25
14 BAB II MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma Pengalihan Makna Bahasa: Dari Bentuk Denotatif (Haqiqah) Ke Bentuk Metafora (Majaz). Pengalihan makna dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz) merupakan tradisi susastra yang sudah dikenal secara populer dalam ilmu al-Qur’an. Secara etimologis lafaz hakikat dapat diartikan sebagai esensi, realitas, kebenaran, atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan secara terminologis, hakikat dapat didefinisikan sebagai suatu lafaz yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz merupakan kebalikan dari hakikat, yaitu makna kiasan (elegoris). Artinya, suatu lafaz yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan untuknya. 1 Mayoritas ulama sepakat tentang adanya makna hakikat dan majaz dalam al-Qur’an, meskipun untuk term yang disebutkan terakhir oleh sebagian ulama yang lain masih diperselisihkan keberadaannya. Artinya, bahwa mereka tidak mengakui adanya makna majaz dalam al-Qur’an. Sebab, majaz sangat terkait dengan kebohongan (al-kadzab), padahal al-Qur’an harus bersih dari sifat-sifat yang demikian. Alasan lain adalah bahwa seorang pembicara (al- mutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika terpaksa, sedangkan keadaan terpaksa tidak mungkin terjadi pada Tuhan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas kelompok al-Dhahiri, Ibn al-Qas dari kelompok Syafi’iyah, Ibn Kuwaiz dari kelompok Malikiyyah. 2 Pendapat kelompok al-Dhahiri dan yang sepaham dengannya, mendapat reaksi yang sangat keras dari para ulama yang lain, dan dinilai sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab, jika makna majaz dalam al-Qur’an 1 M. Noor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama dengan Walisongo Press IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 219. 2 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.

MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

14

BAB II

MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM

A. Paradigma Pengalihan Makna Bahasa: Dari Bentuk Denotatif (Haqiqah)

Ke Bentuk Metafora (Majaz).

Pengalihan makna dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora

(majaz) merupakan tradisi susastra yang sudah dikenal secara populer dalam

ilmu al-Qur’an. Secara etimologis lafaz hakikat dapat diartikan sebagai esensi,

realitas, kebenaran, atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan secara

terminologis, hakikat dapat didefinisikan sebagai suatu lafaz yang tetap pada

makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir

(makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz merupakan

kebalikan dari hakikat, yaitu makna kiasan (elegoris). Artinya, suatu lafaz

yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan

untuknya.1

Mayoritas ulama sepakat tentang adanya makna hakikat dan majaz

dalam al-Qur’an, meskipun untuk term yang disebutkan terakhir oleh sebagian

ulama yang lain masih diperselisihkan keberadaannya. Artinya, bahwa mereka

tidak mengakui adanya makna majaz dalam al-Qur’an. Sebab, majaz sangat

terkait dengan kebohongan (al-kadzab), padahal al-Qur’an harus bersih dari

sifat-sifat yang demikian. Alasan lain adalah bahwa seorang pembicara (al-

mutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika terpaksa,

sedangkan keadaan terpaksa tidak mungkin terjadi pada Tuhan. Di antara

ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas kelompok al-Dhahiri, Ibn

al-Qas dari kelompok Syafi’iyah, Ibn Kuwaiz dari kelompok Malikiyyah.2

Pendapat kelompok al-Dhahiri dan yang sepaham dengannya,

mendapat reaksi yang sangat keras dari para ulama yang lain, dan dinilai

sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab, jika makna majaz dalam al-Qur’an

1 M. Noor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi Atas Persoalan Linguistik, Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama dengan Walisongo Press IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 219.

2 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.

Page 2: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

15

ditiadakan, hal itu sama dengan menghilangkan aspek keindahan bahasa

dalam al-Qur’an. Mengenai hal ini imam as-Suyuthi mengatakan bahwa:

alasan mereka itu tidak bisa diterima, sebab jika unsur majaz dalam al-Qur’an

ditiadakan, niscaya ia akan kehilangan keindahannya. Bahkan para ulama

sepakat bahwa majaz lebih tinggi keindahanya dari pada hakikat. Seandainya

majaz harus dihilangkan dari al-Qur’an, niscaya harus dibersihkan pula dari

hadzf (pembuangan kata), taukid (kata penguat), pengulangan kisah-kisah dan

lain sebagainya.

Kehakikatan suatu lafaz dapat dikhususkan dalam bidang-bidang ilmu

tertentu, sehingga ia mempunyai nama-nama sesuai dengan tempat ia

dipergunakan. Jika penggunanya sesuai dengan istilah bahasa, maka ia dapat

disebut sebagai haqiqat lughawiyah. Dan jika penggunaannya sesuai dengan

istilah syara’, maka ia dapat disebut sebagai haqiqat syar’iyah, dan lain

sebagainya. Hal yang demikian juga berlaku bagi makna majaz, sehingga ada

majaz lughawi, majaz syar’i dan lain sebagainya. Pada umumnya,

penggunaan suatu makna hakikat dan makna majaz baru dapat ditentukan

setelah lafaz tersebut dirangkai dalam suatu kalimat atau dipergunakan dalam

suatu pembicaraan. Untuk dapat mengetahui arti hakikat suatu lafaz bisa

dengan cara sima’i, yaitu dengan cara mendengarkan bagaimana para ahli

bahasa mengartikannya, sedangkan untuk makna majaz dapat diketahui

dengan melalui penelitian terhadap qarinah-qarinah yang menyertai lafaz

tersebut.3

Sebelum membahas lebih jauh mengenai metode pengalihan makna

dalam bahasa dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz),

terlebih dulu penulis kemukakan beberapa hal yang termasuk dalam kategori

metafora. Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) -sebagaimana dikutip oleh Nashr

Hamid Abu Zayd- telah memberikan batasan-batasan segi majaz dengan

berpendapat bahwa majaz meliputi peminjaman kata atau ungkapan

(isti’arah), perumpamaan (tamtsil), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdim),

pengakhiran (ta’khir), pembuangan (hadzf), sindiran (ta’ridh), pemfasihan

3 M. Noor Ichwan, Ibid., hlm. 220.

Page 3: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

16

(ifshah), kiasan (kinayah), penjelasan maksud tunggal, kata tunggal dan jamak

untuk makna dua orang (tatsniyah), kata khusus untuk makna umum, kata

umum untuk makna khusus, dan lain-lain.4 Meskipun di kalangan mufassir

yang lebih sering digunakan adalah istilah maśal dan beberapa kata

turunannya, seperti tamtsil, hal ini dikarenakan istilah tamśil banyak

tercantum dalam al-Qur’an.

Semua hal di atas merupakan fenomena gaya bahasa yang

menunjukkan adanya perubahan dalam penunjukan kata dan keluar dari

penunjukan makna kata yang lazim. Perumpamaan (matsal) misalnya, sering

dipakai oleh al-Qur’an memiliki maksud penyerupaan (tasybih) suatu benda

terhadap benda lain. Oleh karenanya makna perumpamaan (matsal) sangat

dekat dengan makna penyerupaan (tasybih). Satu hal yang menunjukkan

keserasian tersebut adalah bahwa kata syibh yang terdapat dalam al-Qur’an,

tidak tercantum kecuali memiliki makna penyerupaan, persamaan, dan

kesamaran antara dua hal. Jika sesuatu diserupakan, berarti terjadi kemiripan

dan ambiguisitas yang susah dibedakan antara keduanya.

Dalam al-Qur’an, tidak disebutkan kata kinayah meskipun maksudnya

pernah disebutkan oleh kalimat lain yang bermakna menyembunyikan atau

menutupi. Terdapat kata yang bermakna kinayah atau yang mendekatinya

diungkapkan dalam bentuk tasyrih (penjelasan), dimana tasyrih memiliki dua

sisi makna, yakni żahir (nyata) dan bathin (tersembunyi), sebagaimana yang

terdapat dalam firman Allah swt berikut: “Dan tidak ada dosa bagi kamu

meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikannya

dalam batinmu”.5

Selain itu, terdapat juga kata jauz yang berarti “memotong” atau

“memindah”. Makna ini tidak jauh berbeda dengan pengertian majaz, yaitu

berpindahnya makna hakiki (denotatif) ke makna lain yang berkaitan

4 Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-

Qur’an Menurut Mu’tazilah, Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (terj.), Mizan, Bandung, 2003, hlm. 136.

5 Lihat surat al-Baqarah ayat 235. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al-Waah, Semarang, 1993, hlm. 57.

Page 4: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

17

dengannya (metafor). Adapun makna ‘aur yang menjadi asal pengambilan

istilah isti’arah tidak tercantum dalam al-Qur’an. Oleh karenanya, wajar jika

ia termasuk istilah yang terakhir muncul dalam terminologi balaghah.

Sebaliknya, istilah maśal merupakan istilah yang paling banyak beredar di

kalangan mufasir. Selain itu, ia banyak tercantum dalam al-Qur’an, sedangkan

istilah kinayah juga lebih sedikit dipakai jika dibandingkan dengan maśal. Hal

ini disebabkan, di satu sisi, ia sedikit sekali disinggung dalam al-Qur’an, dan

di sisi yang lain, penunjukan nilai sastranya kurang jelas.6

Dari penjelasan di atas, kiranya dapat kita pahami bahwa nalar bahasa,

gramatika maupun retorika, selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteksnya.

Nalar model ini memandang bahasa sebagai sebuah struktur dan sistem, atau

sebagai konvensi-konvensi dan penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai

tanda-tanda yang menunjukkan pada objek dan simbol-simbol yang

menunjukkan pada sesuatu. Hanya saja situasi bahasa dan pembentukannya

memunculkan fenomena yang terkait dengan wujud. Oleh sebab itu, bahasa

kehilangan kemampuannya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata

tercerabut kemampuannya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan.

Dengan kata lain, bahasa sebagai ekspresi wujud, merupakan keterbukaan

terhadap “yang ada” dan kemungkinan bagi wujud, yaitu kemungkinan

membangun kebenaran sekaligus menyingkapnya dan menuturkannya.

Bahasa yang kreatif dan inovatif adalah majaz (metafora), yang berarti

melewati, melampaui, pindah dan beralih, sedangkan “wujud” merupakan

keresahan dan kelainan atau kontradiksi atau reposisi. Demikianlah Ali Harb

memberikan kesimpulan.7

6 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit., hlm. 137. 7 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 24.

Page 5: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

18

B. Majaz: Sumber dan Sejarah Perkembangannya.

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bagaimana

konsepsi majaz. Konsepsi majaz sebagai perangkat ungkapan sastrawi di sini

menjadi sangat penting, karena ia berperan baik dalam diskursus kritis sastra

Arab maupun dalam tradisi tafsir, yang pada kenyataannya mengalami

perkembangan dan pertumbuhan yang sistematis. Oleh karenanya pada

pembahasan kali ini, penulis bermaksud memberikan ulasan mengenai

pertumbuhan dan perkembangan dari konsep majaz dalam sejarah peradaban

Islam.

1). Sumber-Sumber Majaz

Pembahasan mengenai majaz dalam al-Qur’an tentu tidak bisa

dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan. Hal

ini karena turunnya al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial

dan kultural masyarakat Arab, dan bahkan fenomena-fenomena tradisi

yang ada terkadang diungkapkan kembali dalam al-Qur’an, seperti

misalnya ekspresi dan apresiasi yang tinggi terhadap nilai sastra yang

dilakukan oleh masyarakat Arab. Konteks sejarah masyarakat Arab inilah

yang mempengaruhi al-Qur’an untuk mengapresiasi nilai-nilai tertinggi

sastra dan keindahan bahasa. Oleh karenanya memperhatikan kondisi geo-

kultural dan kehidupan sosial masyarakat Arab adalah prasyarat yang

harus dipenuhi bagi pemerhati maupun peneliti kajian sastra dalam al-

Qur’an.

Adapun mengenai sumber-sumber majaz secara umum adalah

bersumber dari tradisi masyarakat Arab yang sudah terbiasa dengan

tradisi sastra yang sangat tinggi. Tradisi masyarakat Arab yang memiliki

peran penting ini setidaknya disebabkan beberapa faktor, yakni:

Pertama; Kondisi Geo-Kultural. Secara garis besar penduduk

Arab terdiri dari dua kelompok. Pertama, kaum Baduwi yang tinggal di

padang pasir. Kedua, penduduk kota yang hidup di daerah subur. Adanya

dua macam kondisi geografis yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya

Page 6: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

19

dualisme karakter penduduk, yaitu antara kaum Baduwi dan penduduk

kota.8 Sementara itu bila dilihat dari asal usul keturunannya, penduduk

Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun

(keturunan Qahthan) yang mendiami wilayah bagian utara, dan

Adnaniyun (keturunan Isma’il bin Ibrahim) yang mendiami wilayah

bagian selatan. Tetapi lama kelamaan kedua golongan itu membaur

karena terjadi perpindahan dari utara ke selatan, atau sebaliknya.9

Keadaan alam yang berupa gurun pasir, tandus dan kering sangat

mempengaruhi watak dan sikap mereka yang tercermin dalam

kebudayaan dan kepercayaannya. Mereka harus menjalani kehidupan

yang keras dan lebih mengutamakan kekuatan fisik dalam menghadapi

kenyataan. Kondisi yang tidak kondusif ini memaksa mereka untuk hidup

berpindah-pindah, atau nomad.10 Dalam kajian antropologi, hidup yang

tidak menetap dan selalu berpindah-pindah untuk memenuhi hajat

hidupnya dikenal dengan istilah primitive farming, yaitu pertanian

berpindah-pindah.11 Kebiasaan ini seringkali menyebabkan timbulnya

perselisihan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya untuk merebut

pintu rejeki berupa padang rumput dan mata air. Menghadapi kenyataan

ini mereka dipaksa untuk memiliki sifat keberanian dalam membela diri.12

Di samping itu, kerasnya kondisi gurun pasir juga membuat

mereka sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk

meneguhkan hatinya mereka mempercayai takhayyul dan dewa-dewa

yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan dan kemakmuran.

Mungkin inilah salah satu alasan mengapa manusia itu beragama? Secara

antropologis, agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi

8 Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, A. Rafi’ Ustmani (terj.), Pustaka,

Bandung, 1986, hlm. 37. 9 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,

hlm. 9. 10 Badri Yatim dan H. D. Sirojuddin AR, Sejarah Kebudayaan Islam I, DEPAG RI,

Jakarta, 1995, hlm. 35. 11 Enok Maryani dan Nunung Farida, Antropologi, PT. Grafindo Media Pertama, 1997,

hlm. 27. 12 A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Widjaya, Jakarta, 2000, hlm. 24.

Page 7: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

20

kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu

terjadi tragedi, kecemasan dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan

arti bagi manusia, karena secara naturalistis nampaknya di dunia ini penuh

dengan hal-hal yang probabilistis.13

Suku Nomad padang pasir tidak mempunyai agama formal atau

doktrin tertentu. Mereka menganut apa yang disebut dengan humanisme

suku, dimana yang paling penting adalah keunggulan manusia dan

kehormatan sukunya.14 Keadaan ini berbeda dengan penduduk kota

Makkah. Karena mereka tinggal di sebuah kota dan sibuk dengan

perdagangannya, maka mereka memerlukan agama formal. Apalagi bagi

kelas bawah yang mengalami kesulitan materi yang disebabkan oleh

ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan

semacam ketenangan spiritual.

Sementara masyarakat pertanian mengembangkan pemujaan dan

peribadatannya sendiri yang dikaitkan dengan kesuburan. Pemujaan ini

secara perlahan berkembang dari bentuk yang abstrak menjadi bentuk

yang konkrit. Seorang sejarawan muslim, al-Syahrastani mengatakan, di

sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala, yang paling terkenal adalah Hubal

yang dibawa oleh Amr bin Lahi dari Belka di Syiria ke Arabia dengan

tujuan agar bisa mendatangkan hujan ketika diminta.

Tiga patung tuhan lainnya yang terkenal di Makkah adalah Manat,

Lata dan Uzza. Tor Andrae mengatakan bahwa persembahan buat ketiga

tuhan (dewa) tersebut sudah berlangsung lama. Dengan menilik namanya,

Manat yang dipuja oleh suku Hudzail yang suka berperang dan

mengarang puisi serta tinggal di selatan Makkah nampaknya ia menjadi

model dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan.

Sedangkan Lata dikenal pada masa Heroditus, dan bermakna “Dewi”.

13 Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan, Antropologi Budaya: Suatu Perspektif

Kontemporer, R.G. Soekadijo (terj.), Erlangga, Jakarta, 1992, hlm. 93. 14 W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, London: tp, 1961, hlm.

51. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, UIN Malang Press, Malang, 2006, hlm. 5.

Page 8: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

21

Dalam sejarah Arab, Lata mempunyai kedudukan sebagai dewi Semit

garis ibu, kesuburan dan langit, terutama di kawasan Semit barat. Dan

Uzza yang berarti perkasa dan terhormat berada di Nakla.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketiga patung tuhan

itu adalah perempuan. Ketiganya dikaitkan dengan ritus kesuburan tanah

atau pemujaan ibu yang berasal dari wilayah utara atau negara-negara

Mediterranian. Sementara di Makkah sistem patriarki lebih menonjol,

sehingga sistem matrilinial secara struktural tidak menjadi bagian dari

masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, dimana superioritas laki-laki

telah berlangsung lama, tuhan-tuhan perempuan ini tidak mungkin dipuja

dalam upacara meminta kesuburan. Satu-satunya kesimpulan yang bisa

dikemukakan adalah bahwa tuhan-tuhan tersebut berasal dari daerah yang

di situ pertanian sangat menonjol, yaitu kawasan subur di utara.15

Sekalipun mereka menyembah berhala, namun para sejarawan

Muslim tidak memberikan predikat kepada orang-orang Arab yang kafir

dengan sebutan paganisme mumi, tetapi sebagai orang-orang musyrik,

yaitu orang-orang yang mempersekutukan roh-roh setempat dengan

Tuhan. Mereka mempunyai suatu keyakinan bahwa menyembah berhala

itu bukan menyembah kepada wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan

sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Kondisi ini dilukiskan dalam

al-Qur’an: “Kami tidak menyembah kepada mereka, tetapi hanya agar

mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya” (QS. [39]: 3).

Demikian keadaan masyarakat Arab menjelang lahirnya

Muhammad saw. yang membawa Islam. Masa itu biasa disebut dengan

zaman jahiliyah, masa kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, bukan

hal yang lain, seperti ekonomi, perdagangan dan sastra. Dalam dua hal

terakhir itu bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat.

Makkah bukan saja merupakan pusat perdagangan lokal, tetapi jalur

perdagangan dunia yang penting saat itu, yang menghubungkan antara

15 W. Montgomery Watt, ibid, hlm. 50. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,

hlm. 6-7.

Page 9: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

22

utara (Syam) dan selatan (Yaman), serta antara timur (Persia) dan barat

(Abenisia dan Mesir). Keberhasilan Makkah menjadi pusat perdagangan

internasional seperti itu disebabkan oleh karena kejelian Hasyim pada

sekitar abad ke-6 M dalam mengisi kekosongan peranan bangsa lain di

bidang perdagangan di Makkah.

Kebiasaan mengembara membuat mereka senang hidup bebas

tanpa aturan yang dapat mengikat kemauannya. Karena itu mereka

menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Namun di balik watak ini mereka

memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra (syair).

Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, karena

setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka

tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal

Umru’ al-Qais, al-Nabighah al-Dzubyani,, Asya, Harits bin Hillizah al-

Yasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi’ah dan

lainnya. Mereka biasanya mengekspresikan syairnya di pasar Ukaz yang

terletak di antara Tha’if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi

kemudian disebut muaqat, karena syair-syair tersebut digantung di sekitar

Ka’bah sebagai hasil karya sastra yang bermutu.16

Masyarakat jahiliyah, baik yang nomadik maupun yang menetap

hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar

pada keanggotaan dalam satu rentang komunitas yang luas. Antara

anggota suku terjalin hubungan darah. Setiap orang yang mempunyai

hubungan darah -baik secara riil maupun hanya dugaan belaka- berhak

untuk memperoleh perlindungan. Watak dan loyalitas kesukuan ini, oleh

Ibn Khaldun disebut sebagai Ashabiyah yang menjadi faktor penting

dalam membentuk kelompok politik yang solid. Menurutnya, Ashabiyah

tidak hanya meliputi satu keluarga saja yang satu sama lainnya

dihubungkan oleh tali kekeluargaan, tetapi meliputi hubungan yang

16 Abdul Aziz bin Muhammad al-Faishal, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah

al-Arabiyah al-Su’udiyah, Riyadh, 1405 H, hlm. 75. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid., hlm. 8-9.

Page 10: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

23

timbul akibat terjadinya persekutuan.17 Di kalangan suku sering terjadi

konflik atau ghazwa (perang antar suku). Di antara penyebabnya adalah

perselisihan untuk merebut kepemimpinan, kekuasaan, kekuatan dan

sebagainya. Perselisihan itu tidak menjadi padam dengan berakhirnya

perang. Tetapi peristiwa tersebut kemudian diekspresikan dalam bentuk

gubahan syair yang dapat membangkitkan semangat suku.

Kedua; Kehidupan Arabia. Risalah yang dibawa Nabi saw.

memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia perniagaan masyarakat Arab

kota ketika itu. Tanah air pertama Islam, Makkah merupakan pusat

perniagaan yang sangat makmur. Sementara Yatsrib (kemudian berubah

nama menjadi Madinah) adalah oase kaya yang juga merupakan kota

niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki

peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian

Muhammad, namun komersial Makkah lah yang tampaknya paling

mendominasi ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an.

Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim

dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur’an (106;2).

Rute ke selatan adalah Yaman, dan ke utara adalah ke Syiria. Di tangan

kafilah-kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan

eksistensinya yang asasi. Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang

bertalian dengannya sangat menjanjikan bagi penghasilan penduduk kota

Makkah. Bahkan, secara ekonomis hampir setiap orang menaruh minat

yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu kafilah

ataupun musibah lain yang menimpanya merupakan pukulan berat dan

bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan

kafilah-kafilah terjamin maka orang-orang Quraisy harus melakukan

17 Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Ahmad Rafi’ Utsmani (terj.),

Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 143.

Page 11: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

24

negoisasi dengan negara-negara tetangga dan menjalin hubungan baik

dengan suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.18

Meskipun kata tajir (pedagang) tidak digunakan dalam al-Qur’an,

tetapi kata yang berakar sama, yaitu tijarah (perniagaan) disebutkan

sebanyak sembilan kali. Perniagaan merupakan tema sentral dalam

kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan

dalam kitab suci tersebut,19 dengan mengutip C. C. Torry yang telah

melakukan penelitian, khusus mengenai The Commercial-Theological

Terms in the Koran, menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan

digunakan dalam kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir

doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar kiasan ilustratif. Ia

menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori-kategori sebagai

berikut; term-term matematik (hisab, al-luib, ahsha), takaran dan ukuran

(wazana, mizan, tsaqula, mitsqal), pembayaran dan upah (jaza, tsawwaba,

tsawab, waffa, afa, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa,

zilalama, alata, naqsuha), jual-beli (syird’, isytara, tijarah, tsaman,

rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahin).

Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi

lembaran-lembaran al-Qur’an dan digunakan untuk mengungkapkan

ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk

perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di beberapa

tempat dalam al-Qur’an sebagai salah satu nama hari kiamat (yaum al-

hisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan

dengan cepat (sari al-hisab). Sementara kata hisab (pembuat perhitungan)

dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.

Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah

dilakukannya. Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh imbalan atau

upah. Sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan diganjar azab

neraka.

18 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 12.

19 W. Montgomery Watt, Pengantar Qur’an, INIS, Jakarta, 1998, hlm. 5.

Page 12: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

25

Ungkapan lain yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga

Makkah, seperti menjual (bay’) dan membeli (isytara) pada umumnya

digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan

Islam yang mendasar. Lihatlah beberapa ungkapan yang dipakai dalam al-

Qur’an, misalnya al-Qur’an mengungkapkan bahwa orang-orang yang

tidak beriman dikatakan telah membarter (isytarau) kesesatan dengan

petunjuk (QS. [2]: 16), atau kekafiran dengan keimanan (QS. [3]: 177).

Lebih jauh, kata bay’ di beberapa tempat dalam al-Qur’an Juga

dihubungkan dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari

itu tidak ada lagi transaksi (QS. [2]: 254 dan QS. [14]: 31). 20

Sekalipun orang-orang Makkah sibuk dengan aktivitas niaganya,

mereka tetap mempertahankan ciri pengembaraannya. Baru beberapa

generasi mereka meninggalkan kehidupan nomadik untuk menetap di

Makkah, dalam rentang waktu yang belum begitu lama ini tentunya belum

dapat mengubah karakter tersebut. Kesibukan rata-rata orang Arab dalam

dunia bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik mereka

tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian pada

kebudayaan Arab akan mengenal realisme sederhana yang mencirikan

weltanshhaung (pandangan dunia) Arab. Realisme ini bertalian secara

intim dengan iklim padang pasir yang kejam.21

Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya

dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang

nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas mencirikan

pandangan dunia masyarakat Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-

Qur’an. “Mereka berkata, kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati

dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali musa”.

(QS. [45] : 24) Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam

kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan

berada di luar benak mereka. Konsepsi pesimistik tentang kehidupan di

20 Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 14. 21 Taufik Adnan Amal, Ibid., hlm. 15.

Page 13: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

26

muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh menjangkau dalam

kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi

yang dilakukan dengan berbagai cara merupakan fenomena umum di

Arabia. Jika kehidupan hanya terbatas di dunia dan suatu ketika masa

akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik adalah

hedonisme. Bahkan, dalam konsepsi pagan Arab, penumpukan kekayaan

dalam rangka pengejaran kesenangan duniawi dipandang bisa

memberikan kehidupan abadi (khulud).

Kejamnya kehidupan di padang pasir juga turut mendominasi

tamsilan dalam al-Qur’an. Kejadian hari kiamat misalnya, digambarkan

laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tumpukan pasir yang

beterbangan (QS:73;14). Situasi semacam ini juga ditamsilkan al-Qur’an

sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Dikatakan, bahwa

“amalan-amalan mereka laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat

seperti sumber air, tetapi ketika mereka sampai di sana tidak terdapat

sesuatu pun kecuali Allah” (QS. [24]: 39). Dalam kaitannya dengan

eskatologis, al-Qur’an seringkali menggunakan bahasa metaforis, karena

ia memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional

dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu

melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh

lain, bagaimana al-Qur’an menggambarkan siksa neraka dan keindahan

surga. Neraka digambarkan bagaikan perkampungan api sementara

penghuninya terkurung dan tidak bisa melarikan diri. Dan surga disajikan

dengan gambaran taman yang rindang beserta para bidadari yang amat

menawan yang telah menanti kedatangan calon penghuni surga. Menurut

analisa psikolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-

Qur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat

jahiliyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.22

22 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,

Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 83.

Page 14: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

27

Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap

persediaan makanan, maka perjuangan untuk mempertahankan eksistensi

melawan musuh tidak pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan

melawan keganasan alam mereka menyatukan dirinya ke dalam kelompok

atau suku yang biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan

kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di

padang pasir. Tanpa solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa

pun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di

tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam

kondisi padang pasir yang serba sulit, merupakan hal amat mulia jika

kedermawanan diberi tempat tinggi dalam daftar kebajikan utama. Dalam

pandangan mereka, kedermawanan bertalian erat dengan konsep

kemuliaan, dan bahkan dianggap sebagai bukti kemuliaan sejati

seseorang. Juga dengan memegang janji, ia merupakan salah satu

kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas. Kebajikan memegang janji

memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk berkorban

nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku karena secara

primordial ia terikat dengan janji dan kehormatan untuk melakukan hal

itu. Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan di kalangan orang Arab ini

kemudian memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk

memahami berbagai gagasan moral dalam al-Qur’an.23

2). Sejarah Perkembangan Majaz

Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, konsep majaz lazim

digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqah:

Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga

kelompok berbeda yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqah.

Dalam sejarahnya telah terjadi perbedaan pendapat mengenai keberadaan

majaz. Setidaknya ada tiga kelompok yang berseberangan, yakni: Pertama,

Mu’tazilah yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan

23 Taufik Adnan Amal, op. cit., hlm. 19.

Page 15: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

28

majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan

interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran

mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz

baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi

mereka juga menolak adanya ta’wil. Pada intinya mereka menentang

dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Dan

ketiga, Asy’ariyah yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-

persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara

moderat di antara dua kelompok di atas.24

Perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-

Qur’an disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan tentang asal

usul bahasa. Kalangan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa bahasa semata-

mata merupakan konvensi murni manusia. Sementara kalangan

Dzahiriyah berkeyakinan bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan

(tawqifi) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada

anak keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy’ariyah yang menya-

takan, bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa

dipungkiri bahwa Tuhan juga berperan dalam memberikan kemampuan

kepada manusia.

Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, secara garis besar terdapat

tiga teori mengenai asal usul bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan

konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa

berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan

kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua,

naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan

bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar

maupun berjalan. Dan teori ketiga, conventionalis, berpandangan bahwa

24 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy, Jumhuriyah Misr al-Arabiyah, Kairo,

1994, hlm. 122. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 69-70.

Page 16: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

29

bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil

konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat.25

Pertentangan mengenai asal usul bahasa jauh sebelum pemikir

muslim pernah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof Yunani.

Apakah bahasa itu dikuasai alam, nature atau fisei, ataukah bahasa itu

bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa

adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan

asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar

manusia itu sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis

dengan tokoh-tokohnya, seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato

mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang

ditunjuk. Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang

dimaksud. Bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah

mencapai makna secara alamiah atau fisei.

Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna

bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan

bersama. Karena itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman.

Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional.

Demikian pendapat Hermogenes saat berdialog dengan Plato.26

Secara etimologis kata majaz tidak ditemukan dalam al-Qur’an,

namun akar kata dari kata majaz, yaitu j-w-z, seperti jawwaza

(memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur’an. Joseph van

Ess, seperti yang dikutip Nur Kholis, menyatakan bahwa pada abad

pertama Hijriyah kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara

substantif telah dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud

adalah sebagai makna yang melewati batas-batas leksikal dan bukan arti

yang sebenarnya: Salah satu contoh adalah interpretasi Joseph terhadap

argumentasi-argumentasi teologis yang dikemukakan oleh Hasan

Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H) yang dipahaminya sebagai

25 Komarudin Hidayat, op. cit., hlm. 29. 26 Kaelan. M. S, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma,

Yogyakarta, 1998, hlm. 28.

Page 17: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

30

pemahaman majazi. Pemahaman Joseph terhadap ungkapan Ibn al-

Hanafiyah berangkat dari paradigma yang dibangun Jahm ibn Safwan (w.

128 H) yang menyatakan, “niemand handle realiter aussr Gott allein”,

Tidak ada yang bisa melakukan sesuatu kecuali Tuhan semata. Jahm

berpendapat, bahwa kemampuan manusia melakukan sesuatu hanyalah

merupakan ungkapan majazi, sehingga seolah-olah bisa dikatakan dalam

ungkapan lain, “tumbuh-tumbuhan bergerak” atau “matahari terbenam”,

yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya.27

Khususnya pada era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan

antara argumentasi-argumentasi teologis dengan beberapa tendensi yang

ada di luar tafsir dalam karya-karya tafsir klasik. Karena dalam sejarah

kesarjanaan klasik telah didapatkan data sekaligus bahwa pemikiran-

pemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran al-Qur’an. Misalnya

karya Abu Ubaidah (w. 207 H) yang berjudul Majaz al-Qur’an menurut

banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang secara eksplisit

menggunakan kata majaz. Kajian John Wansbrough terhadap karya Abu

Ubaidah menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang

kesemuanya disebut dengan majaz. Akan tetapi majaz yang dimaksud

tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz dalam pengertian

kajian sastra Arab modern. Adalah Abu Ziyad al-Farra’ (w. 210) seorang

linguis yang beraliran Kuffah juga menggunakan dervasi kata majaz,

yaitu tajawwuz (melampaui). Maksud tajawwuz di sini bisa berarti

melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi terpaku pada

makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat. Misalnya ketika al-Farra’

menafsirkan ayat “famaa rabihat tijaaratuhum” (maka tidaklah

beruntung perniagaan mereka) (QS. [2]: 16). Kalimat di atas menurut al-

Farra’ melampaui batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian.

Pemakaian “perniagaan yang menguntungkan” itu tidak lazim, dan yang

dipakai adalah “pedagang yang mendapatkan untung dalam

27 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, ELSAQ Press, Yogyakarta,

2005, hlm. 183.

Page 18: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

31

perniagaannya”, atau “perniagaan anda untung, dan perniagaan anda

merugi”.28

Pengembangan konsep dari istilah majaz kemudian dilakukan oleh

seorang teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah, adalah al-Jahiz

(w. 155 H). Ia banyak mengembangkan teori bahasa dan filsafat bahasa.

Karya berjudul al-Bayan wa al-Tabyin dan al-Hayawan merupakan karya

yang memuat analisis teori bahasa yang mencerminkan pemikiran

Mu’tazilah. Menurut al-Jahiz, majaz dipahami sebagai lawan dari

haqiqah. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menggunakan satu-

satunya kata majaz sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan

beberapa kata yang memiliki arti senada, seperti matsal dan isytiqaq yang

dalam penggunaannya mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait

dengan majaz, al-Jahiz menetapkan dua persyaratan sehingga

memungkinkan terjadinya peralihan makna; pertama, terdapat relasi atau

hubungan antara makna leksikal dan makna hasil peralihan, dan kedua,

peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna bahasa,

bukan rekayasa individu.

Juga seorang teolog yang beraliran Sunni, Ibn Qutaibah (w. 276 H)

dalam karyanya yang berjudul Ta’wil Musykil al-Qur’an memuat

beberapa pembahasan tentang konsep majaz. Secara teoritis ia membagi

majaz dalam dua kategori; pertama majaz lafdzi dan kedua majaz

ma’nawi. Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk gaya tutur,

atau seni bertutur. Untuk itu kata majaz yang dipergunakan mencakup

peminjaman kata (isti’arah), perumpamaan (tamśil), resiprokal (maqlub),

susun balik (taqdim wa ta’khir), eliptik (hadzf), pengulangan kata (tiqrar),

ungkapan tidak langsung (ikhfa’), ungkapan langsung (idzhar), sindiran

(kinayah), dan sebagainya.29

Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah, dalam al-Qur’an

banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqah. Dalam hal ini

28 M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 189. 29 Abd al-Fattah Lasyin, al-Bayan fi Dlau’i Asalib al-Qur’an, Dar al-Ma’arif, Beirut,

1985, hlm. 129. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op. cit., hlm. 75-76.

Page 19: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

32

haqiqah dimengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna apa

adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz

dalam al-Qur’an berarti mayoritas ungkapan kalimat dalam al-Qur’an

merupakan kebohongan, karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya.

Ketika majaz dipahami sebagai bentuk kebohongan, maka semua kata

kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan adalah salah. Juga

dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon tumbuh

besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya.

Konsep majaz berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli

gramatika dan ahli filologi yang bernama Sibawaihi (w. 180 H). Ia

menyatakan bahwa majaz adalah seni bertutur yang memungkinkan

terjadinya perluasan makna. Tokoh gramatik lainnya yang juga

memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah al-Mubarrad (w.

286 H), ia mengatakan majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi

untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn

Jinni (w. 392 H), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz.

Ia mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqah, dan makna haqiqah

adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah

sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna

lainnya. Dan tidak ketinggalan, al-Qadi Abd Jabbar (w. 417 H), seorang

teolog beraliran Mu’tazilah mengatakan, majaz adalah peralihan makna

dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya yang lebih luas.

Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat terjadinya

ungkapan majazi, dengan begitu Abd Jabbar membagi dua model majaz,

yaitu majaz dalam konvensi dan majaz dalam maksud penutur.30

Selanjutnya, seorang ulama yang bernama Abd al-Qahir al-Jurjani

(w. 471 H) melalui penalaran dua konsep yakni majaz versus haqiqah, ia

mengatakan bahwa sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau

makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan

haqiqah. Sedangkan majaz adalah ketika seseorang mengalihkan makna

30 M. Nur Kholis Setiawan, op. cit., hlm. 199.

Page 20: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

33

dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu, atau ia bermaksud

melebarkan medan makna dari makna dasarnya.

Secara teoritik, menurut al-Jurjani majaz adalah peralihan makna

dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju

yang konotatif. Secara implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian

majaz mufrad, yakni majaz dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan

jenis majaz yang kedua yaitu majaz dalam kalimat. Pembagian ini

dilandasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa merangkai majaz baik

dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat. Dan penggunaan

ini sangat bergantung pada konteksnya.31

Termasuk kategori ungkapan majaz yang pernah berkembang di

kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybih. Istilah tasybih pertama

kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H) dan Ibn al-Mu’taz (w. 296

H), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra’ dan Abu

Ubaidah, namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan

dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayan. Al-Jahiz

(w. 255 H) misalnya, meskipun dalam banyak karya ia tidak menjadikan

tasybih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan

mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan

ungkapan al-Qur’an.32

Al-Mubarrad (w. 285 H) dalam karyanya yang berjudul al-Kamil

memberikan ulasan tentang tasybih. Uraian al-Mubarrad dinilai oleh para

kritikus sastra kontemporer sebagai sumbangan yang sangat berarti

terhadap perkembangan tasybih dalam diskursus retorik Arab. Ia

berpendapat, tasybih merupakan seni bertutur yang paling sering dipakai

dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybih telah dilakukan oleh

Ibn Abi Awn (w. 323 H), di mana ia tidak saja membahas tasybih secara

komprehensif, melainkan juga pelbagai macam syair semenjak era klasik

sampai era Abbasiyah. Dalam karyanya al-Tasybihat, ia menempatkan

31 M. Nur Kholis Setiawan, Ibid., hlm. 202. 32 Fadlal Hasan Abbas, al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha, Dar al-Furqan, Aman,

1987, hlm.18. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, op.cit, hlm. 78-79.

Page 21: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

34

ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan basis keindahan serta

kesempurnaan kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi kajian tasybih secara

spesifik sebagai elemen ilmu bayan dalam kerangka sebagai dogma

kei’jazan al-Qur’an baru diangkat oleh al-Rummani (w. 386 H). Diban-

dingkan para sarjana sebelumnya, al-Rummani bukan saja membahas

tasybih pada tataran teoritis tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur’an

bisa dilacak keindahan sastranya melalui tasybih. Embrio pemikiran

tasybih di atas kemudian disempurnakan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani (w.

471 H), di mana ia lebih menjelaskan perbedaan antara tasybih dan

tamstil.

Berkenaan dengan kajian tasybih maka pada tahapan berikutnya

memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti’arah. Ia merupakan

pengembangan dari tasybih, hanya saja perbedaannya kalau isti’arah

harus salah satu dari tharafan tasybih yang muncul. Sastrawan Arab

pertama kali menggunakan istilah isti’arah adalah Abu Amr bin al-’Auf

(w. 154 H), kemudian diikuti oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H), al-Mubarrad

(w. 285 H), Tsa’lab (w. 291 H), Qadamah (w. 337 H), al-Jurjani (w. 366

H), al-Rumani (w. 384 H), Abu Hilal (w. 395 H), Ibn Rusyd (w. 463 H),

dan Abd al-Qahir (w. 471 H), dan kemudian disempurnakan sehingga

menjadi bagian dari ilmu al bayan pada masa al-Sakaki (w. 626 H).33

Al-Qur’an menggunakan isti’arah bukan hanya sekedar sebagai

proses peminjaman kata, seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab,

tetapi juga meminjam persamaan yang bisa dicerna secara nalar, atau

sebagai persamaan yang diambil berdasarkan kemiripan akal. Sehingga

prinsip peminjaman dalam al-Qur’an ini dimaksudkan untuk menarik

perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an sebagai resiptornya.

Selain tasybih dan isti’arah tema lain yang menjadi perbincangan

adalah kinayah. Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w.

207 H), al-Farra’ (w. 210 H) dan al-Jahiz (w. 255 H). Penggunaan

33 Abd al-Fattah Lasyin, op. cit, hlm. 160. Lihat dalam A. Muzakki dan Syuhadak, Ibid.,

hlm. 80.

Page 22: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

35

kinayah banyak dilakukan oleh mereka dalam hubungannya dengan ayat-

ayat al-Qur’an. Hanya saja konsep yang mereka kembangkan belum di-

temukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan kritik

sastra Arab. Mereka menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat

penjelasan tanpa memasuki kepada kajian yang bersifat teoritis.

Selain al-Mubarrad (w. 258 H), adalah al-Jurjani (w. 471 H) yang

juga pernah melakukan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar

dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti’arah, tasybih dan

matsal sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan al-

Jurjani ini selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna

dan makna dari makna. Makna adalah isi dari kosa kata yang bisa

dipahami seseorang tanpa melalui perantara. Sedangkan makna dari

makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan langsung dari bunyi

sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat tersebut di

antaranya adalah isti’arah, tasybih, matsal, dan kinayah.

C. Persinggungan Majaz Dengan Ta’wil

Setelah kita memahami dua pembahasan pokok mengenai majaz di

atas, yakni mengenai paradigma pengalihan makna bahasa dari makna

denotatif (haqiqah) ke makna metafora (majaz), dan sejarah perkembangan

majaz dalam tradisi Islam. Dari kedua pembahasan di atas kita dapat

menemukan sebuah kongklusi bahwa pengertian majaz secara sederhana

dapat diartikan sebagai sebuah kalimat bisa memiliki arti yang melampaui

batas-batas leksikal dan gramatikalnya, sebagaimana ayat-ayat kejisiman

Allah swt dalam al-Qur’an. Dengan demikian, majaz tidak lagi terpaku pada

makna dasar yang dimiliki kalimat tersebut. Oleh karenanya, menurut hemat

penulis, pada hakikatnya majaz lebih dekat bersinggungan dengan ta’wil,

mengapa?

Berbagai alasan kiranya pantas untuk disodorkan disini. Pertama;

dimana antara keduanya memiliki korelasi yang sama, yaitu sama-sama

mencari makna bathin dan melampaui batas-batas leksikal dan gramatikal

Page 23: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

36

suatu ayat atau kalimat. Kita telah mengetahui sebuah fakta bahwa al-Qur’an

mengandung banyak sisi, bahasa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip

majazi yang terkadang berbeda dengan prinsip-prinsip nalar burhani. Secara

umum fakta semacam ini telah kita dengan dalam bentuk ungkapan bahwa

al-Qur’an memiliki ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, terjadi

kontradiksi antara teks dan nalar. Dalam hal ini nalar Islam dituntut untuk

menyelesaikan problem ini. Para ahli balaghah kemudian menciptakan

konsep majaz untuk mengungkapkan kekhasan bayan al-Qur’an, sementara

ulama ahli kalam menciptakan konsep ta’wil untuk menghilangkan

kontradiksi antara teks dan nalar, dimana ta’wil berfungsi mengembalikan

signifikansi yang hilang setelah al-Qur’an menggunakan bahasa yang bersifat

metaforis (menggunakan bahasa yang tidak sesuai aslinya). Bahkan majaz

dan ta’wil menjadi perhatian utama ulama kalam karena menjadi landasan

pembahasan-pembahasan kalam.34

Kedua; selain alasan di atas, secara umum, ta’wil memang berbeda

dengan tafsir. Ta’wil bisa dipahami sebagai sebuah kerja interpretasi

bathiniyah (esoteric exegese) yang berkaitan dengan penafsiran makna bathin

dan dimensi metaforis al-Qur’an. Ta’wil justru mengacu pada makna teks

yang bersifat bathiniyah dan transendental. Yang signifikan bukan lagi

bahasa teks maupun konteks historisnya, akan tetapi sebuah makna

bathiniyah yang merupakan makna terdalam sebuah teks. Makna bathiniyah

ini seringkali melampaui makna bahasa. Sementara tafsir berkaitan dengan

interpretasi eksternal (exoteric exegese).35

34 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Sunarwoto Dema (terj.), LKiS, Yogyakarta, 2003,

hlm. 44. 35 Lihat, Ilham B Seanong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an

Menurut Hassan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002, hlm. 63-64.

Page 24: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

37

Lebih lanjut, jika kita mengaitkan ta’wil dengan epistemologi Islam

yang dilontarkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri36 maka kita akan

menemukan perbedaan struktur epistemologis di antara keduanya. Sebagai

metodologi interpretasi al-Qur’an, tafsir sangat dipengaruhi oleh beberapa

aspek metodologis dari Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh al-Syafi’i. Di

sini fiqih dan tafsir saling bersinggungan, sebab meskipun keduanya

memiliki perbedaan dalam objek formal, namun keduanya berada pada

kerangka epistemologi yang sama, yakni epistemologi al-bayan yang objek

materialnya adalah al-Qur’an. Karena itu, dalam struktur epistemologi ilmu-

ilmu keislaman, tafsir masuk dalam wilayah epistemologi bayani.37

Sementara dasar-dasar epistemologi ta’wil justru dapat dirujuk pada

pemikiran al-Ghozali, bahkan jauh sebelum munculnya sufisme teoritik yang

dikembangkan dalam filsafat illuminasi (al-Isyraqiyah). Berangkat dari

proyek revitalisasi ilmu-ilmu agama (Ihya ‘Ulumuddin), al-Ghozali telah

mengembangkan suatu konsep teks berdasarkan pendirian teologi

Asy’ariyyah mengenai al-Qur’an sebagai sifat Zat dan bukan perbuatannya.

Dimensi sufistik dalam pemikiran al-Ghozali ini telah membantu

memperluas konsep pemilihan antara sifat qadim dan sifat hadits kalam ke

dalam dualisme lain berupa pembagian antara “yang lahir” dan “yang bathin”

dalam melihat teks al-Qur’an.38

Dualisme ini kemudian diterapkan pula dalam memahami struktur al-

Qur’an yang terbagi ke dalam dimensi lahir dan bathinnya. Dualisme ini

bukan semata-mata pada pembagian makna dan dalalah-nya, sebagaimana

yang populer dalam dunia sufi, tetapi juga pada taraf rangkaian dan struktur

teks. Yang bathin adalah inti dan substansi yang dikandung teks, sementara

36 Muhammad Abid al-Jabiri dengan proyek besarnya “Kritik Nalar Arab” menemukan

beberapa formasi Nalar Arab yang kemudian sangat mempengaruhi bangunan pemikiran Islam secara keseluruhan di belahan dunia Islam. Formasi Nalar Arab menurut al-Jabiry terbagi atas tiga formasi yaitu: Nalar Bayani, Nalar Burhany, dan Nalar Irfany. Nalar di sini dipahami sebagai epistemologi pemikiran.

37 Ilyas Supena, Membongkar Hegemoni Teks Dalam Tradisi Pemikiran Hukum Islam, Jurnal al-Ahkam, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Volume XVI/Edisi I/April 2005, hlm. 67.

38 Ilyas Supena, Ibid., hlm. 67.

Page 25: MAJAZ DALAM TRADISI PEMIKIRAN ISLAM A. Paradigma ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · dilepaskan dari konteks sejarah Arab di mana al-Qur’an diturunkan

38

yang lahir, berupa bahasa kalam adalah kemasan luar yang membungkus teks

dan melaluinya teks tampak komunikatif bagi pemikiran manusia. Pemilihan

dimensi bathin dan lahir dalam kalam Tuhan ini menggambarkan struktur

epistemologi ta’wil yang merupakan bagian dari epistemologi al-Irfân.39

Perbedaan struktur epistemologi di antara keduanya pada akhirnya

membawa pula pada perbedaan metodologis. Jika dalam ta’wil dikenal istilah

tafsir bil Isyari dan tafsir al-bathini, maka dalam tafsir dikenal istilah tafsir

bi riwayah (bil ma’tsur) dan tafsir bi dirayah (tafsir bil ra’yi).40 Pada

perkembangannya, tafsir seringkali dikaitkan dengan ilmu al-Qur’an yang

lain semisal ilmu nasikh-mansukh, asbab al-Nuzul, muhkamat- mutasabihat,

‘Am-khas, dll. Semua itu nampaknya dikaitkan dengan fungsi-fungsi ilmu

tersebut sebagai instrumen mediator bagi kerja-kerja penafsiran. Sementara

ta’wil pada perkembangannya menunjukkan penekanan pada proses refleksi,

ijtihad (dirayah) dalam proses penafsiran, oleh karenanya mensyaratkan

adanya gerak nalar (mental intelektual).41 Selain itu ta’wil justru memberikan

prioritas yang besar pada kesadaran intuitif mufassir.

39 Menurut al-Ghazali, kalam illahi adalah sifat qadim zat yang harus dibedakan dari

penampakannya (tajalli) dalam bentuk al-Qur’an yang dibaca sebagai teks. Teks yang dapat dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam mushaf hanya merupakan penuturan sifat kalam yang qadim. Lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm 67-68.

40 Penjelasan selengkapnya lihat Ilyas Supena, Ibid., hlm. 70-71. 41 Ilham B. Seanong, op. cit., hlm. 62-63.