Upload
fitrah-reynaldi
View
40
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Hak asasi manusia bidang
kesehatan diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal
28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3). Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) berbunyi: “negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Dalam rangka melindungi hak rakyat dalam bidang kesehatan, pemerintah
menetapkan dasar hukum sebagai bentuk usaha memajukan kesejahteraan rakyat dalam
bidang kesehatan. Perlindungan tersebut berbentuk suatu peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 4
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan”setiap orang berhak atas kesehatan”,
karenanya pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh
masyarakat perlu diwujudkan.
Penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan yang berkualitas bertitik tolak
pada penyelenggaraan praktik kedokteran yang sangat terkait dengan masalah
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Agar tercipta hubungan hukum yang
didasarkan kerjasama yang baik, kejujuran, serta sikap saling percaya dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan, maka diperlukan adanya persetujuan dari individu
yang ditolong. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
45 ayat (1) berbunyi “setiap tindakan kedokteran dan atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan tindakan kedokteran dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
2
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
diistilahkan sebagai Informed Consent, yang terdapat pada Bab I Pasal 1. Informed
consent berisikan dua hak pasien yang essensiil dalam relasinya dengan dokter. Hak
tersebut adalah hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent. Penjelasan
informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara
jelas dan diberikan langsung pada pasien, seperti yang terdapat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 7 ayat (1) “penjelasan
tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga
terdekat pasien, baik diminta maupun tidak diminta”. Mengenai hak atas persetujuan
terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 2,
“Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan”.
Pelaksanaan informed consent di berbagai rumah sakit di Indonesia mulai
diperhatikan, hak-hak pasien sebagai health receiver berkembang pesat, mereka kini
telah menuntut pelaksanaan hak-hak yang mereka miliki, mereka mulai berani menilai
dan mengkritik mutu layanan kesehatan yang diterima. Maka dari itu penulis akan
membahas tentang informed consent ditinjau dari aspek medis maupun yuridis didalam
makalah yang berjudul informed consent dan pemenuhan hak pasien.
B. Permasalahan
Terlaksananya informed consent dengan baik dapat menumbuhkan rasa
kepercayaan masyarakat terhadap dokter serta pelayan medis di Rumah Sakit, namun
bagaimana informed consent jika dilihat dari aspek medis dan yuridis terhadap
pemenuhan hak pasien?.
3
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Menurut Jacobalis (2005) Informed terkait dengan informasi atau penjelasan,
consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi, ”izin”. Jadi informed consent
adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong
bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika
terjadi kesulitan.
Menurut Komalawati dalam Irwandy (2007) informed consent dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai
upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi
mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Informed Consent adalah izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari
pasien diperlukan sebelum suatu pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti itu
melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah
terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Sebelum pasien menandatangani formulir
consent, ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa
yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan
pasien tentang alternatif-alternatif yang ada, kemungkinan risiko, komplikasi,
perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan, ketidakmampuan, dan
pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa yang diperkirakan terjadi pada periode
pasca operatif awal dan lanjut ( Brunner & Suddarth, 1996 ).
B. Aspek Yuridis
Istilah informed consent dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008 diterjemahkan menjadi “Persetujuan
Tindakan Kedokteran”, yang terdapat pada Bab I Pasal 1, yaitu persetujuan yang
4
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu :
a. Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
b. Pasal 2 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
c. Pasal 2 ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang
perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
d. Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko
tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
e. Pasal 3 ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
f. Pasal 3 ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir
khusus yang dibuat untuk itu.
g. Pasal 3 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan
menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
h. Pasal 3 ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis.
5
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
i. Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan
jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran.
j. Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau
ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya
tindakan.
k. Pasal 5 ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan.
l. Pasal 5 ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
m. Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugatan hukum dalam hal terbukti adanya
kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan
kerugian pada pasien.
2. Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :
a. Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh
pasien harus mendapatkan persetujuan.
b. Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
c. Pasal 45 ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
1) diagnosis dan tatacara tindakan medis;
2) tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3) alternatif tindakan lain dan risikonya;
4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
6
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran :
a. Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
b. Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus
memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang
akan dilakukan.
c. Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus
mendapat persetujuan pasien.
d. Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
4. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Bab V
tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Pasal 22 ayat (1) huruf c
yang berbunyi : “Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam menjalankan tugas
profesinya berkewajiban :
a. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
akan dilakukan.
b. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
5. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada Bab III tentang
Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien Pasal 11 yang berbunyi : “Rumah
Sakit harus meminta persetujuan pasien (Informed Consent) sebelum
melakukan tindakan medik.
6. KUHPerdata Pasal 1321 bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan
itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
7
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Penjelasannya.
3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
8. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
C. Aspek Medis
Informasi merupakan dasar dilakukan tindakan yang memerlukan informed
consent, kecuali pada kondisi tertentu yang memungkinkan untuk tidak melakukan
persetujuan pada pasien. Oleh karena pentingnya informasi tersebut, setiap rumah sakit
harus memperhatikan ketentuan pelaksanaan informed consent tersebut. Setiap rumah
sakit harus memperhatikan ketentuan:
1. Pengaturan persetujuan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan
prosedur (Standard Operating Procedure/SOP)
2. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya
memberikan informasi dan penjelasan merupakan kewajiban dokter.
3. Informed consent diberikan untuk tindakan medis yang secara spesifik.
4. Informed consent diberikan tanpa paksaan.
5. Informed consent diberikan oleh seseorang kepada pasien yang sehat mental
dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum.
8
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
6. Informed consent diberikan setelah cukup (adekuat) informasi dan penjelasan
yang diperlukan.
Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang
mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada
tindakan kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan
bahwa contoh tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau
tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh.
Persetujuan tertulis dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut:
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau
efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian
Pernyataan IDI tentang informed consent adalah:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan
tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk
kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan
informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis
yang bersangkutan serta risikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan lisan atau sikap diam.
9
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada
keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat
dengan pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.
Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter;
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan
sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak
diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk
pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi / tindakan berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya
prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis
tersebut.
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien
sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
10
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis ( kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama
adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed
consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency
care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak
mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari
kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak
mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun
keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka
berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal
ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran , bahwa dalam
keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang
umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent
setara dengan kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan
informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat
kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter
yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya.
11
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
Menurut FKUI (2007) Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a. Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun
tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau
emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan
menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan Informed Consent.
b. Expresed Consent, yaitu persetujuan tindakan medis yang diberikan secara
eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written). Menurut Sanjoyo
(2007) pasien memiliki hak untuk memperoleh atau menolak pengobatan dan
terdapat beberapa jenis persetujuan antara lain :
a) Ijin langsung (express consent): pasien atau wali segera menyetujui
usulan pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS (bisa lisan
atau tertulis)
b) Ijin secara tidak langsung (implied consent): tindakan pengobatan
dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan
jiwa pasien
c) Persetujuan khusus : pasien wajib mencantumkan pernyataan bahwa
kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi terhadap apa yang
akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada informed consent,
pasien sendiri yang harus menandatangani persetujuan kecuali pasien
tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual atau
reproduksi (suami/istri).
12
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
BAB III PEMBAHASAN
A. Aspek Medis
Sebelum dokter melakukan tindakan medik, dokter berkewajiban untuk
memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik
yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta risiko yang mungkin
timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Prosedur tetap
dalam pengambilan tindakan medis yang bersifat tetap dan mengikat adalah adanya
persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medis. Penerimaan dari pasien tersebut
dituangkan dalam bentuk persetujuan pengambilan tindakan medis (informed consent).
Karena informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan medik,
maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan
perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed
consent sangat penting dan diperlukan di Rumah Sakit. Yang menjadi permasalahan
adalah apakah isi dari formulir informed consent itu sudah memenuhi syarat sahnya
perjanjian.
Setiap akan dilakukan tindakan medik, pasien/keluarga yang berhak
memberikan persetujuan selalu dilakukan Informed Consent. Pihak Rumah Sakit dan
tenaga medis yang akan melakukan tindakan medis akan menghormati setiap
keputusan dari pihak pasien atau keluarga untuk menentukan apakah setuju atau
menolak untuk dilakukan tindakan medis. Setelah dilakukan kesepakatan,
pasien/keluarga akan disodorkan formulir sesuai kesepakatan yaitu formulir penolakan
atau formulir persetujuan tindakan medis. Identitas pihak pasien yang menandatangani
persetujuan tindakan medis yang terdiri dari nama, umur/jenis kelamin, alamat serta
bukti diri ( KTP/SIM). Identitas pihak yang melakukan penandatanganan persetujuan
tindakan medis harus lengkap, mengingat apabila terjadi sengketa dibelakang hari
maka jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap persetujuan atau penolakan tindakan
medis tersebut.
13
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
1. Tujuan Penjelasan Dalam Informed Consent
Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri
keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Karena itu, pasien
juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk
meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya –
berbeda dengan di masa lalu – tidak boleh merasa tersinggung, apalagi langsung
mengatakan, ”silakan saudara mau ke dokter mana pun, tapi saya tidak bertanggung
jawab lagi”.
Dari uraian diatas maka tujuan memberikan penjelasan dalam informed consent
adalah agar pasien dapat mengerti dan memahami tentang kondisinya sebelum
mengambil suatu keputusan bagi dirinya. Hal tersebut juga memberikan kesempatan
pada pasien untuk mempertimbangkan tentang keputusan yang akan diambil. Pasien
juga dapat mempertimbangkan tentang alternatif lain dan bahkan melakukan second
opinimum. Sungguhpun demikian seorang dokter dituntut tetap memberikan
penjelasan secara etis dengan cara komunikasi yang sebaik-baiknya sehingga pasien
dan keluarganya tidak tersinggung.
2. Kewenangan dan Cara Memberikan Informed Consent
Pada dasarnya informed consent boleh diberikan oleh pasien sendiri jika ia
dewasa dan sadar sepenuhnya. Menurut penjelasan Pasal 45 UU No. 29/ 2004 tersebut
di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau
penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain
suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Cara memberikan informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan,
atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent.
14
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung membuka baju jika dokter
mengatakan, ”Boleh saya memeriksa saudara?”. Untuk tindakan medis dengan risiko
tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasif lainnya), persetujuan harus secara
tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya
juga saksi dari pihak keluarga.
3. Masa Berlaku Informed Consent
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) (2006) tidak ada satu ketentuan
pun yang mengatur tentang lama keberlakukan suatu persetujuan tindakan kedokteran.
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh
pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila muncul informasi baru ,
misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien
harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jeda waktu
antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih
baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal
tersebut pasti juga akan membantu pasien terutama bagi mereka yang sejak awal
memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.
B. Aspek Yuridis
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah “informed consent”
dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode
Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari
ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,
sepanjang hal itu dapat diterapkan.
15
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
1. Aspek Hukum Perdata Informed Consent
Informed Consent merupakan alat bukti yang penting dalam hukum perdata,
karena informed consent merupakan bukti tulisan tentang suatu peristiwa dalam hal ini
informed yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya dan ditandatangani oleh pasien
atau yang berhak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disebut akta (akta dibawah
tangan), bahwa akte adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.
Suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),
sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata, yaitu ” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”. Pelanggaran hukum yang terkait dengan informed
Consent dalam tindakan medis berdasarkan UUPK No. 29 tahun 2004 Pasal 45 (5)
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan. Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter harus menghormatinya. Oleh karena itu tidak memberikan informed
16
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
Consent pada suatu tindakan medis yang beresiko tinggi adalah suatu perbuatan
melawan hukum. Hal tersebut sesuai dengan bunyi KUHPerdata Pasal 1233 yaitu ”
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undangundang,
dan Pasal 1234 yang berbunyi ” Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Uraian diatas menunjukan bahwa seorang dokter berkewajiban memberikan
informed consent karena terikat oleh Undang-undang, sehingga apabila tidak
memberikan informed consent maka seorang dokter telah melakukan perbuatan
melanggar hukum.
2. Aspek Hukum Pidana Informed Consent
Aspek Hukum Pidana “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam paling
lama penjara selama lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati, diancam penjara paling
lama tujuh tahun. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology
invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak
pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
17
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Informed Consent adalah persetujuan, izin atau kesepakatan tindakan medis
oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter setelah memperoleh
informasi dan penjelasan mengenai upaya medis yang akan dilakukan untuk
menolong dirinya serta mendapat penjelasan mengenai risiko yang mungkin
terjadi padanya.
2. Informed Consent dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, persetujuan
secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang mengandung
resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan
kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi.
3. Dalam keadaan gawat darurat, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran , bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan
Informed consent. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent
tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan
dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi.
4. Dalam hubungan hukum, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus
memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur
yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”. Oleh karena itu adanya kesalahan
kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai
tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
18
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
B. SARAN
1. Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah, maka dari itu meski
dalam keadaan daarurat sekalipun hendaknya setiap tindakan kedokteran harus
mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga pasien.
2. Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang
mengandung resiko tinggi. Walaupun demikian, hendaknya tindakan
kedokteran yang tidak berisiko tinggi pun harus mendapat persetujuan secara
tertulis karena hal tersebut akan menjadi bukti yang kuat secara hukum.
3. Penjelasan atau informasi yang lengkap sangat diperlukan oleh pasien agar
pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan
medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain
(second opinion), dan dokter yang merawatnya di masa lalu tidak boleh merasa
tersinggung.
19
Fitrah Reynaldi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit
Universitas Diponegoro Semarang
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medical Bedah. EGC : Jakarta.
FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved September
28, 2013. from http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php.
Guwandi. 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Irwandy, 2007. Mengenal”Informed Consent”. retrieved September, 29, 2013. From
http://irwandykapalawi.wordpress.com.
Jacobalis S. 2005. Informed Consent– Persetujuan Tindakan Medis. Retrieved
September 29, 2013. http://www.sinarharapan.co.id.
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Persetujuan Tindakan Medis. Edisi I.
Jakarta : Konsil kedokteran Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008.
nomor 1419/Menkes/Per/X/2005
tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran.
nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan Bab V tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum.
Subekti. 1993. Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita : Jakarta.
Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
Undang-undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.