30
MAKALAH CHILDREN’S INTUITIVE PHYSICS Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Dosen Pengampu Dr. Muhammad Nur Wangid OLEH : Ahmad Nur Huda (14712259007) Sartini (14712259020) 0

Makalah Final

  • Upload
    hoeda11

  • View
    34

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH

CHILDREN’S INTUITIVE PHYSICS

Mata Kuliah Perkembangan Peserta DidikDosen Pengampu Dr. Muhammad Nur Wangid

OLEH :

Ahmad Nur Huda (14712259007)Sartini (14712259020)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARPROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2014

0

A. Pendahuluan

Anak-anak pada dasarnya telah memiliki pengetahuan tentang dunia fisik atau fisika,

jauh sebelum mereka mendapatkan pendidikan formal tentang fisika di sekolah. Fenomena-

fenomena yang ada di sekeliling kita, seperti waktu, gaya, dan suhu secara ekologis

merupakan bentuk-bentuk pengetahuan yang relevan dan tepat untuk dimiliki oleh anak-

anak, yang kesemuanya itu memiliki nilai yang penting dalam kelangsungan hidup.

Penelitian tentang intuisi fisika pada anak-anak sudah dilakukan sejak dahulu kala

dalam rangka meneliti dan memahami tentang perkembangan aspek kognitif pada anak-

anak. Pencetus atau pioneer penelitian dalam bidang ini adalah Piaget, dia melakukan

penelitian tentang perkembangan pengetahuan fisika anak-anak pada tahun 1929.

Penemuanya yang sangat luar biasa tentang pemahaman anak-anak pada dunia fisika tidak

hanya membuka kesempatan bagi peneliti lain untuk mempelajarinya lebih lanjut, akan

tetapi ia mampu membangkitkan motivasi bagi para peneliti lain untuk lebih detail dalam

mendalami permasalahan perkembangan pengetahuan fisika pada anak-anak.

Intuisi fisika memiliki cakupan pengetahuan yang luas, termasuk didalamnya terkait

erat dengan psikologi. Dengan mempelajari intuisi fisika, berarti juga telah mempelajari

aspek psikologi pendidikan anak-anak secara umum. Pertanyaan yang muncul terkait

psikologi pendidikan dengan intuisi fisika adalah bagaimana kemampuan pengetahuan kita

dapat diterjemahkan ke dalam konsep buku fisika.

Dalam waktu yang lama kekayaan pengetahuan tentang intuisi fisika pada anak-anak

yang disampaikan Piaget masih belum mendapatkan perhatian yang mendalam dari para

peneliti. Pengembangan pengetahuan anak-anak tentang dunia fisik dipelajari dengan

mengacu pada dugaan struktur konseptual dewasa yang dianggap telah mencerminkan

hukum fisika.

B. Pembahasan

Pada awal tahun 1980, McCloskey (1983) seorang peneliti dari Amerika

mempublikasikan penelitiannya yang berjudul “intuisi fisika” yang mampu mempopulerkan

istilah intuisi fisika pada komunitas ilmiah yang lebih luas. Menurut McCloskey keyakinan

orang dewasa ini adalah merupakan sebuah kesalahpahaman, sehingga membentuk sebuah

rangkaian teori (coherent theory), dalam hal ini terkait dengan sebuah teori gerak yang

muncul pada abad pertengahan. Pada kenyataannya, banyak peneliti menyamakan konsep

pengembangan dan perbaikan keyakinan berdasarkan akal sehat, atau cerita-cerita rakyat

(Carey, 1985; Gopnik &Meltzoff, 1997; Keil, 1989; Vosniadou, Ioannides,

Dimitrakopoulou, & Papademetriou,tahun 2001; Wellman & Gelman, 1998).

1

Terkait dengan penelitian perkembangan aspek kognitif, bahwa mulai meningkatnya

minat atau keinginan untuk meneliti intuisi fisika dengan berfokus pada isu-isu yang ada

dalam teori perkembangan tradisional. Banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan

intuisi fisika yaitu intra variabilitas antar individu (Anderson, 1983), dan (Siegler, 1995)

tentang kemampuan adaptif anak-anak dalam tugas-tugas yang melibatkan intuisi fisika

(Anderson & Wilkening, 1991).

Mungkin yang paling luar biasa, dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi

kebangkitan studi tentang persepsi aspek motorik intuisi fisika pada anak-anak yang jauh

melebihi perkiraan menurut pandangan tradisional, sehingga disebut tahap motorsensori

Sejak awal beberapa penelitian Krist, Fieberg, dan Wilkening (1993) di bidang ini,

menemukan keterkaitan menarik dari sensorimotor, persepsi, dan komponen kognitif

pengetahuan fisika anak-anak. Fokus dalam penelitian ini telah bergeser jauh dari sekedar

mendiagnosis kebenaran atau ketidaktepatan tanggapan, menuju menyelidiki seberapa baik

mereka memahami realitas fisika, dan di mana keadaan perkiraan tersebut

berubah. Tampaknya, dengan demikian, bahwa kekayaan bidang intuisi fisika telah

ditemukan kembali dan menjadi lebih terwakili dalam penelitian kontenporer.

Dalam makalah ini, kami akan memberikan penjelasan tentang kemajuan yang terkait

dengan intuisi fisika pada anak-anak yang mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

Akan dijelaskan secara terpisah dalam beberapa bagian , antara lain yaitu waktu, kecepatan,

kekuatan, massa, dan lain-lain.

1. Waktu dan Kecepatan

Awal mula ketertarikan untuk meneliti konsep waktu dan kecepatan ini berawal dari

pertanyaan Albert Eisntein di tahun 1920, pertanyaannya adalah pada anak-anak konsep

mana yang berkembang terlebih dahulu, apakah konsep mengenai waktu ataukah

kecepatan. Piaget dapat menjawab pertanyaan itu setelah 20 tahun, yaitu pada tahun

1946. Piaget mengungkapkan bahwa konsep kecepatanlah yang berkembang terlebih

dahulu, jika dibandingkan dengan waktu.

Teori tersebut didapat setelah melakukan sebuah percobaan, yaitu dua kereta

bergerak pada dua jalur dengan kecepatan yang sama maupun berbeda, dengan jarak

tempuh yang sama dan juga berbeda. Kemudian anak-anak usia 4 sampai dengan 11

tahun ditanya kereta mana yang tiba dengan waktu paling lama dan dengan kecepatan

paling tinggi.

Setelah Piaget mempublikasikan temuannya tersebut, muncul penelitian baru yang

dilakukan oleh Levin pada tahun 1977 sampai dengan 1982. Dia menunjukkan bahwa

anak-anak memiliki kemampuan untuk membandingkan jangka waktu, asalkan tidak

2

diganggu dengan berbagai hal yang mengintervensi.proses tersebut. Penelitian ini

dilakukan melalui waktu tidur boneka (sleeping times of dolls), atau menyajikan

informasi waktu putaran dalam sebuah gerakan linear.

Sebuah pendekatan yang berbeda dilakukan oleh Wilkening (1981, 1982) untuk

mempelajari kemampuan anak-anak tentang waktu, kecepatan dan jarak yang ditempuh.

Salah satu percobaanya adalah, anak-anak diminta memberikan penilaian tentang

seberapa jauh hewan akan melarikan diri dari anjing yang menggongong dalam berbagai

tingkatan waktu (berapa lama anjing menggonggong) dan seberapa cepat hewan

melarikan diri.

Hasil yang terlihat adalah, pertama dalam aturan aditif perkalian menunjukkan

bahwa dimensi dari mana informasi tersebut terintegrasi secara konsep sebagai variable

yang terpisah satu sama lain. Anak usia 5 tahun tidak mengalami hambatan dan mampu

melihat waktu dan kecepatan sebagai suatu entitas atau bentuk yang berbeda. Kedua,

waktu dan kecepatan jelas dipahami sebagai sesuatu yang memiliki metric atau ukuran.

Ketiga, anak-anak yang berusia 5 tahun sudah mampu mengetahui bahwa konsep waktu

dan kecepatan yang ditemukan saling berhubungan dalam cara yang masuk akal. Sangat

menarik untuk dicatat bahwa aturan dan jaringan (networks) muncul secara konsisten

seperti apa yang telah ditemukan dalam percobaan Wilkening mengenai simulasi

hubungan dari konsep waktu, kecepatan, dan jarak.

Menurut Zhou dkk, meskipun anak-anak usia lima tahun sudah memiliki

pengetahuan tentang konsep waktu, kecepatan dan keterkaitan dengan jarak, namun

anak-anak belum mampu mengaplikasikannya ke dalam berbagai konteks. Bahkan dalam

pemahaman konsep waktu dan kecepatan ini masih terjadi sebuah miskonsepsi atau

pemahaman yang salah pada anak-anak maupun juga orang dewasa. Mereka tidak dapat

membedakan dan tidak dapat memberi tanggapan antara dua situasi dalam kondisi linear

ataupun non linear.

Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Huber dkk, bahwa

anak-anak yang berusia 10 tahun sudah bertindak mengikuti hukum-hukum fisika secara

umum, namun masih sering salah dalam pengambilan keputusan atau dalam hal menilai

suatu kejadian yang berhubungan dengan waktu dan kecepatan. Disisi yang lain orang

dewasa sudah menggunakan hukum-hukum fisika dalam pengambilan keputusan dalam

melakukan sebuah tindakan. Dengan kata lain, dengan memvariasikan tugas sekaligus

menjaga struktuk logisnya, pengetahuan disasosiasi pada orang dewasa akan meningkat

dan sebaliknya pada anak-anak akan menurun. Jadi fenomena belajar tentang konsep

3

pengetahuan waktu dan kecepatan pada anak-anak yang terbaik adalah dengan belajar

sendiri melalui sebuah kejadian.

2. Lintasan Benda bergerak dan Lemparan Lurus

Meskipun prinsip-prinsip fisika yang mengatur gerakan sudah dikenal sejak era

Newton, namun masih banyak orang dewasa percaya atau meyakini bahwa obyek yang

bergerak tidak sesuai dengan hukum-hukum Newton. Salah satu kesalahpahaman yang

paling mencolok ditemukan oleh McCloskey (1983). Anak-anak dan sebagian orang

dewasa berpendapat bahwa obyek yang jatuh yang dibawa lari oleh sesorang atau yang

jatuh dari peasawat, akan jatuh tepat lurus dengan titik awal jatuh.

Pada gambar di bawah ini menunjukkan gambar tebing dengan lembah, sebuah

karakter orang berlari diatas tebing  dan jatuh diatas lembah dibawahnya. Gambarlah

arah jalan karakter kartun tersebut jatuh. Terdapat empat kemungkinan jawaban

a. Ia akan berlari dalam beberapa jarak horizontal dan kemudian jatuh lurus kebawah;

b. Ia akan berkari dalam beberapa jarak horizontal, selanjutnya secara bertahap turun ke

bawah

c. Ia akan segera jatuh kebawah, mendapatkan sebuah konstan untuk kedepan, dan

mempercepat kecepatan turun kebawah;

d. Ia akan jatuh lurus kebawah segera setelah ia meninggalkan ujung tebing.

Gambar bagaimana gerak benda yang  jatuh dari tebing,

Anggaplah bahwa orang  berjalan dari dari titik A ke titik B dengan

kecepatan konstan .Tolong buat  garis yang sesuai dengan jalan yang karakter akan

mengambil jalan turun dari tepi tebing

4

Gambar 6-5 : jawaban yang betul adalah b karena sesuai dengan gaya newton

Jawaban yang benar adalah jawaban yang ketiga. Objek akan terus bergerak dengan

kecepatan rata-rata secara horizontal, karena tidak ada dorongan yang merubah gerakan

horisintalnya, dan akan turun dengan tingkat kecepatan sebagai akibat gravitasi. Jawaban

ini berdasarkan konsep gerak newton modern. Sebuah objek akan tetap bergerak kecuali

ada dorongan pada benda tersebut.

Sebuah konsep alternatif, seperti pada konsep abad pertengahan bahwa sebuah objek

yang bergerak memerlukan momentum internal atau daya gerak yang membuat objek

tersebut terus bergerak sampai momentum tersebut hilang. Konsep ini konsisten dengan

jawaban pertama dan kedua. Pandangan ini diekspresikan oleh seorang siswa yang

mengatakan “ada sesuatu yang membawa objek terus bergerak setelah daya terhadapnya

berhenti” (McClosky, 1983). Sehingga siswa ini nampaknya percaya bahwa bola akan

jatuh apabila momentumnya hilang. Seperti kita ketahui, siswa-siswa tersebut

mengekspresikan Teori Gerak Abad Pertengahan dimana sebuah objek yang bergerak

akan tetap bergerak karena daya gerak internal yang dimiliki. Pandangan ini cukup

menarik, karena konsisten dengan pandangan modern Newton bahwa sebuah objek tidak

memerlukan daya apapun untuk tetap bergerak pada kecepatan konstan (atau tetap

berhenti). Selain itu, sebuah daya eksternal diperlukan  untuk merubah kecepatan gerak

objek.5

Eksperimen tentang Bola/Problem Bola, sebuah contoh miskonsepsi siswa tentang

gerak yang lainnya, sebagaimana pada gambar dibawah ini

Gambar2 : misalkan Anda menjalankan kecepatan konstan, memegang bola berat jika

Anda menjatuhkan bola di titik x di mana jatuhnya bola akan menarik jalur bola jatuh

Gambar 3 : Sesuai dengan gaya grafitasi bumi yang betul jawabannya a

Dalam masalah ini, bayangkan anda berlari  dengan kecepatan konstan dengan bola

berat ditangan anda. Ketika anda berlari, anda menjatuhkan bola, dimanakah bola

tersebut akan mendarat di lantai? Sebagaimana yang telah kita kaji tentang tebing

sebelumnya, jawaban paling popular adalah jawaban yang sejalan dengan Teori Impetus

(teori daya Dorong). Sebanyak 49 % siswa memprediksi bahwa bola akan jatuh lurus

kebawah. 6 % berfikir bahwa bola akan memantul keatas kembali sesaat setelah jatuh,

dan hanya 45 % menjawab berdasarkan teori Newton bahwa bola akan bergerak kedepan

setelah jatuh. Sebetulnya, bola akan terus bergerak kedepan dengan kecepatan yang sama

dengan pelari dan akan bergerak kebawah dengan kecepatan rata-rata.

6

 Kaiser dkk, pendapat atau keyakinan tentang obyek yang turun kebawah yang sesuai

dengan teori dorongan adalah salah satu perkembangan dasar konsep fisika pada anak-

anak. Saat anak tumbuh menjadi dewasa mereka merubah keyakinan ini dengan sebuah

persepsi visual yang jelas. Meskipun demikian, dalam kasus obyek yang jatuh dari orang

yang bergerak seringkali terjadi ilusi visual (benda yang jatuh terlihat akan jatuh lurus ke

bawah atau bahkan terlihat jatuh ke belakang karena hembusan udara). Kaiser dkk

menyimpulkan bahwa keyakinan atau pandangan anak mengenai obyek yang jatuh tidak

dapat diatasi hanya dengan persepsi tetapi dengan instruksi formal atau kegiatan praktik

fisika.

Semua pemikiran atau pertimbangan ini merujuk pada penilaian anak-anak mengenai

hipotesis atau membayangkan suatu peristiwa. Apakah keyakinan meraka seperti yang

diungkapkan dalam penilaian meraka mampu tercermin dalam tindakannya ataukah

sebaliknya ? Krist (1993) meneliti pengetahuan anak-anak tentang peran dari dua faktor

yang mempengaruhi pergerakan obyek, jarak target (horizontal) maupun ketinggian

(vertical ). Sampai pada akhirnya anak-anak usia 5 tahun harus menentukan kecepatan

bola tenis pada lemparan horizontal untuk mencapai target di tanah. Ketinggian dan jarak

sasaran bervariasi oleh berbagai tingkat dan bebrapa faktor gabungan. Untuk setiap

kombinasi antara jarak dan ketinggian, kecepatan bola bisa (a) dinilai berdasarkan

peringkat grafis /skala atau (b) dilakukan dengan benar-benar mendorong bola.

Berdasarkan hukum fisika, kecepatan dalam situasi ini adalah fungsi langsung dari

jarak (semakin jauh, semakin cepat) dan kebalikannya fungsi langsung dari ketinggian

(semakin tinggi semakin lambat). Dari penilaian sebuah penelitian di atas menghasilkan

gambaran yang sangat berbeda: anak nusia 5 tahun gagal untuk mengintegrasikan

dimensi yang relevan, dan banyak anak usia 10 tahun (dan bahkan beberapa orang

dewasa) menunjukkan kesalahpahaman (miskonsepsi) mencolok. Menurut penilaian

mereka, sebagian besar anak-anak ini tampaknya terbalik konsepnya terkait ketinggian,

bahwa bola akan jatuh lebih cepat bila semakin tinggi tingkat pelepasan.

Dalam sebuah analisis mendalam, Krist (2001) menemukan bahwa, berbeda dengan

dugaan sebelumnya oleh Kaiser dkk. Anak-anak berusia 8 sampai dengan 12 tahun dapat

merevisi kesalahpahamannya, tanpa instruksi formal,. Selain itu, data dari percobaan ini

menunjukkan bahwa keyakinan tidak berakar pada ilusi persepsi, yang bisa ditunjukkan

oleh variasi tugas-tugas. Dan yang paling menarik, penelitian tersebut memberikan bukti

konvergen yang jelas untuk asumsi awal yang diajukan oleh McCloskey dan rekan-

rekannya (orang-orang menggnakan keyakinan mereka untuk merencanakan tindakan

mereka). Ketika diminta untuk memukul target di lantai dengan menjatuhkan bola saat

7

bergerak, anak-anak yang memegang kepercayaan bahwa bola akan turun secara lurus ,

menjatuhkan bola signifi kan (di atas target) dan pada anak-anak yang menggunakan

pengetahuan yang benar mereka tampaknya akan melepas bola sebelum posisinya di atas

target yang diinginkan.

Ini akan menjadi salah tafsir dalam temuan Krist 's untuk mengatakan bahwa, dengan

usia 12 tahun, anak-anak memiliki pemahaman penuh terhadap benda bergerak.

Pengetahuan tentang anak-anak berdasar temuannya tampak rapuh, dan telah

dikembangkan secara lambat dan sedikit demi sedikit. Kesimpulan ini mengingatkan

terhadap penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Spelke (1999), yang mempelajari

perkembangan pemahaman gravitasi dan inersia pada gerak benda pada usia yang jauh

lebih muda, dari bayi usia 7 bulan hingga anak-anak berumur 6 tahun. Dalam percobaan

terakhirnya Kim dan Spelke menugaskan anak-anak untuk memprediksi di mana bola

akan mendarat jika bola bergerak sedikit miring ke bawah. Tiga lokasi pendaratan yang

mungkin akan terjadi: satu konsisten dengan keyakinan lurus ke bawah, sesuai dengan

jalur parabola yang benar, dan salah satu yang akan terjadi jika tidak ada gravitasi.

Anak-anak hingga usia 4 tahun meramalkan bahwa bola akan mendarat di lurus ke

bawah titik awal dijatuhkan, usia 6 tahun secara konsisten meyakini bahwa bola akan

mendarat di lokasi yang ditentukan oleh jalan parabola. Anak-anak yang berusia lebih

muda tampaknya hanya peka terhadap gravitasi, sedangkan anak usia 6 tahun peka

terhadap gravitasi dan kelembaman. Namun, jika anak-anak diberi kesempatan untuk

melihat gerakan sepenuhnya, anak usia 3 dan 4 tahun akan memilih jalur parabola

sebagai pilihannya. Pola-pola perkembangan yang diamati dalam percobaan yang

berbeda memberikan bukti lebih lanjut disosiasi kinerja anak (Kim & Spelke, 1999).

Temuan oleh Krist dan rekan-rekannya serta Kim dan Spelke memungkinkan dua

kesimpulan umum. Pertama, anak-anak mengembangkan pemahaman tentang benda

gerak merupakan sebuah proses yang kompleks dan multifaset. Kedua, pengetahuan

anak-anak tentang bagimana mengungkapkan benda bergerak dapat dipelajari dalam

konteks yang lebih luas.

Contoh menarik selanjutnya adalah apa yang disebut "kesalahan gravitasi"

ditunjukkan oleh Hood (1995). Ia belajar tentang pemahaman anak-anak terhadap gerak

objek dengan menyampingkan aspek gravitasi dan soliditas. Anak-anak usia 2 sampai 3

tahun diminta untuk menemukan bola yang dijatuhkan ke salah satu lubang dari tiga

tabung buram saling berhubungan. Sebagian besar anak-anak mencari di lokasi yang

salah: di bawah titik di mana bola dijatuhkan, bukan di pintu keluar yang lebih rendah

dari tabung ke mana bola dijatuhkan. Pada anak-anak ini, gravitasi jelas mengungguli

8

soliditas. Kesalahan tidak terjadi ketika tabung transparan yang digunakan (Hood, 1995),

atau ketika gerakan ke atas atau horizontal disajikan (Hood, 1998; Hood, Santos, &

Fieselman, 2000). Namun, berbeda dengan keyakinan gerak lurus bawah pada anak-anak

yang lebih tua dan orang dewasa, kesalahan gravitasi tidak dapat dikaitkan dengan

keyakinan” naïve”, tetapi terjadi sebagai akibat dari kemampuan penghambatan

kedewasaan. Sebagai contoh, Hood, Wilson, dan Dyson (2006) menunjukkan bahwa bias

gravitasi muncul kembali pada anak-anak berusia 4 tahun jika pembentukan mekanisme

penghambatan terhalang.

3. Gaya dan Berat

Pada bagian yang ketiga ini, kami akan berfokus pada gaya dan berat, dimensi yang

sebagian sudah terlibat dalam bagian sebelumnya. Dalam aspek berat, instrumen yang

paling banyak digunakan ialah skala keseimbangan, awalnya dirancang oleh Inhelder &

Piaget (1958) sebagai sarana belajar penalaran formal operasional. Sejak itu, skala

keseimbangan telah berkembang menjadi sebuah paradigma.

Laporan penelitian Siegler (1976) terkait penalaran anak-anak tentang permasalahan

skala keseimbangan, yang telah dipublikasikan dalam banyak buku teks mampu menjadi

titik acuan untuk sejumlah besar tindak lanjut penelitian di berbagai bidang

perkembangan kognitif. Siegler menggunakan bentuk yang sangat umum dalam

penelitiannya. Angka yang berbeda atau sama dari berat ditempatkan di setiap sisi

horisontal, dua lengan balok keseimbangan, beban berada pada jarak yang sama atau

berbeda dari titik tumpu, dan anak diminta untuk memprediksi sisi mana yang akan turun

jika balok yang tadi diberi beban dibiarkan bebas.

9

Dalam upaya untuk sistematisasi konsep yang dikemukakan oleh Piaget, Siegler

mendalilkan bahwa anak-anak, dalam proses perkembangan, menggunakan empat aturan

yang berbeda dalam memecahkan masalah timbangan, setiap aturan mewakili tingkat

pengetahuan yang berbeda. Setiap aturan didasarkan pada keputusan biner, dan aturan-

aturan yang biasanya direpresentasikan sebagai keputusan pohon biner, menyerupai

program komputer sederhana. Untuk mendiagnosa anak menggunakan aturan dalam

memecahkan tugas dan, pada saat yang sama, untuk mendiagnosis pengetahuan yang

sudah ada sebelumnya nya, Siegler mengembangkan apa yang disebut metodologi

penilaian aturan. Metodologi ini mensyaratkan penyajian serangkaian masalah dipilih

dengan cermat, dengan kombinasi yang berbeda dari bobot pada balok keseimbangan dan

jarak dari titik tumpu, sehingga aturan yang berbeda menghasilkan pola kinerja unik

yang dapat dikaitkan dengan pengoperasian satu dari empat aturan tersebut.

Dari data penelitian tersebut, Siegler (1976) menyimpulkan bahwa anak-anak, yang

sedang dalam proses perkembangan, mampu meningkat perkembangan kecerdasannya

melalui aturan urutan, aturan ini dibuat secara hierarkis dengan cara yang sangat

sederhana. Sesuai dengan Piaget, aturan normatif didalilkan sebagai titik akhir

perkembangan. Dalam serangkaian penelitian yang lebih baru dengan menggunakan

metode microgenetic, Siegler dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa anak-anak dapat

belajar aturan yang lebih tinggi ketika empat komponen dari proses pembelajaran yang

10

dikuasai: memperhatikan variabel penjelas potensial, merumuskan aturan prediksi,

menerapkan aturan masalah baru, dan menjaga mereka di bawah kondisi yang kurang

mendukung.

Amsel dkk (1996) melakukan penelitian satu langkah lebih jauh, dengan menyelidiki

penalaran anak-anak tentang kausal dan non kausal yang berpengaruh pada perilaku skala

keseimbangan dan pada tuas umumnya. Dalam proses harus diperhatikan terutama pada

ciri-ciri fisik kausal dan non kausal yang menonjol seperti berat dan warna obyek, dan

hanya setelah mempertimbangkan fitur spasial, baik kausal dan non kausal, seperti jarak

dari titik tumpu dan orientasi tertentu atau pemasangan objek. Data ini menunjukkan

bahwa seorang anak dianggap relevan tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip yang bisa

berasal dari hukum normatif fisika, seperti yang dianut pada pandangan tradisional.

Wilkening dan Anderson (1991) memvariasikan pendekatan standar dengan tidak

hanya mengajukan pertanyaan pilihan, tetapi juga meminta anak, setelah ia mengatakan

bahwa satu sisi akan turun, untuk menyesuaikan berat dan / atau jarak di sisi lain

sehingga skala akan datang ke keseimbangan. Yang paling penting, diketahui bahwa

anak dapat mengintegrasikan informasi yang relevan, berat dan jarak, berdasarkan aturan

tambahan. Anak-anak dapat menunjukkan integrasi meskipun dalam hal urutan aturan

berbeda dengan cara Siegler.

Baru-baru ini, Andrews dkk (2009) menilai integrasi anak-anak dari informasi berat

dan jarak menggunakan metodologi baru yang menggabungkan alat tunggal dengan

ukuran fungsional.  Anak-anak berusia tiga sampai tujuh tahun harus menilai seberapa

jauh balok akan miring ketika bobot yang berbeda ditempatkan pada jarak yang berbeda

dari poros. Hasil menunjukkan kemajuan perkembangan: sedangkan sebagian besar

berusia 3 tahun merespon secara tidak sistematis, anak berusia 4 tahun berdasarkan

penilaian mereka pada variabel tunggal (biasanya berat). Anak berusia lima sampai tujuh

tahun mampu mengintegrasikan informasi berat dan jarak. 

Penelitian yang terkait dengan masalah timbangan telah dipelajari oleh Pauen

(1996). Percobaan ini menyelidiki pengetahuan anak-anak tentang penambahan vektor

gaya. Dengan menggunakan permainan “King on The Ice Games” dua kekuatan yang

tidak sebanding menarik objek target, yaitu mainan Raja ke pusat platform

melingkar. Pasukan yang berat diposisikan di piring kecil yang tergantung dari dua tali,

sehingga menarik target menuju ujung platform. Anak-anak diminta untuk memprediksi

ke arah mana target akan bergerak jika dilepaskan. Sebagian besar siswa kelas satu kelas

sampai tiga, dan hampir setengah dari kelas empat, salah memperkirakan bahwa objek

akan selalu ditarik lurus ke arah gaya yang lebih kuat (satu - gaya - satu aturan), berbeda

11

dengan aturan integrasi yang benar, yang tidak hanya menuntut pertimbangan yang

terkuat, tetapi dengan mempertimbangkan kedua kekuatan dan integrasi dari jumlah dan

arah vektor gaya. Arah yang dihasilkan benar diberikan dengan penambahan vektor dari

dua vektor gaya. Secara keseluruhan, tampak bahwa dalam domain ini, intuisi fisika pada

anak-anak adalah campuran tindakan sensorimotor dan pemikiran operasional,

menggunakan istilah Piaget.

4. Zat, Massa, Berat, Volume dan Density

Kita sekarang beralih dari aspek dinamis dan kinetik menuju fenomena statis yang

dari lingkungan fisik: menuju domain materi atau unsur yang membangun dunia ini.

Dalam kerangka berfikir seorang fisikawan, pada tingkat makroskopik unsur

didefinisikan oleh massa, volume, dan kepadatan. Kepadatan didefinisikan secara

sederhana, yaitu perbandingan antara massa dan volume. Orang-orang awam mudah

memahami kepadatan, tetapi mengalami kesulitan dalam memahami perbedaan antara

massa dan berat. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa di bawah normal,

kondisi gravitasi konstan antara massa dan berat yang berbanding lurus. Dalam buku

fisika dijelaskan bahwa berat berbeda dengan massa, dapat berubah dalam transformasi

fisik tertentu, seperti pemanasan, deformasi, dan tekanan. Hal yang sama berlaku untuk

volume dan kepadatan. Sejauh mana prinsip-prinsip dan konsep-konsep kembali

tercermin dalam intuisi fisika kita, dan bagaimana mereka mengembangkannya. 

Banyak psikolog dan pendidik telah mencatat bahwa hubungan massa, volume, dan

kepadatan sangat sulit untuk dipahami oleh anak-anak dan karena itu sangat sulit untuk

diajarkan (Smith, Maclin, Grosslight, & Davis, 1997; Smith, Snir, & Grosslight ,

1992). Pertanyaan yang menarik adalah mengapa harus begitu, dan bagaimana prosedur

pembelajaran dapat memfasilitasi pemahaman hubungan tersebut. Adapun konsep anak-

anak tentang materi, tampak bahwa pengetahuan mereka meskipun sangat disesuaikan

dengan kebutuhan sehari-hari mereka, berbeda secara substansial dari definisi secara

fisika.  Anak-anak usia 4 sampai dengan 11 tahun yang mengkategorikan padatan, cairan,

dan gas sebagai materi juga mengatakan bahwa listrik, suhu, cahaya, echo, atau bayangan

adalah sesuatu yang sama dengan materi/zat (Carey, 1991; DeVries, 1987; Lautrey &

Mazens 2004; Mazens & Lautrey, 2003;. Piaget, 1960) 

Data menunjukkan bahwa banyak anak-anak memiliki konsep berat yang didapat

dan dipengaruhi dengan merasakan berat suatu objek. Misalnya, lebih dari setengah dari

anak usia empat sampai dengan enam tahun, menilai bahwa sebutir bers atau jagung atau

bahkan sepotong yang cukup besar dari Styrofoam tidak memiliki berat (Smith, Carey, &

Wiser, 1985 ). Hanya pada usia sekitar 9 tahun, anak mulai menghubungkan antara berat

12

dengan jumlah materi atau barang dan menyadari bahwa berat tidak akan pernah hilang

jika sebuah objek dibagi menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Pada sekitar usia

yang sama mereka mengembangkan wawasan analog untuk kasus gas transparan, jika air

berubah menjadi uap, misalnya (Carey, 1991). Tampaknya, dengan demikian, bahwa

anak-anak mulai dengan beragam konsep berat, dan bahwa membutuhkan waktu yang

lama untuk mengintegrasikan menjadi satu konsep koheren yang akhirnya menjadi

konsep berat sesuai dalam ilmu fisika.

Konseptualisasi kepadatan tampaknya lebih sulit untuk anak-anak. Hal ini telah

ditemukan dalam berbagai macam penelitian, termasuk pada tugas memilah benda sesuai

dengan jenis bahan, menilai efek ekspansi termal, dan memprediksi tentang mengambang

atau tenggelamnya suatu benda. Kesimpulan umum adalah bahwa masalah anak-anak

timbul karena tidak ada pembedaan yang jelas antara konsep berat dengan konsep

kepadatan (Hewson, 1986; Piaget & Inhelder, 1974; Smith et al, 1985; Smith, Snir, &

Grosslight, 1992.). Hipotesis kedua akhir-akhir ini ditambah oleh Kloos (2007), ia

menyatakan bahwa anak-anak kesulitan untuk memahami kepadatan tidak disebabkan

oleh ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara massa dan kepadatan, tetapi

karena ketidaksesuaian logis yang melekat pada konsep kepadatan itu sendiri (yaitu,

anak-anak gagal untuk memahami bahwa massa dan volume memiliki efek berlawanan

pada densitas). Akhirnya, juga telah menyarankan bahwa konsep kepadatan sulit karena

membutuhkan pemahaman yang tinggi, dalam arti yang lebih umum, pemahaman rasio

dan proporsionalitas yang menurut pandangan Piaget, tidak sepenuhnya dikembangkan

sebelum anak memasuki tahap formal - penalaran operasional. 

Dalam serangkaian percobaan, termasuk verbal dan non verbal, Smith dkk (1985)

meneliti perbedaan konsep pada anak-anak dari berat dan ukuran serta berat dan material

jenis (atau kepadatan). Mereka meminta anak-anak untuk membandingkan berat badan,

ukuran, atau bahan benda, dan untuk merespon secara verbal atau non - verbal. Dalam

penelitian non verbal, anak-anak harus menyortir benda ke kelompok baja dan

aluminium. Anak-anak berumur 3 tahun tidak memiliki masalah dalam membedakan

antara ukuran dan berat, tetapi mereka tidak dapat membedakan berat dan kepadatan.

Dalam penelitian non verbal cocok untuk menyelidiki perbedaan berat dengan

kepadatan, fenomena daya apung menjadi konsep yang lebih tepat untuk dipakai sebagai

pendekatan akternatif karena berkaitan dengan mengambang dan tenggelamnya sebuah

benda padat dalam cairan dengan diberikan kepadatan. Jika kepadatan benda padat

kurang dari densitas cairan, objek akan mengambang  dan objek akan tenggelam jika

densitasnya lebih besar daripada cairan.

13

Penelitian yang dilakukan oleh Halford, Brown, dan McThompson (1986) dan Smith

dkk (1992) pantas disebutkan secara khusus dalam konteks ini. Anak-anak antara 8

sampai 13 tahun harus menilai apakah kubus dengan ukuran dan berat yang berbeda akan

tenggelam atau mengambang. Sebagian besar anak-anak ini memiliki kecenderungan

yang jelas untuk fokus pada berat dan mengabaikan kepadatan sebagai variabel yang

utama. Kohn (1993) menyusun prediksi daya pengapungan yang mampu menemukan

bentuk awal dari pemahaman kepadatan. Anak prasekolah, serta orang dewasa, membuat

prediksi mengambang atau terapungnya suatu objek dengan variasi sistematis dalam

kepadatan, berat, dan volume. Sejak usia 4 tahun dan seterusnya pemahaman dasar dalam

domain ini tampaknya muncul. Namun, informasi berat dan volume yang tidak relevan

masih mempengaruhi pemahaman mereka dalam cara yang sistematis. Anak-anak pada

usia yang lebih muda, memberikan tanggapan yang sangat tidak konsisten, menunjukkan

bahwa mereka tidak memiliki ide tentang kepadatan sebagai faktor yang relevan dengan

obyek terapung atau tenggelam.

Penner dan Klahr (1996) menguji pengetahuan anak-anak berusia 10, 12, dan 14

tahun tentang aspek yang lebih spesifik, yaitu waktu tenggelamnya berbagai

objek.  Kebanyakan anak awalnya memegang keyakinan bahwa berat saja yang

menentukan salah satu dari dua benda akan tenggelam lebih cepat. Setelah

bereksperimen, akhirnya semua anak menyadari bahwa faktor-faktor lain seperti bentuk

objek dan bahan juga memiliki efek pada kecepatan tenggelamnya. Perbedaan utama

antara kelompok usia tampaknya tentang keyakinan mereka bahwa eksperimen dapat

membantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang relevan dan efek yang yang sesuai

biasanya dipegang oleh anak-anak yang lebih tua tapi hampir tidak ada di usia lebih

muda. Kemampuan untuk merevisi kepercayaan yang keliru tentang waktu tenggelam

sebuah benda 'itu juga disampaikan oleh Kloos dkk (Kloos, 2007; Kloos & Somerville,

2001; Kloos & Van Orden, 2005). 

5. Densitas, Suhu, Rasa Manis (Sweetness) dan Besaran Intensif lainnya

Mengapa anak-anak gagal untuk memahami konsep kepadatan? Apakah mereka

memiliki masalah tertentu dengan konsep tertentu, atau apakah mereka memiliki masalah

umum dengan besaran intensif, mungkin karena kurangnya kemampuan untuk

melakukan operasi logis yang diperlukan untuk berpikir proporsional? Nunes, Desli, dan

Bell (2003) mengusulkan bahwa, antara lain, penalaran proporsional terbalik merupakan

kendala utama anak-anak untuk memahami beberapa konsep. Manisnya minuman,

misalnya, dapat dinilai dengan membandingkan jumlah air dengan jumlah gula terlarut di

dalamnya, menurut prinsip-prinsip proporsionalitas dan rasio aturan. Namun, karena data

14

dari beberapa penelitian menunjukkan, anak-anak tampaknya memiliki cukup kesulitan-

kesulitan mencapai pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip ini, kadang-

kadang bahkan sampai menginjak usia remaja (Hart, 1988; Karplus, Pulos, & Stage,

1983). 

Dalam sebuah penelitian awal, Sidney Strauss dkk, misalnya, anak-anak ditanya

tentang manisnya campuran yang dihasilkan dari dua gelas yang diisi dengan air, dan

dengan jumlah takaran potongan gula yang sama atau berbeda yang terlarut di dalamnya.

Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang lebih muda dari usia 5 tahun menjawab yang

benar dengan mengandalkan pengalaman mereka berdasarkan pemahaman intuitif. Anak-

anak usia antara 6 sampai 10 tahun, sebaliknya mereka biasanya mencoba untuk

menerapkan aturan kuantitatif, tetapi pilihan atau jawaban mereka salah. Sebagian besar

anak-anak memperkirakan bahwa hasil campuran rasanya akan menjadi lebih manis dari

dua komponen awal. Anak-anak hanya memperhatikan penambahan jumlah gula tanpa

memperhitungkan bahwa kuantitas lainnya (air) juga meningkat. Jawaban yang benar

muncul pada anak-anak dari usia sekitar 10 tahun, seperti yang disimpulkan oleh penulis,

bahwa mereka memahami peran keduanya baik itu jumlah komponen air dan gula.

Colleen Moore dan rekan-rekannya (Ahl, Moore, & Dixon, 1992; Dixon & Moore,

1996; Moore, Dixon, & Haines, 1991). Mereka menyelidiki pemahaman anak-anak

tentang pencampuran suhu. Sebuah kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa anak-

anak di atas usia 8 tahun cenderung kurang memahami, dan bahkan siswa kelas lima dan

dan delapan jauh dari menunjukkan pemahaman yang sempurna. Anak-anak tampaknya

memiliki kesulitan- kesulitan bahkan dengan cara yang tampaknya sederhana ini.

Baru-baru ini, Howe, Nunes, dan Bryant memunculkan bukti kuat terkait bahwa dua

faktor yang disebut "variabel penting (salience variable)" dan "fokus relasional" yang

banyak memberi pengaruh pada penalaran tentang besaran intensif pada anak-anak

berusia 7 sampai 12 tahun. Pengaruh salience variabel timbul dari konsekuensi pragmatis

bagaimana besaran diwujudkan dalam bahasa (yaitu, penggunaan bahasa menyoroti

variabel yang spesifik). Selanjutnya, permasalahan yang ada dihubungkan ke fokus

relasional tertentu yang disajikan dalam permasalahan (misalnya, anak-anak memiliki

kesulitan dalam menalar tentang hubungan ntar bagin dan seluruhnya daripada hubungan

antar bagian-bagian). 

Semua penelitian di atas, telah menunjukkn tau mempresentasikan besaran intensif

ke dalam beberapa bentuk symbol. Suhu dan rasa manis misalnya, yang tidak mudah

dipahami, berbeda dengan besaran ekstensif, volume dalam kasus ini. Oleh karena itu,

Jäger dan Wilkening (2001) berspekulasi bahwa kesalahan anak-anak mungkin timbul

15

dari kesulitan mereka menyimpulkan besaran intensif, dan bahwa kesulitan ini mungkin

akan hilang ketika intensitasnya dapat terlihat. Untuk alasan ini, intensitas warna

digunakan sebagai variabel. Yang mengejutkan bahwa, penelitian ini mengulangi

penekanan pada temuan-temuan terdahulu dalam beberapa hal penting. Misalnya, anak-

anak memperkirakan bahwa campuran dua cairan, satu berwarna merah menyala dan

yang lain merah muda, hasilnys akan menjadi lebih gelap daripada komponen awal yang

paling gelap. Bahkan setengah dari anak-anak berusia 10 tahun memberikan tanggapan

"aditif" ini. Selain membuat pertanyaan dalam hipotesis bahwa permasalahan anak-anak

dalam penelitian sebelumnya adalah karena fakta bahwa besaran intensif yang tidak

dapat dipahami melalui persepsi, hasil yang ditemukan oleh Jäger dan Wilkening

menunjukkan bahwa masalah anak-anak dalam domain ini tidak bisa hanya dikaitkan

dengan ketidakmampuan mereka untuk memahami besaran ekstensif yang relevan

(misalnya, gula dan air) kedalam hitungan dan mengintegrasikannya secara tepat

(Strauss, Ankori, Orpaz, & Stavy, 1977). 

 Dixon dan Tuccillo (2001) menanyakan kepada anak-anak dan mahasiswa untuk

memprediksi apa yang akan terjadi ketika jumlah zat digabungkan. Hasilnya

menunjukkan bahwa extensitivity bias yang dibahas oleh Jäger dan Wilkening tidak

begitu kuat sehingga tidak bisa diterpakan pada usia sekolah menengah, setidaknya

dalam beberapa domain atau bagian.

C. Kesimpulan

Sebagai hasil dari perubahan penekanan dalam mempelajari intuisi fisika pada anak-

anak, apa yang dapat dipelajari telah menjadi lebih kaya daripada yang bayangkan

sebelumnyai. Dalam pandangan tradisional, yang diprakarsai oleh Piaget, pengetahuan

anak-anak tentang dunia fisik relatif sedikit diminati. Alasan utama mengapa hal itu diteliti

adalah bahwa dengan mempelajari ini dijanjikan akan mampu mengungkap struktur kognitif

dan perkembangannya. Dunia fisik dipilih karena tampaknya memiliki keuntungan

heuristik, memiliki struktur logis, lebih jauh dari sekedar keyakinan dunia sosial dan mental,

dan anak-anak dianggap sudah mampu menginternalisasi struktur ini melalui eksplorasi

aktif dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak hukum fisika dasar dapat dinyatakan melalui aturan aljabar sederhana yang

secara identik terstruktur. Dalam kaitanya dengan teori perkembangan kognitif, itu akan

mampu untuk menentukan tahapan dari sifat sebuah konsep.  Konsep-konsep lain dimana

hukum fisika terstruktur secara isomorfik maka semua harus sama

Apa yang disampaikan dalam makalah ini membuka kesempatan yang luas dan

membuat semakin menarik untuk diteliti oleh bidang-bidang lainya. Variabilitas dalam

16

intuisi fisika pada anak-anak diamati dan dibahas di sini, mulai dari waktu, kecepatan,, gaya

dan daya apung hingga suhu dan intensitas warna, kini dipandang sebagai karakteristik yang

melekat pada perkembangan pengetahuan dan bukan lagi sesuatu yang asing yang harus

dihilangkan dalam melakukan sebuah penelitian yang terkait. 

 Teori kontekstualis berpendapat bahwa banyak pengetahuan yang kita miliki

sebenarnya terkait dengan konteks tertentu. Di sisi lain, anak-anak mengembangkan struktur

pengetahuannya sesuai atau setara dengan konsep ilmiah. Dalam pandangan ini, keyakinan

anak-anak digambarkan sebagai sebuah teori koheren atau seperti teori yang sudah ada.

Tantangan untuk penelitian di masa depan adalah bagaimana mempersempit ruang

lingkup kontekstualitas dan untuk mengidentifikasi kondisi yang memfasilitasi

perbaikan/revisi keyakinan yang salah.  Seperti yang dikatakan Sophian (2006) " keyakinan

yang kontradiktif hanya akan membahayakan perkembangan kognitif itu sendiri. . .  anak-

anak akan memiliki cara untuk mengevaluasi keyakinan yang ada dan diperoleh melalui

pengalaman baru "(Sophian, 2006, hal. 1556). Bagaimanapun juga, kemampuan keyakinan

anak-anak untuk memperkirakan agar menjadi lebih baik harus menjadi perhatian utama

pendidikan ilmiah (scientific education). Jika keyakinan intuisi yang digambarkan sebagai

teori yang salah atau kesalahpahaman mereka, maka harus diganti dan disesuaikan dengan

aturan fisika formal yang ada (sesuai hukum fisika). Di sisi lain, pendidikan formal bisa

menawarkan kerangka yang koheren untuk mengintegrasikan unsur-unsur produktif yang

ada pada intuisi fisika anak-anak.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran

Hal terpenting dari apa yang kita bahas di atas adalah implikasinya dalam pembelajaran

bahwa sebuah pembelajaran seharusnya memperhatikan fakta bahwa para siswa telah

memiliki intuisi atau konsep tentang fisika. Karena itu, pembelajaran tidak bisa dipandang

sebagai penyediaan pengetahuan tentang keseluruhan topik yang baru, tetapi pembelajaran

melibatkan konsep fisika/sains yang telah dimiliki siswa sebelumnya, dan mencoba

merubah atau membangun konsepsi tersebut.

Hal tersebut sangat sesuai dengan Teori perubahan Konsep yang berakar dari pendapat

Piaget (1985), sebuah teori klasik yang menyatakan bahwa anak-anak merestruktur

pengetahuan mereka, apabila pengalamannya yang dimiliki sebelumnya tidak sesuai dengan

pengetahuan mereka yang baru

Daftar Pustaka

17

Goswami, Usha. (2011). The Willey-Blackwell Handbook of Childhood Cognitive

Development. Second Edition. New York: A John Willey & Sons, Ltd.

18