32
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Unsur-Unsur Dalam Air Laut Dan Salinitas”. Salam dan salawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang merupakan tauladan bagi kaum muslimin dimuka bumi ini. Walaupun berbagai macam tantangan yang dihadapi, tapi semua itu telah memberikan pengalaman yang berharga untuk dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian. Makassar, April 2012 Penyusun

Makalah air

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-

Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Unsur-Unsur Dalam

Air Laut Dan Salinitas”. Salam dan salawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang

merupakan tauladan bagi kaum muslimin dimuka bumi ini. Walaupun berbagai macam

tantangan yang dihadapi, tapi semua itu telah memberikan pengalaman yang berharga untuk

dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan

tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari

Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk

penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan

untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Makassar, April  2012

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………..i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………ii

Daftar Isi………………………………………………………………………………...iii

BAB I  PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang…………………………………………………………………1

B.   Rumusan Masalah…………………………………………………………….1

C.   Tujuan Penulisan……………………………………………………………...2

BAB II PEMBAHASAN

A.   Teori Asal-Usul Garam-Garam di Laut…………………………………….3

B.   Devenisi Salinitas……………………………………………………………..4

C.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas…………………………….4

D.   Sebaran Salinitas Di Laut……………………………………………………6

E.    Model Salinitas………………………………………………………………...9

F.    Hubungan Densitas Ikan Dan Salinitas………………………………….10

G.   Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku

Dan Kelimpahan Ikan………………………………………………………..11

H.   Penentuan Nilai Salinitas…………………………………………………..15

I.      Desalinisasi………………………………………………………………..…16

BAB III  PENUTUP

A.   Kesimpulan……………………………………………………………………20

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..21

BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Sumber air terbanyak di bumi ini adalah air laut, namun untuk sampai pada tahap

penggunaan sehari-hari tidak bisa langsung digunakan harus melalui pengolahan terlebih

dahulu, mengingat salinitas air laut sangat tinggi. HYDRO sea water membran dapat

mengubah air laut dengan salinitas tinggi menjadi air tawar untuk penggunaan sehari-hari.

Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan

partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut

(seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi

maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya

serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat

ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan

tekanan osmosis.

Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%),

sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%)

teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama

garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi

lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.

B.           Rumusan Masalah

1.            Bagaimana  asal-usul garam-garam di laut ?

2.            Apa pengertian Salinitas ?

3.            Apa faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?

4.            Bagaimana sebaran salinitas dilaut ?

5.            Bagaimana model salinitas ?

6.            Apa dan bagaiman hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?

7.            Apa pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan kelimpahan ikan ?

8.            Bagaiman cara menentukan nilai salinitas ?

9.            Apa devenisi desalinisasi ?

C.           Tujuan Penulisan

1.            Untuk mengetahui  asal-usul garam-garam di laut ?

2.            Untuk mengetahui pengertian Salinitas ?

3.            Untuk mengetahui  faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?

4.            Untuk mengetahui  sebaran salinitas dilaut ?

5.            Untuk mengetahui  model salinitas ?

6.            Untuk mengetahui hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?

7.            Untuk mengetahui pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan

kelimpahan ikan ?

8.            Untuk mengetahui  cara menentukan nilai salinitas ?

9.            Untuk mengetahui devenisi desalinisasi ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.           Teori Asal-Usul Garam-Garam Di Laut

Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang menyebabkan air laut asin berasal dari

darat yang dibawa oleh sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah itu dari pengikisan batu-

batuan darat, dari tanah longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya, yang terbawa

oleh air sungai ke laut. Jika hal ini benar tentunya susunan kimiawi air sungai tidak akan

berbeda dengan susunan kimiawi air laut.

Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari dalam dasar laut melalui proses outgassing,

yakni rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut.

Bersama gas-gas ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama garam-garam

ini merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam di

laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang masa. Artinya kita tidak menjumpai

bahwa air laut makin lama makin asin.

Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang kadarnya diukur dengan istilah salinitas

dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni:

1. Konstituen utama          : Cl, Na, SO4, dan Mg.

2. Gas terlarut                   : CO2, N2, dan O2.

3. Unsur Hara                   : Si, N, dan P.

4. Unsur Runut                 : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.

Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat terlarut dalam air laut, sedangkan

sisanya 0,3% terdiri dari ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun kelompok zat

terakhir ini sangat kecil persentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan di laut.

Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas kehidupan di laut.

Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung butiran-butiran halus dalam suspense.

Sebagian dari zat ini akhirnya terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya

diurai oleh bakteri menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis.

B.           Definisi Salinitas

Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat

mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau,

sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air

tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika

lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3

sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.

C.           Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas

1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka

salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya,

maka daerah itu rendah kadar garamnya.

2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air

laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan

tinggi.

3.    Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang

bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin

sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa

danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut

umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%. Walaupun

kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda

kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk

Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana

suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari

sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.

Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase garam terlarut

Salinitas Air Berdasarkan Persentase Garam Terlarut

Air Tawar Air Payau Air Saline Brine

< 0.05 % 0.05 – 3 % 3 – 5 % > 5 %

Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari

organisme hidup, dan gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air

laut adalah klorida (55,04%), natrium (30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium

(1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida,

asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di laut adalah

pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal

(hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air

laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi

maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya

serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat

ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan

tekanan osmosis.

Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut. Karena mengandung garam,

titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang bersalinitas 35 %o titik

bekunya -1,9 0C), sementara kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan

maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat penting sebagai penggerak

pertukaran massa air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk

dan tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas.

Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air

laut yang dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa halida-halida

terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari elemen-elemen terlarut. Dalam

oseanografi, halinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam “bagian perseribu”

(parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam untuk

setiap liter larutan.

Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada

rasio konduktivitas elektrik sampel terhadap “Copenhagen water”, air laut buatan yang

digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas

dalam Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air

laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan

bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.

Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion utama antara air laut dan air sungai

NAMA UNSUR % jumlah berat seluruh gram

AIR LAUT AIR SUNGAI

Klorida 55,04 5,68

Natrium 30,61 5,79

Sulfat 7,68 12,14

Magnesium 3,69 3,41

Kalsium 1,16 20,29

Kalium 1,10 2,12

Bikarbonat 0,41 -

Karbonat - 35,15

Brom 0,19 -

Asam borak 0,07 -

Strontium 0,04 -

Flour 0,00 -

Silika - 11,67

Oksida - 2,75

Nitrat - 0,90

D.           Sebaran Salinitas di Laut

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,

penguapan, curah hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala dapat

mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air

tawar yang relatif lebih ringan  dan air laut yang lebih berat, juga pengadukan air sangat

menentukan.

Pertama adalah perairan dengan stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air

tawar merupakan lapisan yang tipis di permukaan sedangkan di bawahnya terdapat air laut.

Ini bisa ditemukan di depan muara sungai yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-

surut kecil. Nelayan atau pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat kehabisan air

tawar kadang-kadang masih dapat menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan

menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai besar.

Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini terjadi karena adanya gerak pasang-

surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi pertukaran air

secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan air laut merayap

masuk dari bawah. Antara keduanya terjadi percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis

yang menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai arah yang condong ke luar. Keadaan

semacam ini juaga bisa dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.

Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas

hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung

intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar.

Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya

terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang

menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya.

Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi

oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa

ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas

minimum dengan metode inti (core layer method).

Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub)

rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah

subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS), salinitas di

permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di

kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah

secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan

lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

1.    Dinamika Salinitas di Daerah Estuaria

Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut,

sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria dapat

terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut yang

naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh

sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian

terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas,

dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:

a)    Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan

menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri

fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.

b)   Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan

khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

c)   Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas

mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.

d)   kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air

tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

2.   Sifat-sifat Ekologis

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik

menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu.

Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah

estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar

masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih

rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung

‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut

‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge estuary).

Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai

‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah,

seperti di daerah gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih

tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut

sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan

mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya

berbentuk kebalikan daripada “estuaria positif’’.

Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan

salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar

estuaria.

Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis,

salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya

berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik

dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang

terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya

berlangsung dengan lamban.

E.             Model Salinitas

”Model Salinitas” adalah suatu penggambaran atas kadar garam yang terdapat pada air, baik

kandungan atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah dimungkinkan terdapat perbedaan

”model salinitas”nya.

Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan musim. Ke arah darat, salinitas muara

cenderung lebih rendah. Tetapi selama musim kemarau pada saat aliran air sungai berkurang,

air laut dapat masuk lebih jauh ke arah darat sehingga salinitas muara meningkat. Sebaliknya

pada musim hujan, air tawar mengalir dari sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar

sehingga salinitas air di muara menurun.

Perbedaan salinitas dapat mengakibatkan terjadinya lidah air tawar dan pergerakan massa di

muara. Perbedaan salinitas air laut dengan air sungai yang bertemu di muara menyebabkan

keduanya bercampur membentuk air payau. Karena kadar garam air laut lebih besar, maka air

laut cenderung bergerak di dasar perairan sedangkan air tawar di bagian permukaan. Keadaan

ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air di muara.

Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu sungai membawa mineral, bahan

organik, dan sedimen ke perairan muara. Di samping itu, unsur hara terangkut dari laut ke

daerah muara oleh adanya gerakan air akibat arus dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang

terbawa ke muara merupakan bahan dasar yang diperlukan untuk fotosintesis yang

menunjang produktifitas perairan. Itulah sebabnya produktifitas muara melebihi produktifitas

ekosistem laut lepas dan perairan tawar. Lingkungan muara yang paling produktif di jumpai

di daerah yang ditumbuhi komunitas bakau.

F.            Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas

Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian utara hingga bagian tengah perairan,

dan massa air tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di bagian selatan dan bagian

utara dekat pantai. Kondisi ini mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok ikan

yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9 ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan

salinitas antara 29,36-31,84 %, dan densitas 0,4 ikan/mł di bagian utara  dengan salinitas

29,97-32,59 % . Densitas ikan tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8 ikan/mł)

ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥31,5 % yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian

selatan, densitas ikan tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł ditemukan pada daerah dengan

salinitas ≤30,0 %. Pola pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman, dengan nilai

yang makin bertambah sesuai dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman 15-25

m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari 32 %, dan konsentrasi densitas ikan

ditemukan lebih dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada konsentrasi salinitas

≤31,5 %. Konsentrasi ikan yang ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥32,0 %, yaitu di

bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3 ikan/mł.

Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai kisaran salinitas yang hampir sama

yaitu 31,43-32,53 % dan 31,77-32,73 %, dengan distribusi densitas ikan lebih banyak

ditemukan pada daerah dengan salinitas 32,0-32,5 % yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan

kelompok ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1 ikan/mł banyakditemukan pada perairan

dengan salinitas ≤32,0 %. Pada lapisan kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas ikan makin

berkurang. Densitas tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau rata-rata densitas

ikan yang ditemukan di bawah 0,1 ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang

terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan berukuran kecil. Dimana lebih condong

terkonsentrasi pada daerah permukaan dan dekat pantai.

G.           Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan.

1. Suhu air laut

Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu

sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali

dan memilih range suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas

secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Pengaruh

suhu terhadap ikan adalah dalam proses vertikall, seperti pertumbuhan dan pengambilan

makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh

suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat

mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan

arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang menentukan

“kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang paling penting

secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim

pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut.

Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan

(spawning ground) dan fishing ground secara vertikal.

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi

matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman

kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar

28°C) yang ertical. Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal.

Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di

perairan dangkal lapisan vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat

terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat

yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah

seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai

lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis,

secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di

bawah termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.

Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan

gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan

dalam naik ke lapisan atas.jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh

pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun

secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.

Kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia mencapai 120 meter. Menuju ke selatan di

daerah arus equatorial selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.

2.    Pengaruh arus

Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus

dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ

mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptoradalah

reseptor yang ada pada vertikal yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis

dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu

mengarah menuju arus. Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas

antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan

divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya

sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan

ikan pada kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada

pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah

antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam

arus eddi (melalui rantai makanan).

3.    Pengaruh cahaya

Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun vertikal. Banyak ikan yang tertarik pada

cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan.

Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada

beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara umum, sebagian besar ikan

pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan

ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah matahari terbit.

Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan

menyebar pada kolom air pada malam hari.

Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya yang

tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya juga mempengaruhi

daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi

organik yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi

tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada

malam hari dibandingkan pada siang hari.

4.    Upwelling

Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan.

Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat

hara yang vertikal permukaan. Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk.

Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean

ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan

selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.

Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di

bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah

pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada

lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa

air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini

terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.

Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin

darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan

pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi

dengan massa air di bawahnya.

Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena terjadinya

proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang suhunya

lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti

fosfat dan nitrat naik ke permukaan. Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan

produksi plankton yang tinggi.

Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi upwelling. Proses terjadinya

upwelling tersebut disebabkan karena pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores

bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi

demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat

terseret oleh aliran tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke

atas. Proses air naik di Selat Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai September

dan berkaitan erat dengan sistem arus. Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai

suhu tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang

lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang

lebih tinggi.

Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari lapisan bawah dengan suhu

rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang tinggi.  Keadaan ini mengakibatkan air laut di

lapisan permukaan memiliki suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan massa air laut sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa

air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara vertical maupun horizontal sangat

membantu dalam menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu perairan. Pola-pola

sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh

massa air yang terangkat. Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang

dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan.

Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan

zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang

perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat erat

kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses air naik selalu dihubungkan

dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan

meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut. Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di

Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali,

dan diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan

Teluk Bone. Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil

terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat musiman

terjadi pada Musim Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat

antara upwelling dan musim.

H.           Penentuan Nilai Salinitas

Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang adalah rasanya yang

asin. Ini disebabkan karena di dalam air laut terlarut bermacam-macam garam, yang paling

utama adalah garam natrium korida (NaCl) yang sering pula disebut garam dapur. Selain

garam-garam korida, di dalam air laut terdapat pula garam-garam magnesium, kalsium,

kalium dan sebagainya. Dalam literatur oseanologi dikenal istilah salinitas (acapkali pula

disebut kadar garam atau kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua garam

(dalam garam) yang terlarutdalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (per

mil, gram per liter).

Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika. Secara  kimia

untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung jumlah kadar klor dalam

sample air laut. Hal ini dilakukan karena sangat susah untuk menentukan salinitas senyawa

terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu hanya dilakukan peninjauan pada komponen

terbesar yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah

dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh

klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan

klorida.

Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-bahan terlarut

dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan

yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi. Selanjutnya

hubungan antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar

laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai: S

(o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per

seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu

kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar

0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik perhatian dan

menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan untuk pengukuran

laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan untuk mengulang

kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan

definisi baru yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus: S (o/oo) = 1.80655 Cl

(o/oo) (1969) Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil

yang sama dengan definisi sebelumnya.

Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan salinitas dari pengukuran

konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun 1978, didefinisikan suatu

satuan baru yaitu Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai

rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio

dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15oC dan tekanan satu standar

atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324356

pada temperatur dan tekanan yang sama. Rumus dari definisi ini adalah: S = 0.0080 – 0.1692

K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 Sebagai catatan: dari

penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio, maka satuan o/oo

tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan praktis. Beberapa

oseanografer menggunakan satuan “psu” dalam menuliskan harga salinitas, yang merupakan

singkatan dari “practical salinity unit”. Karena salinitas praktis adalah rasio, maka sebenarnya

ia tidak memiliki satuan, jadi penggunaan satuan “psu” sebenarnya tidak mengandung makna

apapun dan tidak diperlukan.

Kemudian untuk menghitung nilai salinitas secara fisik adalah ini untuk menentukan salinitas

melalui konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip

konduktivitas. Salah satu alat yang paling popular untuk mengukur salinitas dengan ketelitian

tinggi ialah salinometer yang bekerjanya didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar

salinitas, makin besar pula daya hantar listriknya. Selain itu telah pula dikembangkan pula

alat STD (salinity-temperature-depth recorder) yang apabila diturunkan ke dalam laut dapat

dengan otomatis membuat kurva salinitas dan suhu terhadap kedalaman di lokasi tersebut.

I.              Desalinisasi

Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam

terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Proses desalinasi

melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk

bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya

merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan

untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses desalinasi

adalah brine. Brine adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam

terlarut).

Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama dan paling umum digunakan.

Distilasi adalah metode pemisahan dengan cara memanaskan air laut untuk menghasilkan uap

air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses

distilasi yang umum digunakan, seperti multistage flash, multiple effect distillation, dan vapor

compression umumnya menggunakan prinsip mengurangi tekanan uap dari air agar

pendidihan dapat terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa menggunakan panas

tambahan.

Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan membran. Terdapat dua tipe membran

yang dapat digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse osmosis (RO) dan electrodialysis

(ED). Pada proses desalinasi menggunakan membran RO, ialah sebuah istilah teknologi yang

berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam sel hidup di mana

molekul “solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah

“solute” tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”. Membran “semipermeable” ini

menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang mirip atau

bagian dari membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang

seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses

pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui sebuah membran

ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan

osmotik.

Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong sebuah solusi melalui filter

yang menangkap “solute” dari satu sisi dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi

satunya. air pada larutan garam dipisahkan dari garam terlarutnya dengan mengalirkannya

melalui membran water-permeable. Permeate dapat mengalir melalui membran akibat adanya

perbedaan tekanan yang diciptakan antara umpan bertekanan dan produk, yang memiliki

tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa umpan selanjutnya akan terus mengalir melalui

sisi reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak melalui tahap pemanasan ataupun

perubahan fasa. Kebutuhan energi utama adalah untuk memberi tekanan pada air umpan.

Desalinasi air payau membutuhkan tekanan operasi berkisar antara 250 hingga 400 psi,

sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan operasi antara 800 hingga 1000 psi.

Dalam praktiknya, umpan dipompa ke dalam container tertutup, pada membran, untuk

meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih dapat mengalir melalui membran, sisa

umpan dan larutan brine menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk mengurangi konsentrasi

garam terlarut pada larutan sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil dari container

untuk mencegah konsentrasi garam terus meningkat.

Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu:

1.            Pretreatment: Air umpan pada tahap pretreatment disesuaikan dengan membran

dengan cara memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH, dan menambahkan

inhibitor untuk mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh senyawa tetentu, seperti

kalsium sulfat.

2.            Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah melalui

proses pretreatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan salinitas air

umpan.

3.            Separation: Membran permeable akan menghalangi aliran garam terlarut, sementara

membran akan memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya. Efek permeabilitas

membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih, dan

aliran brine terkonsentrasi. Karena tidak ada membran yang sempurna pada proses pemisahan

ini, sedikit garam dapat mengalir melewati membran dan tersisa pada air produk. Membran

RO memiliki berbagai jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow fine fiber

membranes.

4.            Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan membran biasanya membutuhkan

penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat digunakan sebagai air

minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5

hingga mendekati 7.

Dua metode yang paling banyak digunakan adalah Reverse Osmosis (47,2%)  ialah sebuah

istilah teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalm sel

hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah “solute” rendah ke

daerah “solute” tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”. Membran

“semipermeable” ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki

struktur yang mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai

sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat

diartikan proses pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi melalui

sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan

melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong

sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi dan membiarkan

pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. Proses ini telah digunakan untuk mengolah air

laut untuk mendapatkan air tawar, sejak awal 1970-an

BAB III

PENUTUP

A.           Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah “Unsur-Unsur Dalam Air Laut dan Salinitas” yaitu :

1.            Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.

2.            Faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas :

a.    Penguapan

b.    Curah hujan

c.    Banyak sedikitnya sungai yang bermuara dilaut

3.            Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,

penguapan, curah hujan, aliran sungai.

4.            Model Salinitas adalah suatu penggambaran atas kadar garam yang terdapat pada

air, baik kandungan atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah dimungkinkan terdapat

perbedaan ”model salinitas”nya.

5.            Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan:

a.    Suhu air laut

b.    Pengaruh arus

c.    Pengaruh cahaya

d.    upwelling

6.            Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika. Secara 

kimia untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung jumlah kadar klor

dalam sample air laut. Hal ini dilakukan karena sangat susah untuk menentukan salinitas

senyawa terlarut secara keseluruhan.

7.            Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan

garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Proses

desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut),

produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.gewater.com/what_we_do/water_scarcity/desalination.jsp

http://www.oas.org/dsd/publications/Unit/oea59e/ch20.htm#TopOfPage

Nontji, A. , 2007. LAUT NUSANTARA. Jakarta : Djambatan.

Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 2007. BIOLOGI LAUT : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan.

www.oseanografi.blogspot.com/200/07/salinitas-air-laut.html

www.wikipedia.com