Upload
vika-asyharul-ulya
View
103
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan pendahuluan CKB
Citation preview
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA BERAT PADA NN. T (16 TAHUN)
DI UNIT GAWAT DARURAT RSUD Dr. H. SOEWONDO KENDAL
MANAGEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Oleh
1. Vika Asyharul Ulya 22020112120003
2. Lastina Fachrunnisa 22020112140013
3. Karlinda Nuriya Afifah 22020112130032
4. Nurlela Fitriani 22020112130046
5. Amanat Buya
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
CEDERA KEPALA
A. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala
atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan
otak (B.Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
(Smeltzer & Bare, 2001).
B. Etiologi
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2000). Penyebab cedera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, terjatuh, dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh
peluru atau pisau (Corwin, 2001).
Menurut Hudak dan Gallo (1996) mendeskripsikan bahwa penyebab cedera kepala
adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
C. Klasifikasi
Menurut Batticaca (2008) cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan:
1. Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak
a. Cedera kepala terbuka
b. Cedera kepala tertutup
2. Cedera pada jaringan otak (secara anatomis)
a. Commusio serebri (gegar otak)
b. Edema serebri
c. Contusio serebri (memar otak)
d. Laserasi
- Hematoma epidural
- Hematoma subdural
- Perdarahan sub arakhnoid
3. Adanya penetrasi durameter (secara mekanisme)
a. Cedera tumpul
- Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
- Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Cedera tembus
c. Luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya
Selain itu cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow
Coma Scale) yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
a. GCS > 13
b. Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
c. Tidak memerlukan tindakan operasi
d. Lama dirawat di RS < 48 jam
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
a. GCS 9-13
b. Ditemukan kelainan pada CT scan otak
c. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
d. Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <9
a. Hematom epidural adalah suatu hematom yang cepat terakumulasi diantara
tulang tengkoral dan durameter, biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri
meningea media. Jika tidak diatasi akan membawa kematian.
b. Hematom subdural terjadi ketika vena diantara durameter dan perenkim otak
robek. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi cedera dan dapat timbul
higroma.
c. Kontusio adalah perdarahan kecil (petechiae) disertai edema pada parenkim
otak. Dapat timbul perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau ditempat
yang berlawanan dari cedera (contre coup).
d. Hematom intraserebral biasanya terjadi karena cedera kepala berat, ciri khasnya
adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat setelah sadar kembali.
e. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terdapat pada ruang
subaraknoid, biasanya disertai hilangnya kesadaran, nyeri kepala berat dan
perubahan status mental yang cepat.
D. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cedera kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Cedera bervariasi dari luka kulit
yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka dari tengkotak, disertai kerusakan otak,
cedera pada otak, bisa berasal dari trauma langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung
terbuka, semua itu akibat terjadinya akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga,
dilepaskannya gas merusak jaringan syaraf. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kerusakan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak
oleh kompresi, goresan, atau tekanan.
Cedera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansia alba, cedera robekan, atau hemmorarghi. Sebagai akibat, cedera
skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral dikurangi atau tidak ada
pada area cedera, konsekuensinya meliputi hiperemia (peningkatan volume darah,
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, tekanan intra cranial)
(Huddak & Gallo, 2000:226).
Pengaruh umum cedera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya penumpukan
cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
rauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang
terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga
banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh
darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun
intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak
menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan
menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi
pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan
anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson, 2006:1010).
E. Manifestasi Klinis
1. Berdasarkan anatomis
a. Gegar otak (comutio selebri)
- Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
- Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
- Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
- Kadang amnesia retrogard
b. Edema serebri
- Pingsan lebih dari 10 menit
- Tidak ada kerusakan jaringan otak
- Nyeri kepala, vertigo, muntah
c. Memar otak (kontusio selebri)
- Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
- Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
- Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
- Penekanan batang otak
- Penurunan kesadaran
- Edema jaringan otak
- Defisit neurologis
- Herniasi
d. Laserasi
- Hematoma Epidural
Penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan periode lucid
(pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan
penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
Kacau mental → koma
Gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
Pupil isokhor → anisokhor
- Hematoma subdural
Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidura
Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
Perluasan massa lesi
Peningkatan TIK
Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
Disfasia
- Perdarahan sub arachnoid
Nyeri kepala hebat
Kaku kuduk
2. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
a. Cedera kepala Ringan (CKR)
- GCS 13-15
- Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
- GCS 9-12
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24
jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
- Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
(Hudak dan Gallo, 2001:226)
F. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik (George, 2009)
Glasgow Coma Scale (GCS)
Membuka Mata (E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Respons Verbal (V)
Baik, tidak ada disorientasi 5
Kacau/confused 4
Tidak tepat 3
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
Respons Motorik (M)
Menurut perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1
2. Pengkajian Pascatrauma (Post-Traumatic/PTA)
Menurut George (2009) indeks lain yang digunakan secara luas untuk menentukan
tingkat cedera kepala. PTA didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera
kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi, penurunan kosentrasi, atensi
menurun, dan/atau ketidakmampuan untuk membentuk memori baru.
PTA ≤ 1 hari Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi sesuai.
Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap,
biasanya post-ok syndrome.
PTA > 1 hari
sampai < 1 minggu
Masa penyembuhan lebih panjang, beberapa minggu
sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin
dengan perawatan yang baik.
PTA 1-2 minggu Penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan, pada
beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya
dapat kembali bekerja, pasien dapat melakukan aktivitas
sosial dengan perawatan yang baik.
PTA 2-4 minggu Proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1 tahun
atau lebih. Didapatkan defisit permanen, sebagian tidak
dapat melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau
melakukan aktivitas sosial)
PTA > 4 minggu Terdapat defisit dan disabilitas yang permanen dibutuhkan
pelatihan dan perawatan jangka panjang
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut George (2009) pemeriksaaan penunjang yang dapat menunjang diagnosa
pada pasien cedera kepala berat antara lain:
1. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala/otak memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intrakranial. Pada era CT scan, foto polos kepala mulai
ditinggalkan.
2. CT Scan Kepala
CT scan kepala merupakan standard baku untuk mendetaksi perdarahan intrakranial.
Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan,
sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi
tertentu seperti:
a. Nyeri kepala hebat
b. Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii
c. Adanya riwayat cedera yang berat
d. Muntah lebih dari 1 kali
e. penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia
f. Kejang
g. Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obatan antikoagulan
h. Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
i. Rasa baal pada tubuh
j. Gangguan keseimbangan atau berjalan
3. MRI Kepala
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan,
kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun, dibutuhkan
waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai
dalam situasi gawat darurat.
4. PET dan SPECT
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer
Tomography (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut
dan kronis meskipun CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak
memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut
masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus
CKR masih belum direkomendasikan.
H. Pengkajian Primer
1. Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
2. Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama
pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu
pernapasan, pernapasan cuping hidung.
3. Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
4. Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
5. Exposure
Suhu, lokasi luka.
I. Pengkajian Sekunder
Menurut Jackson (2009) pengkajian sekunder yang dapat dilakukan antara lain:
a. Symtom (gejala)
“Apa yang Anda rasakan?”, “Apa yang membuat Anda datang ke rumah sakit?
(Keluhan utama pasien).
b. Alergy (alergi)
“Apakah Anda alergi terhadap sesuatu?” (obat-obatan, makanan, lateks, dan
sebagainya). “Apa yang terjadi ketika Anda menggunakan sesuatu yang
menyebabkan Anda alergi?” (mencari tahu jenis jenis reaksi alergi yang pernah
dialami).
c. Medication (obat-obatan)
“Apakah Anda sedang mengkonsumsi obat-obatan?”, “Untuk apa Anda
mengkonsumsi obat tersebut?”, “Kapan terakhir kali Anda mengkonsumsi obat
tersebut?” (diresepkan, obat bebas, herbal, dan sebagainya).
d. Past medical history (riwayat penyakit dahulu)
“Pernahkah Anda mengalami masalah ini sebelumnya?”, “Apakah Anda
memiliki masalah kesehatan lainnya?”
e. Last oral intake (asupan makan terakhir)
“Kapan terakhir kali Anda makan atau minum?”,”Apa yang terakhir kali Anda
makan?”.
f. Event leading up to illness or injury
“Bagaimana Anda bisa mengalami cedera ini?”
J. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cedera kepala
adalah sebagai berikut:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakanial
2. Nyeri akut b.d trauma jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakanial
3. Resiko peningkatan tekanan intra canial b.d adanya proses desak ruang akibat
penumpukan cairan atau darah dalam otak
4. Resiko kekurangan volume cairan b.d perdarahan
5. Resiko infeksi b.d trauma benda tumpul
K. Intervensi keperawatan
DX 1 : perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perubahan perfusi
jaringan ... dengan kriteria hasil :
- Tidak terjadi peningkatan TIK
- TTV klien dalam batas normal
TD : 110/70 – 120/80 mmHg
N : 60 – 100 x/menit
RR : 18 – 24 x/menit
S : 36o C – 37.5oC
Intervensi Rasional
1. Pantau status neurologis (kesadaran)
klien secara teratur
2. Pantau TTV
3. Evaluasi keadaan pupil
4. Anjurkan klien untuk meningggikan
kepala 15-30o atau kepala
disejajarkan
5. Kolaborasi dengan tim medis untuk
pemberian diuretik
1. Mengkaji adanya
kecenderungan pada
penurunan tingkat kesadaran
dan potensial peningkatan
TIK
2. Mempertahankan aliran darah
ke otak yang konsisten
3. Untuk menentukan apakah
batang otak masih baik
4. Meningkatkan aliran balik
vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti
dan edema
5. Diuretik dapat digunakan
pada fase akut untuk
menurunkan air dari sel otak
Dx 2 : Nyeri akut b.d trauma jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakanial
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan skala nyeri berkurang
dari 10 menjadi 5 dengan kriteria hasil :
- Skala nyeri klien berkurang dari 10 menjadi 5
- Klien mengungkapkan nyaman
- Klien tidak terlihat lelah
- TTV dalam rentan normal
TD dalam batas normal 110/80 mmHg
N : 60-90 x/menit
RR : 18 – 24 x/menit
Suhu 36o – 37.5o C
Intervensi Rasional
1. Observasi keadaan umum
klien
2. Monitor TTV klien
3. Ajarkan latihan teknik
relaksasi
4. Buat posisi kepala sejajar
dengan kaki
5. Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik
1. Untuk mengetahui kondisi kesadaran
klien
2. Untuk mengetahui nyeri klien
3. Membantu mengurangi nyeri
4. Mengurangi nyeri dan rasa mual
muntah
5. Mengurangi rasa nyeri dan sakit
kepala
Dx : Resiko peningkatan tekanan intra canial b.d adanya proses desak ruang akibat
penumpukan cairan atau darah dalam otak
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan peningkatan TIK tidak
terjadi dengan kriteria hasil :
- Kesadaran stabil composmentis
- Pupil isokor
- Tidak ada mual muntah
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran klien
2. Monitor TTV
3. Kaji kemampuan sensorik
dan motorik
4. Bantu klien untuk
menghindari batuk, muntah
atau mengejan saat BAB
1. Untuk mengetahui kondisi klien
2. Dapat membantu mengetahui
keadaan klien
3. Mengetahui kemajuan klien
4. Agar TIK tidak meningkat
5. Mengencerkan darah yang membeku
diserebral
5. Berikan cairan infus Manitol
Dx 4 : Resiko kekurangan volume cairan b.d perdarahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan dan
elektrolit dipertahankan dalam batas normal dengan kriteria hasil :
- Nadi klien dalam batas normal (60-90 x/menit)
- Suhu klien dalam batas normal (36oC – 37.50C)
- Tidak ada tanda dehidrasi (mata tidak cekung, ubun-ubun tidak cekung)
- Elastisitas turgot kulit baik
- Mukosa bibir lembab
Intervensi Rasional
1. Beri dan pantau cairan IV
kolaborasi dengan tim medis
2. Monitor intake dan output
cairan
3. Kaji TTV, turgor
kulit,membran mukosa dan
status mental
4. Tutup luka dengan hecting
situasional
5. Monitor status hidrasi
1. Mengganti cairan yang hilang secara
berlebih
2. Untuk mengevaluasi keefektifan
intervensi
3. Untuk mengkaji hidrasi
4. Mencegah terjadinya perdarahan
5. Untuk mengevaluasi keefektifan
intervensi
Dx 5 : Resiko infeksi b.d trauma benda tumpul
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan tanda-
tanda dari infeksi (demam tinggi, warna kulit kemerahan, dll) tidak muncul dengan
kriteria hasil :
- Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal
- Menunjukkan perilaku hidup sehat
1. Tutup luka dengan hecting
dengan prinsip steril
2. Berikan injeksi ATS dan
antibiotik kolaborasi dengan
tim medis
1. Untuk menghentikan perdarahan
2. Untuk mencegah terjadinya infeksi
3. Mengetahui infeksi sedini mungkin
sehingga dapat melakukan intervensi
yang tepat
3. Kaji luka klien dan tanda-
tanda infeksi (rubor, dolor,
kalor, tumor, fungtiolessa)
4. Rawat luka dengan prinsip
steril
4. Menjaga luka tetap bersih dan
meminimalkan kontaminasi silang
dengan perawat kepada klien
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. 2001. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
George Dewanto, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo. 1996. Keprawatan Kritis Vol II. Jakarta: EGC.
Jackson, Marilynn & Lee Jackson. 2009. Seri paduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer & Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.