Upload
risa-dya-pratiwi
View
223
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lp
Citation preview
A. Kosep Penyakit HIV-AIDS
1. Pengertian
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang
muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit
karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Centers
for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada
orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut mengalami
penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki
antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan meliputi kondisi
demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih
dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya yaitu kanker serviks invasif atau diseminasi
dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi misalnya, TB (Tubercolosis).
(Doenges, 2000).
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. (Nursalam,
2007)
2. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun dilemahkan
oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunedeficiency Virus (HIV),
yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi genetik dalam
asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel T-penolong (T4),
yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai akibatnya, hidup penderita
AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang sebenarnya tidak berbahaya, jika
tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
3. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan secret
Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi melalui hubungan seksual.
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetic RNA. Bilaman virus masuk
kedalam tubuh penderita ( sel hospes ), maka RNA virus diubah menjadi
oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV . DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain tifosit T4,virus juga
dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel
mikroglia otak Virus yng masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi
sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute
Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4 (Cluster Differential Four)
dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun
dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun
sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load ( jumlah virus HIV dalam darah )
akan cepat meningkat pada awal infeksi dan kemudian turun pada suatu level titik
tertentu maka viral load secara perlahan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan
ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik,
berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa
pengobatan ARV rata – rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah
3,7 tahun. (DEPKES RI,2003)
4. Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium
yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologi
ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif. Rentan
waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi
positif disebut window period. Lama window period satu sampai tiga bulan, bahkan
ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala - gejala.
Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pasien yang tampak sehat ini
sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung selama
satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain penyakit saraf,
infeksi sekunder dan lain – lain.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Mandal (2004) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi
HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada jaringan
tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar.
Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang
relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang
tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya
mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat,
karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada yang lainnya. Dari
masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan,
mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung
berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
6. Pencegahan Penularan
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah-
langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan
rumusan ABCDE yaitu:
a. A= Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan hubungan
seksual sebelum menikah
b. B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti
pasangan seksual
c. C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara
benar selama berhubungan seksual
d. D = Drugs injection, jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum tidak
steril atau digunakan secara bergantian
e. E = Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan HIV/AIDS
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis
dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid)
penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan
antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein
dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV
yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik,
seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan
cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal
masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status
infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes
konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno,
2001). Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu
dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting
(fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat
untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan
memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-
masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser.
Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang
dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik
molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi
dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu
dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-
masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).
8. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan kebutuhan
fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik
meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana
yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien setiap
saat, pada semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko
penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluraga, dan
pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan untuk mencegah terjadinya
penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1). Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila mengenai cairan
tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung tangan, masker,
kacamata pelindung, penutup kepala, apron dan sepatu boot. Penggunaan
alat pelindung disesuakan dengan jenis tindakan yang akan dilakukan.
2). Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk
setelah melepas sarung tangan.
3). Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4). Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat
kedokteran yang dipakai (tercemar).
5). Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6). Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan
aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1). Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila
timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila
virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa
memakai kombinasi lain.
2). Efektivitas obat ARV kombinasi:
(a) AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat AVR yang
lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan satu jenis obat saja.
(b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien
lupa minum dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
(c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil,
sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan mineral dalam
jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya diperoleh dalam makanan
sehari- hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi vitamin
sehingga memerlukan makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya cadangan
vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada
ODHA dimulai sejak masih dalam stadium dini. Walaupun jumlah makanan
ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap
terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
(a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada keadaan akut ,
olah raga akan berefek buruk pada kesehatan, olahraga yang dilakukan
secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang berefek
menyehatkan
(b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit menjadi 20
1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini menyebabkan peningkatan
darah ke otot skelet dan jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan pertukaran
gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi. Pada olah raga
intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan trigliserida dan
jaringa adiposa menjadi glikogen dan FFA (free fatty acid). Pada
olahraga intensitas tinggi kebutuhan energy meningkat, otot makin
tergantung glikogen sehingga metabolisme berubah dari
metabolisme aerob menjadi anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat. Belajar yang
dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah sangat parah.
Individu yang termasuk dalamdan memberikan dukungan social meliputi
pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan,
atasan, dan konselor.
B. Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan.
Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang tercemar HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin, diedoxycytidine, dan recombinant CD 4
dapat larut.
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,
hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
9. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
1. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan
AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya. Kandidiasi oral
ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Tanda –
tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta
nyeri dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien juga
menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama
terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh yang lain.
2. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas
yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan penyakit yang
melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf,
berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik, kelemahan,
disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-mula mengeluh
lambat berpikir atau sulit berkonsentrasi dan memusatkan perhatian. Penyakit
ini dapat menuju dimensia sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium
akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium akhir ini.
2. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek sakit kepala,
malaise, demam, paralise total/ parsial.
Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga
pasien –pasien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh
penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda –tanda
dan gejalanya dapat samar- samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan,
depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi
3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan menarik
endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan disertai rasa
nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang
dalam, hipotensi orthostatik dan impotensi.
c. Gastrointestinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma dan
sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam
atritik.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis , reaksi otot,
lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat kesehatan saat ini
2. Riwayat kesehatan masa lalu
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Diagnosa medis dan terapi
5. Pola fungsi kesehatan (Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual)
a) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, Keluarga
mengatakan saat masuk RS px hanya mampu menghabiskan ⅓ porsi makanan,
Saat pengkajian keluarga mengatakan px sedikit minum, sehingga diperlukan
terapi cairan intravena.
c) Pola eliminasi
Mengkaji pola BAK dan BAB px
d) Pola aktifitas dan latihan
Pasien terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik, tetapi px mampu
untuk duduk, berpindah, berdiri dan berjalan.
e) Pola istirahat
Px mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak, pikiran kacau, terus gelisah.
f) Pola kognitf dan perseptual (sensoris)
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit, px
mampu memberikan penjelasan tentang keadaan yang dialaminya.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Pola emosional px sedikit terganggu karena pikiran kacau dan sulit tidur.
h) Peran dan tanggung jawab
Keluarga ikut berperan aktif dalam menjaga kesehatan fisik pasien.
i) Pola reproduksi dan sexual
Mengkaji perilaku dan pola seksual pada px
j) Pola penanggulangan stress
Stres timbul akibat pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya,
px merasakan pikirannya kacau. Keluarga px cukup perhatian selama pasien
dirawat di rumah sakit.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas
dan takut, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu, dimana px dan keluarga
percaya bahwa masalah px murni masalah medis dan menyerahkan seluruh
pengobatan pada petugas kesehatan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Sistem kardiovaskuler (mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena
jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung)
c. Sistem hematologi (mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali)
d. Sistem urogenital (ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang)
e. Sistem muskuloskeletal (mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan,
sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak)
f. Sistem kekebalan tubuh (mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah
bening)
7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi).
b. Pemeriksaan foto abdomen (mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan Pertukaran Gas b.d Perubahan Membran Alveolar d.d Hipoksemia
2. Ketidakefektivan Pola Napas b.d Hiperventilasi d.d Perubahan Kedalaman
Pernapasan
3. Hipertermia b.d Proses Penyakit d.d Peningkatan Suhu Tubuh Diatas Normal
4. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan d.d Penurunan Turgor Kulit dan
Lidah
5. Diare b.d Proses Infeksi d.d Bising Usus Hiperaktif
6. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Faktor Biologis d.d
BB 20% atau lebih dibawah BB ideal
7. Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan Kebutuhn Oksigen d.d
Menyatakan Merasa Letih dan Lemah
DAFTAR PUSTAKA
Morhead, Sue., Johnson, Marion, Maas, Meriden L., Swanson, Elizabeth. 2006. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Missouri: Mosby
Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons). 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam, dkk. 2007. Jurnal Keperawatan Edisi Bulan November. Surabaya;Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
NANDA International. 2009. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, Wilsom, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.6. Vol:2. Jakarta: EGC
Smelltzer, Suzane C., Bare, Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku dari Brunner dan Suddart. Jakarta : EGC
Brooker Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1 & 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC
Crofton, John. 2002. Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.
Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid 1. Jakarta : FKUI.
Price, S., & Wilson. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Edisi.2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan HIV/AIDS dan TBC