Upload
sambaledan
View
212
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
esraqesfd
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam berbagai kegiatan masyarakat tanah mempunyai
posisi sangat strategis dalam kehidupan manusia karena
tanah tidak saja berfungsi sebagai tempat pemukiman atau
tempat untuk mencari nafkah melalui usaha tani atau
perkebunan, tetapi tanah juga sebagai tempat
menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan fisik,
baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh swasta.
Seiring dengan hal tersebut, Heru Nugroho (2002: 99)
dalam tulisannya mengemukakan:
“Tanah bagi masyarakat kita memiliki makna multi Dimensional, pertama, dari segi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat. ketiga, didalamnya mengandung makna yang sakral, tanah selalu terkait dengan masalah turunan (waris) atau generasi dan masalah Transendetal lainnya..
kenyataannya tanah sebagai sumber daya alam (natural
resources) yang dikelola dan dikuasai oleh manusia luas
areanya sangat terbatas. Hal itu terjadi karena tidak adanya
1
keseimbangan antara pertambahan jumlah penduduk dengan
tanah yang tersedia, maka wajar jika keberadaan dan harga
tanah semakin meningkat.
keberadaan tanah dengan berbagai peruntukkanya
tersebut kemudian memungkinan adanya gesekan-gesekan di
tengah masyarakat dengan berbagai konflik kepentingan
yang melibatkan para pihak. Untuk menata kedudukan tanah
di tengah-tengah masyarakat dan menghindari adanya
gesekan sosial yang berujung konflik, maka dibutuhkan
aturan hukum sebagai norma untuk menata pergaulan hidup
supaya tentram dan terkendali.
E. Utrecht pada Pengantar dalam Hukum Indonesia (1978: 9) menyatakan bahwa:
“Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat bilamana dalam masyarakat itu tidak ada suatu kekuasaan yakni suatu peraturan tata tertib yang dapat menyeimbangkan (in evenwicht houden) usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang bertentangan tersebut”
Seiring dengan maksud tersebut berdasarkan amanat
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang kemudian dijabarkan ke
dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (selanjutnya
disingkat UUPA) menetapkan bahwa “Bumi, air, ruang
2
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
Memaknai maksud yang terkandung dalam Pasal 2 ayat
(2) UUPA disebutkan bahwa kekuasaan negara atas tanah
meliputi 3 (tiga) fungsi:
1. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai
atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sejak lahirnya UUPA berbagai usaha dan langkah telah
ditempuh oleh pemerintah untuk mengendalikan penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka untuk
mencegah permasalahan dibidang pertanahan. Salah satu
wujud perhatian pemerintahan dalam membenahi masalah
pertanahan khususnya dalam usaha menciptakan kepastian
hukum dan kepastian hak atas tanah, adalah lahirnya
3
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah tersebut adalah
tindak lanjut pasal 19 UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
dasar Pokok Pokok Agraria yang pada pokoknya berbunyi:
“Untuk menciptakan kepastian hukum, maka diadakanlah
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia”.
Karena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat,
bahkan dinilai tidak lagi sepenuhnya mendukung tercapainya
kepastian hukum yang diharapkan, maka Peraturan
Pemerintah itupun kemudian diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang “Pendaftaran
Tanah”. Hal ini sejalan dengan pendapat Maria Sumardjono
(2006: 45) “bahwa seiring dengan semakin derasnya
kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan
tanah, semakin dirasa perlunya melakukan pembaharuan pola
pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di bidang
pertanahan” (2006: 45).
kendati dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah telah ditetapkan bahwa
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, hak milik atas
4
satuan rumah susun, hanya dapat didaftarkan jika peralihan
hak tersebut didasarkan pada akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (akta PPAT), dan Peraturan Pemerintah tersebut telah
lama disosialisasikan, namun dalam praktiknya masih sering
terjadi bahwa keterkaitan hukum yang menyangkut peralihan
hak, hanya dilakukan masyarakat di bawah tangan
berdasarkan kepercayaan atau dihadapan aparat seperti
kepala desa dengan surat pengalihan atau hanya dengan
bukti kwitansi saja.
Salah satu pihak yang berkaitan dengan pengurusan
hak atas tanah adalah PPAT sebagai pejabat yang diberikan
wewenang khusus oleh pemerintah untuk melaksanakan
pengurusan tanah. Dalam rangka mendapatkan kepastian
hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut, PPAT
berwenang mengeluarkan Akta PPAT yang berkaitan dengan
transaksi atas tanah, seperti; jual beli, hibah, tukar menukar
dan sebagainya. Selanjutnya akta PPAT tersebut digunakan
untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Namun dalam praktiknya, masyarakat sering tidak
menggunakan akta PPAT dalam melakukan transaksi atas
tanahnya.
5
Dalam melayani pembuatan akta PPAT, para pihak yang
menghadap pejabat PPAT harus memenuhi syarat-syarat
formal tertentu dan harus menolak jika para pihak tidak
memenuhi persyaratan tersebut. Syarat-syarat yang
dimaksud antara lain menunjukan identitas diri berupa KTP,
menunjukkan sertifikat asli tanah yang akan dialihkan,
menunjukkan surat keterangan kepala kelurahan/desa yang
diketahui oleh camat bahwa tanah yang akan dialihkan tidak
dalam sengketa. Akan tetapi dalam praktiknya, sering terjadi
karena alasan imbalan besar, pejabat PPAT mengabaikan
syarat-syarat tersebut. Akibatnya, akan terjadi masalah
hukum dalam hal pembuktian, yaitu ketika ternyata tanah
yang telah dibuatkan aktanya tersebut adalah milik orang
lain. Masalah hukum ini terjadi karena PPAT menyalahi
prosedur yang telah ditentukan Undang-Undang.
Berdasarkan berbagai hal tersebut, penulis tertarik
meneliti mengenai TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN HUKUM AKTA
PPAT DALAM HAL PEMBUKTIAN BERALIHNYA HAK ATAS TANAH.
B. Rumusan Masalah
6
Berkenaan dengan berbagai persoalan di lapangan
seperti tersebut di atas, maka permasalahan yang hendak
dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pentingnya
akta PPAT dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah.
2. Bagaimana kekuatan hukum akta PPAT dalam hal
pembuktian beralihnya hak atas tanah.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji dan menjelaskan Pemahaman masyarakat
tentang pentingnya fungsi Akta PPAT dalam pendaftaran
peralihan hak atas tanah.
2. Mengkaji dan menganalisa secara hukum bagaimana
kekuatan hukum Akta PPAT dalam pembuktian beralihnya
hak atas tanah.
D. Kegunaan Penelitian
1. Hasil penelitian diharapkan memberi pemahaman kepada
masyarakat betapa pentingnya pendaftaran setiap jenis
transaksi atas tanah dalam bentuk akta PPAT demi
kepastian hukumnya.
7
2. Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan bagi pihak
terkait agar meninjau kembali peraturan yang menetapkan
biaya mahal bagi pembuatan akta PPAT karena hal itu
membuat masyarakat tidak mau menggunakan akta PPAT
dalam melakukan transaksi atas tanah.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai fungsi akta PPAT dalam
pendaftaran peralihan hak atas tanah, menurut perkiraan
penulis belum pernah atau paling tidak jarang menjadi bahan
penelitian yang dilakukan orang lain, sehingga keaslian
penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat
dipertanggungjawabkan. Sebelumnya penulis melakukan
penelusuran dan pengamatan secara seksama, baik dalam
lingkup perpustakaan Program Pasca Sarjana beberapa
universitas maupun perpustakaan lainnya.
Penelitian mengenai PPAT kemungkinan sudah banyak
dilakukan, terutama penelitian yang diajukan oleh mahasiswa
Magister Notariat, akan tetapi dari sekian penelitian-penelitian
sebelumnya nampaknya belum ada penelitian yang khusus
mengkaji permasalahan “TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN
8
HUKUM AKTA PPAT DALAM HAL PEMBUKTIAN BERALIHNYA HAK
ATAS TANAH”,
oleh karena itu penelitian ini diharapakan bisa menjadi
pelengkap dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya.
9