Upload
accung-buccu
View
164
Download
16
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS FARMAKOTERAPI
HIV/AIDS
Oleh:
ASRUL SANI
F1F212001
Program Studi S-1 Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Haluoleo
2013
I. DEFINISI HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus
HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah,
cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Virus tersebut
merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan
mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
Menurut Center for Disease Control and
Prevention(CDC) seseorang yang terinfeksi HIV (Human
Immunodeficiency Viruses) memilikiantibodipositifterhadap
HIV (positif HIV test), yaitu CD4sebesar 200(sel/mm3) atau
lebihsedangkan orang yang terinfeksi HIV dengan
AIDSmemiliki kurang dari 200 sel/mm3CD4.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada
tahun 1981 yang dipelajari melalui studi cohort pada pelaku homoseksual
yang mengalami penurunan imunitas. Virus HIV merupakan penyebab utama
terjadinya AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Virus HIV terdiri
dari 2 species yaitu HIV-1 dan HIV-2, genus Lentivirus dan Familia
Retroviridae. HIV-1 terdiri dari 3 kelompok yaitu : M (Major), O (Outlier)
dan N (New). (Dipiro, 2007).
Virus ini pada mulanya dikenal dengan nama Human T limfotropik
virus tipe III (HTLV- III), virus yang berkaitan berkaitan dengan dengan
limfadenopati limfadenopati (LAV) dan virus yang berkaitan dengan penyakit
AIDS (ARV). Saat ini dikenal dengan nama HIV (human Immunodeficiency
Virus). Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel system imun termasuk sel T
CD4, magrofag, dan sel dendritik.
II. EPIDEMIOLOGI
Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb
dari Amerika pada tahun 1981. Sejak saat itu jumlah negara
yang melaporkan kasus-kasus AIDS meningkat dengan cepat.
Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan pandemi,
menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan
anak-anak. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15 juta
orang diantaranya 14 juta remaja dan dewasa terinfeksi HIV.
Setiap hari 5000 orang ketularan virus HIV.
Dewasa ini, potensikombinasiobat antiretroviral(highly
active antiretroviral therapy [HAART])telah
mengubahperkembangan penyakit HIVdan secara
signifikanmeningkatkankualitas hidupbagi banyak pasienyang
terinfeksi HIV.Sehingga, dilaporkan terjadinya
penurunan jumlah infeksi oportunistik dankematianpenderita
AIDS.Meskipun terjadi penurunan dramatis, infeksi HIV tetap
menjadi penyebab utama kematian dibanyak wilayah di
dunia.Baru-baru ini, regimen antiretroviral kuat dan teknik
monitoring sangat terbatas dalam segi ekonomi dan
politik. Pasien yang berada di negara dengan ekonomi maju
mudah mendapatkan obat (Amerika Utara, Eropa Barat,
Australia, dan Selandia Baru), sedangkan pasien yang berada
di negara-negara yang kekurangan sumber daya (Afrika,
selatan dan tenggara Asia, Pasifik, Amerika Latin , dan
Karibia) sulit mendapatkan obat. Hal ini sangat
mengkhawatirkan mengingat sebagian besar pasien yang
terinfeksi di seluruh dunia berada di negara berkembang.
Pada Desember 2006, di seluruh dunia terdapat
penderita HIV sebanyak 39,5 juta yaitu 37,2 juta orang
dewasa (17,7 juta perempuan) dan 2,3 juta anak<15
tahun. Pada tahun 2006, 4,2 juta orang terinfeksi HIV baru
dan 2,9 juta orang meninggal karena AIDS. Dua pertiga (63%)
dari semua orang dewasa dan anak yang terinfeksi HIV hidup
di sub-Sahara Afrika, dan hampir tiga perempat (72%)
kematian orang dewasa dan anak yang disebabkan oleh
AIDS. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah orang yang
hidup dengan HIV telah meningkat di setiap wilayah di dunia,
tetapi kenaikan paling mencolok terjadi di timur Asia, Eropa
Timur, dan Asia tengah dengan jumlah penderita HIV
meningkat sebesar 21% dari tahun 2004-2006. Stategi
intervensi untuk mendidik dan melindungi anak-anak muda
hanya efektif dan berkelanjutan di Zimbabwe, di mana
prevalensi HIV menurun. Meskipun strategi pengobatan sulit
untuk diterapkan di negara berkembang karena keterbatasan
sosial, politik, keuangan, dan sumber daya, tetapi penyediaan
ART diperluas di negara berpenghasilan rendah dan
menengah sejak tahun 2002.
Di Amerika Serikat, ketersediaan terapi antiretroviral
telah mengakibatkan penurunan 80% angka kematian AIDS
antara tahun 1990 dan 2003. Pada tahun lalu, sekitar 30.000
orang meninggal karena AIDS, sedangkan diperkirakan 1,2
juta orang terinfeksi HIV. Sebagian besar orang (25%) tidak
menyadari bahwa mereka terinfeksi HIVdan sekitar 65.000
tertular infeksi HIV pada tahun lalu. Ras dan etnis minoritas
terus terpengaruh oleh HIV, antara tahun 2001 dan 2004,
50% AIDS di diagnosis dari kalangan kulit hitam (yang hanya
merupakan 12% dari populasi Amerika Serikat) dan 20% AIDS
didiagnosis dari kalangan Hispanik (yang merupakan 14%dari
populasi AS). Dibandingkan dengan orang kulit putih, tingkat
HIV baru atau diagnosa AIDS adalah 7 kali lebih tinggi pada
laki-laki kulit hitam dan 21 kali lebih tinggi pada wanita kulit
hitam.
Penularan HIV melalui hubungan seksual tetap
merupakan penyebab utama infeksi, dengan seks yang tidak
aman antara pria terhitung sekitar 44% kasus, dan pada
hubungan heteroseksual terdapat sekitar 34% kasus. Proporsi
perempuan yang baru didiagnosa HIV telah meningkat secara
dramatis (dari 15% pada tahun 1995 menjadi 27% pada
tahun 2004). Selain itu, pasien berumur > 50 tahun
merupakan kelompok yang berkembang pesat terhadap efek
terapi antiretroviral yang efektif memperpanjang hidup.
III. ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa
nama yaitu HTL II, LAV, RAV yang nama ilmiahnya disebut
Human Immunodeviciency Virus (HIV) yang berupa agent
viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh
darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Virus HIV termasuk dalam famili lentivirus dimana
retrovirus ini mempunyai kemampuan menggunakan RNA-
nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem immun dan
menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+
dan limfosit.
IV. PATOFISIOLOGI
Sistem imun melindungi tubuh dengan cara mengenali
bakteri atau virus yang masuk kedalam tubuh, dan bereaksi
terhadapnya. Ketika sistem imun melemah atau rusak oleh
virus seperti HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi
oportunistik. Sistem imun terdiri atas organ dan jaringan
limfoid, termasuk didalamnya sum-sum tulang, thymus,
nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid, appendix, darah dan
pembuluh limfa. Seluruh komponen dari sistem imun tersebut
adalah penting dalam produksi dan perkembangan limfosit
atau sel darah putih. Limfosit B dan T di produksi oleh sel
utama sum-sum tulang. Sel B tetap berada di sum-sum
tulang untuk melengkapi proses maturasi sedangkan limfosit
T berjalan ke kelenjar thymus untuk melengkapi proses
maturasi. Di kelenjar thymus inilah limfosit T bersifat
imunokompeten, multipel, dan mampu berdiferensiasi.
Limfosit T atau sel T mempunyai fungsi utama sebagai
regulasi sistem imun dan membunuh sel yang menghasilkan
antigen target khusus. Masing-masing sel sel T mempunyai
marker permukaan seperti CD4+, CD8+, dan CD3+ yang
membedakannya dengan sel lain. Sel CD4+ adalah sel yang
membantu mengaktivasi sel B, killer sel, dan makrofag saat
terdapat antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel
yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker.
HIV menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein
perifer CD4+ dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu
antigen gp 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam
respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4
yang juga dapat dipengaruhi oleh respon imun sel killer.
HIV menyerang CD4+ secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai
efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara
tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul
gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang
kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan
antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+
dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi
dengan membran sel dan bagian intinya masuk kedalam sel
membran. Pada bagian inti terdapat enzin reverse
transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan
ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA
polimerase menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim
ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase
kemudian membentuk copy DNA kedua dari DNA yang
pertama yang tersusun sebagai cetakan.
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai
ganda akan masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim
integrase, DNA copy dari dari virus disisipkan dalam DNA
pasien.HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+
kemudian bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+
mengalami sitolisis.
Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun
seluler mulai melemah secara progresif, diikuti berkurangnya
fungsi sel B dan makrofag serta menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-
tahun. Selama itu pula jumlah sel T4 dapat berkurang dari
sekitar 1000 sel/ml darah sebelum infeksi menjadi sekitar 200
– 300 sel/ml darah setelah 2 – 3 tahun terinfeksi.
Sewaktu sel T mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi
(herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, jumlah sel T4
kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru dan akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi
yang parah. Seseorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel/ml darah atau apabila
terjadi infeksi oportunistik, kanker atau dimensia AIDS.
V. Pemeriksaan dan Diagnosis
Metode deteksi yang umum digunakan, yaitu :
a. Metode ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay).
Pada pemeriksaan ELISA, apabila serum pasien mengandung
antibody terhadap antigen dalam tabung, maka antibody tersebut akan
berikatan dengan antigen dalam tabung. Setelah diinkubasi selama
beberapa waktu, tabung dicuci untuk menyingkirkan komponen lain
dalam serum dan kelebihan antibody yang tidak berikatan dengan antigen
dalam tabung. Selanjutnya diteteskan secondary antibody, yaitu antibody
terhadap antibody manusia. Secondary antibody akan berikatan dengan
antibody pasien dalam tabung. Pada secondary antibody terdapat enzim
yang mengkatalisis reaksi kimia substrat dan menimbulkan perubahan
warna yang dapat dilihat dengan mata (gambar 1) (Yoveline dkk., 2008)
Gambar 1. Prinsip kerja metode ELISA
Penilaian serum pasien yang diperiksa dengan metode ELISA
adalah positif, negative, atau indeterminate. Apabila hasil tes ELISA
positif maka dilakukan pengulangan. Hasil positif ELISA diulang
sebanyak 2 kali, dan jika salah satu atau kedua tes ini reaktif, maka
dilakukan tes konfirmasi dengan metode western blood untuk diagnosis
akhir (Dipiro et al., 2008).
Gambar 2.Alur Pemeriksaan HIV dengan Metode ELISA
Metode ini mendeteksi antibody HIV-1 dengan sensitifitas dan
spesivitas yang tinggi (>99%), tetapi dapat terjadi hasil positif palsu atau
negative palsu (Dipiro et al., 2008). Positif palsu adalah kesalahan tes
yang menunjukkan bahwa terdapat HIV pada pasien yang tidak
terinfeksi, sedangkan negative palsu adalah kesalahan tes yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat HIV pada pasien yang terinfeksi.
Positif palsu dapat terjadi pada perempuan yang telah melahirkan
beberapa kali, orang yang baru mendapatkan vaksin hepatitis B, HIV,
influenza, atau rabies, penerima tranfusi darah berulang, dan penderita
gagal ginjal atau hati, atau sedang menjalani hemodialisa kronik. Hasil
negatif palsu dapat terjadi bila pasien baru terinfeksi, dan tes dilakukan
sebelum pembentukan antibody yang adekuat (Wells et al., 2009). Oleh
karena itu, membutuhkan waktu minimum untuk mengembangkan
antibodi sekitar 3 sampai 4 minggu dari awal paparan, dengan lebih dari
95% individu mengembangkan antibodi setelah 6 bulan (Dipiro et al.,
2008).
2. Metode Western blood
Metode western blood digunakan sebagai tes konfirmasi adanya
infeksi HIV. Apabila dikombinasi, sensitivitas pemeriksaan HIV dengan
ELISA dan Western Blood >99,99%. Apabila ELISA dan tes konfirmasi
menunjukkan hasil positif maka pasien diindikasikan terinfeksi HIV. Jika
hasil tes konfirmasi menunjukkan hasil indeterminate, maka dapat
dilakukan pengujian ulang 30 hari kemudian atau dilakukan tes viral load
jika pasien berisiko tinggi atau terdapat gejala klinis yang mendukung
infeksi HIV (Dipiro et al., 2008).
Kriteria hasil positif pada pemeriksaan Western Blood bermacam-
macam. Di Indonesia, digunakan criteria Centers for Disease Control
and Prevention (CDC), yaitu hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila terdapat dua diantara tiga protein HIV, yaitu p24, g41, dan
gp120/160. Hasil pemeriksaan dinyatakan negative apabila tidak
ditemukan pita protein. Hasil lain diluar dua ketentuan tersebut
dinyatakan sebagai indeterminate (Yoveline dkk, 2008).
Setelah didiagnosis, penyakit HIV dipantau terutama oleh dengan
dua cara yaitu, jumlah viral load dan Cluster of Differentiation 4 (CD4)
(Dipiro et al., 2008). Viral Load HIV adalah jumlah partikel virus HIV
yang ditemukan dalam setiap mililiter darah. Semakin banyak jumlah
partikel virus HIV di dalam darah, semakin cepat sel-sel CD4
dihancurkan dan semakin cepat pasien menuju ke arah AIDS. Salah satu
cara pengukuran jumlah viral load dengan menggunakan metode Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai copies/ml atau dalam perhitungan matematik
logaritma atau ‘log’. Sebagai contoh, jika pasien dengan jumlah awal
viral load 100.000 kopi/mL (105 kopi/mL) dan kemudian memiliki viral
load 10.000 kopi/mL (104 kopi/mL), maka penurunan viral load adalah 1
log10 (Dipiro et al., 2008). Viral load menunjukkan tingginya replikasi
HIV dan kecepatan penghancuran CD4. Jumlah limfosit CD4 dalam
darah dapat dijadikan penanda perkembangan penyakit. Jumlah CD4
dewasa normal berkisar 500-1600 sel /mikroliter, atau 40% sampai 70%
dari semua limfosit. Penurunan sel CD4 telah dikaitkan dengan
perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan AIDS lainnya.
Sumber :
Depkes RI, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), Jakarta.
Helms, R.A., Quan, D.J., Herfindal, E.T., Gourley, D.R., 2006,
Textbook of Therapeutic Drug and Disease Management, 8th
Ed., W & W Publs., Philadelphia.
Koda-Kimble, 2009, Applied Therapeutics : The Clinical Use Of
Drugs, 9th Ed., New York : Mc. Graw Hill.
VI. TATALAKSANA TERAPI
Secara konseptual, ada tiga metode utama dari
intervensi terapeutik terhadap HIV: penghambatan replikasi
virus, vaksinasi untuk menstimulasi respon imun yang lebih
efektif, dan pemulihan sistem kekebalan tubuh dengan
imunomodulator.
a. Tujuan terapi :
Menekan proses repiklasi virus HIV semaksimal mungkin.
b. Terapi Farmakologi :
Menghambat replikasi virus dengan kombinasi obat ART
telah menjadi strategi yang paling sukses hingga saat ini
karena virus HIV mudah resisten. Terdapat tiga kelompok
utama obat yang digunakan yaitu Entry inhibitor, inhibitor
reverse transcriptase, dan protease inhibitor
1) Entry inhibitor (menghambat perlekatan virus ke sel
CD4)
RT inhibitor (RTI’s) menghambat enzim RT sehingga tidak
terjadi proses transkripsi. Ihibitor reverse transcriptase terdiri dari
dua jenis yaitu nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors
(NRTI’s) dan golongan (nonnucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI’s)
2) Protease inhibitor
Menghambat proses pemotongan protein rantai panjang
sehingga tidak menjadi protein yang sesuai dengan
kebutuhan virus.
Regimen kombinasi ARV
Strategi yang paling efektif untuk menekan replikasi HIV
adalah dengan pemberian ARV secara kombinasi. Setiap
regimen harus diberikan dengan dosis dan waktu
pemberian yang optimal.
Regimen kombinasi ARV :
1) NNRTI ( Non Nucleosid Reverse Transkriptase
Inhibitor ) + 2 NRTI
- Efavirenz + Lamivudine + Zidovudine
- Efavirenz + Emtricitabine + Zidovudine
- Efavirenz + Lamivudine / Emtricitabine + Didanosine
- Nepiravine + lamivudine / Emtricitabine +
Zidovudine
2) PI ( Protease Inhibitor) sebagai basis regimen + 2 NRTI
- Lapinovir/ Ritonavir + Lamivudine + Zidovudine
- Amprenavir / Ritonavir + Lamivudine / Emtricitabine
+ Zidovudine
3) Triple NRTI ( Nucleosid Reverse Transkriptase
Inhibitor )
- Abacavir + Lamivudine + Zidovudine
- Abacavir + Lamivudine + Stavudine
c. Treatment in pregnancy
Pilih ARV yang aman untuk janin dan tidak teratogen yaitu
Zidovudine monoterapi
Regimen zidovudine :
- Antepartum Zidovudine ( 100 mg 5x sehari)
Sebelum persalinan, untuk mencegah terjadinya transmisi
Diberikan setelah 14minggu usia kehamilan, (untuk
meminimalkan resiko terhadap janin)
- Continous infusion during labor ( selama proses
persalinan caesar, tidak boleh normal ) yaitu dengan : infuse 2mg/kg
i.v selama 1jam, dilanjutkan 1mg/kg/jam.
Perhatian khusus pada terapi ARV
1) ADR (potensi ESO yang paling kuat : diare, anemia,
nausea, vomiting)
2) Drug Interaction
- Amprenavir , Efavirenz, Nevirapine merupakan
inducer drug metabolism. Berpotensi menurunkan
kadar obat lain bila digunakan bersamaan obat lain
yang dimetabolisme enzyme CYP450.
- Delavir, PI’s juga merupakan inhibitor drug
metabolism.
d. Terapi lain / Adjuvant :
- Obat obat immunostimulan
- Makanan bergizi
Terapi ARV bersifat long life. Terapi ini dapat menekan
virus, tetapi tidak dapat memastikan virus sudah tidak ada
dalam tubuh pasien sampai benar benar dipastikan dalam
darah sudah tidak ada lagi virus.
VII. MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI
1. Monitoring terapi
Untuk mendapatkan keberhasilan terapi antiretroviral harus diikuti
dengan kegiatan monitoring terapi. Monitoring terapi dilakukan secara
periodik setelah mulai pemberian terapi antiretroviral.
2. Monitoring kepatuhan
Monitoring kepatuhan dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana
pasien patuh menjalani terapi. Monitoring kepatuhan terapi dapat
dilakukan dengan :
a) Menghitung jumlah obat yang tersisa pada saat pasien mengambil
obat kembali.
b) Melakukan wawancara kepada pasien atau keluarganya, berapa kali
dalam sebulan pasien tidak minum obat. Sebagai contoh jika
diperlukan tingkat kepatuhan sebesar 95 % dan pasien harus minum
obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan maka pasien diharapkan
tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat.
c) Membuat kartu monitoring penggunaan obat.
d) Memberi perhatian kepada kelompok wanita hamil yang harus
menjalani terapi antiretroviral karena pada umumnya tingkat
kepatuhan rendah. Hal ini disebabkan karena adanya sensasi mual &
muntah pada saat kehamilan dan menjadi lebih berat karena efek
samping obat pada umumnya dapat menimbulkan mual dan muntah.
e) Golongan lain yang perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan
kepatuhan dalam pengobatan antiretroviral adalah penderita infeksi
HIV/ AIDS pada anakanak. Usaha untuk meningkatkan kepatuhan
pada penderita anak adalah dengan cara sebagai berikut :
o Menyediakan obat yang siap diminum dalam serbuk dosis terbagi
untuk satu kali pemakaian.
o Memodifikasi bentuk sediaan sehingga lebih enak diminum.
o Memberikan edukasi kepada orang tua untuk selalu teratur
memberikan obat kepada anaknya.
3. Monitoring keberhasilan terapi
Monitoring ini dilakukan untuk melihat apakah rejimen obat
antiretroviral yang diberikan memberikan respon pada penekanan jumlah
virus dan dapat menaikkan fungsi kekebalan tubuh. Jika rejimen yang
dipilih tidak memberikan respon pada penekanan jumlah virus perlu
dipertimbangkan untuk mengganti dengan rejimen yang lain.
4. Monitoring efek samping obat
Monitoring efek samping obat dilakukan untuk memantau apakah
timbul efek samping pada penggunaan obat antiretroviral, baik efek
samping yang bersifat simtomatik maupun gejala toksisitas yang mungkin
terjadi. Efek samping yang terjadi perlu diatasi dengan pemberian obat-
obatan atau penghentian/ penggantian terapi jika timbul toksisitas yang
membahayakan. Pelaporan efek samping obat yang tidak diduga
menggunakan formulir Monitoring Efek Samping Obat ( MESO ).
Dokumen kejadian efek samping obat perlu direkap dan diinformasikan
secara periodik kepada anggota tim yang lain sebagai bahan pertimbangan
dalam memberikan terapi. Monitoring dapat dilakukan dengan
menjadwalkan kunjungan ke klinik secara periodik untuk menghindari
efek samping yang dapat membahayakan. Keberhasilan terapi dapat
ditingkatkan dengan cara-cara berikut :
a. Pemberian informasi dan edukasi yang jelas kepada pasien sebelum
memulai terapi
b. Meyakinkan pasien bahwa pengobatan dengan antiretroviral dapat
memberikan manfaat.
c. Melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya kepatuhan pasien dalam pengobatan. Beberapa faktor yang
sering menyebabkan pasien tidak teratur minum obat adalah :
Jumlah obat yang banyak
Kejenuhan pasien karena harus terus menerus minum obat
Menurunnya daya ingat pasien (pelupa)
Depresi
Ketidakmampuan pasien mengenali terapi
Rendahnya edukasi kepada pasien
Efek samping obat
d. Mempermudah pasien mendapatkan akses untuk memperoleh
informasi obat.
e. Penemuan baru di bidang teknologi farmasi untuk memudahkan
pasien minum obat ( menyederhanakan penggunaan obat )
f. Menyediakan sarana untuk memudahkan minum obat, seperti pil
dispenser
5. Evaluasi Terapi
Evaluasi terhadap keberhasilan terapi ARV yang dilakukan adalah
melakukan dua uji laboratorium yaitu mengetahui jumlah RNA HIV
dalam pelasma darah dan perhitungan jumlah sel CD4. Setelah terapi
dimulai biasanya pasien dimonitoring setiap 3 bulan, meskipun
pengamatan pada minggu ke-2 sampai ke-8 dilakukan untuk
mendokumentasikan awal respon. Dua indikasi untuk perubahan terapi
adalah adanya toksisitas yang signifikan dan kegagalan terapi. Jika agen
tunggal yang menyebabkan terjadinya efek samping maka diubah menjadi
regimen. Perhatian harus dilakukan ketika obat dengan regimen memiliki
toksisitas yang berlapis, yang membuat perubahan agen tunggal
bermasalah. Toksisitas yang serius dan mengancam jiwa membuat
penghentian penggunaan regimen seluruhnya sebelum dilakukan terapi
selanjutnya.
Jika terjadi kegagalan terapi yang harus dilakukan untuk penggantian
terapi adalah sebagai berikut :
a. Penurunan RNA HIV dalam 1-4 minggu setelah pemberian terapi
kurang dari 1 log 10, kurang dari 400 copies/ml dalam 24 minggu
atau RNA HIV kurang dari 50 copies/ml dalam 48 minggu.
b. Setelah penekanan RNA HIV dilakukan, RNA HIV terdeteksi
kembali.
c. Terjadinya perkembangan penyakit baru.
PUSTAKA
Depkes RI, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), Jakarta.
Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L., 2008, Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach, Seven Edition, Mc. Graw Hill Medical Publishing, New York.
Helms, R.A., Quan, D.J., Herfindal, E.T., Gourley, D.R., 2006, Textbook of Therapeutic Drug and Disease Management, 8th Ed., W & W Publs., Philadelphia.
Koda-Kimble, 2009, Applied Therapeutics : The Clinical Use Of Drugs, 9th Ed., New York : Mc. Graw Hill.
Wells, B. G., Joseph T.D., Terry L.S., Cecily V.D, 2009. Pharmacotherapy Handbook Seven Editiom. Mc. Graw-Hill Medical Publishing, New York.
Yoveline A, Retno W., Yuli K., Saleha S, 2008. Peran Rapid Oral HIV-Test dalam Diagnosa HIV. Majalah Kedokteran Indonesia Vol 58:12.