Upload
phungtruc
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
A. Paradigma Pengalihan Makna Bahasa: Dari Bentuk Denotatif (Haqiqah)
Ke Bentuk Metafora (Majaz).
Pengalihan makna dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora
(majaz) merupakan tradisi susastra yang sudah dikenal secara populer dalam
ilmu al-Qur’an. Secara etimologis lafaz hakikat dapat diartikan sebagai esensi,
realitas, kebenaran, atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan secara
terminologis, hakikat dapat didefinisikan sebagai suatu lafaz yang tetap pada
makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir
(makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz merupakan
kebalikan dari hakikat, yaitu makna kiasan (elegoris). Artinya, suatu lafaz
yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan
untuknya.1
Mayoritas ulama sepakat tentang adanya makna hakikat dan majaz
dalam al-Qur’an, meskipun untuk term yang disebutkan terakhir oleh sebagian
ulama yang lain masih diperselisihkan keberadaannya. Artinya, bahwa mereka
tidak mengakui adanya makna majaz dalam al-Qur’an. Sebab, majaz sangat
terkait dengan kebohongan (al-kadzab), padahal al-Qur’an harus bersih dari
sifat-sifat yang demikian. Alasan lain adalah bahwa seorang pembicara (al-
mutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika terpaksa,
sedangkan keadaan terpaksa tidak mungkin terjadi pada Tuhan. Di antara
ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas kelompok al-Dhahiri, Ibn
al-Qas dari kelompok Syafi’iyah, Ibn Kuwaiz dari kelompok Malikiyyah.2
Pendapat kelompok al-Dhahiri dan yang sepaham dengannya,
mendapat reaksi yang sangat keras dari para ulama yang lain, dan dinilai
sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab, jika makna majaz dalam al-Qur’an
1 M. Noor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama dengan Walisongo Press IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 219.
2 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.
15
ditiadakan, hal itu sama dengan menghilangkan aspek keindahan bahasa
dalam al-Qur’an. Mengenai hal ini imam as-Suyuthi mengatakan bahwa:
alasan mereka itu tidak bisa diterima, sebab jika unsur majaz dalam al-Qur’an
ditiadakan, niscaya ia akan kehilangan keindahannya. Bahkan para ulama
sepakat bahwa majaz lebih tinggi keindahanya dari pada hakikat. Seandainya
majaz harus dihilangkan dari al-Qur’an, niscaya harus dibersihkan pula dari
hadzf (pembuangan kata), taukid (kata penguat), pengulangan kisah-kisah dan
lain sebagainya.
Kehakikatan suatu lafaz dapat dikhususkan dalam bidang-bidang ilmu
tertentu, sehingga ia mempunyai nama-nama sesuai dengan tempat ia
dipergunakan. Jika penggunanya sesuai dengan istilah bahasa, maka ia dapat
disebut sebagai haqiqat lughawiyah. Dan jika penggunaannya sesuai dengan
istilah syara’, maka ia dapat disebut sebagai haqiqat syar’iyah, dan lain
sebagainya. Hal yang demikian juga berlaku bagi makna majaz, sehingga ada
majaz lughawi, majaz syar’i dan lain sebagainya. Pada umumnya,
penggunaan suatu makna hakikat dan makna majaz baru dapat ditentukan
setelah lafaz tersebut dirangkai dalam suatu kalimat atau dipergunakan dalam
suatu pembicaraan. Untuk dapat mengetahui arti hakikat suatu lafaz bisa
dengan cara sima’i, yaitu dengan cara mendengarkan bagaimana para ahli
bahasa mengartikannya, sedangkan untuk makna majaz dapat diketahui
dengan melalui penelitian terhadap qarinah-qarinah yang menyertai lafaz
tersebut.3
Sebelum membahas lebih jauh mengenai metode pengalihan makna
dalam bahasa dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz),
terlebih dulu penulis kemukakan beberapa hal yang termasuk dalam kategori
metafora. Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) -sebagaimana dikutip oleh Nashr
Hamid Abu Zayd- telah memberikan batasan-batasan segi majaz dengan
berpendapat bahwa majaz meliputi peminjaman kata atau ungkapan
(isti’arah), perumpamaan (tamtsil), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdim),
pengakhiran (ta’khir), pembuangan (hadzf), sindiran (ta’ridh), pemfasihan
3 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.
16
(ifshah), kiasan (kinayah), penjelasan maksud tunggal, kata tunggal dan jamak
untuk makna dua orang (tatsniyah), kata khusus untuk makna umum, kata
umum untuk makna khusus, dan lain-lain.4 Meskipun di kalangan mufassir
yang lebih sering digunakan adalah istilah maśal dan beberapa kata
turunannya, seperti tamtsil, hal ini dikarenakan istilah tamśil banyak
tercantum dalam al-Qur’an.
Semua hal di atas merupakan fenomena gaya bahasa yang
menunjukkan adanya perubahan dalam penunjukan kata dan keluar dari
penunjukan makna kata yang lazim. Perumpamaan (matsal) misalnya, sering
dipakai oleh al-Qur’an memiliki maksud penyerupaan (tasybih) suatu benda
terhadap benda lain. Oleh karenanya makna perumpamaan (matsal) sangat
dekat dengan makna penyerupaan (tasybih). Satu hal yang menunjukkan
keserasian tersebut adalah bahwa kata syibh yang terdapat dalam al-Qur’an,
tidak tercantum kecuali memiliki makna penyerupaan, persamaan, dan
kesamaran antara dua hal. Jika sesuatu diserupakan, berarti terjadi kemiripan
dan ambiguisitas yang susah dibedakan antara keduanya.
Dalam al-Qur’an, tidak disebutkan kata kinayah meskipun maksudnya
pernah disebutkan oleh kalimat lain yang bermakna menyembunyikan atau
menutupi. Terdapat kata yang bermakna kinayah atau yang mendekatinya
diungkapkan dalam bentuk tasyrih (penjelasan), dimana tasyrih memiliki dua
sisi makna, yakni żahir (nyata) dan bathin (tersembunyi), sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah swt berikut: “Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikannya
dalam batinmu”.5
Selain itu, terdapat juga kata jauz yang berarti “memotong” atau
“memindah”. Makna ini tidak jauh berbeda dengan pengertian majaz, yaitu
berpindahnya makna hakiki (denotatif) ke makna lain yang berkaitan
4 Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-
Qur’an Menurut Mu’tazilah, Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (terj.), Mizan, Bandung, 2003, hlm. 136.
5 Lihat surat al-Baqarah ayat 235. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al-Waah, Semarang, 1993, hlm. 57.
17
dengannya (metafor). Adapun makna ‘aur yang menjadi asal pengambilan
istilah isti’arah tidak tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karenanya, wajar jika
ia termasuk istilah yang terakhir muncul dalam terminologi balaghah.
Sebaliknya, istilah maśal merupakan istilah yang paling banyak beredar di
kalangan mufasir. Selain itu, ia banyak tercantum dalam al-Qur’an, sedangkan
istilah kinayah juga lebih sedikit dipakai jika dibandingkan dengan maśal. Hal
ini disebabkan, di satu sisi, ia sedikit sekali disinggung dalam al-Qur’an, dan
di sisi yang lain, penunjukan nilai sastranya kurang jelas.6
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat kita pahami bahwa nalar bahasa,
gramatika maupun retorika, selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteksnya.
Nalar model ini memandang bahasa sebagai sebuah struktur dan sistem, atau
sebagai konvensi-konvensi dan penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai
tanda-tanda yang menunjukkan pada objek dan simbol-simbol yang
menunjukkan pada sesuatu. Hanya saja situasi bahasa dan pembentukannya
memunculkan fenomena yang terkait dengan wujud. Oleh sebab itu, bahasa
kehilangan kemampuannya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata
tercerabut kemampuannya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan.
Dengan kata lain, bahasa sebagai ekspresi wujud, merupakan keterbukaan
terhadap “yang ada” dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan
membangun kebenaran sekaligus menyingkapnya dan menuturkannya.
Bahasa yang kreatif dan inovatif adalah majaz (metafora), yang berarti
melewati, melampaui, pindah dan beralih, sedangkan “wujud” merupakan
keresahan dan kelainan atau kontradiksi atau reposisi. Demikianlah Ali Harb
memberikan kesimpulan.7
6 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit., hlm. 137. 7 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 24.
18
B. Majaz: Sumber dan Sejarah Perkembangannya.
Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bagaimana
konsepsi majaz. Konsepsi majaz sebagai perangkat ungkapan sastrawi di sini
menjadi sangat penting, karena ia berperan baik dalam diskursus kritis sastra
Arab maupun dalam tradisi tafsir, yang pada kenyataannya mengalami
perkembangan dan pertumbuhan yang sistematis. Oleh karenanya pada
pembahasan kali ini, penulis bermaksud memberikan ulasan mengenai
pertumbuhan dan perkembangan dari konsep majaz dalam sejarah peradaban
Islam.
1). Sumber-Sumber Majaz
Pembahasan mengenai majaz dalam al-Qur’an tentu tidak bisa
dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan. Hal
ini karena turunnya al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial
dan kultural masyarakat Arab, dan bahkan fenomena-fenomena tradisi
yang ada terkadang diungkapkan kembali dalam al-Qur’an, seperti
misalnya ekspresi dan apresiasi yang tinggi terhadap nilai sastra yang
dilakukan oleh masyarakat Arab. Konteks sejarah masyarakat Arab inilah
yang mempengaruhi al-Qur’an untuk mengapresiasi nilai-nilai tertinggi
sastra dan keindahan bahasa. Oleh karenanya memperhatikan kondisi geo-
kultural dan kehidupan sosial masyarakat Arab adalah prasyarat yang
harus dipenuhi bagi pemerhati maupun peneliti kajian sastra dalam al-
Qur’an.
Adapun mengenai sumber-sumber majaz secara umum adalah
bersumber dari tradisi masyarakat Arab yang sudah terbiasa dengan
tradisi sastra yang sangat tinggi. Tradisi masyarakat Arab yang memiliki
peran penting ini setidaknya disebabkan beberapa faktor, yakni:
Pertama; Kondisi Geo-Kultural. Secara garis besar penduduk
Arab terdiri dari dua kelompok. Pertama, kaum Baduwi yang tinggal di
padang pasir. Kedua, penduduk kota yang hidup di daerah subur. Adanya
dua macam kondisi geografis yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya
19
dualisme karakter penduduk, yaitu antara kaum Baduwi dan penduduk
kota.8 Sementara itu bila dilihat dari asal usul keturunannya, penduduk
Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun
(keturunan Qahthan) yang mendiami wilayah bagian utara, dan
Adnaniyun (keturunan Isma’il bin Ibrahim) yang mendiami wilayah
bagian selatan. Tetapi lama kelamaan kedua golongan itu membaur
karena terjadi perpindahan dari utara ke selatan, atau sebaliknya.9
Keadaan alam yang berupa gurun pasir, tandus dan kering sangat
mempengaruhi watak dan sikap mereka yang tercermin dalam
kebudayaan dan kepercayaannya. Mereka harus menjalani kehidupan
yang keras dan lebih mengutamakan kekuatan fisik dalam menghadapi
kenyataan. Kondisi yang tidak kondusif ini memaksa mereka untuk hidup
berpindah-pindah, atau nomad.10 Dalam kajian antropologi, hidup yang
tidak menetap dan selalu berpindah-pindah untuk memenuhi hajat
hidupnya dikenal dengan istilah primitive farming, yaitu pertanian
berpindah-pindah.11 Kebiasaan ini seringkali menyebabkan timbulnya
perselisihan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya untuk merebut
pintu rejeki berupa padang rumput dan mata air. Menghadapi kenyataan
ini mereka dipaksa untuk memiliki sifat keberanian dalam membela diri.12
Di samping itu, kerasnya kondisi gurun pasir juga membuat
mereka sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk
meneguhkan hatinya mereka mempercayai takhayyul dan dewa-dewa
yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan dan kemakmuran.
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia itu beragama? Secara
antropologis, agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi
8 Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, A. Rafi’ Ustmani (terj.), Pustaka,
Bandung, 1986, hlm. 37. 9 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,
hlm. 9. 10 Badri Yatim dan H. D. Sirojuddin AR, Sejarah Kebudayaan Islam I, DEPAG RI,
Jakarta, 1995, hlm. 35. 11 Enok Maryani dan Nunung Farida, Antropologi, PT. Grafindo Media Pertama, 1997,
hlm. 27. 12 A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Widjaya, Jakarta, 2000, hlm. 24.
20
kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu
terjadi tragedi, kecemasan dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan
arti bagi manusia, karena secara naturalistis nampaknya di dunia ini penuh
dengan hal-hal yang probabilistis.13
Suku Nomad padang pasir tidak mempunyai agama formal atau
doktrin tertentu. Mereka menganut apa yang disebut dengan humanisme
suku, dimana yang paling penting adalah keunggulan manusia dan
kehormatan sukunya.14 Keadaan ini berbeda dengan penduduk kota
Makkah. Karena mereka tinggal di sebuah kota dan sibuk dengan
perdagangannya, maka mereka memerlukan agama formal. Apalagi bagi
kelas bawah yang mengalami kesulitan materi yang disebabkan oleh
ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan
semacam ketenangan spiritual.
Sementara masyarakat pertanian mengembangkan pemujaan dan
peribadatannya sendiri yang dikaitkan dengan kesuburan. Pemujaan ini
secara perlahan berkembang dari bentuk yang abstrak menjadi bentuk
yang konkrit. Seorang sejarawan muslim, al-Syahrastani mengatakan, di
sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala, yang paling terkenal adalah Hubal
yang dibawa oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan
tujuan agar bisa mendatangkan hujan ketika diminta.
Tiga patung tuhan lainnya yang terkenal di Makkah adalah Manat,
Lata dan Uzza. Tor Andrae mengatakan bahwa persembahan buat ketiga
tuhan (dewa) tersebut sudah berlangsung lama. Dengan menilik namanya,
Manat yang dipuja oleh suku Hudzail yang suka berperang dan
mengarang puisi serta tinggal di selatan Makkah nampaknya ia menjadi
model dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan.
Sedangkan Lata dikenal pada masa Heroditus, dan bermakna “Dewi”.
13 Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan, Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer, R.G. Soekadijo (terj.), Erlangga, Jakarta, 1992, hlm. 93. 14 W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, London: tp, 1961, hlm.
51. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, UIN Malang Press, Malang, 2006, hlm. 5.
21
Dalam sejarah Arab, Lata mempunyai kedudukan sebagai dewi Semit
garis ibu, kesuburan dan langit, terutama di kawasan Semit barat. Dan
Uzza yang berarti perkasa dan terhormat berada di Nakla.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketiga patung tuhan
itu adalah perempuan. Ketiganya dikaitkan dengan ritus kesuburan tanah
atau pemujaan ibu yang berasal dari wilayah utara atau negara-negara
Mediterranian. Sementara di Makkah sistem patriarki lebih menonjol,
sehingga sistem matrilinial secara struktural tidak menjadi bagian dari
masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, dimana superioritas laki-laki
telah berlangsung lama, tuhan-tuhan perempuan ini tidak mungkin dipuja
dalam upacara meminta kesuburan. Satu-satunya kesimpulan yang bisa
dikemukakan adalah bahwa tuhan-tuhan tersebut berasal dari daerah yang
di situ pertanian sangat menonjol, yaitu kawasan subur di utara.15
Sekalipun mereka menyembah berhala, namun para sejarawan
Muslim tidak memberikan predikat kepada orang-orang Arab yang kafir
dengan sebutan paganisme mumi, tetapi sebagai orang-orang musyrik,
yaitu orang-orang yang mempersekutukan roh-roh setempat dengan
Tuhan. Mereka mempunyai suatu keyakinan bahwa menyembah berhala
itu bukan menyembah kepada wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan
sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Kondisi ini dilukiskan dalam
al-Qur’an: “Kami tidak menyembah kepada mereka, tetapi hanya agar
mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya” (QS. [39]: 3).
Demikian keadaan masyarakat Arab menjelang lahirnya
Muhammad saw. yang membawa Islam. Masa itu biasa disebut dengan
zaman jahiliyah, masa kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, bukan
hal yang lain, seperti ekonomi, perdagangan dan sastra. Dalam dua hal
terakhir itu bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat.
Makkah bukan saja merupakan pusat perdagangan lokal, tetapi jalur
perdagangan dunia yang penting saat itu, yang menghubungkan antara
15 W. Montgomery Watt, ibid, hlm. 50. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,
hlm. 6-7.
22
utara (Syam) dan selatan (Yaman), serta antara timur (Persia) dan barat
(Abenisia dan Mesir). Keberhasilan Makkah menjadi pusat perdagangan
internasional seperti itu disebabkan oleh karena kejelian Hasyim pada
sekitar abad ke-6 M dalam mengisi kekosongan peranan bangsa lain di
bidang perdagangan di Makkah.
Kebiasaan mengembara membuat mereka senang hidup bebas
tanpa aturan yang dapat mengikat kemauannya. Karena itu mereka
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Namun di balik watak ini mereka
memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra (syair).
Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, karena
setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka
tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal
Umru’ al-Qais, al-Nabighah al-Dzubyani,, Asya, Harits bin Hillizah al-
Yasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi’ah dan
lainnya. Mereka biasanya mengekspresikan syairnya di pasar Ukaz yang
terletak di antara Tha’if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi
kemudian disebut muaqat, karena syair-syair tersebut digantung di sekitar
Ka’bah sebagai hasil karya sastra yang bermutu.16
Masyarakat jahiliyah, baik yang nomadik maupun yang menetap
hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar
pada keanggotaan dalam satu rentang komunitas yang luas. Antara
anggota suku terjalin hubungan darah. Setiap orang yang mempunyai
hubungan darah -baik secara riil maupun hanya dugaan belaka- berhak
untuk memperoleh perlindungan. Watak dan loyalitas kesukuan ini, oleh
Ibn Khaldun disebut sebagai Ashabiyah yang menjadi faktor penting
dalam membentuk kelompok politik yang solid. Menurutnya, Ashabiyah
tidak hanya meliputi satu keluarga saja yang satu sama lainnya
dihubungkan oleh tali kekeluargaan, tetapi meliputi hubungan yang
16 Abdul Aziz bin Muhammad al-Faishal, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah
al-Arabiyah al-Su’udiyah, Riyadh, 1405 H, hlm. 75. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm. 8-9.
23
timbul akibat terjadinya persekutuan.17 Di kalangan suku sering terjadi
konflik atau ghazwa (perang antar suku). Di antara penyebabnya adalah
perselisihan untuk merebut kepemimpinan, kekuasaan, kekuatan dan
sebagainya. Perselisihan itu tidak menjadi padam dengan berakhirnya
perang. Tetapi peristiwa tersebut kemudian diekspresikan dalam bentuk
gubahan syair yang dapat membangkitkan semangat suku.
Kedua; Kehidupan Arabia. Risalah yang dibawa Nabi saw.
memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia perniagaan masyarakat Arab
kota ketika itu. Tanah air pertama Islam, Makkah merupakan pusat
perniagaan yang sangat makmur. Sementara Yatsrib (kemudian berubah
nama menjadi Madinah) adalah oase kaya yang juga merupakan kota
niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki
peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian
Muhammad, namun komersial Makkah lah yang tampaknya paling
mendominasi ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an.
Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim
dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur’an (106;2).
Rute ke selatan adalah Yaman, dan ke utara adalah ke Syiria. Di tangan
kafilah-kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan
eksistensinya yang asasi. Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang
bertalian dengannya sangat menjanjikan bagi penghasilan penduduk kota
Makkah. Bahkan, secara ekonomis hampir setiap orang menaruh minat
yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu kafilah
ataupun musibah lain yang menimpanya merupakan pukulan berat dan
bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan
kafilah-kafilah terjamin maka orang-orang Quraisy harus melakukan
17 Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Ahmad Rafi’ Utsmani (terj.),
Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 143.
24
negoisasi dengan negara-negara tetangga dan menjalin hubungan baik
dengan suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.18
Meskipun kata tajir (pedagang) tidak digunakan dalam al-Qur’an,
tetapi kata yang berakar sama, yaitu tijarah (perniagaan) disebutkan
sebanyak sembilan kali. Perniagaan merupakan tema sentral dalam
kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan
dalam kitab suci tersebut,19 dengan mengutip C. C. Torry yang telah
melakukan penelitian, khusus mengenai The Commercial-Theological
Terms in the Koran, menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan
digunakan dalam kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir
doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar kiasan ilustratif. Ia
menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori-kategori sebagai
berikut; term-term matematik (hisab, al-luib, ahsha), takaran dan ukuran
(wazana, mizan, tsaqula, mitsqal), pembayaran dan upah (jaza, tsawwaba,
tsawab, waffa, afa, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa,
zilalama, alata, naqsuha), jual-beli (syird’, isytara, tijarah, tsaman,
rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahin).
Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi
lembaran-lembaran al-Qur’an dan digunakan untuk mengungkapkan
ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk
perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di beberapa
tempat dalam al-Qur’an sebagai salah satu nama hari kiamat (yaum al-
hisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan
dengan cepat (sari al-hisab). Sementara kata hisab (pembuat perhitungan)
dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.
Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah
dilakukannya. Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh imbalan atau
upah. Sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan diganjar azab
neraka.
18 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 12.
19 W. Montgomery Watt, Pengantar Qur’an, INIS, Jakarta, 1998, hlm. 5.
25
Ungkapan lain yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga
Makkah, seperti menjual (bay’) dan membeli (isytara) pada umumnya
digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan
Islam yang mendasar. Lihatlah beberapa ungkapan yang dipakai dalam al-
Qur’an, misalnya al-Qur’an mengungkapkan bahwa orang-orang yang
tidak beriman dikatakan telah membarter (isytarau) kesesatan dengan
petunjuk (QS. [2]: 16), atau kekafiran dengan keimanan (QS. [3]: 177).
Lebih jauh, kata bay’ di beberapa tempat dalam al-Qur’an Juga
dihubungkan dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari
itu tidak ada lagi transaksi (QS. [2]: 254 dan QS. [14]: 31). 20
Sekalipun orang-orang Makkah sibuk dengan aktivitas niaganya,
mereka tetap mempertahankan ciri pengembaraannya. Baru beberapa
generasi mereka meninggalkan kehidupan nomadik untuk menetap di
Makkah, dalam rentang waktu yang belum begitu lama ini tentunya belum
dapat mengubah karakter tersebut. Kesibukan rata-rata orang Arab dalam
dunia bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik mereka
tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian pada
kebudayaan Arab akan mengenal realisme sederhana yang mencirikan
weltanshhaung (pandangan dunia) Arab. Realisme ini bertalian secara
intim dengan iklim padang pasir yang kejam.21
Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya
dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang
nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas mencirikan
pandangan dunia masyarakat Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-
Qur’an. “Mereka berkata, kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati
dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali musa”.
(QS. [45] : 24) Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam
kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan
berada di luar benak mereka. Konsepsi pesimistik tentang kehidupan di
20 Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 14. 21 Taufik Adnan Amal, Ibid., hlm. 15.
26
muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh menjangkau dalam
kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi
yang dilakukan dengan berbagai cara merupakan fenomena umum di
Arabia. Jika kehidupan hanya terbatas di dunia dan suatu ketika masa
akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik adalah
hedonisme. Bahkan, dalam konsepsi pagan Arab, penumpukan kekayaan
dalam rangka pengejaran kesenangan duniawi dipandang bisa
memberikan kehidupan abadi (khulud).
Kejamnya kehidupan di padang pasir juga turut mendominasi
tamsilan dalam al-Qur’an. Kejadian hari kiamat misalnya, digambarkan
laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tumpukan pasir yang
beterbangan (QS:73;14). Situasi semacam ini juga ditamsilkan al-Qur’an
sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Dikatakan, bahwa
“amalan-amalan mereka laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat
seperti sumber air, tetapi ketika mereka sampai di sana tidak terdapat
sesuatu pun kecuali Allah” (QS. [24]: 39). Dalam kaitannya dengan
eskatologis, al-Qur’an seringkali menggunakan bahasa metaforis, karena
ia memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional
dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu
melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh
lain, bagaimana al-Qur’an menggambarkan siksa neraka dan keindahan
surga. Neraka digambarkan bagaikan perkampungan api sementara
penghuninya terkurung dan tidak bisa melarikan diri. Dan surga disajikan
dengan gambaran taman yang rindang beserta para bidadari yang amat
menawan yang telah menanti kedatangan calon penghuni surga. Menurut
analisa psikolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-
Qur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat
jahiliyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.22
22 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 83.
27
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap
persediaan makanan, maka perjuangan untuk mempertahankan eksistensi
melawan musuh tidak pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan
melawan keganasan alam mereka menyatukan dirinya ke dalam kelompok
atau suku yang biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan
kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di
padang pasir. Tanpa solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa
pun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di
tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam
kondisi padang pasir yang serba sulit, merupakan hal amat mulia jika
kedermawanan diberi tempat tinggi dalam daftar kebajikan utama. Dalam
pandangan mereka, kedermawanan bertalian erat dengan konsep
kemuliaan, dan bahkan dianggap sebagai bukti kemuliaan sejati
seseorang. Juga dengan memegang janji, ia merupakan salah satu
kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas. Kebajikan memegang janji
memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk berkorban
nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku karena secara
primordial ia terikat dengan janji dan kehormatan untuk melakukan hal
itu. Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan di kalangan orang Arab ini
kemudian memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk
memahami berbagai gagasan moral dalam al-Qur’an.23
2). Sejarah Perkembangan Majaz
Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, konsep majaz lazim
digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqah:
Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga
kelompok berbeda yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqah.
Dalam sejarahnya telah terjadi perbedaan pendapat mengenai keberadaan
majaz. Setidaknya ada tiga kelompok yang berseberangan, yakni: Pertama,
Mu’tazilah yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan
23 Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 19.
28
majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan
interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran
mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz
baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi
mereka juga menolak adanya ta’wil. Pada intinya mereka menentang
dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Dan
ketiga, Asy’ariyah yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-
persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara
moderat di antara dua kelompok di atas.24
Perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-
Qur’an disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan tentang asal
usul bahasa. Kalangan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa bahasa semata-
mata merupakan konvensi murni manusia. Sementara kalangan
Dzahiriyah berkeyakinan bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan
(tawqifi) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada
anak keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy’ariyah yang menya-
takan, bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa Tuhan juga berperan dalam memberikan kemampuan
kepada manusia.
Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, secara garis besar terdapat
tiga teori mengenai asal usul bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan
konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa
berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan
kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua,
naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan
bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar
maupun berjalan. Dan teori ketiga, conventionalis, berpandangan bahwa
24 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy, Jumhuriyah Misr al-Arabiyah, Kairo,
1994, hlm. 122. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 69-70.
29
bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil
konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat.25
Pertentangan mengenai asal usul bahasa jauh sebelum pemikir
muslim pernah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof Yunani.
Apakah bahasa itu dikuasai alam, nature atau fisei, ataukah bahasa itu
bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa
adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan
asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar
manusia itu sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis
dengan tokoh-tokohnya, seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato
mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang
ditunjuk. Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang
dimaksud. Bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah
mencapai makna secara alamiah atau fisei.
Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna
bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan
bersama. Karena itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman.
Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional.
Demikian pendapat Hermogenes saat berdialog dengan Plato.26
Secara etimologis kata majaz tidak ditemukan dalam al-Qur’an,
namun akar kata dari kata majaz, yaitu j-w-z, seperti jawwaza
(memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur’an. Joseph van
Ess, seperti yang dikutip Nur Kholis, menyatakan bahwa pada abad
pertama Hijriyah kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara
substantif telah dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud
adalah sebagai makna yang melewati batas-batas leksikal dan bukan arti
yang sebenarnya: Salah satu contoh adalah interpretasi Joseph terhadap
argumentasi-argumentasi teologis yang dikemukakan oleh Hasan
Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H) yang dipahaminya sebagai
25 Komarudin Hidayat, op. cit., hlm. 29. 26 Kaelan. M. S, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma,
Yogyakarta, 1998, hlm. 28.
30
pemahaman majazi. Pemahaman Joseph terhadap ungkapan Ibn al-
Hanafiyah berangkat dari paradigma yang dibangun Jahm ibn Safwan (w.
128 H) yang menyatakan, “niemand handle realiter aussr Gott allein”,
Tidak ada yang bisa melakukan sesuatu kecuali Tuhan semata. Jahm
berpendapat, bahwa kemampuan manusia melakukan sesuatu hanyalah
merupakan ungkapan majazi, sehingga seolah-olah bisa dikatakan dalam
ungkapan lain, “tumbuh-tumbuhan bergerak” atau “matahari terbenam”,
yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya.27
Khususnya pada era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan
antara argumentasi-argumentasi teologis dengan beberapa tendensi yang
ada di luar tafsir dalam karya-karya tafsir klasik. Karena dalam sejarah
kesarjanaan klasik telah didapatkan data sekaligus bahwa pemikiran-
pemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran al-Qur’an. Misalnya
karya Abu Ubaidah (w. 207 H) yang berjudul Majaz al-Qur’an menurut
banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang secara eksplisit
menggunakan kata majaz. Kajian John Wansbrough terhadap karya Abu
Ubaidah menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang
kesemuanya disebut dengan majaz. Akan tetapi majaz yang dimaksud
tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz dalam pengertian
kajian sastra Arab modern. Adalah Abu Ziyad al-Farra’ (w. 210) seorang
linguis yang beraliran Kuffah juga menggunakan dervasi kata majaz,
yaitu tajawwuz (melampaui). Maksud tajawwuz di sini bisa berarti
melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi terpaku pada
makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat. Misalnya ketika al-Farra’
menafsirkan ayat “famaa rabihat tijaaratuhum” (maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka) (QS. [2]: 16). Kalimat di atas menurut al-
Farra’ melampaui batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian.
Pemakaian “perniagaan yang menguntungkan” itu tidak lazim, dan yang
dipakai adalah “pedagang yang mendapatkan untung dalam
27 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, ELSAQ Press, Yogyakarta,
2005, hlm. 183.
31
perniagaannya”, atau “perniagaan anda untung, dan perniagaan anda
merugi”.28
Pengembangan konsep dari istilah majaz kemudian dilakukan oleh
seorang teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah, adalah al-Jahiz
(w. 155 H). Ia banyak mengembangkan teori bahasa dan filsafat bahasa.
Karya berjudul al-Bayan wa al-Tabyin dan al-Hayawan merupakan karya
yang memuat analisis teori bahasa yang mencerminkan pemikiran
Mu’tazilah. Menurut al-Jahiz, majaz dipahami sebagai lawan dari
haqiqah. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menggunakan satu-
satunya kata majaz sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan
beberapa kata yang memiliki arti senada, seperti matsal dan isytiqaq yang
dalam penggunaannya mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait
dengan majaz, al-Jahiz menetapkan dua persyaratan sehingga
memungkinkan terjadinya peralihan makna; pertama, terdapat relasi atau
hubungan antara makna leksikal dan makna hasil peralihan, dan kedua,
peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna bahasa,
bukan rekayasa individu.
Juga seorang teolog yang beraliran Sunni, Ibn Qutaibah (w. 276 H)
dalam karyanya yang berjudul Ta’wil Musykil al-Qur’an memuat
beberapa pembahasan tentang konsep majaz. Secara teoritis ia membagi
majaz dalam dua kategori; pertama majaz lafdzi dan kedua majaz
ma’nawi. Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk gaya tutur,
atau seni bertutur. Untuk itu kata majaz yang dipergunakan mencakup
peminjaman kata (isti’arah), perumpamaan (tamśil), resiprokal (maqlub),
susun balik (taqdim wa ta’khir), eliptik (hadzf), pengulangan kata (tiqrar),
ungkapan tidak langsung (ikhfa’), ungkapan langsung (idzhar), sindiran
(kinayah), dan sebagainya.29
Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah, dalam al-Qur’an
banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqah. Dalam hal ini
28 M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 189. 29 Abd al-Fattah Lasyin, al-Bayan fi Dlau’i Asalib al-Qur’an, Dar al-Ma’arif, Beirut,
1985, hlm. 129. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 75-76.
32
haqiqah dimengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna apa
adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz
dalam al-Qur’an berarti mayoritas ungkapan kalimat dalam al-Qur’an
merupakan kebohongan, karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya.
Ketika majaz dipahami sebagai bentuk kebohongan, maka semua kata
kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan adalah salah. Juga
dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon tumbuh
besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya.
Konsep majaz berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli
gramatika dan ahli filologi yang bernama Sibawaihi (w. 180 H). Ia
menyatakan bahwa majaz adalah seni bertutur yang memungkinkan
terjadinya perluasan makna. Tokoh gramatik lainnya yang juga
memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah al-Mubarrad (w.
286 H), ia mengatakan majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi
untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn
Jinni (w. 392 H), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz.
Ia mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqah, dan makna haqiqah
adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah
sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna
lainnya. Dan tidak ketinggalan, al-Qadi Abd Jabbar (w. 417 H), seorang
teolog beraliran Mu’tazilah mengatakan, majaz adalah peralihan makna
dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya yang lebih luas.
Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat terjadinya
ungkapan majazi, dengan begitu Abd Jabbar membagi dua model majaz,
yaitu majaz dalam konvensi dan majaz dalam maksud penutur.30
Selanjutnya, seorang ulama yang bernama Abd al-Qahir al-Jurjani
(w. 471 H) melalui penalaran dua konsep yakni majaz versus haqiqah, ia
mengatakan bahwa sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau
makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan
haqiqah. Sedangkan majaz adalah ketika seseorang mengalihkan makna
30 M. Nur Kholis Setiawan, op. cit., hlm. 199.
33
dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu, atau ia bermaksud
melebarkan medan makna dari makna dasarnya.
Secara teoritik, menurut al-Jurjani majaz adalah peralihan makna
dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju
yang konotatif. Secara implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian
majaz mufrad, yakni majaz dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan
jenis majaz yang kedua yaitu majaz dalam kalimat. Pembagian ini
dilandasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa merangkai majaz baik
dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat. Dan penggunaan
ini sangat bergantung pada konteksnya.31
Termasuk kategori ungkapan majaz yang pernah berkembang di
kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybih. Istilah tasybih pertama
kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H) dan Ibn al-Mu’taz (w. 296
H), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra’ dan Abu
Ubaidah, namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan
dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayan. Al-Jahiz
(w. 255 H) misalnya, meskipun dalam banyak karya ia tidak menjadikan
tasybih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan
mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan
ungkapan al-Qur’an.32
Al-Mubarrad (w. 285 H) dalam karyanya yang berjudul al-Kamil
memberikan ulasan tentang tasybih. Uraian al-Mubarrad dinilai oleh para
kritikus sastra kontemporer sebagai sumbangan yang sangat berarti
terhadap perkembangan tasybih dalam diskursus retorik Arab. Ia
berpendapat, tasybih merupakan seni bertutur yang paling sering dipakai
dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybih telah dilakukan oleh
Ibn Abi Awn (w. 323 H), di mana ia tidak saja membahas tasybih secara
komprehensif, melainkan juga pelbagai macam syair semenjak era klasik
sampai era Abbasiyah. Dalam karyanya al-Tasybihat, ia menempatkan
31 M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 202. 32 Fadlal Hasan Abbas, al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha, Dar al-Furqan, Aman,
1987, hlm.18. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op.cit, hlm. 78-79.
34
ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan basis keindahan serta
kesempurnaan kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi kajian tasybih secara
spesifik sebagai elemen ilmu bayan dalam kerangka sebagai dogma
kei’jazan al-Qur’an baru diangkat oleh al-Rummani (w. 386 H). Diban-
dingkan para sarjana sebelumnya, al-Rummani bukan saja membahas
tasybih pada tataran teoritis tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur’an
bisa dilacak keindahan sastranya melalui tasybih. Embrio pemikiran
tasybih di atas kemudian disempurnakan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani (w.
471 H), di mana ia lebih menjelaskan perbedaan antara tasybih dan
tamstil.
Berkenaan dengan kajian tasybih maka pada tahapan berikutnya
memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti’arah. Ia merupakan
pengembangan dari tasybih, hanya saja perbedaannya kalau isti’arah
harus salah satu dari tharafan tasybih yang muncul. Sastrawan Arab
pertama kali menggunakan istilah isti’arah adalah Abu Amr bin al-’Auf
(w. 154 H), kemudian diikuti oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H), al-Mubarrad
(w. 285 H), Tsa’lab (w. 291 H), Qadamah (w. 337 H), al-Jurjani (w. 366
H), al-Rumani (w. 384 H), Abu Hilal (w. 395 H), Ibn Rusyd (w. 463 H),
dan Abd al-Qahir (w. 471 H), dan kemudian disempurnakan sehingga
menjadi bagian dari ilmu al bayan pada masa al-Sakaki (w. 626 H).33
Al-Qur’an menggunakan isti’arah bukan hanya sekedar sebagai
proses peminjaman kata, seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab,
tetapi juga meminjam persamaan yang bisa dicerna secara nalar, atau
sebagai persamaan yang diambil berdasarkan kemiripan akal. Sehingga
prinsip peminjaman dalam al-Qur’an ini dimaksudkan untuk menarik
perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an sebagai resiptornya.
Selain tasybih dan isti’arah tema lain yang menjadi perbincangan
adalah kinayah. Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w.
207 H), al-Farra’ (w. 210 H) dan al-Jahiz (w. 255 H). Penggunaan
33 Abd al-Fattah Lasyin, op. cit, hlm. 160. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,
hlm. 80.
35
kinayah banyak dilakukan oleh mereka dalam hubungannya dengan ayat-
ayat al-Qur’an. Hanya saja konsep yang mereka kembangkan belum di-
temukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan kritik
sastra Arab. Mereka menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat
penjelasan tanpa memasuki kepada kajian yang bersifat teoritis.
Selain al-Mubarrad (w. 258 H), adalah al-Jurjani (w. 471 H) yang
juga pernah melakukan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar
dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti’arah, tasybih dan
matsal sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan al-
Jurjani ini selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna
dan makna dari makna. Makna adalah isi dari kosa kata yang bisa
dipahami seseorang tanpa melalui perantara. Sedangkan makna dari
makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan langsung dari bunyi
sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat tersebut di
antaranya adalah isti’arah, tasybih, matsal, dan kinayah.
C. Persinggungan Majaz Dengan Ta’wil
Setelah kita memahami dua pembahasan pokok mengenai majaz di
atas, yakni mengenai paradigma pengalihan makna bahasa dari makna
denotatif (haqiqah) ke makna metafora (majaz), dan sejarah perkembangan
majaz dalam tradisi Islam. Dari kedua pembahasan di atas kita dapat
menemukan sebuah kongklusi bahwa pengertian majaz secara sederhana
dapat diartikan sebagai sebuah kalimat bisa memiliki arti yang melampaui
batas-batas leksikal dan gramatikalnya, sebagaimana ayat-ayat kejisiman
Allah swt dalam al-Qur’an. Dengan demikian, majaz tidak lagi terpaku pada
makna dasar yang dimiliki kalimat tersebut. Oleh karenanya, menurut hemat
penulis, pada hakikatnya majaz lebih dekat bersinggungan dengan ta’wil,
mengapa?
Berbagai alasan kiranya pantas untuk disodorkan disini. Pertama;
dimana antara keduanya memiliki korelasi yang sama, yaitu sama-sama
mencari makna bathin dan melampaui batas-batas leksikal dan gramatikal
36
suatu ayat atau kalimat. Kita telah mengetahui sebuah fakta bahwa al-Qur’an
mengandung banyak sisi, bahasa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip
majazi yang terkadang berbeda dengan prinsip-prinsip nalar burhani. Secara
umum fakta semacam ini telah kita dengan dalam bentuk ungkapan bahwa
al-Qur’an memiliki ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, terjadi
kontradiksi antara teks dan nalar. Dalam hal ini nalar Islam dituntut untuk
menyelesaikan problem ini. Para ahli balaghah kemudian menciptakan
konsep majaz untuk mengungkapkan kekhasan bayan al-Qur’an, sementara
ulama ahli kalam menciptakan konsep ta’wil untuk menghilangkan
kontradiksi antara teks dan nalar, dimana ta’wil berfungsi mengembalikan
signifikansi yang hilang setelah al-Qur’an menggunakan bahasa yang bersifat
metaforis (menggunakan bahasa yang tidak sesuai aslinya). Bahkan majaz
dan ta’wil menjadi perhatian utama ulama kalam karena menjadi landasan
pembahasan-pembahasan kalam.34
Kedua; selain alasan di atas, secara umum, ta’wil memang berbeda
dengan tafsir. Ta’wil bisa dipahami sebagai sebuah kerja interpretasi
bathiniyah (esoteric exegese) yang berkaitan dengan penafsiran makna bathin
dan dimensi metaforis al-Qur’an. Ta’wil justru mengacu pada makna teks
yang bersifat bathiniyah dan transendental. Yang signifikan bukan lagi
bahasa teks maupun konteks historisnya, akan tetapi sebuah makna
bathiniyah yang merupakan makna terdalam sebuah teks. Makna bathiniyah
ini seringkali melampaui makna bahasa. Sementara tafsir berkaitan dengan
interpretasi eksternal (exoteric exegese).35
34 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Sunarwoto Dema (terj.), LKiS, Yogyakarta, 2003,
hlm. 44. 35 Lihat, Ilham B Seanong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002, hlm. 63-64.
37
Lebih lanjut, jika kita mengaitkan ta’wil dengan epistemologi Islam
yang dilontarkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri36 maka kita akan
menemukan perbedaan struktur epistemologis di antara keduanya. Sebagai
metodologi interpretasi al-Qur’an, tafsir sangat dipengaruhi oleh beberapa
aspek metodologis dari Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh al-Syafi’i. Di
sini fiqih dan tafsir saling bersinggungan, sebab meskipun keduanya
memiliki perbedaan dalam objek formal, namun keduanya berada pada
kerangka epistemologi yang sama, yakni epistemologi al-bayan yang objek
materialnya adalah al-Qur’an. Karena itu, dalam struktur epistemologi ilmu-
ilmu keislaman, tafsir masuk dalam wilayah epistemologi bayani.37
Sementara dasar-dasar epistemologi ta’wil justru dapat dirujuk pada
pemikiran al-Ghozali, bahkan jauh sebelum munculnya sufisme teoritik yang
dikembangkan dalam filsafat illuminasi (al-Isyraqiyah). Berangkat dari
proyek revitalisasi ilmu-ilmu agama (Ihya ‘Ulumuddin), al-Ghozali telah
mengembangkan suatu konsep teks berdasarkan pendirian teologi
Asy’ariyyah mengenai al-Qur’an sebagai sifat Zat dan bukan perbuatannya.
Dimensi sufistik dalam pemikiran al-Ghozali ini telah membantu
memperluas konsep pemilihan antara sifat qadim dan sifat hadits kalam ke
dalam dualisme lain berupa pembagian antara “yang lahir” dan “yang bathin”
dalam melihat teks al-Qur’an.38
Dualisme ini kemudian diterapkan pula dalam memahami struktur al-
Qur’an yang terbagi ke dalam dimensi lahir dan bathinnya. Dualisme ini
bukan semata-mata pada pembagian makna dan dalalah-nya, sebagaimana
yang populer dalam dunia sufi, tetapi juga pada taraf rangkaian dan struktur
teks. Yang bathin adalah inti dan substansi yang dikandung teks, sementara
36 Muhammad Abid al-Jabiri dengan proyek besarnya “Kritik Nalar Arab” menemukan
beberapa formasi Nalar Arab yang kemudian sangat mempengaruhi bangunan pemikiran Islam secara keseluruhan di belahan dunia Islam. Formasi Nalar Arab menurut al-Jabiry terbagi atas tiga formasi yaitu: Nalar Bayani, Nalar Burhany, dan Nalar Irfany. Nalar di sini dipahami sebagai epistemologi pemikiran.
37 Ilyas Supena, Membongkar Hegemoni Teks Dalam Tradisi Pemikiran Hukum Islam, Jurnal al-Ahkam, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Volume XVI/Edisi I/April 2005, hlm. 67.
38 Ilyas Supena, Ibid., hlm. 67.
38
yang lahir, berupa bahasa kalam adalah kemasan luar yang membungkus teks
dan melaluinya teks tampak komunikatif bagi pemikiran manusia. Pemilihan
dimensi bathin dan lahir dalam kalam Tuhan ini menggambarkan struktur
epistemologi ta’wil yang merupakan bagian dari epistemologi al-Irfân.39
Perbedaan struktur epistemologi di antara keduanya pada akhirnya
membawa pula pada perbedaan metodologis. Jika dalam ta’wil dikenal istilah
tafsir bil Isyari dan tafsir al-bathini, maka dalam tafsir dikenal istilah tafsir
bi riwayah (bil ma’tsur) dan tafsir bi dirayah (tafsir bil ra’yi).40 Pada
perkembangannya, tafsir seringkali dikaitkan dengan ilmu al-Qur’an yang
lain semisal ilmu nasikh-mansukh, asbab al-Nuzul, muhkamat- mutasabihat,
‘Am-khas, dll. Semua itu nampaknya dikaitkan dengan fungsi-fungsi ilmu
tersebut sebagai instrumen mediator bagi kerja-kerja penafsiran. Sementara
ta’wil pada perkembangannya menunjukkan penekanan pada proses refleksi,
ijtihad (dirayah) dalam proses penafsiran, oleh karenanya mensyaratkan
adanya gerak nalar (mental intelektual).41 Selain itu ta’wil justru memberikan
prioritas yang besar pada kesadaran intuitif mufassir.
39 Menurut al-Ghazali, kalam illahi adalah sifat qadim zat yang harus dibedakan dari
penampakannya (tajalli) dalam bentuk al-Qur’an yang dibaca sebagai teks. Teks yang dapat dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam mushaf hanya merupakan penuturan sifat kalam yang qadim. Lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm 67-68.
40 Penjelasan selengkapnya lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm. 70-71. 41 Ilham B. Seanong, op. cit., hlm. 62-63.