18
MAKALAH IMUNOLOGI PENYAKIT AUTOIMUN Systemic Lupus Erythematosus (SLE)” DISUSUN OLEH: KELOMPOK II (DUA) Andini Safitri (511 14 011 241) Siti Aniah Hardianty (511 14 011 227) Dwi Hidayati ( ) Musdalifa h (511 14 011) Nurwahida h Rifka (510 14 011 263)

LUPUS - KEL 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah imunologi

Citation preview

MAKALAH IMUNOLOGIPENYAKIT AUTOIMUNSystemic Lupus Erythematosus (SLE)

DISUSUN OLEH:KELOMPOK II (DUA)

Andini Safitri(511 14 011 241)Siti Aniah Hardianty(511 14 011 227)

Dwi Hidayati( )

Musdalifah(511 14 011)

Nurwahidah

Rifka(510 14 011 263)

JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR2015

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangKesehatan merupakan faktor terpenting dalam kehidupan seseorang. Jika kesehatan telah terganggu (sakit) maka aktivitas seseorang akan terganggu. Ternyata faktor sosial yang menyangkut taraf kesejahteraan dan kesehatan masyarakat merupakan masalah yang jauh lebih penting untuk diperhatikan sebab kesejahteraan hidup sangat berdampak pada tingkat kesehatan dari masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bagi mereka yang hidup dengan taraf kesejahteraan baik, pola hidup serta kesehatan mereka cenderung lebih terjaga, sedangkan bagi mereka yang hidup dengan taraf kesejahteraan kurang, mereka biasanya kurang peduli atau bahkan tidak menjaga pola hidup dan kesehatan mereka. Mereka sering meremehkan penyakit yang dideritanya, yang cukup aman diatasi sendiri tanpa harus periksa ke dokter. Padahal gejala-gejala tersebut apabila tidak dideteksi secara dini kemungkinan dapat terserang penyakit yang lebih serius, salah satunya peyakit imunologi. Penyakit imunologi terjadi karena adanya kompleks antigen-antibodi dalam tubuh. Penyakit imunologi terjadi akibat sistim antibodi terlalu sensitif atau kompleks antigen-antibodi menghancurkan sistim antibodi sendiri sehingga kekebalan tubuh berkurang (Media Aesculapius, 2001: 568). Dewasa ini, banyak penyakit yang memiliki jumlah penderita yang banyak dan bahkan sebagai mesin pembunuh yang jitu. Salah satunya adalah lupus. Lupus adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi. Lupus adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tetapi bila dideteksi secara dini dan segera diterapi maka dapat memperbesar survival rate penderita.Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam pato isiologi SLE.

B. TujuanAdapun tujuan disusunnya makalah ini adalah :1. Mengetahui dan memahami definisi penyakit Lupus.2. Mengetahui dan memahami etiologi penyakit Lupus.3. Mengetahui dan memahami patofisiologi penyakit Lupus.4. Mengetahui dan memahami kategori penyakit Lupus.5. Mengetahui dan memahami respon imunitas terhadap tubuh.6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang penyakit Lupus.7. Melakukan analisis terhadap kasus yang terjadi pada pasien.

C. ManfaatAdapun manfaat yang diperoleh dari penyusunan makalah ini adalah :1. Bagi mahasiswa penyusunMenambah pengetahuan dan pengalaman mahasiswa penyusun makalah dalam melakukan studi pustaka tentang penyakit lupus.2. Bagi pembacaMenambah wawasan bagi pembaca tentang penyakit autoimun khususnya penyakit lupus.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi LupusNama sesungguhnya adalah systemic lupus erythematosus (SLE), merupakan kondisi di mana sistem imun menyerang jaringan sehat tubuhnya sendiri. Sifatnya kronik dan bisa menyerang tiap organ tubuh, seperti kulit, sendi, dan/ atau organ-organ dalam, seperti ginjal, paru, dan lain-lain (Srikandi dan Budhi, 2014)Lupus eritematosus (LE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang jaringan penyangga (connective tissue disease) dimana penyakit ini dapat mengenai berbagai sistem organ dengan manifestasi klinis dan prognosis yang bervariasi. Kelainan kulit merupakan manifestasi klinis LE yang paling umum setelah arthritis (Nurjanti et al.,1990; Insawang dan Kulthanan, 2010; Kole dan Ghosh, 2009).

B. EtiologiPenyebab atau etiologi dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit SLE, yaitu faktor jenis kelamin, hormonal, dan faktor faktor genetik dapat menjadi predisposisi terjadinya SLE, hal ini dibuktikan konkordansi penyakit SLE pada kembar identik adalah sekitar 20-25% dan bahwa dalam kembar dizigot adalah sekitar 5% (Mok & Lau, 2013).Selain faktor diatas, faktor lingkungan yang dapat menjadi relevan dengan kejadian SLE diantaranya faktor kimia seperti pewarna rambut, sinar ultraviolet, rokok, obat-obatan (procainamide, hydralazine, chlorpomazine, isoniazid, phenytoin, penicillamine), faktor makanan (L-canavanine/alfalfa sprouts, dan intake lemak jenuh yang berlebihan, faktor agen infeksius seperti retrovirus dan endotoksin atau bakterial DNA, faktor hormon (hormonal replacement therapy, kontrasepsi oral, dan prenatal yang terekspose dengan estrogen) (Mok & Lau, 2013).C. PatofisiologiPada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4(Joe, 2009).

D. Kategori Penyakit SLEPenyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:a) Secara klinis tenangb) Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawac) Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.2. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:a) Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)b) Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3) c) Serositis mayor3. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit 70 tahun.

b) Antibodi terhadap DNA. Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.

c) Pemeriksaan Komplemen.Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

d) Studi Kasus An.I berusia 13 tahun, jenis kelamin perempuan, dirawat di ruang rawat anak lantai 3 selatan gedung teratai Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati sejak tanggal 4 Juni 2013 dengan diagnosa medis sistemik lupus eritematosus (SLE) dan tersangka infeksi saluran kemih (ISK). An.I masuk dari IGD dengan keluhan demam dirumah sejak 3 minggu yang lalu, demam yang dirasakan hilang timbul, demam turun dengan obat penurun panas yaitu paracetamol, klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok sejak 3 minggu yang lalu juga dirasakan klien dan terdapat bercak kemerahan pada pipi dan seluruh tubuhnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga (ibu klien), didalam keluarga tidak ada yang pernah menderita penyakit seperti yang diderita oleh An.I dan anak tersebut sangat gemar melakukan kegiatan olahraga berenang, tanpa mengenal waktu, dan biasanya dilakukan sampai dengan siang hari tanpa menggunakan pelindung kulit dari sinar matahari. Pengkajian dengan pasien dilakukan pada hari rawat ke-5 yaitu pada tanggal 8 Juni 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Insawang M dan Kulthanan K. 2010. Discoid lupus erythematosus: Description of 130 cases and review of their natural history and clinical course. J of Clinic Immunol and Immunopathol,;2 (1):1-8.

Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik(LES). Available at: http://perawattegal.wordpress.com.

Kole A dan Ghosh A. 2009. Cutaneous manifestation of systemic lupus erythematosus in a tertiary refferak centre. Indian J Dermatol.;54(2):132-6.

Nurjanti L, Setyaningsih T, Murtiastutik D1990. Chronic discoid lupus erythematosus. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. :75.

Qoriani, H. F. (2013). Aplikasi Sistem Pakar Untuk Membantu Deteksi Dini Penyakit Imunologi (Studi Kasus Lupus Erithematosus). Jurnal 1-2.