Upload
zulva-vava
View
4
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SUIP
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
DEPARTEMEN MEDIKAL RUANG 29
HIV/AIDS
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal
Disusun Oleh:
ZULVANA
NIM 140070300011138
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS
I. DEFINISI
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA
nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa
inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam
proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda
dan gejala AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri.
Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam,
2007).
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus)
(Hidayat, 2006).
II. KLASIFIKASI
HIV terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa
menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia,
dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. HIV-2 pertama kali diketahui dalam
serum dari para perempuan afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985,
menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan
dengan HIV-1 (Marlink, 1994). Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia
(Finch, dkk., 2007 ).
III. ETIOLOGI
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau
virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2
adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh
dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus
hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu
bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti
oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular) dan
mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan
meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum
dari para perempuan Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985,
menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan
dengan HIV-1 (Price, 2005)
Cara Penularan
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagina atau serviks, urine, ASI, dan air liur. Penularan terjadi paling
efisien melalui darah dan semen. HIV juga dapat ditularkan melalui air susu dan
sekresi vagina atau serviks. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan
darah, kontak seksual dan kontak ibu-bayi (Price, 2005).
Cara penularan AIDS antara lain sebagai berikut (Arif, 2000):
a. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual
b. Melalui darah, yaitu:
Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-98%
Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%
Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan 0,0051%
Transmisi dari ibu ke anak :
a) Selama kehamilan
b) Saat persalinan, risiko penularan 50%
c) Melalui air susu ibu(ASI)14%
IV. FAKTOR RISIKO
Faktor Resiko HIV/AIDS (Corwin,2009):
Terinfeksi tidaknya seseorang yang terpajan HIV bergantung pada beberapa
faktor, termasuk status imunitas, gizi,dan kesehatan umum individu yang
bersangkutan serta jumlah virus yang masuk. Berikut adalah resiko HIV/AIDS
antara lain :
1. Individu akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang
yang terinfeksi. Melalui transfusi darah atau jarum suntik yang
terkontaminasi. Pajanan ke jarum suntik yang tercemar dapat terjadi secara
tidak sengaja difasilitas elayanan kesehatan atau melalui tukar menukar
jarum selama pemakaian obat Intravena (IV).
- Resiko terinfeksi setelah tertusuk jarum yang terinfeksi secara tidak
sengaja sangat rendah (0,32 %)
- Resiko infeksi setelah terpajan tunggal ke alat injeksi obat yang
terkontaminasi lebih tinggi (0,64 %)
- Resiko terinfeksi dari darah yang tercemar sangat tinggi (hampir 100 %)
2. HIV juga berisiko di alami oleh mereka yang terpajan kesemen atau cairan
vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang yang terinfeksi.
Sebagian besar kasus terjadi pada hubungan homoseksual,peluang
terinfeksi HIV pada pria homoseks mencapai 0,8 %-3,2 %.
3. Penularan virus juga terjadi pada hubungan heteroseks dan merupakan
penularan utama yang ditemukan dibeberapa negara termasuk Afrika sub-
sahara dan sebagian wilayah karibia. Peluang terinfeksi pada wanita (0.09
%)dan peluang terinfeksi pada pria (0,03 %).
4. Resiko tinggi pada Ektropi serviks (perubahan pada struktur serviks yang
menyebabkan struktur tersebut mudah rusak dan cenderung berdarah) yang
lebih sering di alami remaja, wanita hamil dan wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral.
5. Insiden HIV pada pria yang tidak disunat (sirkumsisi) delapan kali lebih tinggi
daripada pria yang tidak di sunat.
6. Hubungan seks selama haid dapat meningkatkan resiko penularan pada
kedua pasangan.
7. Infeksi HIV pada wanita semakin meningkat setelah hubungan seks dengan
pria biseksual atau pemakai obat intravena (IV) meningkat lebih dari 50 %.
8. Wanita lebih rentan terinfeksi HIV dibandingkan pria selama hubungan
heteroseksual karena perlukaan dan perdarahan mikroskopik divagina yang
biasa terjadi sewaktu berhubungan.
9. Wanita yang terjangkit HIV dapat menularkaninfeksi ke janinnya melalui
plasenta. Insidennya meliputi:
- Bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV yang tidak ditangani memiliki
sekitar 25 % kemungkinan terinfeksi virus.
- Penggunaan obat-obat anti HIV selama kehamilan oleh wanita yang
diketahui terinfeksi virus dan segera setelah lahir oleh bayi dari ibu
terinfeksi HIV dapat menurunkan infeksi kejanin (sampai kurang dari 10
%).
- Wanita yang terjangkit virus HIV setelah melahirkan dan menularkannya
kepada bayinya melalui air susu.
10. Petugas kesehatan juga memiliki resiko terinfeksi virus HIV, hal ini dapat
terjadi apabila mereka tidak sengaja tertusuk jarum yang sudah
terkontaminasi/ telah digunakan untuk melakukan perawatan pada pasien
yang terinveksi HIV. Namun resiko untuk tertular sangat kecil.
V. PATOFISIOLOGI
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang
yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan
mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus
lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel
target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke
dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus
dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus
berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan
partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit
lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama
sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+
atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan
mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag
dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel
ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T
penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong
melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat
memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan
pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama
bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak
partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan
virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah
partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada
setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain
terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi
menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit
yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan
berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan,
penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang
harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela”
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul
gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala).
Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu
sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV
positif. (Heri : 2012)
(Bagan Patofisiologi Terlampir)
VI. MANIFESTASI KLINIS
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
HIV dan sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan
Kumar, 2007). Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang
besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer,
yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera
setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus,
yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T
sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel
T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah
virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi
virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+
jaringan (Mitchell dan Kumar, 2007).
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,
sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut
hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami
infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster
(Mitchell dan Kumar, 2007). Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus
berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan
CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem
imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar.
Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan
pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah
CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat (Mitchell dan
Kumar, 2007).
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang
sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah
lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di
bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para
pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder
dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang
menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak
muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa
seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau
sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS (Mitchell dan Kumar,
2007).
Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi, yaitu :
1. Infeksi akut : CD 4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-3
bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia,
anoreksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikaria), gejala syaraf
(sakit kepala, nyeri retrobulber, ganggun kognitif daan apektif), gangguan
gastrointestinal (nousea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat
menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi
tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
2. Infeksi kronis asimtomatik : CD 4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikassi virus secara lambat didalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar limfe menyeluruh, disebut limfe
denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak
terpengaruh bagi hidup penderita saat ini sudah mulai terjadi penurunan
jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita,
tetapi masih pada tingkat 500/mL
3. Infeksi kronis simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita.
a. Penurunan imunitas sedang : CD4 200-500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan,
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat
sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat
timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub
fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
b. Penurunan imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunisik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering
pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah
dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalan nya.
Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika
tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan
dengan HIV atau AIDS.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita
mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau
lebih. Gejala tersebut berupa:
a. Demam terus menerus lebih dari 37°C.
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah
bening di luar daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti
kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi,
halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah
sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita
AIDS (80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan
tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS,
protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru yang
mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk
kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi
kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada
bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar
(Murtiastutik, 2008).
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering
mengalami penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini
sangat resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran
klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TBC
pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu
bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
kultur(Murtiasatutik, 2008).
c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi
Toxoplasma gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala
dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang
ditemukan toksoplasmosis di luar otak.
d. Infeksi Mukokutan.
Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit
paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau
beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten
dan respons terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan
kesulitan dalam penatalaksanaannya (Murtiastutik,2008).
e. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma
Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin (Murtiastutik,2008).
Stadium WHO untuk Penyakit HIV pada Orang Dewasa dan Remaja
Stadium Klinis 1
Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Kehilangan berat badan yang sedang tanpa alasan (<10% berat badan
diperkirakan atau diukur)
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis, ototis media
dan faringitis)
Herpes zoster
Kheilitis angularis
Ulkus di mulut yang berulang
Erupsi papular pruritis
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur di kuku
Stadium Klinis 3
Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat badan diperkirakan
atau diukur)
Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-
menerus, lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis mulut berkepanjangan
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang
atau sendi, meningitis atau bakteremia)
Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50
× 109/l) tanpa alasan
Stadium Klinis 4
Sindrom wasting HIV
Pneumonia Pneumocystis
Pneumonia bakteri parah yang berulang
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus lebih dari 1
bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi (KS)
Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
Toksoplasmosis sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)
Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
Karsinoma leher rahim invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
VII. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi klien dengan HIV/AIDS (Mansjoer, 2000 ) antara lain :
a. Pneumonia pneumocystis (PCP)
b. Tuberculosis (TBC)
c. Esofagitis
d. Diare
e. Toksoplasmositis
f. Leukoensefalopati multifocal prigesif
g. Sarcoma Kaposi
h. Kanker getah bening
i. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi
HIV. Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA,
mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi
HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot (Nasronudin, 2007). Tes serologi
standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB dapat ditentukan
antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24, p55),
polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).
Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan
melalui EIA terdapat potensi false positif 2%.
Interpretasi WB meliputi (Nasronudin, 2007):
a) Negatif: tidak ada bentukan pita
b) Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c) Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil
positif.
Akurasi pemeriksaan serologi standar (EIA dan WB atau immunoflourescent
assay) sensitivitas dan spesifitasnya mencapai > 98%(Nasronudin, 2007).
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain
(cerebrospinal fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope
dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain.
Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen
yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum,
2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara
serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA
rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001).
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu
dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell
sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan
kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel
dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah,
yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas
sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai
karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan
sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan
menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu
dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah
masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).
IX. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya
yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya
<>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
– Didanosine
– Ribavirin
– Diedoxycytidine
– Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
2. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan
seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi
HIV.
Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh
yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan
relaksasi
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang
terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia,
perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan
menelan.
Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama
jaringan otot).
Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang
adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor
stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan
mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein
disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis
lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi
lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan
bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan
Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat,
Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat
ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan
diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi
cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick
fluid) dan cair (thin fluid).
Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium, kalium dan klorida).
Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan
melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat
badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui
pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.
Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara
mekanik, termik, maupun kimia.
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu
kepada pasien dengan:
a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,
kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah
bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu
secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara
oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan
pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan atau
sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II
dan III.
1. Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala
panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare
akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi
makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama
beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil
setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam
bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan
makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau
menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi.
Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila
dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa polimer
(misalnya polyjoule).
2. Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap
akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang
setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan.
Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan
makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai
makanan utama.
3. Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau
kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan
lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini
tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan
makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat
badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai
makanan tambahan atau makanan utama.
X. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah
1. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
2. Sirkulasi
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
3. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah,
menangis.
4. Elimiinasi
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses
rektal.
5. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan
gigi / gusi yang buruk, dan edema.
6. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan
respon melambat.
7. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan
rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.
8. Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan ditandai dengan keluhan
nyeri, perubahan denyut nadi, kejang otot, ataksia, lemah otot dan gelisah.
2. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan
gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat badan, penurunan nafsu
makan, kejang perut, bising usus hiperaktif, keengganan untuk makan,
peradangan rongga bukal.
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
INTERVENSI
Diagnosa 1 : Nyeri kronis berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan
jaringan ditandai dengan keluhan nyeri, perubahan denyut nadi, kejang otot,
ataksia, lemah otot dan gelisah.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
nyeri klien berkurang atau terkontrol
Kriteria hasil :
NOC
Pain level
Target indikator
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Klien melaporkan nyeri berkurang Sangat
berat
Berat Sedang Ringan Tidak
ada
2 Skala nyeri numeric (1-10) 9-10 7-8 5-6 3-4 1-2
3. RR (18-20 x/m) >32 28-31 25-28 21-24 <20
4 TD Sistolik (100-130 mmHg) <60 60-70 71-80 81-90 100-
130
5. TD Diastolik (60-90 mmHg) <30 30-40 41-50 51-60 60-90
6. Nadi radialis (60-100x/m) Tidak
teraba
Teraba
sangat
lemah
Teraba
lemah
Teraba
cepat
lemah
Teraba
kuat
Keterangan penilaian1: Severe2: Substantial3: Moderate4: Mild5: None
NIC :
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu. Tandai
gejala nonverbal misalnya gelisah, takikardia, meringis.
2. Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi atau imajinasi, relaksasi
progresif, teknik nafas dalam.
3. Dorong pengungkapan perasaan
4. Berikan analgesik atau antipiretik narkotik. Gunakan ADP (analgesic yang
dikontrol pasien) untuk memberikan analgesia 24 jam.
5. Lakukan tindakan paliatif misal pengubahan posisi, masase, rentang gerak
pada sendi yang sakit.
Diagnosa 2 : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, kejang perut, bising usus hiperaktif,
keengganan untuk makan, peradangan rongga bukal.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
nyeri klien berkurang atau terkontrol
Kriteria hasil :
NOC
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Keluhan mual muntah berkurang
(tidak ada mual muntah)
Sangat
sering
sering kadang Jarang Tidak
ada
2 Intake kalori (adekuat) Tidak
adekuat
Sangat
berat
Tidak
adekuat
Berat
Tidak
Adekuat
Sedang
Tidak
Adekuat
Ringan
adekuat
4. Intake cairan melalui intra vena
(adekuat)
Tidak
adekuat
Sangat
berat
Tidak
adekuat
Berat
Tidak
Adekuat
Sedang
Tidak
Adekuat
Ringan
adekuat
5 Intake serat (adekuat) Tidak
adekuat
Sangat
berat
Tidak
adekuat
Berat
Tidak
Adekuat
Sedang
Tidak
Adekuat
Ringan
adekuat
6. Albumin (3,5-5,5mg/dl) <2,3 2,0-2,4 2,5-2,9 3,0-3,4 3,5-5,5
7. HB (13,4-17,7 g/dl) <3 4-6 7-9 12 -10 13,4-
17.7
8 Hematokrit (40-47%) <24 25-29 30-34 35-39 40-47
NIC
1. Kaji kemampuan untuk mengunyah, perasakan dan menelan.
2. Auskultasi bising usus
3. Rencanakan diet dengan orang terdekat, jika memungkinakan sarankan
makanan dari rumah. Sediakan makanan yang sedikit tapi sering berupa
makanan padat nutrisi, tidak bersifat asam dan juga minuman dengan pilihan
yang disukai pasien. Dorong konsumsi makanan berkalori tinggi yang dapat
merangsang nafsu makan
4. Batasi makanan yang menyebabkan mual atau muntah. Hindari
menghidangkan makanan yang panas dan yang susah untuk ditelan
5. Tinjau ulang pemerikasaan laboratorium, misal BUN, Glukosa, fungsi hepar,
elektrolit, protein, dan albumin.
6. Berikan obat anti emetic misalnya metoklopramid.
Diagnosa 3 : Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan
dengan diare berat
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
nyeri klien berkurang atau terkontrol
Kriteria hasil :
NOC
No Indikator 1 2 3 4 5
2 TD Sistolik (100-
140 mmHg)
<60 60-70 71-80 81-90 100-140
3. TD Diastolik (60-90
mmHg)
<30 30-40 41-50 51-60 60-90
4. Urine output (0,5-1
cc/kgBB/jam)
0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-1
6 HR (60-100x/m) <30 30-39 40-49 50-59 60-100
9 Keseimbangan
input dan output
(seimbang antara
input dan output)
Tidakseimbang
sangat berat
Tidak
seimbang
berat
Tidak
seimbang
moderat
Tidak
seimbang
ringan
seimbang
NIC
1. Pantau pemasukan oral dan pemasukan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari.
2. Buat cairan mudah diberikan pada pasien; gunakan cairan yang mudah
ditoleransi oleh pasien dan yang menggantikan elektrolit yang dibutuhkan.
3. Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.
4. Hilangakan makanan yang potensial menyebabkan diare, yakni yang pedas,
berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu. Mengatur kecepatan atau
konsentrasi makanan yang diberikan berselang jika dibutuhkan
5. Berikan obat-obatan anti diare misalnya ddifenoksilat (lomotil), loperamid
Imodium, paregoric.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius
Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC
Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit . Jakarta : EGC
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek. 2006. Nursing Interventions
Classification (NIC). St. Louis: Mosby Year-Book.
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis:
Mosby Year-Book.
Marjory Gordon, dkk. 2001. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-
2002, NANDA