19
1 Fitrah Reynaldi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit Universitas Diponegoro Semarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Hak asasi manusia bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3). Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Dalam rangka melindungi hak rakyat dalam bidang kesehatan, pemerintah menetapkan dasar hukum sebagai bentuk usaha memajukan kesejahteraan rakyat dalam bidang kesehatan. Perlindungan tersebut berbentuk suatu peraturan perundang- undangan yaitu Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 4 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan”setiap orang berhak atas kesehatan”, karenanya pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat perlu diwujudkan. Penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan yang berkualitas bertitik tolak pada penyelenggaraan praktik kedokteran yang sangat terkait dengan masalah pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Agar tercipta hubungan hukum yang didasarkan kerjasama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, maka diperlukan adanya persetujuan dari individu yang ditolong. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) berbunyi “setiap tindakan kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tindakan kedokteran dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran

Makalah Aspek Hukum RS

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Aspek Hukum RS

1

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Hak asasi manusia bidang

kesehatan diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal

28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3). Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia tahun 1945 berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Dalam rangka melindungi hak rakyat dalam bidang kesehatan, pemerintah

menetapkan dasar hukum sebagai bentuk usaha memajukan kesejahteraan rakyat dalam

bidang kesehatan. Perlindungan tersebut berbentuk suatu peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 4

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan”setiap orang berhak atas kesehatan”,

karenanya pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh

masyarakat perlu diwujudkan.

Penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan yang berkualitas bertitik tolak

pada penyelenggaraan praktik kedokteran yang sangat terkait dengan masalah

pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Agar tercipta hubungan hukum yang

didasarkan kerjasama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya dalam

pelaksanaan pelayanan kesehatan, maka diperlukan adanya persetujuan dari individu

yang ditolong. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal

45 ayat (1) berbunyi “setiap tindakan kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Persetujuan tindakan kedokteran dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran

Page 2: Makalah Aspek Hukum RS

2

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

diistilahkan sebagai Informed Consent, yang terdapat pada Bab I Pasal 1. Informed

consent berisikan dua hak pasien yang essensiil dalam relasinya dengan dokter. Hak

tersebut adalah hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent. Penjelasan

informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara

jelas dan diberikan langsung pada pasien, seperti yang terdapat dalam Peraturan

Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 7 ayat (1) “penjelasan

tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga

terdekat pasien, baik diminta maupun tidak diminta”. Mengenai hak atas persetujuan

terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 2,

“Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan”.

Pelaksanaan informed consent di berbagai rumah sakit di Indonesia mulai

diperhatikan, hak-hak pasien sebagai health receiver berkembang pesat, mereka kini

telah menuntut pelaksanaan hak-hak yang mereka miliki, mereka mulai berani menilai

dan mengkritik mutu layanan kesehatan yang diterima. Maka dari itu penulis akan

membahas tentang informed consent ditinjau dari aspek medis maupun yuridis didalam

makalah yang berjudul informed consent dan pemenuhan hak pasien.

B. Permasalahan

Terlaksananya informed consent dengan baik dapat menumbuhkan rasa

kepercayaan masyarakat terhadap dokter serta pelayan medis di Rumah Sakit, namun

bagaimana informed consent jika dilihat dari aspek medis dan yuridis terhadap

pemenuhan hak pasien?.

Page 3: Makalah Aspek Hukum RS

3

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Menurut Jacobalis (2005) Informed terkait dengan informasi atau penjelasan,

consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi, ”izin”. Jadi informed consent

adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk

melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong

bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika

terjadi kesulitan.

Menurut Komalawati dalam Irwandy (2007) informed consent dirumuskan

sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan

dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai

upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi

mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Informed Consent adalah izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari

pasien diperlukan sebelum suatu pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti itu

melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah

terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Sebelum pasien menandatangani formulir

consent, ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa

yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan

pasien tentang alternatif-alternatif yang ada, kemungkinan risiko, komplikasi,

perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan, ketidakmampuan, dan

pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa yang diperkirakan terjadi pada periode

pasca operatif awal dan lanjut ( Brunner & Suddarth, 1996 ).

B. Aspek Yuridis

Istilah informed consent dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008 diterjemahkan menjadi “Persetujuan

Tindakan Kedokteran”, yang terdapat pada Bab I Pasal 1, yaitu persetujuan yang

Page 4: Makalah Aspek Hukum RS

4

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara

lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

terhadap pasien.

Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu :

a. Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan

terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

b. Pasal 2 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diberikan secara tertulis maupun lisan.

c. Pasal 2 ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang

perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

d. Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko

tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh

yang berhak memberikan persetujuan.

e. Pasal 3 ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan

persetujuan lisan.

f. Pasal 3 ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir

khusus yang dibuat untuk itu.

g. Pasal 3 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan

menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.

h. Pasal 3 ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat

dimintakan persetujuan tertulis.

Page 5: Makalah Aspek Hukum RS

5

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

i. Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan

jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan

tindakan kedokteran.

j. Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau

ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya

tindakan.

k. Pasal 5 ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis

oleh yang memberi persetujuan.

l. Pasal 5 ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan

tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)

menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.

m. Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak

menghapuskan tanggung gugatan hukum dalam hal terbukti adanya

kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan

kerugian pada pasien.

2. Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :

a. Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh

pasien harus mendapatkan persetujuan.

b. Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

c. Pasal 45 ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

sekurang-kurangnya mencakup :

1) diagnosis dan tatacara tindakan medis;

2) tujuan tindakan medis yang dilakukan;

3) alternatif tindakan lain dan risikonya;

4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Page 6: Makalah Aspek Hukum RS

6

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang

Penyelenggaraan Praktik Kedokteran :

a. Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara

dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan

kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan

penyakit dan pemulihan kesehatan.

b. Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus

memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang

akan dilakukan.

c. Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus

mendapat persetujuan pasien.

d. Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud

ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

4. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Bab V

tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Pasal 22 ayat (1) huruf c

yang berbunyi : “Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam menjalankan tugas

profesinya berkewajiban :

a. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan.

b. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.

5. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada Bab III tentang

Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien Pasal 11 yang berbunyi : “Rumah

Sakit harus meminta persetujuan pasien (Informed Consent) sebelum

melakukan tindakan medik.

6. KUHPerdata Pasal 1321 bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan

itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Page 7: Makalah Aspek Hukum RS

7

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran dan Penjelasannya.

3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medis.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang

Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.

8. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

C. Aspek Medis

Informasi merupakan dasar dilakukan tindakan yang memerlukan informed

consent, kecuali pada kondisi tertentu yang memungkinkan untuk tidak melakukan

persetujuan pada pasien. Oleh karena pentingnya informasi tersebut, setiap rumah sakit

harus memperhatikan ketentuan pelaksanaan informed consent tersebut. Setiap rumah

sakit harus memperhatikan ketentuan:

1. Pengaturan persetujuan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan

prosedur (Standard Operating Procedure/SOP)

2. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya

memberikan informasi dan penjelasan merupakan kewajiban dokter.

3. Informed consent diberikan untuk tindakan medis yang secara spesifik.

4. Informed consent diberikan tanpa paksaan.

5. Informed consent diberikan oleh seseorang kepada pasien yang sehat mental

dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum.

Page 8: Makalah Aspek Hukum RS

8

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

6. Informed consent diberikan setelah cukup (adekuat) informasi dan penjelasan

yang diperlukan.

Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis maupun lisan.

Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang

mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada

tindakan kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan

bahwa contoh tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau

tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh.

Persetujuan tertulis dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut:

1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau

efek samping yang bermakna.

2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.

3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna

bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.

4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian

Pernyataan IDI tentang informed consent adalah:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa

yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan

tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk

kepentingan pasien sendiri.

2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan

informed consent secara lisan maupun tertulis.

3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan

adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya

pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis

yang bersangkutan serta risikonya.

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan

persetujuan lisan atau sikap diam.

Page 9: Makalah Aspek Hukum RS

9

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta

maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila

dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan

kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada

keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat

dengan pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah

penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang

direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya

diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.

Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial yaitu :

1. Informasi yang diberikan oleh dokter;

2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.

Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan

sebagai berikut :

1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan

medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).

2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak

diinginkan yang mungkin timbul.

3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk

pasien.

4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi / tindakan berlangsung.

5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya

prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.

6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis

tersebut.

Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien

sekurang-kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

Page 10: Makalah Aspek Hukum RS

10

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis ( kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang

paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama

adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed

consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency

care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak

mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari

kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak

mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun

keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka

berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal

ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran , bahwa dalam

keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent.

Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,

khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang

umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent

setara dengan kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan

informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat

kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter

yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :

1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi

dokter tetap melakukan tindakan tersebut.

2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan

akibat dari tindakan medis yang diambilnya.

3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan

medis yang diambilnya.

Page 11: Makalah Aspek Hukum RS

11

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara

substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

Menurut FKUI (2007) Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) dapat

diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

a. Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun

tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau

emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan

menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan Informed Consent.

b. Expresed Consent, yaitu persetujuan tindakan medis yang diberikan secara

eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written). Menurut Sanjoyo

(2007) pasien memiliki hak untuk memperoleh atau menolak pengobatan dan

terdapat beberapa jenis persetujuan antara lain :

a) Ijin langsung (express consent): pasien atau wali segera menyetujui

usulan pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS (bisa lisan

atau tertulis)

b) Ijin secara tidak langsung (implied consent): tindakan pengobatan

dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan

jiwa pasien

c) Persetujuan khusus : pasien wajib mencantumkan pernyataan bahwa

kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi terhadap apa yang

akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada informed consent,

pasien sendiri yang harus menandatangani persetujuan kecuali pasien

tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual atau

reproduksi (suami/istri).

Page 12: Makalah Aspek Hukum RS

12

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

BAB III PEMBAHASAN

A. Aspek Medis

Sebelum dokter melakukan tindakan medik, dokter berkewajiban untuk

memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik

yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta risiko yang mungkin

timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Prosedur tetap

dalam pengambilan tindakan medis yang bersifat tetap dan mengikat adalah adanya

persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medis. Penerimaan dari pasien tersebut

dituangkan dalam bentuk persetujuan pengambilan tindakan medis (informed consent).

Karena informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan medik,

maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan

perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed

consent sangat penting dan diperlukan di Rumah Sakit. Yang menjadi permasalahan

adalah apakah isi dari formulir informed consent itu sudah memenuhi syarat sahnya

perjanjian.

Setiap akan dilakukan tindakan medik, pasien/keluarga yang berhak

memberikan persetujuan selalu dilakukan Informed Consent. Pihak Rumah Sakit dan

tenaga medis yang akan melakukan tindakan medis akan menghormati setiap

keputusan dari pihak pasien atau keluarga untuk menentukan apakah setuju atau

menolak untuk dilakukan tindakan medis. Setelah dilakukan kesepakatan,

pasien/keluarga akan disodorkan formulir sesuai kesepakatan yaitu formulir penolakan

atau formulir persetujuan tindakan medis. Identitas pihak pasien yang menandatangani

persetujuan tindakan medis yang terdiri dari nama, umur/jenis kelamin, alamat serta

bukti diri ( KTP/SIM). Identitas pihak yang melakukan penandatanganan persetujuan

tindakan medis harus lengkap, mengingat apabila terjadi sengketa dibelakang hari

maka jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap persetujuan atau penolakan tindakan

medis tersebut.

Page 13: Makalah Aspek Hukum RS

13

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

1. Tujuan Penjelasan Dalam Informed Consent

Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri

keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Karena itu, pasien

juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk

meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya –

berbeda dengan di masa lalu – tidak boleh merasa tersinggung, apalagi langsung

mengatakan, ”silakan saudara mau ke dokter mana pun, tapi saya tidak bertanggung

jawab lagi”.

Dari uraian diatas maka tujuan memberikan penjelasan dalam informed consent

adalah agar pasien dapat mengerti dan memahami tentang kondisinya sebelum

mengambil suatu keputusan bagi dirinya. Hal tersebut juga memberikan kesempatan

pada pasien untuk mempertimbangkan tentang keputusan yang akan diambil. Pasien

juga dapat mempertimbangkan tentang alternatif lain dan bahkan melakukan second

opinimum. Sungguhpun demikian seorang dokter dituntut tetap memberikan

penjelasan secara etis dengan cara komunikasi yang sebaik-baiknya sehingga pasien

dan keluarganya tidak tersinggung.

2. Kewenangan dan Cara Memberikan Informed Consent

Pada dasarnya informed consent boleh diberikan oleh pasien sendiri jika ia

dewasa dan sadar sepenuhnya. Menurut penjelasan Pasal 45 UU No. 29/ 2004 tersebut

di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau

penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain

suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.

Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan

persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah

memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.

Cara memberikan informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan,

atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent.

Page 14: Makalah Aspek Hukum RS

14

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung membuka baju jika dokter

mengatakan, ”Boleh saya memeriksa saudara?”. Untuk tindakan medis dengan risiko

tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasif lainnya), persetujuan harus secara

tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya

juga saksi dari pihak keluarga.

3. Masa Berlaku Informed Consent

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) (2006) tidak ada satu ketentuan

pun yang mengatur tentang lama keberlakukan suatu persetujuan tindakan kedokteran.

Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh

pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila muncul informasi baru ,

misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien

harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jeda waktu

antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih

baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal

tersebut pasti juga akan membantu pasien terutama bagi mereka yang sejak awal

memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

B. Aspek Yuridis

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,

dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan

kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu

yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi

perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang

dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah “informed consent”

dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode

Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari

ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,

sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Page 15: Makalah Aspek Hukum RS

15

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur

yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan

kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara

umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti

rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah

“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada

pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk

menjatuhkan sanksi pidana.

1. Aspek Hukum Perdata Informed Consent

Informed Consent merupakan alat bukti yang penting dalam hukum perdata,

karena informed consent merupakan bukti tulisan tentang suatu peristiwa dalam hal ini

informed yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya dan ditandatangani oleh pasien

atau yang berhak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disebut akta (akta dibawah

tangan), bahwa akte adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti

tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.

Suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis

(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),

sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,

maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah

melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal

1365 KUHPerdata, yaitu ” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

itu, mengganti kerugian tersebut”. Pelanggaran hukum yang terkait dengan informed

Consent dalam tindakan medis berdasarkan UUPK No. 29 tahun 2004 Pasal 45 (5)

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus

diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan. Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,

sehingga dokter harus menghormatinya. Oleh karena itu tidak memberikan informed

Page 16: Makalah Aspek Hukum RS

16

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

Consent pada suatu tindakan medis yang beresiko tinggi adalah suatu perbuatan

melawan hukum. Hal tersebut sesuai dengan bunyi KUHPerdata Pasal 1233 yaitu ”

Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undangundang,

dan Pasal 1234 yang berbunyi ” Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,

untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Uraian diatas menunjukan bahwa seorang dokter berkewajiban memberikan

informed consent karena terikat oleh Undang-undang, sehingga apabila tidak

memberikan informed consent maka seorang dokter telah melakukan perbuatan

melanggar hukum.

2. Aspek Hukum Pidana Informed Consent

Aspek Hukum Pidana “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan

adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang

penganiayaan antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara

paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam paling

lama penjara selama lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati, diancam penjara paling

lama tujuh tahun. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology

invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak

pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak

pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Page 17: Makalah Aspek Hukum RS

17

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Informed Consent adalah persetujuan, izin atau kesepakatan tindakan medis

oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter setelah memperoleh

informasi dan penjelasan mengenai upaya medis yang akan dilakukan untuk

menolong dirinya serta mendapat penjelasan mengenai risiko yang mungkin

terjadi padanya.

2. Informed Consent dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, persetujuan

secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang mengandung

resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan

kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi.

3. Dalam keadaan gawat darurat, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran , bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan

Informed consent. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent

tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan

dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi.

4. Dalam hubungan hukum, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang

digunakan adalah “kesalahan kecil” sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam

tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata

secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus

memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur

yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”. Oleh karena itu adanya kesalahan

kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai

tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Page 18: Makalah Aspek Hukum RS

18

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

B. SARAN

1. Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang

paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah, maka dari itu meski

dalam keadaan daarurat sekalipun hendaknya setiap tindakan kedokteran harus

mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga pasien.

2. Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang

mengandung resiko tinggi. Walaupun demikian, hendaknya tindakan

kedokteran yang tidak berisiko tinggi pun harus mendapat persetujuan secara

tertulis karena hal tersebut akan menjadi bukti yang kuat secara hukum.

3. Penjelasan atau informasi yang lengkap sangat diperlukan oleh pasien agar

pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri

(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan

medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain

(second opinion), dan dokter yang merawatnya di masa lalu tidak boleh merasa

tersinggung.

Page 19: Makalah Aspek Hukum RS

19

Fitrah Reynaldi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

Universitas Diponegoro Semarang

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medical Bedah. EGC : Jakarta.

FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved September

28, 2013. from http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php.

Guwandi. 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia: Jakarta.

Irwandy, 2007. Mengenal”Informed Consent”. retrieved September, 29, 2013. From

http://irwandykapalawi.wordpress.com.

Jacobalis S. 2005. Informed Consent– Persetujuan Tindakan Medis. Retrieved

September 29, 2013. http://www.sinarharapan.co.id.

Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)

Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Persetujuan Tindakan Medis. Edisi I.

Jakarta : Konsil kedokteran Indonesia.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008.

nomor 1419/Menkes/Per/X/2005

tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran.

nomor 32 tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan Bab V tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum.

Subekti. 1993. Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita : Jakarta.

Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

Undang-undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.