggota baru yang lain

maklum mengenai asal-usul nama ‘Kunkun’. Nama itu tidak lain

adalah kependekan dari kata ‘pikun’ yang diulang. Itulah kenapa pentolan Mountaineer itu dijuluki demikian.

lll

Sonata

Pertemuan Tak Terduga

Opel Blazer Renee, hitam mengilat, melaju kencang di jalan tol Cileunyi - Padalarang ke arah barat. Jarum speedometer pada dashboard mobil menunjukkan angka 80 km/ jam. Di sepanjang jalan tol, beberapa petak sawah terhimpit oleh pagar bata dan bangunan. Perbedaan warna yang kontras antara hijau daun padi yang menyejukkan mata dengan cokelat tanah urugan dan tembok batako yang kusam. Namun, sebelah kiri jalan, pemandangan tampak mengagumkan. Sejauh mata memandang, hamparan padi yang menguning. Berlatar belakang deretan gunung-gunung berwarna biru tua yang tersiram cahaya lembayung matahari sore.

“Dika, di konser nanti, kamu akan kukenalkan dengan sahabatku.” ucap Renee. Tangannya sibuk mengatur kemudi mobilnya.

“Oh...iya?” Dika menoleh,”siapa namanya?”“Serenada. Dia salah satu anggota string section. Kuliah

di Fakultas Seni. Kemampuan bermain biolanya luar biasa. Menurutku, ia seorang virtuoso. Mengenalnya sudah tiga tahun sejak aku masih sekolah VWO41 di Belanda.”

“Kau baru menceritakannya sekarang?”

Renee tersenyum. “Alasannya sederhana. Tapi, aku takut

41 VWO (Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs), setingkat dengan SMA di

Indonesia

66 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 67

kau bakal menertawai pikiran konyolku!”

Dika melirik. Tersenyum. ”Jadi apa?”

”Tapi awas, ya. Kau jangan tertawa! Dia sangat cantik. Aku takut kau jatuh cinta padanya.”

Dika tertawa. Tangannya menepuk-nepuk lututnya sendiri.

”Tuh kan, kamu tertawa.”

”Lantas, apa yang membuatmu takut?” Tanyanya sembari terkekeh, ”jika aku mencintai laki-laki, itu yang harus ditakuti.” selorohnya, ”tapi, jujur saja. Aku termasuk orang yang jarang jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Namun, Renee diam saja. Ia tak menanggapi kelakar Dika. Suasana hening beberapa saat.

”Kau sering menghadiri konsernya?” Tanya Dika membuka keran percakapan yang tersumbat.

Renee menggeleng. “Aku tak pernah melewatkan konsernya meskipun lebih suka musik etnik Indonesia dibanding musik klasik. Dia selalu memintaku datang. ”

”Lantas, kenapa kau selalu menontonya?”

”Pintanya berarti kewajibanku. Sebagai sahabat, kami harus selalu saling mendukung.” Jemari Renee menekan tombol tape mobil. Denting suara piano merayap. Disusul tiupan saksofon mengalir mendayu-dayu, mengisi jeda mereka tanpa kata-kata, “Aku sangat suka lagu ini, Know You by Heart,” gumam Renee menyela musik yang mengalir.

“Kau menyukai Dave Koz?” tanya Dika.“Not really, hanya lagu ini dan jenis light jazz. Selebihnya

aku lebih suka musik etnik, gamelan, angklung, kecapi suling.” Mobil mereka sudah berada 500 meter di belakang putaran

menuju gerbang tol Buah Batu. Dari arah belakang, sebuah Soluna perak, meluncur dengan kecepatan tinggi dan menduluinya dari lajur kanan. Tak dinyana, sedan itu langsung menukik ke kiri menggunting jalur. Mobil tampaknya hendak keluar menuju gerbang tol Buah Batu.

”Awas!!” Seru Dika.Renee berteriak. Ia terperangah. Spontan, ia menekan pedal

rem sekuat tenaga. Mobil berdecit melengking. Roda kendaraan menggelosor di atas jalan aspal. Namun, jarak kedua kendaraan itu terlalu dekat. Benturan pun tak terhindari.

”BRAKK!” Moncong kendaraan Renee menghantam bumper belakangnya. Sedan perak itu terlonjak ke depan.

Mobil itu menepi di bahu jalan. Renee mengikutinya, beberapa langkah di belakangnya. Beberapa saat kemudian, pintu sedan terbuka. Dari dalamnya, menyembul seorang pemuda berbadan besar, lalu membanting pintu. Langkahnya berderap. Ia berjalan menuju mobil Renee dan Dika.

”Oh...Tuhan...” Gumam Renee kaget. Jantungnya masih berdegup kencang. Tanpa mata berkedip, ia mencoba melepas ketegangan dari kecelakaan yang nyaris menimpanya.

”Hei, Nona!” Teriak pria itu sengau di samping pintu mobil Renee, ”Anda bisa menyetir tidak?”

Mendengar itu, Dika tersulut emosi. Betapa tidak, dengan entengnya ia melemparkan kesalahan kepada orang lain. Jelas, ia yang bersalah karena kendaraannya menggunting jalur. Terlebih lagi, ia berbelok tanpa memberi lampu isyarat.

”Maaf. Mobil anda menggunting jalur, belok tiba-tiba dari lajur kanan tanpa isyarat. Kami tak punya jarak.”

”Kamu jangan ikut campur! Ini urusan saya sama gadis bule ini!” Semprotnya. Jari tangannya menunjuk-nunjuk Dika.

Dika geleng-geleng kepala. Ia keluar dan berjalan mengitari mobil untuk berbincang dengan pemuda itu.

”Kau lihat bumper belakang mobilku? Aku minta ganti rugi!” Teriaknya sembari jari tangannya menunjuk-nunjuk. Tatapan matanya menantang.

Dika menggeleng. ”Kami sebenarnya tak mau ribut dengan masalah sepele ini. Tapi, anda memaksa. Tunggu sebentar...” ia merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Ia menekan beberapa nomor. Beberapa saat kemudian ia sudah bercakap-cakap di telefon genggamnya.

68 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 69

Tak tahu apa yang ada di benak pemuda itu. Di tengah Dika berbicara melalui ponselnya, ia ngeloyor menuju mobil sedannya tanpa bersungut-sungut. Mobil itu menjauh pergi.

Dika menyudahi percakapan. Ia menutup ponselnya dan berjalan kembali menuju mobil.

”Siapa yang kau telefon?” Tanya Renee.”Tidak ada.” Ucapnya, ”buat kirim pesan saja tak ada pulsa,

apalagi untuk telefon.””Jadi kau baru saja bersandiwara?”Dika mengangguk. ”Orang seperti itu banyak. Mereka tidak

mau mengaku kalau dirinya bersalah. Aku tadi cuma pura-pura menelefon Polresta Bandung, dengan Bapak AKBP Koko. Padahal, itu adalah nama penjual siomay yang tiap pagi melewati rumahku.” papar Dika tertawa.

”Dasar kamu!” timpal Renee, ikut tersenyum, ”iseng!”Mobil kembali meluncur. Beberapa saat kemudian keluar

di gerbang tol Pasteur. Saat ini mereka sudah mencapai Jalan Taman Sari. Dari sana, mobil berbelok ke arah kiri hingga sampai di Gedung Sasana Budaya Ganesha.

Suasana gedung tampak ramai. Hampir pukul 7 malam. Setengah jam lagi, konser Bandung Youth Philharmonic Orchestra berlangsung. Tampak di pintu masuk sejumlah penonton antri dalam dua barisan untuk registrasi. Di apron panggung, sudah berjejer alat musik harpa, piano, dan set panggung untuk conductor. Sejumlah panitia sibuk hilir mudik di belakang panggung dan luar ruangan.

Sewaktu Renee mencatat nama mereka berdua di daftar hadir, Dika berbisik kepadanya,

”Aku mau ke toilet sebentar.”Renee menengok. “Jangan lama-lama, acaranya sebentar

lagi mulai.” pesan Renee singkat.Dika menjawab dengan anggukan. Setelah Renee masuk

ruangan, ia menuju restroom. Tak lama, ia ke luar dari ruang itu dan berhenti di depan papan informasi. Setelah merasa cukup melihat-lihat agenda acara yang terpampang padanya, ia

ngeloyor pergi dengan santai menuju pintu masuk aula. Mulutnya mencorong ke depan sambil bersiul.

Dari tempat parkir Sasana Budaya Ganesha, seorang gadis berambut panjang berlari ke arah gedung terburu-buru. Tangannya menenteng kotak biola serta beberapa lembar kertas putih yang berisi partitur musik. Ia adalah salah satu anggota orkestra yang sebentar lagi akan naik panggung. Ia melewati koridor yang menghubungkan pintu utama dan pintu belakang menuju panggung. Beberapa kali tangannya membenahi letak helaian kertas di tangan kirinya.

“BRAKK!!” Dika bertubrukan dengan gadis itu di koridor gedung.

Suaranya memancing perhatian beberapa orang yang masih berada di luar gedung konser.

“Aduh, maaf, aku sedang buru-buru!” ungkap gadis itu tergugup, seraya bersimpuh di lantai dengan kedua lututnya. Lentik jemarinya, dengan sederet kuku yang indah seperti bulan sabit merah sibuk memunguti beberapa helai kertas yang terserak di sekitarnya. Rambutnya yang hitam legam bergelombang jatuh tergerai ke bawah menutupi sebagian wajahnya. Kilauan sinar tajam berloncatan dari mata anting berlian yang menggantung di telinganya.

Dika tak bisa berkata-kata. Ia hening, menahan napas. Dalam rasa kaget yang belum sepenuhnya sirna, dirinya terpana saat melihat keanggunan paras gadis itu. Bulu matanya lentik, hitam legam, dan panjang menghias bola matanya yang bening. Di atasnya, kedua alis yang tertata seperti untaian helaian sutra memayungi. Kulit wajahnya putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu samar. Dagunya seperti bulat telur pada sepasang rahang yang tegas. Beberapa saat lamanya ia tak mengedipkan mata. Seperti terhipnotis.

“Permisi!” ucap gadis yang mengenakan celana panjang hitam dengan setelan jas resmi itu. Usai memunguti lembaran kertas partitur, ia bangkit dengan langkah tergesa, lalu pergi menjauh.

Dika tersadar. Selembar kertas tertinggal.

70 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 71

“Hei, ada yang tertinggal!” teriak Dika, mengacungkan tangannya.

Langkah gadis itu terhenti saat mendengar teriakan. Terdiam di tempat, ia melemparkan pandangan ke arah selembar kertas dalam genggaman tangan Dika.

“Ada yang tertinggal?” ulangnya.Gadis itu berlari mendekat. Setelah mengambil lembaran

kertas itu, ia berbalik dan melangkah lagi, lalu terhenti beberapa langkah. Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih dan memberi senyuman indah.

Suara gadis itu mengalun merdu, jernih seperti melodi dari petikan dawai-dawai harpa. Dika membalasnya dengan anggukan. Gadis itu pun berbalik, lalu berlari kecil ke arah pintu belakang ruang konser. Dika memandanginya hingga sosok gadis tersebut menghilang pada belokan lorong gedung. Seiring hilangnya sosok tersebut dari pandangan, ia menghela napas panjang. Setelah membereskan kerah bajunya, ia melangkahkan kaki memasuki pintu utama sambil tersenyum sendiri.

Sesampainya di dalam ruang pertunjukan, pandangan matanya mengitar. Kursi hampir terisi semua. Ia agak kerepotan mencari kursi yang kosong. Waktu itu, ponselnya mendapat pesan singkat dari Renee bahwa kursi yang bersebelahan dengannya sudah terisi dan memintanya untuk mencari tempat yang lain. Ketika ia melewati kursi di barisan tengah, ada kursi yang kelihatannya masih belum terisi. Beruntung dia, setelah memastikan kepada orang yang duduk di sampingnya, kursi itu benar-benar kosong.

Tepat pukul 19.30 konser dimulai. Orkestra yang sering membawakan repertoar musik-musik klasik itu terdiri dari 60 anggota, yaitu seorang konduktor, violinist, pemain viola, cello, harpa, perkusi, dan alat musik tambahan. Di jajaran terdepan, terdiri dari pemain piano, terompet, dan perkusi. Salah seorang di antaranya memegangi tangkai harpa.

Puluhan lampu panggung yang berwarna-warni menyala. Lalu, tangan sang konduktor mengangkat batonnya ke langit

turun naik. Nada suara biola rendah berbarengan suara viola mencuat meloncat memainkan frase orkestra pertama. Kemudian disusul merdu sentuhan tangan pianist pada tuts-tuts piano yang meloncat-loncat lincah di antaranya. Setelah itu, serentak terdengar agregat melodi yang harmonis, memainkan opening passage dari Mozart’s Piano Concerto no. 9. Pada bagian pertama, denting piano mengemuka disusul gesekan biola yang menyela. Di bagian kedua dari konserto itu, denting piano pelan mengalun menghanyutkan. Seolah nada-nadanya monolog, meskipun dialog dengan orkestra tetap harmonis. Pada bagian ketiga, Rondo, melodi dari alat musik berdawai mendominasi orkestra diiringi nada-nada piano. Di movement ini, dialog yang sempat dibangun pada bagian opening passage antara piano dan orkestra mencapai klimaksnya dengan tempo cepat. Masih dalam bagian ini, Concerto itu ditutup oleh minuet dengan ritme yang menurun lebih lambat.

Setelah karya pembuka, orkestra menggiring khalayak kepada beberapa karya Mozart berikutnya. Dimulai dari Mozart’s Piano Concerto no. 21 in C Major, K. 467. Mozart’s Symphony no. 40 in G Minor, K. 550, sebuah simfoni yang mengaduk-aduk perasaan dan kekalutan emosi. Penonton siaga bersemangat. Selama konser, penonton terhanyut menyimak karya-karya agung yang dimainkan orkestra hingga akhir konser.

Riuh tepuk tangan hadirin mengakhiri konser musik dalam rangka Dies Natalis ITB ke-41. Konduktor musik dan anggota orkestra membalasnya dengan membungkuk hormat. Apron panggung menjadi gelap saat lampu ruang auditorium benderang.

Seusai pertunjukan, Renee mendekati panggung utama. Tangannya menggenggam buket bunga anyelir merah muda untuk sahabatnya. Di sana, tampak Nada sedang berbincang dengan teman sesama anggota string section orkestranya.

”Nada...!” teriak Renee dari jauh. Tangannya melambai-lambaikan buket bunga di udara. Wajahnya cerah berseri.

Teriakan itu menghentikan perbincangan Nada.

72 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 73

Pandangannya menoleh ke arah sumber suara.”Renee..??” serunya. Ia kaget bercampur gembira. Tak

sabar menunggu sahabatnya mendekat, ia malah berlari menyongsongnya, lalu berangkulan segera setelah mendekat. Kedua sahabat itu berpelukan lama sekali.

”Hoe gaat het? apa kabar?” ucap Renee tersenyum.”Baik.” jawabnya tersenyum. ”Terima kasih, Renee, kamu

selalu menyempatkan waktu untuk menghadiri konserku.””Sama-sama, aku juga senang melihat konsermu sukses.”

balas Renee. Badannya merenggang, ingin mengamati wajah sahabatnya lebih jelas, ”Luar biasa! Kau memang seorang virtuoso!” sambungnya tersenyum lebar.

”Ah...Renee, terima kasih,” ucap Nada tersipu. ”Anyway, aku senang kalau kau menikmati pertunjukan tadi, lho....”

Puas berpelukan, kedua gadis itu berjalan ke arah kursi penonton di barisan depan.

”Kamu dengan siapa ke sini?” tanya Nada setelah mereka duduk. Ia meletakkan kotak biolanya di atas pangkuan.

”Oh...iya!” ucap Renee baru teringat sesuatu. ”Aku tadi bersama sahabatku.” jawabnya.

Pandangannya mengitar, mencari seseorang, ”Nah itu dia...” pekiknya girang, saat pandangannya menangkap sosok yang dicarinya, Dika, yang duduk di kursi barisan tengah. Renee melambaikan tangan ke arahnya. Melihat isyarat itu, Dika bergegas menghampirinya.

”Nah...ini dia makhluknya.” ucap Renee tertawa setelah Dika mendekat. ”Nada, kenalkan. Ini sahabatku, namanya Dika,” mencoba mengakrabkan kedua orang itu.

Dika menyodorkan tangan kanannya hendak bersalaman. Nada menoleh ke arahnya.

”Serenad...,” ucapannya tak tuntas. Kekagetan membekap mulutnya.

Dika melongo melihat Nada.

”Lho, kamu??...” Nada terkaget-kaget. Lalu tersipu, terdiam

menahan senyum.

Dika tersenyum kecil, lalu duduk di samping mereka. Wajah Nada memerah, menunduk menyembunyikan senyum. Ekspresi aneh yang mereka tunjukkan membuat Renee penasaran.

”Loh, kalian sudah saling kenal, ya?” tanyanya.

Kedua orang itu pun saling melempar senyum mendengar pertanyaannya. Renee masih belum paham apa yang terjadi.

”Jadi...??” Tanya Renee mendesak.

Dika dan Nada terdiam beberapa saat, menikmati wajah Renee yang sedang bingung.

”Ah...kalian jahat, coba terangkan!”

”Jadi begini...,” suara itu meluncur dari mulut Dika dan Nada hampir berbarengan. Kedua orang itu pun mengunci mulut lagi, saling bertukar pandang, tersenyum, lalu tertawa puas. Dika kemudian menerangkan kejadian yang sebenarnya ketika dia bertubrukan dengan Nada beberapa saat sebelum konser dimulai. Mendengar penjelasan dari sahabatnya itu, Renee akhirnya ikut tertawa. Perbincangan pun mengalir di antara mereka bertiga dan berakhir ketika Nada tersadar akan waktu. Ajakannya keluar gedung pertunjukan diamini Dika dan Renee. Tak berapa lama, mereka berjalan meninggalkan ruang pertunjukan itu.

Mereka berpisah di tempat parkir mobil. Renee bersama Dika pulang ke arah Jalan Asia-Afrika. Mengendarai ’Zafira’nya berwarna merah metalic, Nada pulang sendiri ke rumahnya, di daerah Bandung utara.

Rumah Nada terletak di kaki Gunung Tangkuban Perahu, termasuk ke dalam daerah Kecamatan Parongpong. Ia meninggali sebuah rumah mewah bersama seorang pembantu. Ibunya tinggal di Jakarta bersama adik-adiknya. Sedangkan Ayahnya yang seorang pebisnis, tinggal di Australia. Sejak Nada berumur 11 tahun, kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah.

lll

74 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 75

Di sebuah rumah kuno bekas villa peristirahatan, Renee tinggal. Rumah itu terletak di desa Mekarwangi, Bandung utara. Karena bangunan itu berdiri di atas tanah yang agak tinggi, pemandangan luar terlihat jelas dan memukau. Tampak di sebelah timur, sawah-sawah yang berundak-undak mengikuti kontur di punggung bukit, menghijau menyejukkan mata. Air merayapi setiap petaknya dan mengalir hingga ke bawah. Lalu di sebelahnya terdapat lembah luas yang ditumbuhi oleh hijaunya pohon-pohon pinus dan damar. Hijaunya dedaunan berpadu kekuningan akibat terpaan sinar matahari yang sudah beranjak meninggi. Kawasan ini menjadi cagar alam Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Di tengah lembah itu, mengalir deras air yang berhulu dari Curug42 Omas dan Maribaya. Curug ini kelak menjadi aliran sungai Cikapundung, hingga hadir di tengah kota Bandung.

“Dika, coba lihat ini!” teriak Renee dari ruang tengah rumah. Menuruti ajakannya, Dika mendekati sahabatnya yang sedang membuka-buka buku bersampul hitam. Sebuah album foto yang sudah berbilang puluhan tahun. Ia tinggalkan gitar yang tadi dimainkannya di kursi rotan panjang di depan beranda rumah.

“Ada apa, Renee?” tanyanya penasaran. Sahabatnya itu menarik kursi dan mempersilahkannya

duduk. Renee menggeser album foto yang sedang dipegangnya itu di atas meja, memperlihatkan kepada Dika.

“Inilah yang aku suka dari Indonesia. Senyum ramah penduduknya,” ujar Renee sambil mengarahkan telunjuk kepada foto seorang perempuan yang mengenakan kebaya tradisional, “coba kau tebak, siapa wanita ini?”

Dika mengamati foto-foto usang yang diunjukkannya. Ia menggelengkan kepala. Foto itu berwarna hitam putih. Wanita pemakai kebaya itu duduk di antara para meneer dan nyonya Belanda. Hanya dialah yang mengenakan kebaya dan hanya dialah satu-satunya orang yang berwajah pribumi. Foto itu seolah bertutur bahwa ia adalah wanita yang sopan, bersahaja, dan setia.42 Air terjun

“Ya ampun, ini foto tahun berapa, Renee? Tampak sudah lama sekali?” tanya Dika sambil meraba lembaran kertas berwarna hitam putih itu dengan jemarinya.

Renee tersenyum puas, lalu menyandarkan badannya pada kursi, “Ini album foto milik Opaku. Wanita yang mengenakan baju kebaya itu adalah Omaku.”

Dika terkaget, “Oma? Nenek kamu? Orang Indonesia?” Renee mengangguk, tetap tersenyum, “Indonesian, she is

Indonesian! Hard to believe?” ucapnya, lalu tertawa.“Pantas!” gumam Dika, sambil mengangguk-angguk.“Pantas?? what do you mean?” tanya Renee dengan

pandangan menyelidik. Wajahnya mendongak ke depan.“Itulah kenapa aku melihat guratan Asia pada wajah

Eropamu.”Renee tersenyum simpul.

“Opa menikah dengan gadis pribumi. Aku kagum padanya. Pemikirannya seringkali bertentangan dengan orang-orang pada masanya. Meskipun amtenaar Belanda, ia sering menentang kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan pribumi. Ia lama tinggal di Indonesia sebelum akhirnya harus pergi meninggalkan surga tropisnya untuk selamanya. Dan juga...” tiba-tiba Renee terhenti, lalu menunduk.

”Dan juga apa, Renee?” tanya Dika. Ia menyadari wajah Renee menjadi sedih.

“Dan juga meninggalkan Omaku.”

“Aku turut sedih, Renee,” ucap Dika simpati. Kemudian ia beralih lagi mengamati album foto kuno itu. “Kedengarannya menarik. Bagaimana kisah Opamu bermula?”

Renee terdiam beberapa saat, lalu bangkit. Ia bergegas memasuki ruang tengah, meninggalkan Dika yang diam terpana dengan tingkah laku sahabatnya itu. Beberapa saat kemudian, Renee muncul dari pintu tengah.

“Mari ikut aku!” ajaknya sambil tersenyum. Jari telunjuknya mengacung, memutar-mutar gantungan kunci mobil.

76 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 77

“Ke mana, Renee?” tanya Dika tidak paham.

“Kamu ingin tahu kisah Opaku, kan? Kita kunjungi beberapa tempat di mana kisah itu dimulai.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Dika, “Come on!”

“Tapi, Renee...” sela Dika sambil melirik jam tangannya, “aku masih ada kegiatan di kampus jam tiga.”

Renee menggamit tangan Dika, “It won’t be long, trust me!” bujuknya, mengangguk. Sembari berlari, Renee membetotnya keluar rumah.

Tak kuasa menolak, Dika bangkit membuntuti langkah sahabatnya keluar rumah. Setelah memasuki Opelnya, Renee meluncurkan mobil ke arah selatan. Jalanan lengang, belum jam pulang kantor. Beberapa saat kemudian, ia menghentikan kendaraannya di depan Savoy Homann, hotel bersejarah bagi Opanya.

Hotel Savoy Homann berdiri di sisi selatan Jalan Asia-Afrika. Bangunan antik tersebut menghadap ke arah Gunung Tangkuban Perahu. Dipugar pada tahun 1929, hotel milik A. Homann ini mulai mendapat sentuhan art deco, gaya arsitektur yang populer waktu itu. Di tahun 1937 - 1939, hotel ini kembali dipugar sehingga menyerupai wujudnya yang sekarang. Bergaya arsitektur art modern style, hotel yang awal berdirinya tahun 1871 - 1872 ini dihiasi oleh garis-garis tegas mendatar pada dindingnya. Catnya berwarna abu-abu tua dan hitam dengan jendela berkaca penuh ornamen hiasan. Halamannya dihiasi oleh air mancur dan taman yang ditumbuhi pohon palem.

“Di sinilah semua kisah itu bermula.” ucap Renee. Tangannya mematikan mesin mobil.

Dika menyapukan pandangan ke seluruh bangunan itu.“Tahukah kamu, Dika, apa yang membuat Opaku langsung

jatuh hati kepada Indonesia pada saat pertama kali tiba?” tanya Renee sumringah sambil mencondongkan wajahnya ke arah Dika. Dika menggeleng, tak tahu.

“Kata Opa, hal yang selalu dikenangnya adalah sewaktu

tiba pertama kalinya di pantai Batavia saat turun dari kapal laut. Selagi masih di atas kapal dan melayangkan pandangan ke arah daratan, ia seperti mendekati sebuah kepingan nirwana yang terserak di bumi. Ia takjub sekali dengan sambutan hangat pohon-pohon kelapa tepi pantai: hijau, sejuk, dan pelepahnya meliuk gemulai bersama embusan angin. Di kejauhan, kokoh menjulang Gunung Salak yang membiru dengan gumpalan awan-awan putih mengelilinginya. Burung-burung camar yang terbang rendah, berkejaran meningkahi ombak yang buihnya terapung-apung. Kala itu, ia bak berada di negeri impian. Sebuah negeri yang ramah dan ’hangat’ sepanjang tahun, di kala negerinya sedang musim dingin.”

“Mengenai kedatangan Opamu di Indonesia?”“Saat itu, Opa baru saja lulus studi Indologi43 di Universitas

Leiden pada tahun 1933. Ia ditugaskan di Hindia Belanda untuk menjadi amtenaar44 menengah di Gemeente Bandoeng. Awalnya, ia hanya menuruti semangat petualang jiwa mudanya. Namun kemudian, tanpa dinyana, ia merasa betah tinggal di negeri ini, lebih di banding negerinya sendiri.”

“Di tempat bertugasnya, Opamu menikah dengan gadis pribumi. Semacam ‘cinlok’, cinta lokasi kaum selebriti jaman sekarang?” Tanya Dika berseloroh.

Renee tersenyum. Ia mengangguk.

“Suatu saat, Opa dan amtenaar lainnya sedang mengikuti seminar mengenai penataan dan pembenahan wajah kota, yang diprakarsai oleh Bandoeng Vooruit45, bertempat di hotel ini selama beberapa hari. Di acara itulah, ia berkenalan dengan salah seorang peserta. Ia adalah putri seorang pejabat pribumi di Karesidenan Priangan. Gadis itulah yang telah menaklukkan hati Opa dengan senyumnya yang tulus dan memikat. Ia adalah gadis pribumi yang polos dan sopan. Keanggunan dan kehalusan

43 Studi yang mengkaji Indonesia (dulu Hindia Belanda)

44 Pegawai negeri pemerintahan Hindia Belanda.

45 Perkumpulan yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Bandung

dan sekitarnya. Organisasi ini berdiri atas prakarsa Asisten Residen Priangan, Pieter

Sijthoff.

78 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 79

sikapnya membuat Opa berani mengambil risiko. Kemudian, ia menikahinya walaupun tanpa restu kedua orang tua. Pada waktu itu, ada anggapan bahwa menikahi pribumi sama saja dengan menurunkan derajatnya sebagai ras Eropa. Namun. Opa menentang pendapat ini.”

“Opamu orang yang berpikiran cukup maju untuk ukuran orang-orang semasanya.”

”Waktu itu, Opa tidak suka sebutan ‘inlander’46 yang terdengar menghina. Opa lebih suka memanggil ’Indonesier’. Ia adalah tipe seorang pemberontak pada masanya. Bertentangan dengan pandangan kebanyakan orang di masanya, ia menganggap bahwa manusia mana pun mempunyai harkat dan martabat yang sama.” tutur Renee panjang lebar.

”Hanya sebatas keanggunan dan kehalusan pekerti membuat Opamu tertarik wanita pribumi itu?”

“Pada gadis itulah, ia menemukan sesuatu yang tidak ditemukan pada wanita Barat, yaitu keramahan, penghormatan, dan kepatuhan yang begitu mendalam pada suami. Rangkaian kepribadian Timur yang memesona. Opaku adalah pengagum nilai-nilai ketimuran.” jawab Renee.

Ia menoleh ke belakang. Tangannya meraih dua kaleng coke dari jok mobilnya.

“Dika, kamu haus?” tawarnya.“Terima kasih.” jawab Dika sembari meraih kaleng minuman

yang disodorkan Reneen.“Beberapa bulan setelah perkenalan, Opa menikahi Oma.

Waktu itu menjelang tahun 1938. Kehidupan perkawinan mereka bahagia meskipun pada awalnya tidak direstui keluarga kedua belah pihak. Beberapa bulan setelah itu, Oma mengandung anak pertama. Setelah kelahiran bayi laki-lakinya, lengkap sudah kebahagiaan keluarga.”

Renee mereguk minuman dalam kaleng itu. “Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama,”

ucap Renee terhenti. Badannya merebah ke arah sandaran 46 Sebutan untuk orang pribumi

jok. “Serangan Jepang terhadap Netherlands Indie tahun 1942 membuat kebahagiaannya hancur berantakan. Setelah pertempuran antara Belanda dan Jepang yang dimenangkan oleh tentara Jepang, Opa dengan warga Negara Belanda lainnya menjadi tahanan. Opa hampir saja mendekam di tahanan tentara Jepang jika saja ia tidak melarikan diri waktu itu. Ia kabur dari ruang tahanan dengan bantuan seorang pribumi. Ia sempat tinggal di Australia beberapa tahun sebelum akhirnya pergi ke negerinya, Belanda. Indonesia menjadi The lost paradise baginya.”

“Bagaimana dengan nasib Oma kamu?”“Saat kabur dari tahanan tentara Jepang, Opa kembali ke

rumahnya. Akan tetapi, ia tak menemukan jejak Oma. keadaan rumah sudah berantakan. Tak ada harta dan barang berharga lain yang tersisa. Beruntung, anak semata wayangnya, yaitu Papieku, Herman Janssen, bisa ditemukan. Hanya itulah yang bisa ia bawa ke negerinya. Anak itulah pengikat cinta Opa kepada Oma. Sejak saat itu, Opa selalu merindukan Indonesia dan kehilangan Oma. Hatinya selalu terpaut kepadanya meskipun ia jauh. Saat musim dingin yang menggigit di sana, saat semua berwarna kelabu, ia selalu merindukan Indonesia, negeri tropis nan hangat sepanjang tahun. Pikirannya selalu tercurah kepada ’kembang sepatu’nya.”

“Kembang sepatu?”“Omaku. Opaku selalu menjulukinya demikian. Kembang

yang berseri dan mekar, karakter Indonesia, yang tidak ia temukan di negerinya.”

“Tapi bagaimanapun, Renee, orang yang paling bahagia adalah yang bisa menemukan sisi terang dari keadaan yang paling buruk sekalipun.” ucap Dika. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 11.30.

“Kamu benar. Tapi, Opaku tidak bisa melupakan masa lalunya. Ia seolah hidup di masa itu. Baginya, waktu seakan tidak pernah berjalan maju.”

“Renee, maaf, aku harus ke kampus sekarang.” Potongnya.

80 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 81

“Oh, my goodness! Sorry, Dika. Aku benar-benar lupa! Biar aku antar!” teriak Renee kaget.

“Tidak usah, nanti…”“Dika.., kalau kamu kesiangan, nanti aku akan merasa sangat

bersalah, let me drive you!”Dika pun tak kuasa menolak. Ia mengangguk. Mobil itu pun

melaju ke arah utara. Menuju kampus Universitas Bandung.Melewati sebuah rumah sederhana, Renee menghentikan

mobilnya sejenak. Ia terpana pada pemandangan yang tampak di pelataran rumah itu.

”Kita berhenti sebentar, ya!” pinta Renee.“Ada apa lagi, Renee?” tanya Dika sedikit tak sabar.Renee tak menggubris. Ia asyik menikmati pemandangan

indah itu. Di depan teras sebuah rumah sederhana, seorang anak kecil yang mengenakan kopiah dan bercelana panjang sedang berdiri menunggu. Pada bahunya terselempang sarung.

Di mulut pintu, berdiri seorang wanita dengan sanggul di rambut, tersenyum. Di tangannya tergenggam sekotak nasi untuk bekal anaknya di madrasah. Anak itu berpamitan, menyalami, dan mencium tangan ibunya penuh hormat. Tak berapa lama, dari samping rumah, seorang bapak menuntun sepeda tua, mendekat. Anak kecil itu pun didudukkannya di atas boncengannya. Lalu dikayuhnya sepeda sederhana itu. Ia hendak mengantarkan anaknya ke sekolah madrasah.

Pada waktu bersamaan, tangan Renee meraih kamera digital dari jok belakang. Beberapa saat kemudian, ia mengarahkan lensa pada pemandangan itu untuk membidiknya. Ia menyetel pandangan zoom pada lensa kamera. Beberapa jepretan telah mengabadikan momen-momen indah itu ke dalam memori kameranya.

“Kau lihat, kan? Anak itu begitu hormat dan patuh pada

orang tuanya. Di sanalah budaya Timur dan Barat berbeda. Nilai-nilai luhur ketimuran itulah yang aku kagumi.” Tanpa menunggu komentar dari Dika, ia menjalankan mobilnya kembali saat anak dan bapak itu pergi. “Kelak, aku akan menjadi seorang ibu di keluarga sederhana seperti itu.” tandasnya.

lll

Serenade

Pelabuhan Ratu, Awal 2001

Sore itu, angin laut terasa agak hangat. Embusannya memandu ombak berlabuh di himpunan butiran pasir pantai. Sepasang istana pasir yang dibuat Serenada melepuh tersapu air laut. Matahari hampir tenggelam di langit barat, tak lama lagi akan terkubur di cakrawala pada tempat persemayamannya. Air laut berkilau keemasan. Burung-burung camar membentuk siluet indah berwarna gelap, bertebaran pada latar langit yang berwarna jingga. Suaranya mengisi jeda di antara deburan air yang menghempas karang. Pohon-pohon bakau condong ke laut, kokoh akarnya mencengkeram tanah berpasir. Daun-daun pohon kelapa yang menjulang tinggi meliuk-liuk.

Gerhard meloncat ke udara, kedua tangannya menerkam benda bulat dari plastik yang berpusar melesat menuju gawangnya. Lalu badan gempalnya mendarat di atas pasir dan berguling-guling. Sekujur tubuhnya berlumur pasir. Bola plastik didekapnya di depan dada. Tak membiarkan hal itu menjadi bumerang dari serangannya, Epul meloncat dan menerkamnya.

82 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 83

“Kau curang! Curang!” teriak Epul sengit.Gerhard mencoba bangkit untuk menghindar. Ia tak

ambil pusing. Tangannya menepis. Ia berlari menjauh, lalu melemparkan bola itu di depannya, menuju gawang lawan. Pasir-pasir basah bercipratan di belakangnya.

“Dika, kau tahan Gerhard, dia curang!” teriak Epul geram.Tak membiarkan gawangnya dijebol, Dika menghadang

laju Gerhard. Ia sapukan kaki kanannya, menerjang kaki-kaki Gerhard yang lincah. Ia mencoba mengambil kendali bola. Gerhard tangkas meloncat. Bola tetap melaju tak tertahan. Dika tak hilang akal. Ia bangkit di belakang Gerhard, mengejar dan menerkam tubuhnya seperti singa menerkam seekor rusa. Tubuh Gerhard sempoyongan, lalu terjatuh. Ia tak kuasa menahan beban badan Dika yang menggelayutinya.

“Dika, apa-apaan kau ini, bah!” teriak Gerhard marah. Tubuhnya menggelinjang-gelinjang berusaha melepaskan diri dari dua lengan Dika yang menguncinya. Dika terkekeh. Di kejauhan Epul tertawa puas. Renee dan Nada yang duduk di sebongkah batu karang terkikik terhibur menontonnya.

Gerhard meronta, “Gaya main bola macam mana yang kau pakai ini, bah?” sungut Gerhard sengit. Kedua alisnya menjungkit ke atas. Kedua bola matanya melotot nyaris keluar.

“Satu sama,” balas Dika tertawa terbahak. “Kamu pikir kau fair bermain?”

“Loh, aku fair.” ungkapnya ketus, sembari membentangkan kedua lengannya.

“Lalu kenapa kau menangkap bola dengan tangan? Kita sudah sepakat tak ada penjaga gawang.” tanya Dika.

“Memangnya salah?” bela Gerhard.“Kau ini pura-pura lupa?” tanya Dika bangkit dari duduk.Gerhard merenung, “Tapi, aku kan hanya seorang. Kau

berdua. Masa tidak ada toleransi?”“Ah, aturan tetap aturan! Salahmu mau sendiri!” ucap Dika

ngeloyor, tangannya menepis.“Oke, oke, aku tak akan mengulanginya. Sekarang kita

lanjutkan lagi?” tanya Gerhard.“Ah, sudahlah. Aku haus, aku mau istirahat dulu!” ujar Dika

berjalan memunggungi. Ia melangkah ke arah Nada dan Renee yang sedang duduk di bibir pantai. Di depannya, membentang sebuah kanvas di atas easel. Di atas kanvas itu, lukisan Renee baru separuh tercipta.

Sesampainya di sana, ia menyambar sebotol air mineral yang tergeletak di atas tikar dan menenggaknya dengan lahap. Beberapa saat kemudian, Epul menyusul mendekati mereka. Keempat orang itu berbincang-bincang penuh kesenangan, sambil menikmati belaian angin laut sore.

Tertarik dengan keceriaan mereka berempat, Gerhard berjalan menghampiri.

Saat melihat Gerhard berjalan mendekat, Dika mendekatkan mulut pada kepala Epul. Ia membisikkan sesuatu di telinganya. Setelah bertukar isyarat pandangan, keempat orang itu saling mendekatkan kepala dan berbincang pelan mengenai sesuatu yang tampaknya rahasia.

“Kalian jahat!” bisik Renee tak tega, seusai briefing kecil-kecilan.

“Bukan tega, ini hanya lelucon,” tandas Epul berbisik. “Dia akan senang pada akhirnya.”

“Aku setuju!” bisik Nada histeris, meloncat-loncat di tempat, tak sabar.

Setelah berada di dekat mereka, Gerhard mengambil duduk di pasir dekat bongkah batu tempat dimana Renee duduk menghadap barat. Beberapa saat setelah Gerhard sampai, suasana menjadi hening. Padahal sebelumnya, perbincangannya begitu seru. Ia heran atas hal itu dan tak tahu apa yang tengah terjadi.

“Kenapa diam semua? Apa ada yang salah?” tanya Gerhard bengong. Pandangannya menatap empat orang sahabatnya bergantian.

Empat orang itu bertukar pandang penuh isyarat. Mereka bersekongkol. Renee menahan senyum di balik keseriusan

84 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 85

wajahnya yang dibuat-buat. Nada membuang pandangan dari Gerhard, seolah tidak mau menunjukkan ekspresi wajahnya. Epul membuat siulan sumbang. Dika angkat bicara,

“Rusa di sarang singa, serang!” bisiknya sedikit nyaring, memberi isyarat dengan kedipan mata kepada tiga temannya. Gerhard semakin kebingungan dengan tingkah aneh keempat temannya. Ia tidak paham akan konspirasi yang sudah mereka sepakati.

“Satu, dua,…!” seru Epul. Pada hitungan ketiga, ia menghambur ke arah Gerhard diikuti oleh Renee, Nada, dan Dika. Sebelum Gerhard sadar dengan apa yang tengah terjadi, kedua tangan Epul sudah mengunci kedua tangannya. Dika menyambar kedua kakinya dan menariknya. Renee cekikikan membopong badannya.

“Aku mengangkat apa?” jerit Nada histeris dalam kebingungan. Kakinya melonjak-lonjak di tempat.

“Kamu bantu Renee angkat badannya!” teriak Dika sigap.“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?” teriak Gerhard.

Badannya meronta-ronta. Ia hentakkan kedua kakinya, tetapi cengkeraman tangan Dika begitu kuat. Gerhard tak berdaya dibuatnya. Pandangannya menatap empat sahabatnya bergantian.

“Hei, lepaskan! Kalian apa-apaan sih?” teriaknya geram.Mereka tak menggubris teriakannya. Lalu keempat orang itu

membopong tubuh Gerhard menuju bibir pantai sambil tertawa puas. Gerhard meraung-raung. Dika mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghentikan hentakan kaki Gerhard.

Gerhard sadar apa yang akan terjadi padanya. Tubuhnya semakin mendekati bibir pantai. Matanya melotot,

“Hentikan!! Aku tidak bawa baju ganti!” teriakannya tak digubris. Mereka malah tertawa semakin puas. Sekarang ombak menghempas kaki-kaki mereka. Buih-buih ombak menyerap di pasirnya.

Dika dan Epul mengombang-ambingkan tubuh Gerhard di udara,

“Satu, dua…,” Dika memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga, mereka melemparkan badan Gerhard ke udara, lalu…

“BYUURRR!!” tubuh Gerhard mencebur di air laut. Airnya membuncah. Di permukaan air, wajah Gerhard megap-megap di antara buih dan air laut. Bersamaan dengan itu, mereka bersorak-sorai diiringi tepuk tangan girang.

“Semoga kau semakin dewasa!” teriak Renee sambil bertepuk tangan, ”selamat ulang tahun yang ke-20, sahabatku!”

“Tambah satu tahun umurmu, selamat ya,” seru Nada meloncat-loncat girang.

Tangan Gerhard meraih-raih di permukaan air. Ia berenang menuju bibir pantai. Merasa kelelahan, ia berbaring terlentang di atas pasir mengatur napas, dadanya turun naik. Rambutnya yang pendek basah kuyup bercampur pasir.

“Kalian keterlaluan!” ucap Gerhard cemberut.

Dika menghampirinya, lalu membangkitkannya. Ia mendekapnya sambil mengucapkan selamat. Lalu diiringi oleh Epul,

“Semoga kau semakin matang, Kawan!” ucap Epul dalam dekapannya.

“Baiklah, meskipun aku dongkol, tapi aku ucapkan terima kasih. Kalian mengingat ulang tahunku.” ucap Gerhard terharu.

Nada menyalaminya, memberi ucapan selamat disusul Renee. Setelah itu, Nada dan Epul berpamitan untuk mengambil air minum dan snack yang disimpan di saung bawah pohon kelapa. Sambil mereguk air dan menikmati makanan ringan, Epul mengambil gulungan catatan kuliah dari dalam tas gendongnya yang kumal. Duduk di atas dipan yang terbuat dari bambu, wajahnya kini serius mempelajari materi-materi kuliah yang sudah berlalu. Sementara Renee kembali berjalan menuju kanvasnya yang sudah terpasang pada easel, hendak meneruskan lukisannya yang tertunda.

Rambut bergelombang Renee melambai-lambai, tertiup oleh belaian angin laut yang lembut. Kilauan sinar matahari sore terpantul pada lensa kacamatanya. Buih-buih ombak

86 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 87

berhimpun di jari-jari kakinya yang sedikit terbenam di dalam pasir, sebelum akhirnya kembali lagi bersama airnya ke lautan. Deburan-deburan ombak itu menghitung waktu yang berlalu selama ia berada di sana.

Ia sibuk menyapukan kuasnya pada selembar kanvas berbingkai dengan cat minyak. Sesekali, pandangannya tertuju kepada kanvas alam semesta yang maha luas, berusaha mencoba menuangkan semua keindahan ke atas kanvas lukisnya.

Dika berdecak kagum saat menghampirinya. Ia berdiri dalam keterpanaan mengagumi keindahan lukisan itu.

Menyadari kehadirannya, Renee mengalihkan pandangan ke arah Dika, kemudian tersenyum. Wajahnya merona karena tersanjung dengan pujian yang tulus Dika. Dika menyodorkan setangkup kelapa muda kepadanya. Renee meletakkan kuas dan valet cat di atas meja kecil di sampingnya. Punggung tangannya disekakan di ujung baju, lalu menerimanya dengan senang.

“Terima kasih, Dika,” ucapnya sambil tersenyum, lalu menghisap minuman tersebut. Dika duduk di atas sebatang kayu tumbang yang hampir melapuk.

“Masih lama?” Tanya Dika. Di saat yang sama, Renee menoleh. Kedua pasang mata

saling menatap.“Sampai matahari itu tak tampak lagi.” tukas Renee, cepat-

cepat membuang pandangan ke arah barat. Ia tak sanggup berlama-lama berpandangan. Ada semacam rasa malu dan terpana di dalam hatinya.

”Bagaimana kalau kutemani dengan iringan lagu?” Tawar Dika. Tangannya meraih gitar yang tergeletak di atas kayu.

Renee melirik. Mengangguk.”Kau bisa memainkan ’Capricho Arabe’?””Francisco Tarega?”Renee mengangguk.”Baiklah. Sebentar, aku harus menurunkan setengah tinggi

nada senar ke-6.” ucapnya. Tangannya memutar pasak gitar dan mengendurkan dawainya. Setelah menyetemnya, tangannya

mulai memetik dawai-dawainya. Terkagum-kagum Renee menyimaknya. Ia berhenti melukis,

lekat memandangnya. Sejak awal bertemu, ia merasa ada sesuatu yang menarik dari Dika. Ia bersahaja, hangat, dan pengertian. Lebih dari itu, Renee mengagumi karakter yang dimiliki sahabatnya itu, kesopan-santunan dan keramahannya, layaknya orang Timur, yang sekarang, karakter seperti ini sudah mulai luntur dan terkikis oleh sifat angkuh, ingin menonjolkan diri, egois, bahkan, di kalangan para pemuda Timur. Betapa beda sifat dan karakternya dibanding dengan sahabat-sahabatnya dahulu. Betapa damai dan bahagia Renee saat berada di sampingnya. Ia membayangkan, bahwa suatu saat, bisa hidup bersama dengan lelaki yang dikaguminya itu. Diam-diam, ia membenarkan apa yang sering diucapkan oleh kakeknya, bahwa kecantikan dan ketampanan sejati seseorang itu terletak pada karakternya.

”Satu lagu selesai..” ucap Dika menyeringai, membuyarkan lamunan Renee.

”Oh...” Seru Renee, tergagap.”Mana bayarannya?” Kelakar Dika,menengadahkan tangan.’Huhh..pengamen matre!” Timpal Renee, gemas.Dika tertawa, memandang jauh ke langit barat yang

memerah. “Hmm..Lihatlah langit barat. Anggun.” Serunya, ”aku ke mobil dulu ya. Mau ambil kamera. Sayang jika terlewatkan.”

Renee mengangguk. Ia kembali meneruskan lukisannya. Tak seberapa lama, terdengar langkah sepatu tentara berderap dari arah samping. Renee menengokkan wajah. Ternyata Gerhard mendekat.

“Bah, kau sedang sibuk apa, Blonde?” tanya Gerhard setelah di sampingnya. Matanya mengamati lukisan.

“You see!” “Boleh juga lukisanmu.”Renee melirik, tersenyum tipis. “Just hobby!” jawabnya

singkat.“Kemana tadi Dika?”“Dia bilang mau ambil kamera di mobil.” Pandangannya

88 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 89

kembali lagi tertuju kepada kanvas.Di barat, matahari tinggal setengah, terendam separuh oleh

air laut. Warna langit di atasnya kuning tersapu hitam. Renee berhenti menyapukan kuasnya ke atas kanvas,

“Gerhard, it often crosses my mind. Aku sering merasa iri dengan para perempuan Indonesia.”

“Maksud kau?” ulang Gerhard tak paham, dahinya mengernyit.

“I mean, menurutku, perempuan Indonesia itu anggun, mempunyai rambut hitam bak sutera, kulit kuning langsat.”

“Bah, kau ini ketinggalan jaman! Ukuran itu justru dianggap kuno oleh para perempuan Indonesia jaman sekarang. Kau lihat saja, banyak para gadis yang tak ingin rambutnya terlihat hitam. Mereka mewarnainya merah, ungu. Mereka ingin kulit mereka putih pucat dengan mengenakan berbagai kosmetik.”

”Sayang sekali. Seharusnya mereka mensyukuri anugerah alam dengan merawatnya.” Ucap Renee.

”Yah...rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal, Tuhan sudah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Termasuk kau juga, Blonde!” Ucap Gerhard menoleh Renee, ”kau seharusnya bersyukur dengan karaktermu sendiri.”

“Kau semakin bijak, Gerhard. Tell me more!”Mendapat sanjungan itu, lubang hidung Gerhard merekah,

bangga. Ia terdiam, merenung sejenak. “Kau cantik, anggun sebagai dirimu sendiri. Rambut kau

keemasan dan sedikit bule secara fisik, paduan dua benua, Asia dan Eropa. Kau anggun. Bersikap lemah lembut dan sopan.” Ucap Gerhard berterus terang.

“Really?” gumam Renee spontan. Ia tersanjung atas pujian Gerhard yang tak dinyana. Kuasnya menggantung di udara. Ia palingkan wajah menghadap lukisan untuk menutupi senyumnya, “benarkah demikian?”

“Eh, kau tak percaya?” tambah Gerhard salah paham akan sikap Renee, “tanya sajalah sama yang lain, Dika, Sarkadhut, asal jangan sama bayi yang masih merah, hehe...”

“Dika?” tanya Renee retoris. Mendengar nama itu diucapkan, hatinya melonjak riang, “Ah...Tapi tidak salah, kan, kalau aku mengagumi orang timur. Aku mencintai pemuda Indonesia. Aku sangat mendambakannya…” gumam Renee.

Sambil bertutur, pandangannya menerawang. Ia teringat Dika, sahabatnya yang selalu ia kagumi karena kematangan sikap dan kebaikannya. Dia pemuda yang tampan. Renee terpana sendiri membayangkannya.

Lubang hidung Gerhard kembang kempis. Ia salah menafsirkan ucapan Renee. Bukankah aku orang timur, Indonesia juga? ucap Gerhard dalam hati. Jangan-jangan, ia sedang membicarakan diriku?

Renee menoleh Gerhard.Oh, ternyata Renee menyimpan perasaan terhadapku,

hehehe. Aku memang pantas dikagumi para wanita. Tidak salah ia menaksirku. Penglihatannya masih normal. Gerhard bicara dalam hati.

Inilah penyakit Gerhard yang lain. Selain menyukai gaya hidup militerisme, ia juga sering salah tafsir atas perkataan orang lain. Ia merasa tersanjung, menyangka Renee sedang memuji dirinya.

Jangan-jangan, orang yang mengingat hari ini ulang tahunku baru saja adalah Renee, pikirnya lagi.

“Ah... kau memilih pria yang tepat.” Tangan kanan Gerhard mengelus-elus kepalanya yang berambut tegak, gaya 2–1–1, potongan rambut seorang kopral.

“Memang banyak gadis yang mendambakan cintaku, he..he...” ucap Gerhard kelemas-kelemes. Matanya mengerjap-ngerjap, seperti nyala bola lampu yang sebentar lagi akan habis masa pakainya.

Renee berbalik, mengamati sikap sahabatnya yang aneh.Merasa diamati, Gerhard semakin tak keruan. ”He..he..he...”

Hanya suara itulah yang bisa dikeluarkan dari mulutnya. Kali ini alisnya turun naik, bangga bukan kepalang.

Renee pusing sendiri. Ia terheran-heran dengan perubahan

90 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 91

sikap Gerhard. Apa yang terjadi padanya?“Aku juga... he..he... mengagumi kau,” ujar Gerhard, sambil

menggesek-gesekkan kedua telapak tangan di atas pangkuan.“Gerhard, what’s wrong with you?” tanya Renee tak habis

pikir. “Maksudmu, kau mengagumi aku, kan?” tanya Gerhard

tersipu malu. Lalu menunduk sambil tersenyum.Renee agak membanting kuas dan valet cat ke atas kursi. “Maksudku, bukan kamu!” omelnya, ia bangkit dari duduk,

meninggalkan Gerhard yang seperti seorang paratroop47 jatuh bebas ke tanah karena parasutnya tidak berhasil mengembang. Jiwanya yang sempat mengawang-awang, terhempas kembali ke bumi. Menyakitkan!

lll

Kampus UNIBA, 2001

Sekelompok mahasiswa duduk berhimpun di atas tikar di tengah taman kampus. Di tengahnya, Pak Gandi, dosen mata kuliah Civics sedang memberikan uraian. Baginya, kuliah adalah kegiatan yang harus bervariasi. Sebuah ritual untuk memahami fenomena kehidupan. Setiap dua minggu sekali, kegiatan perkuliahan dilaksanakan di luar ruangan.

“Semua bangsa besar melakukan kerja keras.” ucapnya membuka perkuliahan dengan bijak. “Begitu pun dengan Amerika dan banyak negara Eropa. Harus kita akui, kemajuan yang mereka peroleh sekarang adalah jerih payah para pendahulunya. Apa yang mereka raih sekarang tak lepas dari apa yang diusahakan para nenek moyang mereka. Sama halnya dengan Indonesia. Sampai kapan pun, takkan ada negara Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke andaikan para pendahulu kita tidak melakukan perjuangan.”

Para mahasiswa sunyi menyimak hikmah-hikmah yang

47 Tentara penerjun payung

teruntai dalam perkataan sang dosen dengan penuh perhatian. Mereka tidak mencatat perkuliahan di atas buku, akan tetapi ke dalam hati.

“Apa yang membuat mereka berjuang, rela berkorban untuk suatu hal yang tidak akan mereka nikmati? Malah, anak cucunyalah yang akan menikmati jerih payah mereka?” lanjutnya berapi-api. “Itu karena mereka semua mempunyai mimpi, visi hidup.”

“Tak akan pernah ada pesawat terbang jika Wright bersaudara tidak bermimpi untuk terbang layaknya burung. Begitu juga Columbus, tak akan sampai di daratan Amerika jika ia tidak bermimpi menemukan benua baru. Mimpi adalah visi. Mimpi adalah api yang memercik agar sebuah obor perjuangan tetap berkobar,” ucapnya dilingkupi semangat menggebu, tangannya mengepal di udara.

“Tentu saja, agar terwujud, mimpi membutuhkan kerja keras dan tetesan keringat. Thomas Alfa Edison berkata, jenius adalah 1% inspiration, dan 99% perspiration, keringat, atau tetesan peluh.

Bagi mahasiswa, dosen senior ini adalah teladan. Ia sering dimintai pendapat mengenai berbagai hal. Di kalangan pejabat kampus pun, ia adalah orang yang disegani karena kebijaksanaannya.

lll

Para mahasiswa sedang mengikuti kuliah Pengemasan Pangan dengan khusuk. Namun, beberapa mahasiswa yang duduk di bangku jajaran belakang terbuai oleh belaian hawa dingin dari AC di ruangan itu. Mata mereka sayu, tak kuat menahan kantuk di hari yang panas itu. Bagi mereka yang kurang semangat belajar, saat-saat seperti itulah yang tepat untuk memejamkan mata.

Dosen wanita belia itu beranjak dari kursinya, lalu melangkah berkeliling di depan para mahasiswa. Mereka sedang memelototi kain putih yang terbentang pada tiang di samping

92 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 93

whiteboard. Sebuah projector menjuruskan cahaya warna-warni, memindahkan gambar dari LCD notebook ke layar putih itu. Dosen itu mengarahkan remote controlnya. Slide di layar berganti menggambarkan grafik berupa garis parabola tak simetris terbalik dengan bukaan menghadap bawah.

“Sekarang, coba kalian interpretasikan grafik ini!” tantang dosen yang berpenampilan modis itu. Sepasang matanya lincah berkeliling. Beberapa saat suasana hening.

“Tidak ada yang bisa menjawab?” Tantangnya.Semua mahasiswa terdiam, mencoba mencerna lekukan

garis ilmiah itu.“Sayah, Bu!” ucap Epul mengangkat telunjuk.“Oke, apa pendapat Anda?”“Menurut Sayah, jika absis mewakili aktivitas air dan ordinat

menggambarkan tingkat persentase kehilangan lisina pada susu, maka laju kehilangan lisina akan maksimum pada nilai absis 0,6 dan 0,7.”

“Luar biasa. Lantas, apa akibatnya?” tanya sang dosen.“Kalau tidak salah, tingkat kehilangan lisina akan memicu

reaksi pencokelatan. Jadi, susu akan berubah warna.”“Tepat sekali. Saya kagum dengan kecerdasan Anda. Siapa

nama Anda?”“Epul, Bu. Lengkapnya Epul Saepul!” teriak para mahasiswa

di ruang itu hampir bersamaan, sebelum Epul sempat menjawabnya. Gaduh bukan main. Bagi beberapa mahasiswa yang bermata sayu di kursi belakang, suara itu membuat mereka terbelalak. Namun, suara itu ibarat paduan suara bagi Epul. Baginya, suara dosen muda itu sungguh merdu, mengalun merasuki gendang telinga. Hidungnya kembang kempis. Raganya melambung akibat pujian dosen belia yang berparas elok itu.

“Oh…Saeful?” ulang dosen cantik itu. Senyum mengembang indah dari sepasang bibirnya yang lembut menohok jantung Epul sehingga detaknya menjadi tidak ritmik lagi.

“Eu...bukan, Bu. Saepul.”“Saepul, pakai P?” ulang wanita cantik itu.

Epul mengangguk. “Orang di kampung sayah susah melapalkan huruf ‘EP’ (maksudnya huruf ‘F’), kecuali dalam mengaji.”

Mendengar itu, sang dosen tersenyum tipis. Tawa mahasiswa seisi ruang pecah memenuhi ruang kuliah.

“Oke. Lalu bagaimana dengan oksidasi lemak (lipid), apakah grafik ini bisa digunakan?” tanya dosen itu seraya menghampiri tempat duduknya di belakang meja projector.

“Tidak selamanya aktivitas air akan mempercepat laju oksidasi semua zat. Contohnya, saat kandungan air bertambah, tingkat oksidasi lipid justru akan menurun. Pada saat yang bersamaan, reaksi pembusukan lain semakin meningkat, di antaranya adalah pencokelatan.”

“Excellent!” sanjung dosen itu.Pada saat yang sama, para mahasiswa diam-diam sibuk

mengestafetkan gulungan kertas putih sebesar batang korek api menuju Epul. Saat menerima benda itu, Epul bertanya dengan pandangan kepada mahasiswa yang memberikannya.

“Dari si Jhoko!” bisik Sarkadhut, mahasiswa berambut keriting itu, sembari mendekatkan kepalanya ke arah Epul.

Dibukanya gulungan kertas itu, di atasnya tertulis,

“Minggu depan UTS, duduk di sampingku, ya.”

Epul tersenyum, lalu menarik napas.

Beberapa saat kemudian, ia menerima gulungan kertas lagi. Epul bertanya dengan isyarat kepala.

“Dari si Dhewi,” bisik Sarkadhut.

Epul membuka kertas itu lagi, ia tersenyum kecil.

“Kita satu kelompok ya kalau nanti praktikum pengemasan pangan.” Begitu bunyi surat itu.

Kali ini datang lagi gulungan kertas berikutnya. Epul geleng-geleng kepala. Namun, Sarkadhut tak menjawab pertanyaan Epul seperti biasanya. Ia mengangkat kedua bahu,

“Kalau yang ini Inyong ora weruh48,” bisiknya prihatin.

Epul segera membuka gulungan itu,

48 Saya tidak tahu

94 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 95

”Bagaimana caranya supaya pintar seperti kamu?” (Pengirim: Juki). Begitu bunyi tulisan itu.

Epul puas membaca pesan kali ini.

Bagus nih, Juki ternyata berubah. Biasanya ia selalu tidur ketika kuliah. Sekarang ia mau bekerja keras, pikir Epul. Saat ia menoleh ke belakang, wajah Juki penuh harap. Ia duduk gelisah di kursi paling belakang pojok ruang seperti seorang dukun yang sedang menanti wangsit turun dari kahyangan.

Epul tersenyum. Baginya, Juki masih terjaga selama kuliah berlangsung adalah hal yang istimewa. Sudah jadi rahasia umum bahwa Juki hanya sanggup bertahan membuka mata selama 15 menit awal kuliah. Lewat dari itu, ia pasti sudah mengembara di alam mimpinya.

Epul merobek kecil buku catatannya, lalu menuliskan sebuah pesan di atas sobekan kertas itu. “ORA ET LABORA49.”

Setelah menuliskan kata-kata tersebut, ia tersenyum puas. Setidaknya, ia bisa berbagi kesuksesan. Cara itulah yang selama ini membuatnya seperti sekarang, selalu bertengger di puncak dengan IPK di atas 3,5. Lalu ia gulung kertas itu dan mengestafetkannya ke belakang. Beberapa saat setelah itu, Juki menerima pesannya. Setelah membacanya, ia tersenyum puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Ia membalas surat Epul dan memberikannya secara estafet lagi. Epul membuka kertas itu,

Pul, kalau boleh tahu, dimana kamu membeli ORA ET LABORA? Terima kasih. (Juki).

Epul geleng-geleng kepala. “???”

lll

Perpustakaan FISIP, UNIBA

Jemari tangan Renee lincah berloncatan pada keyboard notebook di depannya. Ia duduk menyendiri di dalam ruangan

49 PepatahBahasaLatin,artinya‘belajardanberdoa’

perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sejak sejam yang lalu ia menyelesaikan tugas kuliah Statistik Sosial yang akan dikumpulkan nanti siang. Ruang perpustakaan fakultas itu sunyi senyap dari perbincangan. Sesekali terdengar bunyi langkah sepatu dan lembaran-lembaran kertas buku yang tersibak. Alunan irama ‘Air’50 dari speaker ruangan tenang mengalir menyelusup melalui celah-celah rak buku dan udara.

Dari belakang, Nada berjalan mengendap mendekat, penuh rencana. Wajahnya berbinar, bibirnya tersenyum merekah. Sudah ia duga Renee ada di tempat itu, seperti biasanya. Kini ia tertegun diam. Sahabatnya itu beberapa jengkal berada di hadapannya, duduk menghadap meja dan notebooknya.

Renee tak sadar akan keberadaan Nada di belakang. Pandangannya lekat pada layar kristal cair 14,1 inci di depannya. Pikirannya tercurah kepada baris-baris kalimat di dalamnya.

“AUWW!” jerit Renee saat pandangannya gelap tiba-tiba karena tertutup bekapan sepasang tangan dari belakang. Beberapa pembaca menoleh kaget, lalu kembali kepada halaman buku yang tengah dibaca. Renee membenamkan kepala untuk melepaskan diri. Tapi dekapan tangan itu begitu kuat.

“Hei, siapa kau?” teriaknya.“Sttt!!” desis salah seorang pembaca dari meja di seberang

sana.“Lepaskan!” bisik Renee memelankan suara. Badannya

meronta.Puas mencandainya, Nada melepaskan bekapan tangannya.

Ia berjalan memutar ke depannya. Renee mengitarkan pandangan.

“Huh, kamu keterlaluan!” ucapnya ketus dengan tatapan mendelik.

Nada tersenyum puas. “Maaf, Say,” ujarnya setelah duduk berhadap-hadapan. “Habis kamu serius sekali.”

“Ah, kamu menganggu konsentrasiku. Tugas ini

50 Air, From Orchestral Suite no.3, karya J.S. Bach

96 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 97

dikumpulkan nanti siang!” protes Renee sambil mengalihkan lagi pandangan pada layar notebooknya. “Kamu ada acara apa datang ke fakultasku?”

“Tak ada.”“Tahu saya ada di sini?”“Aku sudah menduga. Kalau tidak di perpustakaan, pasti

ke museum. Kemana lagi?” ucap Nada, tawanya ringan. “Ada yang bisa aku bantu?” sembari meletakkan dagu pada meja di depannya. Tatapannya menyelidik raut wajah sahabatnya.

“Just keep silent, itu sudah cukup membantuku,” ucap Renee mendelik.

“Ok, ok, tapi, kita jadi kan pergi ke Jalan Braga besok?”Renee berhenti mengetik. Kedua tangannya mengambang

di atas keyboard. Ia pandangi wajah Nada, lalu memberinya anggukan ringan dan senyum kecil.

lll

Bragaweg51, 2001

“De meest Europeesche winkelstraat van Indie” adalah julukan bagi Jalan Braga sekitar tahun 1920-an. Maksudnya adalah sebuah kawasan pertokoan Eropa termewah di Hindia Belanda. Ruas jalan ini menjadi sebuah kawasan favorit untuk dikunjungi bagi para preangerplanters52, kaum panggede, dan para pelancong dari mancanegara untuk menghisap candu atmosfir ‘Indische Koloniaal Stad’. Di sinilah jantung kota “Parijs van Java” sebenarnya, yang menggerakkan denyut kehidupan kota waktu itu.

Menyusuri jalan tersebut, mobil yang dikemudikan Renee sesekali terhenti karena beberapa pejalan kaki menyeberang jalan, yang lebarnya hanya cukup untuk dua mobil. Mereka melintasi sejumlah bangunan artistik dengan balkon yang

51 Ruas jalan Braga

52 Para pemilik perkebunan, khususnya teh.

menjorok ke jalan. Pada deretan bangunan kuno yang bergaya ’romantic’, Tangan Nada menunjuk. Di atas pintu masuk gedung itu, terpampang reklame bertuliskan ’Toko Buku Djawa 79.’

“Nah, itu tempat yang kumaksud, Renee!” teriak Nada.Serta merta Renee menepikan mobilnya di sebelah kiri. Ia

mengamati bangunan toko buku antik itu. Orang berseragam jingga memberikan peluit dan aba-aba parkir kendaraan.

“Kamu yakin, buku langka itu ada di sini?” tanya Renee meragukan sikap Nada.

Nada mengangguk pasti, “Tidak salah lagi! Aku sering menemukan buku langka di toko buku ini.”

Mereka turun dari kendaraan dan memasuki toko buku yang menempati bangunan yang sudah berumur itu. Ruangan tersebut memajang berbagai buku dari mancanegara. Koleksinya mulai dari buku kuno terbitan awal abad 20 hingga buku-buku kontemporer. Bahkan buku-buku langka koleksi dunia pun tersedia. Setelah membelinya, mereka beranjak dari tempat itu untuk mencari pelepas dahaga.

Mereka beristirahat sejenak menikmati minuman dingin di sebuah kafe yang terletak tak begitu jauh dari toko buku. Bangunannya menjorok ke dalam dari jalur pedestrian, memberikan ruang yang nyaman untuk bersantai. Sambil menikmati panorama Jalan Braga mereka ngobrol hingga petang. Kafe itu menempati sebuah bangunan bekas Restoran Moisen Bogerijen, milik suami istri Bogerijen, di tahun 1930-an. Pada masanya, setiap sabtu pukul satu siang, kafe tersebut menjadi serbuan para guru besar THS53 yang keroncongan, para profesor yang ingin santai dari kesibukannya, atau para raja teh yang turun gunung untuk sekedar kongkow-kongkow menikmati suasana akhir pekan dalam balutan Europe in the Tropen54. Menu yang dihidangkan tak ada duanya. Konon, hanya di tempat inilah para pengunjung bisa memesan ‘Koningin Emma Taart’ dan ‘Wilhemina Taart’55 yang harus dipesan sebulan sebelumnya.

Sebelum pulang, Renee mengajak Nada mengunjungi Jalan 53 Technische Hogeschool, sekarang ITB.

54 Eropa di negeri tropis

55 Semacam kue tart khas ala Ratu Belanda

98 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 99

ABC. Ia ingin berbelanja cat minyak dan kain kanvas untuk lukisannya. Waktu sudah menjelang ashar. Mereka beranjak pergi meninggalkan tempat itu menuju rumah Nada.

“Aku heran kenapa kamu bersikukuh mencari buku itu?” tanya Renee saat mereka sudah sampai di rumah Nada. Dua gadis itu duduk-duduk di sofa ruang tengah.

“Hanya penasaran. Sebuah misteri Simfoni no. 9,” ucap Nada. Tangannya sibuk membolak-balik buku yang baru saja dibelinya. Ia tersenyum sendiri memandangi sampul buku berwarna hitam yang ada di genggamannya. Renee menghela napas panjang.

“Bethoveen meninggal setelah ia rampung menggubah Simfoni no.9,” sambung Nada. “Anehnya, beberapa komponis besar dunia mengalami hal serupa. Antonin Dvorak meninggal setelah simfoni ke-9 nya tersusun. Begitu juga dengan Franz Schubert.”

“Aku rasa hal itu karena kebetulan saja.”“Bisa jadi. Tapi mitos ini begitu dipercayai oleh para

komponis. Sehingga, karena takut dengan mitos simfoni ke-9, Gustav Mahler tidak menamai simfoni ke-9 nya dengan nama serupa. Alih-alih ia menamainya ”Das Lied von der Erde”.

Renee meneguk gelas yang berisi jus dari atas meja. Tatapan matanya lekat pada pesawat TV yang menayangkan berita petang.

“Tapi setelah simfoni itu, ia membuat simfoni berikutnya dan diberi nama simfoni ke-9. Dan apa yang terjadi? Karya itulah yang terakhir baginya.”

“Oh ya?” Renee setengah mendengarkan pembicaraan sahabatnya. Ia tak begitu tertarik dengan musik klasik. Beberapa kali ia menahan mulutnya untuk tidak menguap. Ia tak ingin menampakkan rasa bosannya dengan topik pembicaraan itu. Ia selalu berusaha menjaga perasaan sahabatnya itu.

Telefon genggam Nada berdering di atas meja. Ia segera meraihnya. Beberapa saat, ia berbincang-bincang dengan penelefonnya. Usai menutup pembicaraan, raut wajah Nada

seketika berubah. Ia tampak murung. Keriangan semula yang ada di wajahnya seperti menguap.

”Dari Mama, Jakarta.” Ujar Nada ketus, sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.

Renee menyadari perubahan sahabatnya.”Kau kenapa?””Tidak apa-apa.” Jawab Nada menggigit bibir. Namun,

ia tak sanggup menahan ledakan kekesalannya. Beberapa saat kemudian, matanya mulai berkaca-kaca. Renee menyadari hal itu. Ia mendekati dan memeluknya.

”Apa yang terjadi?””Mama bertengkar lagi dengan Papa. Liburan, Papa

memintaku untuk mengunjunginya. Tapi, Mama melarangku menemuinya. Aku lelah menjadi korban pertengkaran mereka.”

Nada pun menangis di pelukan sahabatnya. Renee mengelus-elus punggungnya. Ia simpati dengan beban yang dialami Nada.

”Aku kadang merasa, dunia tak adil. Kenapa kesalahan orang tua harus ditanggung oleh anak-anaknya, orang yang sama sekali tak berdosa?” Ucapnya sengau, di sela-sela isakan tangisnya.

”Perceraian itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi, mereka masih saja sering bertengkar.”

Nada terus menangis hingga puas. Hingga beban di hatinya menghilang. Hingga ia lelah menangis. Ia pun segera jatuh tertidur, masih dalam pelukan. Lantas, Renee, perlahan membaringkannya di atas sofa. Kepalanya terkulai pada sandaran. Renee membenarkannya.

Renee memandangi wajah Nada yang tampak lelah. Sisa air mata mengering di kedua pipinya. Beberapa helai rambut hitamnya agak lengket menempel di kening. Kelopak matanya terpejam tak terlalu rapat. Lama ia pandangi wajah anggun itu. Lalu tangannya meraih buku yang tertelungkup dari genggaman tangan Nada dan meletakkannya di meja. Ia meraih remote control dan mematikan televisi.

Menjelang pergi, sejenak ia menatap Nada untuk terakhir

100 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 101

kalinya. Tertidur pulas. Badannya sedikit meringkuk seolah kedinginan. Ia melepas sweater dan kembali menghampirinya. lalu menyelimutkannya pada sebagian tubuhnya. Bibirnya tersenyum tipis saat lekat menatapnya. Ia melangkah ke arah pintu, mengendap-endap agar tak membangunkannya. Beberapa saat kemudian, Renee sudah berada di dalam mobilnya dan kemudian pergi.

lll

Andante

Kampung Halaman

Bagi Epul, kuliah adalah sebuah bagian pertarungan untuk masa depannya. Juga bagi penduduk kampung yang menaruh harapan padanya. Epul menghadapi ujian akhir semester (UAS) sebagai sebuah medan perang. Untuk mempersiapkannya, ia sering berlama-lama belajar hingga larut malam sejak jauh hari. Saat ujian, sering kali matanya memerah. Badannya yang jangkung semakin kurus dan membungkuk. Ia tak ingin mengecewakan keluarganya. Ia tak ingin mengkhianati impiannya.

Sehari setelah UAS beres, datanglah sepucuk surat yang berasal dari keluarganya di kampung. Ada satu hal yang membuatnya harus bergegas pulang ke kampung halamannya di Ciamis. Surat yang tiba kemarin melalui tangan ibu kost, baru saja ia baca. Dua lembar kertas itu berisi tulisan ayahnya. Isi surat tersebut memintanya untuk segera pulang, secepat mungkin. Ada

sesuatu hal yang penting untuk dibicarakan, tulis ayahnya. Ingin sekali Epul menanyakan langsung perihal kabar itu. Akan tetapi bagaimana mungkin. Tak ada pesawat telefon di rumahnya. Ia sungkan jika harus menelefon lewat Pak Haji Dulah. Ia merasa sering merepotkan keluarga juragan penggilingan padi itu. Tak ada pilihan lain, kecuali ia harus memenuhi permintaan ayahnya.

Pagi-pagi sekali, ia berangkat dengan menaiki angkutan kota ke Stasiun Kiaracondong. Setelah satu jam, mobil telah sampai di perlintasan rel kereta api. Beberapa meter dari tempat itu, terdapat pasar tradisional Kiaracondong yang membuat jalanan tersendat parah. Ia memutuskan turun dan berjalan menyusuri rel untuk sampai di stasiun. Ia menapaki tanah berkerikil dan rerumputan yang tingginya hampir sebetis orang dewasa. Sisa-sisa embun semalam yang menggelayut di pucuk rerumputan membasahi ujung celana jeans birunya yang sudah agak melapuk.

Mencapai tangga stasiun, ia mencari loket penjualan karcis kereta api kelas ekonomi yang melewati Ciamis. Di depan loket itu, calon penumpang menyemut, berdesakan di depan loket. Ia menyelusup di sela-sela kerumunan itu.

Suasana stasiun bising, riuh rendah berbagai suara. Calon penumpang berjejalan. Liburan sekolah tiba. Tampaknya, arus mudik sedang mencapai puncaknya.

Usahanya berjejalan di depan loket karcis membuahkan hasil. Akhirnya, kini selembar kertas kecil yang akan membawanya ke rumah sudah ada dalam genggaman. Sekarang Epul menunggu kereta. Menurut jadwal, keretanya akan tiba pukul 07.00 pagi. Karena tak ada kursi tunggu yang kosong di ruang itu, akhirnya ia jongkok di lantai depan mushala stasiun, berdekatan dengan bak sampah yang dibiarkan terbuka dan dikerubungi lalat. Beberapa saat kemudian, kereta yang ditunggunya memasuki stasiun.

Pukul 07.30, terlambat setengah jam dari jadwal, kereta kelas ekonomi jurusan Purwokerto melewati Ciamis diberangkatkan. Tentu, setelah menunggu kereta bisnis dan eksekutif berangkat

102 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 103

lebih dulu. Ada perasaan lega di dalam hati Epul dan para penumpang lain sesaat mendengar suara beradu roda gerbong yang berputar di atas bantalan baja rel. Perlahan lokomotif menggeliat, menarik gerbong-gerbong penuh muatan, kemudian melaju semakin kencang.

Epul mencari kursi yang kosong dari gerbong depan hingga belakang. Ia berjalan menyelinap di antara penumpang, pedagang asongan, dan pengamen. Namun, tak ada satu kursi pun yang tersisa. Semuanya terisi, sesak. Bahkan, sering kali ia mendapati kursi yang kelebihan muatan.

Akhirnya, terpaksa Epul berdiri. Untuk mengusir kejenuhan, ia berdiri di pintu gerbong bersama dengan beberapa penumpang lain. Sepanjang perjalanan, ia memandang jauh ke arah hamparan sawah, tanah-tanah kosong, dan kebun-kebun. Sesekali kereta memotong perlintasan jalur rel dengan jalan kampung. Sirene terdengar meraung-raung, meninggalkan beberapa orang pengendara motor dan sepeda yang sedang menunggu kereta lewat. Angin masih terasa dingin. Dari arah timur, matahari mulai merambat naik. Sinarnya masih kekuningan menghiasi langit. Terkadang, bayangan sinarnya berkilau saat kereta melintasi lahan-lahan padi yang masih tergenang air.

Tangannya merogoh tas, lalu mengeluarkan buku kuliah Manajemen Operasional setebal 3 cm. Ia tak ingin membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa nilai. Mimik wajahnya serius memahami paparan buku tersebut. Jemarinya menahan lembaran halaman buku terhadap terpaan angin kencang dari jendela kereta yang kacanya pecah.

Epul mengangkat tangan sambil tersenyum. Isyarat penolakan yang sopan terhadap pedagang tahu dan gorengan yang menawarkan dagangannya. Perginya pedagang itu disusul oleh seorang pria berbadan besar yang keluar dari ruang toilet. Segera setelah pintunya terbuka, aroma menyengat menyeruak dari ruang kecil yang tak terawat itu. Setiap orang menutup hidung. Epul merasakan mual pada perutnya. Ia menyembulkan kepala keluar gerbong, mencari hawa segar.

Setelah empat jam perjalanan, kereta tiba di Stasiun Ciamis. Ia pun turun di stasiun itu. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki angkutan pedesaan berwarna kuning yang berpintu di bagian belakang. Sebagai anak muda, ia rela bergelayutan di pintu, mempersilahkan orang tua menduduki kursi di dalam. Setelah satu setengah jam perjalanan, ia turun di tepi jalan kampung yang berbatu tajam dan licin. Diperlukan kelincahan supaya roda motor tak tergelincir di jalannya. Tak ada kendaraan umum kecuali ojek yang saat itu tak ada. Hingga, separuh perjalanan harus ia tempuh dengan berjalan kaki sampai ke rumahnya.

Tibalah ia di depan sebuah rumah. Sebuah hunian sederhana dengan halaman luas. Di pekarangan depan, tumbuh sebatang pohon jambu air. Tingginya hampir sama dengan bubungan atap rumah. Pekarangan dibatasi oleh pagar yang terbuat dari bilahan bambu ditumbuhi tanaman jahe, lengkuas, dan sri rejeki. Pagar itu dirambati tanaman kacang panjang sehingga membuat pemandangan pekarangan tampak asri dan hijau.

Di belakang rumah, terhampar halaman yang cukup luas, milik juragan penggilingan padi yang kaya raya, Haji Dulah. Di atas lahan itu, terdapat kandang domba berbentuk panggung yang mempunyai tiga sekat, masing-masing sekat berisi enam domba betina dan satu domba jantan. Kandang itu cukup sederhana, terbuat dari bambu dan atapnya dari daun jerami yang dikeringkan. Dekat kandang domba terdapat kandang ayam yang berisi beberapa induk ayam yang sedang mengasuh anak-anaknya. Ternak itu juga milik Haji Dulah yang dirawat oleh keluarga Epul dengan sistem paroan56. Setiap habis pulang dari pabrik, ayah Epul selalu pergi ke kebun untuk mengumpulkan pakan berupa rumput-rumputan.

Agak jauh dari kandang domba, terdapat halaman yang biasa digunakan oleh anak-anak untuk bermain. Halaman itu milik seorang pegawai bank swasta yang bekerja di Jakarta. Tanah tersebut dibiarkannya kosong bertahun-tahun. Ia sengaja

56 Sistem bagi hasil dalam pembiakan ternak. Jika sepasang domba menghasilkan dua

anak, pemilik dan pengelola masing-masing mendapatkan satu ekor

104 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 105

membelinya dari penduduk kampung sebagai investasi. Di sana tumbuh pohon sawo yang sudah berusia puluhan tahun. Dahannya kokoh dan sebagian merunduk. Kulit batang pohon itu sedikit mengilap akibat sering digunakan oleh anak-anak untuk bergelayutan. Pada dahannya yang tinggi, terdapat tali yang menjulur. Bagian bawahnya diikatkan ban mobil bekas sebagai tempat duduk ayunan.

Di sana anak-anak kecil tertawa riang. Sebagian ada yang bermain ayunan, di dorong oleh temannya secara bergantian. Beberapa anak memanjat dahan pohon sawo dan mencari buahnya yang matang. Salah seorang di antaranya sedang mengoceh, membangga-banggakan diri,

“Kamu pernah ke Jakarta, belum?” ucap anak berkepala botak yang mengenakan celana seragam SD tanpa baju. Tangannya menepuk-nepuk dada dengan bangganya. “Wah...Gue mah sudah tiga kali dibawa sama paman gue. Di sana gedungnya tinggi-tinggi, loh!” lanjutnya.

“Jakarta?” ledek anak berambut ikal, menjentikkan kelingking dan ibu jari, “Mending Bandung dong! Aku mah punya Aa Epul yang kuliah di Bandung. Kamu ngga punya, kan? Kasian deh Lu!” balas anak berambut ikal sambil menggoyang-goyangkan kelima jari tangannya menurun.

“Tapi, kamu belum pernah ke Bandung, kan?” balas anak berkepala botak itu tak mau kalah.

Anak berambut ikal itu terdiam, merasa terpojok. Si botak tersenyum puas, merasa menang adu pendapat itu.

Di saat terdesak itulah, muncul Epul di halaman itu. Melihat sosok kakak kebanggaannya datang, anak berambut ikal itu menghambur menyambutnya. Adik anak berambut ikal juga ikut berlari, menyusul kakaknya. Dua anak kakak beradik itu langsung meloncat-loncat girang.

Kedua anak kecil itu adalah adik-adik Epul. Anak paling kecil bernama Asep. Dan, Kakaknya, yang berambut ikal bernama Maman.

“Kak Epul!” teriak anak paling kecil sambil berlari menyamping, meloncat-loncat seperti anak menjangan melintasi rerumputan.

“Hore, Kak Epul datang!” pekik Maman.“Dari Bandung, lho!” pekik Asep, membanggakan kakak

kesayangannya di depan teman-temannya. Anak-anak teman sepermainan hanya memandangnya dengan rasa iri pada kebanggaan dua anak kakak beradik itu. Pada jarak beberapa langkah, kedua bocah itu meloncat, menerkam kakak kebanggaannya. Epul terjungkal ke atas tanah, tertawa riang. Ia bangkit dan berjalan menuju belakang rumah. Dua adiknya itu tak ada yang mau mengalah. Keduanya saling berebutan untuk digendong. Asep bertengger pada punggung Epul. Maman yang tidak digendong, menggelayut di lengan kirinya sambil mengangkat kaki dari tanah, terus merengek agar mendapat giliran. Diiringi adu mulut kedua adiknya yang menggemaskan, Epul berjalan menuju pintu belakang rumah.

Epul adalah anak tertua dari lima bersaudara. Adiknya yang paling kecil bernama Asep, berusia hampir empat tahun. Sementara adiknya yang paling besar bernama Neneng, sekarang duduk di kelas 2 SMP Kawali. Adik Neneng bernama Deden dan Maman. Mereka masing-masing duduk di bangku kelas 6 dan 1 SD Inpres Ciakar.

Petang seusai shalat asar, keluarga itu berkumpul di dapur, di depan tungku kayu untuk menghangatkan badan akibat dinginnya cuaca pegunungan. Mereka menyantap nasi dengan lauk tempe goreng, ikan asin tanjan yang dipanggang di bara api, dan tak lupa sambal goang57 . Semua itu hasil masakan Ambu. Epul, adik-adik, dan Abah duduk mengitari tungku api. Ambu sibuk menyuapi si Bungsu, Asep. Api belum sepenuhnya padam di dalam tungku, masih menyisakan bara dan asap yang membubung sehabis digunakan untuk memasak. Tak ada minyak tanah. Di sana kayu bakar lebih murah untuk keperluan memasak dibanding harga bahan bakar fosil.

Seusai makan, Epul dan Abah beranjak ke dipan beralas

57 sambal yang dibuat hanya dengan cabe dan garam

106 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 107

tikar anyaman daun pandan. Abah mengecilkan suara radio yang saat itu sedang menyiarkan dongeng pasosore Wa Kepoh, acara kegemaran Epul saat anak-anak. Ingin sekali ia protes saat Abah mematikan radio itu. Akan tetapi, mimik Abah serius seperti ada sesuatu yang akan dibicarakannya.

“Begini, Cep!” bukanya sambil membenarkan letak kopiah beludrunya yang berwarna hitam pudar. “Ada beberapa hal kenapa Abah memanggil Epul ke rumah.” Lalu berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam.

Epul menyimak harap-harap cemas. Matanya tetap lekat kepada wajah Abah yang penuh dengan kerutan penuaan dan bekas kerja keras. Kulitnya legam mengilap terbakar sinar matahari.

“Ari Epul teh sekarang sudah semester berapa?” tanya Abah sambil mengisap rokok kelobot hasil lintingannya sendiri.

“Semester empat, Abah.” Jawab Epul.“Emang kenapa kitu , Bah?” Epul balik bertanya.“Punten Abah bertanya. Kira-kira berapa tahun lagi atuh

Epul teh lulus?” tangannya meraih cangkir aluminium besar berisi air teh panas dari meja, kemudian mereguknya sedikit demi sedikit. Lalu punggungnya bersandar pada kursi rotan yang alasnya sudah terserabut termakan usia.

“Masih empat atau lima semester lagi, Bah. Minta doanya saja mudah-mudahan lancar.”

“Ari satu semester teh berapa tahun kitu?”“Bah, satu semester itu memakan waktu setengah tahun.

Jadi, kuliah Epul tinggal 2 – 3 tahun lagi. Kitu, Abah” tandas Epul.

“Oh, begitu?” Abah mengangguk-angguk. “Begini... Si Neneng teh sekarang mau kenaikan kelas. Kelas tiga SMP. Nah, lagi, Si Deden sekarang mau masuk SMP. Jadi Abah teh mau tidak mau harus membagi-bagi jatah. Sedangkan Epul tahu, perusahan tempat kerja Abah, kan hanya apa itu namanya, industri hom?” tanya Abah mencoba mengingat-ingat.

“Maksud Abah home industry?”“Nah, itu maksud Abah, teh. Sekarang harga bahan baku

kerupuk semakin naik. Tidak seimbang dengan harga penjualan. Bahkan, ada beberapa karyawan dunungan58 Abah yang sudah dirumahkan. Pabrik sudah tidak mampu lagi membayar upahnya.” Tangannya menyorong di depan mulut, lalu terbatuk beberapa kali. “Abah juga sekarang hanya disewa empat hari selama satu minggu. Jumat Abah libur, lalu hari Sabtu dan Ahad, Abah pakai untuk pergi ke kebun. Tapi Epul tahu sendiri, kan? Harga cengkeh dan kopi tidak menggembirakan. Itu juga panennya sekali setahun. Sering rugi daripada untung. Tamba teu teuing wae etamah!59”

Epul paham dengan kondisi Abah. Pekerjaan utama Abah hanyalah buruh kasar menjemur tapioka pada industri rumah tangga produsen kerupuk di Kawali. Seandainya sanggup, ia tak ingin membebani Abah biaya kuliahnya. Ia memang sadar, kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Terlebih, sejak krisis moneter beberapa tahun yang lalu. Sebagian besar kebun tadah hujan keluarganya yang ada di pasir sudah mereka jual untuk menutupi biaya kuliah Epul.

“Abah mengatakan hal ini supaya Epul paham. Makanya, Abah menjual sisa kebun kita di pasir, yang ditanami kopi untuk biaya kuliah.” ucapnya. Ia terbatuk kembali.

Selagi menyimak ucapan Abah, Epul meraih sepotong singkong rebus yang dibalur parutan kelapa dari piring di atas meja. Ia pun menyuapkannya ke dalam mulut.

Abah melepas kopiah beludru hitamnya. Tangannya mengeluarkan secarik amplop dari selipannya.

“Ini, uangnya. Buat kuliah Epul.” Ucapnya, sembari meluncurkannya di atas meja.

Epul mengamati tangan Abah saat meluncurkan amplop itu di permukaan meja. Jari-jemarinya gemetar. Kuku-kukunya yang hitam sisa tanah kebun yang tak terbasuh. Hanya tulang terbalut kulit keriput, dengan urat-urat yang berkejar-kejaran, menyembul di permukaan kulitnya. Ia tersentak. Betapa pria

58 Majikan

59 Daripada tidak melakukan apa-apa

108 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 109

ini adalah pekerja keras tangguh yang tak kenal lelah. Tak kenal kata menyerah meskipun terseok-seok. Ia tak tega menerima uang itu.

“Jangan, Bah...Uang itu buat adik-adik Epul saja!” ucap Epul, menggeleng kepala.

“Tidak. Epul harus terus kuliah. Sudah sejak lama Abah memimpikan seorang anak yang bisa menjadi sarjana. Satu-satunya insinyur di kampung kita, di Ciakar.”

“Tapi, Epul tidak bisa menerima uang itu!”Abah tetap bergeming. Ia memaksa. “Abah tidak perlu khawatir mengenai nasib kuliah Epul.

Minggu lalu, Epul berkenalan dengan penjaga kios koran di samping gerbang kampus. Ia menawarkan pekerjaan sebagai penjaja koran keliling. Katanya hasilnya lumayan.”

“Abah percaya, Epul bisa berbuat yang terbaik. Tapi, uang ini harus diambil. Abah yakin, uang ini akan dibutuhkan suatu saat.”

Epul, meskipun tak tega menerima uang itu, terpaksa menerimanya. Yang ia khawatirkan adalah nasib keluarganya. Namun, sikap Abah membuatnya tak punya pilihan lain, selain menerimanya.

lll

Hari sudah hampir sore. Sinar kuning matahari masih membaluri bumi Ciakar, sebuah desa kecil pegunungan nan asri di Kabupaten Ciamis. Pematang sawahnya meliuk-liuk menuruti kontur tanah. Lahannya ditanami palawija setelah panen padi beberapa bulan lalu. Suara kumbang kelapa bersahutan menyayat petang. Di sebelah timur, tampak membiru Gunung Sawal yang ditumbuhi hutan lebat.

Sepasang anak muda, Epul dan Iis berjalan menyusuri pematang sawah. Sekilas, terdapat kesenjangan pada sepasang anak muda itu. Banyak orang yang menyayangkan kenapa gadis secantik Iis mau menjadi calon istri Epul yang secara fisik tidak

seimbang. Seringkali, penilaian orang terpaut pada permukaan saja. Apakah Iis menderita rabun penglihatan? Atau Iis terkena tenung ilmu pelet sakti mandraguna dari Epul? Sama sekali tidak. Epul bukanlah tipe pemuda fans perdukunan.

Untuk ukuran gadis desa, Iis adalah sosok yang sempurna. Pipinya yang berlesung ketika tersenyum ibarat langit dan bumi jika dibandingkan dengan bibir tebal Epul saat tersenyum, tak sanggup menyembunyikan jajaran gigi-gigi di dalamnya. Dibandingkan bagian tubuh lainnya, kedua bibirnya yang teballah yang mendominasi space wajah Epul. Rambut Iis yang hitam legam dan subur, seperti bulu kucing angora dengan kucing kampung jika dibandingkan dengan rambut Epul yang hanya beberapa helai dan memerah. Tapi bagi Iis, jiwa dan hati Epul-lah yang membuat ia rela mengibarkan bendera putih. Di samping itu, ia sangat kagum dengan keenceran otak teman SD-nya itu. Selama enam tahun hingga lulus, dialah siswa yang selalu merebut juara umum di SD Inpres Ciakar. Bahkan, saat lulus dari SMA Kawali, dialah yang mendapat predikat siswa teladan dengan NEM tertinggi se-Kabupaten Ciamis. Itulah kenapa, sama sekali Iis tidak menolak permintaan orang tua kedua belah pihak saat perjodohan itu terjadi.

Selepas menikmati pemandangan, mereka kembali berjalan menuju perkampungan melewati lapangan bola. Di lapangan itu terdapat gedung madrasah, tempat dulu Epul dan anak kampung lainnya mengaji selepas pulang dari sekolah SD.

Di langit yang membiru berawan, sepasang layang-layang meliuk-liuk bercengkerama dengan embusan angin sore. Dua benda itu menyaksikan pesona keindahan pemandangan kampung Ciakar dari atas. Mereka menjadi saksi perbincangan yang terjadi di antara sepasang anak muda jauh di bawah sana.

Melewati lapangan itu, mereka beranjak ke tanggul. Sembari duduk di tanah yang agak tinggi, Epul dan Iis menyaksikan sekelompok anak kecil bertelanjang dada dan bercelana pendek. Berebut bola sepak dari plastik penuh semangat. Anak berambut cepak berguling-guling saat anak berkulit hitam yang

110 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 111

mengejarnya berhasil merebut bola dari kendalinya. Teman satu timnya tertawa riang. Sorakan mereka mendorongnya menggiring bola menuju gawang. Semua pandangan tertuju kepada eksekusi tendangan si anak berkulit hitam.

“WUSS!” bola plastik melesat terseok-seok diterpa angin sawah. Benda bulat ringan itu melesat kencang, menerobos penjaga gawang.

“GOALL!” teriak mereka berloncatan ke udara. Si anak berkulit hitam lari berputar mengitari lapang, menirukan gaya Cristiano Ronaldo saat berhasil menjebol gawang lawan. Serta merta seluruh temannya memantul-mantul ke udara, tertawa riang. Suara mereka lepas membahana.

Epul dan Iis tersenyum menyaksikan keriangan mereka. “Aa akan berangkat lagi besok pagi, setelah subuh,” ujar

Epul membuka percakapan. Tangannya menjumput rumput jarum di depannya, lalu menyelipkannya di sela giginya yang letaknya sedikit maju mendorong bibir.

“Kenapa buru-buru berangkat?” tanya Iis sedikit kecewa. Epul tidak menjawab. “Neng60 paham, Aa adalah seorang lelaki yang selalu

ingin meraih mimpi dan mengejar cita-cita. Aa adalah seorang petualang, selalu mengembara mencari nasib. ” ucap Iis pelan.

“Tapi Neng khawatir,” sambungnya. Ia membuang muka. Epul menanti terusannya. “Aa tergoda oleh gadis kota. Di kota banyak perempuan

yang lebih pintar dan lebih cantik dari Neng sehingga Aa lupa sama…”

“Neng, sudahlah!” Epul menatap tajam, “Tak perlu diteruskan lagi.” Ia tertunduk, membuat beberapa helai rambut di ubun-ubunnya berderai, lalu berkibar diterpa angin. “Cinta tidak hanya sekedar fisik. Kita sudah sepakat bahwa cinta itu seperti menanam padi. Kita berjuang membersihkan lahan dari syakwa sangka dan curiga, memupuknya dengan kepercayaan, lalu menyemai benihnya di atas lahan yang sudah kita persiapkan. Biarlah hujan dan sinar mentari membantunya tumbuh. Kelak, 60 Neng/Neneng, panggilan untuk anak gadis

kita akan memanen manisnya. Percayalah, Aa akan memegang teguh janji.”

Mendengar itu, tersenyumlah Iis. Ia merasa lega tambatan hatinya adalah seorang pemuda yang setia dan bersungguh-sungguh. Sejak perjodohan antara dua keluarganya, Iis selalu patuh kepada kedua orang tuanya. Ia percaya, orang tuanya memilihkan yang terbaik untuknya. Iis adalah seorang gadis desa yang cantik, patuh kepada orang tua, dan berpikiran sederhana.

Besok paginya, saat pandangan di luar masih remang, Epul kembali dari mushala seusai melakukan shalat subuh berjamaah bersama Abah, Ambu, dan adik-adiknya. Sebelum bergegas ke sumur untuk mandi, ia mengendap-endap masuk ke kamar Abah. Abah, Ambu, dan adik-adiknya masih mengaji bersama di mushala. Biasanya, kegiatan itu berakhir jam 5.30. Ia mendekati lemari pakaian Abah dan Ambu yang terbuat dari kayu mahoni. Di dalam lemari itu, Abah biasa menyelipkan surat-surat yang ia terima setelah dibacanya. Persis bersama surat-surat itu, di bawah lipatan pakaian, Epul meletakkan amplop berisi uang yang diberikan Abah dua hari yang lalu. Perasaannya tak tega saat menerima uang itu. Di tangan Abah, uang itu bisa digunakan untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari.

Usai mandi di sumur, ia bergegas ganti pakaian. Jam di tangannya menunjukkan waktu jam 5.40. Ia harus kembali ke Bandung. Ketika sedang mengenakan sepatu, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan. Ibunya langsung menghampiri dan membuka pintu. Di depan pintu rumah, Iis dan ibunya, Bi Ijah, sedang berdiri. Tangan kanan Iis menjinjing kantong plastik hitam berisi pisang emas beberapa tandan.

“Bi Ijah? Iis?” tanya Ambu.“Bibi dengar, Cep Epul mau berangkat ke Bandung

sekarang?” tanya Bi Ijah sambil mendongak ke dalam rumah mencari-cari Epul. “Kenapa buru-buru atuh?”

Selagi ibunya berbincang-bincang, Iis tetap menunduk.‘Iya Bi Ijah,” jawab Ambu, “Katanya ada tugas kuliah yang

harus diselesaikan.”

112 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 113

“Ini, Bibi ada pisang emas. Kemarin baru diambil dari kebun samping rumah. Bibi tidak bisa memberi apa-apa,” ucapnya sembari menyodorkan kantong plastik itu kepada Ambu di depannya.

“Aduh, jangan merepotkan, Bi. Terima kasih, atuh,” ucap Ambu. Kemudian, ia menoleh ke dalam rumah, “Epul, ini ada Bi Ijah dan Iis, pamitan dulu”.

Epul bergegas bangkit setelah mengenakan sepatu kanvas ‘warrior’nya untuk menyalami Ambu, Abah, dan Bi Ijah. Sebelum naik mobil angkutan pedesaan, ia berpamitan dulu kepada tetangga-tetangganya.

lll

Minuet

Konon, Tuhan menciptakan Kepulauan Nusantara ketika sedang tersenyum. Itulah kenapa, Indonesia mempunyai alam yang elok permai, tanah subur, sumber alam melimpah, dan penduduk yang ramah. Tidak mengherankan, sejak dulu, Indonesia selalu penuh sanjung, dipuja-puja bangsa. Banyak bangsa lain, terutama yang pernah meninggali Indonesia, langsung terpikat oleh pesona alamnya. Salah satunya adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang warga Netherlands Indie keturunan Jerman, yang kala itu tinggal di kaki Gunung Tangkuban Perahu, Bandung.

Junghuhn adalah seorang naturalis dan peneliti bertekad baja. Dialah orang yang berjasa mengembangkan tanaman kina di Indonesia. Karena jasanya, ia dijuluki sebagai Bapak Kina Indonesia. Begitu mendalam rasa cintanya kepada alam

Nusantara. Sehingga, pada tahun 1864, menjelang detik-detik embusan napasnya, ia memohon kepada sahabat karibnya, dokter Groneman,

“Groneman yang budiman, maukah engkau membukakan jendela kamarku? Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku tercinta, buat terakhir kali. Aku ingin memandangi hutan-hutanku, ku ingin sekali menghirup udara pegunungan yang segar.”

Seraya memandangi dataran Bandung yang jelita di bawah kaki langit, di haribaan kaki Gunung Tangkuban Perahu dengan hutan alam yang menghijau, Junghuhn berpulang ke pangkuan alam Indonesia nan permai. Sesuai amanatnya, ia dimakamkan di samping kediamannya yang terletak di kaki Gunung Tangkuban Perahu, Lembang.

Berpuluh tahun setelah itu, Prof. H. Th. Klompe dan Prof. George Adrian de Neve, mantan guru besar THS (Technische Hogeschool, sekarang ITB), mengikuti jejak yang sama. Keduanya adalah ahli geologi semasanya. Meskipun meninggal di Kuala Lumpur, Prof. H. Th. Klompe berwasiat agar kelak abu jenazahnya ditaburkan di Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Perahu. Tiga puluh lima tahun setelah itu, peristiwa berikutnya terulang kembali ketika abu jenazah Prof. Adrian de Neve ditebarkan di tempat yang sama.

Peristiwa itu berlangsung di pagi hari yang cerah dan khidmat. Dengan dipandu pengamat gunung berapi, pelan-pelan abu jenazah itu menuruni tebing terjal Kawah Ratu Tangkuban Perahu, dipangku oleh salah seorang anaknya. Di bibir kawah, Ny. De Neve, murid-murid, serta kerabat almarhum menyaksikan nya dari atas kursi. Penuh khidmat, mereka mengikuti ritual itu. Setibanya di dasar kawah, abu jenazah kemudian ditebarkan dengan perlahan dan hati-hati. Seolah membaringkan seorang bayi manusia. Di dasar kawah itulah, mereka memilih sisa raganya menyatu dengan alam dan beristirahat dengan tenang. Abu jasad itu, menyatu dengan hangatnya kabut belerang yang

114 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 115

setia menyelimuti kawah tersebut.

lll

Dilema Sebuah Mimpi yang Indah

“Jij harus pulang segera! Opa membutuhkanmu saat ini!” ucap seorang wanita di ujung telefon dari seberang benua. Suara paraunya terdengar gemerisik.

“Kenapa Mamie?” Tanya Renee heran. Padahal, baru beberapa bulan ia pulang ke Belanda. Sekarang, Mamie sudah menyuruhnya pulang lagi.

”Tak perlu kuliah jauh! Jij harus pindah kuliah di sini!”“Tidak, Mamie!” jawab Renee. “Ik kerasan tinggal di

sini. Indonesia adalah rumahku!” Ia melepas kacamata dan meletakkannya di meja. Ia menitikkan air mata.

“Kenapa jij selalu keras kepala seperti Opa?” Bentak Mamie geram. Nada suaranya meninggi. Tangan kanannya meremas-remas celemek dipangkuannya.

“Mamie, ik berhak mencari kebahagiaanku sendiri.” timpal Renee. Suaranya bergetar, ”dan Ik merasa bahagia saat berada di sini, di Indonesia.”

“Kalau begitu jij egois. Betapa sayangnya Opa kepadamu!”“Mamie jangan bilang begitu! Ik sangat menyayanginya.”

Sanggah Renee.“Kalau begitu, pulanglah! Saat ini Opa membutuhkanmu!

Kau dengar!” bentak Mamie di ujung telefon.“Tapi kenapa?” ucap Renee tersentak kaget. “Kenapa harus

pulang? Bukankah Ik sudah pulang di awal tahun? Tidakkah itu cukup?” ia menggeser duduk mendekati meja telefon.

“Opamu sakit keras…” ucapnya terisak.Mendengar kalimat terakhir Mamie, hati Renee melunak. “Tapi, Mamie…” belum tuntas ucapannya. “Pokoknya, Jij harus pulang. Sejak kepergianmu yang

terakhir, kondisi kesehatan Opa semakin memburuk. Kalau

Jij benar-benar menyayanginya, pulanglah saat ini juga! Ia merindukanmu!”

Mamie memutus sambungan telefon sepihak. Wajahnya mengharu biru menahan sedih. Ia melangkah menuju tangga lantai dua, hendak menengok Opa yang terbaring lesu di kamar.

Di dapur, Papie sedang melumasi sepeda. Ia sedikit menguping perbincangan Mamie dan anaknya. Ia hanya meliriknya sekilas. Lalu pandangannya kembali kepada sepeda kesayangannya. Ia sudah bisa menebak apa respon anaknya itu.

Gagang telefon masih terapit pada leher Renee. Ia tercenung. Dipandanginya alat komunikasi di genggamannya itu dan diletakkannya perlahan. Ia membuang tatapan matanya keluar rumah, menembus beningnya kaca jendela, bersemayam pada bunga-bunga krisan kuning legam, sayu terbakar teriknya matahari. Hatinya terombang-ambing badai kebimbangan. Mewujudkan impiannya atau kesembuhan Opanya?

lll

Jl. Kejaksaan-Braga, Bandung 2001

Matahari mulai surut di langit barat. Senja memuram. Horison kota Bandung sebelah barat yang tertutupi oleh beberapa bangunan bertingkat tampak kemerahan, menyisakan siluet hitam yang kontras dengan warna jingga pada latarnya.

Di depan rumah Dika, Renee menghentikan mobilnya. Keluar kendaraan, ia bergegas menuju taman belakang rumah. Pintu dinding pembatas taman itu tertutup rapat. Ia mendengar sayup melodi dari dawai gitar yang dipetik. Tangan Renee meraih pegangan pintu taman. Ia buka dengan ragu. Tertegun di mulut pintu, ia bimbang beberapa lama. Dilihatnya, Dika duduk di kursi taman memetik dawai gitar. Melodi ’Capricho Arabe’ merambat pelan di udara. Lagu itu, mengingatkannya pada saat-saat indah di Pantai Pelabuhan Ratu bersama sahabat-sahabatnya, tahun

116 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 117

lalu.Sementara di dalam taman itu, matahari masih menerangi

rerumputan. Sinarnya menerobos daun tanaman sirih merah yang merambat melalui teturus.

Saat mendengar pintu tamannya berderak, Dika menolehkan pandangan. Wajahnya langsung sumringah, sadar siapa yang datang.

“Renee?” sapanya. Ia bangkit dari kursi. Tangan kirinya masih menenteng gitar. Melihat wajah Renee yang murung, senyumnya yang mengembang seketika menguap.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya menyelidiki raut wajah sahabatnya. Dika meletakkan alat musik petiknya di atas kursi kayu tanpa mengalihkan pandangan.

Renee tertunduk lesu, memandangi rerumputan di bawah kakinya, lalu memberanikan diri untuk menatap.

“Mamie menyuruhku pulang.” ucapnya menggigit bibir.“Pulang lagi? Maksud kamu?”“Opaku sakit keras. Semangat hidupnya pudar. Ia

membutuhkan kehadiranku saat ini.” ucap Renee tertunduk. “Aku turut prihatin.” Ucap Dika, sembari menghela napas.“Tapi ini kepulangan seperti biasa, kan?” Tanya Dika lagi,

“jadi, kapan kau akan kembali lagi ke Indonesia?”Renee menggeleng, “Aku takkan kembali selama Opa masih

membutuhkanku. Aku harus pindah kuliah.”Dika membisu. Pilihan yang sulit.“Tapi, aku begitu cinta Indonesia, Dika. Berat bagiku untuk

meninggalkannya. Menjauh dari keindahan mimpi-mimpi masa kecilku yang terwujud, kehangatan sinar mentari, dan sahabat-sahabatku.” ucapnya serak. Matanya berkaca-kaca.

Wajah Renee merunduk. Air matanya menetes, mengalir di kedua pipi. Sebagian berderai pada bingkai tipis kacamatanya.

Dika menunduk, prihatin. Ia paham, Renee berada di antara pilihan yang sulit. Dan ia paham, seberapa besar keinginan Renee untuk tetap tinggal di Indonesia.

Renee menelungkupkan kedua telapak tangan pada

wajahnya yang sembab. “Berat bagiku meninggalkan semua keindahan ini. Aku

terlanjur jatuh cinta kepada negeri ini, kepada alam Priangan dengan gunung-gunungnya yang membiru, lembah menghijau dengan jalan yang menanjak dan berkelok-kelok. Berat bagiku menjauh dari Paradijs op Aarde61,” ucapnya berlinang air mata, “sekarang aku mengerti, kenapa Opaku tak pernah lekang kenangan kepada Verre Vaderland, tanah airnya yang kedua - Indonesia.”

Renee berjalan mendekati Dika, dan merangkulnya. Ia menangis di bahunya. Renee tak punya pilihan lain, kecuali meninggalkan negeri tropis ini, negeri yang sudah ia anggap sebagai tanah air keduanya meskipun dengan berat hati. Kini ia akan kembali lagi ke negerinya yang datar, terhampar. Takkan ada lagi gunung membiru. Takkan ada lagi jalanan yang turun naik, berkelok-kelok yang di sisi kiri kanannya jurang-jurang menganga dan bukit yang menghijau. Ia takkan lagi mendengar suara merdu alunan bambu, angklung dan seruling yang dimainkan anak-anak berpakaian pangsi. Keindahan mimpinya yang hampir terwujud lepas setelah berada di genggamannya.

Dika terkesiap, seperti baru saja terkena sorotan cahaya yang menyilaukan, kemudian kelam kembali. Ia tersadar, tak ada jaminan dia bisa bertemu kembali dengan Renee. Wajahnya tertunduk menanggung beban. Perpisahan dengan sahabat akan segera terjadi. Beberapa saat terdiam, ia mencoba meraih kata-kata yang sulit ditemukan.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Renee, kecuali pulang. Kesembuhan Opamu lebih berharga.” Ia menghela napas berat.

Renee mengangguk setuju. Ia melepaskan rangkulan, menyeka air mata yang mengalir di pipi dengan punggung tangan.

“Andaikan aku bisa memilih keduanya. Aku ingin kesembuhan Opaku dan berada di Indonesia,” ucap Renee terhenti, menelan ludah, pahit.

Menahan jatuhnya air mata, Dika menengadahkan wajahnya 61 surga di atas bumi

118 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 119

ke arah langit yang memerah. Perpisahan dan kebersamaan adalah sekeping koin kenyataan, dua sisi yang bersebelahan. Dedaunan tidak bisa selamanya menikmati kebeningan dan kesejukan embun pagi. Kelak, matahari menyingsing, semua itu sirna.

Selama beberapa saat, Renee tetap menunduk. “Bisakah kita tetap bertukar kabar, meskipun kita

berjauhan? Aku tak ingin melewatkan kisah-kisah sahabatku di sini.” tanyanya parau.

Dika mengangguk perlahan. Renee berbalik, melangkah berat melewati jalan taman

berkerikil. Dika menatap kepergian sahabatnya.“Renee…,” panggilnya lirih. Renee menghentikan langkah. Ragu-ragu ia balikkan

badannya.“Aku akan mengirim surat untukmu, selalu.” ucapnya

memaksa senyum dalam kesedihan. Renee mengangguk, lalu melangkah pergi.

lll

Bandara Soekarno Hatta - Jakarta, 2001

Setengah berlari, Nada keluar dari gedung terminal dua Bandara Internasional Soekarno Hatta. Langkahnya berderap cepat. Gaun merah maron ‘Prada’nya berkibar pada bagian betis yang terhembus angin. Dika dan Epul membuntutinya di belakang. Mereka hening sepanjang langkah. Tak sepatah kata pun mengalir dari mulut. Sesampai di samping mobil Zafira merah metalik, Nada berhenti. Ia melemparkan pandangan ke arah Dika, sembari mengacungkan kunci mobil. Dika mengangkat kedua bahunya,

“Aku tidak bisa,” jawab Dika melirik Epul.“Apalagi sayah!” sambar Epul pasrah.Nada menghela napas panjang, menundukkan kepala seraya

memasuki mobilnya. Dika mengikutinya. Ia masuk melalui pintu samping kiri. Epul tertegun di samping luar pintu mobil. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan agar tubuhnya bisa masuk ke dalam kendaraan itu. Duduk di atas joknya yang empuk. Andai saja saya seperti David Copperfield yang bisa menembus logam atau kaca, pikirnya sibuk sendiri. Kenapa tadi sayah tidak memerhatikan saat Dika masuk? Pikir Epul.

Kaca mobil perlahan terbuka, kepala Dika menyembul dari dalam. Ia tak habis pikir, apa lagi yang sedang ditunggu sahabatnya, Epul.

“Pul, tunggu apa lagi? Ayo cepat masuk! Kita pulang sekarang.” Teriak Dika.

Sebetulnya Epul malu untuk mengakuinya. Tapi, ia harus terus terang mengenai masalah yang dihadapinya.

“Sayah tidak tahu bagaimana cara membuka pintunya,” ucapnya. Tangannya menggoyang-goyangkan pegangan pintu mobil.

“Maksud kamu?” Tanya Dika, mengernyitkan kening.

“Dari tadi sayah tarik pegangan ini, tapi kok pintunya tak mau terbuka, yah” ucap Epul menuding pegangan pintu mobil itu.

Dika tersenyum. Ia maklum sahabatnya itu belum pernah naik mobil yang pintunya masih dalam keadaan tertutup rapat.

“Epul, Epul, kenapa tidak bilang dari tadi?” ucap Dika. Ia beringsut keluar dan berjalan menuju pintu tengah mobil.

“Hehehe, sayah teh malu,” jawabnya sambil garuk-garuk kepala.

“Begini nih caranya,” ucap Dika memeragakan dengan tangan. Jemarinya menarik pegangan pintu bagian bawah ke arah atas.

”Tuh kan terbuka?”

“Oh...” gumam Epul terheran mengamati, “pantas saja, tadi yang sayah coba buka bagian atasnya.”

Epul mengangguk-angguk paham.

120 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 121

Nada hanya menyimak pembicaraan dua orang sahabatnya dari belakang kemudi mobil. Beberapa saat selepas kedua sahabatnya masuk, ia menjalankan mobilnya perlahan keluar dari kompleks areal parkir Bandara Soekarno Hatta.

Nada tak bicara sepatah kata pun sejak terakhir kali melihat Renee menitikkan air mata perpisahan dan melangkah ke pintu keberangkatan di bandara. Berat rasanya untuk melepaskan rangkulan yang terakhir. Seakan ada ruang yang kosong dalam relung hati semenjak kepergian sahabatnya itu. Setiap sahabat selalu menciptakan rumah tersendiri di dalam hati. Meskipun persahabatan yang baru terjalin, ia tak bisa mengisi rumah itu. Ruang tersebut akan tetap kosong selamanya. Selama dua tahun persahabatan terjalin bersamanya, banyak kenangan indah yang terukir. Apalagi, kisah perkenalan dengannya sangat istimewa. Dan itulah yang membuat sosok Renee sangat istimewa di matanya.

Sepanjang perjalanan dari jalan tol bandara hingga tol Jagorawi, Nada dan Dika tak bercakap-cakap. Dika menoleh ke belakang. Kepala Epul tertunduk. Ia tampak terlelap tidur.

Melewati jalur Puncak, mobil melambat. Antrian kendaraan sangat panjang sejak keluar dari Gerbang Tol Ciawi jalan tol Jagorawi. Namun, kemacetan itu tidak begitu mengganggu saat mengalihkan pandangan pada bukit-bukit yang dihampari hijaunya tanaman teh. Pemandangan begitu memesona, indah menyejukkan mata.

“Nada, coba kamu lihat itu!” ucap Dika. Tangannya menunjuk ke arah pemandangan sebelah kanan. Puncak Gunung Gede bersanding dengan Gunung Pangrango. Ia mengalihkan pandangan Nada terhadap bukit-bukit hamparan teh dengan latar belakang gunung yang membiru. Pandangannya menengadah pada benda bersayap yang melayang-layang di udara, seorang pemain gantole terbang melintas.

“Bulan depan, kami akan naik gunung itu.” ucap Dika tak mengalihkan pandangan. Telunjuknya mengarah pada dua gunung di sebelah kanan jalan. “Kalau tertarik, kamu boleh

ikut.”Suara klakson menyalak dari arah belakang. Mobil di depan

mereka bergerak maju. Nada menginjak pedal gas, menjalankan mobilnya perlahan.

“Aku tak tertarik. Bukankah itu aktivitas yang menyita tenaga dan melelahkan?” jawab Nada tak acuh.

“Kamu belum pernah mencobanya, kan?”Nada terdiam, “Aku alergi dingin”.“Kamu perlu selingan untuk menyela rutinitas hidup,” ucap

Dika, “di samping menyegarkan pikiran.”Nada menggeleng kepala. “Too risky.”

Kebersamaan

Beberapa ransel dan perlengkapan naik gunung tersandar di dinding depan ruang sekretariat Mountaineer - UNIBA, bangunan sekretariat yang tampak sederhana dan asri. Dari dalam ruangan, Dika melangkah keluar dari ruang sekretariat itu. Di depan ruangan, Gerhard duduk-duduk di kursi kayu. Tangannya sibuk mengaduk gelas air mineral berisi kopi panas yang baru saja diseduhnya. Setelah meniupi kopi panas itu, ia mereguknya sedikit demi sedikit.

Di tepi jalan, Rida dan Sarkadhut sudah menunggu di samping taksi.

“Ridha, tolong ambhilkan tas inyong ke sini,” teriak Sarkadhut dengan logatnya yang khas. Kepalanya terhalang di balik bagasi.

“Dika, Gerhard, cepat!” teriak Rida. Sarkadhut berdiri di sampingnya, sibuk mengemasi barang-barang perlengkapan ke dalam bagasi kendaraan itu.

Gerhard dan Dika menjawab dengan isyarat tangan.“Kenapa kita ke gunung Gede lagi, sih?” tanya Gerhard.

Tangannya mengangkat ransel dengan malas. Ia bangkit dari kursi kayu tak bersemangat.

“Bukan ke Gunung Gede, tapi Pangrango!” ucap Dika

122 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 123

membungkuk, mengikat kedua tali sepatunya.Gerhard mulai menghabiskan segelas kopinya. Lalu, ia

membuang gelas plastik kosongnya ke dalam bak sampah di depannya.

“Ah, bagiku sama saja!” ucap Gerhard memunggungi Dika dan melangkah menuju Rida dan Sarkadhut yang sudah berada di tepi jalan.

“Tentu saja beda,” ujar Dika. “Gede adalah jenis gunung api strato, sedangkan Pangrango gunung yang tak aktif lagi. Usianya juga jelas berbeda…”

Perkataannya tak diteruskan saat menyadari semerbaknya aroma lime parfum Harvey Nichols. Tak asing lagi baginya. Bersama dengan kehadiran seseorang di depannya. Dika mendongakkan wajah perlahan. Melihat di depan matanya, sepasang kaki jenjang mengenakan sepatu gunung warna cokelat. Gerakan kepalanya terhenti saat pandangannya sampai pada wajah sosok itu.

“Nada?” seru Dika kaget. Ia lantas bangkit dari jongkoknya, dalam keheranan.

“Aku berubah pikiran,” ucap Nada tersenyum.“Kau tidak akan menyesal?”“Tidak ada salahnya aku mencoba, kan?”Dika tersenyum lega.“Tentu saja, ayo kita bergegas! Yang lain sudah menunggu

di luar!” ajaknya. Nada mengangguk. Ia membuntuti langkah Dika. Tepat pukul 8 pagi mereka berangkat menuju Cibodas,

Cianjur. Dari sana, mereka memulai pendakian. Pukul 4 sore, satu jam setelah memasuki gerbang pendakian Cibodas, mereka sampai di pos Telaga Biru. Air telaga itu berwarna biru kehijauan, paduan warna hijau ganggang dengan birunya langit. Beberapa tenda terlihat di sekitar tempat itu. Selesai istirahat 30 menit di pemberhentian pertama, tim melanjutkan pendakian menuju pos selanjutnya, Cibeureum. Di sana, satu keindahan berupa air terjun tak mereka lewatkan. Airnya bening berkilauan

memantulkan cahaya sore. Flora efifit berupa anggrek lumut merah banyak ditemukan pada tebing bebatuannya.

Dika duduk di atas bebatuan yang agak tinggi. Ia mereguk minuman dari botol air sambil menyaksikan Gerhard dan Nada sedang membasuh wajah mereka dengan airnya yang bening.

Dari bawah sana, Nada tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Puas membasuh kaki, ia merangkak ke atas bebatuan. Sandalnya ia simpan di tepi genangan air. Bebatuan basah mengilap, sebagian di antaranya berlumut dan licin. Saat menginjak batu landai, kaki Nada terpeleset. Ia jatuh, tercebur ke dalam air.

“Affh! Toloong!” teriak Nada kaget.Dika menghambur, menghampiri. Pada saat bersamaan,

Gerhard turut menghampirinya.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya setelah mendekat. Dika

mengulurkan tangan ke Nada, lalu meraih tangannya untuk bangkit.

Berjalan terantuk-antuk, Nada memeriksa telapak kaki kanannya. Darah mengucur dari celah jari kakinya. Dika menuntunnya hingga mencapai tanah terdekat.

“Tunggu di sini!” perintahnya, ia lalu bergegas pergi menuju tenda.

Nada menurut. Ia menunggunya, menahan perih. Gerhard menggulung celana panjangnya, lalu berjalan melintasi genangan air. Ia ingin memastikan bahwa kondisi sahabatnya baik-baik saja. Setelah beberapa saat, Dika datang kembali membawa kotak P3K. Dari kotak itu, ia mengeluarkan alkohol dan obat antiseptik.

“Tahan, pasti sedikit perih!” ucap Dika.Dika membalurkan cairan itu pada bagian luka di kaki

Nada. Terakhir, ia menutup lukanya dengan plester kain. Nada meringis. Menahan perihnya, ia menggigit bibir. Saat efek perihnya berangsur-angsur sirna, ia bisa tersenyum kembali.

“Terima kasih,” ucapnya kepada Dika.

Dika membalas dengan anggukan ringan.

124 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 125

Tak sampai satu jam berada di tempat itu, mereka sudah berkemas untuk melanjutkan perjalanan kembali. Pos selanjutnya adalah Kandang Badak. Sebuah persimpangan yang memisahkan rute menuju puncak Gunung Gede dan puncak Gunung Pangrango berada tak jauh darinya. Beberapa kali mereka singgah di beberapa pos sebelumnya, yaitu Sungai Air Panas dan Kandang Batu. Di Kandang Badak, tim memutuskan mendirikan tenda. Mereka beristirahat beberapa saat sebelum mendaki menuju puncak Gunung Pangrango.

lll

Pangrango, 3019 meter dpl

Setelah hampir 3 jam pendakian, mereka sampai di puncak Pangrango. Waktu itu, malam sudah larut. Embusan angin puncak gunung begitu dingin meresap ke dalam tulang-belulang. Segera, mereka mendirikan tenda dan membongkar perlengkapan. Untuk menghangatkan badan, Dika membuat api unggun dan mereka duduk mengitarinya. Di atas matras hitam yang dibentangkan menghadap api, Sarkadhut sibuk meniupi secangkir kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Sementara Gerhard sibuk membongkar ransel untuk mencari sleeping bag. Nada, Dika, dan Rida duduk melingkari api unggun, menikmati cerahnya langit.

Tak sedikit pun awan menghalangi cahaya bintang-gemintang. Dari atas tanah puncak gunung, tempat mereka berada kini, terhampar pesona keindahan kota Jakarta malam hari di kejauhan. Cahaya lampunya kerlap-kerlip, berkerumun seperti laron mengerubungi hamparan padi sawah. Kemilau sinarnya kontras dengan gelap langit di atasnya. Sungguh menawan keindahan panorama kota tampak dari puncak gunung.

Kesunyian yang indah. Hanya suara gemeretak api yang membakar kayu dan dedaunan kering. Ada kesejukan dan ketenangan yang menyelimuti. Kedamaian yang menghanyutkan,

menggenangi hati. Kelelahan dan letih yang diderita menuju puncak gunung, kini lunas terbayarkan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari saat mereka memasuki tenda untuk beristirahat. Setelah hampir 6 jam melakukan perjalanan dari Cibodas hingga puncak, beberapa anggota tim terlihat kelelahan dan mengantuk. Gerhard dan Sarkadhut sudah tertidur pulas, terbalut sleeping bag di dalam tenda. Teman setendanya, Dika, belum memejamkan mata. Ia masih membereskan peralatan mendaki, mencari sepasang sarung tangan, dan melepas lampu kepala. Rida dan Nada berada tepat di tenda sebelahnya.

Melewati kain tenda yang tak terlalu tebal, Dika melihat percikan nyala api di luar. Terdengar suara gemeresek ranting yang terbakar. Ia menempelkan wajahnya pada celah di antara risleting tenda. Pandangannya waspada.

Nada? Gumamnya dalam hati. Ia heran, kenapa Nada belum juga tertidur. Padahal, malam sudah larut. Ia mengendap keluar meninggalkan ruang tenda.

Angin di luar sangat dingin. Dika berjalan terhuyung menahan terpaannya. Kedua lengannya membekap badan, gemeretak.

“Nada, kamu belum tidur?” tanya Dika setelah mendekat.Embusan angin menggoyangkan lidah api.Nada menggeleng. Rahangnya gemeretak kedinginan. “Aku

tidak bisa tidur!” ucapnya dengan bibir gemetar. Dika mengamati wajahnya. Cahaya dari api menyingkap ada

sesuatu yang tak biasa terjadi pada Nada.“Astaga, wajahmu kenapa?” tanya Dika kaget.“Aku alergi dingin. Wajah dan kulitku menebal. Rasanya

sangat gatal.”“Kamu tidak bawa perlengkapan tidur, sleeping bag

maksudku?”Ia menggeleng, “Aku tak paham. Bahkan sarung tangan pun

tak bawa.”Dika menggeleng, “Ah… aku lupa memberitahumu.”

126 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 127

Ia melepas sarung yang membalut tangannya. “Pakailah punyaku!” tawarnya, sembari menyodorkan sepasang sarung tangan kulitnya. Nada menerimanya dengan ragu. Tanpa menunggu lama, Dika masuk kembali ke dalam tendanya. Beberapa saat kemudian ia muncul membawa gulungan sleeping bag.

“Pakai saja, lalu lekas tidur!” katanya, menyodorkan barang itu.

“Tidak. Kecuali kau membawa dua.” Nada menggeleng.“Jangan terlalu risau! Aku sudah terbiasa!” ucapnya

meyakinkan. “Sudahlah pakai saja!”“Sekarang tidurlah beberapa jam. Perjalanan menurun

tidak kalah melelahkan daripada perjalanan mendaki. Aku akan membangunkanmu nanti menjelang fajar.”

Nada menurut. Ia lekas melangkah menuju tenda. Pandangan Dika mengantarkannya hingga sosok Nada memasuki tenda.

Keesokan harinya, tatkala fajar merekah, pancaran warna jingga di ufuk timur merenda keindahan pagi yang memukau. Perpaduan warna yang harmonis antara langit, awan, dan pengantar cahaya sang surya. Komposisi gradasi warna yang sempurna antara biru, jingga, dan putih.

Di sebelah selatan menyembul kawah Gunung Gede membubungkan asap tipis putih. Mentari pun menyingsing, cahayanya lembut teduh, menghangatkan.

Melodi nyanyian terdengar dari sebelah selatan tenda, dari atas tugu ketinggian. Di atasnya, Dika terduduk menghadap timur, dibelai lembutnya angin pagi, bergelimang hangatnya cahaya mentari pagi. Kepalanya menunduk, tangannya menggerak-gerakkan harmonika di antara kedua bibirnya, mendendangkan sebuah lagu rindu. Tak berapa lama, ia menghentikan tiupan harmonikanya ketika rangkaian jemari lembut menyentuh punggungnya. Bermata sapphire biru, cincin yang melingkar di jari manis lentiknya berkilauan tersapa sinar mentari. Dika menengokkan kepala.

“Eh, ada Sang Putri?” canda Dika, tersenyum.

”Kau Sang Pangeran Kodoknya!” Balas Nada, gemas.Nada menatap sang surya di langit timur. Cahaya jingganya

berkilauan, terpantul di bening bola matanya. Kulit wajahnya yang putih menjadi keemasan akibat terpaan sinar matahari pagi. Belaian angin menguraikan rambut bergelombangnya, yang tergerai di luar kerah mantelnya.

“Dika, ini adalah momen yang paling indah dalam hidupku. Baru kali ini aku merasakan keindahan yang luar biasa dari puncak gunung.” ucap Nada lirih.

Dika memandangi kedua bola mata Nada yang bening, lalu membalasnya dengan anggukan dan senyum.

“Jadi, kau tidak menyesal, kan?” seloroh Dika, tersenyum.Nada tertawa. ”Kecuali kalau tidak kau pinjami sleeping bag

dan sarung tangan!”Tiba-tiba, terdengar teriakan jauh dari belakang mereka.“Dikaa… Nadaa!, cepat ke sini! Kita foto bersama!” teriak

Rida. Bersamanya, Gerhard dan Sarkadhut tampak sedang memasang aksi meniru bintang iklan rokok yang sering ditayangkan di TV. Dika dan Nada menoleh hampir bersamaan. Sesaat mereka berpandangan, lalu Dika mengangguk pelan.

“Yuk, jarang-jarang kamu bisa berpose bareng selebriti!” Ajaknya sambil menyeringai, seraya menjungkitkan kedua alisnya.

Nada mengerling.”Hmm...maunya...” Balas Nada membuang muka.Mereka berdua menghambur berlari ke arah teman-

temannya. Mereka mengambil beberapa foto dengan latar rindangnya pepohonan puncak Gunung Pangrango dan tugu ketinggian. Setelah puas, mereka menuju ke tenda masing-

128 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 129

masing, meninggalkan Dika dan Nada berdua di tempat itu. Dua orang itu terkesima pada keindahan alam di hadapannya. Kabut tipis yang perlahan sirna mengungkap hijaunya hutan yang menutupi punggung bukit. Melihat terbentangnya Alun-alun Mandalawangi yang tampak kecil dari atas. Menghirup kesegaran hawa yang melimpah, bergelimang hangatnya mentari, dan meresapi kesunyian yang indah di puncak itu.

lll

Symphony

Lembang, Pertengahan 2002

Semester genap mencapai penghujung. Liburan pergantian tahun akademik akan segera tiba. Pada liburan yang berlangsung selama dua bulan, mahasiswa semester 6 Universitas Bandung (UNIBA) mengambil mata kuliah KKN (bukan kependekan: korupsi-kolusi-nepotisme, tapi Kuliah Kerja Nyata). KKN, ada yang memplesetkan akronim itu menjadi kurulang-kuriling nongkrong (berkeliling-keliling nongkrong). Bukan sama sekali.

KKN dilandasi oleh keinginan luhur para penggagas pendidikan sebagai wujud partisipasi kaum intelektual terhadap kemajuan masyarakat dalam rangka menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sudah selayaknya tugas menyebarluaskan ilmu kepada khalayak menjadi kesadaran kaum tercerahkan berlandaskan semangat pengabdian. Dengan mengadakan kegiatan ini, universitas sebagai lahan subur ilmu pengetahuan mampu menjadi lokomotif kemajuan bangsa, bukan sebagai

‘ivory tower’, sebuah menara gading yang keberadaannya terpisah dari kehidupan sosial masyarakat.

KKN bukanlah ajang mencari jodoh, meskipun kenyataannya banyak terjadi pasangan mahasiswa menumbuhsuburkan cintanya sewaktu kegiatan ini berlangsung. Kakak angkatan mereka, tiga tahun sebelumnya, mengalami kisah ‘cinta lokasi’ yang paling heboh sepanjang sejarah per-KKN-an di UNIBA. Bukti tak terbantahkan dari adanya ‘skandal cinlok’ tersebut adalah adanya dua anak hamster yang lucu-lucu. Kok bisa?

Tentu bisa. Begini ceritanya.

Waktu itu, ada dua mahasiswa dalam satu kelompok yang saling suka. Kebetulannya lagi, hobi kedua orang itu sama, yaitu memelihara hamster. Mereka selalu membawanya kemana pun pergi, juga sewaktu KKN. Di sela-sela kegiatannya, mereka mencoba mengawinkan hewan peliharaannya. Walhasil, pada momen yang tepat, terjadilah cinta lokasi pasangan hamster yang paling mengharukan sepanjang sejarah. Kini, sepasang makhluk mungil itu berhasil membentuk sebuah keluarga hamster yang sakinah, mawaddah, warohmah, dan sudah dikaruniai dua keturunan yang lucu-lucu, sama seperti induknya.

Tahun itu adalah waktu KKN bagi mahasiswa seangkatan Dika, Epul, Nada, dan mahasiswa yang masuk kuliah di tahun 1999. Lokasi KKN Nada tidak begitu jauh dari kota Bandung. Ia bersama kelompoknya ditempatkan di desa Cihideung, Parongpong, Lembang. Lingkungan desa ini cukup nyaman, berhawa sejuk, dan mempunyai panorama alam yang indah. Lokasinya terletak di kaki Gunung Tangkuban Perahu. Sementara Dika bersama Epul ditempatkan di daerah Ciater, Kabupaten Subang, sebelah utara Kecamatan Lembang. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung sebelah utara.

Pagi itu, Dika mengunjungi lokasi KKN Nada. Ia berjanji akan mengantarnya ke pasar Lembang untuk berbelanja berbagai keperluan. Setelah satu jam mengendarai motor bebeknya, sampailah ia di tempat yang dituju. Ternyata tak sulit

130 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 131

untuk mencapainya, hanya satu kali bertanya kepada penduduk, mereka langsung tahu alamat yang dimaksud. Rumah yang ditempati Nada dan kelompoknya adalah milik tokoh masyarakat terpandang di desa itu. Ia adalah seorang pewaris Villa de Bloem di perkebunan teh sekitar Lembang.

Tak sampai satu jam, mereka sudah sampai di pasar Lembang. Selagi Nada masuk ke pasar membeli berbagai keperluan, Dika menunggunya di pelataran parkir pasar. Pikirnya, Nada tak akan lama. Ia topang motor tuanya dengan standar samping dan mendudukinya. Di pelataran tersebut, hanya terdapat beberapa kendaraan, motor para pengunjung dan sebuah mobil pick up penuh sayuran yang sedang bongkar muat.

Seorang perempuan tua berjalan sendirian, tergopoh-gopoh. Dua tangannya penuh menjinjing barang belanjaan.

“Cep, antarkan Nenek pulang ke Cibogo!” ujar nenek itu setelah pantatnya mendarat di jok belakang motor tanpa sepengetahuan Dika.

Merasa ada yang menduduki jok motornya, Dika kaget. Ia menengok ke belakang. Seorang nenek sudah terduduk manis.

“Nek, maaf saya bukan tukang…” belum selesai Dika membacakan pembelaannya, bahwa ’saya bukan tukang ojek’, si Nenek mencubit genit pinggang Dika.

“AUWW!” teriak Dika meringis. “Aah, make jeung jual mahal sagala62. Sudah jangan banyak

cingcong. Nenek lagi kebelet buang hajat, nih,” potong si Nenek.Tak tahan dengan sakitnya cubitan, Dika menurut.“Iya, Nek...” ujarnya pasrah.Dika mengemudikan motor keluar pelataran parkir, melesat

ke arah utara menuju Cibogo. Karena takut Nada sudah selesai belanja dan mencarinya, ia memacu cepat sepeda motornya.

Nyali si Nenek mengerut ciut. Dika terlalu cepat mengemudikan motornya. Lagi-lagi, tangan si Nenek beraksi kembali.

“AUWW!” teriak Dika menggelinjang. Pinggangnya

62 Pakai jual mahal segala

kesakitan karena cubitan.“Jangan terlalu ngebut!” perintah Nenek itu.“Iya Nek!” ucapnya sambil meringis menahan sakit.“Tukang ojeg jaman kiwari63 mah tidak bisa tenang kalau

mengendarai motor teh,” umpatnya dengan mulut yang penuh mengulum sepah. Sampai-sampai, cairan merah tuanya meluber hingga pipi karena terpaan angin.

“Kalau sampai apa-apa sama Nenek, kasihan si Kakek!” Tak bosan-bosan ia terus mengomel sampai tiba di tempat yang dituju.

Si Nenek berteriak lantang memberi aba-aba berhenti. Dika menekan pedal rem sekuat tenaga. Motornya berhenti

seketika. Akibatnya, pantat Nenek menggelosor di jok motor, hingga menumbuk punggung Dika. Lagi-lagi, wanita tua ini mengomel sembari turun dari jok motor. Ia mengambil selembar uang dari balik kembannya. Lalu menyodorkan kertas lecek itu kepada Dika. Namun, ia menolaknya sopan.

”Buat Nenek saja.” ucap Dika.”Apa? dua rebu?” Tanya si Nenek ketus, dengan mulut

monyong. Ia salah paham dengan ucapan Dika. Mengira Dika minta tambahan.

”Tidak kasihan sama orang tua!” sambung si Nenek sembari tangannya hendak mengambil kekurangan uang dari kemban.

Menghindari kesalahpahaman lagi, cepat-cepat Dika putar motor dan tunggang langgang, meninggalkan si Nenek yang masih terkesima.

Sekembalinya mengantar nenek ’otoriter’ itu, ia mendapati Nada sedang menunggu resah di pelataran parkir pasar.

“Aduh...Dika, habis dari mana? Aku sampai pusing cari kamu.”

Dika garuk-garuk kepala tak gatal. “He.he..Maaf. Baru saja narik penumpang. Lumayan!” Ucapnya menyeringai.

Pulang dari pasar Lembang, ia memacu motornya dengan kecepatan sedang. Mencoba menikmati hijaunya hamparan

63 Zaman sekarang

132 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 133

perkebunan teh yang segar. Nada dibonceng di belakangnya. Jalanan berkelok dan turun naik, membelah areal perkebunan. Matahari sudah hampir di atas kepala. Namun, kesejukan udara yang berembus mampu mengusir panas sinarnya. Langit membiru, berhiaskan awan putih bersih bergumpal-gumpal. Sejauh mata memandang, terlihat hijaunya bukit-bukit yang tertutupi karpet hijau hamparan tanaman teh. Di horison, langit yang biru tua mencium perbukitan. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya sesekali mereka berpapasan dengan kendaraan lain. Keduanya tak banyak bicara sepanjang jalan, asyik meresapi pemandangan dan sejuknya hawa pegunungan.

“Kamu tidak biasa naik motor, ya? Tidak senyaman berada di atas roda empat, kan?” tanya Dika, tak melepas pandangan dari jalan di depan.

“Hmm... tidak juga. Aku malah ingin suasana yang lain, sesuatu yang baru!” Timpal Nada.

Menjelang tanjakan tajam, Dika merasakan sesuatu tidak beres dengan roda motornya. Aspal jalan mulus. Namun, jalan motor seperti memantul-mantul. Sambil mengemudi, ia mengintip ban depan. Tak ada yang aneh!

“Nada, tolong lihat ban belakang!” tanyanya agak menoleh ke belakang.

Ia menurut. Pandangannya melongok ke bawah. “Dika, ban belakang kempes!” teriak Nada.Dika menutup handle gas dan mengerem motornya, lalu

menepikan motornya di bahu jalan.“Heran. Kok, bisa ya bergantian!” Gumamnya. “Minggu

kemarin ban depan bocor. Sekarang yang belakang.” Ceracau Dika, sembari mengelus-elus jok motor. Warna kendaraan buatan tahun 1991 itu hitam. Pada badan sampingnya, tertera logo Honda, Astrea Prima.

Pandangannya memeriksa ban motor yang tak berangin. Sebuah paku tertancap dalam pada karet ban luarnya. Ia lantas berdiri dari jongkoknya. Pandangannya mengeliling. Wajahnya berubah khawatir. Tak ada perkampungan, apalagi bengkel.

“Jadi, bagaimana, nih sebaiknya?” tanya Nada memandangi Dika. Merasa pegal di tangannya, Nada meletakkan keranjang belanjaannya di rerumputan pinggir jalan.

Dika berpikir sejenak.“Terpaksa kita harus jalan, kamu kuat, kan?” tanyanya.“Yaa... mau bagaimana lagi. Itu sudah mending daripada

merangkak.” jawab Nada berkelakar, mengangkat kedua bahunya.

“Masih sekitar 6 km lagi ke lokasi KKN, lho.” kata Dika.Nada mengangguk. ”Siapa takut?” timpalnya.Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki

menuju arah selatan. Menyusuri pinggiran jalan aspal yang turun naik meliuk-liuk. Dika menuntun motornya. Tangan Nada menenteng keranjang belanjaan. Sengatan panas matahari membuat Nada sesekali menyeka cucuran keringat yang mulai membasahi wajahnya dengan tisu. Dika meliriknya sekilas, merasa iba.

“Nada, tampaknya kau perlu istirahat?”“Ah... belum perlu, aku masih kuat, kok!” jawabnya

tersenyum.Beberapa saat berjalan, mereka berpapasan dengan seorang

lelaki tua memikul keranjang yang berisi buah nanas.“Mang64, numpang tanya. Tukang tambal ban dimana, ya?”

tanya Dika kepada penjual buah tersebut. Punggung tangannya menyeka keringat yang bercucuran di keningnya.

“Kalau yang dekat tidak ada. Dari sini, jaraknya kurang lebih 3 km lagi, Cep.” jawab orang itu dengan mimik agak menyesal.

“Oh begitu, terima kasih, Mang!” Dika menganggukkan kepalanya. Lalu pandangannya beralih ke Nada.

“Kau masih kuat? Bagaimana kalau naik angkot?” sarannya. Ia mulai khawatir dengan kondisi Nada. Gadis itu menggeleng,

“Kita terus saja, sampai menemukan tukang tambal ban.”“Boleh, atau mau istirahat dulu, Tuan Putri?”“Baiklah, Pangeran!” jawabnya sambil tertawa. Dika pun

64 Paman

134 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 135

terbawa riang. Pandangannya mengitar.“Nah, itu ada saung!” ucap Dika menatapnya. “Kita istirahat

di sana, yuk?”Nada melayangkan pandangan ke tempat yang diunjukkan

Dika.“Boleh juga.” jawabnya singkat.Saung itu terletak di tepi jalan, agak menjorok ke dalam areal

perkebunan teh. Dari tempat yang agak tinggi itu, pemandangan ke arah hamparan hijaunya tanaman teh tampak jelas. Setelah menepikan motornya di pinggir jalan, kedua orang itu berjalan menuju saung. Mereka duduk-duduk di tempat itu untuk melepas lelah. Memandangi para wanita pemetik daun teh bermake up tebal dengan gincu merah tua yang sedang sibuk bekerja. Selingan obrolan dan tawa terdengar sewaktu tangan mereka lincah memetik pucuk-pucuk daun teh dari tangkainya.

“Kau ada rencana pulang sehabis KKN?” Tanya Dika.Nada menggeleng. Ia masih memandang jauh, pada para

pekerja yang sedang memetik pucuk-pucuk teh.“Aku lebih senang di sini, bersama kalian, sahabat-sahabat.

Aku merasa lebih hidup.” ”Kau tidak rindu keluargamu?””Tentu saja, orang tua dan adik-adikku. Tapi, aku tak merasa

kehangatan keluarga saat berada di rumah. Sunyi, dingin, tak ada kehangatan layaknya keluarga yang lain.” terang Nada. Sesekali tangannya merapikan rambut ikalnya yang tergerai. Kakinya diselonjorkan ke depan.

“Bagaimana bisa?” Tanya Dika penasaran.”Mama selalu sibuk kerja. Karier, hanya itulah yang ada

di pikirannya. Adik-adikku sibuk dengan teman-teman mereka sendiri.”

”Ayahmu?”Nada hanya tersenyum hambar. ”Papa tidak di Indonesia.

Kurasa, mereka egois. Tak memikirkan anak-anaknya.””Maaf, aku bertanya mengenai hal itu.” Ungkap Dika.Nada mengalihkan pandangan pada Dika.”Minta maaf?” Tanya Nada tersenyum simpul, ”memangnya

kamu salah apa?”Dika balas tertawa. ”Yah paling tidak, akulah yang

menyebabkan kamu terdampar di kebun teh ini, bersama dengan tukang ojek yang malang ini!” Candanya.

”Berlebihan!”Nada melirik sekilas.”Oh... iya, sebentar,” teringat sesuatu, Nada membuka

keranjang belanjaannya.“ Kamu haus, kan?” tangannya menyodorkan botol berisi air

mineral yang dibelinya tadi di pasar Lembang.“Nada, sejak kapan kamu jadi penjaja air mineral botolan?” ”Huh, kau menggodaku lagi. Aku berubah pikiran, nih!”

Sungut Nada ketus, sembari menarik tangannya kembali.Dika tertawa dan meraih botol minuman itu dari Nada.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan menikmati hijaunya

dedaunan teh?” ajak Dika memandang sahabatnya. Nada meneguk air minumnya, lalu mengangguk. Dengan belanjaan yang ditinggalkan di saung, mereka berjalan menyusuri jalanan setapak, memasuki areal perkebunan.

Jalanan setapak itu meliuk-liuk seperti ular. Tampak bekas-bekas langkah kaki dan alas kaki pada tanah lempungnya yang kemerahan. Jalur itu memotong perkebunan hingga mencapai tanah cembungan.

Mereka berjalan semakin ke dalam, mendaki, menjauh dari jalan beraspal. Atap sebuah bangunan tampak semakin mencuat dari permukaan tanah. Saat mereka berada di punggung cembungan, bangunan kuno itu tampak utuh, menjelma keanggunannya. Bergaya Indo-Europeeschen architectural stijl (bergaya arsitektur Indo-Eropa) yang dibangun pada awal abad 20, bangunan itu berdiri megah di tengah hijaunya hamparan pepohonan teh. Bangunan artistik itu tampak kontras dengan catnya yang berwarna putih di antara dominasi warna hijau tanaman. Menurut cerita, bangunan itu dahulu merupakan sebuah villa peristirahatan para ’raja teh’ jaman kolonial dengan nama Villa De Bloem65. Secara keseluruhan, arsitekturnya berpola

65 De bloem mengandung arti bunga

136 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 137

simetris. Atapnya berundak dua, terbuat dari genteng merah yang warnanya sudah menghitam. Sebagian sudah ditumbuhi lumut hijau.

Di bagian timur villa tersebut, dua buah balkon menjorok dari jendela lantai dua, tempat penghuni menikmati matahari yang baru keluar dari peraduan. Pada sudut atap, sambungan talang air sebagian melorot, termakan usia. Beberapa bagian pada dindingnya mengelupas dan berjamur akibat gempuran cuaca. Daun pintunya yang tinggi terletak di tengah bangunan, diapit oleh dua jendela dengan lubang ventilasi mendatar panjang, memberi kesan romantic style.

Di depannya, tumbuh menjulang pohon beringin, menemani megahnya bangunan villa De Bloem. Usia pohon itu nampak sama tua dengan bangunannya. Batangnya kekar, berurat, dengan akar gantung pada setiap cabangnya. Di bawah undakan tangga naik menuju teras beranda, dahan bunga mawar merah merambat naik, teronggok tak terawat.

Setelah melewati punggung bukit, tanah kembali terhampar. Jalan setapak yang memandu ke arah villa tua itu membelah halaman, tepat di tengah-tengah.

Karena kelelahan, mereka beristirahat di rerumputan sekitar perkebunan. Dika merebahkan diri di atas hamparan ilalang, beralas kepala kedua tangannya. Sementara Nada duduk menopang dagu. Tatapan mereka lepas menengadah ke arah langit. Seekor burung rajawali terbang merendah melintas, berputar-putar dengan kepak sayapnya yang lebar. Suaranya nyaring membahana, melengking menggema.

Sejuknya angin mengelus dedaunan semak belukar, mendesir, dan terasa dingin menyejukkan. Dedaunan pohon beringin yang diterpa angin melambai dan sebagian meluruh, terbang terbawa embusannya. Halaman sekeliling bangunan itu tampak tidak terawat lagi. Serasah daun dan ranting melapuk di sekitar pohon itu. Di sekelilingnya tumbuh ilalang memenuhi pekarangan setinggi lutut orang dewasa. Bersamaan dengan terbangnya dedaunan, lidah ilalang yang runcing meliuk-liuk

menimbulkan suara gemerisik, mengusir capung-capung yang sedang hinggap di ujungnya. Lalu hinggap lagi saat angin kembali tenang.

Sekonyong-konyong, cuaca berganti. Langit cerah kini berganti gelap. Awan kelabu menggelayut berat di langit. Tak sedikit pun menyisakan celah untuk sinar matahari menerobos. Angin sepoi-sepoi bertambah kencang, menerpa pohon beringin tua sehingga daunnya beterbangan. Burung-burung yang tadi bertengger di puncak atap sekarang tidak tampak lagi. Mereka berlindung di celah undakan atap dari kencangnya tiupan angin.

Curahan air dari langit menghujani tanah. Air seolah tumpah dari langit. Tak begitu lama, bunyi tetesan air sebesar kerikil yang menghujam tanah dan dedaunan terdengar semakin kerap. Kedua orang itu pun menghambur mencapai naungan di bawah tajuk pohon beringin tua. Tidak akan terkejar untuk mencapai bangunan villa karena hujan mendadak deras. Mencoba mengatur napas, kedua orang itu tak saling bicara. Pakaian mereka tak seberapa basah.

Dika mencuri pandang dari Nada. Rambut panjangnya yang bergelombang setengah basah, jatuh tergerai di pundak. Terlebih, tajuk beringin itu menyisakan celah-celah yang meloloskan tetesan-tetesan air hujan. Bulir-bulir air bening merayapi wajahnya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu samar. Sesekali, jemari lentiknya menyeka tetesan butir-butir air hujan dari wajahnya. Angin dingin yang berembus menerpa wajah ayunya yang sedikit pucat. Mereka memandang jauh. Terpesona oleh keindahan hujan di sore hari.

“Nada,” sapa Dika pelan, memaksa Nada untuk mengalihkan pandangan jauhnya. Mata berbulu lentik itu membalas pandangan Dika, lalu menunduk, memandangi tanah dimana dia pijakkan kedua kakinya. Sisa air yang tadi mengalir di wajah kini merayapi celah di antara kedua bibir merahnya. Ia menengadah. Senyumnya merekah, menciptakan lesung yang terindah di kedua pipinya.

138 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 139

Dika menahan napas saat melihat senyuman manisnya. Degup jantungnya seolah tak lagi berirama. Ia terkesima, diam membisu.

“Dika, ada apa?” tanya Nada memecah keheningan.

“Oh... ehm...,” Dika terkesiap, tersadar dari keterpanaannya. Ia mencoba mengendalikan diri, meraba-raba kata-kata yang hendak diucapkannya tadi.

“Kau cantik sekali,” gumamnya tanpa sadar, ”pasti...kamu pasti kedinginan.” ucap Dika sembari melepaskan jaketnya, lalu menyodorkannya kepada Nada.

Nada tersanjung dengan pujian itu. Wajahnya merah merona. Perasaannya seolah melambung.

”Lalu, apa hubungannya cantik dengan kedinginan?” tanya Nada tersenyum, memandang Dika dengan geli.

“Oh..Maksudku, tidak demikian. Maksudku kau tampak kedinginan. Pakailah ini.” tawar Dika tersipu.

Nada terdiam beberapa saat, memandangi Dika dengan senyuman.

“Ah... tidak usah. Aku tidak apa-ap, kok.” jawabnya.

“Pakailah ini, kau pasti lebih membutuhkannnya.” bujuk Dika meyakinkan.

Setelah terdiam ragu, Nada mengangguk. Lalu tangan Dika menyelimutkan jaket itu di badannya. Ia pandangi Dika untuk kesekian kalinya dan tersenyum kembali. Dika pun membalas senyumnya, lalu senyum itu menjadi tawa ceria di tengah derasnya hujan. Sesaat kemudian, tawa itu terhenti diganti dengan kesunyian yang dihiasi oleh suara curahan hujan pada genangan air di cekungan tanah. Tetesan air hujan dari teritis genteng villa De Bloem jatuh beserta suara gemericik air limpasannya, menggubah harmoni nada-nada alam nan merdu. Menjelang jam 5 sore, hujan mulai reda.

Benar kata pepatah bijak, ”Kelabu takkan selamanya dan akan terganti dengan kecerahan”. Hidup tak selamanya satu warna, selalu ada perubahan. Pemandangan kini mengagumkan.

Awan mendung yang menggelayut sewaktu hujan kini tergantikan dengan warna cerahnya pelangi yang muncul dari awan tipis di langit. Gradasi warnanya berubah perlahan dari merah muda di satu ujungnya hingga menjadi warna ungu di ujung lain. Pita cahaya itu kontras di sekitar langit biru muda dan awan putih.

Kedua orang muda itu terpana melihat keindahan cahaya lengkung warna-warni. Pelangi di kaki langit. Udara kini beranjak menghangat. Di ujung langit barat yang cerah, bulat matahari tinggal separuh terhalang oleh bukit. Pohon-pohon tampak hijau pekat tersamar menjadi siluet indah.

“Nada, menurutmu, apakah manusia bisa mengejar ujung pelangi itu?” tanya Dika menengadah, merasakan khidmat dengan suasana saat itu.

Tanpa beranjak dari pandangan jauh, ia menggeleng.“Bagaimana mungkin?” ia balik bertanya, menoleh sekilas

dan memandang langit kembali. “Mungkin sekali.” ucap Dika yakin, melirik Nada. Membias

di kedua bening bola matanya, lengkung pelangi yang melebur menjadi sebuah gambaran indah masa depan.

Nada mengalihkan pandangan. “Oh ya?”“Ketika kita mencapai impian hidup, kita sudah mencapai

ujung pelangi. Pelangi itu adalah kehidupan.”“Hmm... menarik juga kedengarannya.”Seketika itu, Nada berlari dari naungan pohon beringin.“Hei Nada... mau ke mana?” teriak Dika sepeninggal Nada.“Aku ingin mengejar ujung pelangi itu, aku ingin mengejar

mimpi.” teriak Nada.Dika berlari menyusul Nada, melintasi hamparan ilalang

yang masih basah oleh air hujan.

lll

Sejak tanggal 29 Desember 1949, setelah Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, hampir seperempat juta orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia kembali ke

140 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 141

tanah airnya, Negeri Belanda. Di kota Den Haag (the Hague), tinggal sebanyak 60.000 koloni bangsa Belanda dari Indonesia waktu itu. Sehingga, pemukiman mereka sering disebut sebagai ‘Weduwe van Indie’ (Janda dari Nusantara). Meskipun demikian, banyak dari mereka, yang lahir, dibesarkan, atau pernah tinggal di Nusantara semasa Netherlands Indie, masih terpaut hatinya kepada Indonesia. Ingatan Indah mereka akan kehidupan di masa lalunya tak pernah lekang digerogoti waktu. Di antara mereka, banyak terdapat Bandoengers, yaitu orang Belanda yang lahir dan dibesarkan, atau pernah menetap di Bandung. Setiap tahun, selalu ada dari mereka mengunjungi Indonesia untuk wisata nostalgia ke Bandung, kampung halaman mereka kedua.

Namun, golongan ‘Oudeheer’ (sesepuh) yang telah uzur dimakan usia, hanya bisa mengenang keindahan tersebut lewat puisi atau nyanyian. Salah satunya yaitu Opa Van den Muschof, mantan polisi semasa Hindia Belanda, yang tak kuasa memupus kenangan manis semasa hidup di Bandoeng, Netherlands Indie. Beliau melukiskan kerinduannya terhadap tanah air keduanya melalui sebuah puisi. Karya ini pernah dimuat di majalah Belanda, ‘Moesson’ tanggal 15 Juni 1979. Berikut puisinya:

Weer hoor ik de tokkeh reopenDie mij veel geluk voorspelToch zie ik dat schone Java nooit weerWant mijn jaren zijn geteldTerjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut: Kudengar lagi tokek memanggil. Yang memberikan

banyak ramalan kebahagiaan. Namun takkan pernah lagi aku menyaksikan Jawa nan jelita. Karena tahun-tahun usiaku tinggal dihitung.

lll

Haarlem, the Netherlands, awal 2003

Musim semi mulai menggantikan bekunya musim dingin.

Sungai Het Spaarne menggeliat setelah dicekam suhu dingin selama beberapa bulan ke belakang. Hilir mudik perahu dan perahu bermotor melintas, menyusuri air sungainya yang tenang. Beberapa perahu masih tertambat pada tepinya. Di pekarangan rumah, kuncup-kuncup bunga tulip merah merekah menyongsong hangatnya mentari. Mahkota bunga daffodil kuning yang tumbuh di sampingnya mulai bermekaran. Bunga-bunga paardebloom tumbuh di rumput taman. Anak-anak riang bermain dan berkejaran di tanggul. Suhu di kota Haarlem merayap naik, setelah sebelumnya anjlok di bawah titik beku.

Saat ini sudah hampir tiga bulan sejak Opa Renee meninggal dunia, di usianya yang ke-93 dalam kerentaan. Keinginan Opa untuk mengunjungi Indonesia sebelum mengembuskan napas terakhir - khususnya Bandung, tempat dimana ia bertugas dahulu, tidak terlaksana. Kondisinya yang sering sakit-sakitan menyebabkan ia urung melaksanakan niatnya. Sebelum tutup usia, Opa sempat berwasiat kepada cucu kesayangannya, Renee. Ia ingin agar kelak abu jenazahnya ditaburkan di aliran Sungai Cikapundung di Jalan Asia-Afrika, Bandung. Tempat dimana Opa menemukan tambatan hatinya itu tak pernah lekang dari ingatannya. Begitu dalam ikatan batin antara negeri Indonesia dengan dirinya sehingga baginya, Indonesia adalah rumah dan tanah airnya yang kedua.

Di ruang makan, Herman Janssen sedang menyantap sarapan pagi bersama anak tunggalnya, Renee. Ia duduk di sisi meja panjang, sedangkan Renee di samping kanannya.

“Usai menunaikan amanat Opa, lekaslah kembali lagi.” pinta Papie kepada Renee.

”Setelah menunaikan amanat Opa, Ik tidak akan kembali ke sini. Ik sudah terlanjur jatuh cinta kepada negeri itu.” ucap Renee. Segelas susu yang ia reguk diletakkannya di atas meja makan. Ia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.

Mendengar jawaban putrinya, Papie urung menyantap roti di pegangan kedua tangannya. Kedua tangan Mamie terhenti di dalam sink saat sedang membasuh wadah, di bawah keran

142 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 143

yang airnya masih mengalir. Ia tetap tertegun, tak mengalihkan pandangan.

“Kami tidak punya siapa-siapa lagi!” ucap Papie sambil mereguk secangkir coklat panas.

“Ik ingin mencari jejak keluarga Oma.” ucap Renee. Tangannya memainkan gelas yang masih terisi susu setengah penuh.

“Jij, sia-sia!” bentak Mamie yang langsung berbalik dari sink dan masuk ke dalam percakapan. “Untuk apa Jij mengungkap sejarah yang terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu?”

“Mamie, tidak hanya itu,” ucap Renee berkaca-kaca. “Indonesia adalah masa depanku. Aku terlanjur jatuh cinta kepada seorang pemuda Indonesia.”

“Wat zeg je66?” ucapan itu meluncur dari mulut Papie dan Mamie hampir berbarengan.

“Jangan kau ulangi kesalahan Opamu!” semprot Papie. Tangannya mengambil dua kerat roti dari bungkusnya, lalu mengolesinya dengan mentega.

Renee terperanjat mendengar suara lantang Papienya.“Di sini banyak pria tampan dan gagah yang bisa menarik

hatimu. Apa untungnya Jij menyukai pria jauh?” ucap Mamie. “Ik tidak tertarik dengan mereka. Apakah cinta semata

hanya fisik? Mereka sudah tidak lagi menghormati institusi perkawinan. Lain halnya dengan dia. Ia pria yang santun, ramah, dan setia. Aku mencintai pria timur itu!”

“Jij buang-buang waktu, percuma!” ucap Mamie menyekakan tangan basahnya pada serbet yang menggantung di atas kran air, lalu berjalan menuju pantry. “Semua akan berakhir tragis seperti Opamu!” suara Mamie terdengar semakin mengecil selagi ia berjalan menuju ruang tengah.

”Benar kata Mamie!” Imbuh Papie.“De men wikt en God beslist!67” kilah Renee teguh. Papie geleng-geleng kepala atas sikap keras kepala anak

66 Apa katamu?

67 Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan

semata wayangnya itu.Mamie kembali ke dapur dengan membawa gelas di tangan,

lalu meletakkannya di atas sink.“Mamie tak akan pernah mengizinkanmu ke sana! Tidak

akan!” ucap Mamie sambil geleng-geleng kepala. Ia tak ingin kehilangan anak perempuan yang sangat ia sayangi. Ia bersandar pada kabinet, mendongkol pada putrinya yang keras keinginan. Papie menghampiri Mamie dan mencoba menenangkan suasana.

Renee tampak terdiam, serba salah. Bersandar pada bahu Papie, Mamie berucap, ”Teganya jij

meninggalkan kami!” Matanya mulai berkaca-kaca.Renee menunduk, membisu di tepi kursi. Kedua tangannya

terjatuh ke pangkuan. Mamie menangis di dada Papie, meluapkan kesedihannya. Ia tidak mau lagi berpisah dengan putri tunggalnya. Papie mencoba menegakkan badan Mamie yang semakin merosot tak bertenaga.

”Sudahlah!” hibur Papie, ”kita doakan ia kembali setelah menunaikan amanat Opanya.”

Namun, air mata Mamie semakin deras mengalir. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Sebagai seorang ibu, ada suatu kekhawatiran membebani pikirannya. Takut, sesuatu yang buruk menimpa putri sematawayangnya.

”Jangan jij dekati sungai itu!” teriak Mamie.”Tapi itu amanat Opa!” Sela Renee, ”Ik harus

melakukannya.”Papi mengangguk, mendukung Renee.”Beberapa malam yang lalu...Mamie melihatmu dalam

mimpi. Malam pekat, gelap gulita. Hujan turun lebat. Halilintar susul-menyusul. Guntur saling bersahutan. Dan...” ucap Mamie terisak-isak, ”di sungai itu, jij terhanyut di arusnya yang deras. Bersama abu Opamu. Jij berteriak minta tolong. Tak seorang pun yang menolong. Tak ada siapa-siapa di sana...” Tangis Mamie semakin menjadi-jadi.

144 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 145

”Mijn schatje...mijn schatje...68” gumam Mamie dalam tangisnya. Terisak perih.

Papie mengelus-elus rambut Mamie, mencoba menghiburnya.

”Sudahlah...itu hanya mimpi. Yang penting, kita doakan ia kembali dengan selamat setelah menunaikan amanat Opa.

“Papie ingin kau kembali setelah menyebarkan abu jenazah Opamu!” ucap Papie berganti pandangan kepada Renee.

“Papie, Mamie, kita tidak bisa melawan kehendak alam. Setiap anak, kelak, pada akhirnya, akan meninggalkan rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, untuk membangun keluarganya sendiri, bersama pasangannya. Setiap orang tua pasti akan mengalami perasaan ditinggalkan. Kelak, saat sudah mempunyai keluarga dan anak-anak, ik juga akan mengalami hal yang serupa, merasa ditinggalkan oleh anak-anak yang disayangi. Meskipun kita jauh, Ik akan selalu menyayangi kalian. Sampai kapan pun.” Usai berkata itu, Renee berlari menaiki tangga menuju loteng, meninggalkan kedua orang tuanya yang terkesima.

lll

Tribute to Almamater

Sore itu Dika, Gerhard, Victoria, dan Rida sedang duduk berkumpul mematangkan rencana ekspedisi 10 Windu Universitas Bandung di ruang sekretariat Mountaineer.

Kerja keras yang mereka lakukan membuahkan hasil. Dana yang dihasilkan untuk keperluan Ekspedisi 10 Windu Universitas Bandung mencukupi budget dana yang dianggarkan. Selain dari rektorat, mereka mendapat dana sponsorship dari beberapa perusahaan. Mountain Challenger, konsultan olah raga alam bebas, mendanai sebesar 15% dari total anggaran yang diperlukan. Sementara sponsor lainnya datang dari perusahaan

68 sayangku...sayangku

adventure equipment, Krakatau Gear, yang membiayai ekspedisi ini sebesar 35 % dari total anggaran. Sisanya, sebesar 50 % berasal dari rektorat.

Tiba-tiba, Sarkadhut datang dengan wajahnya yang kusut seperti pakaian yang belum diseterika. Usai melepas alas kaki, ia segera masuk.

“Bhenar-bhenar keterlaluan!” gerutunya. “Masa mengurus surat perizinan susahe minta ampun, huh!” Sarkadhut segera duduk di karpet dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

“Hahaha... memangnya kenapa Sar? Muka kamu seperti benang kusut?” tanya Rida, salah satu anggota Mountaineer.

“Nih, kamu baca sajha!!” “BRUK!!” Sarkadhut melemparkan beberapa lembar print

out setebal 1 cm ke atas lantai. “Inyong baru mencari informasi rute menuju Carstenz69 dari Wanadri, situs, dan rekan-rekan pendaki yang lain, ternyata.…”

“Ternyata kenapa???” tanya Gerhard. Badannya merengkuh dispenser air dan mengalirkan air panasnya ke dalam bungkus mie instan yang dipegangnya.

“Ribhet sekali! Wong seperti kalau kita mau bhuat badhan usaha, mejha sana, mejha sini!! Ghitu!” Sarkadhut mengurut dada.

“Bah... begitu saja menyerah?” cibir Gerhard, sekretaris Mountaineer.

“Bukan menyerah! Inyong minta bhantuan dhari kalian! Sampeyan ini bagaimana toh? Inyong tak sanggup kalau sendhirian yang mengurus ini....” semprotnya ketus.

“Hmm.... Ya sudah, Dhut… eh.. Sar.” ucap Dika menahan senyum saat salah memanggil nama. “Kamu nanti sama aku mengurus itu. Kita bagi tugas saja.” hiburnya.

”Nah, githu dhong. Tugas inyong kan jadhi ringan!”Diam-diam Gerhard mempelajari beberapa lembar kertas

yang dipegang Dika.“Gerhard, kamu tolong urus perizinan dari Papua,

69 Puncak tertinggi di pegunungan Jaya Wijaya, Papua.

146 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 147

bagaimana?” “How come?” Gerhard mengangkat kedua bahu dan

tangannya.“Kita punya alumni yang masih keep in touch. Hubungi

saja Bang Freddy. Barangkali saja dia bisa bantu!” saran Dika dengan yakin. Gerhard mengangguk dan mulai mencari nomor seseorang dari phonebook ponsel.

lll

De Grote Postweg, Bandung 0+00 km

Pameran Foto “Bandung, dari Masa ke Masa” yang bertempat di gedung AACC (Asia Africa Culture Center) berlangsung hingga pukul 9 malam. Sebelum berubah fungsi, gedung ini dulunya adalah Bioskop Majestic. Di bagian luar gedung itu, tampak relief wajah Batara Kala70 menghias dinding atap. Sorot matanya garang, dengan mulut terbuka penuh memamerkan gigi-gigi taringnya yang tajam. Lekukan garis-garis mendatar dan vertikal menghiasi tembok dan jendela gedung yang tegak kokoh.

Usai menonton pameran itu, Dika mengajak Nada untuk mencari kafe yang masih buka di sepanjang Jalan Braga. Diselimuti udara malam yang dingin, mereka berjalan ke arah utara menyusuri jalan yang dipenuhi oleh bangunan bersejarah. Suasana Jalan Braga lengang. Hanya beberapa kendaraan saja melintas di jalan tersebut. Gerai-gerai yang berada di sepanjang jalan itu pun hanya beberapa saja yang masih buka. Di sebelah utara gedung, bangunan-bangunan kuno nan elegan menampakkan sisa-sisa keelokan Bandung zaman awal abad 20. Di sebelah bekas kafe Moisen Bogerijen, terdapat sederet bangunan bertingkat dua dengan balkon menghadap jalan. Jendelanya tinggi dan ramping, ditudungi kanopi tegas mendatar.

Sepanjang Jalan Braga itu, atmosfer Bandung tempo doeloe 70 Salah satu tokoh dewa jahat dalam Agama Hindu

terpancar kuat dari rona wajah para penikmat hidangan di sebuah kafe. Mereka duduk santai menghirup hawa keelokan masa silam di bangku-bangkunya yang melimpah hingga trotoar jalan, seolah ingin menyuguhkan kembali nuansa kota ‘Europa in de Tropen’ pada masa awal abad 20.

Di seberang jalan, di depan sebuah bangunan bekas toko buku Van Dorp—bangunan yang memadukan arsitektur gaya Eropa (Belanda) dengan tradisional Indonesia, tampak seorang kakek tua berkopiah hitam sedang melayani beberapa pembeli. Para pembeli duduk di atas kursi kayu panjang sederhana. Mereka sedang menikmati bajigur panas yang masih mengepul sambil mengisap rokok. Di sebelahnya terdapat wadah daun pisang yang berisi aneka gorengan, kacang rebus, ubi rebus, dan aneka makanan rebusan lainnya. Lelaki tua berkopiah itu sesekali berdiri untuk melayani pembeli yang hendak membayar.

Tertarik dengan warung kaki lima itu, Dika dan Nada lantas bergegas menuju ke seberang jalan. Pedagang itu dengan ramah melayani pesanan mereka. Ditemani segelas bajigur panas yang masih mengepul serta ubi dan kacang rebus, mereka berdua asyik mengobrol dan tertawa sambil duduk di kursi kayu di trotoar itu. Melegakan mereguk minuman panas di udara yang dingin.

“Habis ini kita ke mana lagi? Pulang?” tanya Nada sambil melirik ke arah jam tangannya. Hampir pukul 10.

“Kita ke selatan.” Dika berpikir sejenak. “Akan kutunjukkan tempat bersejarah yang kusukai.” Tangannya merogoh saku belakang celana jeansnya, lalu mengambil dompet. Ia bangkit.

“Mang, jadi berapa?” tanyanya kepada penjual itu.Laki-laki tua itu menghampirinya dan menerima sejumlah

uang. Kemudian, kedua anak muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke arah selatan. Sesampai di pertigaan Jalan Braga dan Asia-Afrika, mereka berbelok ke arah timur.

Melewati Hotel Savoy Homann, Dika teringat kepada Renee, sahabat karibnya yang sekarang tidak pernah lagi menghubunginya. Bagi Renee, hotel itu merupakan tempat bersejarah. Tempat Opanya memulai kisah cintanya hingga

148 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 149

berakhir mengharukan. Jalan Asia-Afrika malam itu lengang. Suasana malam begitu magis. Lampu-lampu penerang jalan berwarna kuning selaras dengan bangunan-bangunan tua bersejarah di sekitarnya. Bertutur mengenai riwayat sebuah kota pegunungan, kisah seorang gadis yang mulai pudar kecantikannya. Bulan bulat menggantung rendah di langit barat sebelah selatan. Bentuknya tak sempurna karena terhalang oleh siluet ranting dan dedaunan pohon pelindung jalan. Embusan angin mendesis menerpa dedaunan pohon meranti yang rimbun. Sesekali lalu-lalang kendaraan melintas di jalan tersebut, menerbangkan daun-daun kering yang terserak di jalan aspal.

Tepat di depan gedung salah satu instansi pemerintahan, mereka menghentikan langkah. Sejenak memandangi prasasti dan monumen yang ada di depan bangunan itu. Berdekatan dengan prasasti, berdiri tiang yang tingginya hampir sepinggang orang dewasa. Pada salah satu sisinya terpahat tulisan ’Bandung 0+00 km71’. Dahulu, tugu ini merupakan sebatang patok biasa yang ditancapkan oleh H.W. Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah wilayah jajahan Netherlandsch Indie sekitar tahun 1810.

Waktu itu, untuk mengantisipasi serangan bala tentara Inggris di Pulau Jawa, pemerintah Hindia Belanda perlu memperkuat benteng pertahanan. Salah satunya dengan cara membuat jaringan jalan yang menghubungkan banyak kota di pulau Jawa. Segera saja, Raja Holland melimpahkan tugas kepada Daendels untuk melaksanakan pembangunan jalan. Ruas jalan itu diberi nama Jalan Raya Pos Besar (De Grote Postweg)—jalur yang mengangkangi hampir sepanjang Pulau Jawa, dari Anjer (Anyer, ujung barat Pulau Jawa) hingga Panaroekan (Panarukan, ujung timur Pulau Jawa) dengan panjang mencapai 1.000 km. Dalam masa pembangunannya waktu itu, jalan tersebut sudah menelan korban 30.000 orang koeli priboemi yang melakukan kerja rodi. Pembangunan jalur ini dicetuskan pada tahun 1808. Sejarah mengungkap, pada tanggal 25 September 1810, H.W. Daendels, 71 Tugu ini terletak di Jalan Asia-Afrika, sebagai benchmark Kota Bandung. Dari tempat

ini, dimulailah pembangunan Kota Bandung kala itu.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengontrol salah satu ruas jalan yang sedang dirampungkan oleh zeni militer Belanda dan penduduk di daerah sekitar Sungai Cikapundung, Bandung. Didampingi oleh Bupati Bandung RAA. Wiranatakusumah, ia berjalan kaki menuju arah timur menyeberangi jembatan Sungai Cikapundung yang baru saja selesai dibangun. Pada satu titik di ruas itu Daendels berhenti, lalu membenamkan sebatang tongkat ke dalam tanah seraya berucap,

“Zorg, dat als ik terug kom nier een stad is gebouwd72”. Tepat di atas tanah yang ditancapi patok itulah sekarang

berdiri tugu Bandung 0+00 km. Di belakangnya, dibangun monumen kendaraan perata jalan sebagai pengingat sejarah yang tertoreh mendalam atas Jalan Raya Pos Besar. Dari titik inilah kemudian desa pegunungan Bandung tumbuh dewasa menjadi sebuah kota nan elok melintasi berbagai sejarah.

“Nada!” Seru Dika memecah kebisuan, ”sewaktu kecil, ayahku selalu menggendongku untuk menunaikan shalat berjamaah di Masjid Agung. Tempat inilah yang selalu aku lewati ketika berangkat dan pulang dari masjid,” pandangannya menerawang, mengingat masa kecilnya. Baginya, terlalu dini laki-laki itu meninggalkannya. Di saat ia masih belum siap melepaskan masa-masa kecil bersama ayahnya.

“Dulu aku dengan teman-teman sebayaku, sehabis pulang madrasah dari Masjid Agung, kami sering iseng bergelayutan di tugu ini.”

“Menyenangkan sekali?” tanya Nada. Dika hanya balas mengangguk, sambil tersenyum.

Pandangannya beralih ke monument kendaraan perata jalan yang mirip lokomotif di belakang tugu. Tangannya menunjuk ke arah monumen.

“Pernah kami memanjat monumen itu, main kereta-keretaan sampai kami pernah dimarahi oleh petugas dan disuruh turun.” Sambungnya.

Bibirnya tersenyum, membayangkan masa itu. Nada 72 Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah

kota.”

150 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 151

tersenyum menyimak kisahnya. Mereka berdiri membelakangi jalan, menghadap ke arah monumen. Sorot kuning lampu jalan dan cahaya dari bulan purnama cukup menerangi suasana tempat tersebut. Angin berembus ke arah tenggara menerbangkan dedaunan pohon bunga flamboyan yang tumbuh di dekat monumen. Gemerisik suaranya mengisi suasana malam yang sepi.

“Mengagumkan sekali menyimak sejarah panjang perjalanan sebuah kota. Bandung dibangun di atas mimpi. Jika waktu itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak memimpikan sebuah kota berdiri dari titik ini, niscaya Bandung saat ini masih sebuah desa kecil yang dipagari gunung-gunung.”

“Mimpi memang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Manusia yang tidak punya mimpi akan kehilangan arah hidup,” ucap Nada. Jemarinya merayapi pagar besi yang membatasi jalur pedestrian dengan kompleks monumen Bandung 0.00 km.

“Benar!” balas Dika, “kau sendiri, apa yang kamu impikan dalam hidup?”

Nada membalas tatapannya. Lalu pandangannya beralih menjelajahi setiap bagian di tempat itu.

“Sederhana...”Dika menatapnya. Ia menantikan terusan.”Impianku sejak kecil. Aku ingin… tinggal di rumah kecil

yang sederhana dengan halaman yang luas, di tepi sebuah telaga biru beserta lelaki yang menjadi pendampingku. Di sekitar rumah itu, tumbuh hijaunya pepohonan. Kami akan menempati rumah itu bersama anak-anak kami yang lucu. Senja singgah, kami arungi danau itu dengan perahu kayu…sampai matahari tenggelam di balik gunung. Malamnya kami memainkan musik serenade aransemen sendiri dan anak-anak akan menjadi penontonnya. Setelah mereka tertidur, aku dan kekasihku, hanya berdua, keluar menghabiskan waktu. Duduk di atas kursi kayu di tepi danau. Sembari memandangi bayang-bayang bulan yang keperakan pada riak air danau. Dan juga bintang-bintang yang menyertainya hingga bosan. Paginya, kami ajari anak-anak

untuk berbagi. Memberi makan hewan peliharaan di halaman belakang. Induk ayam dengan anaknya yang lucu-lucu. Kambing dengan anaknya yang masih menyusui. Dan tertatih ketika belajar berjalan….”

Dika khidmat menyimak ucapannya. “Sederhana, tetapi sangat indah. Memang, kesederhanaan seringkali mengandung kekuatan, yaitu keindahan.” komentarnya.

“Impian yang sederhana. Aku mencintai hidup bergelimang kesederhanaan. Aku sudah mengalami sendiri, keberlimpahan materi tidaklah menjamin kebahagiaan.” balasnya.

Dari tempat itu, mereka berjalan menuju barat. Menyusuri jalan Asia-Afrika, jalur bersejarah yang membentang dari barat ke arah timur. Suasana jalan semakin senyap. Sayatan bulan sudah semakin tinggi di langit barat. Di depan bangunan bekas toko ’De Vries’, tampak beberapa orang duduk lesehan di atas tikar yang terbentang sambil menikmati suasana malam yang tenang. Sesampainya di depan Gedung Merdeka – bangunan dimana komunitas ’Societeit Concordia’ dahulu berkumpul, mereka menghentikan langkah.

Sementara itu, di sebelah barat gedung yang sama, dua orang pemuda, Gerhard dan Sarkadhut berdiri jenuh dalam penantian. Di tangan Gerhard tergenggam gagang gitar. Talinya terselempang pada bahu kanannya. Sarkadhut berdiri condong, menyandarkan bahu kirinya pada dinding gedung.

“Bah… mending kau hafal lirik lagunya. Jangan sampai salah! Ini adalah pertaruhan hidup dan matinya Dika.” suruh Gerhard kepada Sarkadhut.

“Tenang,” hiburnya. “Inyong sudah menghafalnya kemarin malam. Untuk jaga-jaga, Inyong juga sudah membawa tulisan liriknya,” ucapnya sembari tangannya menepuk-nepuk saku kemejanya.

Gerhard mengangguk-angguk. “Baguslah. Nanti setelah Dika kirim missed call, kita langsung hampiri mereka. Lalu saat Nada bangkit, aku akan memainkan melodi intronya dulu! Suara sumbangmu jangan terlalu cepat masuk, yah!” instruksinya.

152 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 153

Sarkadhut membalasnya dengan anggukan.Sudah hampir satu jam mereka berada di tempat itu. Namun,

Dika belum juga memberi isyarat. Gerhard terus saja mengamati ponselnya, kalau-kalau Dika mengirim pesan.

“Kenapa si Dika tak juga missed call?” ucap Gerhard sambil mondar-mandir.

“Tenang, Son… kita jadhi wong itu harus sabhar! Mungkin dia masih berusaha.” ucap Sarkadhut, “Inyong juga kalau menembak cewek, susahe minta ampun!” sembari mengaduk-aduk rambut keritingnya, berjuang mengikis musuh bebuyutannya sejak kelas 2 SMP, ketombe. Seperti biasa, lalu ia dekatkan jemarinya itu di depan hidung sembari menghirup napas dalam-dalam dengan mata terpejam.

“Bah…kau pernah nembak cewek? Hah… dari mana kau punya keberanian itu?” ucap Gerhard mencibir.

“Jangankan dekat, punya teman wanita saja bagimu itu sudah luar biasa,” sambung Gerhard menyeringai.

“Alah… sampeyan sukane meremehkan Inyong. Yo wis nek ora ngandhel73. Sampeyan nanti baru percaya kalau Victoria bertekuk lutut di hadapan Inyong!” sambung Sarkadhut membanggakan diri.

“Bah!” seru Gerhard mendelik. “Jangan sekali-kali kau dekati dia. Dia itu kecenganku!” ucapnya sembari menepuk-nepuk dada.

Sarkadhut hanya tersenyum menanggapi sesumbar temannya itu. Sebelumnya, dua orang ini ternyata sudah diminta Dika untuk melakukan ’serenade’ di depan Nada. Kelak, saat Dika memberi isyarat missed call ke ponsel Gerhard, dua orang ini harus segera menghampiri depan gedung untuk menjalankan aksinya. Gerhard bertugas memetik gitar. Sarkadhut, dengan suara sumbangnya, bertugas melantunkan sebuah lagu. Untuk itu, Dika mengajukan beberapa daftar lagu untuk dimainkan saat serenade, mulai dari tembang lawas ’LOVE’ – Nat King Cole, ’More than Words’ – Extreme, ’If You’re Not The One’ - Daniel

73 Ya sudah kalau tidak percaya

Bedingfield, hingga ’Unintended’ – Muse. Namun, dari sekian lagu yang ditawarkan, Sarkadhut tak memilih satu pun. Ia dan Gerhard sudah mufakat. Mereka akan melantunkan sebuah lagu pilihan mereka sendiri: ’Anggur Merah’, karya Bang Meggy Z.

Di depan gedung itu, Dika dan Nada terhanyut dalam keheningan. Dua orang itu tertegun di depan undakan sebuah gedung tua, tempat Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 pertama kali berlangsung.

“Nada…” Ia menatap Nada dalam-dalam.Nada mengangkat wajah. Kini, keduanya saling beradu

pandang. Nada enggan berlama-lama menatapnya. Ia menunduk kembali. Ia terlalu gugup untuk bertutur melalui sorot matanya.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Dika.Nada mengangkat wajah, mencoba menduga-duga apa

yang akan diutarakan Dika. Bibirnya memaksa senyum. Ia mengangguk pelan.

“Maukah…” tanya Dika terhenti. Ia ragu untuk melanjutkan tuturannya.

Serenada menunggu ucapannya yang menggantung. Jantungnya berdebar-debar. Ia kikuk dan malu. Mulut Dika terkunci. Entah kenapa, perasaan takut tiba-tiba membekap mulutnya. Ia menghirup udara dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berucap.

“Kau…” ucapnya terbata. “Maukah kau… bersamaku dalam satu perahu mewujudkan impian itu?” tanyanya tak teguh.

”Maksudmu?””Aku..mencintaimu, segenap hatiku.” Dika menunduk.Nada menundukkan wajah. Aduh, kenapa Dika berkata

seperti itu. Apa yang harus aku katakan? Nada tenggelam dalam perasaannya. Kebimbangan mulai mempermainkan benaknya. Berbagai ketakutan terbang berputar-putar di dalam pikirannya.

Dika membuang pandangan. Ia cemas, takut perkataannya tak berkenan. Ia hening, mencoba bersabar. Menunggu jawaban

154 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 155

dari Nada. Nada mengangkat wajah, memandang jauh. ”Aku sering

mendengar, pria mudah sekali jatuh cinta. Padahal, mereka mengalami kesulitan mendefinisikan arti kata cinta.”

Bodoh kau Nada! Kenapa kau berkata seperti itu? Ucap Nada dalam hati, menyesali perbuatannya. Ia menggigit bibir.

”Kau meragukan ucapanku? Aku tidak seperti yang kau duga.”

”Bisa jadi, seseorang mengucapkan suatu kata yang dia sendiri tidak mengetahui makna kata yang ia ucapkan.”

Salah lagi! Tegur Nada dalam hati. Ia gemetaran. Ingin sekali ia mengelem mulutnya agar tak lagi salah ucap.

”Baiklah. Aku akan mendefinisikan ucapanku...”Belum tuntas ucapan Dika, ponselnya berdering. ”Kamu

haruus...cepat pulaang...jangan terlambat sampai...dii rumaaah...”

Nada dering dengan lagu lawas kelompok musik ’Slank’ itu nyaring terdengar. Dika lekas-lekas menyasari saku depan celananya. Ia mengeluarkan ponselnya. Nama Gerhard berkedip-kedip di layar LCDnya. Lalu, ia menekan tombol ’reject’.

Lagu nada dering itu seperti menyadarkan Nada. Ia melirik jam tangannya. Pukul 10.30 malam. Ia bergegas bangkit dari duduknya. Pulang bisa dijadikan alasan. Dalam hati, ia bersyukur karena bisa terlepas dari situasi yang gawat darurat itu.

”Maaf, Dika. Hari sudah malam. Benar kata lagu itu. Aku harus cepat pulang.” Tutupnya, tanpa menoleh. Ia berlalu meninggalkan Dika yang terduduk di undakan itu. Mengutuki kekonyolannya sendiri.

Bodoh! Kenapa aku tidak mengubahnya ke profil ’silent’? Atau mengganti nada deringnya menjadi lebih romantis. Gerhard juga salah! Ia seharusnya hanya menunggu, tak perlu menelefonku! Umpat Dika dalam hati. Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Saat tersadar, Nada sudah beberapa langkah jauh di depannya, berjalan ke arah barat.

Dika bangkit menyusulnya, setengah berlari.

“Nada, tunggu aku!” teriak Dika.Nada tak menggubris panggilan itu. Ia gusar dan bingung.

Dika terus membuntutinya. “Nada, kita belum selesai berbicara!” ucap Dika saat sudah

berada disampingnya. Di saat yang sama, Gerhard dan Sarkadhut berlari tergopoh-

gopoh keluar dari balik gedung. Mereka mendengar suara Dika memanggil Nada. Mereka pikir, itu adalah isyarat darurat, tanda mereka harus mulai beraksi. Mereka berpapasan dengan Nada di saat dua orang itu berjalan menuju depan gedung. Tanpa buang waktu, segera saja, Gerhard memainkan intro lagu dengan gitarnya di depan Nada yang masih terkesima. Saat Gerhard memberi isyarat anggukan, Sarkadhut, dengan suara sumbangnya, mulai melantunkan lagu andalan mereka.

”Anggur meraah...yang kau berikaan...dahsyatnyaa..bila dibandingkan dengan senyumanmuu..membuat akuuu...”

Nada tetap bergeming. Wajahnya dingin dan kaku. Ia menyeberang jalan, meninggalkan Sarkadhut dan Gerhard yang sedang unjuk gigi. Saat ini, ia sudah berada di seberang jalan. Ketika sebuah taksi melintas di depannya, ia menghentikannya. Kendaraan itu menepi. Beberapa saat kemudian, ia sudah berada di dalam kendaraan yang membawanya pergi dari tempat itu.

Dika termangu-mangu. Wajahnya tertunduk lesu. Pada saat yang sama, Gerhard dan Sarkadhut menghampirinya. Mereka bisa merasakan apa yang ada di dalam benak sahabatnya itu. Tatapan mereka bertiga lekat pada taksi yang membawa Nada pergi dari tempat itu, hingga menghilang.

lll

Nada sudah berada di rumahnya. Suasana sunyi senyap. Ia berbaring di kasur, resah, lalu bangkit dan mendekati jendela. Ia memandang ke arah langit yang pekat. Bulan tergenggam di balik awan. Benaknya masih tertinggal di depan gedung itu. Ucapan Dika masih terngiang-ngiang di kupingnya. Nada tersenyum

156 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 157

sendiri mengingatnya.Ia sebenarnya merasakan hal yang sama, cinta. Akan

tetapi, ia masih gamang menerima cintanya. Ada ketakutan yang mengungkungnya. Ketakutan akan kegagalan. Ia sudah terlanjur mengecap getirnya kegagalan dua orang tuanya yang tak berhasil membina cinta mereka. Kegagalan itu pahit, getir, dan menyakitkan. Ia menjadi korban semua itu. Sedangkan persahabatan? Hubungan yang lebih aman, pikirnya. Tidak terlalu berisiko. Tak terlalu menyakitkan. Ia dan Dika bersahabat. Tak lebih. Ia sudah merasa nyaman dengan persahabatan itu. Apakah hubungan yang lebih dalam dari sekedar bersahabat akan memberinya kebahagiaan? Ia masih ragu dengan hal itu.

Hari Sabtu pagi, ia menyambangi Jalan Braga seperti biasa. Ritualnya, sehabis mampir di toko buku ‘Djawa’, ia selalu mengunjungi toko bakeri ‘Sumber Hidangan’ untuk melepas lelah sembari mencicipi hidangannya. Sebelum berganti nama, toko kue ini dahulunya bernama ‘Het Snoephuis’. Meskipun dengan nama yang berbeda, toko itu masih menjaga menu dan makanan yang diwariskan turun-temurun semenjak didirikan pada tahun 1929. Tak heran, menu yang ditawarkan pun masih menggunakan bahasa aslinya, Belanda.

Memasuki toko bakeri itu, ia mengambil tempat duduk kesukaannya yang berhadapan dengan jendela berkaca lebar. Dari sana, ia bisa memandang lepas ke arah Jalan Braga yang ramai.

Baru saja pantatnya mendarat di kursi kayu tempo doeloe itu, seorang pramusaji menghampirinya dengan membawa nampan yang berisi hidangan. Setelah berdiri di samping mejanya, gadis itu menghidangkan dua kerat zwieback74 dan setangkup es krim vanilla di atas meja.

Nada masih tertegun dengan semua keanehan itu. Ia baru saja duduk. Jangankan memesan makanan, berbincang dengan salah seorang pramusaji pun belum sempat. Tapi, makanan kesukaannya yang baru akan dipesannya sekarang sudah berada 74 Semacam roti panggang yang dilapisi saus vanilla, gula, dan mentega.

di depan hidungnya.

“Saya kan belum pesan ini?” tanya Nada keheranan memandangi gadis pramusaji di depannya.

Mendengar perkataan Nada, gadis itu tersenyum.

“Memang belum. Tapi pemuda yang tadi duduk di kursi itu memesannya,” ucap gadis itu seraya menunjuk tempat yang ia maksud.

Kursi itu sudah kosong. Baru saja pemuda itu pergi dari tempatnya setelah Nada masuk toko bakeri tersebut.

Ia tak habis pikir, siapakah pemuda itu? Pemuda misterius itu hafal sekali dengan kebiasaannya mengunjungi tempat ini, pada hari dan waktu yang tepat serta menu yang sama. Mungkinkah ia membuntutinya? Dalam keheranan, Nada menikmati santapannya.

Seusai menikmati es krim vanilla hingga tak bersisa, ia berjalan menuju kasir. Saat akan membayarnya, lagi-lagi ia harus tertegun. Kasir tak mau menerima uangnya. Ternyata semua pesanannya sudah dibayar dimuka, juga oleh pemuda misterius itu. Tak berlama-lama di tempat itu, ia pun beranjak pergi dengan perasaan heran.

Nada mengendarai mobilnya. Pikirannya masih menerka-nerka peristiwa aneh yang baru saja terjadi. Seingatnya, ia selalu ke toko itu seorang diri. Saat Renee masih di Indonesia, Nada sering bersamanya mengunjungi tempat itu. Ia belum pernah mengajak orang lain lagi. Satu-satunya orang lain yang pernah memergokinya di tempat itu adalah Dika, beberapa bulan yang lalu. Benarkah pemuda misterius itu adalah Dika?

Melewati jalan Asia-Afrika, ingatannya semakin tercurah kepada Dika. Di seberang jalan, tugu Bandung 0.00 km itu adalah saksi membisu perbincangannya, beberapa malam yang lalu. Ia menghentikan mobilnya di bahu jalan. Pikirannya masih belum bulat. Ia ingin melangkah lebih jauh bersama Dika. Namun, mencintai adalah risiko baginya. Kegagalan orang tuanya dalam menjaga keutuhan cinta mereka telah menjadi sebuah trauma

158 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 159

sejak ia kecil yang selalu menghantuinya. Ia terlanjur memercayai mitos bahwa kegagalan itu akan menurun kepada anaknya. Ia takut pengalaman pahit itu terjadi padanya. Wajahnya terlipat, ia sandarkan pada kemudi di depannya. Ia berusaha menimbang-nimbang.

Di seberang jalan, seorang gadis setengah berlari menyusuri trotoarnya. Seorang pemuda mengejarnya di belakang. Tepat di depan tugu 0.00 km, lengan si pemuda menggamit tangan gadis. Perempuan muda itu meronta untuk lepas. Namun, si pemuda itu tak bergeming.

“Lepaskan aku!” pinta si gadis.“Tidak, dengarkan aku dulu!” jawab pemuda itu.Lalu si gadis terduduk. Sesegukan menangis di depan

monumen tersebut. “Aku tak mau menerima cintamu. Kita batalkan saja rencana pertunangan kita,” ucap si gadis, “aku tidak mau mengambil risiko.” ucapnya tersedu. Ia menunduk lesu.

“Kita harus melangkah maju,” ajak si pemuda, “kita saling mencintai.”

“Cinta saja tak cukup. Aku takut penolakan orang tuamu. Pasti itu akan menyakitkan.”

“Kita bisa beri mereka pengertian! Hadapi risiko itu!”“Tidak!” bantah si gadis keras.“Ambil risiko itu!” ucap pemuda itu berguncang-guncang,

“Setiap risiko adalah anak tangga yang akan mengantarkan kita kepada rumah kebahagiaan. Jika kita tak menapakinya, menghindarinya, bagaimana kita bisa sampai ke sana?”

Si gadis melunak. Si pemuda meraih tangannya, lalu membangkitkannya. Kedua orang itu berangkulan sebelum beberapa saat berjalan kembali.

Secara tak sengaja, Nada menyimak benar percakapan sepasang muda di seberang jalan itu. Percakapan mereka menggugah batinnya. Lama ia merenungi makna perbincangan

yang didengarnya tadi. Ia kini tersadar bahwa selama ini ia sudah terkubur dalam ketakutan. Serta merta, tangannya mengambil ponsel dari tas tangannya, lalu membuka phonebooknya. Saat nama Dika tersorot, ia mengontaknya. Namun, ia hanya mendapati kotak suara. Ponsel tujuan tak aktif. Ia teringat, bahwa Dika pernah mengatakan mengenai ekspedisi ke Jaya Wijaya beberapa minggu ke belakang. Ia langsung tancap gas. Sesuatu harus ia utarakan.

lll

Keesokan harinya, Nada mencari keberadaan Dika di rumahnya. Namun, ia tak menemukan siapa pun di sana. Rumahnya kosong. Ia mencoba lagi menghubungi ponselnya beberapa kali. Akan tetapi, ia hanya mendapatkan kotak suara. Ia tak putus asa. Ia memutuskan untuk mencarinya di kampus.

Segera ia memacu mobilnya menuju kampus Universitas Bandung. Setelah sampai, ia memarkirkan kendaraannya di depan gedung Dekanat Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Sepanjang koridor menuju gedung D, Nada melangkah tak sabar. Ia harus menemui Dika, saat ini juga.

Saat kakinya sudah menjejak halaman depan gedung D Jurusan Teknologi Pangan, ia menghentikan langkah. Beberapa mahasiswa berjalan ke luar dari ruang perkuliahan. Tatapan Nada berkeliling, lekat mengamati setiap mahasiswa yang melewatinya. Namun, Dika tak kunjung muncul. Ia mulai cemas. Jangan-jangan, Dika sudah berangkat menjalankan ekspedisinya, pikirnya.

Beberapa saat berlalu, muncul sosok Epul. Tak biasanya, ia hanya seorang diri, tanpa sahabatnya, Dika. Nada girang. Ia menyeruak mendekatinya.

“Epul!” Teriak Nada.“Nada?” gumam Epul kaget, “kamu ada di sini?”“Iya,” jawabnya, sembari mengatur napas, “aku sedang

mencari Dika.”“Dika tidak masuk kuliah.”

160 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 161

Mendengar jawaban itu, Nada tertegun. “Kau tahu, dimana dia sekarang?”

Epul menggeleng. “Sejak tiga hari yang lalu, dia tidak hadir di perkuliahan.” paparnya.

“Mungkinkah dia sudah berangkat ekspedisi?”“Tim ekspedisi akan berangkat dua hari lagi.”Nada tampak lega. Ia tampak berpikir, ragu untuk berucap.“Kalau begitu, dimana aku bisa menemuinya?”Epul menggeleng.“Ia tidak bisa ditemui saat ini.”“Kalau kamu yang menemuinya?”“Sayah juga tidak yakin bisa bertemu dengannya.”“Kenapa begitu?”“Sebelum ekspedisi, dia harus menjalani masa karantina.”Nada terdiam lagi. Ia tampak kebingungan. Epul ikut

merenung. Tiba-tiba, ia berseru girang, “Sayah baru ingat!”Nada tersenyum. “Jadi, kau bisa bertemu dengannya?”“Pekan depan ada seminar mengenai HACCP75. Mahasiswa

teknologi pangan wajib hadir. Bagi yang tidak bisa hadir, dosen mata kuliah Pengolahan Pangan mewajibkannya membuat makalah.”

“Lantas?” Tanya Nada tak sabar. Badannya berguncang-guncang. Kedua kakinya melonjak-lonjak di tempat.

“Dia pasti takkan bisa menghadiri seminar itu. Gantinya, dia harus membuat makalah kalau mau lulus mata kuliah Pengolahan Pangan.”

“Jadi kau bisa bertemu dengannya?”“Dugaan sayah, dia akan menitipkan makalah itu kepada

sayah. Tapi bisa sajah dia langsung mengumpulkannya ke dosen yang bersangkutan.”

“Jika kamu bertemu dengannya, maukah kau menyampaikan pesanku?” Tanya Nada ragu.

“Tapi sayah takut dugaan sayah meleset. Kamu sudah meneleponnya?”

“Sudah kucoba beberapa kali. Ponselnya tidak pernah aktif.

75 Hazard Analysis and Critical Control Point (metode analisa dan pengendalian

kerusakan pada bahan pangan)

“Jadi, apa atuh pesannya?”“Kalau kau bertemu dengannya, tolong katakan bahwa aku

menyesal atas perbuatanku tempo hari. Aku terhanyut dalam keraguan waktu itu. Dan katakan kepadanya...” Perkataan Nada menggantung. Epul menanti terusannya.

“Sampaikan kepadanya, ...aku juga mencintainya. Aku benar-benar mencintainya.” Ucapnya tersipu malu. Lalu tertunduk.

Epul tersenyum mendengar pengakuan jujur sahabatnya.“Baiklah. Ada lagi?”Nada menggeleng.“Kalau begitu, sayah pergi dulu.” Ucap Epul berpamitan. Ia

melangkah pergi.“Epul!” Teriak Nada.Langkah Epul terhenti. Ia menolehkan wajah ke arah Nada. “Terima kasih.” Ucap Nada pelan. Ia tersenyum.Epul tersenyum balik, mengangguk, lalu pergi.

lll

Telaga Patenggang, Ciwidey, Bandung

Sore turun. Matahari hampir tenggelam di bukit-bukit yang dihampari hijaunya tanaman teh. Di atas kursi kayu, Nada terduduk. Seorang diri. Menghadap ke arah telaga, rambutnya yang panjang bergelombang melambai-lambai, tersapa angin lembut dari danau alam itu. Gerakannya meliuk-liuk.

Sudah hampir satu jam ia menunggu di tempat itu. Tangan kanannya memegang busur biola. Alat musik gesek itu ia apit di antara pundak dan dagu kirinya. Dari empat dawainya, terangkai melodi bening, indah nan menggetarkan. Jari-jari tangan kirinya meluncur turun dan naik pada dawai, memainkan glissando76-sehingga nada biola turun naik simultan. Getarannya menyapa riak-riak air telaga. Daun-daun meluruh. Rumput-rumput di sekitarnya rebah, merambat hingga yang terjauh. Alam terhanyut

76 Teknik dalam bermain biola, sehingga pitch yang dihasilkan meluncur turun dan

naik

162 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 163

di buaian untaian nada-nada. Ia tak menyadari, Dika sudah berada di sampingnya,

memangku badan gitar. Saat melodi memasuki bait ke-3, jemari Dika mulai menyapa dawai-dawainya. Melodinya menyeruak masuk, bergabung memainkan serenade dari biola yang dimainkan Nada.

Saat mendengar nada-nada jernih dari dawai gitar yang dipetik, Nada menghentikan gesekan biola. Ia menolehkan wajah. Terpana beberapa saat. Ia kaget, Dika sudah berada di sampingnya. Dika terus memainkan serenade. Ia memberi isyarat anggukan. Nada surti. Ia pun mengangkat biolanya kembali. Lalu memainkan baris-baris melodi itu bersama-sama. Dua orang itu terhanyut. Hingga ujung bait melodi. Nada menurunkan biola. Pandangan takjubnya lekat menatap Dika. Ia terpana.

“Kau bisa mengiringiku?” tanya Nada.“Ständchen, sebuah serenade oleh Franz Schubert, ditulis

pada musim panas di tahun 1826. Lagu kecil yang didendangkan sembari berdiri, untuk menyenangkan beberapa orang. Sebuah melodi yang indah dan sedih.”

“Persis. Kau begitu menguasainya. Tak kusangka.” seru Nada spontan.

Dika tersenyum tipis.“Butuh berminggu-minggu untuk mempelajarinya.” “Dari mana kau mendapat komposisi versi gitarnya?”Dika tak menjawab. Ia hanya tersenyum.“Duet itu cocok sekali untuk kita. Aku kagum padamu.”

Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulut Nada tanpa disadarinya.

Dika terkesiap. Ia kaget mendengar ucapan spontan itu. Ia senang, riang, sekaligus tak menduga Nada mengucapkan sanjungan itu.

Saat tersadar atas apa yang diucapkannya, Nada tersipu malu. Wajahnya merona. Ia membuang pandangan. Dika tersenyum memandangnya. Nada membalas dengan kerlingan. Kemudian, beberapa saat hening. Nada urung bertutur. Ia takut

salah ucap lagi.“Nada,” Sapa Dika lirih.Ragu-ragu, Nada menoleh.“Mari ikut aku.”“Kemana?”“Ada suatu hal yang aku ingin kau tahu.”Dika menarik tangan Nada. Mereka berdua berjalan menuju

motor ‘Astrea’ Dika yang diparkir tak jauh dari mobil Nada.“Aku membawa sesuatu untuk masa depan kita.”Tangan Dika mengangkat sebuah kantung plastik hitam.

Kemudian mereka berjalan menuju hamparan tanah yang berada tak jauh dari bibir telaga. Menghindari genangan air, Nada mencopot sepatu kanvasnya. Saat langkah mereka sampai di hamparan tanah yang datar, Dika menghentikan langkah.

“Mulai dari sini, kita wujudkan impian kita. Kita tanam bibit pohon jambu ini. Kelak, pohon kecil ini akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Dahan-dahannya yang kuat menjulur dari batang utama. Itu akan menjadi lengan, dimana kita bisa menjuntaikan tali-tali darinya. Lalu pada ujungnya, kita ikatkan dudukan. Sehingga, anak-anak kita akan bersuka ria berayun-ayun di atasnya.”

Nada menurut. Ia menjongkok, menyaksikan Dika yang sedang mencangkuli tanah.

“Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” tanya Nada.“Tak ada orang yang tahu kepergianku.” jawab Dika, sembari

sibuk mencangkuli tanah.“Jadi, upacara pelepasan tim diadakan besok pagi?”Dika menengadahkan wajah. Mengangguk.Nada mengeluarkan saputangan dari dalam saku. Lalu, ia

seka keringat yang mengucur di dahi Dika perlahan-lahan.“Sayang sekali.” Sesal Nada.“Maksudmu?”“Semalam Mama menelefonku. Ia ingin ke Bandung. Tapi,

Mama minta aku ke Jakarta dulu pagi sekali. Aku pasti takkan bisa menghadiri upacara itu.”

164 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 165

“Tidak apa-apa. Yang penting, doakan keselamatan kami.”Setelah kedalaman tanah mencapai sebetis, Dika berhenti

mencangkul. Nada mengeluarkan bibit pohon jambu itu dari kantung plastik hitam dan memberikannya kepada Dika.

“Beberapa minggu ke depan, aku tak bisa menjaga pohon kecil ini.” ucap Dika, melirik Nada sekilas.

“Sekarang masih musim kemarau...” sambungnya.Dika mengisikan gundukan tanah ke dalam lubangnya. Nada

membantu mengubur akar pohon itu dengan tanah.“jangan lupa, kau sirami bibit pohon ini agar tidak layu.”Nada mengangguk.“Pasti. Aku pasti menyiraminya. Setiap sore, aku akan

menyempatkan waktu ke sini.”Dika tersenyum. Ia berjalan menuju bibir telaga. Nada

mengikutinya. Mereka duduk di bawah tajuk pohon pinus menghadap lepas arah telaga.

“Dika, maafkan atas sikapku tempo hari,” sesal Nada, “aku menghubungimu lewat ponsel beberapa kali, tetapi selalu gagal.”

”Sudahlah. Epul sudah mengatakan semuanya.””Jadi, Epul sudah menceritakan semuanya?”Dika mengangguk.”Malam itu, aku bingung, ragu, tak tahu apa yang harus

dilakukan. Persis seperti seorang siswa IPS menghadapi soal-soal mata pelajaran kimia.”

Dika menahan tawa.”Perumpamaanmu kurang tepat. Harusnya, persis seperti

simpanse yang disodori telefon genggam.”Nada mendelik. ”Kau menyamakanku dengan saudaramu?”Dika terkekeh. ”Jadi, kau mau menerima cinta dari sudara

simpanse?” balasnya tak mau kalah, ”hanya perumpamaan.””Huh!” Umpat Nada sebal. Ia memalingkan muka.”Jadi kau sudah mampu mengenyahkan ketakutanmu?”Nada menoleh, mengangguk. ”Ketakutan itu untuk diatasi,

bukan untuk dihindari. Risiko akan selalu hadir dalam setiap

keputusan.”Beberapa saat berlalu, dua orang itu terdiam. Suara

gemerisik angin meningkahi lidah runcing ujung rumput dan dedaunan mengisi jeda perbincangan mereka.

”Berapa lama kau akan melakukan ekspedisi itu?” Tanya Nada memecah kebisuan.

”Hampir satu bulan.””Menunggu adalah sesuatu yang menjenuhkan. Bagiku akan

terasa setahun.” Ucap Nada sembari menghela napas berat.”Anggap ini adalah awal mewujudnya mimpi kita. Nanti,

pada hari Sabtu, setelah kepulanganku dari ekspedisi, aku tunggu kau di De Grote Postweg, Bandung 0.00 km. Tempat dimana kita menyatakan mimpi-mimpi. Maukah kau menepati janji?”

“Baiklah. Aku akan datang menemuimu.”Mendengar itu, Dika tersenyum. Ia bangkit dan berjalan ke

arah tanah yang terendam air telaga. Ia melipat celananya di atas betis, lalu membenamkan kedua kakinya ke dalam air. Beberapa saat kemudian, merunduk. Tangannya mengambil sekeping batu dari dasar telaga. Setelah itu, ia menghampiri Nada kembali.

“Lihatlah batu telaga ini.” Ucap Dika mengacungkan batu mengilap seukuran kepalan tangan.

“Untuk apa?” Tanya Nada keheranan.Dika tak menjawab. Alih-alih, ia mencari sebongkah batu

lain yang lebih kuat. Kemudian, ia membenturkan batu yang tergenggam itu pada sebongkah batu besar berulang kali. Batu telaga itu terbelah menjadi dua. Ia sodorkan satu belahan batu itu kepada Nada seraya berucap,

“Anggap ini adalah sekeping hati. Kau dan aku menyimpan masing-masing satu belahan. Hati kita akan menyatu saat belahan batu telaga ini kita gabungkan. ”

Nada menerima benda yang disodorkan Dika. Ia menimang-

166 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 167

nimangnya beberapa saat.“Bawalah kelak ketika kita bertemu lagi. Di tugu Bandung

0.00 km. Itu adalah titik awal kita. Menyusun langkah untuk mewujudkan mimpi kita. Kau sehati?”

Nada mengangguk. Tersenyum.Senja mulai merambat. Mereka berjalan meninggalkan

tempat itu.

lll

Rhapsody

Tribute to Almamater

Acara pelepasan tim ekspedisi Carstenz Pyramid dalam rangka 10 windu UNIBA dihadiri oleh Rektor Universitas Bandung, Bapak Prof. Dr. Syailendra Kartasubrata, MBA. Dalam acara ini, hadir pula beberapa perwakilan dari perusahaan yang menjadi sponsor. Secara resmi, Rektor melantik tim ekspedisi ini dan memberi nama The Expedition of Bandung University’s 80th Anniversary, lalu menyematkan kalung panji. Pada pelantikan itu, Dika sebagai ketua ekspedisi menerima panji UNIBA langsung dari tangan rektor, sambil mengucapkan ikrar Mountaineer. Acara ditutup setelah semua yang hadir menyanyikan lagu Hymne Universitas. Tim ekspedisi ini terdiri dari 3 orang mahasiswa dan 2 orang mahasiswi, yaitu Dika (ketua tim), Gerhard, Sarkadhut, Rida, dan Victoria.

Tepat jam 11.00 acara pelepasan selesai. Sehabis melaksanakan shalat, tim ekspedisi akan berangkat menuju Jakarta untuk selanjutnya ke Papua. Bis kampus mengantar mereka sampai ke Stasiun K.A. Bandung. Anggota Mountaineer yang mem-back up ekspedisi ikut mengantarkan sampai stasiun.

Jam 1 siang, mereka sudah tiba di Stasiun Kereta Api Bandung. Semua anggota tim segera memasuki gerbong, kecuali Dika yang baru saja dari toilet. Mendengar suara dari speaker bahwa Kereta Parahyangan tujuan Jakarta akan segera berangkat, Dika bergegas menuju gerbong kereta. Menyusul teman satu timnya yang sudah berada di dalam. Setengah sampai, langkahnya terhenti berbarengan dengan terdengarnya suara seorang gadis yang memanggil namanya dari belakang.

Dika berbalik badan. Dilihatnya, Nada sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Ia berdiri mengenakan blus biru muda dan rok sebetis yang berkibar bersama angin saat sebuah kereta melesat di belakangnya. Rambutnya yang hitam bergelombang melambai-lambai diterpa angin. Bibirnya mengulum senyum.

“Nada?” gumam Dika heran. Pandangannya tak berkedip.

Nada mendekat.

”Kau tidak jadi ke Jakarta?” tanya Dika dalam keheranan.

”Tadi pagi, Mami menelefonku lagi. Keluargaku tidak jadi ke Bandung hari ini. Rencananya akhir pekan. Jadi, baru besok pagi aku akan ke Jakarta. Makanya aku menyempatkan waktu ke sini untuk menemuimu.”

Dari pintu gerbong kereta, beberapa anggota tim ekspedisi, Sarkadhut dan Gerhard memanggil Dika. Mereka memberi isyarat agar dirinya segera menaiki kereta yang akan berangkat sebentar lagi. Dika hanya menolehnya sekilas, lalu kembali berbincang dengan Nada.

”Nada..Saat pulang nanti, aku akan membawakanmu seikat bunga Jaya Wijaya!” ucap Dika, lalu berbalik badan.

Nada mengangguk. Melepas kepergian Dika, ia tersenyum.

168 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 169

Wajahnya merona. Bening bola matanya berkilauan.”Dika...!” panggil Nada. Ia berlari kecil menyusul langkahnya. Dika menghentikan

langkah, lalu menengok ke belakang. Wajahnya membalik dari balik ransel yang tingginya melebihi kepala.

“Bawalah saputangan ini. Jadikan ini sebagai pengingatku sewaktu kau berada di sana.” pinta Nada menyodorkan sapu tangan berwarna cokelat muda.

Sembari tersenyum, tangan Dika meraih saputangan itu.“Baiklah. Terima kasih!”“Simpanlah baik-baik selama kau di sana.” pinta Nada. Dika mengangguk. “Tentu. Akan kusimpan baik-baik.” ucapnya.“Aku juga punya sesuatu untukmu. Aku harap ini akan

mengingatkanmu agar tetap mendoakan keselamatanku.” ucap Dika. Tangannya merogoh kantong kecil di pinggangnya. Ia mengambil music box dari wadah tersebut. Lalu ia berikan benda tersebut kepada Nada dan berbalik melangkah menuju teman-teman ekspedisinya yang sudah menunggu tak sabar.

Jam dinding stasiun menunjukkan pukul 14.00 ketika kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Stasiun K.A. Bandung. Di kaca jendela, Dika memberi Nada anggukan ringan dan senyum lebar. Tangannya melambai di tepi kacanya.

Nada membalas lambaian tangannya. Ia tetap berdiri. Dua kakinya terpaku pada tempat itu hingga kereta yang membawa pujaan hatinya menghilang dari pandangan.

Kereta semakin cepat berjalan. Suara beradu roda kereta dengan sambungan rel semakin rapat terdengar. Pandangan Dika menepi di jendela kereta. Sosok Nada yang masih berdiri tertelan oleh bangunan stasiun itu yang perlahan semakin mengecil, membentuk titik, lalu menghilang di kaki horison Kota Bandung.

Keluar stasiun, gerakan hulu kereta semakin kencang, melesat, membelah hawa siang. Saat mencapai daerah Purwakarta, kereta melintasi punggung-punggung bukit,

seolah meloncat dari bukit satu ke bukit lainnya. Di bawah rel menganga jurang yang dalam dan memesona. Semakin ke bawah, tiang-tiang penopang itu mengerucut, mengecil, membenam di dasarnya. Dika melongokkan pandangannya dari jendela samping. Ia melihat ekor kereta tampak meliuk ketika melewati rel yang mengelok, persis seperti ular melesat. Dari atas gerbong, tampak sisa asap hitam dari lokomotif yang membubung. Sinar matahari berkilauan memantul di air sungai, masuk menerobos jendela kereta.

Pukul 17.00 kereta sampai di Stasiun Gambir. Dari sana, mereka menggunakan taksi untuk sampai ke Bandara Soekarno Hatta. Menurut jadwal, pesawat Garuda dengan tujuan penerbangan Bandara Sentani (Jayapura) akan tinggal landas pada pukul 9 malam. Dengan demikian, mereka masih punya waktu untuk istirahat sebelum penerbangan.

Setibanya di bandara, Gerhard yang bertugas mengurusi administrasi perjalanan menghampiri petugas. Di loket pembayaran boarding pass, ia bercakap-cakap dengan petugas bandara beberapa menit. Dengan wajah kecewa, Gerhard menghampiri keempat rekannya.

“Kenapa Ger?” tanya Rida.“Kata petugas tadi, semenjak kejadian tergelincirnya salah

satu pesawat milik maskapai penerbangan swasta, jadwal keberangkatan pesawat mengalami penundaan. Hal ini karena Bandara memberlakukan single runway. Sehingga, pesawat yang akan tinggal landas dan mendarat harus antri.”

“Jadi, bagaimana dengan ekspedisi kita?” tanya Victoria sedikit kalut.

“Delay-nya berapa lama?” tanya Dika.“Tak tahulah. Tunggu saja pengumumannya,” jawab

Gerhard. “Mudah-mudahan hal ini tidak akan mengganggu jadwal

ekspedisi yang sudah ditetapkan,” ucap Rida harap-harap cemas.

“Aku jadi tidak enak. Sudah kontak alumni di sana, masa dia

170 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 171

harus menunggu kita, bah?” gumam Gerhard, tangannya garuk-garuk kepala.

“Yo wis... bilang sajha kejadhian sebenarnya,” sela Sarkadhut.

Pandangan melotot Gerhard beralih kepada Sarkadhut.“Yo wis, yo wis,… kau kontak lah!” omelnya sedikit jengkel.“Nomornya?” tanya Sarkadhut sambil cengar-cengir. Gerhard mendelik.“Alah, macam apa pula kau ini? Bilang saja kau mau minta

pulsa, nih!” gerutu Gerhard, memberikan ponselnya kepada Sarkadhut.

“Nah… githu dhong, pengertian!” tangan Sarkadhut meraih ponsel itu dari tangan Gerhard.

“Eit!” Gerhard menarik tangan. “Kau jangan macam-macam, cukup Bang Freddy.”

“Bheres!” timpalnya enteng. “Inyong ora bhakal neko-neko77.” Lantas Sarkadhut berjalan menuju zona komunikasi.

Setelah ditunda pemberangkatan, akhirnya pesawat Garuda dengan tujuan Bandara Sentani tinggal landas pada pukul 22.45. Dengan dua kali transit, di Makassar dan Biak, pesawat yang membawa tim ekspedisi sampai di Bandara Sentani pada pukul 8.30 WIT pagi hari.

Suasana Bandara Sentani tidak seperti di bandara-bandara pada umumnya. Saat pertama kali menginjakkan kaki, bandara ini terasa agak sumpek dan gerah. Asap rokok dari pengunjung bergumpal-gumpal, menyumbat rongga pernapasan. Merokok nampaknya menjadi aktivitas yang tidak dilarang atau mungkin peraturan larangan merokok sama sekali tidak digubris oleh pengunjung. Selain itu, banyak sekali orang yang berlalu-lalang, baik itu pedagang, calon penumpang, maupun orang yang menjemput. Suasananya ramai tidak berbeda jauh dengan pasar tradisional.

Di pintu kedatangan bandara, seorang pria bertubuh tegap menyapa tim ekspedisi.

“Maaf, Mas. Bisa lihat dokumen dan tiket bagasinya?” 77 Saya tidak akan macam-macam.

tanya seorang petugas bandara berseragam lengkap itu. Saat itu, Gerhard berada di jajaran terdepan. Konsekuensinya, dialah yang pertama kali diperiksa. Petugas itu benar-benar mengecek dengan hati-hati setiap dokumen yang mereka bawa. Mengetahui maksud kedatangan Gerhard dan kawan-kawannya, ia menanyakan surat izin ekspedisi. Gerhard memberi isyarat kepada Dika yang ada di sampingnya.

“Oh... silakan, Pak,” ucap Dika setelah merogoh saku celana lapangannya. Ia memberikan dokumen yang diminta. Pria berseragam itu sejenak mempelajari berkas yang baru saja ia terima, lalu tersenyum.

“Ya, silakan!” ucap petugas itu sambil mempersilakan mereka untuk mengambil barang bagasi.

“Gerhard, bagaimana? kamu sudah kontak Bang Freddy, kan?” tanya Dika.

“Beres!” Gerhard mengangguk. “Beliau bilang sedang dalam perjalanan. Katanya sepuluh menit lagi sampai di sini.”

“Oke, kita tunggu di sini saja,” ujar Rida. Ponsel Gerhard berbunyi nyaring, “Nah, ini dia!” teriak

Gerhard girang. Tangan kanannya merogoh saku celana, lalu mengambil ponselnya.

“Ya... halo? Oh... Bang Freddy, sudah dimana Bang?” “Saya sudah di gerbang bandara. Saya tunggu di mobil saya

ya?” ujar Bang Freddy, suaranya terdengar sayup dari telefon. “Cari Kijang warna hijau tua, nomor DS 7799 PA, ditunggu ya....”

“Iya, kami segera ke sana, Bang. Terima kasih, ya!” jawab Gerhard menutup pembicaraan.

“Bagaimana Ger? Di mana katanya?” tanya Victoria sambil mengangkat ranselnya.

“Get hurried, guys! Dia sudah menunggu di depan bandara!” ucap Gerhard. Kedua tangannya meraih ransel 120 liter dari lantai bandara.

“Yuk”! jawab yang lain hampir bersamaan, lalu meninggalkan ruang tunggu menuju pintu keluar gerbang.

172 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 173

Seorang lelaki paruh baya dengan dandanan seragam lapangan tersenyum ke arah Dika dan kawan-kawan.

“Halo... adik-adikku, welcome to the eastern wonderful land,” sapa pria setengah baya itu dengan tersenyum ramah. Mereka berangkulan satu sama lain dan menjabat tangan Victoria dan Rida.

“Loh... kok ada Neng Geulis78. Ikut ekspedisi juga?? Hahaha....” ucap Bang Freddy tertawa renyah, menirukan aksen Sunda dengan logat Papua yang kental. Mereka seperti satu keluarga, disatukan oleh ikatan alumni dan satu almamater. Walaupun terpaut 7 angkatan, mereka selalu keep in touch dengan jaringan sesama alumni.

“Bagaimana kabar keluarga, Bang?” tanya Gerhard “Mereka baik-baik saja, terima kasih.” jawab Bang Freddy.Setelah berbasa-basi, mereka langsung masuk ke mobil

berwarna hijau tua dan langsung meninggalkan bandara menuju pusat kota Jayapura.

Perjalanan menuju Jayapura yang berjarak sekitar 33 km dari bandara membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan dengan kecepatan sedang.

“Weleh-weleh, iki indah tenan79, Ger!” Sepanjang perjalanan Sarkadhut mengoceh tak henti-henti. “Inyong serasa di surga.” ucapnya saat kendaraan mereka

melewati jalan aspal mulus yang berkelok-kelok membelah perbukitan. Di sisi kanan dan kiri jalan terlihat pemandangan alam yang hijau, dipenuhi pepohonan rimbun. Di tengah hijaunya pepohonan, terlihat kemilau riak-riak air Danau Sentani yang memantulkan sinar matahari pagi. Tak ada respon dari Gerhard. Matanya terpejam. Ia tertidur. Setelah menyadari hal itu, Sarkadhut dongkol. Dika menahan senyum.

“Bang, kira-kira di mana lokasi penginapannya?” tanya Dika kepada Bang Freddy.

“Maksud kamu, tempatnya?” tanya Bang Freddy sambil

78 Wanita cantik

79 Wah...wah...wah..., ini indah sekali

matanya melirik ke arah cermin dalam.“Iya, kita cari yang harganya tidak terlalu mahal.”“Sudahlah, kalian tenang saja, tak usah dipikirkan. Kalian

tak perlu mengurusi bayar ini bayar itu, saya yang tanggung,” ucap Bang Freddy sambil tersenyum.

“Tapi, Bang...” Sanggah mereka hampir serempak.“Sudah terima saja. Lagi pula masalah ini sudah dibicarakan

dengan Pak Syailendra.”“Loh... kok bisa?” Dika keheranan.“Hahaha...” Bang Freddy tertawa renyah. “Beliau mengontak

saya sebelum kalian tiba di sini.” ucapnya.“Oh, kalau begithu, kami merasa sangat bherterima kasih,

Bhang, atas bantuane.” ucap Sarkadhut.“Sama-sama. Kita kan sama-sama satu almamater. Lain kali,

kalau saya ke Bandung, gantian saya yang dijamu ya?” canda Bang Freddy sambil tertawa.

“Hahaha... beres Bang, bisa diatur.” timpal Dika.Setelah beberapa saat, akhirnya mereka sampai di depan

hotel.“Nah, ini hotelnya. Namanya Hotel Matoa. Sekarang kalian

check in dulu.”Bang Freddy menyewa dua kamar. Satu kamar dengan extra

bed untuk tim putra dan yang satu lagi untuk tim putri.“Kalian istirahatlah di sini. Kalau ada apa-apa kontak saya,

ya!” Bang Freddy mendekatkan tangan kanannya ke telinga dan mulut, menirukan telefon.

“Ok, Bang. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya.” Bang Freddy mengangguk, berpamitan, lalu pergi

meninggalkan kamar hotel itu. Malam pertama, mereka beristirahat penuh untuk

memulihkan tenaga sehabis melakukan perjalanan panjang. Malam kedua, setelah mereka merasa cukup segar, Dika dan tim mengadakan briefing untuk persiapan melakukan ekspedisi. Semua perlengkapan, konsumsi, obat-obatan, dan barang lainnya dicek satu per satu. Mereka mematangkan kembali

174 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 175

rencana perjalanan.“Ada dua rute untuk mencapai puncak Carstenz Pyramid.

Kita sepakat untuk melewati rute pertama. Hal ini untuk meminimalisasi risiko yang pasti ada,” ucap Dika serius dalam acara pertemuan menjelang keberangkatan.

“Sarkadhut, kamu bertanggung jawab untuk menyewa porter,” pandangan Dika mengarah kepadanya.

“Terus kamu Gerhard, kamu yang bertanggung jawab untuk perlengkapan. Victoria dan Rida bertanggung jawab kesehatan tim ekspedisi dan makanan. Sedangkan aku sendiri bertanggung jawab untuk keselamatan tim ekspedisi.”

Di saat acara briefing berlangsung, nada ponsel nyaring berdering. Gerhard meraih ponselnya dari atas meja dan membaca pesan singkat di dalamnya. Semua mata tertuju kepadanya.

“Menurut informasi yang dikirim oleh Bang Freddy, pesawat menuju Tembaga Pura akan berangkat besok pagi. Jadwal penerbangan ke Tembaga Pura hanya seminggu sekali,” lanjutnya menambahkan. “Jadi mau tidak mau, kita harus berangkat besok pagi.”

lll

Keesokan harinya, tim ekspedisi berangkat pagi-pagi dari Bandara Sentani. Mereka sampai di Kota Tembaga Pura beberapa jam sebelum melanjutkan perjalanan dengan menumpangi pesawat kecil sejenis twin otter. Angkutan darat masih sangat sulit diandalkan. Selain karena jaringan jalan darat yang belum memadai, jarak antarkota lumayan jauh jika ditempuh dengan kendaraan darat.

Unbelievable. Begitulah komentar mereka saat tiba di ‘surga’ tengah rimba, Kota Tembaga Pura. Di tengah hutan yang begitu lebat, dengan letak yang terisolasi, Tembaga Pura adalah kota yang terbilang cukup modern. Bahkan, lengkap dengan Hotel Sheraton-nya. Inilah yang membuat kota kecil ini begitu unik.

Banyak sekali orang-orang ekspatriat tinggal di sini. Sebagian adalah karyawan PT Freeport, lainnya turis atau bahkan para peneliti. Tembaga Pura adalah sebuah surga di timur Indonesia dengan pemandangan alamnya yang begitu eksotis.

Di perkampungan penduduk, tim ekspedisi bertemu dengan kepala suku Dani. Mereka diperkenalkan dengan tiga orang dari suku tersebut yang terbiasa memandu para pendaki gunung. Jumlahnya ada tiga orang. Semuanya laki-laki. Tiga orang tersebut dengan semangat menerima tawaran untuk menemani tim ekspedisi UNIBA. Usia mereka sekitar 20 tahunan. Ketiga pemuda itu bernama : Eleyser, Yukime, dan Barnabas. Di antara ketiganya, Barnabas berusia paling muda. Ia masih berusia 21 tahun. Sifatnya agak pendiam, tapi sangat menghargai orang lain. Eleyser berperawakan tinggi besar, dewasa, sangat ramah, dan mudah akrab. Sementara Yukime, pemuda berusia 23 tahun, sangat senang berbicara dan humoris. Dia sering membuat tertawa tim ekspedisi dan porter yang lain. Fisik dan daya tahan mereka sangat kuat. Buktinya, mereka sanggup hidup pada ketinggian 1.800 m dpl dengan udara yang cukup dingin tanpa menggunakan jaket. Tidak hanya itu, walaupun tinggal di daerah pedalaman, ketiga orang ini sangat fasih berbicara bahasa Inggris. Mungkin karena mereka sering berinteraksi dengan para pendaki gunung dari mancanegara.

Tim ekspedisi kini berjumlah 8 orang, termasuk tiga orang porter. Para porter bertugas membawa barang-barang perlengkapan penunjang pendakian. Pagi hari, rute pertama yang ditempuh adalah pos Ayam Hitam. Untuk menuju ke sana, tim ekspedisi menaiki cable car, kereta gantung yang berjalan melewati kompleks pertambangan PT. Freeport.

Pukul 10.00 WITMereka telah menginjakkan kaki di pos pertama yang

dijuluki ‘Ayam Hitam’. Dari pos ini, tim memulai pendakian. Pos yang akan dituju selanjutnya adalah Lembah Danau-danau yang berketinggian 4.200 m dpl. Beberapa jam pendakian, mereka

176 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 177

sampai di pos tersebut. Setibanya di sana, mereka langsung mendirikan tenda dan selama dua hari melakukan kegiatan aklimatisasi80. Kegiatan ini dilakukan dengan mendaki bukit, kemudian turun lagi ke base camp beberapa kali. Di base camp Lembah Danau-danau, Sarkadhut mengalami sakit kepala dan mual, kemungkinan gejala hipotermia81 ringan. Salah satu penyebabnya bisa dari kurang cukupnya aklimatisasi. Sejak tiba di pos ini, ia terus berbaring di dalam tenda, mencoba meredakan sakitnya.

Menyikapi hal ini, Gerhard mengusulkan untuk menunda perjalanan ke pos selanjutnya sampai seluruh tim benar-benar siap dan menunggu Sarkadhut sehat. Lain halnya dengan Victoria, ia kurang sepakat dengan usulan Gerhard. Begitu pun Rida, ia berada di pihak Victoria yang mendukung untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan atau tanpa Sarkadhut. Terjadi silang pendapat di tenda utama antara Gerhard dengan Rida dan Victoria.

Pukul 12.00 WITPerseteruan pendapat ini tidak boleh dibiarkan berlarut-

larut. Jika tidak, keberhasilan misi ekspedisi berada di ujung tanduk. Sebagai pemimpin regu, Dika memahami hal ini. Di tengah adu mulut yang terjadi di antara tiga orang itu, ia memberi isyarat kepada anggota timnya untuk keluar dari tenda utama. Gerhard, Victoria, dan Rida menuruti. Mereka bertiga, bersama Dika berjalan keluar tenda itu untuk mencari tempat yang dirasa cukup tersembunyi.

Tak berapa lama, mereka sudah berada di batuan yang terhampar di balik tebing. Tempatnya beberapa puluh meter dari tenda utama, tempat Sarkadhut beristirahat. “Kita tahu, ini masalah yang sensitif karena menyangkut salah satu teman kita.” ucap Dika memulai pembicaraan setelah mereka duduk dalam lingkaran. Matanya lekat memandangi satu per satu ketiga

80 Program penyesuaian tubuh dengan iklim lingkungan sekitar.

81 Salah satu gejala mountain sickness dimana penderita mengalami penurunan suhu

tubuh dari angka normal.

anggota tim yang lain. “Makanya aku kurang setuju kalian tadi berdebat di depan Sarkadhut. Sekali lagi, kita harus berempati.”

“Dika... sorry memotong. Apa yang diutarakan Rida tadi beralasan. Kita tidak mungkin menunggu satu teman kita siap untuk melanjutkan perjalanan. Mempertaruhkan reputasi tim dan keberhasilan program almamater dengan hanya satu orang anggota. Sekali lagi, satu orang!” ucap Victoria ketus.

“Bah, kau ini…” sambar Gerhard, “Egois kali...”.“Sebentar, aku belum selesai bicara!” potong Victoria

memelototi Gerhard.“Ada beberapa alasan. Pertama, aku tahu, kondisi logistik

kita yang sebenarnya. Itu hanya cukup untuk lama ekspedisi yang sudah direncanakan. Kedua, dari awal, semua sepakat bahwa hari yang kita tentukan untuk sampai puncak harus bersamaan dengan detik-detik upacara peringatan 10 windu UNIBA yang dipimpin langsung oleh rektor kita sendiri. And above all, keberhasilan kita akan dilaporkan langsung ke Pulau Jawa pada saat upacara tersebut berlangsung.”

“Kau pikir kau saja yang peduli terhadap program itu. Kau jangan sembarangan bicara! Aku juga bertanggung jawab terhadap keberhasilan program ini.”

“Kalau begitu, ya sudah, kita lanjutkan!” potong Rida.“Hei, kau ini, jangan sembarangan menyimpulkan. Kita

harus cari jalan tengah, bagaimana agar semua tim kita sampai ke puncak. Paham?” balas Gerhard.

“Tidak mungkin! Kita butuh waktu satu dua hari menunggu Sarkadhut sembuh!” Victoria tak mau kalah. Pandangannya beralih kepada Dika, “Sebaiknya kita jangan menunda waktu. Lanjutkan perjalanan sekarang!”

Gerhard geleng-geleng kepala, “Hei, kau ini! Tak hargai pengorbanan sahabat. Kau pikir siapa yang mengurus perizinan ekspedisi ini, hah? Sarkadutlah orangnya, kau catat itu! Cara kau berpikir sangat sempit kali. Cobalah kau tengok kondisi orang lain. Jangan egois kau!” kilah Gerhard.

“Gerhard, kamu pikir hanya kamu yang setia kawan?” Rida

178 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 179

melotot. “Guys, ini masalah komitmen yang kita buat, bukan masalah solidaritas!”

“Ingat, kita tim! Sarkadhut juga berhak, dong punya kesempatan ke puncak. Kau harus ingat, tim kita terdiri dari 5 orang dan ini merepresentasikan falsafah universitas, itulah kenapa rektor mengukuhkan kita!” teriak Gerhard tak mau kalah.

“Saya harap semua diam!” teriak Dika menyela. “Coba sekarang kalian tenang dulu, itu baru permasalahan, bukan solusi. Yang kita butuhkan sekarang adalah pemecahan, you get it?” Lalu suasana hening beberapa saat. Tampak keempat orang tersebut berpikir keras.

“Coba, aku ingin tahu solusi apa yang kamu tawarkan.” tanya Dika memandangi Rida dan Victoria bergantian.

“Biar Inyong yang menawarkan solusi!” teriak orang dari luar lingkaran dengan nada hambar.

Keempat orang tersebut tersentak kaget dengan munculnya suara itu. Serentak mereka menoleh ke arah sumber suara tersebut.

“Sarkadhut??” Gumam mereka serempak.Merasa sungkan, mereka tak bisa berkata apa-apa.

Tanpa seorang pun tahu, tiba-tiba saja Sarkadhut muncul dan nampaknya menguping apa yang sedang mereka diskusikan.

“Daripada Inyong menjadhi orang yang membuat tim kita tidhak kompak, tercerai bherai, Inyong lebhih bhaik mengalah. Inyong tingghal di tendha utama bhersama satu orang porter!”

“Sarkadhut??” ucap Gerhard kaget.“Inyong hargai solidharitas kamu sobhat.” ujarnya. “Uhu...

uhu!!” Ucapannya diselingi batuk. Ia pandangi Gerhard. “Tapi, apa yang dikatakan Victoria dan Ridha ada bhenarnya jugha.” ucapnya sambil melirik ke Rida dan Victoria. Dua gadis ini menunduk. Sepertinya mereka takut jika Sarkadhut merasa tidak berkenan dengan ucapannya.

“Bhiarlah, meskipun Inyong sebhenarnya ingin sekali mencium saljhu tropis…” sambungnya, menunduk,“permisi!”

“Sarkadhut?” ucap Dika memandangi temannya itu.Sarkadhut mengangguk dan memberi acungan jempol

kepada Dika, lalu ngeloyor pergi dengan badan terhuyung. Rida bangkit dan segera menyusul Sarkadhut.

“Sar! Maaf, bukan maksudku…” sesalnya ketika langkahnya menyejajari Sarkadhut. Kedua orang itu berhenti sejenak.

“Sudhahlah, Inyong paham maksud kamu.” ucapnya sambil menatap Rida sebentar, lalu berjalan lagi menuju tenda utama dan meninggalkan Rida yang masih tertegun.

Sore harinya, cuaca cukup bersahabat. Matahari bersinar cerah. Hanya beberapa awan yang sedikit menghalangi. Seluruh anggota tim bersiap-siap berangkat. Di tenda utama, Sarkadhut beristirahat ditemani oleh satu orang porter.

Menurut pengalaman para pendaki terdahulu, perjalanan untuk sampai ke puncak Cartenz dari tempat ini memakan waktu sekitar 12–15 jam. Dari sini, medan perjalanan yang dihadapi semakin terjal. Ini terasa sekali setelah melewati Lembah Kuning, kemudian Teras Kecil. Di daerah ini, terdapat tebing batu yang tinggi menjulang dengan kemiringan 70 derajat. Batuan terlihat licin dan nyaris tanpa cacat sehingga menyulitkan tim untuk memasang pasak pengaman. Dari sini, mereka terpaksa memanjat dengan menggunakan tali. Untungnya, cuaca bersahabat. Namun, tetap saja angin bertiup sangat kencang. Terkadang butiran-butiran salju yang terbawa angin memukul kulit muka terasa pedas. Anggota tim ekspedisi memanjat tebing satu per satu. Medan semakin sulit, tetapi tak membuat tim mundur. Bahkan, perasaan yang menggebu ingin segera sampai di puncak membuat mereka tetap bertahan.

Namun, semua tidak seperti yang direncanakan. Saat seluruh tim hampir mencapai ujung Teras Besar, Dika masih di bawah. Tepat ketika Dika di tengah-tengah pemanjatannya, cuaca sekonyong-konyong berubah. Gumpalan-gumpalan awan berlari kencang menerpa tebing. Angin bertiup sangat dahsyat disertai suara gemuruh yang menderu-deru dan melemparkan kristal-kristal es ke batu tebing. Semua anggota tim merunduk,

180 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 181

menghindar dari hantamannya yang hebat. Mereka berusaha berpegangan erat pada tali tambang yang diikatkan ke badan mereka. Tali berayun-ayun terkena hempasan angin.

Dika tiarap pada bebatuan tebing. Perlahan ia merayap pada tambatan itu dengan wajah menelungkup. Sesaat wajahnya menengadah untuk melihat jalur dan angin menyambarnya. Perih dan pedas terasa pada kulit. Ia tertegun sesaat untuk menghilangkan rasa sakit. Tangannya tetap berpegangan erat mencengkeram tambang. Ia sadar saat ini nyawanya tertambat pada seutas tali itu. Tak henti-henti, hatinya memanjatkan berbagai doa keselamatan kepada Maha Penguasa.

“Dika, hati-hati!’ teriak Gerhard samar, bercampur dengan gemuruh angin yang berlari kencang. Pijakan kaki bergerak-gerak, bebatuan hampir lepas akibat beban dari tali. Namun beruntung, saat batuan yang dipijaknya longsor, Dika dengan sigap meloncat ke tebing lain. Ia bergelayutan di seutas tali. Sebelum badannya terlempar angin kencang, Dika berhasil mencapai akhir pemanjatan, yaitu Teras Besar. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan tenda di Teras Besar menunggu sampai cuaca buruk mereda.

Esok hari adalah waktu yang ditargetkan tim ekspedisi untuk mencapai puncak. Yukime bertugas menjaga peralatan yang tidak dibawa di tenda Teras Besar. Anggota tim lainnya sedang bersiap-siap untuk melakukan ‘summit attack’ dengan lingkupan semangat yang menggebu. Beberapa jam ke depan, mereka akan segera mencapai tujuan ekspedisi, puncak Cartenz.

lll

Menghadap perbukitan yang hijau, punggung Dika bersandar pada tebing batu. Di depannya, terbentang hutan perawan tropis nan hijau di antara celah awan-awan yang melayang-layang. Teringat akan pertemuan terakhirnya dengan Nada di stasiun, jiwanya melambung. Ia semakin bersemangat untuk segera menuntaskan ekspedisi ini, kembali ke Bandung dan bertemu

pujaan hatinya.“Hei... Dika! Senyum-senyum sendiri. Sedang apa sih?”

tanya Rida. Tanpa sepengetahuannya, Rida sudah berada di tempat itu. Ia duduk di samping Dika.

Dika sedikit kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba itu. Lamunannya mengenai Nada tiba-tiba buyar, terbang bersama dinginnya embusan angin gunung yang membawa serpihan kecil salju tropis.

“Kangen sama yang di Bandung yah?”Dika tersenyum tipis, “Rida... memang benar yang dikatakan

orang. Kita baru tahu seberapa penting seseorang bagi diri kita ketika jauh darinya,” ucapnya sambil memasukkan kembali saputangan pemberian Nada ke dalam saku jaketnya. Gantinya, ia mengeluarkan harmonika dan meniupnya di antara kedua bibirnya.

“Ah... sebentar. Dika, aku tahu lagu itu,” potong Rida. Dika berhenti meniup dan menatap Rida.

“Menurut kamu?” “Senandung Pucuk-Pucuk Pinus?”Dika mengangguk, “Kamu benar, Rida. Lagu ini

mengingatkan kita bahwa alam adalah sahabat manusia.” “Oh iya, bagaimana kabar Renee, sekarang, Dika?” tanya

Rida, sembari mengelilingkan pandangan pada bebatuan di sampingnya.

Dika berhenti meniup harmonikanya. Beberapa saat ia terdiam. Harmonika yang dipegangnya masih mengambang di udara, di depan bibirnya. Kedua bahunya terangkat, lalu mengembuskan napas berat.

“Aku juga tidak tahu, Rid. Sejak kepergiannya dua tahun lalu, aku ingin sekali tahu kabarnya. Dahulu, saat dia baru meninggalkan Indonesia, kami masih berkirim surat, saling tukar postcard, atau mengirim e-mail. Dia sering meminta postcard keelokan panorama sawah-sawah dengan pegunungan tropis. Tapi itu hanya berlangsung selama beberapa bulan. Setelah itu, kami lost contact. Ia mungkin sibuk kuliah dan mengurusi

182 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 183

Opanya yang sering sakit-sakitan.” “Sayang sekali. Apakah dia sudah melupakan Indonesia?”

tanya Rida ikut prihatin.Dika menggeleng tegas, “Kurasa tidak akan, Rid. Dia tidak

akan pernah melupakan Indonesia. Dia lebih merasa Indonesian dibanding Dutch,” ucapnya yakin. Tangannya memasukkan alat musik tiup itu ke dalam saku mantelnya. Jari tangan kanannya menyibakkan ujung lengan mantel untuk melihat jam di pergelangan tangan kirinya.

Rida menyandarkan punggungnya di tebing bebatuan yang ditumbuhi lumut. Ia tarik kedua lutut, lalu mendekapnya. Di bawah sana, hijaunya pepohonan yang menutupi kaki pegunungan Jaya Wijaya terbelah oleh birunya kelokan Sungai Memberamo, meliuk-liuk mengikuti arah kontur tanah. Beberapa anak-anak sungai bergabung dengan induknya. Tak sampai jauh, lika-liku sungai itu terhalang oleh awan tipis yang mengambang di udara. Pemandangan yang sangat menggetarkan hati. Perasaan damai dan tenang langsung menjalar ke sekujur tubuh. Diam-diam, ia mencuri pandang sahabatnya itu. Ia begitu tampan. Selain itu, sikapnya yang dewasa dan menghargai orang lain, selalu membuatnya merasa kagum. Benar kata Dika, alam sejatinya adalah sahabat manusia, bukan makhluk untuk ditaklukkan.

lll

Puncak Cartenz Pyramid 4.884 m

“Merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap angin, dingin seperti pisau, berjalan memotong hutan, dan mandi di sungai kecil. Dan... orang-orang seperti kita tak pantas mati di tempat tidur.” (Soe Hok Gie, 1969)

“EUREKA!!!” teriakan lantang mereka menembus langit timur Indonesia. Tanggal 5 Juni 2003, tepat pukul 9.20 pagi, tim ekspedisi UNIBA mencapai puncak Cartenz Pyramid yang selalu

berselimut salju tropis. Dika sebagai pemegang panji alamamater dan Gerhard sebagai pemegang panji Mountaineer bersama-sama menancapkan tongkat itu di titik ketinggian 4.884 m dpl. Segera saja, mereka mengontak panitia upacara detik-detik peringatan 10 Windu UNIBA di Bandung menggunakan telefon satelit. Seketika tersambung, mereka menunggu beberapa saat. Di seberang sana, jarum jam menunjukkan angka 7.20. Upacara akan dilakukan pukul 7.30 dan kumandang hymne universitas akan dilaksanakan tepat pukul 08.00 WIB setelah pidato rektor. Jauh di sana, terhalang oleh dua zona waktu, para peserta upacara peringatan merasa bahagia karena misi ekspedisi ini berhasil.

Udara dingin menusuk-nusuk tulang. Sesekali, angin bertiup kencang menerbangkan butiran-butiran salju menerpa tubuh mereka. Gumpalan awan berarak di bawah puncak. Hamparan salju puncak gunung seolah melayang-layang di atas lautan awan putih. Di langit timur, matahari semburat kuning keemasan, menebarkan kehangatan dalam genangan udara yang beku. Langit berwarna biru cerah dengan awan putih cirrostratus yang tercerai-berai. Kepuasan yang sangat luar biasa, yang sulit dibayangkan di bawah sana. Kepuasan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang bekerja keras mendaki puncak.

Selama beberapa saat mereka berada di atap langit Indonesia. Mencium putihnya salju tropis seraya bersimpuh. Air mata Rida berurai, betapa ia terharu kepada kebesaran Sang Pencipta yang Mahadaya. Ia merasa kecil di bentangan alam yang mahaluas. Mereka mendokumentasikan momen ini dengan kamera. Selama kurang lebih 30 menit mereka berada di sana. Setelah beristirahat sejenak, mereka turun kembali.

Tim ekspedisi kembali berjalan pelan merambati tebing-tebing berbatu. Dika berada paling depan, sedangkan paling belakang Gerhard. Rute yang dilewati sama dengan rute yang ditempuh ketika menuju puncak. Beberapa jam kemudian, lebih singkat dari waktu saat mendaki, tim sudah berada di Teras Besar, bertemu dengan Yukime yang menunggu tenda. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan melewati tebing batu

184 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 185

yang agak landai, sampai Teras Kecil. Saat itu, matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Menurut rencana, mereka akan tiba di kamp selanjutnya mendekati waktu asar. Setelah minum dan istirahat, mereka melanjutkan perjalanan.

“Dika, kau seperti kurang sehat, bah?” tanya Gerhard yang sedari tadi memerhatikan wajah Dika sejak di kamp Teras Kecil.

“Tidak, Ger, aku baik-baik saja, kok. Santai saja!” jawabnya sambil tersenyum. Tangannya meraih tali menuruni tebing.

“Dika, biar aku duluan lah!” paksa Gerhard.“Thanks, Ger, aku masih sanggup, don’t worry!” lalu Dika

melangkahkan kakinya menuruni tebing itu. “Hati-hati, Dika, batuannya mudah lepas!” kata Victoria dari

belakang. Ia membalas dengan acungan jempol. Meski bibirnya tertutup masker, wajahnya tampak mengguratkan senyum.

Selangkah demi selangkah, ia merayapi tebing bebatuan. Rida, Victoria, Gerhard, dan terakhir Yukime selisih beberapa meter. Nyawa-nyawa mereka tertambat di seutas tali karabiner.Mencapai tujuh meter dari puncak tebing, Dika menyelipkan pasak batu pada celah kecil di tebing. Ia mulai turun dengan kaki kanannya, sembari tangannya memegang tali dengan erat. Saat kaki kirinya hendak melangkah, ia tak sadar. Retakan bebatuan pijakan semakin merekah.

”KRRKK…KKRAAKKK!!!” Suara bergemuruh. Bebatuan tebing tercerai berai. Batuan

yang dijadikan pijakan meremah, menjadi gumpalan-gumpalan sebesar kepala yang meluncur deras menuju pusat gravitasi. Seolah seperti hujan batu beberapa saat. Dika linglung. Akibat lemahnya stamina tubuh dan kurangnya asupan oksigen, ia lambat merespon. Bahaya besar mengintainya dalam hitungan sepersekian detik.

”DIKAA...!!! AWASS...!!” teriak mereka serempak.Carabiner yang menopang tubuhnya tak terpasang

sempurna, tali pun tak banyak berfungsi. Menyusul hujan bebatuan tebing, tubuh Dika melesat di udara, menuju pusat gravitasi. Badannya menumbuk tanah dari ketinggian tujuh

meter. Di atas tanah, tubuhnya yang terkapar tetap tertegun. Wajahnya menelungkup. Beberapa sahabatnya kaget luar biasa menyaksikan peristiwa menegangkan itu dari atas sana.

“Dika???” wajah Rida pucat pasi. Jantung Gerhard seolah berhenti berdegup. Victoria berdiri kaku mematung. Mata belo Yukime membelalak tak berkedip menyaksikan pemandangan itu. Dalam kekagetan, semua anggota tim terkesima. Tak terlintas dalam benak apa yang seharusnya dilakukan di saat-saat genting seperti itu.

lll

Allegro

Sahabat Lama, pertengahan 2003

Sudah beberapa hari Renee berada di Indonesia. Tekadnya sudah bulat. Ia akan tinggal selamanya di negeri hangat ini. Ia akan mewujudkan masa depannya, bersama pemuda yang dicintainya. Ia sedang mengurusi pergantian kewarganegaraan. Meskipun, keinginan kuatnya ini ditentang oleh kedua orang tuanya. Mereka melepas kepergian anak semata wayangnya dengan berat hati. Berharap, suatu saat, anaknya akan kembali ke pelukan mereka.

Sembari menunggu kedatangan sahabat lamanya—Nada, Renee menyibukkan diri dengan lukisannya. Ia tumpahkan cahaya matahari merah tembaga ke atas kanvasnya. Sapuan-sapuan cat minyak dari kuas saling menegaskan untuk membentuk

186 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 187

panorama sore hari dengan horison bukit hijau yang ditumbuhi tanaman teh. Renee sibuk sendiri. Ia telah menghabiskan waktu berjam-jam di beranda rumahnya yang menghadap perbukitan dengan petakan sawah yang berundak-undak.

Dari pesan singkat yang ia terima, seharusnya Nada sudah datang dua jam yang lalu.

“Renee!” terdengar teriakan riang memecah hening dari arah samping.

Renee memutar kepala ke arah suara itu.“Nada?” seru Renee girang saat mengetahui kedatangan

sahabatnya. Hatinya terlonjak riang.

Di luar beranda, Nada berdiri dengan wajah merona, mengenakan cardigan berwarna ungu dan rok hitam sebetis.

Renee bangkit dari kursi dan menghambur keluar beranda. Dua orang itu berlari saling menyongsong. Mereka saling mendekap, menumpahkan kerinduan sahabat yang selama dua tahun tak bersua.

“Aku merindukanmu!” ucap Nada lantang. Dekapannya semakin erat. Ia menghela napas dalam-dalam,

mencium aroma parfum bunga jasmine Renee yang sudah bertahun-tahun ia rindukan kehadirannya.

“Hidup tanpa sahabat membuatku hampa,” balas Renee. Dagunya bersandar pada bahu sahabatnya itu.

“Tak kusangka kita akan berjumpa lagi. Aku pikir kau tidak akan kembali lagi ke Indonesia.”

“Panjang ceritanya. Nanti kuceritakan,” ucap Renee melepaskan rangkulan, “mari kita duduk-duduk,” ajaknya menuntun Nada memasuki beranda. Mereka berjalan menuju kursi rotan menghadap perbukitan. Renee melangkah ke dalam rumah.

Beberapa saat kemudian, Renee menyembul di mulut pintu. Dua tangannya membawa nampan yang memuat dua cangkir berisi teh hangat dan meletakkannya di atas meja.

“Bagaimana kabar keluargamu?” tanya Serenada setelah

Renee duduk berhadap-hadapan dengannya.Renee menghela napas panjang. “Kabar keluargaku baik.

Hanya… beberapa bulan berselang, Opaku meninggal.”“Oh... aku turut berduka cita,” jawab Serenada. Tangannya

menyentuh bahu sahabatnya.“Sewaktu hidup, aku sering kasihan melihatnya. Ia tak

berdaya, selalu duduk di kursi roda dan sering sakit-sakitan.””Mungkin Tuhan sudah memilih yang terbaik untuknya.”Renee mengangguk.“Kau akan lama tinggal di sini?” tanya Nada.“Selamanya.””Selamanya?”Renee mengangguk, ”Sejak Opa meninggal, aku memutuskan

untuk pindah ke Indonesia, karena aku merasa Indonesia adalah rumahku yang sebenarnya. Selain itu, aku ingin menunaikan amanat Opa untuk menaburkan abu jenazahnya di jembatan Sungai Cikapundung.”

“Kau yakin akan tinggal di sini selamanya?”Renee mengangguk, ”I made up my mind,” ucapnya

tersenyum.“Benarkah?”Renee mengangguk untuk kesekian kali.”Kalau begitu,” ucap Nada, bangkit dan menghampiri

Renee, “kita akan selalu bersama,” ucapnya girang sembari mengguncang-guncangkan bahu Renee, tertawa renyah.

“Iya…, tapi jangan terlalu kuat, pundakku sakit!” pinta Renee meringis.

“Oh... maaf. Aku histeris. Aku benar-benar bahagia bisa bersamamu lagi,” ujarnya. lalu kedua tangannya merengkuh dan mendekapnya lagi.

Di dalam dekapan Renee, pandangan Nada tak sengaja melihat kain kanvas terbingkai yang terbentang pada easel di tepi pagar beranda.

“Luar biasa!” decak kagum Nada spontan dalam keterpanaan pada keindahan lukisan itu. Ia melepaskan rangkulan dan

188 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 189

berjalan mendekati lukisan pemandangan itu. Renee menoleh, tersungging senyum bibirnya mendengar pujian Nada.

“Lukisan itu belum selesai. Perlu beberapa minggu lagi untuk sempurna,” tukasnya.

“Kau sangat berbakat, Renee,” puji Serenada.“Inspirasi lukisan itulah yang membuatnya punya jiwa.”

ungkapnya.Nada dan Renee duduk menghadap ke arah perbukitan

hijau. Suasana beranda rumah itu terlihat kuning keemasan karena sorotan matahari sore.

“Setiap lukisan mempunyai inspirasi.” ucap Renee, “bagi lukisan, inspirasi adalah jiwa.”

Nada terkagum-kagum dengan keindahan lukisan itu. Matanya memandang lekat pada lukisan yang didominasi pemandangan perkebunan teh itu. Di tengahnya terdapat sebuah telaga indah berlatar belakang siluet gunung yang membiru. Suasana senja yang cerah. Merah tembaga cahaya matahari memantul pada riak-riak air telaga. Tepat di bawah bulatan terang itu, sepasang manusia di atas perahu kayu tengah mengarungi telaganya. Dua manusia itu tampak bahagia, bermandikan cahaya matahari senja yang jingga. Sosok pria di atas perahu itu mengayuh dayung, selagi sang wanita mendekap tangkai biola.

Nada tak habis pikir kenapa lukisan itu sama dengan apa yang ia impikan, yang dulu pernah ia ceritakan kepada Dika. Mungkinkah Dika menceritakannya kepada Renee mengenai perihal itu? Ia hanya bisa menduga-duga.

“Ngomong-ngomong, dari mana kau dapat inspirasi lukisan itu, Renee?”

Renee mereguk teh hangat dari cangkirnya. Sejenak ia terdiam. Lalu memandangi wajah sabahatnya.

“Pengalamanku saat aku mengunjungi perkebunan teh di Ciwidey. Situ Patenggang. Tiga tahun yang lalu.”

”Lantas, siapa dua orang di atas perahu itu?”“Andai aku bisa seperti mereka. Aku ingin menjadi wanita

anggun di atas perahu itu, bersama dengan pemuda yang mengayuh dayungnya.”

Nada tersenyum. ”Wow..Rupanya sahabatku ini sedang jatuh cinta!” candanya,”kenapa tidak kau buat saja wanita dalam lukisan itu adalah kau dan prianya adalah pemuda idamanmu.”

“Aku berharap demikian.” Tukas Renee, dengan senyum mengembang. Ia merebahkan badannya pada sandaran kursi.

“Lantas, siapa pria itu, pemuda idamanmu itu?”“Seorang pria timur yang setia dan santun. Aku harap ia

akan menemaniku hidup di sebuah desa hijau nan asri, desa yang dikelilingi keindahan hamparan sawah di kaki gunung. ”

“Hmm..Boleh tahu, siapa pria idamanmu itu?” tanya Nada.Renee tersenyum. “Kau masih ingat dengan kisah

kedatanganku di Indonesia yang aku ceritakan waktu dulu?” Serenada menggeleng.“Aduh, maaf. Aku sudah lupa kisah yang mana.”Renee melanjutkan ucapannya, “Dia adalah pemuda yang

menolongku saat aku baru menginjakkan kaki di Indonesia. Dialah orang yang menemukan agendaku. Jika saja aku tak bertemu dengannya, niscaya nasibku di Indonesia akan sama sepertimu saat kehilangan paspor.”

Serenada menyimak. Ia meraih pegangan cangkir dan mereguknya. Kedua tangannya menopang dagu.

Renee menegakkan punggungnya dari sandaran kursi rotan. “Orang itu sudah lama kita kenal. Aku dahulu memperkenalkannya kepadamu usai kau konser. Sahabat kita. Kau sudah ingat?”

“Jadi siapa?” tanya Nada semakin penasaran.Renee tersenyum. Ia menikmati rasa penasaran Nada.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju tiang beranda rumah. Pandangannya menengadah, menatap jauh pada awan putih tipis yang berarak di langit.

”Kau lupa?”Nada berpikir sejenak. ”Aku tak ingat persis. Gerhard, Epul,

atau Sarkadhut?”“Tidak satu pun. Lelaki itu adalah… Dika.”

190 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 191

“Dika?”Satu nama terakhir yang diucapkan Renee adalah sebuah

tamparan pedas mendarat di pipi Nada. Wajahnya memerah. Apakah ia salah dengar? Atau apakah ada Dika yang lain? Mungkinkah Dika yang dimaksud sama dengan Dika, belahan hatinya? Hatinya mendadak gelisah. Pikirannya sibuk sendiri menafsirkan berbagai kemungkinan.

“Kurasa aku telah jatuh cinta kepadanya sejak pertama kali bertemu. Rasa itu semakin mendalam.” usai berkata itu, Renee kembali menghampiri kursinya.

Serenada membisu. Ia berusaha menyasari kenyataan, bergelut mengenyahkan kekagetan.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Renee.Serenada tertunduk. Ia tak bisa meraih kata-kata.Renee mengamati sahabatnya yang terdiam kaku. “Nada, kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya prihatin. Ia

heran dengan tingkah laku sahabatnya yang tidak biasa.“Oh...” seru Nada gelagapan. Ia berusaha menguasai diri

saat menyadari sikapnya yang tidak wajar. ”Nothing’s wrong!” jawabnya berbohong.

“Nada, aku sadar. Hidupku seperti jelmaan Opa. Aku cinta Indonesia seperti Opa mencintainya. Aku mencintai pemuda itu seperti ia mencintai istrinya. Aku rela meninggalkan keluargaku di Belanda untuk itu, untuk masa depanku.” papar Renee.

Perasaan Nada tersayat oleh sahabatnya sendiri. Namun, ia sendiri tak kuasa untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Ia tak punya hati menghempaskan impian dan perjuangan sahabat karibnya sendiri. Ia tak tega meremukredamkan perasaan sahabatnya, seandainya ia menceritakan kenyataan yang sebenarnya.

“Tapi, honestly, saat ini aku belum siap jika Dika mengetahuinya. Aku ingin menunggu momen yang tepat untuk mengutarakannya. Nada, maukah kau menjaga rahasia itu, for our friendship’s sake?”

Nada tak menjawab, membisu. Beberapa saat hening. Ia

terburu-buru bangkit.“Maaf, aku mau ke toilet.” ucapnya, lalu menyeruak ke

dalam rumah. Ia lari menuju toilet, lalu mengunci rapat daun pintunya dari dalam. Nada menghadap cermin di atas sebuah wastafel. Di sana, ia menangis sepi, tersedu. Ia tumpahkan air mata yang tertahan sejak tadi sepuasnya. Tak tega ia membiarkan sahabatnya yang berhati lemah lembut itu mengetahui rahasianya. Ia tak ingin membuat perasaannya terluka. Tapi, ia juga sudah terlanjur mencintai Dika. Ia berada di antara dua pilihan, sahabat atau cintanya.

lll

Rehearsal

“Gerbang Brandenburg mempunyai sejarah yang agung. Bangunan itu adalah salah satu ikon bersejarah yang menandakan keterpisahan antara dunia barat dan timur pada masa perang dingin. Sebuah pertarungan dunia barat dengan dunia komunisme.” Papar Mr. Adiansyah, konduktor Bandung Youth Philharmonic Orchestra, di depan sekelompok musisinya. Langkahnya mondar-mandir dari sisi kiri menuju kanan ruangan.

“Tapi,” sambung pria berumur 40 tahun itu, “meskipun begitu, concerto ini digubah jauh sebelum peristiwa pemisahan antara Jerman Barat dan Timur terjadi.”

Pemain biola di jajaran depan ancang-ancang, mengangkat alat musiknya ke atas bahu, lalu mengapitnya dengan dagu. Mereka bersiap menyayat-nyayat dawainya.

“Kita akan memainkan satu dari enam concerto karya Bach, yakni Brandenburg Concerto no. 3.” Ia menaiki undakan dan berdiri di tengah apron. Tangan kanannya mulai menggoyang-goyangkan sebatang tongkat baton yang digenggamnya.

“Satu, dua, tiga...” seru konduktor memberi aba-aba, lalu menggerak-gerakkan batonnya.

Sebanyak 60 musisi di ruangan rehearsal itu serentak mulai

192 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 193

memainkan sebuah konserto Brandenburg no. 3 in G Major karya Bach. Musik mengalir deras. Temponya cepat sekaligus penuh semangat. Beberapa waktu, musik mempertahankan tempo. Namun tak lama kemudian, satu suara biola dari arah jajaran string section yang berada di barisan depan, mencuat pelan tertinggal tempo. Sang konduktor merasa gatal kuping. Ia menghentikan gerakan tongkatnya. Lalu, berjalan menghampiri jajaran pemain biola sembari menepuk-nepukkan baton pada telapak tangan kirinya. Saat ini, ia tertegun di samping kursi dimana Nada duduk di ruang itu. Ia berdiri bersidekap. Ruangan hening. Beberapa pemain biola menurunkan alat musiknya ke pangkuan. Seluruh mata terpaku pada wajah sang konduktor.

“Kamu kurang penghayatan. Ini concerto allegro, kamu pikir ini adagio? Kau harus hidup, semangat!” ujar konduktor berapi-api. Kedua pundaknya berguncang-guncang. Nada tertunduk, wajahnya muram. Ia tak mengindahkan suara itu. Pikirannya sibuk menggumuli dirinya sendiri. Benaknya melayang ke suatu tempat yang jauh.

“Nada, waktu konser tinggal beberapa hari lagi,” sungut pria itu. “Kau mengacaukan sesi latihan ini beberapa kali. Kita harusnya sudah bisa…” tak sampai menuntaskan ucapannya, pria itu sadar bahwa Nada sedang menangis. Di kedua pipinya merambat perlahan butiran air mata.

”Kamu kenapa?” tanya pria itu lagi dengan nada suara yang melunak. Tangannya memegangi bahu Nada. Ia ikut terpekur. Pasti ada sesuatu yang salah dengan ucapannya, pikir pria itu. Nada tak menjawab. Ruang akustik itu hening. Tak ada orang yang berbincang. Tiba-tiba Nada bangkit dari kursi dan menghambur keluar. Semua orang bertanya-tanya. Selepas kepergian Nada, sesi latihan kali itu akhirnya ditutup lebih awal dari biasanya.

lll

RS. Dr. Djundjunan, Bandung

Dika terbujur lemah di ruang perawatan intensif seusai menjalani dua operasi, pemasangan platina di kaki kirinya yang patah dan operasi untuk membenarkan letak beberapa ruas tulang belakang pada bagian lumbal (pinggang). Dokter memberitakan, akibat benturan sewaktu terjatuh, Dika mengalami trauma pada tulang belakang. Dalam istilah kedokteran disebut HNP - Hernia Nucleus Pulposus. Tulang rawan penyekat antarruas pada tulang belakangnya tergeser sehingga nucleus pulposus sentral cakram tulang belakangnya bergeser dari posisi semula. Pergerakan sentral cakram ini menekan jaras saraf paravertebral yang berakibat jaringan saraf menuju kakinya terganggu. Kaki kirinya mengalami kelumpuhan.

Masih ada sisa obat anestesi yang membuatnya belum siuman. Dua selang infus terpasang pada lengannya untuk menjamin asupan nutrisi bagi tubuhnya tercukupi.

Pagi hari, segera setelah mendengar berita tentang kecelakaan yang menimpa salah satu anggota tim ekspedisi, Rektor UNIBA, Bapak Syailendra, langsung menuju Rumah Sakit dr. Djundjunan, tempat dimana Dika menjalani perawatan. Beliau didampingi beberapa pengurus rektorat, di antaranya Bapak Kusuma Atmadja, pembantu rektor III, bidang kemahasiswaan. Mengenakan baju safari dan sepatu hitam mengilap, orang nomor satu di kampus UNIBA itu berjalan berderap melintasi koridor menuju ruang mawar 201, kamar perawatan Dika. Di sana rombongan rektorat menemui seorang ibu yang tengah terisak, duduk di pojok ruangan samping jendela. Wajahnya sayu, beberapa hari ia kurang tidur. Selendang kuning muda melingkar di lehernya.

“Orang tua Dika?” tanya Pak Syailendra menatap ibu itu. Bahunya condong ke depan.

“Betul Pak, saya ibu Dika,” jawabnya. Wajahnya tetap menunduk. Punggung tangannya menyeka air mata di pipinya yang sembab.

Pak Syailendra menarik napas dalam. “Kami turut prihatin dengan kejadian yang menimpa putra Ibu. Mudah-mudahan dia

194 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 195

lekas sembuh.” ucapnya. Kedua alisnya menurun, sedih.“Terima kasih, Pak,” ucapnya terbata-bata di sela-sela

isakannya. Ia tertunduk kembali. Sejenak Pak Syailendra melemparkan pandangan pada Dika yang masih terbujur di tempat tidur. Ia mengalihkan lagi pandangannya.

“Maaf Bu, bukan maksud kami…,” ungkap Pak Syailendra agak ragu. Hati-hati dalam memilih kata. Ia membagi pandangan dengan PR III-nya. Setelah mendapat anggukan, Pak Syailendra meneruskan perkataannya.

“Begini, kami berniat membiayai pengobatan Dika sampai sembuh...” ujar Pak Syailendra pelan.

“Terima kasih, Pak. Tapi, biar kami sendiri yang mengurus biaya pengobatan Dika,” ujar ibu itu. Ia merasa sungkan dengan tawaran penanggungan pengobatan itu.

“Tidak, Bu. Mohon maaf. Apa yang menimpa Dika masih berhubungan dengan kampus. Jadi… izinkan kami untuk menanggung biaya pengobatannya,” tukas Pak Syailendra, memegang bahu wanita paruh baya itu.

“Jangan sungkan, ya Bu. Ini memang tanggung jawab kami. Karena apa yang dia lakukan adalah untuk almamater,” tukas Pak Atmadja menambahkan.

Ibu Dika mengangguk. Ia merasa terharu. “….Terima kasih, Pak.” perkataannya tersendat-sendat.

Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Ia berusaha membendung air mata dan menyekanya dengan selendang.

“Sama-sama, yang penting Dika cepat sembuh. Hmm… mungkin kami tidak bisa lama di sini. Banyak urusan yang harus diselesaikan.” kata Pak Syailendra. Ibu Dika pun mengangguk,

“Sekali lagi terima kasih, Pak.” ucapnya mengangguk khidmat.

Pak Syailendra menghela napas berat. “Kami pamit dulu!”Ibu Dika memberi anggukan ringan.Pak Syailendra beserta rombongan beranjak meninggalkan

ruangan itu. Beberapa saat kemudian, Epul datang setelah kepergian

rombongan rektorat. Di ruang perawatan itu, sedang berkumpul Gerhard, Rida, Victoria, dan Sarkadhut. Kelelahan masih membekas pada wajah-wajah mereka. Sarkadhut dan Gerhard hanya tertegun dan tak berkata apa-apa, sibuk dengan pikirannya. Victoria bersandar di kursi dengan mata terpejam. Wajah Rida menunduk, merebah pada sandaran tangan di kursi yang didudukinya. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang wanita dengan kostum putih dengan menenteng beberapa catatan di tangan.

“Permisi, bisa saya periksa pasiennya?” Gerhard dan Sarkadhut yang berada di sebelah kiri ranjang

beringsut bangkit. “Oh... silakan suster.” ucap mereka Sarkadhut memberi

jalan.“Terima kasih,” ucap perempuan muda itu tersenyum ramah.

Kedatangan perawat itu disusul dengan kepergian Ibu Dika yang bergegas menuju apotek untuk mengambil persediaan obat.

Dengan sangat hati-hati, perawat itu mengecek suhu badan pasien dan memeriksa kondisi kerja organ-organ lainnya. Kemudian, ia mencatatnya di lembar pemeriksaan pasien. Setelah berpamitan, perawat itu pergi meninggalkan ruangan.

Dika beranjak siuman. Tangannya meraba-raba. Matanya mengerjap-ngerjap kesilauan. Epul menghampiri, mengerubung bersama Gerhard dan Sarkadhut.

“Alhamdulillah!” Seru mereka serentak.Pekikan riang Epul disusul oleh Rida dan Victoria yang

menghambur mendekati ranjang. Gerhard merengkuh tangan sahabatnya itu, lalu saling menggenggam. Dika tersenyum, lalu terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan ingatan.

Rida memutuskan untuk bicara, “Dika, semua berlangsung begitu cepat. Setelah kamu terjatuh, kami menghampirimu. Semua lega karena kamu selamat. Lalu, kami memutuskan untuk meminta bantuan tim SAR dan Bang Freddy mengevakuasimu. Pihak rumah sakit di sana merujuk rumah sakit di sini, dengan berbagai pertimbangan. Kami pikir juga, lebih baik jika

196 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 197

perawatanmu tidak terlalu jauh dengan keluarga. Beruntung, waktu itu ada pemberangkatan pesawat Hercules. Jadi secepatnya kamu bisa dibawa ke sini.”

Dika menyimak penjelasannya. Ia menggeliatkan tubuh. Wajahnya meringis kesakitan, saat ia mencoba menggerakkan kaki kirinya, bagian itu bergeming meskipun ia sudah mengerahkan semua tenaganya. Ia baru menyadari bahwa kaki kirinya yang mengalami patah tulang, lumpuh. Kakinya kirinya terasa kebas, mati rasa.

“Kenapa dengan kaki kiriku?” keluhnya, menangis. Pandangannya berkeliling pada para sahabatnya. Keheningan itu berlangsung beberapa saat. Semua terdiam, kelu. Suasana menegangkan. Mereka maklum bahwa Dika pasti merasa kecewa dengan kenyataan bahwa kakinya tidak seperti sediakala. Gerhard membungkuk dan duduk di pinggir ranjang. Ia masih menggenggam tangan kanannya dan berucap,

“Bersabarlah! Sahabatku.” “Civitas merasa bangga dengan prestasi kita, Dika.” sela

Victoria menghiburnya.Meskipun berurai air mata, Dika masih bisa tersenyum. Ia

mengangguk. Pandangannya mengitar, menatap setiap orang di sana bergantian. Tak ada orang yang ia harapkan berada di sampingnya saat ini.

“Nada sudah ke sini?” tanyanya menggigit bibir, menahan kesedihan. Mereka terdiam. Di tengah kebisuan itu, Rida angkat bicara, “Aku sudah mengabarinya, mungkin dia belum sempat ke sini”.

lll

Setelah beberapa minggu mengalami perawatan di rumah sakit, kondisi Dika beranjak menggembirakan. Selain kaki kirinya, semua bagian tubuhnya berfungsi normal. Untuk mengusir jenuh di dalam ruangan perawatannya, ia berniat ke luar kamar. Perlahan, dengan bantuan kursi roda, ia menggelinding perlahan

melewati pintu ruang hingga mencapai teras taman. Matahari rendah bersinar lembut di langit timur. Bayangan

pohon-pohon masih jatuh panjang di rerumputan taman. Meskipun kering, udara terasa sejuk dan hangat. Seekor kupu-kupu hitam berlarik kuning bergerak limbung, terbang kesana-kemari terpisah dari sekawanannya. Sebentar hinggap di bunga sedap malam, kemudian terbang lagi ke bunga bougenvil saat embusan angin mengusirnya untuk berlama-lama.

Dika menatap lepas hamparan rumput taman. Ia tak habis pikir, kenapa Nada sampai saat ini belum menjenguknya. Selama ia berada di rumah sakit, tak pernah sekali pun Nada membesuknya. Mustahil jika ia tidak tahu kejadian yang menimpanya. Bahkan Rida pun sudah mengabarinya melalui ponsel. Apakah ia setega itu? Tidak mungkin! Orang sepertinya tidak mungkin berbuat hal itu, pikirnya.

Di saat yang sama, daun pintu kayu taman berderak membuka. Seorang gadis menyelinap masuk tanpa sepengetahuan Dika. Beberapa saat ia tertegun, mengawasi pria muda yang terduduk di kursi roda. Pandangannya penuh simpati. Di lengan kanannya, tergantung kantong plastik putih.

Dika tertegun. Firasatnya berkata, seseorang hadir di sana. Perlahan, pandangannya memutar ke belakang, seiring gerakan kursi roda. Tak bisa dipercaya, bahkan meskipun dengan pandangannya sendiri, mendapati seraut wajah tersenyum di ambang pintu itu. Ia mengenali sosok anggun itu. Seorang sahabat yang berbilang tahun tak bersua. Nalurinya terbukti.

“Renee???” gumam Dika, menahan napas beberapa saat. Hampir saja ia mengira bahwa pandangannya adalah ilusi, seperti pandangan seorang musafir kehausan yang melihat fatamorgana oasis di gurun pasir. Pandangannya tak berkedip sekejap pun. Rasa kepiluannya tersingkir oleh keterkejutan yang menyenangkan. Sahabat lamanya sekarang ada di hadapannya.

Renee tersenyum manis. Masih Renee seperti yang dulu. Rambutnya hitam memerah, ikal, dan panjang, jatuh meliuk-liuk di pundak. Kulitnya putih bersih ditumbuhi bulu-bulu halus.

198 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 199

Rahangnya yang kokoh itu terpadu dengan bentuk tulang pipi yang tipis dan sepasang mata yang menjorok ke dalam. Sinar matahari pagi berkilatan di lensa kacamatanya yang bening. Sepasang tatapan sayunya memancarkan rasa iba yang mendalam terhadap penderitaan orang lain. Ia mengenakan cardigan warna merah muda dan rok sebetis berpola bunga-bunga. Kakinya rapi terbungkus sepatu cokelat satin tak berhak tanpa kaos kaki.

Dika masih terpana. Dadanya tak bergerak. Renee masih berdiri di samping gerbang. Beberapa saat kemudian, keterpanaannya mencair menjadi senyum bahagia, mengurai benang-benang kerinduan. Jiwanya melambung mengangkasa. Sebuah pertemuan kembali dengan sahabat lama mengobati kesepiannya. Dika tak pernah membayangkan pertemuan itu bakal terjadi. Tak pernah ia menyangka akan bertemu lagi dengan sahabatnya itu.

Mata Renee berkaca-kaca karena terharu. Kemudian, senyum manis itu semakin melebar.Langkahnya pasti mendekat dan terhenti beberapa meter di depannya. Ia masih Dika seperti yang dulu, masih menerimanya sebagai sahabat. Senyum ramah yang ia miliki masih melekat di dirinya. Hanya saja, badannya terlihat lebih kurus.

Melewati jalan taman yang dibatasi oleh bunga-bunga sedap malam, Renee perlahan mendekati Dika di kursi rodan. Ia hampiri kursi taman, duduk berhadapan. Tak ada yang bicara, keduanya meresapi kebahagiaan penemuan mata air selepas merasakan dahaga perpisahan dalam waktu yang panjang.

“I’m sorry about not telling you that I came. Do you still welcome me?” kalimat itu mengalir halus dari bibirnya.

Dika mengangguk pelan, tersenyum tipis.“You are always welcome, anytime.” jawab Dika. Senyumnya semakin lebar. “How is everything going

there?” tanyanya sumringah. Ia menghirup dalam-dalam udara yang bergelimang parfum beraroma bunga jasmine, wangi yang selalu menyertai gadis Indo-Belanda itu.

“Very well, thanks,” jawab Renee, kemudian duduknya

beringsut mendekat dan mencondongkan badan ke depan. Jemari lentiknya membelai wajah Dika. Pada bagian dahinya, menempel perban. “Oh ya, aku tiba di Indonesia beberapa minggu yang lalu. Tapi aku sibuk harus pulang-pergi mengurus dokumen untuk menjadi WNI. I gather that you…,” perkataan Renee terhenti. Ia tak sanggup menuntaskan perkataan yang ia takut akan membuat sabahatnya sedih.

Dika paham. Ia membalasnya dengan anggukan ringan, lalu menunduk, “Terjadi beberapa hari yang lalu, saat aku di Jaya Wijaya” ungkapnya.

“I’m so sorry,” ucap Renee menunduk, mengamati kaki sahabatnya yang masih terbalut gips putih. Segera saja air bening mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Betapa malangnya, orang yang ia sayangi mengalami nasib seperti itu. Kenapa harus dia yang mengalaminya, pikirnya. Ia paham. Tak ada yang bisa menjamin kaki sahabatnya itu bisa kembali normal.

Teringat sesuatu, badan Renee berbalik. “Oh iya, aku bawakan buah jeruk untukmu.” Tangan kanannya meraih kantong plastik putih di sampingnya. Ia kemudian mengambil sebutir jeruk kuning dari wadah tersebut, lalu mengupas dan memberikannya pada Dika.

“Dika…” ucap Renee dengan anggukan. Tangannya menyuapkan sepasi buah jeruk yang sudah dikupas itu kepadanya. Seolah seorang ibu yang sedang menyuapi bayinya.

“Sekarang, bagaimana kondisi kakimu?” tanya Renee lirih. Sepasang matanya yang biru berkilau lekat memandangnya.

Dika menjawab dengan senyuman kecil. Renee mengangguk paham, lalu berucap,

“Bagaimana pun juga, kalian sudah berhasil menjalankan misi ekpedisi. Seluruh civitas akademika pasti mengapresiasi keberhasilan itu.” hibur Renee.

Dika mengangguk setuju.

“Aku selalu mencoba menemukan the bright side, sisi positifnya. Meskipun terkadang terlintas di benakku untuk menyesali apa yang sudah aku lakukan. Tapi, penyesalan itu

200 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 201

sama saja dengan hidup di masa silam. Menyesal hanya akan menghabiskan energi dan semangat.” sambung Dika.

“Oh ya... kalau kamu tidak keberatan, aku punya sesuatu buat kamu.” ucap Renee.

Dika hanya terdiam, mencari jawaban di kilatan mata sahabatnya. Renee bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar taman. Ia berjalan mendekati mobilnya di pelataran parkir rumah sakit. Ia mengambil benda persegi panjang berukuran kira-kira ¼ ukuran daun pintu dari jok belakangnya. Benda itu masih terbalut kertas putih polos. Setelah benda itu berada di tangannya, ia kembali berjalan memasuki taman dan menghampiri Dika yang masih menunggunya.

“Apa itu, Renee?” tanya Dika. Dahinya mengernyit. Renee menyerahkan benda yang masih terbungkus itu padanya.

“Lukisan. Aku selesaikan beberapa hari yang lalu. Buka saja.” ucapnya, lalu duduk lagi di kursi taman berhadapan dengan Dika. Hatinya berharap-harap Dika akan terpesona dengan benda itu.

Dika menimang-nimangnya beberapa saat, lalu membaliknya. Perlahan, dia sobek kertas pembungkus berwarna putih itu. Lalu, sedikit demi sedikit, wujud lukisan itu semakin jelas terlihat. Beberapa saat ia tidak berkata apa-apa, terpana akan lukisan cat minyak bergambar pemandangan yang menggetarkan hati. Pusat keindahannya adalah sebuah telaga alam yang dikelilingi hamparan perkebunan teh yang menghijau, berlatar belakang siluet gunung biru tua. Suasana senja yang cerah, langit terbalur cahaya matahari yang memerah, terpantul pada riak-riak air telaga. Tepat di bawah bulatan terangnya, siluet sepasang manusia di atas perahu kayu tengah mengarungi tegala menyongsong malam. Dua manusia itu tampak bahagia bermandikan cahaya senja. Sosok pria di atas perahu itu tengah mengayuh dayung. Mengiringinya, sang wanita memainkan biola. Terpisah dari perahu itu, di tepi telaga terdapat kursi kayu di bawah pohon rindang, kosong seolah menyaksikan kebahagiaan mereka berdua.

Wajah Dika memucat kaget. Lukisan itu mengingatkannya kepada Nada beserta impiannya yang dulu ia utarakan kepadanya sewaktu di De Grote Postweg. Ia heran dari mana Renee mendapatkan inspirasinya. Apakah ini hanya kebetulan belaka? Atau apakah Nada pernah menceritakan impiannya kepada orang lain selain dirinya? Dika tercenung beberapa lama. Renee menatapnya dengan perasaan gundah. Takut lukisan itu tidak berkenan baginya.

“Dika, kamu tidak senang dengan lukisan itu?”“Oh,” jawab Dika tergagap, sadar dengan keadaan. “Tidak,

aku benar-benar menyukainya, mengagumkan. Indah sekali.” ucapnya memaksa senyum.

Kekhawatiran Renee mencair mendengar pengakuan itu.“Terima kasih. Syukurlah kamu menyukainya. Jadi, aku

tidak sia-sia membuatnya.” ucapnya.“Oh ya, bagaimana dengan kuliahmu di Amsterdam?” tanya

Dika setelah puas mengamati lukisan itu.“Aku sudah mencoba transfer nilai. Jadi aku bisa

melanjutkan belajar di sini. Lagipula, paling tinggal beberapa SKS lagi.” ucapnya membenahi rambutnya yang terurai. “Aku akan melakukan penelitian mengenai budaya masyarakat Indonesia pascadekolonisasi hingga saat ini. Jadi aku pikir, lebih baik untuk pindah ke Indonesia.”

“Pindah ke Indonesia?” Dika melongo, tak mengerti apa yang sedang direncanakan sabahatnya itu.

”Aku sedang mengurusi peralihan kewarganegaraanku. Aku ingin menjadi WNI.” papar Renee senang.

Dika masih belum paham dengan apa yang diutarakan Renee. Ia masih menduga-duga di balik rencana kepindahannya ke Indonesia. Meskipun demikian, ia enggan untuk bertanya lebih jauh mengenai rasa ingin tahunya. Biarlah ia mengetahuinya seiring berjalannya waktu.

lll

202 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 203

Malam sudah melampaui pertengahan. Suasana di rumah sakit begitu sepi. Temaram cahaya lampu menerangi kamar Mawar 201. Detak jarum jam dinding nyaring terdengar. Di atas kasur terbalut sarung putih, badan Dika menggigil. Malam itu, udara begitu dingin. Meskipun demikian, sekujur badan dan wajahnya bermandikan keringat. Tidurnya resah. Badannya bergerak gelisah. Di pojok ruangan, Renee tertidur di atas sofa.

“Nada... Nada!” igau Dika lantang. Tangannya meraih-raih. Nama itu disebutnya berulang-ulang hingga Renee terjaga kaget. Seketika itu, ia menghampiri bibir ranjang dan meraih badannya.

“Dika, ada apa?” tangannya mengguncang-guncang tubuh Dika.

“Nada?” ucap Dika setengah sadar. Matanya separuh terbuka.

“Bukan, ini aku, Renee,” jawabnya sedikit kecewa.Dika membuka mata. perlahan, kesadarannya terkumpul.

Pandangannya semakin jelas. Ia menyesal sudah keliru berucap.“Oh, maaf, Renee...” ucap Dika masih sedikit kaget.Renee mengangguk setengah hati. Kedua lengannya

membujuk Dika untuk tidur kembali, lalu menyelimutinya.

Dika kembali tertidur. Renee berjalan menuju sofa. Hatinya kecewa karena bukan namanya yang disebut-sebut. Duduk di sofa, matanya tak bisa lekas terpejam. Pikirannya mengembara ke masa lalu, saat ia dan Dika pertama kali bertemu. Hingga pada suatu ketika, ia harus meninggalkan Indonesia karena kakeknya sakit parah.

Apakah aku masih berarti bagi Dika? Apakah Nada lebih berarti baginya dari padaku? Andai saja waktu itu persahabatanku tidak terputus karena kepulanganku ke Belanda.

lll

Pagi menyingsing menggulung malam. Sinar matahari

lembut menerobos kaca jendela kamar. Di luar, langit cerah berwarna biru muda. Awan-awan halus berserak. Dika berbaring di atas ranjang, tetapi matanya tidak terpejam. Langit-langit ruangan terasa tembus pandang. Pikirannya menerawang pada kejadian yang pernah ia lalui. Dingin dan mencekam saat ia dan timnya berada di puncak Jaya Wijaya. Tatapannya berganti kepada Renee. Ia amati wajah lembut yang tertidur lelah di kursi sampingnya. Ia lekat memandanginya. Wajahnya lusuh karena kurang tidur. Betapa setianya Renee menunggu selama ia berada di rumah sakit.

Renee mengerjapkan mata dan tersadar. Batinnya menduga seseorang sedang lekat mengamatinya. Dua pasang mata beradu pandang. Ia tersenyum dalam keletihan. ”Pagi!” sapa Renee.

”Pagi juga.” Dika tersenyum balik. “Kamu pulang saja, Renee. Aku bisa mengurus sendiri, kok!” ucapnya, ”lagipula, ibuku hari ini libur kerja.”

“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Yang penting kamu cepat sembuh agar bisa lekas pulang,” ucap Renee. Kedua tangannya meraih kaca mata dari side table.

Dika tersenyum, “Terima kasih, Renee, atas bantuanmu selama ini.”

“Ah, that’s what friends are for, Dika,” ucapnya sambil meregangkan kedua tangannya di atas kepala. “Besides, aku senang bisa berarti bagi sahabat.” Lantas ia bangkit menuju kamar mandi untuk cuci muka.

“I’ll make you some sweet tea, then.” ucap Renee di bibir pintu. Pandangannya melirik, lalu melangkahkan kaki memasuki ruangan itu.

Dika mengangguk. Beberapa saat kemudian, Renee keluar dari kamar mandi dan menuju dispenser air untuk membuatkan Dika secangkir teh manis hangat.

“Oh iya, aku mau pulang sebentar. Kamu mau titip apa?” tanya Renee menyodorkan teh hangat beserta beberapa kerat roti yang sudah diolesi selai kepadanya.

204 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 205

“Tidak usah repot-repot, Renee.” Jawabnya. Tangannya menerima nampan yang disodorkan kepadanya. “Semua ini sudah cukup bagiku.”

“Baiklah kalau begitu, aku akan membelikanmu buah-buahan saja untuk membantu masa recovery kamu.”

“Oh ya, tolong ajak Nada ke sini.” ucap Dika.Renee mengangguk pelan. Ia mencoba mengenyahkan

berbagai dugaan karena tak selayaknya ia cemburu terhadap sahabatnya sendiri. Setelah itu, ia berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.

Saat hari hampir menjelang siang, sekitar pukul 10, Renee datang kembali. Di tangan kanannya terdapat sekantung apel. Mukanya cerah berseri.

“Goedemorgen.82” sapanya ceria, lalu duduk di tepi ranjang.

Dika balas tersenyum, “Bagaimana, kau sudah memberitahu Nada untuk ke sini?” tanyanya sumringah penuh harap.

Senyum di wajah Renee sirna seketika. Hatinya tersayat cemburu meskipun sudah mencoba mengenyahkannya.

“Aku sudah mencoba mengontaknya, tapi tak ada jawaban.” jawabnya ketus.

Wajah Dika melayu. Ia merebahkan badannya lagi.“Andai saja ada Nada, mungkin ia akan menghiburku dengan

sayatan biolanya,” gumamnya berandai-andai. Tatapannya kosong ke arah langit-langit ruangan.

“Sudahlah, Dika, kan masih ada aku,” ucap Renee sedikit ketus. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa iri dan cemburunya. Kehadiran Nada ternyata lebih berarti bagi Dika dibanding dirinya.

lll

Jl. Kejaksaan, Braga

Saat ini, sudah hampir seminggu Dika berada di rumah 82 Selamat pagi

setelah kepulangannya dari rumah sakit. Meskipun sudah menjalani operasi pada tulang belakang, kaki kirinya masih lumpuh, terbalut gips untuk merekatkan tulangnya yang terpisah. Perlu waktu beberapa bulan lagi untuk menyembuhkan ligamen pada silinder korpus vertebra (ruas penyusun tulang belakang) yang tergeser. Pada saat yang sama, ia juga butuh waktu untuk penyatuan kembali tulang kaki kirinya.

Ia duduk di atas kursi roda, memandang lepas ke luar jendela rumahnya. Seketika itu, ia teringat pada Nada. Dipandanginya sehelai saputangan tipis berwarna cokelat yang terakhir kali diberikan Nada sebelum keberangkatannya ke Papua. Ia meremas-remasnya di dalam genggaman, lalu menghirupnya dalam-dalam.

Buku yang sedang ia baca ditangkupkannya di atas pangkuan. Kedua tangannya memutar roda kursi, meluncur mendekati meja pesawat telefon. Setelah meraih buku alamat yang terletak di atas meja, tangannya sibuk mencari nomor telefon Nada dari buku itu. Ketika menemukannya, jarinya langsung menekan beberapa nomor yang dituju. Namun gagal, hanya kotak suara ponsel Nada yang menjawab. Diulanginya beberapa kali, tetap saja tidak berhasil. Kali ini, ia coba menghubungi telefon rumah. Terdengar nada tersambung. Beberapa saat ia menunggu telefon diangkat. Akan tetapi, tetap tak ada yang mengangkat. Bisa jadi tidak ada orang di rumah, simpulnya. Berat hati, ia letakkan gagang telefon itu, lalu meluncur menuju taman di belakang rumah.

“Kenapa Nada tidak pernah menjenguk saat aku di rumah sakit? Dan kenapa ia tidak pernah membalas atau menerima panggilan telefon?” pertanyaan itu berkecamuk di pikiran Dika.

Beberapa minggu berselang, kondisi Dika semakin membaik. Saat ini, kaki kananya sudah bisa berjalan dengan sokongan tongkat di kedua tangannya. Ia tak perlu lagi menggunakan kursi roda. Namun dokter menasihati, ia harus tetap menjaga kondisi kakinya. Sebisa mungkin menghindari membawa beban berat. Untuk menghindari rasa ngilu mengingat platina masih tertanam

206 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 207

di dalam kakinya, dokter menyarankan untuk tidak berada pada suhu terlalu dingin.

Hari sabtu. Seperti perbincangan dengan Nada terakhir kali, Dika memenuhi janji. Ia pergi ke De Grote Postweg Bandung 0.00 km. Setangkai bunga Jaya Wijaya di genggaman tangannya. Ia berdiri mematung di sisi monumen. Beberapa jam penantiannnya bersabar. Ia yakin, Nada takkan melupakan janjinya. Namun, orang yang ia nanti tak kunjung tiba. Sudah berjam-jam ia menunggu di tempat itu. Ia mulai kecewa. Lelah menunggu di sana, ia beranjak ke tempat saat dirinya mengungkapkan niatnya—depan Gedung Merdeka. Sayang, ia tak menemukan siapa-siapa, selain beberapa anak jalanan yang sedang bercengkerama.

Di ujung jalan sebelah barat, Nada tengah memerhatikannya. Ia tak melupakan janjinya. Namun, ia tak berani menampakkan diri. Hanya mengintip dari balik gedung. Berulang kali ponselnya berbunyi, panggilan telefon dari Dika itu sengaja ia abaikan. Sebenarnya, ia tak ingin melangkah mundur, menarik ulang ucapannya. Ia baru saja membulatkan tekad, mengambil risiko. Akan tetapi, risiko itu ternyata begitu besar. Seandainya mungkin, ia akan memilih Dika tanpa menyakiti sahabatnya, Renee. Melihat belahan jiwanya setia menunggunya hingga larut, hatinya mengharu-biru. Ia tak tega membiarkannya sangat kecewa. Tapi, ia tak punya pilihan lain. Ia lebih baik menderita demi sahabat daripada membiarkannya terluka.

Setelah tiga jam penantiannya yang sia-sia, Dika bangkit dari undakan tangga pintu masuk gedung. Rasa kecewa menggenangi benaknya. Sewaktu jam tangannya merujuk jam 9.00 malam, ia meninggalkan tempat tersebut dalam kehampaan menuju arah timur. Jalan tertatih dipapah tongkat logam di lengan kiri, ia pergi. Pandangan tersembunyi Nada menyaksikannya di sebelah barat gedung. Ia melepasnya dengan perasaan remuk redam. Namun, ia harus menerima kenyataan pahit itu. Tekadnya sudah bulat. Ia harus menjauhi Dika. Demi sahabatnya, Renee.

lll

Di ruang tamu, Dika sibuk mengotak-atik telefon genggamnya. Semenjak terjatuh sewaktu di Jaya Wijaya, LCD ponselnya bermasalah. Tulisan pada layarnya tak terbaca jelas. Terpaksa ia memelototinya saat mencoba memindahkan nomor telefon dari phonebook ke atas selembar kertas.

Dari pintu tengah, ibu Dika muncul menghampirinya.“Dika, kau sudah makan?” tanyanya.Dika menggeleng, tanpa beralih pandangan dari benda di

tangannya.“Makanlah dulu. Ibu sudah memasak sayur asem

kesukaanmu.” ucapnya sembari mengelus-elus anak kesayangannya itu.

“Baik, Bu. Sebentar lagi” ucapnya.“Ibu mau ke kantor, kamu hati-hati ya di rumah,” ucapnya

sembari memberi kecupan sayang di kening Dika. Dika menengadah dan tersenyum. Ia pandangi sosok ibunya yang berjalan keluar hingga menghilang di balik pintu taman.

Tak lama berselang, suara mesin mobil terdengar mendekat, lalu sepi kembali. Pintu taman berderak dan menyembul sosok Renee dari baliknya.

“Selamat pagi.” sapanya dengan wajah merona saat berada di ambang pintu rumah. Dika mengangkat wajah dan mempersilahkannya masuk. Perhatiannya tercurah kembali pada kesibukannya semula, pada ponselnya. Renee merasa sikap Dika yang ’dingin’ tidak seperti biasa.

Renee duduk di kursi, berdampingan dengannya. Dika hanya meliriknya sebentar, tanpa berkata-kata. Merasa tak diacuhkan, Renee sedikit jengkel. Ia membuang

pandangan dan secara tidak sengaja perhatiannya tertuju pada dinding ruangan itu. Ia sadar bahwa lukisan pemberiannya tidak dipasang di tempat semula, pada dinding ruang tamu itu.

“Dika, di mana lukisan itu?” tanya Renee kalut. Matanya mengitari setiap sisi dinding ruangan itu.

“Lukisan yang mana, Renee?” tanya Dika datar. Wajahnya kembali menunduk ke arah ponselnya. Ia sedang menyibukkan

208 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 209

diri, mencoba melupakan kekecewaan akibat perlakuan Nada beberapa hari yang lalu. Kini, ia harus bisa menerima sikap Nada dan harus bisa melupakannya.

“Lukisan pemberianku,” tangan Renee menunjuk ke arah dinding di depannya. “Kamu pindahkan ke mana lukisan pemberianku?”

Dika berpikir sejenak. Lukisan itu sudah ia pindahkan ke dalam gudang. Karena, setiap melihat lukisan itu, ia selalu teringat kepada Nada dan impiannya. Tidak ada niat di hatinya untuk mengenyahkan lukisan itu dengan sengaja. Ia hanya kecewa dengan Nada yang tidak menepati janjinya. Dengan memindahkan lukisan itu, ia ingin melupakan Nada beserta impiannya.

“A...A...aku...” ucapnya tak sempurna. Ia merasa bersalah.Renee merasa tersinggung tiba-tiba. Ia bangkit dari

duduknya, “Kamu apakan lukisanku?” Renee menatapnya tajam.

“Maaf, Renee. Benda itu aku simpan di gudang,” ucapnya pelan. Wajahnya sedikit mengangkat. Tangannya masih memegangi pena dan selembar kertas. Telefon genggam ia simpan di atas pangkuannya, ”tapi, aku tak bermaksud...”

“Gudang? Kenapa kau simpan di gudang? Tidak adakah tempat yang lebih layak dari itu? Kenapa tidak kau buang saja sekalian?” teriaknya marah, merasa tidak dihargai.

“Tapi, Renee. Itu sekarang lukisanku. Jadi aku berhak memperlakukannya apa yang terbaik menurut pertimbanganku. Itu tidak seperti yang kau kira...” belanya.

“Tidak seperti itu!”“Kenapa kau marah?”“Kau tidak menghargaiku!” teriaknya, lalu menunduk. “Kenapa kau begitu sentimentil?”“Kau sungguh tega!” teriak Renee, lalu berlari keluar

rumah.Suara mesin mobil terdengar meraung. Tak berapa lama

suara itu terdengar mengecil dan menghilang. Sepeninggal Renee, Dika termenung, mencoba berempati dengan perasaan sahabatnya. Layakkah ia berbuat seperti itu? Apakah salah?

Sesampai di rumah, Renee langsung masuk ke dalam kamar. Ia mengurung diri selama beberapa saat. Duduk termenung di tepi ranjang, ia berada di depan cermin lemari riasnya. Matanya sembab karena menangis, mengingat perlakuan Dika baru saja. Ponselnya yang tergeletak di kasur hanya ia lirik beberapa kali, bergetar saat beberapa telefon masuk. Ia sengaja mengaktifkan silent mode pada ponselnya. Beberapa panggilan tak terjawab dari Dika sengaja ia abaikan. Tak lama kemudian, masuklah pesan singkat. Renee meraih ponselnya, lalu membuka pesan itu sambil terisak.

“Renee, maafkan aku. Aku benar-benar tidak berniat seperti itu. Sama sekali tak ada niat untuk tidak menghargaimu. Apakah kamu sudi memberi sahabatmu kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya?”(Dika)

Renee sengaja membiarkannya. Ia benar-benar merasa tersinggung dengan perlakuan Dika.

lll

Mencari Jawaban

Matahari terik bersinar menikam ubun-ubun para penyusur jalan. Angin berembus bersama debu-debu dari asap knalpot kendaraan. Raungan mesin kendaraan bising dan menderu-deru memekakkan telinga. Di beberapa tempat pada jalan beraspal menuju Lembang, air sisa hujan tempo hari menggenang pada lubang-lubangnya yang menganga.

Dika melangkahkan kakinya perlahan di sepanjang jalan menanjak itu, tertatih ditopang sebuah tongkat logam di tangan kirinya. Wajahnya bermandi peluh. Rasa haus mencekik tenggorokannya. Ia berhenti di kios kaki lima untuk membeli sebotol minuman dingin. Berulang kali ia menengadah ke arah

210 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 211

langit. Tampaknya cuaca tetap akan terik.Setelah mendapat kembalian uangnya dari penjual minuman

itu, ia berjalan kembali. Sesekali pandangannya menoleh ke belakang. Mobil angkutan kota berwarna putih jurusan Lembang berhenti tepat di depannya, menyusul lambaian tangannya. Melewati Terminal Bis Ledeng, ia turun dari kendaraan tersebut dan berganti kendaraan dengan taksi. Jarang sekali kendaraan umum yang melintasi jalan menuju tempat tinggal Nada. Jika ada pun, penumpang harus menunggu hingga satu jam. Ia meminta pengemudi belok kanan saat mencapai pertigaan Parongpong menuju Cimahi, memasuki jalan beraspal yang lebih sempit. Sekitar lima ratus meter dari pertigaan itu, ia memberi aba-aba berhenti.

Pandangan Dika tertuju kepada sebuah rumah yang tampak lengang di sebelah kirinya. Setelah membayar ongkos sesuai yang tertera di argometer, ia pun menyembul keluar.

“Hati-hati,” kata pengemudi itu sambil mengamatinya dari belakang kemudi.

“Terima kasih, Pak!” jawabnya tersenyum. Taksi itu meluncur kembali meninggalkannya seorang diri di sana.

Saat ini, ia berada di depan sebuah rumah bercat hijau pudar, berarsitektur minimalis. Dindingnya dihiasi oleh garis-garis horisontal berwarna kelabu pekat. Jendelanya tinggi dengan setiap kanopi di atasnya. Bangunan itu mempunyai dua lantai. Pada lantai atas, terdapat balkon kecil pada pintu keluar kamar di samping jendela. Pagar rumahnya dihiasi oleh tanaman sansevieria bercorak kuning hijau, kontras dengan cat dindingnya yang berwarna gelap. Rumah itu menghadap Gunung Tangkuban Perahu arah utara. Di samping jalan terdapat lembah. Agak jauh dari lembah itu terdapat beberapa rumah kaca tanaman hias dan sayuran. Di carport rumah itu, terparkir Zafira merah metalik yang selalu dipakai Nada.

Dika berjalan menghampiri pagar rumah. Tangannya meraih tombol bel dan menekannya. Sayup terdengar bel bernyanyi di dalam rumah. Beberapa saat ia menunggu jawaban, berharap

seseorang muncul dari balik pintu rumah lalu menghampiri pagar. Namun, pintu tetap tertutup. Tak ada orang keluar dari rumah itu. Ia mengulanginya, menekan tombol bel berkali-kali. Sabar menunggu di antara suara bel dengan bel lainnya. Tiga kali, berkali-kali, hingga ia lupa hitungan. Pandangannya berkeliling, mencari seseorang untuk ditanyai. Sia-sia, tak ada orang.

Hatinya mulai galau. Harapan indah yang semula mengisi benaknya saat itu mulai terkikis oleh ketakutan. Upayanya untuk menemui pujaan hatinya haruskah gagal seperti sebelumnya.

Waktu berjalan merambat senja. Langit yang cerah semakin memburam. Di atas, awan-awan berhimpun dan menghitam. Sisa sorotan sinar matahari yang menikam celah gumpalan awan kini tak lagi tampak. Semua sempurna gelap. Pekat.

Angin dingin berembus kencang menusuk-nusuk saraf kakinya dan menampar dedaunan pohon palem tepi jalan. Ia menelungkupi wajahnya dengan tangan, melindungi matanya dari kencangnya terpaan angin. Ia kuatkan tekad, mencoba mengusir linu pada kaki akibat suhu dingin. Tak lama, langit menangis. Hujan turun dengan deras. Namun, ia tak putus harapan. Dia tetap saja berdiri di tempat semula. Guyuran air membasahi seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, pakaian dan rambutnya basah kuyup.

Gigi-giginya gemeretak. Kedua lututnya gemetar menahan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Mehanan dingin, bibirnya membiru.

“Nada... jawablah pertanyaanku. Kenapa kau tak menepati janji?” teriaknya samar bercampur gemuruh hujan.

Dika menunduk lagi. Tangannya menyeka lelehan air hujan dari wajahnya yang memucat kedinginan. Di depan pagar itu, ia tak henti memanggil Nada. Teriakan lantangnya semakin pelan, seolah berbisik. Tubuhnya semakin melemah.

Di sekitarnya tak ada tempat berlindung. Dia hanya melihat sebatang pohon palem yang berdaun renggang. Tongkat logamnya lantas memapahnya berjalan menuju palem itu dan berlindung di bawahnya meskipun sia-sia. Berkali-kali pandangan sayunya tertuju pada jendela kamar di lantai 2. Namun, dia tak melihat

212 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 213

seorang pun, hanya melihat kain gordin warna coklat muda yang tertegun bisu.

Di dalam rumah, Nada mengurung diri di kamarnya. Terduduk di tepi ranjang, tangan kanannya bergerak pelan turun naik menggerakkan busur pada biola yang ia sandarkan di bahu kiri. Alunan tenang ‘Liebestraum No.3’, sebuah komposisi ‘impian cinta’ gubahan Franz Liszt, terbang perlahan dari dawai-dawai biola yang ia gesek. Air matanya berlinang. Pandangannya menerawang menembus cermin pada lemari rias di depannya. Tak kuasa ia mengingat kisah cintanya tak bisa terwujud.

Beberapa kali bel berbunyi membawanya mendekati jendela kamar. Ia sibakkan kain gorden sedikit di ujung jendela, lalu melongokkan pandangan,

“Dika??” Nada terlonjak kaget. Niat semula untuk membuka pintu urung ia lakukan saat

menyadari siapa yang berada di depan rumahnya. Hatinya galau. Ia berdiam diri. Dari celah kain gorden yang sedikit tersibak, ia pandangi sosok yang dikenalnya dekat, berada di luar menunggu jawaban. Dengan segenggam bunga Jaya Wijaya yang basah kuyup di tangan kanannya, sosok itu tak henti berteriak dari luar sana,

“Nada… kenapa kamu tidak menjawab. Kumohon, beri aku kesempatan…kita baru saja melangkah, kau jangan pergi dari kehidupanku…” wajahnya tertunduk. Air matanya berbaur dengan guyuran hujan.

Nada tetap terdiam di dalam kamar.“Maafkan aku. Bukan karena itu aku menjauh, tapi

mengertilah. Aku tak sanggup mengecewakan orang yang bagiku sangat berarti…” gumam Nada di dalam kamar.

“Aku sudah menepati janjiku. Aku menunggumu di De Grote Postweg Bandung 0.00 km. Bukankah kita telah sepakat bahwa hati kita layaknya pecahan batu telaga itu? Hati kita takkan genap jika cinta kita tak menyatu.” ucapnya sambil mengeluarkan pecahan batu telaga dari saku celana.

“Aku mengerti perasaanmu. Aku terpaksa… semoga kau

bahagia dengannya,” bisik Nada pada dirinya, “aku tidak ingin pengorbanan sahabat kita sia-sia.”

Air mata Nada menggenang di kelopak dan menetes. Ia pandangi kertas dalam genggamannya. Dibacanya puisi dari Dika sebaris demi sebaris. Untaian kata yang mengingatkannya pada saat-saat indah di puncak Pangrango. Saat yang paling indah dalam hidupnya. Perlahan tinta yang mengukir untaian kata itu memudar dan buram pada tetesan air mata yang jatuh di atasnya.

Malam mulai jatuh. Di celah-celah gemuruh suara air hujan, lamat terdengar lantunan adzan magrib dari corong pengeras suara masjid. Dika mengurungkan niat untuk tetap di sana. Harapan dan lamunan yang indahnya tak lagi mengisi benaknya, terganti kekecewaan. Secarik kertas yang terikat setangkai bunga Jaya Wijaya ia selipkan pada jeruji pagar rumah itu. Langkahnya tertatih menjauhi tempat itu, di antara curahan air dari langit pada waktu senja yang merayap.

Menyusuri jalan kecil itu, ia terhuyung berjalan. Rasa lapar dan lelah menerjangnya. Tibalah ia di simpang tiga, jalan beraspal sesekali dilewati angkutan kota. Waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam. Pada saat-saat seperti itu, jalan lengang dan mencekam. Tak ada lampu yang menerangi jalan kecil itu. Beberapa lama ia menunggu angkutan umum melintas di bawah lindungan atap bangunan sederhana, sebuah warung pinggir jalan yang sudah terabaikan. Matanya melirik ke arah jam tangannya. Sudah satu jam ia berada di tempat tersebut seorang diri. Namun, kendaraan yang ia tunggu sejak tadi tak kunjung datang. Perasaannya jenuh menunggu. Badannya terus menggigil. Ia menaruh harapan pada setiap kelebatan cahaya mobil yang melintas. Semoga saja kendaraan itu bisa membawanya pulang. Namun, saat sorot cahaya itu mendekat, harapannya segera sirna. Ternyata hanya beberapa mobil pribadi yang melintas tak acuh. Apa boleh buat, setelah menunggu sesuatu yang tak pasti beberapa lama, ia nekad berjalan di tengah guyuran hujan. Dibalutkannya jaket di atas kepala untuk

214 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 215

menahan curahan airnya.

Saat ia berjalan, sepasang lampu depan kendaraan menelan sosoknya dari arah belakang. Sebuah mobil Opel Blazer berplat nomor D 1132 DK menepi di bahu jalan, hanya beberapa langkah di depannya. Sesosok wanita muda menyembul dari pintu depan mobil, lalu menghampirinya di bawah naungan payung hitam.

“Dika!” panggil wanita itu. Suaranya bercampur dengan gemuruh air hujan yang jatuh pada atap mobil. Pekatnya senja menghalangi Dika melihat jelas wajahnya. Sorot lampu belakang mobil hanya menyingkap halimun yang tak begitu tebal di atas permukaan tanah, pada jarak pandang sangat terbatas. Sosok wanita itu mendekati Dika dan berhenti beberapa langkah di depannya.

Dika mematung dalam keheranan. Ia menggumam,“Renee?”“Habis dari mana, Dika?” Renee menyodorkan tangan,

memayunginya. Dika hanya terdiam.“Seharian, aku benar-benar mencemaskanmu,” sambungnya

lagi. “Ayo masuk!” bujuk Renee, mengajaknya masuk ke mobil.Dika merasa agak ragu. Dia masih tertegun.“Ayo, Dika. Kamu nanti sakit kalau kehujanan begini.”Dika menurut. Di bawah naungan payung Renee, ia

melangkah tanpa berkata-kata. Mereka memasuki mobil.Renee memandanginya beberapa saat, “Kamu habis kehujanan,” ujar Renee setelah berada di

belakang kemudi. “Pakailah handuk ini biar agak hangat!” Tangannya menyodorkan handuk kecil kepadanya. Dika pun menerimanya.

“Terima kasih,” jawabnya singkat.“Aku tadi ke rumahmu, tapi kau tak ada. Ibumu pun tak tahu

ke mana kau pergi. Kamu habis dari mana?” tanya Renee.Tangan Dika mengeringkan rambutnya dengan handuk, “Tempat teman,” ucapnya, lalu tersenyum kecil.“Dari tempat Nada?”“Bu… bukan, dari tempat teman,” jawabnya terbata-bata,

sedikit berbohong.Suasana kembali senyap. Dua orang itu canggung untuk

memulai percakapan kembali. Dika masih merasa bersalah dengan perbuatannya tempo hari.

“Renee, maafkan aku atas sikap dan perkataanku beberapa hari yang lalu.” ucap Dika membuka percakapan.

“Sudahlah. Kita tidak perlu membahasnya lagi. Aku juga minta maaf jika waktu itu aku emosional.” jawab Renee sedikit tersenyum.

Dalam derasnya hujan, mobil itu menerobos malam, membelah kabut, meninggalkan dinginnya hawa Bandung utara. Sebelah kiri dan kanan jalan tumbuh semak perdu, diselingi pepohonan berkayu yang tumbuh liar. Rumah-rumah mewah tampak terkucil pada lahan-lahan kosong. Sepanjang jalan, sedikit sekali terjadi perbincangan. Kedua orang itu asyik meresapi pikirannya yang mengembara, menembus rinai hujan dalam pekatnya malam. Renee membagi konsentrasi dengan kemudinya. Gerakan wiper mobil lincah bolak-balik menyeka genangan air hujan di kaca depan. Sesekali, kilatan wajah mereka nampak terang oleh sorotan lampu depan mobil yang berpapasan.

Satu jam lebih perjalanan, sampailah mereka di depan rumah Dika. Renee menghentikan mobilnya. Kekakuan tetap tak mencair. Keduanya hanya terdiam. Dika ragu untuk mengucapkan sesuatu, meski hanya ucapan terima kasih atau selamat tinggal. Ia tertunduk, lalu memberanikan menatap Renee sejenak untuk memberi senyum,

“Terima kasih, Renee.”Renee mengangguk ringan dengan senyuman. Segera, Dika

turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah di bawah rintik hujan yang mulai reda. Tatapan mata Renee mengantarkannya hingga di depan pintu rumah. Sesaat sebelum menutup pintu, Dika menoleh, pandangan matanya mengisyaratkan selamat jalan kepada Renee hingga mobil yang membawanya itu melaju.

216 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 217

lll

Kampus UNIBA, September 2003

Beberapa bulan pascakecelakaan dalam ekspedisinya, baru kali ini Dika mengunjungi kampusnya lagi. Ia berjalan di sepanjang koridor yang menghubungkan Gedung Dekanat Fakultas Teknologi Industri Pertanian dengan sport hall. Tiga bulan tak dikunjungi, tak banyak perubahan yang berarti. Satu-satunya perubahan yang mencolok adalah cat dinding yang berganti warna menjadi kuning pudar. Ia amati keadaan taman kampus. Kursi kayu taman itu masih seperti dulu. Sekumpulan mahasiswa yang duduk di atasnya sedang asyik berbincang menghabiskan waktu istirahat. Beberapa mahasiswa berkostum olah raga berlarian, saling berebut bola, dan berlomba memasukkannya ke dalam ring di lapangan bola basket.

Puas menyaksikan keriangan mahasiswa di taman, ia alihkan pandangannya pada majalah dinding di ujung koridor. Poster seukuran A2 berwarna cokelat muda tertempel di sana. Merasa tertarik, ia berjalan mendekati papan majalah dinding itu. Di selembar kayu tipis terlindung kaca transparan, terpampang beberapa info tentang kegiatan kampus. Terdapat banyak sekali berita, opini, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya. Salah satu poster memuat kegiatan solidaritas mahasiswa atas bencana tanah longsor yang terjadi di Cikalong Wetan, Bandung. Tanpa disengaja, pandangannya tertumbuk pada poster:

Bandung Youth Philharmonic Orchestra

Mr. Adiansyah

Principal Conductor-Music Director

“Twilight Symphony”

Beethoven’s Piano Concerto no. 4 in G Major, op. 58

Beethoven’s Piano Sonata no. 32, op. 111

Matanya terbelalak. Dibacanya poster itu dengan antusias. Dari bibirnya yang membaca tanpa suara, tampak senyumnya mengembang. Telunjuk tangan kirinya berjalan, memandu mata membaca kata demi kata di atas lembar kertas itu. Tangannya menyasari tas gendongnya, mencari pena. Pandangannya tetap tertuju ke poster itu.

“Ini dia!” serunya girang, “pasti Nada tampil.” Tangannya mengepal bersemangat. Kemudian, dia melanjutkan membaca baris-baris selanjutnya.

September 16th 2003 on 8 pm onward

Venue : UNIBA Concert Hall

Dua minggu lagi! Di atas telapak tangan kirinya, ia mencatat jam dan tanggal

yang tertera pada poster itu. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan tempat itu dengan penuh harapan.

lll

Malam tanggal 16 September 2003, Dika menunggu cemas di pintu masuk gedung konser UNIBA. Ia sudah meneguhkan tekad untuk bertemu Nada, mengurai benang masalah yang tak ia pahami. Ia berdiri menunggu di depan meja registrasi, sepi dalam kegaduhan hilir mudik manusia-manusia pecinta seni yang berjalan memasuki tempat pertunjukan. Nanti pukul 8.00, konser musik dalam rangka penggalangan dana untuk korban bencana tanah longsor di Cikalong Wetan, Bandung yang terjadi awal September lalu, akan berlangsung. Halaman parkir gedung sudah dijejali kendaraan roda dua dan empat. Para penggemar musik klasik mengerubung di pintu masuk aula.

Beberapa saat berdiri menunggu, Dika mulai resah. Apakah ia berhasil menemui Nada? Pandangannya tertuju pada setiap wajah yang melewatinya. Pikirannya diliputi berbagai macam

218 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 219

dugaan. Beberapa kali ia menoleh ke arloji Casio hitam di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.00, satu jam lagi, pertunjukan akan dimulai. Akan tetapi, orang yang dinantinya tak kunjung muncul.

Lebih dari satu jam ia berdiri di mulut pintu gedung. Rasa pegal dan kelelahan menyerang kakinya. Akhirnya, ia berlalu menuju kursi taman yang terletak di samping gerbang masuk. Tak mau kecolongan, pandangannya lekat pada jalan masuk membelah taman yang dibatasi oleh tanaman sansevieria di kedua sisinya. Suara-suara gemeretak terdengar saat alas kaki para pengunjung beradu dengan bebatuan di jalan taman.

Sesaat berlalunya sepasang remaja, sebuah mobil menyeruak masuk menuju pelataran parkir yang tidak begitu jauh dari taman tersebut. Dari pintu depan mobil warna merah metalik itu, menyembul seorang gadis berparas elok. Ia berputar menuju pintu belakang mobil, membukanya lalu mendorongnya kencang setelah mengambil kotak biola berwarna hitam. Sesaat alarm pengunci pintunya berbunyi. Ia melangkah mendekati gedung konser sambil menenteng benda hitam itu, menuju pintu belakang gedung. Melewati beberapa petugas keamanan berseragam biru tua, ia tersenyum.

“Nada?” gumam Dika saat pandangannya tertumbuk pada sosok gadis yang mengenakan blus warna merah. Tangan kanannya menenteng kotak biola ’Guarneri’ berwarna hitam.

“NADAA...!” teriak Dika lepas. Ia menghambur, berlari mendekat. Buku yang sedang ia baca jatuh tertelungkup di tanah sekitar kursi taman. Meskipun kakinya tertatih, langkahnya cepat melintasi hamparan rumput taman. Larinya tergopoh-gopoh.

Beberapa orang kaget menghujamkan tatapan pada sosok Dika karena teriakannya yang lantang dan lepas.

Menyadari seseorang meneriakkan namanya, Nada berhenti melangkah. Ia mengingat-ingat suara itu. Ia hafal. Ia menduga-duganya. Wajahnya menoleh. Tepat. Benar Dika!

Saat menatap wajah itu dari kejauhan, hatinya menegang.

Nada memalingkan wajah seketika itu juga dan berbalik, melangkah tergesa menaiki undakan menuju pintu masuk gedung bagian belakang. Suara beradu hak sepatunya dengan lantai lantang dan kerap terdengar. Rambutnya yang jatuh sebahu terlihat berkibar-kibar di belakangnya. Ia mencoba tak peduli pada suara yang meneriakkan namanya. Tekadnya sudah kuat, menganggap bahwa Dika adalah masa lalu.

“NADA.., TUNGGU AKU!” teriak Dika membuntuti. Teriakan itu adalah sebuah tepi pengharapan. Usahanya

adalah bukti bahwa ia benar-benar mencintai Nada setulus hati. Nada sadar seberapa besar usaha yang sudah dilakukan

Dika untuk kembali kepadanya. Rasa iba menyelusup ke dalam hatinya. Nada menghentikan langkah. Ia berdiri mematung. Wajahnya menunduk. Ia terombang-ambing.

Dika mendekat. Ia terhenti beberapa langkah di belakangnya,

“Nada, beri aku penjelasan! Tolong jelaskan padaku, bahwa ucapanmu ketika di Telaga Patenggang adalah sebuah kesalahan. Bahwa kau sebenarnya tidak mencintaiku.” ucap Dika di sela-sela napasnya yang tersengal. Keringat mengucur di dahinya, merambat melalui rahang hingga ke dagu. Rambut di sekitarnya lusuh dan basah.

Nada memalingkan wajah, berusaha membuang pandangan. Matanya mencoba terpejam untuk menenangkan kekalutan. Tangan kirinya mengusap kening. Ia ingin membuang beban yang dirasakan.

”Bukan itu”, bisik Nada dalam hati. Cahaya remang lampu tak sanggup menguak ekspresi di

wajahnya. Ia tak berucap sepatah kata pun. Berhasil membuang kepedihannya, ia meneruskan langkahnya.

“Nada... bicaralah Nada, aku mohon!” Pinta Dika dengan suara gemetar, ”ucapkan beberapa kata!”

Nada tampak ragu. Lidahnya kelu meski untuk mengucapkan satu kata. Ia mencoba bersikap tegar.

“Nada...! aku mohon, bicaralah!” teriak Dika.

220 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 221

Langkah Nada terhenti. Ia berbalik badan.”Ya, semua itu adalah kesalahan! Apa yang kukatakan

padamu waktu itu adalah keliru!” teriak Nada.”Kenapa? ”Aku benci kamu! Aku tidak mencintaimu.” ulang Nada. Ia

menahan tangis.”Tidak mungkin! Kau sudah mengutarakan isi hatimu di

Telaga Patenggang, sebelum aku berangkat. Kita satu impian. Sebegitu cepatkah perasaanmu berubah?”

”Keliru! Aku salah memaknai perasaanku waktu itu!” tutupnya. Ia balik badan lagi dan kembali melangkah.

Dika menyusulnya. Ia mencoba menyejajarkan langkah dengan ketergesaan Nada yang berada beberapa meter di depan. Nada terus saja melangkah sampai di pintu masuk panggung utama. Melewati jajaran panitia yang berjaga di pintu masuk, ia tunjukkan tanda anggota orkestranya. Mereka surti dan memberinya jalan.

Dika berlari menyusulnya. Ia mencoba menerobos barikade tiga orang penjaga itu, sembari berteriak memanggil namanya,

“Nada!!” Teriak Dika.Petugas keamanan itu tak memberinya jalan. Mereka saling

merapatkan badan.“Mas, maaf, pintu ini khusus untuk panitia dan anggota

orkestra. Anda tidak boleh masuk!” ungkap penjaga itu tegas saat Dika mencoba menerobos.

“Pak, izinkan saya masuk. Sebentar saja. Saya ingin berbicara dengan gadis tadi.”

Penjaga yang berdiri di tengah menggeleng, “Sayang sekali, Anda tidak bisa masuk,” ujar pria bertubuh besar itu.

”Tapi saya punya tiket untuk konser ini.” Dika merogoh saku celana dan menunjukkan secarik kertas persegi kepada petugas.

”Kalau begitu, silakan anda masuk pintu penonton.”“Sebentar saja, Pak. Saya janji, setelah itu saya akan keluar.

Saya mohon!”Untuk kesekian kalinya, petugas itu menggeleng. Dua orang

temannya membuat penghalang dengan rentangan tangannya. Dika berusaha menerobos barikade yang dibuat oleh tiga orang petugas keamanan itu. Akan tetapi, mereka semakin mendorongnya menjauh dari pintu.

“NADAA...!” teriak Dika. Badannya terdorong-dorong, “aku tahu kau mendengarkan aku! Aku hanya ingin mengatakan, kita bisa meraih impian itu. Kita baru saja melangkah. Aku takkan pernah melupakan impianmu di tugu Bandung 0.00 km.” teriaknya.

Saat mendengar teriakan itu, langkah Nada terhenti di mulut pintu. Ia mememandang Dika beberapa saat. Menyadari begitu besar upayanya, rasa iba terlintas di benaknya. Akan tetapi, tak ada yang bisa ia lakukan. Ia sudah berjanji di depan Renee untuk tidak mengatakan apa-apa.

Petugas-petugas itu bertukar pandang dan mengangguk sebagai isyarat. Lalu badan mereka semakin merangsek Dika ke belakang. Lipatan kertas yang ada di genggaman tangannya terjatuh, lalu terinjak-injak oleh derap langkah tiga orang bertubuh kekar itu. Semakin kuat ia memaksa maju, semakin kuat dorongan para petugas itu. Tangan-tangan mereka begitu kokoh untuk ditembus oleh badannya yang masih sakit. Akhirnya ia pasrah, semakin lunglai, mengalah, dan pergi menjauh.

Dika berjalan lesu meninggalkan ketiga orang tadi. Usahanya untuk berbicara dengan Nada tidak berhasil. Ia menghempaskan badannya di kursi kayu. Di sana, ia terduduk lunglai. Wajahnya yang tertunduk ia benamkan ke dalam tangkupan dua telapak tangannya. Ia mencoba melepaskan sumbatan-sumbatan kesedihannya.

Di ambang pintu Nada tertegun. Ia mengintip dari celahnya. Para petugas membentak Dika yang mencoba memaksa. Tak sanggup melihatnya, ia palingkan pandangan. Mendengar kata-

222 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 223

kata yang diucapkan Dika, air matanya meleleh.

“Dika, maafkan aku,” bisiknya terisak. Kedua tangannya menelungkupi wajahnya yang sembab.

Kedua kakinya terpaku di ambang pintu hingga Dika menghilang dari tempat itu. Perasaan bimbangnya merasuk. Hatinya yang sudah bulat, terombang-ambing kembali. Selepas kepergian Dika, ia memberanikan diri melangkah keluar. Ia sempat melihat secarik kertas terhempas dari tangan Dika sewaktu terdorong petugas keamanan. Pada tanah berkerikil itu, Nada menemukan selembar surat terlipat empat berwarna putih. Permukaannya agak tersobek dan terdapat jejak beberapa alas sepatu di atasnya. Ia membungkuk dan menjumputnya dari tanah itu, kemudian berlari menuju restroom, lalu membacanya.

Teruntuk Mutiara Hatiku.

Bertemu denganmu ibarat gerimis di pagi hari. Sejuk, damai, dan indah. Waktu hujan turun berderai, kita bernaung di bawah rimbunnya tajuk pohon beringin yang masih menyisakan tetesan air hujan mengenai wajahmu. Lalu, kau seka air bening itu dengan punggung tanganmu. Kau tersenyum hangat. Dan hujan pun tak kuasa berlama-lama. Awan gelap pun terburai, matahari menyembul. Tampak di langit barat goresan bianglala yang luar biasa indah. Lalu kita menghambur berlari, menuju pelangi itu. Pelangi itu adalah impian hidup. Keindahan yang selalu ingin kita kejar dan wujudkan.

Aku akan selalu mengingat impianmu, yang kau ucapkan di tugu Bandung 0.00 km, De Grote Postweg. Impian yang akan kuwujudkan sebagai bukti cintaku padamu. Kita akan menempati sebuah rumah kecil sederhana dengan halaman yang luas, di tepi sebuah telaga biru. Di sekitar rumah itu, tumbuh hijaunya pepohonan. Kita akan menempati rumah itu bersama anak-anak kita yang lucu. Tiap sore, kita arungi telaga biru itu dengan perahu kayu, sampai matahari tenggelam di balik gunung. Malamnya kita memainkan serenade aransemen sendiri dan anak-anak akan menjadi penontonnya. Setelah mereka tertidur, kita berdua keluar rumah. Menghabiskan waktu duduk di atas kursi kayu tepi telaga, sambil

memandangi bayang-bayang bulan yang keperakan pada riak air danau itu. Dan juga menatap bintang-bintang yang menyertainya hingga bosan. Esok harinya, kita ajari anak-anak untuk berbagi dengan alam, memberi makan hewan peliharaan di halaman belakang. Induk ayam dengan anaknya yang lucu, kambing, dengan anaknya yang masih menyusui dan tertatih ketika belajar berjalan.

Cinta kita akan abadi. Kita akan saling menyayangi hingga usia menggerogoti tubuh kita. Sampai rambut kita memutih dan badan kita membungkuk. Kamu adalah hidupku. Kamu akan selalu menjadi pelangiku.

Sejak saat itu, aku selalu berharap kepada hujan. Kelak pada akhirnya akan muncul pelangi yang menyingsingkan gelap dan muram. Dan kita berlari untuk meraihnya dalam riang tawa dan sedih sendu. Aku selalu merindukan pelangi yang ada di sorot matamu.

Tak sanggup menahan kesedihan, tangisnya pecah, tersedu. Air matanya terburai pada kedua pipinya.

“Cinta kami memang sulit, sangat sulit untuk diwujudkan. Jika itu hanya akan menjadi kebahagiaan di atas kesedihan orang yang kami cintai. Maafkan aku Dika. Biarkan aku yang menjadi gadis di tepi telaga yang sunyi, menyaksikan kau dan Renee di atas perahu kayu itu.”

lll

Liburan, Pelabuhan Ratu

Hari Sabtu dan Minggu, kuliah libur. Untuk mengusir kejenuhan, Renee mengajak Dika berjalan-jalan ke daerah pantai selatan Jawa Barat, Pelabuhan Ratu.

Terpisah dari Renee, Dika sedang duduk di bibir pantai menghadap laut. Ia asyik menikmati belaian angin laut yang berembus ke daratan, sambil membaca buku.

“DIKA, TOLOONGG…!” pekik Renee. Tangannya meraih-raih di atas kepala. Tubuhnya terombang-ambing oleh hebatnya ombak laut selatan yang bergulung-gulung.

224 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 225

Dika yang sedang membaca buku tak menyadari keadaan di sekitarnya. Telinganya meruncing saat mendengar teriakan jauh dari satu tempat. Wajahnya menegang. Ia mengenal suara itu. Suara sahabatnya, Renee.

Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari atas bongkahan batu karang yang didudukinya. Bukunya terjatuh di atas tanah berpasir dari pangkuannya. Ia menghambur, lari pontang-panting sekuat tenaga mendekati bibir pantai. Semakin tengah, air semakin tinggi, sekarang hampir selutut.

Sahabatnya dalam bahaya. Tak terbayangkan rasa penyesalannya jika ia tidak mampu menyelamatkannya. Sejak kejadian menyakiti hati sahabatnya itu, Dika berjanji dalam hati tidak akan pernah membiarkan sahabatnya menangis. Dari batu karang yang dipijaknya, ia mencebur jauh. Badannya bergerak. Kedua tangannya memutar, meraih-raih mendorong tubuh. Deburan ombak menghalaunya ke arah daratan. Butuh tenaga yang kuat untuk melawanya.

“Renee…! Bertahan! Aku datang!” teriak Dika. Mulutnya megap-megap antara napas dan mengatup untuk menghalau air yang masuk.

“Dika, tolong, pff!” teriak Renee terhalau debur ombak. Kepalanya timbul tenggelam di antara buih-buih air, terombang-ambing tak berdaya. Kepalanya semakin tak tampak, hanya kedua tangannya melambai lemas muncul di permukaan air.

“Renee...” teriaknya kalut. Pandangannya memutar mencari sahabatnya itu. Ia menangkap sosok tangan terkulai, tinggal kepalan yang membuka lemas. Serentak ia mendekati dan meraih tubuhnya. Dengan tangan kanannya, ia apit badan Renee yang sudah lemas. Tangan kirinya mengayuh, mendorong dua tubuh menuju daratan. Mendekati daratan, ia letakkan tubuh Renee di atas pasir pantai yang tak tersapu ombak.

Beberapa saat ia pandangi wajah terkulai tak berdaya itu. Matanya masih terpejam, tubuhnya terbujur. Wajah Renee terlihat pucat, bibirnya menghitam. Beberapa kali Dika menekan-

nekan dadanya, mengeluarkan air yang sempat tertelan. Beberapa gumpalan air sempat keluar dari bibir Renee.

Menunggu adalah saat yang menegangkan. Dika berharap tak ada hal buruk akan terjadi. Ia mondar-mandir dalam kecemasan di samping tubuh Renee yang tergolek di pasir pantai yang kering. Sesekali, ia lemparkan pandangan ke arahnya.

Mata yang terpejam itu perlahan mengerjap-ngerjap silau, membuka pelan, diiringi oleh suara batuk. Pandangan Renee mengeliling. Dika menangkap sorot matanya. Kecemasan yang menghimpit dadanya sirna seketika, seperti halimun yang sirna oleh pancaran sinar mentari yang hangat. Dika menghambur mendekat dan tersenyum,

“Alhamdulillah, Renee. Kamu selamat!” ucap Dika meraih badannya dan membantunya duduk dari terlentang.

Renee masih terbatuk-batuk. Beberapa saat ia limbung. Ia saat ini ingat. Baru saja ia sedang bermain-main dengan air. Karena ingin sekali berenang, akhirnya ia basah-basahan di pinggir pantai. Akan tetapi, ombak pasang tiba-tiba datang menggulung. Tubuhnya terseret ke tengah. Padahal ia tak bisa berenang. Hampir saja ia terseret ombak besar itu seandainya saja Dika tak segera menolongnya.

“Dika?” tanyanya heran. Matanya lekat memandang.“Iya, ini aku. Kenapa?” tanya Dika heran memandang

sahabatnya.”Bagaimana kamu menyelamatkanku?””Ya, aku tadi yang membawamu ke darat, kau hampir

tenggelam. Kenapa?”“Ka...ka...kamu sembuh?” sudut-sudut bibir Renee tertarik

di ujung pipi, lalu tersenyum lebar. “Kamu sembuh! Benar-benar sembuh!” ulang Renee

memandangi sahabatnya. Kedua tangannya mengguncang-guncang bahu Dika.

Beberapa saat Dika tercenung, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya sudah tidak perlu mengenakan tongkat lagi. Ingatannya merunut kepada beberapa kejadian

226 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 227

yang baru saja ia alami. Seingatnya, tongkatnya masih tergeletak di samping bongkahan karang tempat ia duduk, bersama dengan bukunya yang terjatuh. Sekarang ia sadar akan apa yang telah terjadi. Ia tadi berlari, lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang untuk menyelamatkan Renee. Semua dilakukannya tanpa bantuan tongkat.

“Ya, aku sembuh!” ucapnya memandangi kaki kirinya dari ujung hingga pangkal.

“Aku sembuuh...!” pekik Dika, sembari memandang Renee, lalu tersenyum lebar.

Senyuman itu memantik kebahagiaan Renee. Kedua orang itu tertawa bersama, gembira tiada tara. Dika bangkit dan berlari, meningkahi buih-buih yang dibawa ombak terdampar di tepi pantai. Ia terus berlari, meloncat, dan menjauh ke arah barat menuju bulatan matahari yang hampir tenggelam di permukaan laut.

Renee lekat memandanginya bangga. Terima kasih, satu lagi kebahagiaan baginya. Ia layak mendapatkannya, bisik Renee. Lalu ia bangkit dan membuntuti Dika, berlari dengan riang tawa dari kebahagiaan yang tak terperi.

“Dika, tunggu aku!” teriaknya sembari tertawa. Suaranya terbawa deburan ombak. Tangannya melambai-lambai.

Dika terhenti berlari saat sadar akan sesuatu. Dari celananya yang basah kuyup, ia merasakan ada sebuah benda menonjol sebesar genggaman tangan di dalam saku depannya. Penasaran, tangannya menyasari saku. Betapa kagetnya ia. Wajahnya pucat pasi.

Langkah Renee melambat. Beberapa langkah di depannya, Dika berdiri menghadap matahari. Kepalanya tertunduk. Renee menghampirinya.

“Dika, kenapa berhenti? Kita berlari lagi menuju matahari terbenam!” teriak Renee dari belakang. Suaranya bercampur tawa riang. Dika tak menggubrisnya. Renee memutar langkah.

“Dika?” gumamnya kaget.

Dika memandangi sebuah alat GPS83 di genggaman tangannya. Ibu jarinya mengotak-atik beberapa tombol pengaktifnya. Usahanya sia-sia. Alat elektronik yang basah kuyup tersebut sudah tak berfungsi lagi. Ia merasakan sepasang kakinya tak lagi bertenaga, lalu jatuh berlutut di atas pasir menyesali kenyataan.

“Tamatlah riwayatku!” gumamnya.“Dika, kenapa?” tanya Renee keheranan. Ia bersimpuh di

hadapannya.Dika tak menjawab. Rasa penyesalan membekapnya. Alat

GPS yang dipegangnya itu tidak berfungsi lagi karena terendam air sewaktu ia menceburkan diri ke laut.

“Ah… bodohnya aku!” omel Dika pada dirinya. Ia berganti pandang pada Renee. “Tadi, kenapa aku tidak memeriksa sakuku terlebih dahulu?” umpat Dika mendongkol, “Bodoh sekali! Bodoh sekali!” omelnya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.

Mengetahui hal itu, Renee terdiam. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa bersalah. Ia bertanggung jawab atas rusaknya alat itu. Jika saja ia tidak ceroboh dan terhanyut di laut, mungkin Dika tidak harus menceburkan diri untuk menolongnya.

“Apa yang harus aku lakukan?” Dika bicara sendiri. “Semua record rute dan catatan ekspedisi kami ada di dalam alat ini. Yang terakhir adalah sewaktu ke Jaya Wijaya. Aku tidak tahu bagaimana memberitahu semua ini kepada anggota lain jika data itu sekarang sudah lenyap. Data itu sangat berharga. Beberapa di antaranya kami membuat rute pendakian baru, dan di dalam alat inilah koordinatnya kami simpan. Sialnya, aku belum mentransfer semua data itu ke dalam komputerku,” papar Dika. Wajahnya menunduk.

Sudah sejak lama, casing tahan air alat itu rusak.“Dika, maafkan aku…” sesal Renee.Dika tak mengindahkannya, tak sadar Renee sedang

berbicara kepadanya. Ia sibuk membolak-balikkan alat itu.“Sial!” umpatnya, “benar-benar sial!” ia memukul-mukul

83 Global Positioning System, alat untuk menentukan posisi geografis suatu tempat di

bumi dengan bantuan satelit

228 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 229

kepalanya sendiri.Renee merasa seolah Dika menudingnya karena sudah

membuat alat itu rusak. Baginya, perkataan itu seolah memaki dan memarahinya kenapa ia tercebur ke laut. Dia sudah membuat Dika mendongkol dan menyesal. Dialah yang membuat Dika harus menceburkan diri. Dika sedang menumpahkan kemarahan kepada dirinya. Dialah orang yang paling bersalah. Akan tetapi, tak ada kata yang meluncur dari bibirnya yang bergetar. Ia hanya tertunduk. Jemari kedua tangannya terangkum di depan dada. Pelupuk matanya menggenang. Air bening meleleh dari hatinya yang halus dan peka, merambat pelan pada kedua pipinya.

Dalam kekecewaannya, Dika berusaha bangkit dan menengadahkan wajah. Sudahlah, semua sudah terjadi. Tak ada gunanya menyesali kejadian yang telah berlalu. Ia menghela napas berat. Apapun yang terjadi, bagaimana nanti, pikirnya. Ia melemparkan pandangannya ke arah Renee yang tertegun di sampingnya.

“Renee?” tanya Dika terhenyak.Dika tersadar, sahabatnya menangis. Ia menghampirinya.

Renee tetap menunduk.“Kenapa kamu menangis? Coba katakan padaku, apa yang

membuatmu sedih?” tanyanya lagi. Termenung ia beberapa saat mencari jawaban apa yang menyakiti hati Renee. Lalu perasaan bersalahnya mencuat. Ia teringat sikapnya baru saja. Bisa jadi Renee sudah salah paham. Perkataannya baru saja mungkin menyinggung hati Renee.

“Renee, maafkan perkataanku baru saja. Tak ada sedikit pun aku mengarahkan kesalahan ini kepadamu,” sesal Dika. Ia memegang kedua bahu Renee dan meneguhkannya, “Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya memaki ketololanku sendiri. Sungguh!” sesalnya. Ujung jemarinya lalu menyeka air mata dari pipi sahabatnya itu.

Namun, Renee masih terdiam. Air matanya semakin deras mengalir. Ia memalingkan muka. Bibirnya bergetar, namun tak mengucapkan kata-kata.

Dika menarik lengannya. Ia menghela napas berat. ”Baiklah, Renee. Akan kubuktikan bahwa aku tidak marah

padamu. Akan kubuktikan permintaan maafku.” ucapnya. Usai berkata itu, ia berlari menuju bibir pantai. Air laut merendam dua mata kakinya. Di sana, ia menghadap setengah bulatan matahari yang sudah tenggelam di air laut. Ia berteriak sekencang-kencangnya.

”Renee, Maafkan aku! Aku tidak bermaksud menyakitimu!” Mengiringi teriakan lantangnya, ombak bergemuruh berlari

menuju daratan. Gulungan air itu kehilangan daya saat sampai ke daratan, dan menghilang, terjerap pasir-pasir pantai.

lll

Overture

Ciakar, 7 September 2003Kepada Ananda EpulDi Bandung

Semoga keselamatan dan lindungan Allah selalu ada pada diri Epul. Abah di sini juga beserta keluarga dalam keadaan sehat wal afiat.

Sejak krisis ekonomi, perusahaan tempat Abah bekerja mengalami penurunan pesanan, sehingga produksi berkurang. Ini ditambah lagi dengan kenaikan harga bahan baku setelah kenaikan BBM. Berat hati Abah sebetulnya untuk memberi tahu Epul mengenai kondisi keluarga kita. Beberapa bulan yang lalu, harga BBM melonjak naik, produksi krupuk di tempat Abah bekerja sudah tidak sanggup lagi bertahan. Dunungan Abah terpaksa menutup usaha karena sudah tidak sanggup lagi membiayai pekerja. Dunungan Abah pun tidak melanjutkan usahanya. Ia kembali ke

230 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 231

sawah untuk bertanam padi.Saat ini, Abah bekerja serabutan untuk membiayai kebutuhan sehari-

hari. Kadang Abah mengesol sepatu tetangga. Kalau tidak ada pesanan Abah berkeliling ke desa-desa. Kadang kalau lagi tidak kuat berjalan, Abah mangkal di pasar. Lumayan hasilnya untuk menutupi biaya dapur. Hanya itulah pemasukan keluarga saat ini. Sementara hasil ternak Abah gunakan untuk biaya sekolah Neneng dan Deden dan jajan si bungsu.

Hati Abah menangis jika ingat nasib Epul saat ini. Epul tinggal di Kota. Kalau tidak punya uang, pasti Epul tidak bisa makan. Lain dengan di kampung yang masih ada kebun. Abah tidak bisa berbuat banyak untuk Epul. Tapi mudah-mudahan hasil kebun bisa untuk menambah uang kuliah untuk Epul. Maafkan Abah karena Abah tidak bisa memberi banyak seperti orang tua lain. Tapi, dalam shalat malam, Abah selalu berdoa agar Epul diberi kekuatan, pikiran yang terang dan rejeki yang melimpah.

Dalam kondisi apapun, jangan lupa untuk shalat. Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Itulah pesan Nabi junjungan kita. Jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan mengujinya. Jangan pernah sekali pun berkeluh kesah mengenai kehidupan. Semuanya sudah ditakar oleh Allah sesuai kemampuan hamba-Nya. Ingatlah setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Itu saja pesan dari Abah. Doa Abah dan Ambu menyertaimu.

Salam, Abah dan Ambu Siang hari saat Epul berjalan di koridor fakultas, terpampang

pengumuman pada bagian depan Gedung Dekanat Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Selembar kertas yang tertempel pada papan informasi itu cukup menghentikan langkahnya.

Pengumuman

Bagi namanya yang tercantum di bawah ini, segera menghubungi Bagian Kemahasiswaan:

Diki Kurniawan

Dede GunadiEpul Saepul.......................Dugaannya tak akan salah. Semua ini pasti ada kaitannya

dengan SPP yang belum ia bayar selama 2 semester. Terlihat pandangannya berputar, tetapi tidak tahu pasti apa yang dicarinya. Ia mengurungkan niat untuk mengunjungi perpustakaan fakultas. Alih-alih, dia mencoba menenangkan hati dan melangkah masuk ruang dekanat untuk memenuhi panggilan itu.

Ruang dekanat itu terasa dingin, tak bersahabat bagi mahasiswa yang tak mampu seperti dirinya. Di dinding menghadap pintu utama, terpampang foto presiden dan wakil presiden RI, lengkap dengan burung garuda di tengah-tengah. Lalu di bawahnya, berjejer foto-foto dekan fakultas dan beberapa tokoh terkenal yang pernah memegang jabatan Rektor UNIBA beserta dengan bendera almamater. Ia menaiki tangga menuju lantai dua, dimana ruang bagian kemahasiswaan berada.

Di depan pintu ruang bagian kemahasiswaan, tersisa satu kursi tunggu yang tidak terisi. Segera ia mendudukinya. Jajaran kursi itu berada di samping partisi kayu cokelat pembatas antarruangan. Di pojok ruang, tanaman sri rejeki tumbuh pada pot keramik putih berukir. Di atas kursi-kursi yang berjajar searah itu, beberapa mahasiswa sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Pikirannya sibuk membayangkan konsekuensi apa yang bakal diterima oleh mereka yang menyalahi aturan belum membereskan administrasi akademik. Mahasiswa yang duduk di samping Epul bangkit saat namanya dipanggil. Ia masuk ruang eksekusi dengan langkah terseret. Sepasang sepatu kanvasnya berwarna hitam, kumal, dan berlubang dekat jari-jari kakinya. Beberapa saat kemudian, ia muncul dari pintu ruangan dan pergi. Tak ada pertanda pada wajahnya, apakah ia senang atau sedih. Tinggal Epul sendiri di ruangan itu. Tiba gilirannya masuk ruangan tersebut. Bagi mahasiswa tak mampu seperti dirinya, ruangan tersebut terasa angkuh dan tak berperasaan. Ia takut membayangkan sanksi

232 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 233

yang bakal dihadapinya.Setelah mengetuk pintu, kakinya melangkah masuk melewati

pintu yang setengah terbuka.“Permisi, Pak...” sapanya sopan dari ambang pintu.“Kamu Epul Saepul?” sambut lelaki berkacamata dan

berkumis jarang. Rambutnya yang lurus di sisir ke belakang terlihat mengilap.

Epul menjawab dengan anggukan. Ia menghampiri kursi di depan meja berhadapan dengannya.

“Kamu tahu kenapa dipanggil ke ruangan ini?” tanyanya saat pantat Epul sudah mendarat di kursi.

“Mengenai SPP, Pak?” tanya Epul sedikit ragu.“Benar!” jawabnya angkuh. “Berdasarkan laporan dari pusat,

kamu belum melakukan registrasi 2 semester ke belakang.” Matanya menatap wajah Epul dan setumpuk lembaran kertas data mahasiswa bermasalah secara bergantian.

“BUKK!!” tangan orang itu menutup buku laporan yang ia baca. Sekarang ia merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangan bersidekap di depan dadanya. Telunjuk tangan kanannya membenarkan letak rangka kacamatanya yang sedikit melorot.

”Anda mengambil berapa SKS saat ini?” tanyanya tanpa senyum.

”Sayah sekarang semester 9, sedang melakukan penelitian untuk skripsi.”

Petugas tadi geleng-geleng kepala. ”Keterlaluan!” omelnya, ”Anda seharusnya tahu, kan? Sebelum sidang skripsi, anda seharusnya sudah membereskan administrasi, termasuk SPP?”

Epul mematung, menunduk. Ia membisu tak menjawab. “Jadi kapan mau bayar?” tanyanya. Pandangannya

menengadah ke atas, ke arah lampu yang ada di langit-langit dan berganti kepada mahasiswa yang sedang kebingungan di depannya.

“Maaf, Pak. Sayah belum punya uang.”“Pfuu...hh,” desah orang itu, “menurut tata tertib, seharusnya

kamu sudah tidak berhak lagi belajar di sini karena dua kali berturut-turut Anda tidak melakukan registrasi.” ucapnya.

Jari-jari tangan lelaki paruh baya itu menggertak-gertak pada permukaan meja kayu di depannya.

“Kamu masih punya orang tua, kan?”Epul mengangguk, “Tapi bapak sayah sudah beberapa bulan

di PHK dan sekarang kerja serabutan. Penghasilannya hanya cukup untuk membiayai adik-adik sayah yang masih sekolah,” ucap Epul menunduk.

“Bukan alasan! Seharusnya Anda mengikuti prosedur jika tidak mampu membayarnya. Kamu dapat kompensasi kampus, kan?”

Epul menggeleng, “Sudah setahun lalu sayah mengajukan, tapi belum ada kejelasan.”

“Seharusnya Anda bertanya dong, kalau tidak jelas.” tukas orang itu tangkas, tidak mau kalah.

Epul terdiam beberapa saat, “Sayah pikir butuh waktu yang lama untuk dikabulkan menjadi penerima.”

“Alasan!” semprot orang itu memalingkan muka. “Anda jangan berpikir, kuliah itu murah. Masih untung ini PTN, disubsidi pemerintah. Kalau Anda kuliah di swasta biayanya pasti lebih mahal.”

Epul tetap menunduk. Suasana di ruangan itu hening, hanya terdengar gemeretak pelan suara jemari petugas pada permukaan meja kayu yang mengilap. Petugas bagian kemahasiswaan itu terlihat sudah tidak sabar lagi.

“Ingat, ketidakpatuhan ini bisa berakibat pada penjatuhan sanksi drop out pada Anda!” ucap lelaki itu singkat, lalu memutar kursinya menyampingi meja dan bangkit mendekati jendela. Sementara Epul sibuk berpikir, ia berdiri menghadap keluar jendela dengan tangan bersidekap.

Mendengar itu, Epul terhenyak. “Pak, sayah mohon... berilah sayah keringanan...” ibanya.

Lelaki itu menoleh. “Keringanan?” ia mengernyitkan dahi. Ekspresinya dingin. “Maksud kamu?” tanya lelaki itu lagi. Pura-

234 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 235

pura tidak paham.“Sayah minta keringanan dan perpanjangan waktu supaya

sayah punya kesempatan untuk mencari uangnya.” Laki-laki itu berpikir sejenak, “Begini saja,” lalu ia berjalan

menghampiri meja dan duduk kembali. Tangannya menarik laci. Ia mengambil pulpen dan secarik kertas. Ditulisnya beberapa huruf dan angka di atas secarik kertas itu. Kemudian, jarinya meluncurkan kertas itu di atas meja ke arah Epul. “Cukup satu semester saja, saya beri kamu keringanan. Bayarkan paling lambat senin depan.”

Epul ragu meraih kertas yang ada di depannya. Ia melihat sepintas angka dan huruf itu. Deretan huruf seperti nomor rekening bank dengan nama pemiliknya.

“Maksud Bapak?”tanya Epul belum paham.“Tadi kamu minta keringanan, kan? Saya kasih. Semua

data saya yang menghandle. Jadi gampang saja saya ubah status pembayaran Anda menjadi lunas.”

Baru kali ini Epul paham. Sekarang nyatalah bahwa petugas tersebut hendak membelokkan arah uang SPP. Uang itu akan masuk ke rekening pribadi petugas tersebut. Mungkin tak hanya Epul yang mengalami. Bisa jadi beberapa mahasiswa tadi yang menghadap mengalami hal serupa.

“Maksud sayah… keringanan secara resmi, Pak.”Lelaki itu menyeringai, “Kalau tidak mau, terserah. Saya

hanya berniat membantu Anda.” Lalu memutar kursinya lagi menyampingi meja. Kini ia menyibukkan diri dengan komputer yang ada di hadapannya. Entah dia mengetik apa. Yang jelas, tangan kanannya sibuk menggoyang-goyangkan mouse, lalu jari-jari kedua tangannya meloncat-loncat di atas keyboard berwarna putih kekuningan yang sudah dimakan usia.

Tak ada percakapan di antara mereka. Suasana menjadi kaku dan canggung. Epul merasa tidak enak sendiri. Ia pun berpamitan meski tak diacuhkan kepergiannya.

Terlintas dipikirannya untuk meminta dispensasi langsung dari dekan. Wewenangnya lebih tinggi, pikirnya. Jadi petugas

keuangan akan menuruti apa yang dia instruksikan. Gagasan itu pun dicobanya. Mudah-mudahah saja usaha ini berhasil. Ia berjalan menyusuri lorong melewati pintu-pintu ruangan yang masing-masing berpapan nama. Tepat di tengah lorong, di depan pintu ruang yang terdapat meja resepsionis dekanat, ia menghentikan langkah. Seorang wanita muda duduk tegak di balik meja, menghadap layar monitor. Rambutnya yang ikal dipotong pendek menyerupai seorang polwan.

“Permisi, Bu,” sapa Epul saat tiba di depan ruang dekan. Tas yang ia gendong dijinjingnya dengan tangan kanan. Wanita itu melirik sebentar, lalu kembali lagi kepada layar monitor di depannya.

“Maaf Bu, saya mau bertemu dengan Bapak Dekan,” ucap Epul sopan kepada wanita yang berada di samping pintu masuk gedung Dekanat Fakultas Teknologi Industri Pertanian itu.

“Ada keperluan apa?” tanya wanita paruh baya itu agak kurang simpati. Alisnya yang berbulu tipis mengenakan celak hitam pekat. Keriput di daerah pipi menyiratkan ia lebih sering marah dan cemberut dibanding tersenyum. Wanita itu adalah sekretaris dekan yang bertugas mengatur aktivitas dekan.

“Sayah Epul, Bu, mahasiswa semester sembilan.” “Saya tanya keperluan, bukan kamu,” semprot ibu tadi ketus,

lalu beralih sibuk membuka-buka buku administrasi dekanat. Sikap itu tentu saja membuat Epul merasa tidak dihargai.

Namun, ia sabar. Semoga ini menjadi harga yang harus ia bayar demi masa depannya.

“Sayah mau mengajukan dispensasi SPP. Kata bagian kemahasiswaan saya harus mengajukan surat permohonan keringanan untuk itu.”

“Oh...,” jawabnya mencibir, “Sudah buat perjanjian?” “Maksud ibu?”“Beliau sudah tahu kalau kamu mau bertemu dengannya?”

suaranya meninggi.“Eu...belum.” jawab Epul gelagapan. “Kamu ini bagaimana! Dekan itu orang sibuk. Jangan

236 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 237

seenaknya saja mau bertemu.”Epul terdiam. Wanita tadi mengambil beberapa lembar

berkas dari file container. “Nih, formulirnya, kamu isi dulu!” ujar wanita itu sambil

menyodorkan beberapa lembar kertas permohonan bertemu dengan dekan. Epul menuruti permintaannya. Ia lengkapi formulir permohonan itu setelah sebelumnya mencari-cari pulpen dari dalam tas gendong kumalnya yang berwarna biru pudar.

“Jadi, kapan sayah bisa bertemu dengan Pak Dekan?” tanyanya setelah menyerahkan formulir permohonan kepada petugas tersebut.

“Tunggu saja. Saya belum bisa memastikan Beliau ada waktu atau tidak.” Matanya mengamati formulir yang baru saja diisi, “Tulis keperluannya!” tangannya menyodorkan kembali lembar kertas itu kepada Epul. Lagi, Epul menurutinya.

Semua jadi serba tidak jelas. Epul terbentur dengan aturan dan birokrasi yang tidak semestinya dipraktekkan. Ia berpamitan meskipun niatnya bertemu dengan dekan tidak terlaksana. Sebegitu protektifkah sistem pertahanan sehingga suara mahasiswa sendiri sulit untuk sampai?

lll

Beberapa mahasiswa tengah berkumpul di depan Gedung Rektorat UNIBA. Tak sedikit pun Epul tahu, apa yang membuat selembar papan informasi majalah dinding yang selalu penuh dengan kertas-kertas pamflet itu menarik banyak perhatian. Penasaran, ia merangsek mendekati papan itu. Ia mencoba menembus ruang yang tersisa di antara berdirinya sekumpulan orang-orang muda itu. Di papan, terpampang pengumuman peluang beasiswa dari lembaga ternama untuk mahasiswa berprestasi dan kurang mampu. Hatinya girang bukan kepalang. Inilah saatnya ia bisa membantu keluarganya jika mendapatkan beasiswa itu. Jika berhasil mendapatkannya, niscaya ia bisa

melunasi tunggakan SPP-nya. Otomatis nasib kuliahnya akan terselamatkan.

Tapi, nanti dulu, pikirnya. Mari kita lihat persyaratannya dulu. Secara akademis, ia memenuhi semua persyaratan menjadi penerima beasiswa tersebut. IPK-nya di atas angka 3,5 dari skala 4, lumayan tinggi. Kemampuan bahasa satu-satunya yang menjadi kendala. Meskipun begitu, ia mencoba keberuntungannya. Siapa tahu ia mendapatkan beasiswa itu. Bisa jadi ini adalah jalan dari Allah untuk menyelamatkan kuliahku. Tuhan memang adil. Dia tahu apa yang diperlukan hamba-Nya, pikirnya. Ia mencatat beberapa persyaratan yang dipaparkan dalam pamflet itu di atas secarik kertas.

Tak buang waktu, ia lekas pulang ke rumah kontrakannya untuk mengumpulkan beberapa berkas persyaratan. Segera ia mengirimkannya setelah persyaratan lengkap. Seminggu berikutnya, tahapan seleksi pertama berupa tes tulis diadakan di kampus. Beruntung sekali, berkat ketekunannya, ia mampu lolos dari tes tersebut. Peserta yang tersaring hanya 25 orang dari seratus pelamar. Nasib baik akan selalu berpihak kepada orang yang bersungguh-sungguh, pepatah itu yang selalu terngiang di kupingnya. Tahapan kedua adalah wawancara. Ia pun lolos. Sekarang peserta menyusut tinggal 10 orang. Hanya 5 orang yang akan menjadi awardee beasiswa bergengsi tersebut. Minggu depan adalah pelaksanaan seleksi tahap ketiga, sekaligus tahap penentuan lima orang yang berhak mendapatkan beasiswa tersebut, yaitu presentasi penyampaian visi dan motivation statement.

Usai kuliah ia langsung pulang ke rumah kontrakannya di daerah Sekeloa. Seusai shalat isya, ia berdoa agar Tuhan memberinya jalan kemudahan. Tuhan tidak tuli. Ia pasti mendengar doaku, permintaanku. Ia lebih tahu kondisiku yang sebenarnya. Melewati hari yang panjang dan melelahkan, ia pun tak sanggup lagi untuk menahan kantuk. Matanya cepat terpejam. Badannya meringkuk di atas kasur busa tipis tanpa sprei di atas lantai semen. Dalam tidurnya yang sekilas itu,

238 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 239

ia bermimpi. Seorang kakek tua datang menghampirinya. Ia berwasiat kepadanya agar selalu bersabar dan bersungguh-sungguh. Tak ada yang menyangkut mengenai usahanya mendapatkan beasiswa. Terhenyak ia menyimak perkataan orang bijak tersebut. Ia terbangun di tengah malam, tak bisa lagi memejamkan mata.

Besoknya, hari rabu pagi, ia berangkat dari rumah kontrakannya menuju kampus. Pikirannya harap-harap cemas mendekati tempat pengujian. Bagaimana tidak, ini momen sangat penting. Ini merupakan pertaruhan bagi masa depannya. Kesempatan baginya bisa mendapatkan uang untuk pelunasan tunggakan SPP kuliahnya. Ia sudah berjanji kepada dirinya, kelak jika ia mendapatkan beasiswa ini, ia akan sisihkan uangnya secara rutin untuk biaya sekolah adik-adiknya. Dadanya berdegup kencang memasuki ruang tes saat namanya dipanggil. Sebelumnya, tak lupa ia memberi tahu kedua orang tuanya untuk mendoakan keberhasilannya. Melalui surat dari orang tuanya, seluruh keluarganya mendoakan kesuksesannya.

Dengan mengucap basmallah, ia memasuki ruang presentasi itu. Di dalam ruangan tersebut, tampak lima orang penguji: dua orang dari lembaga pemberi beasiswa, dua orang dari pihak dekanat, dan satu orang perwakilan organisasi independen.

“Ceritakan kepada kami mengenai diri Anda!” ucap salah satu examiner.

Tenang sekali, Epul menceritakan tempat asalnya, keluarganya, dan kuliahnya saat ini hingga menceritakan cita-citanya kelak setelah lulus kuliah.

“Tadi Anda menyebutkan tujuan Anda untuk memberikan manfaat bagi tempat asal Anda. Tolong ceritakan lebih rinci lagi!” tanya ibu berkacamata.

Epul menghela napas panjang. Udara ruangan ber-AC itu terasa dingin menusuk-nusuk rongga dadanya,

“Sayah akan berusaha mengaplikasikan ilmu pangan yang sayah miliki ketika kembali ke desa. Langkahnya dimulai dengan membangun pabrik pengolahan pangan. Masyarakat sayah ajak

untuk berperan serta dengan mengolah hasil panen pertanian mereka di pabrik itu. Dengan demikian, produk-produk itu akan mempunyai added value ketika dilempar ke pasar. Masyarakat akan merasakan hasil keringat mereka.”

Ibu itu mengangguk-angguk. Ia tersenyum puas. Suasana senyap beberapa saat. Keempat orang examiner lainnya sibuk mencorat-coret lembar penilaian. Dua orang perwakilan dekanat saling mendekatkan kepala, lalu berbisik-bisik, diikuti oleh anggukan salah seorangnya. Lalu, ia angkat bicara,

“Dari tadi Anda membicarakan tentang rencana ini dan itu. Kami ingin tahu langkah kongkrit Anda. Saat ini, apa langkah nyata Anda sebagai seorang mahasiswa, misalnya, apakah Anda terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan?” tanya orang tadi. Setelah bicara, badannya mengangkat bersandar pada kursi.

Epul terhenyak. Itu adalah pertanyaan terberat dari beberapa pertanyaan sebelumnya. Ia berpikir keras, lalu berucap,

“Terus terang saja…,” ucapnya agak tertekan, “sayah sudah berusaha sebaik mungkin menjadi seorang mahasiswa… belajar dan belajar. Itu bisa Anda lihat dari nilai IPK sayah yang cukup lumayan….”

“Mengenai keaktifan Anda di organisasi kemahasiswaan?” potong orang tadi.

“Sayah… bukannya tidak ingin aktif. Tapi, saya tak punya waktu.…”

“Maksud Anda?” tanya penguji mengangkat wajah dan meletakkan pulpen yang dipegangnya di meja.

“Sehabis kuliah sayah mencari tambahan uang untuk biaya hidup dan kuliah sayah. Jadi, sayah hampir-hampir tak punya waktu untuk mengikuti kegiatan lain….”

“Bagaimana Anda bisa mengaktualisasikan diri di masyarakat jika Anda tidak berlatih dari sekarang?”

Bagi Epul, inilah bagian pengujian yang membuat nilainya meluncur turun beberapa angka. Alasan yang tadi ia kemukakan hanya dianggap sebagai excuse oleh tim penguji.

“Kalau begitu, sayah akan mencoba aktif jika diberi

240 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 241

kesempatan untuk...””Cukup!” potong orang itu, kembali merebahkan badan

pada sandaran kursi.

lll

Seminggu kemudian, hasil seleksi diumumkan melalui surat keputusan panitia tim penyeleksi yang ditempel di depan ruang dekanat. Tak sabar untuk mengetahui hasilnya, Epul bergegas menaiki tangga menuju lantai dua dimana pengumuman kandidat penerima beasiswa dipajang. Di sana beberapa mahasiswa yang masuk seleksi tahap akhir sudah berkerumun.

Alangkah kagetnya dia, beberapa kali membaca tabel yang berisi daftar nama-nama yang berhak mendapat beasiswa. Namanya tak tercantum di dalamnya. Sekujur tubuhnya layu. Mimpinya tak jadi kenyataan. Harapan dan semangat yang sebelumnya menyala-nyala seketika terhempas ke dasar. Betapa lemasnya ketika menyadari bahwa dugaannya meleset. Tepat di sampingnya, dua orang mahasiswa terpekik girang melihat namanya tercantum dalam tabel itu. Mereka saling berangkulan. Wajah seorang mahasiswa lain tampak murung, senasib dengannya. Ia berusaha menahan perih. Epul dan mahasiswa itu berbagi kesabaran. Mereka saling meneguhkan semangat. Rencana Tuhan tidak selalu mudah untuk ditebak dan kadang sulit untuk dipahami.

Ia harus berjuang kembali memunguti kepingan-kepingan semangat yang terserak. Ia akan memberanikan diri untuk mengirim kabar kepada keluarganya di rumah mengenai hal ini. Betapa sakitnya ia saat membayangkan Abahnya sedang duduk di kursi rotan. Dengan mengenakan kaca mata baca, ia membaca surat darinya. Sembari tangannya mengipas-ngipaskan topi anyaman daun pandan ke arah wajah untuk mengusir gerah sehabis berkeliling di pasar. Ia pasti akan melepas kaca mata dan menyeka air mata saat tahu kegagalan itu. Setelah itu, ia akan menyelipkan surat itu di bawah lipatan lemari tengah. Ia tak

pernah membuang surat-surat yang sudah dibacanya. Epul melangkah gontai melewati lorong ruangan menuju

lantai satu. Saat melewati depan ruang bagian kemahasiswaan, ia mendengar percakapan setengah berbisik dari dalam ruang tersebut. Sedikit penasaran, ia melambatkan langkahnya di depan sekat ruang yang terbuat dari papan partikel itu.

“Saya sebetulnya tidak tega menilai mahasiswa yang kurang mampu itu di bawah kualifikasi. Hanya aku tidak berkutik karena kandidat di atasnya adalah keponakan Pak Dekan. Anak itu hanya selisih satu point di bawahnya karena tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan.”

“Tapi, kan, kau seharusnya tahu bahwa prioritas beasiswa itu memang untuk mahasiswa berprestasi, tetapi tak mampu secara finansial.”

“Memang, aku serba salah. Lain kali, aku akan lebih matang dalam melakukan penilaian.”

Miris sekali Epul mendengarnya. Tapi apalah dayanya. Ia hanya seorang mahasiswa biasa jika harus melawan kekuatan birokrasi yang mahahebat di kampusnya. Ia hanya mengurut dada sambil menyeret langkah meninggalkan ruang itu.

Di atas paving block sekitar gerbang kampus, Epul terduduk lesu dalam kebingungan. Ia tak tahu lagi apa yang bisa dilakukan untuk menemukan jalan keluar dari masalahnya. Merasa haus yang mencekik usai berjalan dari fakultasnya, ia tenggak botol air mineral berisi air yang dimasaknya sendiri.

Sebuah mobil mewah BMW melintas di depan hidungnya. Warna catnya biru tua metalik, mulus dan bersih tampak terawat. Samar dari kaca jendelanya tampak pengemudinya seorang mahasiswi mengenakan kaca mata hitam. Hanya seorang diri. Jalan kendaraan itu mulus sekali dan perlahan saat melindas polisi tidur. Melintasi gerbang kampus, kaca jendelanya terbuka. Lalu sebuah lengan mulus dan terawat menyembul dari dalamnya. Tanpa merasa bersalah, tangannya membuang

242 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 243

sesuatu. Melayanglah bungkus plastik snack kosong dari genggaman tangannya, terbang melayang-layang, lalu terjatuh di depan tempat Epul terduduk.

Melihat ironi itu, Epul terpekur. Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Sangat sulit baginya hanya sekedar untuk mempertahankan kuliah. Sementara, sebagian yang lain bergelimang dalam kemewahan? Ia merasa bahwa hidup tak adil. Ia teringat dengan perbincangan yang terjadi di ruang bagian kemahasiswaan. Kata-kata ‘lain kali’ yang diucapkan oleh salah satu penguji sepintas sangat sederhana. Tapi bagi dia, akibatnya sangat rumit. Inilah konsekuensi yang harus ia tanggung dari kesalahan yang sangat sepele itu.

lll

Pertanda Buruk

Epul berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah ia hadapi. Tak mungkin ia mengandalkan hasil dari usaha berjualan koran untuk membayar tunggakan SPP-nya. Sangat mustahil. Penghasilannya dari usaha itu hanya bisa untuk membiayai makannya sehari-hari dan bayar sewa kamar kontrakannya. Ia termenung di dalam kamar kontrakannya yang hanya berukuran 2 x 3 meter. Jendela kamar dibiarkan terbuka agar udara di dalam tidak sumpek. Dindingnya terbuat dari batako yang dibalur semen kasar, terpampang sebuah poster Mahatma Gandhi di salah satu sisinya. Plafon ruangan sempit itu terbuat dari triplek dicat putih dengan tinggi tiga setengah meter. Pada pojoknya terdapat bekas-bekas rembesan air hujan dari genteng yang menghitam. Tak ada komputer, apalagi pesawat televisi dalam ruang itu. Hanya sekumpulan buku yang ditahan standar besi sedikit berkarat dan jam weaker kuno untuk membangunkannya shalat subuh.

“Pinjam Dika? Ah… tak baik berhutang. Pasti ada jalan yang lebih bagus lagi.” Ia rebahkan badannya di kasur busa yang sudah memadat. “Abah pasti tidak punya uang. Aku pun tak akan

tega minta uang lagi padanya.” Ia bangkit dari rebahnya, duduk memeluk lutut. Pandangannya mengitari ruangan, lalu terhenti pada sebuah benda tua. Lekas ia bangkit dan menghampiri gitar klasik tua, ’Yamaha’, alat musik Abah semasa muda yang diwariskan kepadanya. Meskipun usianya sudah terbilang tua, kondisi fisik gitar tersebut benar-benar sempurna. Catnya masih mengilap, terbuat dari kayu tua yang berkualitas. Meskipun sudah termakan usia, tak tampak lengkung pada tangkai fret gitar itu karena terbuat dari kayu pinus tua berkualitas tinggi.

Tangannya meraih gagang gitar itu, lalu mendekapnya erat di dalam pelukan. “Abah, maafkan Epul. Epul terpaksa melakukan ini demi masa depan.”

Hanya itulah benda berharga yang ia miliki saat ini. Benda itu menjadi teman saat ia merasa jenuh dan kesepian. Satu-satunya benda yang bisa menghiburnya. “Aku rasa, benda ini cukup berharga, berkualitas,” pikirnya dalam hati. Ia menimang-nimang benda klasik itu. “Aku harus mengganti senar satu yang putus.”

Pikirannya mulai buntu lagi. Mengganti senar berarti mengeluarkan uang untuk membeli satu set senar.

“Ah… peduli amat, aku bawa benda ini apa adanya.”Segera saja ia masukkan gitar itu ke dalam sarungnya. Tak

menunggu lama, ia bangkit dan lekas keluar kamar. Ada sesuatu yang membuatnya terhenti saat di mulut pintu. Agak lama ia termenung, merasa seolah ada sesuatu yang hilang. Dengan berat hati, ia tinggalkan kamar itu.

Setelah berada di depan toko, Epul berjalan masuk ragu. Di depan etalase pajangan barang, pandangannya mencari penjaga toko.

“Mas, saya mau lepas barang ini, kira-kira berapa?” tanya Epul menyodorkan barang yang ia bawa setelah sampai di toko ‘Barang Bekas Berkualitas’.

“Boleh saya lihat barangnya dulu?” ucap lelaki penjaga toko ‘Barang Bekas Berkualitas’ tersebut.

Epul mengangguk, mengiyakan permintaan lelaki muda

244 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 245

itu. Penjaga toko itu meminjam gitar itu, lantas melangkah ke ruangan sebelah dalam setelah meminta Epul untuk menunggu sebentar.

Beberapa saat ia menunggu, lelaki itu muncul dari balik ruangan. Dengan ekspresi butuh tidak butuh, ia menyodorkan benda tua itu,

“Bos berani nawar dua ratus ribu,” katanya.“Dua ratus ribu??” ulang Epul kaget. “Itu barang antik, Mas.

Kualitasnya bagus.”Penjaga toko menggeleng ringan. “Bos beraninya hanya

segitu, paling tinggi ditambah lima puluh ribu,” katanya lagi sambil memainkan kalkulator dagang berwarna hitam. Epul merenung beberapa saat dalam kegelisahannya.

“Mas, bisa ditambah lagi?” pinta Epul.Penjaga toko menggeleng, “Itu penawaran tertinggi”. Ia

meninggalkan Epul dan mendekati pembeli lain yang baru saja masuk ke toko tersebut.

Epul berpikir, ia benamkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Apa boleh buat. Ya sudah Mas!” ucapnya mengalah dengan berat hati.

Penjaga itu mengangguk. Setelah beres berbincang dengan pembeli, ia menghampiri Epul kembali dan memberikan beberapa lembar uang kertas. Usai itu, Epul melangkah keluar ruangan toko setelah mengucapkan terima kasih.

lll

Ujian Kesabaran

Siang itu, saat cahaya matahari memanggang udara, hawa Kota Bandung bagian selatan terasa membakar. Jalanan di kawasan perempatan Buah Batu ramai dan macet. Bising teror klakson yang memekakkan telinga tak ada bedanya dengan kota metropolitan saudara tuanya, Jakarta. Pada celah antara mobil dan motor yang berhimpitan, gadis cilik memegang kecrekan dari

tutup botol bekas sambil menjaja suara, pindah dari satu angkot ke angkot lainnya. Di wajahnya tampak bekas ingus mengering dari kedua lubang hidungnya. Sebagian anak jalanan lain mencari target mobil pribadi berplat nomor hitam. Bermodal alat musik seadanya dan suara sumbang, mereka membawakan lagu hits yang dibawakan oleh grup musik ‘pinter khan’ yang sedang digandrungi. Orang tua berselempang buntalan di pundaknya menghampiri mobil-mobil mewah yang berhenti di lampu merah. Dengan wajah memelas, tangan mereka menengadah mengetuk rasa iba. Pengemudi mengangkat tangan menolak. Di belakangnya, seorang lelaki mengenakan topi membawa kemoceng dan menyapukannya pada kaca-kaca depan mobil.

Begitulah gambaran orang-orang yang menyerah, berlutut pada nasib. Jiwa-jiwa mereka terkalahkan oleh ringannya menengadahkan tangan. Saat seperti itu, sangat mudah untuk mengibarkan bendera putih ketika semua seolah tak berpihak. Hati tergiur untuk berkeluh kesah dan mengutuki nasib yang tampaknya tidak adil. Orang lain mempunyai harta melimpah, sementara yang lainnya kekurangan. Bahkan sekedar untuk memenuhi makan dan minum ala kadarnya.

Tidaklah demikian dengan Epul. Bulat sudah tekadnya untuk tetap menjadi petarung nasib. Apapun risikonya akan ia hadapi. Satu hal bahwa kuliahnya adalah sebuah harga mahal yang harus ia tebus dengan cucuran peluh dan air mata. Sehabis kuliah, ia tak pernah bosan untuk selalu menjajakan surat kabar di jalan-jalan. Paginya, ia mengantarkan surat kabar itu kepada para pelanggan. Ia terus melakukannya meskipun jika ditimbang dengan akal sehat, hasil dari usahanya tidak akan mencukupi bayaran kuliahnya. Sementara itu adalah solusi terbaik menurutnya. Sekuat tenaga ia akan berusaha mencari tambahan kekurangan untuk membayar tunggakan SPP-nya selama dua semester dan juga menyambung hidup. Ia hanya sekedar berusaha semampunya. Hasilnya, ia serahkan kepada Yang Maha Pembuat Keputusan.

Epul biasa menjajakan surat kabarnya di simpang empat

246 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 247

Buah Batu. Yang terpenting, ia sudah bisa membiayai makan dan minumnya sendiri dari usahanya. Akan tetapi, ia masih berjuang keras untuk menabung uang SPP. Memasuki bis antarkota, ia bagikan berbagai macam koran kepada setiap penumpang bis. Tentunya, terlebih dahulu ia melakukan segmentasi pembaca. Penumpang anak muda lebih cocok ia beri surat kabar olahraga ”Go”. Sementara ibu yang berpakaian modis lebih tepat ditawari tabloid ”Selebriti”. Setelah terbagi semua, ia kembali berjalan mengambil surat kabar tersebut. Beberapa orang tertarik dan langsung memberinya sejumlah uang. Selesai transaksi, ia meloncat keluar dari pintu belakang bis. Tak seperti biasanya, sebelum keluar bis, ia tidak mengecek apakah harga koran yang laku sama dengan jumlah uang yang ia terima. Waktu itu ia lupa melakukan prosedur itu.

Keuntungan yang diperolehnya adalah Rp 6.000,00. Naas nasibnya hari itu. Tabloid ”Selebriti” yang seharga itu tidak ada di tangan. Ia pasti lupa untuk mengambil kembali tabloid itu setelah membagi-bagikannya kepada penumpang bis. Atau bisa jadi penumpang bis itu lupa atau sengaja lupa, lalu turun dari kendaraan dengan membawa serta tabloid itu. Keuntungan yang ia peroleh impas dengan hilangnya tabloid tersebut. Ia mencoba sabar dan tidak menggerutu dengan kesialan yang ia hadapi.

Waktu sudah hampir jam 2 siang. Karena merasa lelah, ia menyeberang jalan untuk beristirahat beberapa saat di depan ruko sekitar di simpang empat itu.

Di depan ruko yang terlantar, lewat seorang penjual cobek dari batu. Dua keranjangnya masih penuh berisi barang dagangannya. Tak terbayangkan betapa berat dia menanggung dua keranjang itu. Ditambah lagi, cuaca dengan kondisi panas saat itu. Penjualnya tampak berusia sekitar 50 tahunan dengan tubuh agak membungkuk. Kakinya hanya mengenakan sendal jepit ’swallow’ warna merah. Ia mendekati depan ruko. Setelah berada di depannya, lalu ia mengambil kursi kayu dari keranjangnya dan duduk di atasnya. Tangan kanannya sibuk mengipasi wajahnya yang bermandikan peluh dengan topi beludru hitam

yang sudah lusuh. Sementara tangan kirinya mengelapi keringat yang mencucuri wajah dengan handuk kecil yang dililitkan pada lehernya. Ia mengamati bundelan surat kabar di tangan Epul.

“Cep, sekarang berita apa yang lagi rame?” sapanya ramah.“Kalau Pikiran Rakyat, mengenai terpilihnya Dada Rosada

jadi Walikota Bandung, Mang!” jawabnya sambil berjalan menghampirinya.

Epul mengamati barang dalam keranjang itu. Merasa tertarik, ia menghampiri penjual cobek itu. “Mang, apa tidak berat jualan barang ini?” tanyanya setelah mendekat.

“Yah, mau bagaimana lagi atuh, Cep. Hanya inilah kemampuan Mamang yang tidak pernah ’makan’ bangku sekolah. Melamar kerja juga tidak akan ada yang mau menerima. Mungkin, inilah yang terbaik untuk Mamang.”

Epul mengangguk-angguk, menyimak setiap perkataannya. Meskipun orang yang kekurangan, tak tersirat sedikit pun dari pembicaraannya mengutarakan keluhan pada nasib.

“Mang mah hanya menjalani hidup. Yang penting, Mang sudah berusaha. Masalah hasil mah tergantung yang di atas.”

Betapa malunya hati Epul mendengar pengakuan polos dari seorang tukang cobek yang tidak berpendidikan. Tidak layak bagi dirinya untuk mengeluh. Seharusnya dia yang banyak bersyukur karena bisa mengecap bangku kuliah, meskipun dengan tersendat.

“Mang punya anak?”Penjual cobek itu mengangguk.“Apakah mencukupi dengan berjualan ini?”“Satu kata yang Mamang pegang, ikhtiar semampu kita.

Setelah itu, baru tawakal. Itulah yang Mamang lakukan. Buktinya keluarga Mamang bisa makan dan minum, bisa punya pakaian. Itu sudah cukup. Mamang bersyukur sekali. Diberi hidup saja, itu sudah anugerah, berarti Allah sudah memberi kepercayaan kepada Mamang.”

“Pernah berpikir mengenai kesulitan hidup?”“Tidak pernah. Mamang menjalaninya tidak pernah

248 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 249

mengambil pusing. Baik kesukaran maupun kemudahan, semua berasal dari Allah.”

Menyimaknya, Epul mengangguk-angguk. Semakin penjual cobek itu berbicara, semakin membuat Epul takzim dengan kedalaman prinsip hidupnya yang sederhana, tetapi indah.

“Satu pesan Mamang, Acep jangan pernah berhenti berharap. Selalulah optimis, husnudzon kalau kata Allah,” ucap tukang cobek itu bijak. “Setelah kesulitan, selalu ada kemudahan!”

Epul tersentak kaget. Kalimat itu seperti menampar keras wajahnya. Betapa tidak, kata itu sudah ia abaikan dalam masa-masa beratnya, “Tepat seperti apa yang sering diutarakan Abah,” pikir Epul dalam hati. Nasihat Abahnya terngiang-ngiang kembali di telinganya. Ia mengangguk-angguk. Ia sering mendengar petuah itu diucapkan Abahnya berkali-kali. Namun nasihat itu sudah kehilangan ruh, hanya sekumpulan kata-kata yang terangkai tak bermakna di dalam relung hatinya. Ia mencoba mengeja kembali rangkaian huruf itu dan berusaha menghayati maknanya dalam-dalam.

“Kadang kita melihat hidup seolah tidak adil, seperti tidak berpihak pada kita,” sambungnya. Tangannya mengipas-ngipaskan topi beludru hitam ke arah wajah. “Jika waktu kecil Acep pernah melihat ibu sedang menyulam sebuah gambar kembang di atas sehelai kain, apa yang Acep lihat dari bawah kain?” tanyanya. Ia mengambil minuman dari tas pinggangnya, botol air mineral yang berisi air teh manis, lalu ia menenggaknya. Nikmat sekali rupanya, dahaganya pun hilang.

“Pasti terlihat berantakan, Mang.” tandas Epul.“Nah, begitu juga dengan hidup kita. Allahlah yang menyulam

hidup kita. Tampak kita dari bawah seolah sekumpulan benang yang semrawut tak berbentuk. Padahal, sedikit saja ilmu kita bertambah, lalu lihatlah sulaman itu dari atas. Niscaya gambar yang indah akan tampak. Nah seperti itulah perumpamaannya.”

Selagi Epul mencoba mencerna perkataan bijaknya, orang tua penjual cobek berkata,

“Sekarang Mamang mau berangkat lagi, Cep. Hari sudah hampir sore. Dagangan masih banyak. Mangga atuh!”

Epul mengangguk. Orang sederhana, tetapi bijaksana itu bangkit dan pergi.

Selepas orang itu pergi, Epul duduk lagi di teras yang penuh debu itu. Bersandar pada rolling door sebuah ruko yang tutup, ia mencoba merenungi pembicaraannya baru saja. Saat pandangannya melayang pada parking lot kosong yang ditumbuhi rumput liar, matanya tertumbuk pada sebuah benda berwarna cokelat, persis di balik selembar sobekan kertas koran yang terhempas angin. Penasaran, ia dekati benda itu. Sebuah dompet ia temukan! Jantungnya berdegup kencang. Kedua tangannya gemetar, tak teguh membuka lipatannya. Isi dompet pun tersibak. Matanya membelalak,

“Masyaallah!” serunya kaget. Ia hampir tak percaya dengan pandangannya sendiri.

Rasa takut tiba-tiba menerjangnya. Wajahnya pucat pasi. Apa yang sebaiknya ia lakukan dengan benda tersebut, puluhan lembar uang pecahan Rp 100.000 dan KTP. Setelah ia hitung, jumlah uang tersebut 8 juta, lebih dari cukup untuk membayar tunggakan SPP dan makan sehari-harinya selama satu tahun ke depan. Buru-buru pandangannya mengitar. Tak ada siapa pun di tempat tersebut. Ia selipkan barang temuan itu ke dalam saku belakang celana jeans lusuhnya.

Terlintas dibenaknya untuk menggunakan uang itu. Toh, dia sangat membutuhkan uang itu untuk biaya kuliah. Atau sekedar mengambil selembar untuk membeli nasi. Lagi pula dia belum makan dari pagi, hanya minum air putih manis sebagai pengganjal perutnya yang keroncongan.

Segera saja ia enyahkan godaan pikiran itu. Aku tidak berhak dengan barang ini. Ada orang lain yang lebih berhak, yaitu yang mempunyainya. Dosa besar jika aku mengkhianati kepercayaan Abah untuk selalu bertindak jujur, ucapnya dalam hati.

Tiba-tiba, rasa sakit mencengkeram perutnya. Rasanya seperti jarum-jarum yang menusuk-nusuk dinding lambungnya. Ludah di mulutnya terasa pahit akibat melimpahnya asam

250 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 251

lambung yang mengalir dari perut. Ia terhuyung menahan sakit yang menggerogotinya. Penyakit maagnya kambuh.

“Sedang apa, Pul?” Pikiran Epul buyar. Ia memutarkan kepala pada suara itu,

sakitnya tertahan.“Eh, Bang Dodi. Ti...tidak, tidak ada apa-apa,” desis Epul

tergagap. Tubuhnya memaksa tegap menahan kesakitan. Ia berusaha menyembunyikan kegusarannya dari pemuda berambut gondrong itu.

Orang itu terkesan sangar. Badan tambunnya terbalut kaos hitam bergambar salah satu grup musik cadas asal Amerika. Lengan atasnya yang sedikit tersibak menguak tato tengkorak terbelit bunga mawar. Di bahu kanannya terselempang sebuah gitar.

“Aku tahu kau baru menemukan sesuatu!” celetuknya.“Maksud Abang?”“Kau jangan bohong!” teriaknya. Telunjuknya menuding.“Jadi...Abang…?” gumam Epul.“Ya, bahkan aku tahu kau berbincang dengan tukang cobek

itu!” ucapnya serius.Epul tak bisa berkelit. Ia kehabisan kata-kata. Pengamen itu

mendekat, lalu menempelkan mulutnya pada telinga Epul.“Aku tidak akan gembar-gembor, asal beri aku bagian yang

layak. Anggap saja sebagai uang tutup mulut,” bisiknya sambil tersenyum licik.

Epul menjauh. Ia menyelidiki wajah teman sepergumulannya yang lebih senior itu.

“Tidak!” kakinya mundur beberapa langkah.“Ayolah! Kau jangan bersikap bodoh!” bujuknya. Sebelah

matanya memicing. Ia hisap rokoknya dalam-dalam, meniupkan asapnya pada wajah Epul. Lalu ia lemparkan batang rokok yang tinggal setengahnya itu ke atas tanah dan menginjaknya.

“Mana bisa kita jujur dalam zaman edan ini? Jujur hancur!” sambungnya pedas.

“Tidak! Ini bukan hakku. Aku akan mengembalikannya!”

“Keras kepala. Kau pikir kau ini siapa?” bentak orang itu,. Rahangnya gemeretak. Mata merahnya membelalak. Emosinya tersulut.

“Berikan padaku!” teriaknya geram. Ia mendekat.Epul menggeleng meskipun hatinya mengerut ciut. Ia

gemetar melihat wajah murka penguasa jalanan itu. Degup jantungnya semakin menendang-nendang. Dalam ketakutannya, Epul tetap menggeleng.

Tangan orang itu menyambar kerah kemeja lusuh Epul. Sekuat tenaga ia membetotnya. Dua kancing bagian atasnya tercerabut dan jatuh di antara rerumputan yang tumbuh liar. Epul berusaha melepaskan diri. Tangannya mendorong tubuh lelaki itu sekuat tenaga. Orang itu oleng, hilang keseimbangan, dan jatuh tersungkur.

“Keparat!” umpatnya meradang. Ia berusaha bangkit.“Maaf, saya tak bermaksud…,” ucap Epul.Orang itu melontarkan kepalannya. “BUKK!” kepalan tangan mendarat di rahang Epul,

membuatnya sempoyongan. Ia oleng. Belum cukup puas, orang itu menghambur mendekat. Ia lepaskan lagi pukulan keras ke arah hidung Epul bertubi-tubi.

“BUKK!” Darah segar mengucur deras dari dua lubang hidungnya.

Epul melayang, jatuh bebas ke atas rerumputan. Terkapar. Ia seka aliran darah itu dengan lengannya. Pandangannya seperti berputar. Setengah kesadaran hilang.

“Kau pikir, siapa yang membiarkanmu berjualan di tempat ini? Akulah penguasa tempat ini!” sesumbarnya. Tangannya menuding angkuh. Masih belum puas hatinya, ia berjalan menghampiri. Tatapannya seolah ingin melumat bulat-bulat anak tak tahu diri di depannya itu.

Epul sadar, mara bahaya mengintainya dekat. Masih tersungkur, ia beringsut menjauh. Sekuat tenaga, ia berusaha berdiri.

“Aku beri kesempatan sekali lagi…,” ucapnya sangar, tangannya menunjuk-nunjuk.

252 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 253

Epul tetap menggeleng. Ia mundur beberapa langkah. “Aku tak akan memberimu ampun!” teriaknya. Ia berderap

mendekat. Ia tarik kepalan tangan ke belakang kepala, bersiap untuk melesakkannya.

Tiba-tiba, terdengar raungan sirene dari kejauhan mendekat ke arah ruko. Sebuah mobil polisi yang biasa berpatroli di daerah itu menepi di bahu jalan sebelah barat. Saat pintunya terbuka, berloncatanlah petugas-petugas keamanan membawa pentungan menghambur keluar. Beberapa minggu sekali, mereka rutin melakukan penertiban daerah perempatan itu dari preman, pengemis, dan pengasong.

Gerak tangan pengamen tersebut terhalau oleh suara itu. Kepalan tangannya terhenti di udara. Ia menoleh bengis pada petugas yang berlarian. Rasa geramnya menggelegak.

“Kau beruntung. Awas, aku takkan melupakan kejadian ini!” ancamnya sebelum pergi. Ia mengacungkan kepalan tangannya yang membulat. Ia berlari untuk sembunyi menuju halaman belakang ruko yang ditumbuhi kebun liar tak terawat.

Setelah kejadian itu, suasana kembali tenang. Epul berusaha menenangkan hati. Ia kembali meraih tumpukan sisa surat kabar yang tak terjual dari lantai ruko penuh debu itu. Hari sudah menjelang sore. Sungguh saat itu merupakan ujian yang hebat baginya. Uang yang ia peroleh hanya cukup untuk ongkos transportasi hingga ke rumah kontrakannya. Ia tak bisa mengantongi keuntungan karena kejadian hilangnya satu tabloid tadi.

Sepanjang jalan ia masih memikirkan mengenai nasib dompet itu, sambil merasakan nyeri pada wajahnya. Tangannya mengelus-elus rahangnya yang membiru memar. Di dalam angkot, ia memandangi bayangannya pada cermin dalam. Daerah hidungnya lebam dan membonggol. Bibir atasnya sedikit terkelupas.

Terlintas dipikirannya untuk mendatangi alamat pemilik yang ada di KTP. Akan tetapi, ia harus mengumpulkan uang untuk ongkos sampai ke tempat tersebut. Ia tak ingin menggunakan

uang hasil menjual gitar karena itu untuk membayar SPP-nya.Setibanya di rumah, ia bergegas menuju kamar dan langsung

berselonjor di kasur busanya yang tipis. Ia pandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Di beberapa tempat terdapat bercak-bercak bekas air hujan yang mengering dari gentengnya yang bocor. Cat pelapisnya mengelupas dan berjamur di sudut-sudutnya. Ruangan itu terasa pengap dan lembab karena jendela serta ventilasi udaranya tertutup oleh dinding bangunan bertingkat di sampingnya.

Tak biasanya cuaca dingin menggigit. Padahal di luar masih tampak matahari. Masih pukul 5 sore, pikirnya saat ia melihat weaker di meja belajarnya. Lambat laun, ia merasakan sesuatu yang aneh pada perutnya, rasa mual dan panas tak tertahan. Bergetarlah badannya karena belum secuil pun makanan masuk ke perutnya sejak pagi tadi. Ia raih sepotong roti sisa semalam yang belum habis. Namun baru saja beberapa gigitan, makanan yang sempat ia kunyah dimuntahkannya. Beberapa saat kemudian badannya menggigil. Pada saat yang sama, suhunya meninggi. Ia berbaring terbalut sehelai kain sarung, menahan dingin. Ingin rasanya ia berbagi penderitaan dengan keluarganya di kampung. Tapi apa daya, ia tidak tega memberikan beban pikiran kepada mereka.

lll

Perginya Sang Pahlawan

Di dalam rumah, Abah terperanjat bangun dari tidurnya. Dilihatnya arloji di atas tikar anyaman daun pandan, sudah merujuk pukul 2.30. Malam sudah masuk ke sepertiga terakhirnya. Ia bergegas ke belakang rumah untuk mengambil air suci. Udara dini hari dingin membeku. Angin kering musim pancaroba berembus kencang. Air, tak ubahnya seperti lelehan es. Terasa menusuk-nusuk tulang saat Abah membasuh wajah dan kedua tangannya.

254 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 255

Seperti biasa, sehabis menunaikan shalat malam, Abah pergi ke ruang tengah. Di sana, dengan penerangan bola lampu pijar remang-remang, Ambu duduk terkantuk-kantuk sembari membaca Al Qur’an. Terbatuk-batuk, Abah berjalan terhuyung menghampirinya. Ia membelai punggung Ambu.

“Tolong bangunkan anak-anak. Sebentar lagi waktu subuh tiba.” Pinta Abah.

Ambu terperanjat dari setengah sadarnya. Ia melirik jam di dinding. Waktu sudah pukul 4.15 pagi. Ia mengangguk dan bangkit menuju kamar anak-anak. Selagi Ambu membangunkan anak-anak, Abah lekas menuju mushala di belakang rumah. Selang beberapa menit, keempat anak dan ibunya sudah berkumpul di belakangnya. Abah sekeluarga tak pernah meninggalkan shalat subuh berjamaah.

Abah mengambil posisi imam. Tak jauh berbeda dengan hari-hari yang telah lewat, shalat subuh kali ini hanya terdiri dua shaf. Di belakangnya, berbaris tiga orang adik laki-laki Epul, Deden, Asep, dan Maman. Di belakang hijab, shaf kedua hanya terdiri dari dua orang, yaitu Ambu dan anak perempuannya, Neneng.

Deden, adik Epul yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP, mengumandangkan iqomah. Shalat pun berlangsung khusuk. Tak ada kejadian yang istimewa sampai menjelang duduk tahiyat akhir. Waktu itu, jamaah sedang melakukan sujud terakhir di rokaat kedua. Tak ada yang curiga terjadinya suatu keanehan. Beberapa menit berlalu, mereka khusuk bersujud. Hening, tak ada suara batuk atau dehem Abah seperti biasa. Namun, sepuluh menit adalah waktu yang lebih dari cukup untuk sujud dalam kondisi biasa. Makmum sudah tak sabar untuk mendengar takbir dari imam shalat. Mereka ingin segera melakukan tahiyat akhir. Akan tetapi, Abah tak kunjung menyerukan takbir.

Makmum menahan diri. Sampai ketika, Asep, Si Bungu yang masih berusia 6 tahun merasa kelelahan. Ia bangkit dari sujud sambil merengek karena pegal. Meminta Abah lekas mengakhiri shalatnya. Beringsut, ia maju menghampiri Abahnya. Menangis ingin dipangku, ia menggoyang-goyangkan badan Abah. Seketika

itu juga, tubuh Abah terjungkal di atas hamparan sajadah.Namun, Asep belum bisa mengerti keadaan yang tidak biasa

itu. Usianya belum cukup dewasa untuk memahami hal-hal demikian. Abah sedang berpura-pura, pikirnya. Berkali-kali, ia menggelitik pinggang Abah kesayangannya. Namun, Abah tak menanggapi. Ia mati rasa.

Di belakang imam, Deden menduga sesuatu yang tidak biasa tengah terjadi. Ia mengangkat wajah dan memandang sekilas ke depan. Di atas sajadah imam, Abah tergeletak. Masih dalam posisi sujud. Tak tampak hentakan napas pada dadanya. Ia lekas beringsut maju dan mengambil posisi imam menggantikan Abah. Dari posisi sujudnya, ia bertakbir. Semua shaf bangkit, lalu duduk dalam posisi tahiyat akhir. Agak nyaring Deden menggumamkan doa-doa. Suaranya bergetar, terbata-bata, menyayat-nyayat. Ia sudah menduga, jasad Abah tak lagi bernyawa. Tak sadar, dari kedua pelupuk matanya, air bening meleleh, merambat di pipinya. Dadanya turun naik menahan gumpalan sedih yang menyesaki relung dada. Sepanjang bacaan, ia berjuang menyumbat ledakan tangisnya.

Tuntas membaca salam, Deden tergesa-gesa meraih tubuh Abah. Pada raut wajahnya yang tenang, bibir Abah mengguratkan senyum. Kedua matanya sudah mengatup rapat.

“Abah…bangun Abah!” Teriak Deden sembari mengguncang-guncangkan tubuh Abahnya.

Maman menghampiri. Tak berapa lama, dari balik hijab pembatas di belakangnya, Ambu dan Neneng semburat menghampiri Deden, Asep, dan Maman. Mereka berkerubung di sekitar tubuh sujud Abah. Ambu merabai dada Abah, tepat di posisi jantungnya. Tak terasa degupnya. Jantungnya berhenti berdetak.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..” teriak Ambu histeris. Tangisnya membuncah.

Keempat anaknya spontan mengikuti kalimat itu. Mereka menangisi kepergian seorang pahlawan dan pelindung mereka. Abah wafat di usianya yang ke-55 tahun. Namun, kerja keras dan kesusahan yang membekas di wajahnya membuatnya

256 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 257

tampak lebih tua dari yang semestinya. Bersama-sama, mereka memangku jasad Abah keluar mushala dan membawanya ke rumah.

Pagi itu juga, Ambu meminta Neneng pergi ke rumah Haji Dulah, untuk mengabari Epul di Bandung mengenai berita duka itu melalui telefon. Orang yang dihubungi adalah Dika, mengingat tak ada pesawat telefon di kontrakan yang ditinggali Epul. Segera setelah menerima kabar itu, Dika memberitakannya kepada Epul.

Seketika menerima kabar duka itu, Epul langsung berangkat meskipun dengan kondisi badan yang kurang sehat. Sepanjang perjalanan naik kereta kelas ekonomi, ia tak henti menitikkan air mata. Ia mencoba menahan kesedihan. Kedua tangannya mengepal erat-erat. Wajah Abah berkelebatan di pelupuk matanya. Tersenyum, tangannya melambai-lambai. Suara Abah saat memberi nasihat, diselingi batuk dan dehem, timbul tenggelam di genderang telinga. Ia terkenang saat-saat bersamanya, saat bekerja di kebun. Mengobrol di dapur seusai makan sore. Lalu terbang jauh ke masa silamnya, saat ia masih kecil dan sering digendong saat Abah pergi ke kebun.

Ia tak menyangka, bahwa gitar tua itu adalah pertanda. Saat ia menjualnya, tak sedikit pun ia berfirasat Abah akan berpulang. Sekarang ia sadar, ternyata kejadian itu adalah pertanda bahwa Abah takkan lama lagi berpulang. Ia lekas-lekas bangkit dari kursi dan masuk ke dalam ruang toilet kereta. Di ruang sempit itu, wajahnya membenam ke dalam dua telapak tangannya. Ia menangis pilu.

Sekitar pukul 3 sore, Epul tiba di rumah. Para tetangga, penduduk kampung lainnya sudah tumpah ruah di halaman rumahnya. Keranda mayat tampak tertegun di samping rumah.

Usai shalat asar, jenazah dikebumikan di Pemakaman Desa Ciakar, sebuah lembah dekat persawahan penduduk. Menjelang waktu magrib, acara pemakaman selesai. Rombongan pengiring jenazah kembali ke rumahnya masing-masing. Sepeninggal para pelayat, rumah keluarga duka lengang, sepi, dan muram.

Meskipun meninggalkan bekas kepedihan yang mendalam, keluarga Epul tabah atas kepergian Abah. Ambu, Epul, dan adik-adiknya menuju mushala di belakang rumah untuk menunaikan shalat magrib. Kali ini, tak ada Abah yang biasa menjadi imam yang memimpin setiap shalat berjamaah. Epul menggantikan posisi mendiang Abah, menjadi imam.

Kini, Epul termenung di ruang dapur, tempat dulu Abah dan dirinya mengobrol, sembari mendengarkan dongeng pasosore di radio. Sembari bertukar kisah, Abah biasa merokok kelobot lintingan sendiri. Lepas dari mulut, asapnya menggumpal-gumpal di atas kopiah beludru hitamnya yang lusuh. Menyela obrolan, ia sesekali terbatuk. Setelah itu, pasti ia meraih cangkir aluminiumnya yang berisi teh manis. Ia teguk sedikit demi sedikit. Jika menyimak, kepala Abah selalu mengangguk-angguk.

Saat ini, Epul pedih, hampa. Sosok pahlawannya kini tiada. Lamunannya melayang jauh, singgah di masa kecilnya. Dahulu, Abah sering menggendong dan membawanya setiap ia pergi ke kebun. Sepanjang perjalanan menyusuri jalan setapak yang menanjak, Abah mendendangkan lagu ‘Bubuy Bulan’, ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’, dan entah apa lagi, Epul lupa mengingatnya. Itu ia lakukan untuk menghibur anaknya. Sesampai di kebun, sebelum menaiki tangga yang menjulang, Abah membuatkannya mainan dari pelepah daun pisang. Mainan yang menurut Epul paling indah dan menyenangkan. Di saat Epul tengah asyik memainkan bedil pelepah pisangnya, Abah menaiki tangga, memetiki buah cengkeh yang sudah ranum di atas sana.

Ambu yang sedari tadi akan mengambil air wudu untuk shalat isya, terhenti melangkah melihat anak sulungnya termenung. Ia berjalan menghampirinya.

“Cep, sudah shalat isya?” Sapa Ambu sembari mengelus kepala Epul.

Epul menggeleng lalu menunduk sedih.“Ambu, Abah sudah tiada. Tak ada yang mencari nafkah

untuk keluarga. Biarlah Epul berhenti kuliah. Agar bisa mencari kerja.”

Ambu menatap Epul dengan tajam. Ia tegas menggeleng.

258 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 259

“Malam hari sebelum Abah meninggal, kami berbincang-bincang. Ia berpesan kepada Ambu. Apapun yang terjadi, Epul harus tetap kuliah.” Ucapnya seraya menyeka air mata dari pelupuk matanya, “Ambu tak menyana, itu adalah obrolan terakhir dengan Abah.”

“Satu semester lagi, Cep…Bertahanlah!” ujar Ambu, “untuk keluarga, biarlah Ambu yang menggantikan tugas Abah mengurus ternak Haji Dulah, dibantu Deden dan Maman.” sambungnya.

Ambu pergi ke ruang tengah, ke kamar tidurnya. Beberapa saat kemudian, ia menghampiri Epul kembali dan menyodorkan secarik amplop putih. Ragu-ragu, Epul menerimanya.

“Apa ini Ambu?” Tanya Epul, ragu-ragu menerimanya.“Untuk kuliah Epul. Ini adalah uang hasil menjual kebun.

Dulu, Epul tidak mau menerimanya dari Abah. Terimalah!”“Epul tidak mau menerimanya!” Ia menarik tangannya

kembali, “pakailah untuk kebutuhan keluarga.”“Cep, sudah dua tahun lebih sejak sisa kebun kita dijual.

Sejak Epul menolak menerima uang ini, Almarhum selalu menyimpannya di bawah lipatan baju di lemari. Tempat dimana Epul mengembalikan uang itu. Abah tak pernah secuil pun menggunakannya.”

“Tapi, Ambu, bagaimana dengan Ambu, adik-adik?”“Uang ini adalah bagian dari wasiat Abah. Kita tidak

boleh melanggar pesannya. Ambu yakin, Abah pasti sudah memperhitungkan ini. Terimalah!”

Tanpa mengucapkan kata-kata, Epul mengangguk. Meskipun berat hati, ia menyetujuinya. Bagaimanapun juga, itu adalah amanat Abah, yang harus ia junjung tinggi dan penuhi. Ia menerima amplop itu dari tangan Ambu. Setelah ia menghitungnya, uang itu berjumlah 3,5 juta rupiah!

“Jangan lupa, lekaslah kembali setelah kuliah beres! Buatlah Abahmu bangga di sana!” Ucap Ambu.

Epul mengangguk, mengangkat wajah. Ambu kaget.“Cep, kenapa dengan bibir kamu? wajahmu membengkak

dan sedikit memar?” Tanya Ambu, menyelidiki wajah Epul.

Tangannya merabanya.Epul menggeleng. Ia tak mau berterus terang dengan kejadian

dipukuli preman beberapa hari lalu. Ia tak mau membuat Ambu khawatir, menambah beban pikirannya selagi masih berduka.

“Tidak apa-apa Ambu. Epul terjatuh sewaktu berlari.”Keesokan harinya, Epul kembali lagi ke Bandung. Ia sudah

bertekad, apapun yang terjadi, kuliahnya harus beres. Ia harus menuntaskan perjuangannya. Ia tidak boleh mengecewakan Abah, Ambu, adik-adik, dan penduduk kampung yang menaruh harapan di pundaknya. Dengan uang yang saat ini ada di tangannya, ia akan melunasi tunggakan SPP-nya. Kelebihan uangnya, akan ia gunakan untuk biaya penelitian dan skripsi. Jika masih ada sisa, uang itu akan digunakan untuk biaya wisuda.

lll

Menunaikan Amanat

Beberapa hari kemudian, meskipun dalam kondisi badan yang sakit, Epul memaksakan diri untuk mengunjungi alamat pemilik dompet yang ia temukan tempo hari. Sengaja ia kumpulkan recehan yang diperolehnya dari hasil menjual koran untuk ongkos naik bis. Alamat berdasarkan KTP tersebut adalah daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung. Jika ditempuh dengan bis umum, butuh waktu sekitar 2 jam untuk mencapai daerah tersebut.

Menjelang sampai Pasar Dangdeur, Rancaekek, jalanan tersendat parah. Kendaraan berjejalan campur baur kerumunan manusia yang lalu lalang di pasar itu. Bis kota yang ditumpanginya tak bisa berkutik, terhalang antrian kendaraan yang begitu panjang di depannya. Kemacetan sangat parah hingga kendaraan roda dua pun tak bisa bergeming.

“Ada apa?” penumpang bertanya-tanya.Ternyata jalan di depan tergenang air setinggi dada orang

dewasa. Akibat hujan yang mengguyur daerah cekungan tersebut sehari semalam, air dari anak Sungai Citarum yang melewati daerah itu meluap hingga ke perkampungan penduduk, tumpah ruah hingga menggenangi jalan dan sebagian Pasar Dangdeur.

260 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 261

Masjid Raya yang biasa dipakai untuk shalat Jumat pun tak luput dari terjangan luapan air itu. Tak ada mobil yang bisa menerjang. Bis terpaksa putar balik. Epul dengan berat hati melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

“Ibu, numpang tanya, tahu alamat ini?” tanya Epul kepada ibu penjaga warung nasi pinggir jalan. Tangannya menyodorkan selembar KTP pemilik dompet tersebut.

“Acep tidak akan bisa ke sana.” ucap ibu itu setelah mengamati alamat yang tertera di KTP tersebut. “Kampung itulah yang terendam banjir cukup parah sejak semalam. Ketinggian air bisa mencapai langit-langit rumah.” Tangannya sibuk menyentongi nasi ke atas piring pesanan pembeli.

Epul kaget mendengar penjelasan itu. Itu artinya orang yang sedang ia cari adalah korban banjir.

“Lalu bagaimana dengan penduduk kampungnya, Bu?”“Ibu kurang tahu. Coba saja ke Masjid Jami itu. Ada

beberapa keluarga yang mengungsi di tempat itu.” ucap ibu itu sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Epul pergi setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki, sampailah ia di muka halaman Masjid Jami. Ditanyai Epul, petugas masjid itu menunjuk ke arah sepasang suami istri dengan seorang balita yang tengah terbaring menyamping. Laki-laki itu duduk menunduk di tepi teras masjid, terpisah beberapa langkah dari istri dan anaknya. Keganjilan pun tampak di depan mata Epul. Berulang kali, lelaki itu meraih pecahan bata yang ada di depannya, lalu membenturkannya ke arah kepala. Berulang kali ia melakukannya. Hingga, sejumlah bata di depannya remuk berserakan. Dari balik rambutnya, merembes darah segar, merambat melalui pelipis, lalu ke lehernya. Sesekali, ia mengerang kesakitan. Akan tetapi, ia terus saja melakukannya.

Epul terduduk di samping pria itu.”Pak...apa yang sedang Bapak lakukan?” ungkap Epul

keheranan. Lelaki paruh baya itu melirik sekilas. Lantas, ia menunduk

lagi. Kesedihan menggelayut di pelupuk matanya. ”Lihatlah anakku!” ucapnya serak. Kedua matanya sembab

oleh air mata.”Penderitaanku tak seberapa. Ia jauh lebih menderita!”

Ungkap pria itu, di sela erangan sakitnya.“Apakah Bapak bernama Sulanjana?” tanya Epul ragu.Pria itu melirik sekilas. Ia mengangguk, tersenyum hambar

di balik kesedihannya.Epul membenamkan tangannya ke dalam saku belakang

celana.“Ini...punya Bapak…” ucapnya sambil menyodorkan dompet

lusuh itu ke arahnya.Lelaki paruh baya itu mengamati barang lusuh yang

disimpan Epul di atas lantai. Dengan tangan gemetar, ia mengambil dan membuka lipatannya. Dari identitasnya, dompet itu benar miliknya. Jumlah uang di dalamnya masih utuh seperti semula, 8 juta rupiah. Ia memandangi Epul. Sembari tersenyum, ia mengucapkan terima kasih. Namun, tak lama setelah itu, ia tertunduk dan kembali menangis.

Epul tak paham dengan perbuatan lelaki di sampingnya itu. Sikapnya sungguh aneh. Selayaknya ia bahagia karena uangnya yang hilang kembali. Namun, hal itu tak terjadi. Bagi Epul tak jadi masalah. Yang penting ia sudah menunaikan kewajibannya, mengembalikan sesuatu yang hilang kepada pemiliknya.

Masih disesaki berbagai pertanyaan, Epul bangkit dan melangkah ke arah ibu dan balitanya.

Raut muka wanita paruh baya itu muram, penuh kerutan kesedihan. Tangannya mengibas-ngibaskan kipas anyaman bambu, sibuk mengusir gangguan lalat-lalat yang beterbangan di sekitar buah hatinya, berkerubung di sekitar mangkok plastik berisi bubur yang tergeletak di bawah lantai. Sesekali ia mencoba menenangkan tangis anaknya.

Di depannya, Epul tertegun. Belum sirna keheranannya, ia kembali tercengang saat melihat balita yang terbaring itu. Ia terjajar, mundur beberapa langkah. Hatinya terlonjak menyadari

262 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 263

kepala balita itu besarnya tiga kali lipat ukuran normal. Bentuknya berbonggol dan ranum, penuh berisi cairan. Sepasang matanya mendelik namun terbenam, pelan bergerak, nyaris seperti akan keluar dari tempurungnya. Sakitnya tak terkira, hingga ia tak henti menangis.

Epul bersimpuh di depan ibu tersebut.“Bu, apa yang terjadi?” Tanya Epul. Prihatin mengamati

anak kecil malang yang terbaring di depannya.Ibu tersebut menengadahkan wajah.“Lihatlah anakku! Ia sudah menderita sejak lahir. Sudah

tiga tahun usianya. Penyakitnya semakin memburuk.” ucapnya serak, ”kepalanya terus membesar berlipat-lipat. Dialah anakku satu-satunya.” ucapnya parau. Seolah air menemukan celah untuk mengalir, tangis ibu itu pecah mengalirkan derita.

Setelah tangis ibu itu agak mereda, kepadanya, Epul menerangkan bahwa ia ke sana untuk mengembalikan sebuah dompet yang ia temukan di daerah Buah Batu. Mendengar ulasan Epul, ibu itu mengucapkan beribu terima kasih atas bantuan dan budi baiknya. Sembari tersedu, ia menerangkan kepada Epul mengenai kondisi anaknya. Sejak lahir, balita itu menderita penyakit hydrocepallus84. Kepalanya tumbuh membesar tak terkendali, hingga ukurannya berlipat-lipat. Balita itu butuh pertolongan segera. Oleh karena itu, ayahnya yang seorang kuli bangunan sengaja meminjam uang untuk operasi anak itu dari majikannya yang tinggal di daerah Buah Batu beberapa hari yang lalu. Namun, naas nian nasibnya. Dompet yang berisi uang pinjaman itu hilang sewaktu ia dalam perjalanan pulang. Ia sudah berusaha mencarinya menyusuri sepanjang jalan dari Rancaekek hingga daerah Buah Batu. Akan tetapi, ia tak menemukan benda tersebut. Ia sudah pasrah atas nasib anaknya.

”Lalu, apa hubungan anak ini dengan apa yang dilakukan Ayahnya? Bukankah itu menyiksa diri? Mendzalimi diri sendiri!” tanya Epul.

”Ibu berulang kali melarangnya. Ia tetap saja melakukannya, dan takkan berhenti sampai anak ini terbebas dari penderitaan.” 84 Penyakit pembesaran kepala akibat pengumpulan cairan otak di rongga kepala

papar ibu itu prihatin.Epul menyimak paparan ibu itu. Dua kejadian ini tampak tak

berhubungan. Namun, ia sedikit bisa menarik benang merahnya saat berpikir mengenai berbagai fenomena yang ia baca di surat kabar. Karena rasa cinta dan sayang yang mendalam, orang rela menyiksa diri, demi turut merasakan beban derita yang dialami orang yang dikasihinya. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh para pengikut Syiah di Timur Tengah, yang rela menyiksa dirinya secara sukarela dalam peringatan ’Asyura’, demi merasakan penderitaan panutan mereka, Imam Husein, yang terbunuh pada pembantaian di Padang Karbala. Begitu juga dengan para pengikut Yesus di Philiphina, yang rela menyalib dan menyiksa diri mereka sendiri, untuk turut merasakan penderitaan yang dialami panutan mereka dua ribu tahun silam.

Kedua mata Epul sembab, terenyuh dengan cobaan berat yang sedang mereka hadapi. Rumah kontrakan mereka di desa Bojong Loa, Rancaekek terendam banjir hampir seminggu. Anak mereka membutuhkan pertolongan dengan segera. Berapakah penghasilan seorang kuli bangunan untuk menutupi kebutuhan itu. Betapa berharga uang itu bagi mereka. Kini, ia merasa lega, perjuangannya tidak sia-sia. Alangkah berharganya uang tersebut bagi mereka.

Epul menjulurkan tangan ke arah balita yang tergolek tak berdaya. Ia mengelus kepala bayi itu. Permukaannya lunak, tempurung sudah tergenang oleh cairan. Ia merasa miris atas penderitaan anak kecil itu.

”Kalau begitu, sebaiknya Ibu dan Bapak lekas membawa anak ini ke rumah sakit. Agar nyawanya tertolong.”

”Kami sangat berhutang budi kepada Acep.” Ibu itu mengangguk. Sekali lagi, ia mengucapkan terima kasih atas bantuan Epul.

Epul bangkit dan berpamitan. Ia melangkah keluar dari masjid itu. Namun, baru saja kakinya menjejak di luar pagar, seseorang memanggilnya dari belakang.

”Cep, tunggu sebentar!” teriaknya.

264 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 265

Epul menoleh. Seorang pria, bapak pemilik dompet yang ia temukan berdiri terhuyung di depannya.

”Ada apa, Pak?” tanya Epul keheranan.”Bapak ucapkan terima kasih atas bantuan Acep. Bapak

hampir saja putus aja jika saja uang itu tak ditemukan.””Syukurlah kalau begitu. Mudah-mudahan anak Bapak lekas

sembuh.”Pria itu mengangguk. Sesuatu ingin ia utarakan. Namun, ia

tampak ragu untuk berucap.”Sebelumnya, mohon maaf jika Bapak lancang.” ucap Bapak

itu menunduk, ”tapi ini mungkin terpaksa sekali. Bapak tidak tahu harus berbuat apa lagi.” ungkapnya, berurai air mata.

Epul tersenyum, ”Memangnya, ada apa, Pak?””Sebenarnya...” ucap Bapak itu, terhenti. Ia langsung

tersungkur dan berlutut di hadapan Epul ”...sebenarnya kami masih membutuhkan biaya untuk pengobatan anak kami.”

Epul mencoba membangkitkannya.”Berapa kekurangannya, Pak?”Orang itu mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.”Bapak sempat mencatat biaya total yang dibutuhkan untuk

operasi dan pengobatan.” ucapnya. Ia lantas menyodorkan secarik kertas kepada Epul. ”Ini silakan baca.”

Epul meraih kertas itu dan membuka lipatannya. Di atas kertas tersebut, tertera tulisan tangan angka 11,5 juta rupiah.

”Berapa uang yang Bapak miliki?””Delapan juta rupiah.” jawab Bapak itu.Epul termenung. Ia berkalkulasi. ”Subhanallah!” seru Epul dengan suara bergetar. ”Berarti

kekurangannya Rp. 3.500.000,00??” Tangannya bergetar membentangkan secarik kertas itu. Tak dinyana, kekurangan uangnya sedemikian tepat dengan jumlah uang miliknya yang tersimpan dalam amplop di kontrakannya. Ia merinding menyadari ketepatan angka itu. Tak mungkin kedua jumlah ini presisi secara kebetulan. Ia yakin, semua ini terjadi atas pengaturan-Nya.

”Desakan cairan sudah mengancam pusat saraf penglihatan dan pendengaran. Jika tak mendapat pengobatan segera, indra penglihatan dan pendengaran takkan berfungsi. Akibat paling buruknya...” papar orang itu terhenti. Ia tak punya hati meneruskan kata-katanya, ”Bapak tidak mau kehilangan dia...” sambungnya sembari menangis, ”tolonglah, Cep...Apapun imbalannya, akan Bapak ganti..”

Menyimak pengakuan jujurnya, Epul tercenung, terdiam, khusuk merenung. Dalam diamnya, ia bermonolog dalam hati,

”Apakah Tuhan mengirimkanku sebagai penyelamat nyawa anak itu? Sayah mempunyai uang dengan jumlah yang sama persis dengan yang ia butuhkan.”

Bagi siapa pun yang menyelami nasib keluarga tersebut, rasa kemanusiaan niscaya tersentuh. Namun, ia bimbang. Nasib kuliahnya sekarat, harus segera diselamatkan jika tak mau kandas di separuh jalan. Mendiang Abahnya mengamanatkan demikian.

”Nasib kuliahmu jauh lebih berharga dari nyawa anak itu. Ingat amanat mendiang Abah supaya kau menuntaskan kuliah. Dengan gelar, kau bisa jauh lebih bermanfaat daripada hanya sebagai drop-out . Keilmuanmu akan lebih mumpuni. Pakai saja uang itu! Kau lebih membutuhkannya.”

”Sebentar, kau harus melihat skala prioritas...kau intelektual berhati nurani...mana bisa nyawa ditukar dengan pendidikan? Nyawa dan kehidupan manusia adalah lebih utama,” teriak suara hatinya.

Seterusnya, terjadi perseteruan pendapat, pergumulan dua pikiran baik dan buruk di dalam dirinya. Setelah beberapa saat, Epul mengangkat wajahnya. Tak tampak riak-riak pada wajah tenangnya. Nuraninya sudah mampu mengungguli kelebatan-kelebatan nafsu egoismenya. Ia memutuskan untuk membantu keluarga itu. Apapun yang akan terjadi dengan kuliahnya, ia sudah pasrah dengan ketentuanNya. Almarhum Abah pasti akan memahami kondisi itu.

”Baiklah, Pak...Sekarang, lekas bawa anak itu ke rumah

266 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 267

sakit. Saat ini juga, saya akan mengambil uang itu.””Terima kasih, Cep...” Ucap Bapak itu. Tangisnya pecah. Ia

merangkul Epul erat-erat, seorang malaikat penabur harapan bagi kesembuhan anaknya.

Dengan suara serak, lelaki itu berujar, “Doa yang tulus untuk kebaikan Acep,” Kedua matanya berlinang air bening. Ia seka air matanya dengan pangkal kerah baju yang sudah tidak berkancing lagi sehingga dadanya sedikit tersibak.

Epul mengangguk.”Bapak tak perlu memaksakan diri untuk membayarnya.

Saya sudah merelakan uang itu.” ucap Epul, lalu melangkah pergi.

”Cep!” panggil Bapak itu.Epul menoleh.”Siapa nama Acep?””Epul,” jawabnya, ”Epul Saepul.”Pria paruh baya itu mengangguk. Tersenyum dalam tangis.

Epul balik badan dan pergi.

lll

Ingin rasanya Epul beristirahat. Jiwanya masih terluka, mengalami pukulan bertubi-tubi. Beberapa hari ini, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Jika malam hari, badannya menggigil dan lemas. Asupan makanan yang kurang ditambah dengan beberapa musibah menyita tenaga semakin memperparah kondisi kesehatannya. Meskipun begitu, hari ini adalah sidang kelulusan Gerhard, dimana dia akan diuji oleh beberapa panelis mengenai penelitian dan kecakapannya dalam menguasai berbagai ilmu yang sudah diserap selama kuliah. Bagi mahasiswa UNIBA yang bersangkutan, momen ini sangat menegangkan karena bisa berakibat tidak diterimanya hasil penelitian yang sudah dilakukan berbulan-bulan. Jika demikian, mahasiswa tersebut harus mengulangi penelitiannya lagi dari awal. Di saat seperti itulah, seseorang butuh dukungan dari sahabat. Lagi pula

Epul sudah berjanji untuk bisa menghadirinya. Di sanalah arti sebuah persahabatan yang sejati. Bukankah persahabatan sejati adalah saling menjaga komitmen? pikirnya.

Meskipun dengan kondisi tubuh yang rentan, Epul berangkat untuk memenuhi janjinya. Ia duduk di kursi jajaran depan di dalam Ruang Serba Guna itu. Di sampingnya duduk Dika, Rida, dan mahasiswa lainnya. Selama dua setengah jam sidang berlangsung, ia tidak bisa menyimak acara itu secara penuh. Rasa dingin kembali mencengkeramnya. Akan tetapi, suhu badan drastis meninggi. Rasa mual kembali menggempur lambungnya. Pandangannya kabur. Suara-suara mahasiswa dan dosen penguji yang hadir di ruang itu terdengar timbul tenggelam. Tepat ketika Gerhard akan menutup sidangnya, tubuh Epul jatuh tersungkur ke atas lantai.

“Epul pingsan!” teriak Dika. Semua pandangan tertuju kepadanya. Dika tergesa

menghampiri tubuh yang tergolek lemas itu. Beberapa mahasiswa lain menghambur ke arahnya dan secara bersama-sama membopongnya ke luar ruangan. Mereka segera melarikan Epul ke Unit Kesehatan Mahaswa UNIBA untuk pengobatan.

Sementara Epul diperiksa dan diobati di dalam ruang, sahabat-sahabatnya berkerubung di depan pintu ruangan tersebut. Usai memeriksa kondisi dan mengobati pasien, seorang laki-laki muda berseragam putih keluar dari ruangan itu.

“Ia terserang demam berdarah. Trombositnya di bawah angka 30.000. Komplikasi dengan pendarahan pada lambung dan usus. Kemungkinan ia sering membiarkan lambungnya kosong.” terang dokter itu, lalu berpamitan.

Dika dan sahabat Epul lainnya segera menyeruak masuk ruangan dan menghampiri ranjang dimana Epul terbaring. Tangannya meraba kening sahabatnya. Ia merasakan demam yang tinggi.

Hampir dua minggu Epul dirawat di rumah sakit. Sekarang, saat kritisnya sudah lewat. Meskipun demikian, dokter menyarankannya agar kesehatannya tetap diperiksa secara

268 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 269

berkala sehingga akan lebih bagus untuk tinggal di rumah sakit itu beberapa saat lagi.

Mata Epul mengerjap dari tidurnya. Dika, Sarkadhut, dan Gerhard menghampirinya. Mereka berdua duduk di tepi ranjang.

“Dika, maukah kamu menolongku?” perkataannya bergetar tak bertenaga.

Dika mengangguk. “Apa yang bisa aku bantu?” tanyanya.“Kesehatanku sudah lumayan, sayah sudah merasa lebih

baik,” desisnya dari bibir yang mengering pecah-pecah, “bisakah kamu antarkan sayah ke Ciamis?”

“Tapi, Epul… Kamu lebih baik di rumah sakit. Di sini ada dokter yang mengerti kondisi kesehatanmu,” kilah Dika.

“Sayah tidak ingin merepotkan kalian!”“Sudahlah, jangan kamu pikirkan. Di sini masih ada

Gerhard, Sarkadhut, ya kan?” ucapnya melirik kepada Gerhard dan Sarkadhut. Mereka mengangguk.

“Sayah tahu,” ujar Epul. “Tetapi, banyak hal yang sayah pertimbangkan. Salah satunya adalah faktor biaya.”

“Jangan kau khawatirkan masalah itu, Bah!” sela Gerhard.Epul termenung. Dika dan Gerhard saling pandang. “Aku bisa mengantarkannya!” tiba-tiba terdengar suara

dari mulut pintu.Gerhard, Sarkadhut, Dika, dan Epul menoleh ke arah suara

itu. Di pintu ruang yang setengah terbuka, Renee berdiri.Dika terdiam. Epul senang mendapat sokongan.Renee melangkah masuk. “Dika, aku paham kau mengkhawatirkannya. Tapi, Epul juga

tidak salah. Siapa yang betah berlama-lama tinggal di rumah sakit? Lagipula, dokter juga tidak mengharuskan ia berada di sini,” ucapnya.

Akhirnya, semua mufakat dengan usulan Renee dan keinginan Epul. Esok hari, Renee akan mengantarkan Epul ke kampung halamannya di Ciamis. Untuk itu, Renee meminta Dika menemaninya pergi dan Dika menyanggupinya.

Usai menengok Epul di rumah sakit, Renee langsung pulang. Saat itu, hari masih petang. Di dalam kamar, Renee terhanyut terbuai lamunan. Di depan sebuah cermin lemari, ia pandangi sendiri wajah ayunya. Pikirannya menerawang ke masa silam, saat ia pertama kali bertemu Dika di Stasiun K.A. Gambir, lalu semasa registrasi di UNIBA. Perjumpaan dengannya sangat mengesankan, indah untuk dikenang. Lalu, ia pandangi beberapa benda pemberian Dika, kartu pos bergambar panorama sawah berundak-undak, dan beberapa foto bersama. Ia tersenyum sendiri. Benda itu, ia dekap syahdu di depan dadanya.

Renee bangkit, lalu bergegas menghampiri meja belajarnya. Tangannya menarik secarik kertas tak bergaris dari tumpukan dan sebatang pulpen. Ia berjalan ke arah jendela, melemparkan pandangan jauhnya ke arah lembah, sawah dan pepohonan pinus yang menghijau. Ia duduk di ambang jendela dengan melipat lutut kanannya di depan dada. Semilir angin sore menyeruak masuk, menguraikan rambut ikalnya yang hitam keemasan.

Di atas pahanya, ia meletakkan kertas untuk melukiskan isi hatinya. Di atas secarik kertas itu, ia ungkapkan berbagai mimpinya. Menjadi seorang istri, hidup bersama lelaki pujaan hatinya, di sebuah desa pegunungan yang menghijau. Mereka berdua akan menjadi petani, menggarap sawah-sawah mereka, menyiangi gulma, diiringi riangnya kicauan burung-burung manyar. Ia sudah jauh menempuh perjalanan, untuk menjemput impian semasa kecilnya. Setelah tumpah semua isi hatinya, ia lipat kertas itu. Tersenyum. Impian indahnya sebentar lagi terwujud. Esok hari, ia dan Dika akan mengunjungi sebuah desa pegunungan nan asri, di Jawa Barat bagian timur. Seperti dahulu saat ia pertama kali ke Indonesia. Akan ia sampaikan surat, ukiran isi hatinya, di sana. Semoga Lelaki pujaannya berkenan.

lll

Cinta yang Terhempas

270 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 271

Gumpalan awan-awan putih berarak menantang terik matahari di langit biru. Ciakar, sebuah desa asri yang terletak di haribaan Gunung Sawal, terasa teduh sore itu. Di kaki gunungnya, sawah-sawah yang berundak-undak sudah menguning hampir panen, menjadi sasaran empuk burung-burung pipit yang genit.

Kemarin, atas permintaan Epul, Renee mengantarkannya ke rumahnya di Ciakar. Atas permintaan Renee, Dika ikut serta dalam perjalanan itu. Bagi Renee, bepergian ke pedesaan adalah sebuah obsesi, menikmati keasrian tropis yang alami.

Di halaman belakang rumah Epul, di bawah pohon sawo yang berdaun rindang, menjuntai seutas ayunan dari ban bekas pada salah satu dahannya yang menjulur ke samping. Di atasnya duduk seorang gadis, Renee, bergerak kesana kemari bak pendulum.

Terpisah beberapa langkah dari pohon itu, Dika asyik mengumpankan rumput-rumput dari tong kayu kepada domba-domba di dalam kandangnya. Mereka mengunyahnya dengan lahap.

Tak ingin menyia-nyiakan keindahan pemandangan yang ada di depan matanya, Renee meloncat dari ayunan.

“Dika! Dika!” teriak Renee melambaikan tangan kepada Dika. Wajahnya ceria. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu sejak lama. Sebuah keindahan dari mimpi-mimpinya yang hendak ia wujudkan.

“Ada apa, Renee?” tanya Dika mengalihkan pandangan sesaat dari domba-domba yang sedang melahap pakan.

“Ke sini sebentar!” bujuknya. Tatapan matanya berbinar penuh rencana. Ia memandang Dika dengan tersipu, antara bahagia dan penuh harap. Semangatnya melonjak. Renee menghampiri dan meraih tangannya, lalu membawanya berlari melintasi rerumputan hijau dan ilalang di tanah lapang itu. Dika hanya terdiam, menuruti saja langkah Renee.

Di samping rumah, di bawah pohon belimbing, sebuah sepeda tua tersandar. Warna catnya hitam mengilap. Sebuah kap lampu stainless steel masih apik terpasang di depan setangnya.

Renee meraih dan menegakkannya,“Bonceng aku!” pintanya manja.Dika terdiam. Ia seperti terhipnotis dan menuruti

permintaannya tanpa bertanya, duduk di sadel depan. Renee meraih boncengan sepeda dan mendudukinya.

“Kita mau kemana?” tanya Dika sedikit menoleh.“Ikuti pintaku! Kau tidak akan menyesal.” jawabnya yakin.Dika pun manut. Ia kayuh sepeda tua itu perlahan melewati

jalan setapak yang dipenuhi ilalang setinggi lutut orang dewasa. Jalanan kali ini menurun perlahan. Setelah melewati sebuah jembatan sederhana yang terbuat dari batangan bambu yang diikat , tampak di depan mata hamparan padi yang menguning. Menyusuri pematang sawah yang sempit, kedua orang itu tertawa riang, ditimpali gemerisik lidah runcing daun-daun padi yang meliuk-liuk anggun tersapa angin sore. Burung-burung pipit dengan riang hinggap sebentar untuk mencuri bulir-bulir padi. Terusik oleh embusan angin pada bebegig85, mereka terbang sesaat ke udara, lalu hinggap kembali. Di sudut-sudut pematang sawah, pohon-pohon pisang tumbuh bergerombol.

Renee menunjukkan jari ke arah hamparan padi.“Kamu lihat, kan? Saat ini padi sawah sudah menguning

dan akan segera dipanen. Inilah salah satu keindahan alam tropis yang tidak pernah aku temukan di negeriku yang dingin. Keindahan yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.”

Renee terpana melihat pemandangan itu. Rasa takjub menyelimuti jiwanya. Di sadel belakang ia menatap hamparan padi menguning pada sawah yang berundak-undak. Pematang di bawahnya meliuk-liuk mengikuti garis kontur tanah. Dika berkonsentrasi pada galengan sawah yang dilalui sepedanya.

Di depan sebuah saung tak berdinding, Dika menghentikan sepeda. Lantas, ia menyandarkan palangnya pada tiang gubuk yang terbuat dari bambu itu. Atapnya terbuat dari pelepah nira kering yang disusun dengan tali temali. Di dalamnya terdapat bale-bale yang terbuat dari bambu, tempat petani beristirahat setelah lelah bekerja. Di samping saung, sekumpulan bunga

85 Orang-orangan di sawah untuk mengusir hewan pemangsa padi

272 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 273

kembang sepatu berwarna lembayung tumbuh rimbun. “Jadi, ini maksudmu membawaku kemari?” tanya Dika.Renee mengangguk, “Kamu senang juga, kan?” tanyanya

menyelidik.Dika diam saja. Ia berjalan menuju ke samping gubuk

sederhana itu, menikmati pemandangan, menatap jauh ke arah selatan. Sederetan tanah-tanah tinggi berwarna biru tua, batas antara hijaunya hamparan sawah dengan langit biru muda. Pegunungan menghiasi bagian selatan daerah Jawa Barat.

“Dika, besok adalah hari istimewa bagi Opa.” ucap Renee memulai percakapan.

“Lalu?” tanya Dika dingin tak menoleh. Ia tak merasa tertarik dengan apa yang diceritakan Renee.

“Sebelum Opa meninggal, ia berwasiat agar abu jenazahnya ditaburkan pada aliran air Sungai Cikapundung, dekat jembatan di Jalan Asia-Afrika pada tanggal kelahirannya.”

Dika tak merespon. “Besok Minggu tanggal 7 Desember adalah hari tersebut.

Maukah kau menemaniku melakukannya. Aku rasa kamulah orang yang layak menemaniku melakukan hal itu.”

Dika hanya terdiam. Ia tidak benar-benar menyimaknya. Ia masih belum bisa memahami sikap Nada padanya. Saat orang terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, manusia akan lupa bagaimana cara berempati yang paling sederhana: mendengar.

”Apakah hal itu penting?””Bagi mendiang Opaku, ya.” Dika tetap terdiam. Ingatannya tercurah pada Nada yang

tetap menjauh darinya. Raut wajahnya berubah, memuram penuh duka. Tak pernah terbersit di dalam hatinya untuk membuang semua impian yang mereka rencanakan untuk diraih bersama-sama. Nun jauh di sana, di pegunungan Bandung selatan, mimpi mereka bermuara. Di tepi sebuah telaga biru yang dikelilingi hamparan hijaunya pepohonan. Matanya mulai berkaca-kaca.

Selagi ia tertegun bersidekap, Renee berjalan mengendap di belakangnya menuju sudut pematang sawah di dekatnya.

Di sana, tumbuh segerombol bunga kembang sepatu indah berwarna lembayung di bawah naungan rimbunnya pohon pisang. Dipetiknya sekuntum bunga itu dari tangkainya. Ia rangkai bunga itu pada setang kemudi sepeda, sebagai ungkapan cintanya yang mendalam kepada orang yang ia harapkan bisa mendampinginya hidup di negeri tropis ini. Semoga, ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan baginya, pikirnya. Lalu, ia berjalan kembali mendekati Dika. Ia duduk di sampingnya, di atas bale-bale bambu dalam saung.

“Dika, bolehkan aku bertanya sesuatu kepadamu?” tanya Renee sedikit ragu.

Dika melirik tanpa berkata-kata. Ia mengangguk pelan. Beberapa saat keadaan senyap. Renee merogoh saku depan baju hangatnya, lalu mengeluarkan lipatan kertas putih dan digenggamnya rapat-rapat dalam dekapan kedua tangannya yang gemetar. Ia takut Dika mengetahuinya. Kertas itu adalah ungkapan isi hatinya yang ia tulis tadi malam. Ia hendak memberikan surat itu kepadanya.

“Apakah kamu…,” ucap Renee terhenti. Ia menghela napas dalam kecemasan. Gugup, tidak berani meneruskan perkataannya. Berbagai ketakutan menggelayut di pikirannya.

“Tidak jadi. Aku berubah pikiran.” Ia memalingkan muka.Dika tak menjawab, mencuri pandang sekilas. Ia heran

dengan tingkah aneh sahabatnya itu.Dika mengalihkan pandangan ke arah barat, pada cahaya

langit yang berpendar. Matahari hampir menyelinap di tajuk pepohonan kelapa sebelah barat.

“Seandainya saja Nada berada di sini. Kami pasti akan mendendangkan sebuah lagu bersama-sama. Persis seperti yang kami lakukan di tepi Telaga Patenggang beberapa bulan lalu.” ucapnya, menghela napas berat.

Mendengar nama itu disebut, Renee iri hati. Berulang kali Dika menyebut-nyebut nama yang sama dihadapannya membuat hatinya merasa tersengat.

“Dika, kenapa kau selalu menyebut-nyebut Nada? Sebegitu berhargakah dia untukmu?” protes Renee. Wajahnya tertunduk,

274 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 275

memerah. Memendam api cemburu. Tak bisa dipungkiri, ia cemburu pada sahabatnya sendiri.

”Dia adalah separuh jiwaku,” balas Dika. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Separuh batu telaga hitam mengilap. Lalu meremasnya di dalam genggaman, ”jiwaku takkan genap jika batu ini tak menyatu. Nada membawa separuhnya lagi.”

Mendengar ungkapan itu, Renee mengangkat wajah. Ia tersentak kaget, seolah berhenti bernapas. Renee seperti kehilangan kesadaran, termangu-mangu mencerna perkataan Dika baru saja. Untaian kata itu seketika menghempaskan harapannya ke dalam jurang tak bertepi. Hatinya berkesimpulan bahwa Nada dan Dika sudah menjalin hubungan khusus, lebih dari persahabatan biasa. Tidak salah lagi!

“Jadi kau...” gumam Renee di ujung pengharapannya. Perkataannya setengah berbisik, keluar dari celah kedua bibir pucatnya yang gemetar. Berbagai pertanyaan dan dugaan yang bergemuruh di hatinya, kini terjawab.

Dika masih termenung. Renee mencoba bersikap tegar dalam kehampaannya.

“Apa yang baru saja kamu ucapkan?” tanya Dika. Tatap matanya menyelidiki raut wajah Renee yang masih tertunduk.

”Kau tak perlu tahu apapun. Lagipula, aku bukanlah siapa-siapa bagimu.” Ungkap Renee. Kedua tangannya membenam di dalam saku baju hangatnya. Di dalamnya, jemari tangannya meremas-remas surat yang semula hendak ia berikan kepada Dika. Waktu itu, ingin sekali ia menangis sekencang-kencangnya.

Dika merasakan kecanggungan suasana. Ia tersenyum kecil, mencoba mencairkan kebekuan.

”Ah...kamu...Tentu saja kau adalah sahabatku.” Dika tertawa hambar, heran dengan sikap Renee yang tak seperti biasanya.

‘‘Kau tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Jika sahabat, kenapa kau tidak berusaha untuk berempati, walaupun hanya sedikit?” Ungkap Renee, di sela helaan napasnya yang kini kian berat.

Dika tak paham arah pembicaraan Renee. Namun, ia

terperanjat menemukan keseriusan Renee dalam sikap dan ucapannya. Ia mencoba menyelami kedalaman emosi gadis itu melalui raut wajahnya.

“Apakah pertanyaan itu perlu aku jawab?”Renee menggeleng. Ia terhimpit kehampaan dari harapan

yang tak terwujud. Menyadari kenyataan bahwa mimpinya kandas. Badannya bergetar, merasakan kepahitan yang dalam di hatinya.

“Tidak perlu. Bagimu, aku memang tidak penting!” ucap Renee. Wajahnya memerah, menahan air bening yang menggenang di pelupuk matanya agar tak terjatuh.

“Jadi, kalau begitu, kenapa kamu bertanya?” tanyanya lagi.Semilir angin sore berembus, membalut mereka dalam

kecanggungan. Dingin dan kaku. Dika menghela napas dalam-dalam. Ia paham, Renee

berperasaan sangat sensitif. Ia takut perkataannya baru saja menyinggung perasaan Renee.

“Maafkan aku. Aku tak bermaksud demikian.” ucap Dika membelai punggung tangan sahabatnya itu.

Renee tidak menjawab. Jemarinya gemetar. Dadanya sesak menahan tangis.

“Kurasa, kita tak perlu membahas hal ini lagi. Bukankah persahabatan kita lebih berarti dari segalanya?” tanya Dika. Ia bangkit dari duduknya. “Sekarang, mari kita pulang. Hari sudah hampir senja! Kita akan pulang ke Bandung hari ini, kan?” ajaknya tanpa menoleh.

Tanpa menunggu persetujuan, Dika bangkit, berjalan menghampiri sepedanya. Renee bangkit, membuntutinya.

Melihat setangkai bunga yang terselip di setang, Dika tertegun sesaat. Tangannya meraihnya. Sejak kapan ada bunga terselip di setang? Apakah Renee yang menyelipkannya? pikirnya. Tak terlintas apapun di benaknya, selain tindakan itu berlebihan yang akan memancing perhatian orang-orang kampung yang melihatnya. Lantas, ia hempaskan bunga yang tak lain perlambang cinta Renee itu ke atas pematang sawah.

276 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 277

Di belakangnya, Renee tersentak. Namun, sekuat tenaga ia mencoba tetap tegar. Ribuan tangis menggumpal, tertahan di rongga dada.

“Bunga itu?” bisik Renee pilu. Wajahnya memerah menahan amarah dan sakit hati.

“Kenapa kau membuangnya?” teriak Renee. Ia menyeruak ke hadapan Dika.

Dika terhenti sejenak. Menghela napas, lalu menghardiknya,“Sudahlah, Renee. Kamu jangan berlebihan!”

Bibir Renee gemetar, menahan perasaan putus asa, sedih, dan marah yang menggulung. Rahangnya gemeretak. Air mata semakin menggelayut di kedua kelopak matanya. Ia tertunduk, tangannya meremas-remas ujung baju yang tak terbalut baju hangatnya.

Menyelami perasaan sahabatnya, Dika terhenyak. Ia tersadar, baru saja membentaknya. Itu pasti menyakiti hatinya.

“Maafkan aku, Renee!” sesal Dika mengernyitkan dahi, “Tapi, apa maksudmu menyelipkan bunga itu?”

Renee tertunduk. Pandangan hampanya meratapi bunga yang tercampakkan itu. Seluruh persendian tulangnya tak mampu lagi menopang tubuhnya. Lantas badannya luruh, bersimpuh pada kedua lututnya di atas tanah pematang. Tangannya yang gemetar meraih bunga yang tergolek layu pada pematang sawah. Ia bersihkan helaian-helaian mahkota bunga itu dengan ujung jemarinya. Lalu, seolah belahan jiwanya, ia dekap bunga itu perih di depan dada, bersama dengan sepucuk surat yang urung ia berikan. Tangis pun meledak, pecah berurai-urai. Ia menangis sesegukan. Air matanya berderai pada bingkai bagian bawah kacamatanya. Deras mengalir di kedua pipinya hingga dagu, hingga membasahi ujung kerah bajunya.

Dika terlonjak kaget. Ia pandangi lekat wajah Renee. Tangisnya pilu, menanggung perih tak tertanggungkan. Segera, rasa iba menjalari hatinya. Dika lekas menyandarkan kembali sepedanya pada tiang gubuk bambu, lalu berjalan menghampirinya. “Maafkan aku, Renee. Aku tidak sengaja. Aku

tak bermaksud…,” sesalnya.Renee mengangkat wajah. Tatap matanya nanar. Ia bangkit

dari terpuruk, menjejakkan kaki-kakinya yang rapuh di atas tanah pematang sawah.

Tak sampai tangan Dika meraih bahunya, Renee lekas berbalik. Ia berlari sekuat tenaga, perih penuh sesal meninggalkan Dika di sana. Renee menyesal, mengapa menumbuhsuburkan harapan untuk mendapatkan cintanya kalau pada akhirnya semuanya akan berakhir seperti ini. Pilu hatinya menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah wanita yang istimewa baginya. Bahwa relung hati lelaki pujaannya sudah ditempati oleh wanita lain. Cinta tulus suci yang ia tawarkan kepadanya senasib dengan bunga kembang sepatu yang tercampakkan dari sepeda itu. Saat ini, jelas sudah cinta lelaki idamannya bukanlah untuknya, tapi untuk wanita lain, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Serenada.

Dalam tertegun, Dika terkesiap. “Renee!!” teriaknya membahana, “dengarkan dulu penjelasanku!”

Ia tak habis pikir dengan tindakan Renee. Kenapa ia begitu sensitif? Begitu berhargakah bunga itu? Bukankah itu hanya sekedar bunga kembang sepatu yang ia petik dari sudut pematang? Kedua tangannya membenam di dalam saku celana. Wajahnya menunduk memandangi tanah tempat kakinya berpijak. Tanah itu seolah menganga. Ia pun serasa terbenam ke dalamnya. Rasa penyesalan menghimpitnya. Tangisan Renee tidak biasa.

Langit barat sudah memerah, sendu. Matahari sudah bersembunyi di balik daun-daun pohon kelapa. Suara kumbang kelapa menyayat-nyayat senja. Angin semakin dingin, berembus meningkahi dedaunan pohon pisang yang berbaris sepanjang bibir sungai. Gemericik air sungai pilu mengalir, menyapa bebatuan.

Renee tak pedulikan Dika yang berulang kali meneriakkan namanya. Ia terus berlari, terseok-seok menyusuri pematang sawah. Semakin kencang dalam kepedihan cinta yang tak berbalas. Membawa serpihan mimpi-mimpi indahnya.

278 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 279

Mendekap pecahan hatinya yang terserak. Rambutnya yang keemasan berkibar-kibar terbelai embusan angin. Teganya Dika membuang keindahan ungkapan hatinya. Ia terisak perih, air matanya mengalir deras, pipinya semakin basah. Langkah kakinya semakin merapuh. Tibalah ia di halaman rumah Epul. Ia berlari menuju pintu depan, lalu menerobosnya.

“BRAKK!” daun pintu rumah Epul terbanting keras. “Renee?” tanya Epul kaget. Sejak sejam yang lalu, ia duduk

di ruang itu, sibuk membenarkan tali arlojinya yang hampir putus.

Renee menyeruak masuk. Setengah berlari, ia menghampiri tasnya yang tergeletak di atas kursi rotan. Tangannya menghimpun buku-buku yang baru setengahnya ia baca di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Sementara itu, Epul termangu. Ia duduk di kursi menatapnya keheranan. Ia menyadari, sahabatnya itu menangis. Tetapi ia tidak tahu penyebabnya.

“Dika mana?” tanya Epul memberanikan diri.Renee tidak menjawab. Punggung tangannya menyeka

lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya. “Aku pulang!” ucap Renee singkat di sela sesegukannya,

tanpa memedulikan Epul yang masih tercenung. Ia berbalik ke luar ruang tengah dan berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah. Beberapa saat kemudian, suara mesin mobil menderu, lalu menjauh dan semakin sayup terdengar. Suasana sunyi hinggap kembali sepeninggal Renee. Epul masih mencerna dan menduga-duga kejadian yang baru saja ia hadapi. Beberapa saat kemudian, menyembul Dika di ambang pintu.

“Renee mana?” tanyanya terengah-engah. Pandangannya mengitari seisi ruangan, sembari menyeka keringat yang mengucur di keningnya dengan lengan baju. Ia tak menemukan sosok yang ia cari di ruang itu, selain Epul yang termangu-mangu dalam keheranan.

lll

Meratapi Kembang Sepatu

Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Nyatalah sekarang, keindahan pelangi hanya untuk dikagumi, tetapi tidak untuk diraih. Impian hidup bersama pemuda idamannya di negeri tropis nan eksotis tidak akan pernah terwujud. Renee terpaksa harus kembali ke Negeri Dinginnya, Belanda. Nasibnya seperti dahulu kakeknya yang terpaksa angkat kaki dari negeri impiannya. Ia pandangi lekat beberapa foto selama ia tinggal di Indonesia yang sebentar lagi akan menjadi kenangan. Foto jajaran nyiur tepi pantai dan bunga kembang sepatu yang bermekaran serta anak-anak kecil berpakaian tradisional. Mereka memakai pakaian pangsi berwarna hitam-hitam dengan penutup kepala, berbaris tersenyum membawa alat musik tradisional dari bambu, angklung. Ibu-ibu yang anggun memakai kebaya. Ia beralih kepada bingkai foto saat dirinya bersama Dika. Cintaku yang indah memang seperti keindahan pelangi. Air matanya mulai menggenang di pelupuk, merayap perlahan pada kedua pipinya yang memerah. Tangannya menelungkupkan bingkai foto itu. Ia akan berusaha untuk melupakannya. Jalan hidup terkadang tidak bisa dipahami. Kenapa ia harus bertemu dan dekat dengannya jika saja cintanya tidak bisa menyatu.

Renee menarik laci lemari rias. Tangannya meraih postcard pemberian Dika saat ia berkenalan pertama kali dengannya. Dipandanginya lekat-lekat dan ditimang-timang di depan matanya.

Segera ia mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Kelopak matanya sembab. Sejak semalam ia terus menangis karena akan pergi meninggalkan Indonesia untuk selamanya.

Waktu berjalan lambat. Langkah kakinya berat melintasi pelataran taman. Sepasang burung merpati bertengger di atas bubungan atap rumah, mendekur sendu meratapi senja yang memerah. Angin mendesis menyapa dedaunan pohon bambu pagar yang membisu. Bunga-bunga melayu menunggu hujan

280 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 281

yang lama tak tercurah. Di saat yang sama, mobil Chevrolet Zafira merah metalik

memasuki pelataran parkir rumah Renee. Nada menyembul keluar dari pintu mobil itu. Nanti malam, ia ingin mengajaknya menonton konser musik tradisional angklung, salah satu kesenian yang sangat digemari Renee di Sasana Saung Angklung Udjo, daerah Padasuka, Bandung. Saat memasuki pelataran taman, langkahnya terhenti. Ia berpapasan dengan Renee saat dia melangkah keluar beranda. Nada terheran-heran. Pandangannya beralih kepada taksi yang sudah terparkir di halaman rumah dan Renee yang menarik travel bag.

“Renee, mau kemana?”Renee tidak menjawab. Nada membuntuti, mencoba

menyejajarkan langkah.“Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!”Renee terhenti. “Nada, kenapa kau tidak bilang kepadaku

dari awal?” ucap Renee terisak.“Renee, apa yang kamu bicarakan? Aku tidak paham!”“Sudahlah, semua sudah terlanjur terjadi! Tak ada gunanya

kita membahasnya!”“Coba terangkan! Biarkan aku mengerti!”“Kenapa kau tidak bilang dari awal, kalau kau punya

hubungan dengan Dika. Dan kenapa kau tidak bilang dari awal kalau Dika mencintaimu?” ucapnya terhenti. Ia menyeka air mata dengan punggung tangan. “Kau membiarkan aku mencintainya sehingga rasa cintaku tumbuh semakin dalam. Dan di saat yang sama, aku baru menyadari bahwa hatinya bukan untukku!”

Air mata Renee mengalir deras di kedua pipinya, terburai pada bingkai kacamatanya.

“Renee!” teriak Nada sembari mencoba merangkul sahabatnya. Seketika Renee mengenyahkannya. Nada pun terhempas. Ia menangis seraya bersimpuh di tanah.

“Aku tahu itu. Itulah kenapa aku menjauh darinya. Aku hanya ingin kau dan dia bahagia bisa bersama. Aku tahu, betapa besar rasa cintamu kepadanya, hingga kau mempertaruhkan

hidupmu untuk bisa bersamanya. Biarlah aku yang mengalah dan menyaksikan kalian berdua dalam satu perahu dari tepi telaga. Aku rela. Aku bahkan takkan memaafkan diriku jika saja menyakiti hati sahabatku sendiri.” papar Nada sembari terisak.

“Kau salah!”teriaknya lantang. Suaranya bergetar, “Hati takkan pernah bisa berpaling! Kau pikir aku tega merenggut cinta sahabatnya sendiri?” ucapnya terisak perih.

Menelan pilu, buru-buru Renee berderap menuju taksi. Setelah memasukinya, tak sampai hitungan menit, kendaraan tersebut meluncur meninggalkan Nada yang masih tertegun. Kendaraan itu melesat di tengah perih yang mengambang di udara. Renee hendak menuju Stasiun Kereta Api Bandung, menaiki kereta yang akan membawanya ke Jakarta. Ia akan kembali ke Negeri Dinginnya, Belanda. Tak ada yang bisa diharapkan lagi di Negeri Hangatnya, Indonesia. Sudah jelas, negeri ini mengharamkan impiannya. Harapannya kandas diterjang kenyataan.

Cabang-cabang petir berkilatan, mencoba menggapai-gapai horison. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggelayut, menutup langit barat yang merah. Saat taksinya melewati Jalan Asia-Afrika, hujan sekonyong-konyong turun deras. Tepat di atas jalan jembatan Sungai Cikapundung, ia minta pengemudi menepikan kendaraan. Berlindung dari derasnya hujan, ia melangkah keluar dari taksi tersebut dengan payung hitam. Langkahnya tergesa menyeberangi jalan menuju bibir sungai bersejarah itu. Di tangan kanannya tergenggam kotak logam berwarna hitam. Di dalamnya tersimpan rapat abu jenazah mendiang Opanya.

Air sungai itu sekarang sudah berwarna keruh oleh lumpur. Cokelat kehitaman karena limbah, tidak bening dan bersih seperti yang pernah diceritakan Opanya dahulu. Alirannya deras, menghanyutkan rerantingan dan dedaunan bersama arusnya. Namun, tergurat di udara saat anak-anak kecil terjun ke dalam airnya yang bening, tertawa suka cita berenang di antara mengilapnya bebatuan sungai. Lalu, obrolan riang para

282 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 283

remaja putri berkebaya yang duduk bersimpuh mencuci pakaian diselingi derai tawa, mengambang di udara.

Meskipun begitu, ia harus menunaikan amanatnya. Di bawah pohon peneduh ki sabun berdaun rindang yang tumbuh di tepi sungai, sambil terisak, ia taburkan abu itu ke dalam aliran airnya. Ia sibakkan kacamatanya ke atas ubun-ubun. Ujung jari tangannya menyeka air mata dari kedua pipi dengan sapu tangan biru muda. Apa yang dulu dialami Opa dialaminya juga saat ini. Ia mafhum, betapa dalam rasa cinta Opa kepada salah seorang wanita Indonesia, sama seperti ia mencintai Dika. Dan nasib tragis mendiang Opanya kembali ia rasakan.

Ia menghela napas berat. Tangan kirinya menggenggam erat pegangan payung. Selepas itu, ia berjalan menuju ke arah timur, tepat seperti yang dilakukan oleh Daendels ketika akan membangun kota itu. Sesampainya di tugu Bandung 0.00 km, ia termangu. Air mata kepedihannya meleleh. Bangunan-bangunan tua bersejarah di sekitarnya membisu. Saat ini juga, ia akan menjauh dari mimpi yang selama ini ia coba gapai. Alangkah beratnya ketika menyadari bahwa orang yang sangat ia cintai begitu dalam tidak bisa membalas cintanya.

Dari langit yang menghitam pekat, kilatan halilintar susul-menyusul. Gemuruh guntur mengiringinya meledak-ledak beserta curahan air. Sudah hampir satu jam ia berada di tempat itu, di depan sebuah monumen Bandung 0.00 kilometer. Waktu terasa berjalan lambat. Jarum detik jam tangannya bergerak malas tak semangat. Lampu-lampu penerang jalan baru saja menyala menyertai langit yang semakin kelam. Sebelum beranjak dari titik itu, ia sempatkan menulis sepucuk surat di atas kertas cokelat muda tak bergaris. Di sela isakan, ia torehkan tinta, merangkai kata-kata yang mengungkapkan keperihan hatinya di bawah naungan payung hitam. Sesekali, tetesan air matanya jatuh di atas kertas dan memburamkan tulisannya. Ia lipat kertas itu dan mengikatnya dengan setangkai bunga.

Aku hanya ingin dikenang dalam hidupmu bahwa pernah ada wanita yang mencintaimu begitu dalam. Suatu hari,

aku ingin kau menyadari hal itu, bisiknya dalam hati. Lalu, ia meletakkan lipatan kertas itu di bawah tugu Bandung 0.00 kilometer.

Kakinya melangkah dalam keperihan, melintasi jalan yang sarat kenangan baginya. Indonesia dan Dika adalah cinta yang tak berbalas. Ia bukanlah orang istimewa di mata lelaki impian yang dikaguminya itu. Benar ramalan Mamie, usahanya sia-sia untuk mengejar cinta dari negeri timur. Ia tak tahu pasti kapan luka hatinya akan terobati.

Jauh di seberang jalan, pengemudi taksi menunggu Renee hingga kelelahan. Hampir satu jam ia berada di tempat itu. Ditemani radio mobil yang melantunkan lagu pop era 80-an. Bersandar pada jok yang direbahkan, pengemudi itu mengetuk-ngetukkan jari pada pahanya seiring melodi yang terdengar. Saat lantunan lagu terakhir belum sempurna, terdengar suara jeritan seorang perempuan di celah-celah derasnya hujan. Berbarengan dengan decitan cakram-cakram rem yang tercengkeram dan suara meluncurnya roda-roda mobil pada permukaan aspal yang basah tergenang air. Pekikan klakson berkepanjangan yang menduluinya terhenti seketika setelah suara dentuman. Suasana hening kembali penuh waspada dan mencekam. Telinga pengemudi itu meruncing. Suara yang melesak ke dalam dada membuat jantungnya berdegup kencang. Serta merta ia bangkit dan menghambur keluar dari dalam kendaraan.

lll

Segera setelah kepergian Renee, saat Nada akan meninggalkan rumah Renee, sebuah taksi berhenti di depan pagar halaman. Tak berapa lama, Dika menyembul dari dalam kendaraan tersebut. Melihat Nada berada di halaman, ia berlari menghampirinya.

Nada sadar siapa yang datang. Tak ingin berbincang dengannya, ia mencoba menghindari berpapasan dengannya. Ia berjalan tergesa masuk ke dalam kendaraannya. Dengan langkah

284 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 285

cepat, Dika menyusulnya.“NADAA…!!” teriak Dika menyeruak, menghalangi

langkahnya.“Katakan padaku, apa yang tengah terjadi!” teriaknya galau

setelah berdekatan.“Teganya kau menyakiti Renee!” ucapnya membuang

muka.“Aku tidak paham!”“Kau yang membuat hati Renee hancur! Kau egois!”“Coba terangkan kepadaku duduk permasalahannya! Secara

runut!”“Sudah terlambat!” tangannya menepis. Ia terburu-buru

melangkah meninggalkannya. Dika melangkah cepat, mencoba menyejajarkan langkah.

“Berikan aku satu penjelasan!” teriak Dika. Nada terhenti, mematung. Dika turut berhenti. Ia mencoba

menyelidiki raut wajah Nada yang sarat emosi. Nada berusaha memberanikan diri menatapnya.

“Kita buang jauh-jauh impian kita untuk hidup bersama.” ucap Nada.

Mendengar itu, Dika termangu. Harapannya yang masih tersisa kini musnah ibarat embun yang menguap bersama sinar matahari.

“Tapi kenapa? Bukankah kita sudah berjanji mengenai hal itu?”

“Lupakan, itu hanya sebuah kesalahan!” Nada menunduk. “Bukan kesalahan! Tak ada yang salah. Semua seperti yang

semestinya. Kita bisa wujudkan mimpi kita. Kita sudah menanam pohon bersama. Bahkan, hati kita tetap akan genap selama batu telaga itu tidak menyatu kembali. Akulah lelaki di atas perahu itu. Dan kau adalah sang perempuannya.”

“Tetapi aku tidak mau menjadi perempuan di atas perahu itu jika sahabatku menjadi wanita di tepi telaga yang perih menyaksikan kebahagiaan kita berdua!” ucap Nada berkaca-kaca. “Aku tidak tega menyakiti hatinya.”

“Apa yang kau ucapkan?” tanya Dika berguncang, ”kita menyakiti sahabat?”

Nada membisu beberapa saat, lalu menelan kepedihan. “Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya,” ucapnya

menunduk. Punggung tangannya menyeka air bening yang mulai mengalir di pipinya. Dika hening menahan napas, bersiap mendengar sesuatu yang mungkin saja tak terduga.

“Hal yang sebenarnya adalah Renee mencintaimu dengan segenap hatinya.”

Tak kuasa menahan pilu, air matanya meleleh.Dika menjadi bimbang, tertunduk. “Tapi, bukankah kita

saling mencintai? ”Tapi tak selalu harus menyatu!””Kita sudah menciptakan perahu itu. Senja menyambut dan

sinar bulan menyinari pengarungan kita di telaga itu. Takkan ada yang bisa menghalangi!” ucapnya lirih.

Nada menggeleng,”Pasti ada! Cinta Renee kepadamu jauh lebih dalam daripada cinta kita.” teriaknya tersedu. “Kita bertiga bersahabat, satu sama lain tidak akan saling menyakiti. Renee adalah sahabat yang aku sayangi. Tak pernah sekali pun ia menyakiti hatiku. Apakah aku tega untuk menyakiti hatinya?” ia menghela napas, sesak dan berat.

“Tak sadarkah kau, perjuangannya? Untuk apa ia melakukan semua ini? Kenapa ia kembali ke Indonesia? Rela tinggalkan keluarga dan segalanya di sana? Itu karena ia ingin menjemput impian masa kecilnya bersamamu. Ia pergi dari negerinya untuk mewujudkan mimpi di negeri yang hangat ini?” Nada terisak-isak. “Dia pernah bilang, jalan hidupnya seperti kakeknya. Ia jatuh cinta kepada Indonesia, kepadamu sedalam-dalamnya. Kau adalah lelaki yang dikaguminya.”

Dika lunglai mendengar penjelasan itu. Matanya menatap Nada tanpa berkedip.

”Tapi,...Ia tak pernah mengatakan hal itu kepadaku.””Dia perempuan, sama sepertiku.” bentak Nada.“Itulah sebabnya aku menjauhimu. Sewaktu kau berada

286 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 287

di Jaya Wijaya, ia menceritakan semuanya padaku. Aku tak sanggup membuatnya kecewa. Aku takkan pernah memaafkan diriku jika saja aku merenggut impian indahnya!” ucapnya, lalu terdiam. Nada berjuang keras untuk meneruskan kata-katanya. Kesedihan menyumbat kerongkongannya. Air mata ia seka dengan punggung tangan. Kedua orang itu terdiam beberapa lama, tertunduk nelangsa.

“Bagaimana bisa kita bahagia saling mencinta seandainya kita berpijak pada kepedihan sahabat yang mendalam? Apakah kau tega melakukannya?” ia lemparkan sorot mata tajam menghenyakkan. Dika tak berani mengangkat wajah.

“Aku tidak akan mungkin merenggut impian indah masa kecilnya. Aku tidak sanggup memendarkan sorot matanya yang berbinar saat ia menceritakan mimpi-mimpi indahnya yang terangkai sejak ia masih di Negeri Dinginnya. Tak tega aku menyia-nyiakan pengorbanannya yang begitu besar. Lebih baik aku yang menderita daripada membiarkan sahabatku terluka. Biarlah aku menjadi wanita di tepi telaga itu, demi kebahagiaan kalian berdua, menjadi sepasang insan di atas perahu itu, mengarungi indahnya malam di tengah telaga!” tutup Nada terburu-buru, lalu berlari menuju mobilnya.

“Nada!” panggil Dika. Nada terhenti di samping pintu mobilnya beberapa saat. Tekadnya bulat untuk tetap menjauhinya.

“Sekarang, kalau kau benar-benar peduli, pergilah ke De Grote Postweg, Bandung 0.00 km! Ia sedang menaburkan abu jenazah kakeknya di Sungai Cikapundung! Temui dia!” ucap Nada dengan suara bergetar, sarat emosi. “Atau aku tidak akan pernah memaafkanmu! Dan jangan harap aku bisa menjadi sahabatmu lagi!”

”Tapi, hatiku akan selalu terpaut padamu!” jawab Dika.”Lupakan! Biarkan cinta kita tenggelam dalam kesunyian

Telaga Patenggang. Belum terlambat bagiku untuk melupakanmu dan belajar untuk mencintai pria lain.” tutup Nada.

Sesaat kemudian, mesin mobil meraung. Kendaraan itu

langsung melesat meninggalkan pelataran rumah Renee. Kini tinggal Dika sendiri di taman itu. Pikirannya berkecamuk. Lalu, tiba-tiba perasaan menyesal menyeruak ke dalam hatinya, menusuknya begitu kuat. Rasa bersalahnya berlapis-lapis. Gambaran masa lalu itu tertayang kembali di depan matanya.

Aku tidak pernah membayangkan Renee mencintaiku begitu dalam. Ia sudah berkorban begitu banyak dalam hidupnya untuk mendapatkan cinta ini. Aku sudah mengabaikannya. Padahal, ia begitu baik padaku. Bagaimana ia merawatku selama sakit. Dengan setia mengupas buah untukku. Saat malam, ia yang menyelimutiku dan membenarkan letak kepalaku setelah aku tertidur. Ia yang menunggu dalam tidurku hingga larut malam. Ia yang selalu tersenyum saat aku bangun di pagi hari. Ia yang membersihkan luka-lukaku. Ia yang dengan susah payah sudah menghiburku dengan lelucon dan tawanya yang riang, meskipun aku terkadang tidak memedulikannya. Setiap pagi, ia membuatkan dan menyuguhkan teh hangat serta beberapa kerat roti yang diolesi mentega.

Dika bangkit dan berlari menyusul Renee. Ia sudah melakukan kesalahan dan pengabaian yang besar dalam hidupnya. Ia sudah menyakiti hati seorang wanita yang begitu dalam mencintainya dan peduli terhadapnya. Ia sudah memadamkan binar impian indah di sorot kedua matanya.

Keluar dari pelataran taman, ia berderap menuruni jalanan desa yang berkerikil. Tak seberapa lama, langkahnya sudah menjejak di pertemuan dua jalan. Sesampainya di jalan beraspal itu, ia celingukan mencari kendaraan yang melewati jalan tersebut. Pandangannya resah. Ketika sebuah taksi melintas di depannya, ia hentikan dengan lambaian tangan tak sabar.

“Pak, antarkan saya segera ke Jalan Asia-Afrika!” teriak Dika tergesa, langsung setelah duduk di dalam kendaraan itu.

“Di sebelah mana, Mas?”“Depan Savoy Homann. Cepat, Pak! Saya sedang terburu-

buru.” ucapnya tidak sabar.“Baiklah.” kata pengemudi itu, lalu tancap gas. Mobil itu

288 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 289

melesat cepat melintasi lampu-lampu penerang jalan yang baru saja menyala.

Ya Allah, mudah-mudahan Renee masih berada di sana. Kumohon, berikanlah aku kesempatan untuk menebus kesalahanku padanya. Akulah yang telah membuat air matanya jatuh berderai pada kedua pipinya.

Di jok belakang, Dika terduduk gelisah. Wajahnya berkelebatan pada sorotan sinar lampu jalan yang menerobos kaca jendela mobil. Seribu kecemasan menyesaki pikirannya hingga ia takut membayangkan apa yang akan terjadi. Jiwanya mengembara menyusuri setiap masa yang pernah ia lalui bersama Renee. Sampai suatu saat ketika perjumpaan pertama kali dengannya di Stasiun Gambir, lalu bertemu kembali di kampus. Betapa semua itu menjadi begitu indah untuk dikenang, sangat jauh berbeda dengan kondisi saat sekarang yang sarat konflik. Betapa cepat perubahan itu terjadi pada diri mereka berdua. Ia hampir tak percaya hal itu bisa terjadi pada mereka.

Kilatan petir di langit selatan susul-menyusul, menjilat-jilat cakrawala. Suasana terang sesaat. Beberapa detik kemudian suara guntur bergemuruh dari langit yang pekat, menerobos kaca jendela mobil. Seorang lelaki tua di bawah halte bis menengadahkan wajah ke arah langit. Angin dari barat berlari kencang. Tajuk pohon meranti di pinggir jalan condong ke timur. Dedaunannya beterbangan terhempas. Serta merta curahan hujan bergemeretak menghujani atap mobil. Suaranya semakin kerap dan nyaring. Hujan seketika lebat mengguyur jalan. Beberapa orang yang berdiri di bahu jalan berhambur mencari naungan, berlari dengan terhuyung. Kaca depan mobil bersimbah air. Gerakan bolak-balik wiper kewalahan menghalaunya.

“Pak, bisa lebih cepat?” tanya Dika tak sabar. Duduknya gelisah di jok belakang.

“Maaf, Mas, pandangan terbatas. Saya tak berani tambah kecepatan! Berbahaya!” ucapnya sambil melirik cermin dalam.

Dika mengembuskan napas tak berdaya.Di depan, beberapa mobil terhenti. Di celah-celah gemuruh

hujan, terdengar suara alarm mobil meraung-raung. Beberapa orang yang mengenakan jas hujan berkerumun di tengah jalan. Dua orang membawa gergaji. Satu orang lagi mengacung-acungkan kapak.

“Ada apa lagi, Pak?” tanya Dika semakin kesal.Pengemudi mencoba mengamati keadaan di depan, di

antara celah air hujan. “Pohon besar ki sabun tumbang melintang di jalan,

tampaknya menimpa mobil di bawahnya!” “Ah!” teriak Dika geram. Tangannya mengepal memukul

jok.Beberapa saat mobil-mobil tak berkutik. Bunyi klakson

bersahutan tak sabar. Mencoba mengusir jenuh, tangan pengemudi taksi itu menyentuh tombol tape mobil untuk menyalakannya. Beberapa saat kemudian, mengalir pelan alunan merdu saksofon dari speakernya.

“Know you by heart, Dave Koz??” gumam Dika dalam hati. Benaknya melayang, teringat akan Renee. Lagu instrumental itu adalah sebait melodi kesukaan Renee yang selalu ia putar sewaktu mengendarai mobilnya.

“Radio, Pak?” tanya Dika penasaran.“Bukan, dari tape. Saya membeli kasetnya di tempat barang

bekas di daerah Terminal Kebon Kalapa, Mas.”Mobil tetap tak kunjung maju. Tampaknya kemacetan masih

akan bertahan.“Pak, kita cari jalan lain!” ucap Dika tak sabar. “Kita putar

balik, ambil Jalan Taman Sari saja!” Pengemudi mengangguk. Ia memutarbalikkan mobilnya.Setengah jam kemudian, mobil sudah sampai di Jalan

Naripan. Melintasi Hotel Grand Preanger Jalan Asia-Afrika, Dika berseru,

“Pak, berhenti di depan!” teriaknya memberi aba-aba.“Di sini?” tanya pengemudi memastikan.“Ya, berhenti di sini!” jawabnya cemas terburu-buru. Pengemudi itu menurut tanpa komentar. Mobil berhenti.

290 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 291

Dika beringsut di jok. Kepalanya menyembul keluar dari pintunya. Curahan air dari langit masih kerap. Ia memayungi kepalanya dengan telapak tangan sambil merunduk. Setelah beberapa langkah berjalan, ia berhenti. Badannya berbalik dan berjalan mendekati taksi yang baru saja ia tinggalkan. Pengemudi baru saja akan tancap gas saat ia menghampirinya.

“Pak, bisa pinjam kaset tadi?” tanya Dika sembari mengacungkan barang elektronik yang usianya hampir satu dekade itu, ”untuk walkman ini.” sambungnya.

Pengemudi terdiam. Ia ragu sekaligus heran.“Baiklah!” Dika merogoh sakunya, lalu mengeluarkan

beberapa lembar uang rupiah, “apakah jumlah ini cukup?” tanya Dika. Tangannya menyodorkan beberapa lembaran uang itu kepada pengemudi taksi. Pengemudi itu mengangguk.

“Oh, iya... silakan!” tukas pengemudi itu sambil menyodorkan barang yang diminta Dika.

Setelah mendapatkan kaset itu, Dika kembali berjalan. Badannya terhuyung menahan curahan hujan. Langkahnya tergesa sempoyongan. Lekas-lekas ia menyeberangi jalan menuju tempat yang dijanjikan. Hatinya berharap Renee masih berdiri di sana meskipun ia datang terlambat sekali. Sepatunya berkecipuk di atas aspal jalan yang tergenang air hujan. Curahan hujan jatuh terseok-seok dari langit, terbawa embusan angin. Kedua tangannya menelungkup. Wajahnya berlindung di antaranya.

Sebuah mobil melesat kencang dari arah timur. Saat ia menyeberang jalan, mobil itu hampir menabraknya. Beruntung, pengemudinya menekan pedal rem kuat-kuat. Suara remnya mendecit keras, terhenti beberapa jengkal di depannya.

“Tiiid!!” teriakan marah suara klakson sedan berwarna hitam mengilap, hampir saja menyerempetnya jika tidak segera berkelit lincah ke kiri. Dika tak ambil pusing. Di kepalanya hanya ada gambaran Renee. Ia lantas menyusuri Jalan Asia-Afrika ke arah barat. Saat ini, ia sudah berada di depan monumen Bandung 0.00 km. Namun, ia tidak menemukan Renee di tempat itu.

”Mungkinkah ia tidak jadi datang ke tempat ini?” pikirnya

menduga-duga. Pandangannya mengitar, menghampiri setiap jengkal tempat itu, mencari jejak kehadiran seseorang. Di sudut sebelah kiri trotoar yang berbatasan dengan pagar tembok bangunan, ia melihat secarik kertas putih. Ia terlonjak kaget, napasnya terhenti cemas, lalu mencoba menghampirinya. Dibukanya kertas itu dengan tangannya, ternyata kosong. Bukan pertanda, Renee berarti tidak jadi ke sini, pikirnya. Ia mengembuskan napas lega.

Akan tetapi, kelegaannya tidak berlangsung lama. Saat akan meninggalkan monumen itu, ia menemukan lipatan kertas di jalan aspal, nyaris tergerus roda-roda mobil dan hampir terhanyut bersama genangan air hujan. Matanya tak berkedip. Badannya mematung kaku. Tak berani ia dekati benda itu seketika. Kertas itu terbungkus amplop kertas glossy, terikat oleh tangkai bunga flamboyan. Berjalan perlahan, ia hampiri benda itu. Tangannya berat dan pelan meraihnya. Setelah lipatan kertas itu ada di genggamannya, ia menyeret langkah mendekati naungan pohon, berlindung dari tetesan hujan. Dengan jari gemetar, ia lepas tangkai bunga flamboyan dari kertas itu dan perlahan membuka lipatannya.

De Grote Postweg, Bandung 0+00 km, 7 Desember 2003

Teruntuk Dika,

Dahulu Opa sering menceritakan kisah mengenai negeri elok sebelum aku terlelap tidur. Aku membawa kisah itu ke alam mimpiku dan membayangkan sebuah negeri yang eksotis, nirwana di negeri seberang. Sampai aku bertekad bahwa kelak aku akan hidup dan tinggal di negeri tersebut.

Indonesia adalah impian yang selalu ingin aku gapai. Aku terlanjur terpikat kepada negeri yang hangat ini. Aku terlanjur jatuh hati kepada orang timur dengan kesopansantunan dan keramahannya. Saat aku bertemu dengan pemuda Indonesia yang santun, dewasa, dan baik hati, hatiku langsung terpikat sejak pertama kali bertemu di Stasiun Kereta Gambir.

292 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 293

Dia adalah salah satu potongan mozaik impianku. Aku mencari potongan mozaik ini lama sekali, sebuah potongan yang bisa menyempurnakan keindahan mimpi dan harapan itu. Aku bersyukur karena potongan itu sudah aku temukan.

Layaknya Opaku, aku ingin menikah dengan orang timur. Kelak aku akan menghabiskan sisa umurku dengannya. Aku akan membangun sebuah keluarga bersamanya dan hidup bahagia.

Kembalinya aku ke Indonesia adalah untuk mewujudkan impianku. Kedatanganku kembali ke Indonesia adalah untuk menjemput lelaki idaman itu, lelaki yang selalu aku kagumi. Aku takkan pernah mengalami cinta sedalam ini. Aku takkan pernah mengagumi pria lain seperti aku mengaguminya.

Akan tetapi, belakangan aku sadar. Cintaku tak pernah berbalas. Cintaku seumpama embun terhadap hangatnya sinar mentari, cinta padang sahara akan tetesan hujan dari langit, cinta gunung yang membiru kepada deburan ombak, cinta bunga tulip kepada kembang sepatu, sepenggal nyanyian sepi di dalam ruang hampa udara, cintaku adalah impian jemari tangan seorang manusia yang ingin menggapai indah pelangi.

Aku hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah mencintaimu setulus hati.

Renee van Fokkerhuis

Tetesan air hujan dari ujung-ujung rambutnya yang menjuntai di dahi jatuh mengenai kertas itu. Tak berapa lama, tinta tulisan di atasnya memburam. Terlambat sudah datang penyesalan. Ia akan menyesali kesalahannya seumur hidupnya. Sekonyong-konyong, tubuhnya melunglai. Badannya membumi di tepi jalan itu. Kekecewaan dan rasa penyesalan yang dalam merasuki hatinya, menghujam perih. Termenung ia beberapa lama dalam sepi. Ia bangkit dalam kehampaan, melangkah meninggalkan tempat itu.

Di sebelah barat tempatnya berdiri, ia melihat sejumlah orang berkerumun. Persis di depan bangunan bekas toko ’De Vries’ dan Gedung Merdeka. Sebuah mobil ambulans berwarna

putih meraung mendekat menerobos hujan. Cahaya merah dari atas atap kendaraan tersebut memutar-mutar. Pendaran cahaya kuningnya terpantul dari tetesan-tetesan air hujan. Petugas berseragam putih meloncat keluar dari pintu belakang kendaraan itu dengan berlindung di bawah payung hitam. Di depan tiang lampu penerang jalan, sebuah mobil van yang terjungkal dikerubungi beberapa orang yang berlindung di dalam balutan jas hujan. Mereka berusaha mengeluarkan satu orang pengemudi dan satu penumpang dari dalam kendaraan yang ringsek tersebut.

Sebelumnya, mobil van tersebut sedang melesat kencang di jalan lengang Asia-Afrika, lalu menabrak seorang gadis berpayung hitam ketika menyeberang jalan. Saat itu, pengemudi sempat mengerem laju kendaraan sekuat-kuatnya. Ia juga sempat membanting kemudi ke arah kiri untuk menghindar. Akibatnya, keempat rodanya menggelosor di jalan basah yang licin. Kendaraan oleng, hilang keseimbangan dan terjungkal, sekaligus menerabas gadis itu.

Rasa penasaran Dika melonjak. Dia melangkah pelan, tercekam, mendekati kerumunan. Semakin dekat, pandangannya semakin jelas. Beberapa orang dalam kerumunan itu berdiri mengitar. Perhatian mereka tertuju pada pusatnya. Saat petugas berseragam putih masuk lingkaran kerumunan, pagar betis orang-orang itu berpencar. Di saat itulah, ia melihat motif kain bunga-bunga di atas aspal. Meskipun basah kuyup, jelas itu adalah rok panjang. Sepatu satin warna cokelat tanpa hak. Bisa dipastikan dia adalah seorang wanita! Ia semakin penasaran, langkahnya semakin cepat mendekat. Ia hafal dengan t-shirt lengan panjang warna biru muda. Jantungnya semakin berdegup kencang. Tak sabar, langkahnya berderap mendekat.

“Permisii...!!” teriak Dika, berlari menyeruak menembus lingkaran. Kerumunan orang melebar membuat celah.

Rambutnya hitam keemasan. Kali ini Dika yakin dengan pandangannya. Tak salah lagi, korban yang tergeletak di atas aspal tergenang air itu adalah Renee! Nafasnya tercekat saat

294 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 295

melihat kening Renee yang tergeletak berlumur darah. Badan Dika bergeming. Tak ada yang bisa dirasakannya lagi selain penyesalan yang dalam. Kedua tangannya mengepal gemetar. Rahangnya bergemeretak menahan tangis sesaknya.

Dua orang petugas berseragam putih membungkuk meraih badan tergolek itu, lalu memindahkannya pada tandu yang sedikit basah. Dika jatuh tersungkur di samping tubuh Renee yang terkulai. Wangi parfum aroma jasmine mengendap di udara, menyumbat rongga hidungnya. Mata Renee bergerak pelan memandanginya. Pipinya basah oleh air mata bercampur hujan. Jemari tangan Dika menyeka air yang berderai dari wajah Renee dengan lembut.

“Renee, maafkan aku. Aku terlambat!” jerit Dika pilu oleh sesal.

Mulut Renee mengatup tak sempurna. Bibirnya hanya bergetar, menggumamkan kata-kata yang tidak terdengar.

“Maaf, kita harus segera menyelamatkannya!” ucap salah satu petugas itu. Mereka bangkit, lalu menggotong tubuh Renee memasuki mobil ambulans. Dika membuntutinya, ikut masuk ke mobil ambulans itu. Ia tak ingin lepas darinya, hendak menebus kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukannya.

“Bertahanlah Renee, aku akan selalu di sampingmu!” bisik Dika di telinganya.

“Kau pasti selamat! Aku akan membawamu ke sawah-sawah yang terhampar padi menguning. Di atas sepeda, aku akan memboncengmu menyusuri pematangnya. Seperti sehari yang lalu!” gumam Dika dalam tangis, memaksa senyum.

Ambulans merayap perlahan, lalu melesat, membelah curahan air langit yang menangisi malam. Suara sirenenya meraung-raung. Tangan Renee merayap pelan dan mengangkat. Dika paham, ia menggenggam jemarinya erat-erat. Telapak tangan Renee tak bertenaga, terasa dingin dan basah.

“Maafkan kesalahanku, Renee.”Teringat sesuatu, Dika menyasari saku sweaternya yang

basah, lalu mengeluarkan walkman. Dimasukkannya kaset yang

sebelumnya ia peroleh dari pengemudi taksi. Ia tekan tombol rewind, lalu menekan tombol play. Setelah jeda sesaat, alunan suara saksofon mengalir dari speakernya. Merdu dan perlahan.

“Ini lagu favorit kamu, Know You by Heart, Dave Koz! Yang selalu kamu lantunkan setiap kamu mengendarai mobilmu!” ucap Dika tersenyum dalam tangis. Renee terharu. Air mata yang terurai dari kedua sudut kelopak matanya mengalir deras. Bola matanya bergerak perlahan. Bibirnya menggumam. Ia menangis sesegukan tanpa suara.

Beberapa saat kemudian, mobil melambatkan jalannya memasuki gerbang rumah sakit. Suara raungan sirene mengecil dan menghilang sama sekali. Lagu dari walkman mencapai ujungnya, perlahan mengecil, lalu menghilang dan sepi. Tangis Renee terhenti. Dari bibirnya yang tak bertenaga, ia membisikkan kata-kata yang belum sempat ia ungkapkan kepada Dika, lelaki pujaan hatinya,

“Ik hou van je!86” Usai sebaris kata itu terucap, bibirnya tersenyum damai

lalu mengatup rapat. Kedua matanya yang semula mengerjap-ngerjap, perlahan menutup. Wajahnya basah, oleh air mata yang terbilas curahan hujan. Tangannya yang masih dalam genggaman Dika, terkulai lemah. Kini, sekujur tubuhnya kaku, terbujur tak bergerak. Renee telah mengembuskan napas pamungkasnya. Saat itulah, jantungnya tak lagi berdegup.

“RENEE!!” jerit Dika melengking.Kepalanya terjatuh pada rembesan darah yang mengalir

dari pelipis Renee. Ia menangis sejadi-jadinya. Sekarang ia sadar, ternyata semua rangkaian kejadian itu adalah ungkapan perpisahan darinya. Ia sekarang paham, bahwa lukisan itu adalah gambaran perpisahan yang ia isyaratkan. Bunga yang ia selipkan di setang kemudi adalah ucapan selamat tinggal. Dan tak akan ada lagi permintaan untuk menyertainya menabur abu jenazah kakeknya. Itu adalah permintaan terakhir darinya.

Petugas paramedis tangkas bergerak. Setelah menyembul keluar dari pintu mobil, mereka bergegas menuju bagian belakang 86 Aku mencintaimu

296 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 297

mobil, lalu membuka pintunya. Setelah menapaki lantai mobil, kecepatan gerak mereka melambat saat mengetahui bahwa nyawa korban itu tak tertolong. Dengan tenang, mereka menarik tandu itu keluar dan membawanya menuju selasar ruangan.

“Aku sudah datang, Renee!” teriak Dika parau sambil berjalan mengikuti petugas melintasi pelataran rumah sakit. Ia pandangi bibir Renee yang mengatup membiru. Bercak darah di pelipisnya membuyar terbilas curahan air hujan.

“Maafkan khilafku, Renee. Atas kesalahanku tak berbilang! Kau berusaha menghiburku dengan berbagai lelucon, tetapi aku tertawa hambar menanggapinya. Dahulu, pikiranku sering sibuk dengan hal lain saat kau bercerita mengenai isi hati dan perasaanmu. Aku tidak sungguh-sungguh menyimaknya. Aku sering menyepelekan membalas pesan singkat darimu di ponsel, sampai akhirnya aku lupa sama sekali untuk membalasnya. Beberapa buku pemberianmu, sampai saat ini tak pernah aku baca, kecuali beberapa halaman di depan. Lukisan yang kau buat dengan sepenuh hati, aku geletakkan di dalam gudang. Sekuntum bunga kembang sepatu indah yang kau selipkan pada setang kemudi sepeda, aku campakkan ke tepi pematang. Dan apa yang aku katakan? Aku mencercamu kau berlebihan dan terlalu sentimentil. Kau terluka, wajahmu tertunduk berlinang air mata, lalu berlari perih. Kaulah yang datang saat aku terluka, menawarkan hati yang mekar penuh cinta. Namun, aku selalu bercerita mengenai Nada dan selalu membanding-bandingkanmu dengannya. Aku selalu menceritakan kelebihannya di depanmu dan pasti itu amat menyakitimu. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri!”

“Bangunlah Renee!” Kedua tangannya mengguncang-guncangkan tubuh Renee yang terbujur kaku.

“Kali ini aku akan tertawa tulus dan merasa terhibur saat mendengar leluconmu. Aku akan memasang kedua kupingku lebar-lebar dan membuka hati saat kau berbicara mengenai isi hati. Aku akan menyimak sepenuh hati. Aku akan menjaga kembang itu dan mengabadikannya. Aku akan menggantungkan lukisan itu pada dinding ruang yang paling terhormat. Dan, seperti

permintaanmu, aku akan menyertaimu menabur abu jenazah kakekmu di aliran Sungai Cikapundung! Bangunlah Renee! Berilah aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku!” tangis sesalnya sesegukan tak berujung. Ia tersungkur, tertinggal tubuh kaku Renee di atas tandu yang terdiam kaku. Semua penyesalannya tertinggalkan waktu.

lll

298 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 299

Interlude

Senin, 15 Desember 2003 - Detik-detik Penentuan

Hari itu Gerhard sedang berada di dalam bis kota, hendak menuju kampus. Untuk keperluan acara wisuda sarjana, ia harus membereskan seluruh administrasi yang belum selesai. Baginya, tak ada yang lebih menggairahkan selain membayangkan saat-saat Rektor melantiknya menjadi sarjana teknologi pangan pada acara wisuda minggu depan.

Saat bis menaikkan seorang mahasiswi, masuklah seorang anak kecil menjajakan surat kabar. Ia membagikan satu per satu koran itu kepada setiap penumpang di dalam bis. Gerhard membuka lipatan koran itu dan membaca beritanya tanpa semangat. Pada kolom paling bawah, pandangannya tertumbuk pada iklan penting. Di sana tertera bahwa sebuah perusahaan pangan terkemuka dunia sedang menyediakan beasiswa riset pangan untuk mahasiswa. Syaratnya antara lain adalah pelamar harus sedang melakukan penelitian tentang inovasi pengolahan pangan. Tak tanggung-tanggung, fasilitas yang ditawarkan di antaranya yaitu biaya penelitian penuh, biaya penyediaan literatur dan akomodasi selama penelitian, serta kesempatan untuk kuliah S2 sampai selesai. Sayang sekali, waktu pelamaran paling lambat adalah hari itu cap pos. Ada kemungkinan iklan tersebut sebenarnya sudah terpajang lama sekali di beberapa surat kabar.

“Kesempatan buat Epul untuk melamar beasiswa ini. Bukankah Epul sedang membutuhkan dana? Lagipula, kualifikasi beasiswa ini sangat cocok dengan dia. Tapi, aku

harus segera memberitahunya karena kesempatan melamar tinggal hari ini, pikirnya.

Tak sabar hatinya untuk memberitakan kabar baik itu kepada sahabatnya. Ia membatalkan niatnya untuk berangkat ke kampus dan memutuskan untuk bertemu Epul saat itu juga. Tak sabar ingin sekali ia melihat senyum ceria sahabatnya itu saat mendengar kabar gembira itu.

“Pak Sopir, stop Pak!” teriaknya setelah ia berjalan mendekati pintu bis. Kendaraan itu menepi. Setelah membayar uang koran, Gerhard meloncat keluar dari pintu depan. Segera berganti haluan, ia pun menaiki angkutan kota yang akan membawanya menuju daerah Sekeloa, tempat rumah kontrakan Epul.

lll

Kemarin, Epul tiba di Bandung sehabis kepulangannya dari Ciamis. Kondisi badannya mulai bugar. Kemarin, saat ia baru saja membuka pintu kamar kontrakannya, Ibu Kost menghampiri. Ia memberikan sesuatu. Sepucuk surat dari kampus ujarnya. Benda itu ia terima dua minggu yang lalu, saat Epul masih berada di kampung. Epul merobek amplopnya dan membuka lipatan kertasnya. Isi surat itu adalah pemansuhan kuliahnya, memaksanya harus kembali ke kampung halaman sebelum waktunya. Sedari malam, ia sudah mengemasi barang-barang yang akan dibawanya pulang kampung.

Di depan pintu kamar kontrakannya, sebuah tas kumal dan sebuah kardus berisi buku-buku kuliah tersandar. Di depan rumah yang tak berhalaman itu, Ibu Kost sedang menyapu lantai semen rumah kontrakan yang luasnya hanya beberapa jengkal. Wanita bertubuh gempal ini memandang heran kelakuan Epul yang tak lazim, saat menyembul dari pintu kamar. Setelah menguncinya, ia meraih tas dan kardus dari lantai lalu berjalan mendekati Ibu Kost.

“Bu, sayah pamit pulang…” ucap Epul parau setelah mendekat. Kali ini ia bimbang. Keadaan yang memaksanya

300 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 301

pulang dari medan tempur seperti serdadu kalah perang. Ia harus hengkang dari kuliah sebelum waktunya.

Ibu kost hanya membisu mendengar ucapan Epul. Ia tak paham dengan rencana kepulangan Epul yang mendadak tanpa memberitahu rencana itu sebelumnya. Baru saja kemarin Epul datang, sekarang ia akan pulang lagi ke kampungnya.

Ibu kost mengangguk pelan.“Cep Epul sakit lagi?””Tidak, Bu,” jawab Epul menggeleng, ”sayah ada keperluan.

Mohon maaf uang sewa kost belum bisa dibayar sekarang.”Sudah tiga bulan uang sewa kamarnya belum dibayar.”Tidak usah dirisaukan,” ucap Ibu Kost lirih. Ia paham

dengan kondisi keuangan Epul, ”Ibu paham keadaan Cep Epul!””Doakan sayah mudah-mudahan dapat rejeki. Sayah pasti

kembali untuk melunasi semuanya.”Seperti biasa, tak lupa Epul menitipkan kunci kamarnya.

Setelah menyalami tangan ibu kost, ia pergi. Dengan lesu dan punggung membungkuk, kakinya melangkah keluar dari teras rumah kontrakan yang sudah ditinggalinya selama hampir lima tahun. Rasa sesak dan berat menyelimuti hatinya.

Apa boleh buat, mungkin ini bukan jalan yang terbaik untukku. Sayah akan cari ‘blessing in disguise’nya. Abah, maafkan Epul. Epul tidak bisa menunaikan amanat Abah...!” gumam Epul dalam hati. Hatinya teriris.

Pikirannya mendahului sosoknya, menelusuri tempat dan jalan-jalan dimana ia menghabiskan masa kecilnya di kampung dengan bahagia. Hamparan hijaunya dedaunan padi yang bergoyang diterpa angin melambai ramah, suaranya bergemerisik menenangkan jiwa. Namun, sekarang runcing lidah daunnya berubah serasa mengintimidasi. Dahulu, suara kicauan burung-burung pipit yang mengintai bulir-bulir padi terdengar merdu, sekarang seolah meratap sedih. Lambaian pohon nyiur yang berdiri kokoh di tanah pematang di samping sungai seperti mengajaknya singgah. Sekarang, gerakan gemulai itu seperti mengusir. Beberapa tahun silam, suara gemericik air yang mengalir dari pancuran dengan suara tawa riang dan senda

gurau penduduk saat mencuci pakaian menggubah simfoni alam yang indah. Sekarang, tatapan penduduk desanya seolah sinis mencibir kegagalannya.

Lamunannya beralih ke tanah berumput belakang gedung madrasah yang bercat hijau, tempat dimana ia bermain bola sehabis pulang sekolah. Mendadak wajahnya pucat pasi sesaat teringat wajah sahabat-sahabatnya dulu. Merekalah teman sepermainan yang saat ini kebanyakan merantau ke kota-kota besar menjadi kuli bangunan, pedagang asongan, buruh pabrik, dan sebagian yang beruntung meneruskan sekolahnya. Sahabat-sahabatnya yang terpaksa tidak meneruskan sekolah akan tertunduk malu dan merasa sungkan saat bertemu dengannya, orang yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke bangku kuliah. Suatu kesempatan langka yang ditemui oleh pemuda di kampungnya.

Pada saat bertemu, mereka mungkin akan bertanya tentang kelanjutan kuliah sayah. Apa yang harus sayah katakan? ucap Epul membatin.

lll

Gerhard menaiki angkutan kota arah Dipati Ukur, untuk bertemu dengan Epul di rumah kontrakannya. Di dalam angkot tersebut tak ada penumpang selain dirinya. Kendaraan melaju tenang di atas jalanan yang tampak lengang.

“Mau turun dimana?” tanya pengemudi angkot itu memandangnya dari kaca cermin dalam. Mobil angkutan kota tersebut sudah sampai di tujuan terakhir, Dipati Ukur. Gerhard bangkit dari duduk. Lalu ia membungkuk keluar dari kendaraan umum itu setelah memberi ongkos. Dari Dipati Ukur, ia harus berjalan sekitar 15 menit untuk sampai di tempat Epul daerah Sekeloa. Ia berjalan tergesa menyusuri gang sempit menuju rumah kontrakan Epul. Tak sabar ia ingin bertemu sahabatnya itu. Pasti Epul akan bahagia mendapat berita beasiswa itu, sangat ideal baginya, pikirnya.

302 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 303

Setiba di depan pintu kamar kontrakannya, ia tertegun sebentar, mengamati sekeliling. Jendela kamar tertutup rapat, seolah tak ada penghuni. Dengan ragu, ia ketukkan jemarinya pada pintu kamar.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya, berharap ada jawaban dari dalam kamar. Beberapa saat menunggu, tak ada sahutan terdengar. Diulanginya lagi ucapan salam beberapa kali. Akhirnya terdengar suara pintu berderak. Akan tetapi, itu adalah pintu di kamar sebelahnya. Seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk mengenakan rok hitam dan kaos tak berkerah menyembul dari pintu separuh terbuka itu.

“Oh, Nak Gerhard?” sapanya ramah. “Ada yang bisa Ibu bantu?” tanya Ibu pemilik rumah kontrakan itu.

“Saya mau bertemu Epul, Bu,” ucapnya.

“Epul?” tanya Ibu itu. Ia terdiam sejenak, seolah ragu untuk berkata yang sebenarnya.

“Memangnya Nak Gerhard belum diberi tahu Epul?”

Gerhard menggeleng, “Belum.”

“Baru saja dia pulang ke Ciamis.”

“Pulang ke Ciamis? Bukankah dia baru saja datang sehari yang lalu?” tanya Gerhard tak habis pikir dengan polah sahabatnya itu.

“Apakah ada kejadian yang memaksanya pulang, Bu?”

Ibu Kost menggeleng.

“Tidak ada, kecuali datangnya sebuah surat. Sewaktu Epul masih berada di Ciamis, datang surat untuknya dari kampus. Tapi, Ibu tidak tahu isinya apa. Kemarin saat Epul kembali dari Ciamis, Ibu memberikan surat itu kepadanya. Dan tadi, setengah jam yang lalu, ia berpamitan untuk pulang. Ia tidak bilang kapan akan kembali lagi ke sini. Epul juga tidak menjelaskan alasan kenapa ia pulang lagi,” papar Ibu Kost itu.

Gerhard terdiam, merenung.

”Dia naik apa ke Ciamis, Bu?”

”Ia selalu naik kereta dari Stasiun Kiaracondong.”

Gerhard berpikir lagi.

“Masuk dulu, atuh Nak Gerhard?”

Gerhard menggeleng, “Terima kasih, Bu. Kalau begitu, saya akan mencoba menyusulnya. Mudah-mudahan ia masih dalam perjalanan.”

Setelah berpamitan, Gerhard berbalik badan dan meninggalkan tempat itu setengah berlari membawa tanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.

lll

Stasiun K.A. Kiaracondong

Seusai turun dari angkot jurusan Cicaheum – Leuwi Panjang yang melewati daerah Kiaracondong, Epul melanjutkannya dengan berjalan kaki, untuk sampai di stasiun kereta. Suara sirene palang pengaman perlintasan rel kereta api meraung-raung. Kerumunan kendaraan menunggu di kedua sisinya, tak peduli dan tak mau tahu dengan masalah yang dihadapinya saat ini. Sembari berjalan menyusuri sepasang rel kereta, wajahnya tertunduk. Pandangannya tertuju pada tanah berumput yang tingginya hampir selutut, kepada bunga dandelion yang menitipkan lembar-lembar bunganya pada tiupan angin. Suara gemuruh kereta menyeruak. Ia harus pulang, batinnya berkata.

Setiba di depan loket karcis, ia membeli tiket kereta kelas ekonomi jurusan Yogyakarta yang melewati Stasiun Ciamis, dengan lembaran uang ribuan lecek yang tersisa dari kembalian makan di warung Bu Tedi.

Setengah jam kemudian, kereta yang akan memisahkannya dari mimpi-mimpinya sudah menunggu, menertawai tingkahnya, ‘Pulanglah ke kampungmu!’ ejeknya.

“Selamat tinggal impianku! Abah, maaf, Epul tidak bisa menunaikan amanat Abah.” bisiknya sambil tersenyum getir pada diri sendiri, lalu melangkah menuju pintu masuk gerbong kereta.

304 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 305

“EPUL!!” Suara teriakan itu membuyarkan lamunannya. Epul menghentikan langkah. Beberapa saat ia tercenung. Mendengar suara yang memanggil namanya dari arah belakang. Epul berbalik.

Gerhard sudah berdiri di teras stasiun. Tersenyum lebar.Menyadari kehadiran seorang sahabat karibnya, Epul

mencoba memaksakan senyum.“Epul, ada kabar gembira!” Tanpa menunggu respon dari

Epul, Gerhard menghampirinya. Tangannya membuka lipatan surat kabar pada halaman tengah.

“Ada peluang beasiswa pangan. Persyaratannya sangat cocok dengan kualifikasi kau! Aku yakin kali ini kau pasti akan berhasil memperolehnya, kawan!” ucap Gerhard berapi-api. Kedua tangannya meraih pundak Epul. “Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, bah!” lalu menepuk-nepuknya bangga.

Epul tidak peduli kabar baik itu. Ia tidak menggubrisnya. “Gerhard, sayah pamit. Terima kasih atas informasinya.” Ia

kembali meneruskan langkah dengan wajah tertunduk lesu.“Maksud kau?” tanya Gerhard belum paham.“Sayah mau pulang.”“Bah, kau sadar dengan apa yang kau lakukan? Ini

kesempatan emas untuk mendapatkan beasiswa. Lagipula, kau tidak ingat besok harus menghadiri seminar penelitian. Itu akan menjadi kesempatan terakhir, jika kau tidak mau menambah kuliah satu tahun lagi, bah!” Gerhard menghalangi langkah Epul.

“Lupakan. Tak ada yang bisa menghalangi sayah. Sayah harus realistis!” Tangannya menepiskan badan sahabatnya itu hingga tak lagi menghalangi langkahnya.

Gerhard tetap tertegun, tak paham dengan sikap aneh sahabatnya. “Epul, aku ini sahabat kau. Aku banyak berhutang kebaikan kepada kau. Kau rela menghadiri sidangku meskipun kau sedang sakit. Kau sering menolongku. Aku tak mau kehilangan sahabat. Izinkan aku mengetahui apa yang tengah menimpa kau!” ucapnya dengan logat bicara Batak yang kental.

“Terima kasih Gerhard, atas kesediaan kamu. Sayah benar-benar tidak ingin berkeluh kesah dengan nasibku. Sayah mencoba menerima semuanya dengan ikhlas,” jawab Epul. Wajahnya sedikit menengadah untuk menahan tetesan air mata perih yang hampir saja berurai. “Sayah sudah tidak boleh kuliah lagi. Sayah dikeluarkan! di-drop out!”

“Dikeluarkan? Bah, macam mana pula kau ini!” tanya Gerhard heran.

Epul tidak menjawab. Ia tetap bergeming.“Pul, jangan dihiraukan. Itu hanya keinginan pihak

administrasi bagian kemahasiswaan yang korup!”“Tidak, keputusan itu resmi!”Gerhard menggeleng sangsi. Ia tak percaya kenyataan itu.Epul berjalan kembali.“Epul, kau mau kemana? Kita belum selesai bicara!”Epul tidak menggubris. “Epul, kau menyerah?” sindir Gerhard tajam.“Bukan menyerah, sayah realistis!” ucap Epul menolehkan

separuh wajahnya.“Tidak, kau memutuskan untuk menjadi pecundang!” tuding

Gerhard pedas.“Kamu tidak tahu apa yang terjadi. Jangan bicara seperti

itu!” ucap Epul melotot.“Sama saja! Menyerah artinya kau kalah!”“Terserah apa katamu!”“Epul, kau yang sering bilang, kalau realitas itu akan

menyerah pada kebulatan tekad dan usaha, determinasi! Kau lupa itu, hah?”

“Sudahlah, tidak ada waktu untuk membahasnya. Semua itu hanya ada di dalam alam idealisme. Sekarang waktunya untuk realistis. Sayah sudah berusaha semampu sayah. Namun, mereka tidak mau tahu kondisiku. Sayah harus tahu diri!”

“Epul!” langkahnya menyeruak menghadapi Epul.“Hei, Epul, dimana semangatmu yang menggebu? Epul yang

selalu mencari jalan keluar, layaknya air yang selalu mencari

306 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 307

celah untuk mengalir. Kau adalah air itu. Bahkan rintangan itu semakin membuatmu kuat, kau....”

“Hentikan ceramahmu!” tangan Epul mengenyahkan sosok Gerhard yang menghalangi langkahnya.

“Kau masih ingat impianmu?” teriak Gerhard, suaranya meninggi.

Epul terdiam menunduk, tak berani menatap sorot galak mata sahabatnya.

“Selepas kuliah, kau ingin kembali ke kampungmu! Kau sering bilang, bahwa kau bertekad untuk membayar apa yang telah kau terima sejak masa kecilmu! Membayar apa yang telah dianugerahkan dari kejujuran dan kebersahajaan penghuni kampung! Kehangatan dan keramahan senyum mereka! Kau bertekad membayar air sungainya yang jernih, tempat kau mandi dan tertawa riang sambil bermain air dengan kawan-kawanmu! Hijaunya hamparan padi yang memberimu lahan bermain layang-layang dan tempat mencari serangga! Segarnya air hujan dari langitmu yang bersih dan memberimu kesempatan untuk bermain bola dengan pakaian basah kuyup. Kemudian kau bergulingan di lumpur saat mengejar bola dari lawan mainmu!”

Tangan Gerhard mengguncang-guncang badannya,“Lupakah kau semua itu, hah? Pulanglah kau sekarang

sebagai orang kalah, lalu kau akan menjadi beban masyarakat dan tidak mampu membayar apa yang telah mereka berikan!”

Epul tertunduk. Ia hening. Kelopak matanya berkaca-kaca.“Epul, kita semua mengejar mimpi.... Kenapa harus terhenti

di tengah jalan? Kerikil pasti ada, jalan mana pun yang kita tempuh…. Seharusnya gambaran mimpi itu lebih melingkupi dari permasalahan yang ada! Ingat, Tuhan akan menguji kesungguhan kita. Itu yang sering kita dengar dari Pak Gandi ketika menyudahi kuliahnya,” Gerhard terisak mengatakannya. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Dengar Epul, kita sahabat, kau tidak sendiri. Selayaknya sahabat adalah tempat untuk berbagi, dalam senang dan derita,” ucap Gerhard. Ia tak sanggup lagi membendung lelehan air

matanya yang kini mengalir di pipi. Ia seka dengan telapak tangannya. Terasa perih di kulit.

Kali ini, Epul tak kuasa menahan jatuhnya air mata. Tangannya merogoh saku celana jeans sebelah kanan, lalu mengambil secarik amplop lusuh dalam beberapa lipatan. Dengan lemas, disodorkannya lipatan kertas itu kepada Gerhard. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya.

Gerhard ragu-ragu menerimanya. Ia memandangi wajah sahabatnya penuh tanda tanya. Tangannya merebut kertas itu dari tangan Epul. Dengan terburu-buru ia buka lipatan kertas itu. Ia membentangkannya di antara kedua tangannya yang bergetar. Bibirnya hanya berkomat-kamit membaca baris demi baris surat itu.

Departemen Pendidikan Nasional

Universitas Bandung

Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Perihal: Pemberitahuan Bandung, 28 November 2003

Kepada : Epul Saepul

Surat ini dikeluarkan untuk menindaklanjuti pemberitahuan dan teguran sebelumnya. Dengan ini kami beritahukan bahwa untuk menjaga ketertiban administrasi maka pihak Dekanat selalu melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi mahasiswa setiap pergantian tahun akademik.

Sehubungan dengan belum dipenuhinya kewajiban Saudara sebagai mahasiswa, yaitu membayar biaya SPP selama dua semester berturut-turut, maka kami memberitahukan Saudara bahwa tenggat waktu pelunasannya adalah 10 (sepuluh) hari kerja, terhitung sejak surat ini dikeluarkan. Jika dalam batas waktu tersebut Anda tidak melunasinya, status Saudara sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Bandung kami cabut. Dengan demikian,

308 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 309

hak dan kewajiban Saudara sebagai mahasiswa dengan sendirinya akan gugur.

Demikian surat pemberitahuan ini kami keluarkan. Semoga Anda menjadi maklum.

Hormat kami,

Prof. Dr. Ritolon S, M.Eng.Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Usai membaca surat itu, Gerhard melipatnya. Ia hening, berpikir beberapa saat.

“Sudahlah, tak perlu dipikirkan.” Ujar Epul tertunduk.Gerhard kembali membuka lipatan surat itu, melihat ulang

tanggal surat itu dikeluarkan dan batas terakhir pembayaran.“Tanpa menghitung hari Sabtu dan Minggu, artinya batas

akhir pelunasan adalah Jum’at, tanggal 12 Desember. Sekarang tanggal…” gumam Gerhard, ia mencoba mengingat-ingat hari, “…15 Desember!” pekiknya monolog. Ia terperanjat, batas pelunasan terakhir adalah 3 hari yang lalu.

Lunglailah badan Gerhard. Haruskah impian seseorang yang selalu bersungguh-sungguh kandas hanya karena hal sepele, tidak mampu membayar SPP. Gulungan kertas koran yang ia pegang terjatuh tanpa daya ke atas lantai kusam stasiun.

”BRAKK!” Ransel Gerhard terguling ke atas tanah bersamaan dengan tubuh gempalnya. Kini ia termangu di lantai pembatas rel. Ia sebentar lagi akan mengantongi gelar sarjana teknologi pangan. Sementara sahabatnya hanya pulang dengan tangan hampa setelah 4,5 tahun berjibaku menyambung hidup dan kuliah di Bandung.

”Kenapa kau tidak mengatakan masalahmu dari dulu! Aku, kan sahabatmu!” sesal Gerhard terisak.

Epul berjongkok dan duduk di sampingnya, sejajar menghadap jalur keberangkatan kereta api. Matanya menatap wajah sahabatnya.

“Gerhard, sayah hargai perhatianmu selama ini. Sayah banyak berhutang kebaikan kepadamu. Sayah tidak mau menyusahkan kalian. Kebaikan kalian begitu melimpah. Kalian yang sudah membayar biaya perawatan sayah selama di rumah sakit. Sampai saat ini sayah belum bisa membayarnya.”

Gerhard geleng-geleng kepala, ”Jangan kau ungkit-ungkit masalah itu lagi.”

”Sayah sudah memutuskan untuk pulang ke kampung.”“Epul, dalam pendakian gunung, ketika hampir mencapai

puncak, kita merasa semua seolah-olah tidak tertahankan. Napas menjadi sempit karena oksigen menipis. Kelelahan memuncak. Satu-satunya yang membuat kita bertahan adalah kesabaran untuk meraih tujuan, titik tertinggi itu. Kesabaran itu akhirnya terbayar dengan indahnya pemandangan dan perasaan puas. Pada hakikatnya, kita sudah menaklukkan diri sendiri dengan tidak menyerah di tengah jalan. Ini adalah ujian sebelum tiba di puncak.”

Epul menggeleng, bibirnya tersenyum getir, “Ada kalanya kita keliru menerapkan analogi. Sayah hanya ingin untuk tidak melampaui kewajibanku. Kita harus memberikan proporsi yang tepat antara ikhtiar dan tawakal. Kerja keras bukan berarti merampas hak Tuhan.”

“Epul, ini belum final. Kita masih bisa menyelamatkan kuliahmu. Kita bisa mengadukan masalah ini ke pihak rektorat!” terang Gerhard. Ia masih belum rela atas kenyataan itu.

“Terima kasih atas kepedulianmu. Petugas kemahasiswaan itu benar, sayah bukan orang yang berada di tempat yang tepat. Sayah harus mencari jalan lain untuk mewujudkan impian sayah. Sayah akan kembali ke desa. Kuliah mungkin bukan jalan sayah.”

Dua orang itu terdiam beberapa saat, mengamati beberapa kereta api yang datang dan pergi dari stasiun itu. Lalu-lalang orang ramai di stasiun kereta itu. Suara manusia riuh rendah, tercampur dengan suara deru kereta, corong pengeras suara, dan suara televisi dari ruang tunggu.

310 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 311

“Gerhard, meskipun kita akan berpisah, sayah akan selalu mengenangmu. Pernah suatu malam saat kita menyusuri Jalan Wastukencana sepulang dari kegiatan kampus, kamu memberitahuku bahwa tepat di depan kita ada lubang gorong-gorong jalan yang menganga lebar. Penutup yang terbuat dari besi berat itu entah kenapa tergeletak tidak terpasang pada lubangnya. Bisa dipastikan jika saja motor atau mobil melindasnya, kecelakaan tak terhindarkan. Roda kendaraan pasti akan terjerembab ke dalamnya. Dan jika saja pengendara motor yang melintas, niscaya ia akan terpelanting sejauh puluhan meter. Tak ada orang yang nekad berani membetulkannya, mengingat jalan itu jalur cepat satu arah yang padat. Kau mengajakku memasang penutup itu pada lubang.

Sayah salut kawan, kau sangat berani, kau punya inisiatif. Kita berdua bahu-membahu menggotong penutup yang beratnya sama dengan sekuintal beras ke atas lubangnya. Kita mempertaruhkan nyawa. Teror klakson kendaraan meneriaki kita seolah tak mau tahu dan menganggap bahwa apa yang kita lakukan itu membahayakan pengguna jalan. Kita disangka orang iseng, padahal tidak demikian. Kurasa, kita telah melakukan kebaikan yang sederhana. Tapi justru, hal itu selalu menginspirasi sayah untuk selalu berpikir bahwa jika melakukan kebaikan yang luar biasa terasa sulit, alih-alih, sayah selalu membiasakan diri untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan kecil. Dan setiap sayah melakukan itu, sayah selalu mengingatmu sebagai inspirator,” terang Epul panjang lebar. Matanya berkaca-kaca. Gerhard mengangkat wajah,

“Kita memang tim yang kompak, kawan!” ucapnya memaksa tersenyum.

Gerhard sunyi kembali, tenggelam dalam pusaran kenyataan. Matanya memandang jauh. Ia menggeluti pikirannya sendiri. Mimik wajahnya dalam dan hanyut. Tiba-tiba saja, raut wajahnya berubah. Perlahan, dua ujung bibirnya tertarik ke atas, lalu tersenyum penuh kemenangan. Sorot matanya berbinar. Ia melonjak berdiri.

“Sekarang lupakan semuanya! Yang terpenting untuk saat ini, bagaimana caranya kau segera menghadap bagian administrasi untuk pembayaran tunggakan SPPmu!” teriaknya lantang.

”Sudah terlambat!” Sambar Epul. Ia heran atas perubahan sikap Gerhard yang berubah sekonyong-konyong.

“Belum!”Epul menggeleng, “Tenggat pembayaran adalah hari Jum’at,

tanggal 12 Desember.”Gerhard tak acuh. Ia kembali membuka lipatan surat di

genggaman tangannya, lalu membacanya kembali, “Begini, di surat ini, memang tertulis bahwa batas akhir pelunasan adalah hari kerja ke-10, tanggal 12 Desember.” Paparnya tersenyum penuh percaya diri.

Epul membisu, tak bisa mencerna alur pikiran sahabatnya.“Kau pasti lupa!” teriak Gerhard mengguncangkan kedua

bahu Epul, “hari Senin yang lalu, tanggal 8 Desember 2003 adalah hari berlangsungnya Pemilu Kampus untuk memilih rektor baru. Seluruh civitas menyalurkan hak pilihnya, termasuk bagian administrasi. Sehingga, seluruh kegiatan kampus pada hari itu otomatis diliburkan. Menurut peraturan kampus kita, hari istimewa kampus dimana tidak dilaksanakan kegiatan seperti lazimnya, tidak termasuk dalam perhitungan kegiatan akademik.”

Gerhard memutarkan pandangan pada dinding ruangan stasiun, ”Itu artinya kau masih punya kesempatan, satu hari lagi. Tinggal hari ini, Kawan!” ucapnya menudingkan telunjuknya pada jam yang tergantung di dinding sebelah utara ruangan, ” Sekarang jam 1.30. Bagian administrasi tutup jam 3. Kita masih punya waktu untuk sampai ke kampus.”

Epul hanya tertegun.“Kenapa kau diam saja?”“Sudahlah! Sayah…” ucap Epul terbata.Gerhard paham kondisi sahabatnya. Ia menyasari saku

celananya, lalu mengeluarkan segepok uang lima puluh ribuan, ”Kau bisa menggunakan uang ini. Biarlah pembayaran wisudaku ditunda. Tak wisuda juga bagiku tak masalah. Yang penting

312 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 313

kuliah kau selamat.” Ucapnya, sembari menyodorkan uang itu kepada Epul.

Epul terdiam. Ia tidak hendak mengulurkan tangannya.”Berapa semester tunggakan SPP-mu?”Epul tetap bergeming.”Sudahlah Gerhard, kau tidak perlu seperti itu.””Jawab berapa?””Dua semester.”Gerhard terdiam. Uang di tangannya hanya cukup untuk

satu semester saja. Ia hening beberapa tempo, berpikir. Beberapa saat kemudian, bibirnya merekah senyum. Ia membetot tangan Epul dan berlari menariknya. Epul terpental-pental mengikuti langkah cepatnya.

“Gerhard, apa yang kamu lakukan?”“Kita ke ATM, aku punya tambahan uangnya.”Epul berusaha melepaskan tangannya, tapi tangan Gerhard

begitu kokoh mencengkeramnya. Di depan sebuah booth ATM, langkah mereka terhenti.

“Kau tunggu di sini!” pinta Gerhard sebelum masuk dinding kaca itu. Epul tak bersuara.

Ke luar ruangan itu, raut wajah Gerhard berseri-seri. “Jumlahnya pas sekali! Ayo kita ke kampus.” Ucapnya.“Sudahlah. Percuma Gerhard!” ucap Epul.“Tidak! Tak ada yang percuma dengan kesungguhan.”

Sanggahnya.Kembali, Gerhard membetot tangan Epul.Keluar dari stasiun, mereka mencari sebuah angkutan

kota warna hijau, jurusan Kiaracondong – UNIBA. Kendaraan berhenti sejurus setelah tangan Gerhard melambai. Mereka lekas memasukinya.

Melewati pasar Kiaracondong, kendaraan tak berdaya. Pedagang kaki lima yang tumpah ruah ke bahu jalan, pejalan kaki, dan kendaraan yang parkir semaunya memperparah kemacetan lalu lintas. Pembangunan jalan layang di atasnya semakin mengusutkan kerunyaman jalanan yang sulit terurai.

Pikiran Gerhard meronta-ronta. Detak jantungnya menendang-nendang rongga dada mengingat waktu yang mengalir begitu cepat. Epul hanya tertunduk, hening. Bahkan ia sudah mengikhlaskan kuliahnya yang akan dimentahkan oleh birokrasi kampus. Setelah setengah jam berlalu, roda kendaraan hanya menggelinding beberapa putaran. Gerhard semakin gerah.

“Pul, kita naik ojek saja!”Epul melayangkan pandangan ke luar kendaraan, “motor

pun susah berjalan.”“Kalau begitu, kita jalan kaki saja!” Gerhard menatap Epul.

Epul mengangguk. Mereka ke luar kendaraan dan membayar ongkos. Langkah

mereka berderap berpacu waktu. Menantang matahari, larutan peluh dan debu knalpot kendaraan bercucuran di kening-kening mereka. Setengah jam kemudian, langkah mereka tiba di simpang empat Jalan Jakarta – Antapani.

Gerhard melemparkan pandangan ke seberang jalan. “Pul, panggil tukang ojek itu!” teriaknya.Epul melambaikan tangan ke arah tukang ojek. Pria

dengan helmet compang-camping itu sigap menaikkan standar samping, putar gas, lalu menghampiri Epul dan Gerhard dengan mengendarai roda duanya.

“Bade kamana, Cep?87 ” tanyanya setelah mendekat.“Antar kami ke UNIBA!”Tukang ojek mengangguk. “Cuma satu?” Tanya Epul.“Yang lain sedang mengantar penumpang.” Jawab tukang

ojek sedikit menyesal.Epul dan Gerhard berpandangan. Keduanya mengangkat

bahu, artinya kurang lebih ‘apa boleh buat?’“Aku duduk di tengah!” pinta Gerhard menunjuk jok

motor.Epul menggeleng, “Badan sayah lebih tinggi, harus di tengah,

supaya stabil!” Sanggah Epul.

87 Mau kemana, Dik?

314 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 315

Meskipun takut naik motor, Gerhard menurut duduk di belakang. Epul duduk di tengah. Beberapa saat kemudian, motor melesat kencang. Tangan Gerhard erat mendekap pinggang Epul. Matanya terpejam, tak berani melihat gerak zig-zag motor yang lincah bukan main. Di kemacetan, motor merayap melewati celah-celah antarkendaraan. Di simpang empat Jalan Dago (H. Djuanda) – Jalan R.E. Martadinata, Gerhard turun dari jok motor, bersembunyi di balik sedan hitam Mercy, menghindari pandangan seorang polantas di salah satu pojok jalan yang siap menyergap. Saat lampu hijau menyala, semua kendaraan melaju perlahan. Ia membungkukkan badan, lalu mengangkangkan kaki kanannya di atas jok. Naas nasibnya. Tatapan mata polantas itu sangat awas. Ia memergoki gerak-gerik Gerhard yang mencurigakan. Sebelum pantatnya terduduk di jok motor dengan sempurna...

“Priiiit!”Polantas meneriakkan peluitnya.

Gerhard urung menaiki motor. Ia pasrah. Tukang ojek harap-harap cemas. Ia jadi serba salah, ragu apakah sebaiknya kabur atau menunggu satu penumpangnya naik. Nasibnya seperti judul film komedi Warkop, ‘maju kena mundur kena’.

“Lari, lari!” teriak Gerhard, memberi isyarat dengan tangan. Dengan berat hati dan hasrat untuk menghindari polantas, tukang ojek spontan memutar handle gas kencang-kencang. Suara mesinnya meraung. Roda depan menjungkit ke udara, seperti kuda perang yang pamer kekuatan. Akibatnya, Epul hampir saja terpental ke belakang jika saja tangannya tidak mendekap pinggang tukang ojek erat-erat. Setelah roda kembali menyentuh aspal, motor pun melesat kencang, berlari kocar-kacir menyelamatkan diri dari surat tilang yang menakutkan. Adapun nasib Gerhard, ia terpaksa harus menjadi ’tumbal’, sasaran empuk bagi polantas tadi.

Setengah jam kemudian, motor tiba di depan gerbang kampus UNIBA. Epul langsung meloncat, turun dari jok motor dan membayar ongkos. Lalu ia berlari menyusuri koridor yang dinaungi bunga bogenvil menuju gedung dekanat Fakultas

Teknologi Industri Pertanian.

Setibanya di depan gedung itu, ia terhenti. Pintu kaca masuk gedung sudah tertutup rapat. Biasanya, saat orang menghampirinya, pintu cerdas itu otomatis membuka sendiri. Sekarang, bahkan ketika tangannya menggoyang-goyangkannya, pintu tetap mengatup. Ia mencoba mengatur napas. Matanya lekat menembus pintu kaca, ke dalam ruangan di baliknya. Sepi, tak ada orang.

Seorang penjaga keamanan kampus menghampirinya.“Ada keperluan apa, Dik?” tanyanya.“Sayah mau ke bagian administrasi.” Ucap Epul di sela-sela

tarikan napasnya. Tangannya menyeka keringat yang mengucur di dahinya, merambat hingga dagu.

“Sayang…, baru saja tutup.” Ucapnya penuh sesal.“Tutup?” Tanya Epul tak yakin, “sekarang jam berapa,

Pak?”“Jam 3.10.” Ucap petugas itu, setelah melirik jam

tangannya.Epul tertunduk lesu. Nasib kuliahnya sudah berlalu sepuluh

menit yang lalu. Semua jerih payah yang ia lakukan selama 4,5 tahun sia-sia. Keringat, air mata, takkan lunas terbayar.

“Besok lagi saja, ya.” Saran petugas itu enteng.Epul mengangguk pelan. Sekujur badannya lemas tak

bertenaga. Badannya membumi pada undakan tangga masuk, duduk terpekur. Tunas harapan yang hampir tumbuh layu kembali. Petugas itu pergi meninggalkannya seorang diri.

Dua Jam Sebelumnya

Seorang laki-laki setengah baya berdiri tercenung di depan gerbang kampus Universitas Bandung. Pakaian pria itu lusuh. Wajahnya hitam legam terbakar matahari. Kerutan kulitnya penuh guratan kerja keras. Ditangannya tergenggam secarik kertas berisi alamat. Pandangannya mengeja relief tulisan pada dinding gapura yang melambangkan sebuah obor dan buku. Para

316 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 317

mahasiswa berlalu lalang di depannya. Dari gardu penjaga, seorang petugas satpam teliti

mengamatinya. Tergerak hatinya, petugas itu menghampiri dan menyapanya,

”Bapak mau kemana?” tanya satpam setelah mendekat.”Perkenalkan, Pak. Saya teh Sulanjana.” Ucapnya

memperkenalkan diri. Ternyata, ia adalah Pak Sulanjana, orangtua dari anak

penderita hydrocepallus yang tinggal di Rancaekek, Bandung. “Ini, teh benar kampus UNIBA?”Petugas itu mengangguk. ”Betul. Ada keperluan apa, Pak?”Pak Sulanjana menjawab semangat, ”Saya mencari salah

seorang mahasiswa di sini. Namanya Epul.”Mendengar jawaban lugunya, petugas satpam tersenyum.”Fakultas apa?”Pak Sulanjana menggeleng.”Pak, di sini mahasiswa yang bernama Epul itu banyak. Ada

Epul Jamil, Epul Saepul, Epul Dempul...”Lagi-lagi lelaki itu menggeleng.”Saya hanya diberi tahu oleh teman sesama penjual

korannya, bahwa ia kuliah di sini.””Maaf Pak, saya tidak bisa membantu. Kalau mau mencoba,

Bapak bisa datangi bagian kemahasiswaan di gedung Rektorat.”Pria itu semakin kebingungan. ”Gedung rektorat? Apa itu,

Pak? di sebelah mana?”Satpam tersenyum maklum. “Begini saja. Bapak naik bis

kampus warna biru, lalu minta diturunkan di gedung rektorat.” Nasihatnya.

“Nah itu bisnya!” seru petugas sembari menghentikan bis dengan lambaian tangan. Kendaraan kampus itu berhenti. Pria itu menaikinya setelah pamitan. Bis kampus melaju melewati jalan mulus beraspal kampus yang kiri kanannya ditudungi tajuk pohon-pohon kenari besar. Setelah lima belas menit, bis sudah berada di depan gedung rektorat lalu berhenti di depan halaman tamannya yang luas. Pengemudi memberitahu Pak Sulanjana

bahwa bis sudah sampai tempat yang dituju.”Pak, ini ongkosnya.” ucap Pak Sulanjana menyodorkan

uang ribuan beberapa lembar kepada pengemudi.“Oh tidak usah, Pak. Bis kampus ini gratis.” Ucap pengemudi

sembari tersenyum.“Wah, terima kasih, atuh Pak.” Balas Pak Sulanjana girang.

Ia turun dari pintu depan kendaraan. Ia menengadahkan wajah ke arah atap berundak tiga yang berada di puncak gedung. Pandangannya terkesima dengan kemegahan gedung tempat berkantornya para petinggi Universitas yang ada di depannya. Kakinya yang mengenakan sandal jepit warna kuning mulai menapaki tangga masuk gedung yang megah itu satu per satu. Saat melewati ruangan demi ruangan, gerak geriknya memancing perhatian para pegawai yang berpapasan dengannya. Pandangan heran mereka seolah bertutur, ‘orang yang berada di tempat yang tidak tepat’ melihat penampilan Pak Sulanjana yang lusuh. Di depan pintu bagian kemahasiswaan, orang itu masuk setelah mencoba mengeja tulisan yang terpampang di atas pintunya:

’Bagian Kemahasiswaan’”Selamat siang, Pak.” sapa Pak Sulanjana ragu dari

celah pintu setengah terbuka. Seorang pria berpakaian rapi mengalihkan pandangan dari layar komputer di depannya, lalu menganggukkan kepala, isyarat mempersilakan masuk. Dengan langkah ragu, Pak Sulanjana masuk dan menghampirinya.

”Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sapa petugas ramah. Ia menggeser kursi dan menghadapinya.

”Maaf, Pak. Saya teh mau tanya. Di sini ada mahasiswa yang bernama Epul?”

”Epul?” ulang petugas itu, mengernyitkan dahi.”Iya, Epul.””Dia mahasiswa di sini?””Betul sekali, Pak.””Fakultas?”Pak Sulanjana menggeleng. Lagi-lagi, ia mendengar kata

’fakultas’. Tadi, ia mendengar kata ‘rektorat’. Seumur hidupnya,

318 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 319

baru kali ini ia mendengar kata-kata asing itu.”Saya teh tidak tahu dia punya pakultas atau tidak.” ujarnya

polos.Petugas tersenyum tipis.”Kalau begitu, siapa nama lengkapnya?”Lagi, Pak Sulanjana menggeleng.Petugas menghela napas panjang. Dalam rasa setengah

putus asa, ia menginput kata ’Epul’ ke dalam database mahasiswa dalam komputer. Setelah menekan tombol ’enter’ pada keyboard, layar memunculkan sederet nama.

”Di sini ada 14 nama Epul, Bapak cari Epul yang mana?””Tapi saya tidak tahu nama lengkapnya, Pak.”Petugas itu merebahkan badannya pada sandaran kursi,

lalu kedua tangannya bersidekap di depan dada. ”Kalau begitu, Bapak tahu asalnya dari mana?” tanyanya lagi.

Pak Sulanjana termenung sesaat. Ia mencoba mengingat-ingat keterangan teman Epul yang ia tanyai di lokasi simpang empat Buah Batu.

”Ciamis!” ucapnya yakin.”Yakin?”Pak Sulanjana mengangguk.Petugas itu meneliti sederetan tulisan di layar komputernya.

”Maksud Bapak Epul Saepul?””Nah itu! Epul Saepul,” serunya. Sorot mata Pak Sulanjana

berbinar, “saya yakin, dia!”Tak seperti raut Pak Sulanjana, wajah petugas memuram.”Sayang sekali!” gumamnya.”Ada apa, Pak?” tanya Pak Sulanjana heran.”Bapak ini siapanya?””Saya…saudaranya,” jawabnya.”Apakah Bapak tidak tahu mengenai statusnya?””Kenapa dengan Epul, Pak?””Dari data yang ada di fakultasnya, dia dianggap

mengundurkan diri jika hari ini, jam 15.00 membereskan administrasi kuliah.”

”Maksudnya?””Dia sudah mengabaikan surat teguran dari pihak dekanat,

dengan tidak melakukan pembayaran uang semester selama dua kali berturut-turut.”

Pak Sulanjana tercenung. Tak terbersit di benaknya urusan ingin bertemu dengan mahasiswa berhati malaikat itu akan menjadi serumit ini. Pertemuan yang sangat ia nantikan tampaknya akan sulit terwujud.

”Ia diberi waktu untuk melunasinya selama 2 minggu atau 10 hari kerja, sejak surat pemberitahuan dikeluarkan pihak dekanat. Hari ini, jam 15.00 adalah batas waktu terakhir. Namun, hingga saat ini, belum ada data update mengenai statusnya.”

Lagi, Pak Sulanjana tidak paham mendengar istilah ’update’ yang diucapkan petugas itu.

”Pak, tolonglah, dia hanya seorang penjual koran, Pak. Kasihan kalau sampai kuliahnya harus terhenti.” pinta Pak Sulanjana.

Petugas menggeleng. ”Maaf, Pak. Setiap kampus punya tata tertib. Siapa pun harus menaati tata tertib itu. Sayangnya, sampai hari ini, Epul tidak menunjukkan itikad baik untuk meneruskan kuliahnya.” jawabnya.

Pak Sulanjana tertegun. Kedua kakinya masih terpaku di lantai keramik ruang itu.

”Pak, sebenarnya…” tutur Pak Sulanjana terhenti, “saya bukanlah saudaranya.” ucapnya terus terang.

”Saya kesini hanya ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Begitu mulia hati pemuda itu, Pak. Sewaktu uang saya hilang, ia yang menemukannya. Lalu, dialah yang mengembalikan uang hasil pinjaman itu kepada saya dengan susah payah. Berkat uang itu, nyawa anak saya tertolong karena lekas dioperasi. Darinya pula, saya mendapatkan tambahan kekurangan biaya operasi.”

Kedua mata Pak Sulanjana berkaca-kaca. Petugas hening menyimak.

“Kini, anak saya satu-satunya sudah bisa tertawa riang. Bisa bercengkerama dengan kami. Apa jadinya jika tak ada uang

320 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 321

itu? Kami orang tak mampu, anak saya mustahil terselamatkan nyawanya. Berkat bantuan Epullah nyawa anak saya tertolong.” Ucapnya terisak-isak.

Petugas terdiam, khusuk menyimak paparannya.”Kalau boleh tahu, berapa tunggakan pembayarannya?”

Tanya Pak Sulanjana.Petugas kembali memerhatikan layar komputer. ”Kalau

dilihat dari data, dia tercatat masuk kuliah tahun 1999. Berdasarkan tahun masuknya, besarnya SPP adalah Rp.750.000 per semester. Total yang belum dia bayar dua semester. Jadi dia harus membayar Rp. 1,5 juta.”

Pak Sulanjana merogoh saku celananya. Lantas ia mengeluarkan amplop putih berisi lembaran uang. Setelah menghitungnya, ia berkata,

”Kalau Bapak berkenan, ijinkan saya yang melunasi tunggakan SPP-nya. ”

”Saya hargai niat baik Bapak. Tapi saya bukanlah orang yang berwenang. Bapak sebaiknya ke Bagian Administrasi, lalu membereskan masalahnya.”

”Kalau begitu, saya mohon pamit. Saya akan segera membereskannya. Kasihan pemuda itu. Terima kasih atas bantuan Bapak.” ucap Pak Sulanjana seraya berbalik badan.

Petugas itu bangkit dari duduknya, lalu menahan Pak Sulanjana, ”Pak, tunggu sebentar.” pintanya.

Pak Sulanjana berbalik.”Maaf! Kalau boleh tahu, Bapak mengantongi uang

berapa?”Agak ragu, Pak Sulanjana menjawab, ”Kurang lebih satu

juta.”Petugas menggeleng-gelengkan kepala.”Lantas kekurangannya?” tanyanya.”Biar saya pulang dulu. Saya akan minta majikan untuk

membayar dimuka buruh kerja saya.””Tidak perlu, Pak. Lagipula, waktunya tidak akan terkejar.”

ucap petugas itu, seraya melirik jam dinding yang sudah

menunjukkan pukul 14.00.”Menyimak kisah tadi, saya terpanggil untuk membantu

mahasiswa ini. Biarlah saya yang menanggung kekurangannya.” Ucapnya, seraya membenamkan tangannya ke dalam saku belakang celana, lalu mengambil dompet.

”Terimalah!” tawarnya, sembari menyodorkan uang seratus ribu beberapa lembar kepada Pak Sulanjana, ”ambillah sisanya buat Bapak.”

Pak Sulanjana ragu. Petugas mengangguk, meyakinkannya.”Terima kasih, Pak. Semoga ini bermanfaat untuk pemuda

itu.” tukasnya. Lalu ia berpamitan pergi untuk mengurus pembayaran.

Selepas kepergian Pak Sulanjana, petugas tadi tercenung beberapa saat dalam berdiri. Sembari duduk kembali, terngiang di kupingnya pepatah yang selalu terbukti benar, bahwa kebaikan selalu memancing kebaikan-kebaikan lain. Sedangkan jika manusia menanam benih kejahatan, akan tumbuhlah kejahatan-kejahatan lainnya.

Usai membereskan pembayaran SPP, Pak Sulanjana melangkah keluar dari gedung Dekanat Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Segera setelah Pak Sulanjana usai membereskan urusannya, Bagian Administrasi tutup pelayanan, tepat pada jam 15.00.

lll

Dari undakan tangga gedung dekanat, Epul bangkit dari duduk. Dalam keadaan bagaimanapun, ia harus tetap bersyukur. Adzan shalat asar baru saja berkumandang dari corong pengeras suara. Ia bergegas menuju masjid kampus untuk menunaikan shalat.

”Cep Epul!” Teriakan lantang terdengar dari arah koridor menuju gedung

dekanat. Mendengar teriakan itu, Epul menolehkan wajah. Beberapa

322 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 323

langkah di depannya, berdiri terbungkuk seorang lelaki paruh baya. Sebagian rambutnya sudah memutih. Kain kemejanya lusuh, bagian kerahnya tak berkancing.

Epul menggumam sendiri, ”Pak Sulanjana?” Langkahnya terhenti. Benaknya melayang ke beberapa

bulan yang lalu, saat pertama kali ia bertemu dengannya. Pak Sulanjana langsung menyeruak dan berlari menyambut

Epul. Keduanya berangkulan.”Acep!” tiba-tiba saja orang itu menangis, ”Bapak sudah

lama mencari Acep kemana-mana.””Bagaimana kabar anak Bapak?” Tanya Epul melepaskan

rangkulan.”Alhamdulillah. Operasinya berhasil. Anak Bapak selamat.””Alhamdulillah. Syukurlah, saya sangat senang. Tapi,

bagaimana Bapak tahu saya ada di sini?””Berhari-hari Bapak cari Acep di tempat hilangnya uang.

Tapi Acep tidak pernah ke sana lagi. Salah seorang penjual koran di sana memberi tahu kalau Cep Epul kuliah di sini.”

”Beberapa hari ini saya belum sempat jualan lagi, Pak.” ucap Epul menghela napas berat.

Pak Sulanjana mengangguk-angguk. ”Bapak ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kesembuhan anak saya. Itu semua berkat bantuan Acep.”

”Bukan, Pak. Semuanya atas kehendak Allah.””Acep yang menjadi penghubung dengan pertolongan Allah.

Bapak ucapkan beribu-ribu terima kasih...”“Sudahlah, Pak. Tidak perlu dipikirkan. Sayah hanya ingin

membantu meringankan biaya operasi anak Bapak. Keluarga Bapak waktu itu sedang mengalami musibah bertubi-tubi.” Ucap Epul tertunduk.

“Terima kasih, Cep Epul. Begitu mulia hati Acep. Sudah bertahun-tahun Bapak tidak pernah menyaksikan anak semata wayang Bapak tersenyum karena deraan penyakit. Saat ini, sungguh Bapak bahagia tiada tara menyaksikan ia bisa tersenyum lagi. Senyum itu mengangkat semua beban di pundak kami

selama ini. “Syukurlah kalau begitu. Sayah ikut berbahagia, Pak.”“Bapak sangat bersyukur. Seandainya saja Allah mengijinkan

manusia bersujud kepada manusia lain, niscaya Bapak sudah bersujud di bawah kaki Cep Epul.”

“Tidak, Pak. Tidak perlu seperti itu!” ”Beberapa hari lalu, dunungan Bapak menjenguk si kecil.

dan ia mengatakan bahwa uang pinjaman itu tidak perlu dibayar. Ia menghibahkannya kepada Bapak.”

“Alhamdulillah. Itu berarti rejeki dari Allah, Pak.”Pak Sulanjana mengangguk. Lalu tangannya merogoh saku

kemeja, mengeluarkan selembar kertas, dan menyodorkannya kepada Epul.

“Cep, mohon maaf Bapak sudah merepotkan Cep Epul. Namun, berkat ijin Allah, kuliah Cep Epul terselamatkan. Ini bukti pembayarannya.”

Epul tidak serta merta menerima secarik kertas itu. Hatinya masih bertanya-tanya. Dengan ragu, ia terima lembar kertas itu, dan membacanya. Itu adalah kuitansi bukti pembayaran bahwa SPP-nya selama dua semester sudah dibayar lunas.

Epul tertegun, masih tak yakin dengan kenyataan itu. Ia tak habis pikir kenapa semua hal terjadi tepat pada waktunya.

Pak Sulanjana menerangkan duduk perkaranya secara runut. Sekarang Epul paham. Semua kejadian yang menimpanya bekerja atas arahan skenario Allah. Sungguh indah semua itu terjadi. Tak henti-henti hatinya mengucap syukur dan takzim atas kenyataan itu. Saat ini ia sangat yakin, bahwa tangan Tuhan bekerja untuk masa depannya melalui datangnya Gerhard dan Pak Sulanjana pada momen yang tepat. Raut mukanya berbinar penuh sukacita. Ia dekati Pak Sulanjana, kemudian merangkulnya erat-erat.

”Terima kasih, Pak!” hanya itulah kata yang sanggup ia ucapkan. Tenggorokannya tersumbat rasa haru yang mencekik. Air mata kebahagiaan berlinang di kedua pipinya.

324 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 325

lll

Concerto

De Grote Postweg, Bandung 0.00 km, Awal 2004

Malam masih dini. Di atas, langit cerah tanpa awan, bertaburan bintang-gemintang. Bulan bulat penuh menggantung rendah di langit timur. Angin barat laut bertiup hangat dan mendesis, menyapa dedaunan kering pohon flamboyan yang berserakan di tepi jalan, dan membawanya terbang ke udara. Hawa malam terasa hangat dan lembab. Pohon-pohon mulai memunculkan dedaunan muda setelah meranggas melewati hari-hari kerontang. Hujan yang tertahan, tak turun berminggu-minggu. Temaram cahaya kuning lampu jalan di atas tiang yang membungkuk menerangi kendaraan yang berlalu di bawahnya.

Dika berdiri, tertegun di belakang tugu Bandung 0.00 km menghadap jalan. Di genggaman tangannya, secarik lipatan kertas putih ia dekap. Dibukanya perlahan lipatan kertas itu. Tangannya bergetar tak teguh membentangkannya. Surat itu selalu ia baca ketika berada di tugu itu. Dadanya sesak. Rasa bersalahnya tetap saja tak beranjak. Ingin sekali ia menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan kepada Renee. Akan tetapi, ia tidak tahu harus berbuat apa. Renee sudah tiada. Surat-surat permintaan maaf yang ia tulis tertumpuk di laci meja. Terkadang ia menangis sepi di tempat itu, saat teringat kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Benarlah apa yang dikatakan orang bijak, kita baru akan menyadari seberapa penting seseorang saat ia tak lagi

ada. Berbulan-bulan lamanya ia sering menghabiskan waktu di tempat itu menyesali perbuatannya.

Dari kejauhan, suara gemerincing terdengar lamat-lamat. Diiringi sayup derai tawa riang seorang gadis. Suara itu semakin mendekat dan jelas. Seorang gadis sedang menuntun sepeda, memainkan bel sepedanya. Lalu berhenti persis di depan tugu Bandung 0.00 km. Dika terhenyak. Ia berdiri, tak percaya dengan pandangannya sendiri.

”Renee?” gumamnya dalam keheranan.Gadis itu menolehkan wajah saat Dika menggumamkan

namanya. Ia mengenakan kacamata. Rambut ikalnya melambai-lambai diterpa angin, tergerai di dahi dan sebagian wajahnya, jatuh di kedua pundaknya. Tawanya terhenti, kedua bibirnya mengatup, lalu tertunduk. Kedua kakinya terpaku di tempat. Kedua tangannya masih memegangi setang sepeda. Menyeret langkah, Dika berjalan menghampirinya. Di dekatnya, ia menghirup napas. Parfum beraroma jasmine menyeruak ke dalam rongga hidungnya.

”Ini..., aku bawakan pastel goreng isi kornet, makanan kesukaanmu...” tawarnya tersenyum. Tangannya menyodorkan kantong plastik berisi makanan yang dibelinya dari toko kue tadi petang.

Namun, perlahan, wangi parfum itu menguap. Dika berusaha menghirupnya lagi. Angin sekonyong-konyong berembus kencang, mencerabut segala sesuatu di depannya. Dika sekuat tenaga meraihnya. Pandangannya mengitar mencari sosok Renee. Tak menemukan siapa pun. Gadis itu menghilang. Dika menelungkupkan kedua tangannya pada wajah. Ia menangis, tersedu tanpa suara. Menyadari bahwa semua itu hanya bayangan. Angin kembali tenang. Tak ada yang tersisa selain kehampaan.

”Renee...maafkan aku...” pintanya tersedu. Air matanya terurai di kedua pipinya. Ia menangis sunyi.

Namun, betapa pun dalam rasa penyesalannya, Dika berusaha tegar. Ia seka jejak-jejak kesedihan di kedua pipinya.

326 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 327

Ia bangkit dan berjalan kembali menyusuri tepian jalan ke arah rumahnya.

Sudah lewat tengah malam, jalanan sepi senyap. Terlihat beberapa mobil yang terparkir di bahu jalan. Di trotoar terlihat sesosok laki-laki tua dengan pakaian lusuh sedang berbaring, beralaskan beberapa lapis kardus bekas dan berselimut kertas koran. Dika memerhatikan sejenak sosok yang tengah terlelap itu. Berpikir sejenak, ia pandangi bungkusan makanan yang ada di tangan kirinya. Sesaat ia menjongkok, lalu meletakkan bungkusan itu di samping kepala orang tua tersebut. Kemudian, ia melangkah kembali meninggalkan tempat itu, menyusuri jalan yang sarat kenangan.

Sesaat setelah ia berlalu, mungkin karena suara langkah kakinya atau aroma makanan berasal dari bungkusan, orang itu terbangun dari tidurnya. Lalu ia pandangi bungkusan itu dan tertegun sejenak. Tanpa pikir panjang, ia melahap makanan tersebut sampai tak tersisa.

Melewati Hotel Savoy Homann, tatapannya lekat pada bangunan sarat sejarah itu. Lalu pandangannya mengitar ke arah bangunan bekas toko De Vries. Di depan tempat itu, Renee pernah bercerita panjang kepadanya mengenai kisah Opanya. Kemudian, tatapannya beralih ke arah Gedung Societeit Concordia yang anggun berdiri. Bangunan itu menjadi saksi kecelakaan yang menimpa Renee, sampai ia menemui ajalnya. Ia pandangi relief wajah garang Batara Kala yang bertengger di gedung bekas Bioskop Majestic. Renee sering kali ketakutan saat berjalan melewati bangunan itu. Waktu boleh berlalu, zaman bisa berganti. Tetapi, kisah yang sudah tertulis tidak mungkin bisa terhapus.

“Jangan takut akan kepergian sang surya. Kelak, dengan lenyapnya warna jingga darinya, akan muncul rembulan menerangi pekat malam dengan cahayanya yang lembut.”

Mendengar suara tiba-tiba di belakangnya, langkah Dika terhenti. Ia berdiri mematung tak menoleh. Pikirannya masih meraba-raba. Suara itu akrab di telinganya. Kepalanya memutar

perlahan. Ia tidak serta merta memercayai penglihatannya. Sosok jelita yang berada di hadapannya kini adalah Nada. Apa yang selama ini dia miliki, wajah yang selalu menyimpan air ketenangan. Sorot matanya dengan kesejukan bulir-bulir embun pagi hari. Senyuman yang merekah kuncup bunga mawar di awal musim penghujan, kini sudah kembali seperti sediakala.

“Nada…??” seru Dika kaget. Terpisah beberapa langkah, keduanya hanya saling berpandangan. Nada mengangguk pelan. Ia tersenyum merona. Bibirnya berucap lagi,

“Kita tidak bisa terlarut dalam kesedihan yang terus- menerus,” bibirnya tak kuasa lagi berkata, terhalang oleh tangis rindu yang menggumpal di dada. Air mata Nada berderai dari dua kelopaknya, merambat perlahan melalui pipi-pipinya, bening seperti embun. Mereka saling mendekat. Saat tak ada lagi jarak yang berarti, keduanya berangkulan dalam kerinduan. Dika merasakan embusan napasnya pelan dan tenang. Ia hirup dalam-dalam aroma lime parfumnya yang segar. Degup jantungnya damai berirama. Ia merenggang. Jemari tangan kanannya menyeka air mata dari dagu Nada yang sembab.

”Kamu...tidak jadi menyusul Papamu?””Sudah kulakukan. Tapi, hatiku mengatakan, kau adalah

perwujudan mimpi-mimpiku. Aku kembali lagi sehari yang lalu.”

Dika mengangguk, tersenyum lega.“Dika, maafkan aku. Pada akhirnya, cinta memang

menentukan nasibnya,” ucap Nada lirih. “Berbulan-bulan aku menafakuri hal ini. Mungkin takdir cinta memilih jalannya sendiri.”

Dika menunduk, dan berucap, “Aku bersalah, akulah orang yang sudah menyakiti sahabatnya sendiri, aku….”

“Sttt!” jemari lentik Nada menghentikan bibir Dika meneruskan berkata-kata.

“Di suatu konsernya, Nicolò Paganini, seorang pemain biola terkenal di abad 19, mengalami putus senar hingga tinggal satu senar yang tersisa. Seandainya saja, saat itu ia terpaku menyesali tiga senarnya yang putus, niscaya konsernya itu tidak akan

328 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 329

menjadi sangat luar biasa. Kita harus hidup di masa sekarang. Masa lalu hanya untuk dikenang dan diambil hikmah. Kita titipkan impian di haribaan esok hari.” tambahnya.

Angin bertiup pelan. Suaranya bergemerisik menyapa dedaunan kering pohon flamboyan yang berserakan di tepi jalan. Dua orang itu berjalan kembali menuju ke arah utara menyusuri Jalan Braga, seperti dahulu mereka melakukannya sehabis mengikuti pameran di Gedung AACC (Asian-African Culture Center). Bangunan-bangunan tua dengan balkon di depannya, sebagian atapnya terdapat lucarne, saling berhadapan mengapit mereka. Menjelang Jalan Wastukencana, bulatan bulan terhalang oleh pohon-pohon kenari tua di tepi jalan yang tinggi menjulang. Pohon itu tumbuh bersanding dengan pohon damar raja, Agathis loranthifolia, yang dengan sabar menyertainya. Cahaya kuning lampu penerang jalan kuning redup.

Dika mengangguk, “Mulai saat ini, aku akan berusaha untuk membahagiakanmu,” tangannya memegang erat kedua pundak Nada, “kita wujudkan mimpi kita yang tertunda.”

“Masih ingatkah mimpi yang aku ujarkan beberapa tahun lalu di bawah pelangi?” tanya Nada. Dika mengangguk pelan, ia berucap,

“Kelak, ketika tiba saatnya kita menjadi orang tua bagi anak-anak kita, aku akan berusaha menjadi ayah yang baik bagi mereka. Aku akan membasuh kaki-kaki mereka yang berlumur tanah, saat mereka tertidur keletihan di sofa selepas bermain di halaman sepanjang hari. Lalu, aku akan memindahkannya ke kamar tidur. Jika aku lupa, ingatkan aku agar selalu memberi mereka kecupan selamat malam di awal tidur. Tegurlah aku agar selalu menyempatkan waktu untuk mengantar dan menjemput mereka dari sekolah. Aku akan bermain dan tertawa bersama mereka. Menggendongnya menyusuri pematang sawah saat matahari hampir tenggelam sambil mendendangkan sebuah lagu. Akan kubuatkan mainan untuk anak-anak kita dari pelepah pisang dan batang daun singkong yang diambil dari kebun belakang rumah kita. Aku akan berucap dengan kata-kata yang

lembut dan penuh hikmah. Aku ingin menjadi ayah yang baik bagi mereka.”

Nada mengangguk haru. Ucapnya, “Aku pun akan mendidik mereka dengan cinta dan kasih sayang. Kelak mereka akan tumbuh menjadi anak yang santun, cerdas, dan berbakti. Aku akan mencurahkan baktiku kepadamu. Aku akan selalu menyiapkan sarapan pagi untukmu dan mereka. Jika malam hari, aku akan menceritakan dongeng sebelum mereka terlelap tidur dalam kedamaian.” katanya terisak.

lll

Kampus UNIBA, Juni 2004

Sejak beberapa bulan lalu, Epul kembali melakukan aktivitas akademisnya seperti biasa. Ia melanjutkan penelitian tugas akhir dan proses perkuliahan hingga selesai. Setelah melewati proses panjang, ia dinyatakan lulus oleh dewan penguji dengan yudisium excellent (luar biasa) dalam sidang kelulusannya.

Hari yang dinantikan tiba. Pagi itu, suasana kampus UNIBA semarak. Acara wisuda gelombang II akan segera berlangsung di Aula Utama. Epul dan calon wisudawan lainnya berkumpul, memasuki pintu aula satu per satu, menduduki kursi sesuai nomornya masing-masing.

Di dalam gedung, Epul duduk di jajaran kursi terdepan. Dia satu baris bersama para mahasiswa yang akan mendapat penghargaan karena hasil penelitian yang luar biasa. Dalam skripsinya, Epul berhasil membuat inovasi mengenai pengemasan bahan pangan. Penelitiannya berangkat dari keprihatinan dunia terhadap kerusakan lingkungan akibat kemasan makanan tak ramah lingkungan, berbahan dasar plastik. Kemasan ini butuh waktu 500 hingga 1.000 tahun supaya terurai di alam. Meskipun, di satu sisi, kemasan ini diperlukan untuk memperpanjang masa penyimpanan produk. Di pihak lain, banyak para ahli lingkungan

330 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 331

menyarankan penggunaan kemasan alami, seperti daun pisang, daun jati, atau sejenisnya untuk mengurangi sampah kemasan pangan yang sulit terurai. Pengemasan secara tradisional sangat ramah lingkungan. Akan tetapi, kemasan alami ini tidak menjamin masa simpan produk lebih lama.

Epul mampu menemukan jalan tengah yang menjembatani kepentingan dua pihak ini. Pengemas hasil inovasinya terbuat dari campuran tepung singkong yang bernama BE+ (biodegradable resin) atau sejenis resin baru yang mampu terurai di alam dalam waktu 10 minggu, dan campuran bahan alami lainnya yang ramah lingkungan. Meskipun demikian, sifat fisisnya tidak berbeda jauh dengan plastik jenis lainnya.

Pembawa acara meneriakkan nama Epul dengan lantang. Ia didaulat maju menuju podium, untuk menyampaikan pidato sebagai perwakilan dari seluruh wisudawan. Riuh tepuk tangan audiens mengantarkan langkahnya hingga sampai mimbar. Tangannya membuka selembar draft pidato yang sudah ia susun semalam. Meskipun tak ada yang istimewa dari pidatonya, semua orang di sana merasa salut atas perjuangan mahasiswa tersebut dengan berbagai keterbatasan. Ia layak menjadi teladan untuk generasinya.

Pada saat yang sama, pintu aula utama terbuka. Menyelinap masuk seorang mahasiswa, Dika, mengenakan seragam wisuda dengan toganya, berjalan menuju kursi yang masih kosong, no. 27. Saat Epul melirik, Dika sudah berada di kursi tersebut. Ia tersenyum lega. Dika tersenyum bangga.

Acara pelantikan wisudawan selesai. Wajah Epul berbinar keluar dari ruang pelantikan. Di taman tampak Dika, Nada, Sarkadhut, dan Gerhard sedang berkumpul. Epul menghampiri.

“Epul, selamat!” sambut keempat orang temannya itu serentak.

“Terima kasih, teman-teman.” Epul merangkul Dika, Sarkadhut, dan Gerhard.

“Apa rencanamu selanjutnya, Pul?” tanya Dika. “Melamar kerja? Jadi dosen? Atau melajutkan kuliah S2?”

“Tak satu pun. Abah berwasiat supaya sayah kembali ke desa usai kuliah.”

“Kembali ke desa?” sambar Nada.”Untuk apa?” sahut Sarkadhut.Epul mengangguk. “Betul. Sayah akan menanam padi

di sawah dengan Ambu dan adik-adik. Sementara Ambu menyiapkan bekal makanan untuk kami semua. Sayah akan bekerja dan menikmati hidup. Bekerja berkubang lumpur, bekerja sambil berbagi tawa, merawat hamparan padi sawah. Sayah akan membayar seluruh hutangku. Air jernih sungai itu, senyum ramah penduduknya. Kami bangga tinggal di desa. Desa adalah rumah kami. Tempat kedamaian dan keharmonisan bersemayam.”

“Bagaimana dengan rencana kau membangun desamu?” tanya Gerhard penasaran.

“Sayah akan membangun pabrik pengolahan hasil pertanian. Dengan demikian, masyarakat desa tidak hanya menjualnya mentah. Akan tetapi, mereka dapat mengolahnya terlebih dahulu menjadi makanan yang bernilai tambah tinggi.” senyum Epul mengembang. Ia merangkul sahabat-sahabatnya untuk kesekian kali.

“Sayah akan selalu merindukan kalian, Kawan. Kalian sahabat terbaik yang pernah sayah miliki sepanjang hidupku,” bisik Epul. Suaranya dalam dan bergetar. Air matanya menetes. Dika mengiyakan dengan anggukan.

“Aku bangga punya sahabat sepertimu. Selamat berjuang, Sobat!” ujar Dika, menepuk-nepuk toga wisudanya.

Mereka melepaskan rangkulan dengan berat. Epul berbalik dan melangkah pergi memunggunginya. Ia menuju mobil tua Daihatsu Zebra tahun ‘86 berwarna merah tua yang dipinjam keluarganya dari Pak Haji Dulah, saudagar kaya pemilik usaha penggilingan padi di desanya. Pandangan Dika lekat menatap punggung sahabatnya.

“Sayah sudah tahu cara membuka ini!” teriak Epul menunjuk pegangan pembuka pintu mobil. Saat meraihnya, pintu mobil

332 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 333

terbuka. Ambu, Iis, empat adiknya, dan Kepala Desa Ciakar, Ciamis, tampak berada di dalam mobil itu. Mereka melambaikan tangan sambil tersenyum. Empat orang sahabatnya tertawa riang dari jauh.

Perpisahan dan perjumpaan, dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Suka duka mereka habiskan selama lima tahun di bangku kuliah yang penuh kenangan. Epul berhenti dan berbalik menghadap para sahabatnya. Ia ingin memberikan anggukan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya.

”EPUL!!” Teriakan lantang terdengar dari arah belakang. Serta merta

seluruh perhatian orang di sana tertuju ke arah sumber suara itu. Seorang dosen muda, pria berusia 30-an berlari tergopoh-gopoh mendekat. Dasinya yang berwarna hitam berkibar-kibar tersibak angin, kontras dengan warna pakaiannya yang putih. Dosen muda ini yang ditunjuk oleh Pak Dekan sebagai ketua Laboratorium Inovasi Pangan.

Epul mengernyitkan kening. Tak biasanya orang ini ramah dan mau tersenyum. Sepanjang ia kuliah, orang inilah yang selalu memicingkan sebelah mata ketika melihat mahasiswa. Meskipun demikian, ia adalah dosen muda yang sewaktu lulus kuliah memperoleh predikat summa cum laude.

“Bisa bicara sebentar?” tanyanya setelah berusaha menghimpun napasnya yang tersengal-sengal. Telunjuknya mendorong letak kacamatanya yang berframe hitam tebal. Epul mengangguk.

“Tentang masalah apa, yah?” tanyanya.“Sebelumnya saya ucapkan selamat atas wisudamu dan

prestasi penelitianmu. Kami benar-benar bangga memiliki mahasiswa sepertimu,” ujarnya tersenyum basa-basi. “saya ingin membicarakan program inovasi pangan. Saat ini, Laboratorium Inovasi Pangan yang dibentuk oleh Pak Dekan sedang membutuhkan staf untuk R&D,” ujarnya penuh semangat. Ia menarik napas beberapa saat.

“Setelah aku berkonsultasi dengan pihak dekanat, forum

mengusulkan kamu untuk menempati posisi tersebut. Ia sangat tertarik dengan hasil penelitian dalam skripsimu tersebut. Penelitianmu akan bernilai ekonomis sangat tinggi jika diaplikasikan di dunia industri. Ini semakin membuktikan adanya link and match antara dunia akademis kampus dengan dunia aplikatif industri. Kita akan mendapat keuntungan dari hak paten tersebut.” Bicaranya bersemangat, sampai pundaknya berguncang-guncang.

Epul terlihat merenung beberapa saat.

“Sayah sangat berterima kasih dengan penawaran itu.”

“Jadi, kau menerima penawaran kami?” tanyanya tidak sabar.

Epul hanya tersenyum tipis. “Begini,” ucapnya mendehem. ”Sayah sendiri ingin menciptakan link and match antara dunia kampus dengan masyarakat. Jadi, kampus bukanlah ivory tower, menara gading yang tak pernah menyentuh kehidupan masyarakat.” Epul terdiam beberapa saat. Dosen muda itu hanya menunggu cemas, menanti sambungan perkataan selanjutnya.

“Setelah sayah pertimbangkan masak-masak, sayah lebih suka memanfaatkan ilmu sayah untuk masyarakat luas daripada mengabdikannya untuk kepentingan segelintir para pemilik modal. Jadi, sayah memilih untuk kembali ke desa, dimana ilmu sayah akan bermanfaat bagi kemajuan rakyat banyak. Sampaikan salam sayah untuk Pak Dekan.”

Epul mengedipkan sebelah mata kepada empat sahabatnya sambil tersenyum di kejauhan. Mereka membalasnya dengan acungan jempol tinggi-tinggi. Ia pun memasuki mobil sewaan itu dan meninggalkan sang dosen muda yang sedang berharap semoga sarjana desa ini berubah pikiran, lalu menerima tawarannya kembali.

Setelah berpamitan, Epul dengan mobil tua itu melaju perlahan. Dika, Gerhard, Sarkhadut, dan Nada melepasnya tersenyum.

334 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 335

lll

Telaga Patenggang, Ciwidey, 2005

Telaga alam itu menempati sebuah cekungan dataran tinggi pegunungan bagian selatan Bandung. Di sekitarnya, terhampar hijaunya pepohonan teh dan hutan pinus. Sebelah timur, menyembul sosok Gunung Patuha yang membiru.

Waktu beranjak senja. Matahari hampir bersemayam di siluet pepohonan. Kabut dingin menyelimuti pucuk-pucuk teh. Embusan angin bersijingkat di riak-riak air telaga yang kehijauan. Sebuah perahu kayu sederhana melaju tenang, membelah kabut. Sepasang insan berada di atasnya tersenyum bahagia. Mereka duduk saling berhadapan. Kedua tangan sang pria mengayuh dayung di sebelah kanannya. Di depannya, seorang wanita, sesekali merunduk. Lehernya mengapit sebuah biola. Tangan kanannya menggesekkan busur pada dawai-dawainya. Melodi indah ’Allegro From Spring The Four Season’ menyingsingkan kabut dingin di udara. Usai allergo88 dimainkan, wanita itu menurunkan biola dan mengangkat wajah, lalu tersenyum indah.

Lelaki itu menghentikan kayuhannya. Perahu melaju tanpa dayung.

”Nada, ada suatu hal yang ingin kuutarakan.”Wanita anggun itu mengangguk. Senyumnya masih

melekat.Lelaki itu merogoh saku mantelnya, lalu mengeluarkan

secarik kertas terlipat. Tangannya menyodorkan surat itu kepadanya.

“Aku menemukan secarik surat ini di genggaman tangan Renee. Nampaknya ia ingin menyampaikan surat ini kepadamu. Surat yang tak terkirim. Bacalah!” ucapnya.

88 Musik klasik yang dimainkan dengan tempo cepat dan bersemangat

De Grote Postweg, Bandung 0+00 km, 7 Desember 2003

Teruntuk Sahabatku, Serenada

Telaga Wanita Terindah

Di bening matamu terhampar padang rumput menghijau yang menghimpun sebuah telaga dalam hatimu. Di saat rembulan emas melepuh di atas riak keperakan air telaga. Sinar lembutnya menggenang pada rumah kayu sederhana di tepinya. Ketenangan langit malam terbias dari sorot matamu. Kedamaian terpantul dari rona wajahmu.

Sepasang insan mengarungi keindahan malam. Di atas perahu kayu bermandikan cahaya bulan dan gemintang. Dalam kebahagiaan tiada tara. Di tengah telaga hatimu, perahu itu berlayar. Menuju mata air cinta dan kebahagiaan.

Dan duduk termenung sang pemimpi. Di atas kursi kayu di bawah pohon pinus tepi telaga indahmu. Memandang dan mengagumi dua insan di atas perahu itu, seorang lelaki yang pernah bersemayam di dalam hatinya dan wanita yang paling berbahagia. Semoga wanita itu yang terindah baginya.

Sang pemimpi itu memohon agar sepasang insan di atas perahu itu senantiasa dalam keriangan. Di bawah naungan cerahnya langit malam sampai pagi menjemput dan selamanya. Sampai daun tak lagi meneteskan bulir-bulir embun pagi. Sampai gemerisik dedaunan parau diterpa angin. Sampai kemarau yang kerontang tak lagi merindukan curahan sang hujan.

Semoga mata air telaga hatimu takkan kering. Selalu memancarkan bening air kesejukan dan kebahagiaan. Agar sepasang insan di atas perahu tetap bisa berlayar. Mengarungi indahnya malam. Di kelopak matamu yang terus melelehkan cahaya rembulan…

Sahabatmu,

Renee van Fokkerhuise

336 | Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg Lo v e f r o m D e G r o te Po s t w eg | 337

Tuntas membaca surat, wanita itu mengangkat wajah. ”Kenapa kau baru memberikannya sekarang?””Aku menunggu waktu yang tepat.””Apakah ini waktunya?””Ya, kurasa inilah waktunya. Disaat kita sedang menunggu

kelahiran bayi pertama kita.”Wanita itu tersenyum syahdu. Tangannya mengelus-elus

perutnya yang tengah mengandung 5 bulan.”Kau sudah menyiapkan nama untuk bayi kita?”Lelaki itu mengangguk, ”Kurasa, ya.””Siapa namanya?””Pangrango.””Bukankah itu nama bayi laki-laki?”Sang lelaki mengangguk.”Bagaimana jika bayi kita perempuan?”Lelaki itu merenung. ”Aku punya usul.” sela sang wanita.”Apa?””Renee.”Sang lelaki terkesiap. Kedua orang itu saling menatap. Tak

lama, lelaki itu berucap,”van Fokkerhuise?”Sang wanita mengangguk. Keduanya tersenyum puas.

Sang wanita menaikkan biolanya ke atas pundak. Lelaki itu merendamkan dayungnya kembali. Kayuhan dayungnya ritmik, seirama dengan melodi biola yang mengalir perlahan.

Di tepi telaga, terduduk sunyi seorang gadis di atas kursi kayu. Rambutnya tergerai sebahu, hitam bergelombang agak keemasan. Pandangannya lepas ke tengah telaga, pada sepasang manusia di atas perahu kayu. Bibirnya tersenyum menyaksikan kebahagiaan mereka berdua. Air bening menggenang di pelupuk mata, membuatnya berkaca-kaca. Saat kabut menyingsing, gadis itu pun menghilang, terbang bersama dinginnya senja.

lll

Tentang PenulisNoerhidajat, setelah menamatkan sekolah di SMA 12 Yogyakarta, ia melanjutkan studinya di Universitas Padjadjaran, Bandung hingga berhasil meraih gelar sarjana. Ia adalah salah satu penggiat LSM lingkungan hidup, Yayasan Semai Alam Lestari (YSAL) yang berkantor pusat di Jakarta. Tulis menulis merupakan kegiatan yang selalu digelutinya. Hobinya memanjat gunung dan bertualang menikmati bangunan-bangunan kuno peninggalan peradaban. Sejak tahun 2009, ia tercatat sebagai anggota IES (Indonesian Entrepreneur Society), sebuah komunitas wirausaha Indonesia, yang berkantor di Jakarta. Penulis bisa dihubungi melalui E-mail: [email protected] atau [email protected].