43
Tugas Individu Mata Kuliah : Kimia Forensik Lanjutan Dosen : Dr.Nursamran Subandi. M.Si NARCOTIC IN FORENSIC POINT OF VIEW. OLEH : AWALUDDIN IWAN PERDANA (P1100212006) JURUSAN KIMIA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013

Makalah forensik 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

FINAL

Citation preview

Page 1: Makalah forensik 3

Tugas Individu

Mata Kuliah : Kimia Forensik Lanjutan

Dosen : Dr.Nursamran Subandi. M.Si

NARCOTIC IN FORENSIC POINT OF VIEW.

OLEH :

AWALUDDIN IWAN PERDANA (P1100212006)

JURUSAN KIMIA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2013

Page 2: Makalah forensik 3

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera Bagi Kita Semua.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kehidupan kita dapat berkarya

serta melaksanakan tugas dan kewajiban kita masing – masing. Semoga kita semua selalu

mendapat petunjuk dan perlindungan-Nya sepanjang masa. Dan atas izin – Nya,

Alhamdulillah niat dan tekad penyusun untuk menyelesaikan penyusunan makalah pada mata

kuliah Kimia Forensik Lanjutan dengan judul “narcotic in forensic point of view” dapat

tersusun dengan baik.

Makalah ini di susun dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai literatur

tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang di bahas.

Walaupun demikian, tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam

makalah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penyusun terbuka dengan

senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan

penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak dan sumbangsih untuk kemajuan perkembangan IPTEK.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Makasar, 4 Juni 2012

PENYUSUN

Page 3: Makalah forensik 3

BAB 1

PENGANTAR TOKSIKOLOGI FORENSIK

1.1.Pendahuluan

LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga

kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi

forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu

toksikologi untuk kepentingan peradilan.

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang forensik sein. Meminjam

pengertian Forensic Science dari Saferstein adalah ”the application of science to low”, atau

secara umum dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu

untuk penegakan hukum dan keadilan.

Analisis toksikologi forensik pertama-kali dikerjakan oleh Orfila pada tahun

1813, dia memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan dengan

arsen) di Paris, dengan metode analisis arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan oleh

keracuanan arsen. Melalui kerjanya ini dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena

minatnya terpusat pada efek tokson, selain itu karena ia memperkenalkan metodologi

kuantitatif ke dalam studi aksi tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan suatu bidang

toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Menurut Orfila, para ahli kimia yang

dihadapkan pada tindak pidana pembunuhan dengan racun, harus menyempurnakan

tahapantahapan pemeriksaan untuk mengungkapkan tindak kriminal tersebut dan

mengarahkan hakim untuk menghukum orang yang bersalah.

1.2. Bidang kerja Toksikologi Forensik

Toksikologi forensik mencakup aplikasi ilmu pengetahuan dan studi tentang racun untuk

menjawab pertanyaan yang timbul di dalam proses pengadilan. Subjek ini selalu berkaitan

dengan tugas polisi, dokter forensik, jaksa dan hakim.

Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk

kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis

kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik ”fisical evidance” dan menerjemahkan

temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam

tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di

pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu

laporan yang sesuai dengan hukum dan perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara

Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat

Page 4: Makalah forensik 3

Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi

untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan.

Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh

berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi,

farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.

Secara umum bidang kerja toksikologi forensik meliputi:

- analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,

- analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang

dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai

kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan

dooping),

- analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,

psikotropika dan obat terlarang lainnya.

Tabel 1.1. Kasus-kasus toksikologi forensik yang melibatkan

Page 5: Makalah forensik 3

6.3. Bilamana pemeriksaan toksikologik diperlukan

Dalam tabel 1.1. digambarkan kasus-kasus yang umumnya di negara maju memerlukan

pemeriksaan toksikologi forensik. Kasus-kasus tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga

kelompok besar yaitu:

a. kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,

kematian pada kebakaran, kematian setelah tindakan medis yang disebabkan oleh efek

samping obat atau kesalahan penanganan medis, kematian mendadak yang terjadi

pada sekelompok orang, dan kematian yang dikaitkan dengan tindakan abortus,

b. kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa

sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan,

alkohol, atau pun narkoba, seperti kecelakaan transportasi khusus pada pengemudi

dan pilot, kasus pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya, kasus penganiayaan atau

pembunuhan, dan

c. penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat

pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya,

yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasuskasus forensik farmasi).

Dari sekian contoh kasus-kasus yang perlu dilakukan pemeriksaan toksikologik, lalu timbul

pertanyaan: Siapa yang memutuskan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dan siapa yang

berkompeten untuk melakukan pemeriksaan tersebut? Sudah barang tentu yang memutuskan

untuk melakukan adalah tim penyidik dan yang melakukan adalah seorang yang berkompeten

yaitu “toksikolog forensik”. Lalu dimana lembaga toksikolog forensik tersebut di negara kita?

1.4. Keracunan

Kasus keracunan karena kecelakaan atau upaya bunuh diri umumnya menjadi tanggungjawab

ahli toksikologi klinis atau ahli biokimia yang bekerja pada suatu pusat pengendalian

keracunan di rumah sakit. Keterlibatan analisis toksikologi sebagai upaya menegakkan terapi

instoksikasi.

Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnose klinis, dimana diagnose ini dapat

dijadikan dasar dalam melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga

ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan.

Kasus keracunan menjadi urusan ahli toksikologi forensik apabila ada pernyataan dari orang

yang keracunan tentang keterlibatan pihak-pihak tertentu sebagai penyebab keracunan

tersebut, atau karena pasien meninggal dan keterangan tentang penyebab kematiannya

dibutuhkan oleh penyidik karena dugaan adanya tindak pidana dalam kasus tersebut.

Page 6: Makalah forensik 3

Persentase kasus-kasus semacam ini terhadap keseluruhan kasus keracunan yang terjadi di

masyarakat umumnya relatip kecil.

Tujuan utama dari analisis toksikologi forensik dalam penyidikan kasus keracunan adalah

berupaya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang mungkin timbul selama

berlangsungnya penyidikan atau pada tahapantahapan peradilan lainnya. Pertanyaan

tradisionil yang harus dijawab adalah: - apakah orang itu diracun. Apabila hasil pengujiannya

adalah positip, maka pertanyaan-pertanyaan berikut akan menyusul, seperti : -bagaimana

identitas racunnya, -bagaimana cara pemberiannya, - bagaimana pengaruh racun tersebut dan

–apakah jumlah racun yang dikonsumsi orang tersebut cukup berbahaya atau mematikan.

Dalam pemeriksaan forensik kasus keracunan berdasarkan tujuan pemeriksaannya, dapat

dibagi kedalam dua kelompok, yaitu pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian

dan yang kedua untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya: peristiwa

pembunuhan, kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan pesawat udara, dan pemerkosaan, dapat

terjadi. Tujuan kedua ini sebenarnya merupakan kasus yang terbanyak, namun sampai saat ini

masih sangat sedikit dilakukan penyidikan. Tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat

suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat-obatan atau

racun tersebut berperan sehingga peristiwa itu dapat terjadi.

Pada kedua tujuan pemeriksaan atas diri korban diharapkan dapat diketemukan racun atau

obat dalam dosis tertentu sebagai dasar untuk menduga kenapa peristiwa tersebut terjadi.

Misalnya pada kasus kematian akibat racun, diharapkan cukup bukti konsentrasi obat “racun”

dalam darah/tubuh dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada tujuan pemeriksaan yang

kedua diperlukan interpretasi apakah konsentrasi obat “racun” dalam darah dapat

menyebabkan peristiwa yang dituduhkan terjadi.

Tabel 6.2. Racun yang sering menyebabkan keracunan dan simptomatisnya

Page 7: Makalah forensik 3

Adapun dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan toksikologi pada keracunan adalah

KUHAP pasal 133 (1), yang berbunyi:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran forensik

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”

Jadi pemeriksaan toksikologi forensik mempunyai kekuatan hukum dan bersifat projustisia.

Tabel berikut ini (tabel 1.2) adalah daftar racun penyebab keracunan dan efek yang

ditimbulkan:

Kasus kematian yang disebabkan olah racun dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Kecelakaan/kematian tidak sengaja: Kebanyakan kecelakaan kerecunan yang terjadi di

rumah-tangga, seperti: keracunan pada anakanak akibat kelalaian atau kurang tepatnya

penyimpanan bahan-bahan rumah tangga berbahaya (ditergen, pestisida rumah-tangga, obat-

obatan), sehingga dapa dijangkau oleh anak-anak, adalah umumnya akibat

ketidaksengajaan/kelalaian. Untuk menghindari kasus keracunan ini diperlukan pesan

informasi pada etiket sediaan rumah-tangga mengenai, cara penyimpanan yang benar dan

pertolongan pertama apabila terjadi keracunan pada anakanak.

Kecelakaan keracunan pada orang dewasa biasanya berhubungan dengan hilangnya label

“penanda” pada bahan beracun, penyimpanan tidak pada tempatnya, misal disimpan di dalam

botol minuman, kaleng gula, kopi dll, yang dapat menyebabkan kekeliruan. Kecelakaan

keracunan mungkin juga dapat terjadi di industri, untuk menghidari kecelakan akibat

kelalaian kerja diperlukan protokol khusus tentang keselamatan kerja di industri. Protokol ini

berisikan standard keamanan, peraturan perlindungan kerja, tersedianya dokter dalam

penanganan kasus darurat pada keracunan fatal.

b) Penyalahgunaan obat-obatan

Penyalahgunaan obat-obatan adalah penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu yang

bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan untuk memperoleh perubahan perasaan atau

menimbulkan rasa bahagia “eporia”. Fakta menunjukkan sering akibat penyalahgunaan obat-

obatan dapat mengakibatkan beberapa keracunan, sampai kematian. Kematian pemakaian

heroin umumnya diakibatkan oleh depresi “penekanan” fungsi pernafasan, yang

mengakibatkan kegagalan pengambilan oksigen, sehingga terjadi penurunana kadar oksigen

Page 8: Makalah forensik 3

yang drastis di otak. Pada kematian akibat keracunan heroin biasanya disertai dengan udema

paru-paru. Hal ini menandakan telah terjadi dipresi pernafasan.

Umumnya penyalahgunaan obat-obatan melibatkan penggunaan obat-obatan golongan

narkotika dan psikotropika, seperti narkotika (golongan opiat), hipnotika.sedativa

(barbiturat), halusinogen (3-4 metil deoksimetamfetamin “MDMA”, metil dioksiamfetamin

“MDA”, fensilidin “PCP”), dan stimulan (amfetamin, cocain).

Keracunan akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat juga sebabkan oleh kelebihan dosis,

pengkonsomsi alkohol, atau salah pengobatan oleh dokter “mismedication”.

c) Bunuh diri dengan racun

Kasus kecelakan bunuh diri menggunakan pestisida rumah-tangga, ditergen, atau

menggunakan kombinasi obat-obatan yang komplek. Pada kasus bunuh diri dengan

obatobatan kadang ditemukan 3 hingga 7 jenis obat.

Untuk mencari penyebab kematian pada kasus bunuh diri diperlukan analisis toksikologi,

yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif racun di cairan lambung, darah, urin, dan organ tubuh

lainnya untuk mencari dan menentukan jumlah minimum penyebab keracunan.

d) Pembunuhan menggunakan racun

Penyidikan kematian seseorang akibat pembunuhan dengan racun adalah penyidikan yang

paling sulit bagi penegak hukum dan dokter ferensin “termasuk toksikolog forensik”. Secara

umum bukti keracunan diperoleh dari simptom yang ditunjukan sebelum kematian.

Penyidikan pasca kematian oleh dokter patologi forensik dengan melakukan otopsi dan

pengambilan spesimen “sampel”, yang kemudian dilakukan analisis racun oleh toksikolg

forensik merupakan sederetan penyidikan penting dalam penegakan hukum.

Sampai saat ini belum terdapat data yang pasti yang menyatakan jumlah kasus keracunan

pertahun di Indonesia, dari studi jumlah kasus keracunan yang masuk ke Rumah Sakit

Sanglah diketemukan hampir terdapat 30 sampai dengan 50 kasus yang ditangani. Frekuensi

kasus didominasi oleh keracunan yang diduga disebabkan oleh: makanan, insektisida rumah

tangga (obat nyamuk), parasetamol, spikotropika dan narkotika, serta alkohol. Sedangkan

loporan SUBANDI (2005) “PusLabFor Bareskrim POLRI” kasus keracunan yang

ditanganinya didominasi oleh keracunan oleh makanan/minuman “food intoxication”, dikuti

secara berturut-turut oleh kasus keracunan obat-obatan (over dosis obat), kasus keracunan gas

(misalnya karbon monoksida), kasus keracunan insektisida, dan kasus keracunan lainya.

Peningkatan kasus keracunan makanan/minuman dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti

semakin bervariasinya bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat, kondisi ekonomi

masyarakat, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahan makanan yang

Page 9: Makalah forensik 3

mereka konsumsi, rendahnya kesadaran pihak-pihak produsen makanan terhadap tingkat

keamanan makanan yang mereka jual/produksi. Selain itu, belum optimalnya pengawasan

yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas yang mempunyai kewenangan ini.

Sedangkan rendahnya tingkat keamanan kerja, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para

buruh pabrik merupakan faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya keracunan

bahan kimia pada pabrik/industri yang menggunakan/memproduksi bahan-bahan tersebut.

Upaya pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan bahan beracun pada produk

makanan, secara langsung tidak termasuk dalam kajian toksikologi forensik. Tetapi, apabila

pihak masyarakat yang mengkonsumsi bahan makanan yang diproduksi oleh perusahaan

tertentu menjadi korban keracunan dan persoalannya diproses secara hukum, maka ahli

toksikologi forensik berperan untuk membuktikan bahwa keracunan yang dialami oleh

korban benar diakibatkan oleh bahan beracun yang terdapat di dalam makanan yang mereka

konsumsi tersebut

1.5. Langkah-langkah analisis toksikologi forensik

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dan toksikologi klinik dalam melakukan

analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:

a) penyiapan sampel “sample preparation”,

b) Analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general

unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi,

c) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.

Berbeda dengan kimia analisis lainnya seperti: analisis senyawa obat dan makanan,

analisis kimia klinis, pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun),

yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis.

Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi

forensik. Seperti kita ketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa

kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target

analisis, biasanya target analit dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik

(baca keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah

pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat

kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.

Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induknya,

melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, matabolit

dari senyawa induk juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada

umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan

Page 10: Makalah forensik 3

biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan

analisis toksikologi forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi.

Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan

merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik

dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan

kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).

1.6. Peranan toksikologi forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan

Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam

menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah hukum. Dalam

kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai

masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena

kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.

b. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis.

Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud

perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis

dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana.

Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik,

fisika forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi

forensik, dan entomogoli forensik.

c. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah manusia Dalam

kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi

forensik.

Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman dari tindak

kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perbuatannya, manusia tidak terlepas

dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping itu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial,

yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga

dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal

(dipengaruhi oleh lingkungannya).

Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah / kasus-

kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan manusia.

Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan peradilan,

khususnya perkara pidana.

Page 11: Makalah forensik 3

Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan perkara pidana diawali

oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang

dilakukan oleh kepolisian, namun dalam khasus-khasus khusus (tindak kejahatan ekonomi

dan pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan penyidikan.

Sampurna (2000) menggambarkan proses penyidikan sampai ke persidangan seperti pada

gambar 1.1. Upaya penyidikan pada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan disusul

oleh proses pengadilan. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya untuk

membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa si

terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut. Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat

bukti yang sah ke depan persidangan. Guna mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati

kebenaraan materiil, dalam pembuktian (penyidikan dan pemeriksaan bukti fisik) harus

dilakukan pembuktian secara ilmiah.

Peran toksikolog forensik dalam membantu penyidik dalam penyelesaian kasus tindak pidana

tersirat dalam pasal 133 (1) KUHAP, berbunyi: dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena

Page 12: Makalah forensik 3

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan

ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Dalam pembuktian

kasus penyalahgunaan Narkorba dan Zat aditif lainnya mutlak diperlukan peran toksikolog

forensik.

Sesuai dengan bagan pada gambar 1 toksikolog forensik dapat terlibat dalam penyidikan

kasuskasus toksikologi pada pemeriksaan bukti fisik, sampai persidangan. Hasil analisis

toksikologik berupa ada-tidaknya zat racun yang diduga terlibat dalam kasus yang

dituduhkan (misal keracuanan), dan interpretasi dari temuan analisis sebagai suatu

argumentasi apakah zat racun, dengan konsetrasi terukur dapat diduga sebagai penyebabkan

keracunan. Dipersidangan seorang toksikolog forensik dapat dipanggil oleh hakim sebagai

saksi ahli.

1.7. Keberadaan analisis toksikologi forensik di Indonesia

Sampai saat ini analisis toksikologi forensik di Indonesia diselenggarakan oleh Laboratorium

Forensik Bareskrim Mabes Polri. Hal ini sesuai dengan tugas pokok Laboratorium forensik

Bareskrim Polri, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Pasal 14, butir c, yaitu membina dan menyelenggarakan fungsi laboratorium

forensik dalam mendukung penyidikan yang dilakukan oleh Polri.

Pemeriksaan kasus-kasus toksikologi forensik dilaksanakan di Labfor Polri, khususnya pada

unit Toksikologi dan Pencemaran Lingkungan, di bawah kendali Departemen Kimia dan

Biologi Forensik (Subandi 2005). Pemeriksaan toksikologi forensik dapat berupa

pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan Barang Bukti (BB) yang berkaitan

kasus-kasus keracunan/peracunan yang diduga mengandung unsur tindak pidana.

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mendukung penyidik dalam mengungkapkan kasus yang

mereka sidik. Hasil pemeriksaan toksikologi forensik dituangkan dalam bentuk Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) Laboratoris Kriminalistik yang dapat menjadi salah satu alat bukti yang

sah di pengadilan. Selain dalam bentuk BAP, pemeriksa toksikologi forensik di Labfor Polri

juga dapat mendukung penyidik, jaksa dan hakim dengan menjadi saksi ahli di pengadilan

apabila pihakpihak tersebut memerlukannya.

Dalam pelaksanaan pemeriksaan toksikologi forensik Labfor Bareskrim Mabes Polri

bekerjasama dengan pihak lain seperti Instalasi Kedokteran Forensik, khususnya dalam

mengungkap penyebab kematian. Selain itu, sudah menjadi aturan main bahwa “Keterangan

Penyebab Kematian” harus dikeluarkan oleh pihak dokter yang melakukan otopsi, maka

kerjasama antara pemeriksa toksikologi di Labfor Bareskrim Mabes Polri dengan dokter

forensik merupakan hal yang harus dilakukan, khususnya dalam penanganan kasus keracunan

Page 13: Makalah forensik 3

dengan korban meninggal. Dalam hal ini, kesimpulan hasil pemeriksaan toksikologi forensik

di Labfor Bareskrim Mabes Polri juga dimasukkan menjadi bagian dari Visum et Revertumer

yang dikeluarkan oleh dokter forensik (Subandi 2005).

Page 14: Makalah forensik 3

BAB 2

NARKOTIKA DAN OBAT-OBATAN TERLARANG

(NARKOBA)

2.1. Definisi Narkotika dan obat-obat Terlarang (Narkoba)

Narkoba merupakan barang terlarang di masyarakat, tidak mungkin diedarkan secarat erang-

terangan. Mereka biasanya berdagang secara sembunyi-sembunyi, penjual berusaha menjual

barang kepada yang mereka kenal betul atau konsumen yang mereka anggap aman. Mereka

menyadari betul akan resiko apabila tertangkap oleh petugas maupun sampai dipergoki

masyarakat sehingga dilaporkan pada petugas, karena ancaman hukuman LIMO (narkoba

sangat tinggi bahkan ada yang sampai pada hukuman mati).

Istilah “narkoba” muncul sekitar tahun 1998, karena banyak terjadi peristiwa penggunaan

atau pemakaian barang-barang yang termasuk dalam golongan narkotika dan obat-obatan

adiktif yang terlarang. Oleh sebab itu untuk memudahkan orang berkomunikasi dan tidak

menyebut istilah yang tergolong panjang, maka kata-kata “narkotika dan obatobatan adiktif

yang terlarang” disingkat menjadi narkoba. Makin lama istilah tersebut makin sering

terdengar di telinga dan disebut-sebut orang. Namun demikian sekalipun sudah banyak orang

mengenal istilah narkoba, belum semua orang mengerti yang namanya narkoba itu apa saja,

karena barang-barang yang termasuk dalam narkoba itu banyak macamnya dan merupakan

barang yang terlarang di masyarakat.

Kalangan muda dan remaja merupakan kalangan yang sangat rentan terhadap

penyalahgunaan narkoba ini, oleh sebab itu bila tidak segera diatasi akan menjadi bahaya

yang sangat besar bagi bangsa dan negara kita. Kalangan muda terutama para remajanya

adalah kalangan yang mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba, karena masa remaja

adalah masa seorang anak mengalami perubahan cepat baik dalam perubahan tubuh,

perasaan, kecerdasan, sikap sosial, kepribadian, namun jiwanya masih labil dan mudah

terpengaruh oleh lingkungan sehingga terkadang mengarah pada perilaku nakal. Demikian

halnya mereka yang berusia 21 tahun sampai dengan 25 tahun, menurut Dr. Zakiah Daradjat

walaupun dari perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, dan emosinya

juga sudah stabil, namun dari segi kematangan agama dan ideologi masih dalam proses

pemantapan.

Dengan adanya pemberitaan di berbagai media massa, baik yang merupakan siaran yang ada

kaitannya dengan ilmu pengetahuan maupun pemberitaan yang berkenaan dengan

kriminalitas, maka semakin banyak orang yang mulai mengenal macam-macam narkoba yang

Page 15: Makalah forensik 3

sudah cukup banyak digunakan secara tidak sah di Indonesia, yaitu antara lain yang dikenal

dengan istilah ganja, kokain, heroin, pil nipam, pil koplo, ekstasi, shabu-shabu dan

sebagainya.

Dalam kasus-kasus narkoba yang melibatkan warga masyarakat, narkoba dapat sampai ke

tangan seseorang selaku pengguna atau pemakai adalah dari perdagangan gelap. Para

pemakai narkoba tidak akan sembarangan mau menikimati barang tersebut di mana saja,

seperti di warung atau restoran, dalam perjalanan dimana banyak orang ada disekitarnya,

ditempat hiburan yang terbuka dan sebagainya, tetapi mereka mencari tempat-tempat yang

sifatnya tertutup yang mana hanya orang-orang tertentu di lingkungan mereka saja yang tahu,

bahkan tidak jarang orang terdekat mereka seperti orang tua dan keluarga dekat yang tinggal

dalam satu rumah tidak menyadari bahwa ada anggota keluarga mereka yang sedang

memakai narkoba.

Bahaya penggunaan narkoba sangat besar pengaruhnya terhadap bangsa dan negara kita,

sebab kalau sampai terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di masyarakat,

1 Zakiah Daradjat., “Faktor-faktor yang merupakan masalah dalam proses pembinaan

generasi muda”. Kertas kerja pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan

Anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, tanggal 24-26 Januari 1980 di Jakarta maka

bangsa kita akan menjadi bangsa yang sakit. Tentu saja akan besar pula pengaruhnya

terhadap ketahanan nasional.

Beberapa faktor yang mempengaruhi seorang menjadi pemakai sampai akhirnya menjadi

ketergantungan pada narkoba antara lain sebagai berikut

a. Faktor Predisposisi :

1. Gangguan kepribadian.

2. Kecemasan.

3. Depress.

b. Faktor konstribusi.

1. Hubungan interpersonal.

2. Keutuhan keluarga.

3. Kesibukan keluarga.

c. Faktor Pencetus.

1. Pengaruh teman.

2. Kelompok pemakai.

Page 16: Makalah forensik 3

Ketiga kelompok di atas merupakan faktor Demand (permintaan) untuk mempengaruhi

seseorang menjadi memakai, ketiganya juga saling terkait dan saling berpengaruh serta tidak

berdiri sendiri. Jika kondisi-kondisi tersebut telah tercipta maka demand ini hanya menunggu

supply.

Berkenaan dengan perilaku korban akibat penyalahgunaan narkoba sangat dipengaruhi oleh

jenis zat/obat yang dipakai dan dosis yang digunakan, disamping itu juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor.

a. Derajad kemurnian Zat.

b. Bahan pelarut.

c. Riwayat pemakai zat/obat sebelumnya.

d. Kepribadian pemakai.

e. Ada tidaknya rasa sakit sebelumnya.

f. Harapan si pemakai terhadap zat/obat sebelumnya. Suasana pada waktu memakai.Pada

umunya bagi mereka yang baru pertama kali memakai, biasanya timbul rasa tidak enak,

misalnya rasa mual, muntah, kesadaran menurun, gelisah, ketakutan. Bagi mereka yang

memakai untuk mengilangkan rasa sakit akan timbul rasa gembira karena rasa sakit hilang

(euforia). Sebaliknya pada penyalahgunaan obat dapat menimbulkan rasa senang yang

berlebihan, high dan fly, gejala-gejala pada penyalahgunaan narkoba bermacam-macam

tergantung jenis zat/obatnya. Mereka yang mengkonsumsi narkoba berakibat kesehatannya

tidak atau kurang normal. Seorang pemakai narkoba jenis ganja di persidangan mengaku

setelah mengisap beberapa ganja yang dibetuk seperti rokok, badannya terasa enteng dan

melayang. Pengguna ekstasi merasa dirinya kelihatan senang dan kuat berjoget sambil

kepalanya geleng-geleng semalam suntuk, demikian pula pemakai sabu-sabu.

2.2. Macam-Macam Narkotika dan obat-obat Terlarang (Narkoba)

Menurut proses pembuatannya, narkotika berasal dari : Alam, Semi Sintetik dan sintetik

dengan uraian sebagai berikut:

1. Narkotik Alam terdiri :

a. Opium, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum yang getahnya bila

dikeringkan akan menjadi opium mentah.

b. Koka, diperoleh dari daun tumbuhan erythroxylon coca, dalam peredaran mempunyai

efek stimulasia yang disebut kokain.

c. Canabis, diperoleh dan tanaman Perdu Cannabis Saliva (ganja) yang mengandung

tanaman aktif yang bersi fat adiktif

2. Narkotik Semi Sintetik.

Page 17: Makalah forensik 3

Dibuat dari alkalohol opium yang mempunyai inti Phenanthren dan diproses secara kimiawi

menjadi suatu bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotik. Contoh : Heroin, Codein,

Oxymorphon dan lain-lain.

3. Narkotik Sintetik.

Dibuat dengan suatu proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia sehingga

diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek Narkotik.

Narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis

maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam

golongan, yang masing-masing golongan meliputi :

1. Narkotika Golongan I

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanva dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta “mempunyai

potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.

Ada 26 macam narkotika yang masuk dalam narkotika golongan yaitu antara lain adalah :

- Tanaman papaver somniverum

- Opium mentah

- Opium masak

- Tanaman koka.

- Daun koka

- Kokain mentah

- Kokaina

- Heroin

- Morphine

- Ganja.

2. Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta “mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan”.

Ada 87 macam narkotika golongan II, yaitu antara lain :

- Alfastilmetadol

- Benzetidin

- Betametadol

Page 18: Makalah forensik 3

3. Narkoba Golongan III .

Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta “mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan”

Ada 14 macam narkotika golongan III, yaitu antara lain :

- Asetidihidrokodeina.

- Dokstroproposfem.

- Dihidrokodeina.

Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997, yang dimaksud dengan Narkotika

tersebut meliputi :

1. Golongan Opiat : Heroin, Morfin, Madat, dan lain-lain.

2. Golongan Kanabis : Ganja, Hashish.

3. Golongan Koka : Kokain, Crack

2.3. Aspek Kesehatan Penggunaan Narkoba

Bahaya penyalahgunaan narkotika, juga merupakan bahaya yang sangat buruk dampaknya,

bukan saja bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi umat manusia. Korban-korban

penyalahgunaan narkotika ini sebagian besar adalah generasi muda, berarti bahwa secara

langsung penyalahgunaan narkotika ini merusak generasi-generasi harapan bangsa di masa

yang akan datang.

Sedangkan bahaya dan akibat sosial dari penyalahgunaan narkotika lebih besar daripada

bahaya yang bersifat pribadi, karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara dimasa

mendatang. Adapun yang dimaksud bahaya sosial dalam hal ini antara lain adalah :

1. Kemerosotan moral.

2. Meningkatnya kecelakaan.

3. Meningkatnya kriminalitas.

4. Pertumbuhan dan perkembangan generasi terhenti.

Bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai

dan dapat pula berupa bahaya sosial bagi terhadap masyarakat atau lingkungan. Bahaya yang

bersifat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu:

1. Yang bersifat umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si

pemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut

a. Euphoria, yaitu suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan

dan kondisi badan si pelaku (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotik

dalam dosis yang tidak begitu banyak)

Page 19: Makalah forensik 3

b. Dellirium, adalah suatu keadaan di mana si pemakai narkotika mengalami

menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan

gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis

lebih banyak daripada keadaan euphoria).

c. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami “khayalan”.

Misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya.

d. Weakness adalah kelemahan yang dialami fisik atau psychis/keduaduanya.

e. Drowsiness adalah kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau ingatan

mengantuk.

f. Coma adalah keadaan si pemakai narkotika sampai pada puncak kemerosotan yang

akhirnya dapat membawa kematian.

2. Yang bersifat khusus, yaitu bahaya yang menyangkut langsung terhadap penyalahgunaan

narkotika itu sendiri, dapat menimbulkan efek-efek pada tubuh yang menimbulkan gejala

sebagai berikut :

a. Heroin, termasuk narkotika golongan I. Heroin juga menghasilkan codeine morphine dan

opium. Putauw adalah sebutan lain dari heroin yang berupa serbuk putih dengan rasa pahit,

selain putih, ada kalanya berwarna coklat atau dadu, tergantung pada bahan campurannya,

seperti : kakao, tawas, kina, tepung jagung atau tepung susu. Heroin dapat menghilangkan

rasa nyeri. Cara penggunaan biasanya dengan disuntik ke dalam vena, disedot, atau dimakan

(tapi ini jarang dilakukan). Bahaya akibat mengkonsumsi heroin :

1) tampak mengantuk;

2) bicara cadel, apatis;

3) jalan sempoyongan dan gerak lamban;

4) Daya ingat dan perhatian terganggu;

5) tubuh menjadi kurus, pucat, kurang gizi.

b. Ecstasy, mempunyai merk perdagangan yang terkenal seperti buterfly, black heart, yupie

drag dan lain-lain. Dalam farmakologi tergolong sebagai psikostimulansia (narkotika

golongan II) seperti amfetamine, methamphetamine, kafein, kokain, khat dan nikotin yang

direkayasa untuk tujuan bersenang-senang. Bahaya dan akibatmengkonsumsi ecstasy adalah :

1) dapat menimbulkan denyut jantung dan nadi bertambah cepat;

2) gerak anggota badan tak terkendali (triping);

3) kemampuan berempati meningkat;

4) keintiman bertambah dan rasa percaya diri meningkat;

5) penglihatan kabur;

Page 20: Makalah forensik 3

6) halusinasi.

c. Meth-Amphetamine, disebut juga dengan nama shabu-shabu. Dalam farmakologi termasuk

psiko-stimulansia yang tergolong jenis narkotika golongan II. Bahaya dan akibat

mengkonsumsi jenis narkotika ini sama dengan ecstasy tetapi rasa curiga (paranoid) dan

halusinasi lebih menonjol, sengaja dibuat untuk tujuan bersenangsenang seperti ecstasy.

d. Ganja, nama lainnya adalah mariyuana, hashis. Jenis narkotika ini termasuk golongan 1.

Bahaya dan akibat mengkonsumsi ganja dapat menimbulkan : kedua mata merah, mulut

kering;

1) banyak keringat, jantung berdebar;

2) kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan;

3) denyut jantung bertambah cepat;

4) nafsu makan bertambah;

5) euphoria, apatis, perasaan waktu berjalan lambat.

e. Sedativa/Hipnotika (obat penenang/tidur), obat ini memiliki banyak jenis. Dan tergolong

psikotropika, seperti : metaquanon/mandrax, flunitrazepani, clonazepam, nitrazepatn, dan

lain-lain. Toleransi perkembangannya tidak secepat heroin. Mengkonsumsi obat ini dapat

mengakibatkan :

1) banyak bicara

2) bicara cadel;

3) jalan sempoyongan;

4) pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung dan terlibat

perkelahian;

5) kadang-kadang kesadaran terganggu (dellirium)

f. Alkohol, nama kimianya adalah etanol atau etil alkohol. Banyak jedis dan merek dari

alkohol seperti : bir, wisky, gin, vodka, martini, brem, arak, ciu, saguer, tuak, johnny walker,

black and white dan sebagainya. Rekomendasi farmakologi, obat ini mirip obat

penenang/obat tidur Toleransi perkembangannya lambat, sedangkan gejala putus zat dapat

berakibat fatal, seperti :

1) muka merah;

2) banyak bicara dan cadel;

3) pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung, marah dan

terlibat perkelahian;

4) gangguan koordinasi motorik;

5) jalan sempoyongan;

Page 21: Makalah forensik 3

6) sulit memusatkan perhatian.

2.4. Hukuman Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Menurut Perundang-

Undangan Di Indonesia

Mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, diatur dalam Pasal 59

sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No, 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang mana

seluruhnya merupakan kejahatan. Ancaman hukuman untuk penyalahgunaan psikotropika

maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup dan pidana denda berkisar antara Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta) sampai dengan Rp 5. 000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Menurut ketentuan dalam Pasal 59 sampai dengan 66 yang diancam hukuman antara lain

meliputi Barangsiapa yang :

1. Menggunakan.

2. Memproduksi.

3. Mengedarkan.

4. Mengimpor.

5. Mengekspor.

6. Memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika.

7. Menyalurkan.

8. Menerima penyaluran.

9. Menyerahkan.

10. Menerima penyerahan.

11. Melakukan pengangkutan.

12. Melakukan perubahan negara tujuan.

13. Melakukan pengemasan.

14. Tidak mencantumkan label.

15. Mencantumkan tulisan.

16. Mengiklankan.

17. Melakukan pemusnahan yang tidak sesuai.

18. Menghalang-halangi penderita menjalani pengobatan/perawatan.

19. Menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa ijin.

20. Tidak melapor adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika.

21. Saksi dan orang lain.

Ada 2 (dua) macam sanksi yang dapat dijatuhkan bagi penyalahgunaan psikotropika ini yaitu

sanksi administratif dan sanksi hukum.

Page 22: Makalah forensik 3

Macam-macam sanksi adinistratif yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) Undangundang No. 5

Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah :

a. Teguran lisan.

b. Teguran tertulis.

c. Penghentian sementara kegiatan.

d. Denda administratif.

e. Pencabutan ijin praktek.9

Yang dapat menjatuhkan sanksi di atas adalah Menteri Kesehatan. Dan berdasarkan Pasal 51

ayat(1) Undang-undang Psikotropika ada 3 (tiga) pihak yang dapat dijatuhi sanksi

administrati I karena melakukan pelanggaran undang-undang tersebut yaitu :

1) Pihak pengedar psikotropika : pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana

penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai

pengobatan dan dokter.

2) Pihak lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.

3) Pihak fasilitas rehabilitasi.

Dalam hal sanksi administratif sudah dijatuhkan kepada si pelanggar Undang-undang

Psikotropika, akan tetapi saksi tersebut tidak menghapus proses perkara pidananya. Secara

lebih rinci untuk pelaku penyalahgunaan Psikotropika dapat dikenakan Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dengan klasifikasi sebagai berikut :

a) Sebagai Pengguna.

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 59 dan 62 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun dan paling lama 15

tahun + denda.

b) Sebagai Pengedar.

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 59 dan 60 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun + denda.

c) Sebagai Produsen.

Dikenalkan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 80 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997

tentang Psikotropika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun + denda.

2.5. Peraturan-Peraturan Lain Yang Mengatur Tentang Narkoba

Sedangkan berkenaan dengan Bahan Berbahaya, ada beberapa ketentuan/peraturan yang

perlu diingat, yaitu :

1. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 453/Menkes/Pen/XI/1983 tanggal 16

September 1983, tentang Bahan-bahan Berbahaya.

Page 23: Makalah forensik 3

2. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 86/Menkes/Pen/W/1977, tentang

Minuman Keras.

3. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Noiuoi 329/Menkes/Pen/XII/1976 tentang

Makanan.

4. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 220/Menkes/Pen/LX/1976, tentang

Kosmetika.

5. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 239/MenIces/Pen/V/1985, tentang

Zat-zat warna tetentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya.

6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03/SE/MenKLH?VI/

1987 tentang Prosedur Penanggulangan kasus Pencemaran dan Pengrusakan

Lingkungan Hidup (Limbah).

7. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 7 Tahun 1973, tentang Pengawasan atas

Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.

8. Ordonansi bahan Berbahaya STB No. 377 tahun 1949.

9. Pasal 204, 205, 300, 537, 538, 382bis, 386, 501, 522 KUHP.

Page 24: Makalah forensik 3

BAB 3

ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK

3.1. Pendahuluan

Istilah forensik belakang ini sering mampir di telinga kita melalui berbagai berita kriminal.

Biasanya menyangkut penyidikan tindak pidana seperti mencari sebab-sebab kematian

korban, dan usaha pencarian pelaku kejahatan. Secara garis besar yang dimaksud dengan

forensik sains adalah aplikasi atau pemanfatan ilmu pengetahuan untuk penegakan hukum

dan peradilan.

Tosikologi forensik adalah salah satu cabang forensik sain, yang menekunkan diri pada

aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dan kimia analisis untuk kepentingan peradilan.

Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif

dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah

ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti

dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan

analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan

perundangan-undangan. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut

dengan ”Surat Keterangan Ahli” atau ”Surat Keterangan”.

Secara umum tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum khususnya dalam

melakukan analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian menerjemahkan

hasil analisis ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai

bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Lebih jelasnya toksikologi forensik

mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal,

dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya

dari cairan biologis dan akhirnya menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu

argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus. Menurut masyarakat toksikologi

forensik amerika “society of forensic toxicologist, inc. SOFT” bidang kerja toksikologi

forensik meliputi:

- analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,

Page 25: Makalah forensik 3

- analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat

mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan

bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping),

- analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika

dan obat terlarang lainnya.

Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah membuat suatu rekaan rekostruksi suatu

peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat atau racun tersebut dapat mengakibatkan

perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai, yang dapat mengakibatkan

kecelakaan yang fatal, atau tindak kekerasan dan kejahatan).

3.2. Bilamana memerlukan pemeriksaan toksikologik

Dalam tabel berikut ini digambarkan kasus-kasus yang umumnya di negara maju

memerlukan pemeriksaan toksikologi forensik. Kasus-kasus tersebut dapat dikelompokkan ke

dalam tiga kelompok besar yaitu:

a) kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,

kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping obat

atau kesalahan penanganan medis,

b) kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa sendiri

ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau

pun narkoba,

c) penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat pemakaian

obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya, yang tidak

memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).

Dari sekian contoh kasus-kasus yang perlu dilakukan pemeriksaan toksikologik, lalu timbul

pertanyaan: Siapa yang memutuskan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dan siapa yang

berkompeten untuk melakukan pemeriksaan tersebut? Sudah barang tentu yang memutuskan

untuk melakukan adalah tim penyidik dan yang melakukan adalah seorang yang berkompeten

yaitu “toksikolog forensik”. Lalu dimana lembaga toksikolog forensik tersebut di negara kita?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan “assesment” tugas fungsi pokok lembaga-

Page 26: Makalah forensik 3

lembaga yang terkait, seperti Laboratorium Forensik Polri, BNN, BNP, BNK, Badan

Pengawasan Obat dan Makanan, LabKesDa, Laboratrium Forensik di Universitas dan juga

peraturan perundangan yang berlaku.

Tabel 1. Kasus-kasus toksikologi forensik yang melibatkan

Jenis Kasus Pertanyaan yang muncul Litigasi

Kematian yang tidak

wajar (mendadak)

Apakah ada keterlibatan obat

atau racun sebagai penyebab

kematiannya?

Kriminal: Pembunuhan

Sipil: klaim tanggungan

asuransi, tuntunan kepada

pabrik farmasi atau kimia

Kematian di penjara Kecelakaan, pembunuhan yang

melibatkan racun atau obat

terlarang?

Kriminal: pembunuhan

Sipil: gugatan tanggungan dan

konpensasi terhadap

pemerintah

Kematian pada

kebakaran

Apakah ada unsur penghilangan

jejak pembunuhan?

Apa penyebab kematian: CO,

racun, kecelakaan, atau

pembunuhan?

Kriminal: pembunuhan

Sipil: klaim tanggungan

asuransi

Kematian atau

timbulnya efek samping

obat berbahaya akibat

salah pengobatan

Berapa konsentrasi dari obat dan

metabolitnya?

Apakah ada interaksi obat?

Malpraktek kedokteran,

gugatan terhadap fabrik

farmasi

Kematian yang tidak

wajar di rumah sakit

Apakah pengobatannya tepat?

Kesalahan terapi?

Klaim malpraktek, tindak

kriminal, pemeriksaan oleh

komite ikatan profesi

kedokteran (”IDI”)

Kecelakaan yang fatal Apakah ada keterlibatan racun, Gugatan terhadap ”employer”,

Page 27: Makalah forensik 3

di tempat kerja, sakit

akibat tempat kerja,

pemecatan

alkohol, atau obat-obatan?

Apakah kematian akibat

”human eror”?

Apakah sakit tersebut

diakibatkan oleh senyawa kimia

di tempat kerja? Pemecatan

akibat terlibat penyalahgunaan

Narkoba?

Memperkerjakan kembali

Kecelakan fatal dalam

menyemudi

Meyebabkan kematian?

Adakah keterlibatan alkohol,

obat-obatan atau Narkoba?

Kecelakaan, atau pembunuhan?

Kriminal: Pembunuhan,

kecelakaan bermotor

Sipil: klaim gugatan asuransi

Kecelakaan tidak fatal

atau mengemudi

dibawah pengaruh obat-

obatan

Apakah kesalahan pengemudi?

Mengemudi dibawah pengaruh

obat-obatan atau Narkoba?

Kriminal: Larangan

Mengemudi dibawah

pengaruh Obat-obatan atau

Narkona

Sipil: gugatan pencabutan atau

pengangguhan SIM

Penyalahgunaan

Narkoba

Penyalahgunaan atau pasient

yang sedang mengalami terapi

rehabilitasi narkoba

Kriminal:

Sipil: rehabilitasi

Farmaseutikal dan Obat

palsu, atau tidak

memenuhi syarat

standar ”Forensik

Farmasi”

Identifikasi bentuk sediaan,

kandungan sediaan obat,

penggunaan obat palsu.

Kriminal: pengedaran obat

ilegal.

Sipil: tuntutan penggunan obat

palsu terhadap dokter atau

yang terkait

Sumber: Finkle, B.S., (1982), Progress in Forensic Toxicology: Beyond Analytical

Chemistry, J. Anal. Tox. (6): 57-61

Page 28: Makalah forensik 3

3.3. Langkah-langkah analisis toksikologi forensik

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dalam melakukan analisis dapat

dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel “sample preparation”, 2)

analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general unknown

test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir

adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.

Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis

kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi

target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini

menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti

diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi

target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali

dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan,

tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan

pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi

penyidik.

Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk,

melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa

matabolit juga merupakan target analisis.

Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan

biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah

salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan

penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil

indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis

toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan

apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai

penyebab keracunan (pada kasus kematian).

3.3.1. Penyiapan Sampel

Page 29: Makalah forensik 3

Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diterok oleh dokter, misalnya pada

kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter forensik pada saat melakukan

otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis, jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan

spesimen dokter forensik memberikan label pada masing-masing bungkus/wadah dan

menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer indentitas, nama

korban, tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman dan penyerahan

spesimen harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang ditandatangani

oleh dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian memberikan

dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam lemari

pendingin “freezer” dan menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan

bertujuan untuk memberikan rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).

Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis dan

sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian

akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan

digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat

perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat

mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit.

Pemilihan metode ekstraksi ditentukan juga oleh analisis yang akan dilakukan, misal pada uji

penapisan sering dilakukan ekstraksi satu tahap, dimana pada tahap ini diharapkan semua

analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji penapisan menggunakan teknik “immunoassay”

sampel tidak perlu diekstraksi dengan pelarut tertentu.

Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan menggunakan

teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan awal, seperti

pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan kekeruhan. Pemisahan sel darah dan

serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum dilakukan uji penapisan pada darah. Serum

pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.

Tidak jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal, dalam

hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian disentrifuga, sepernatan dapat

langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.

Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak menggunakan teknik

immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak bercak

Page 30: Makalah forensik 3

tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat “metode Stas-Otto-Gang” untuk melalukan

pemisahan analit berdasarkan sifat asam-basanya.

Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut yang terpisah,

atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi cair-cair berdasarkan

koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan kelarutan analit pada kedua

pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben

fase padat (SPE, Si-Gel C-18, Extrelut®, Bund Elut Certify

®, dll), kemudian dielusi dengan

pelarut tertentu, biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.

Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian “identifikasi dan

kuantifikasi”, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi biologik

merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik senyawa

endogen maupun senyawa eksogen “xenobiotika”. Penyiapan sampel umumnya meliputi

hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan

selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting

untuk menyari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin

pengotor atau senyawa penggangu terpisahkan dari analit.

Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara

kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll. Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk

meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis.

3.3.2. Uji Penapisan “Screening test”

Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel. Disini

analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek farmakologi

yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji penapisan

dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin, turunan

benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, dan

turunan metadon. Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh,

disini diambil senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar morfin,

beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin, mono-asetil morfin,

morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-

Page 31: Makalah forensik 3

glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya yang

mempunyai inti morfin.

Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat reabilitas

dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif cepat. Terdapat teknik

uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi

warna, b) teknik immunoassay. Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan

sensitifitas yang tinggi, serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat,

namun alat dan bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi

relatif tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun

dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama.

a) teknik immunoassay

Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis obat

terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug antibody” untuk

mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam

matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan “anti-

drug antibody”, namun jika tidak ada antigen-target maka “anti-drug antibody” akan

berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi

ikatan antigen-antibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme

multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization immunoassay (FPIA),

cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio immunoassay (RIA).

Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja (jumlah sampel per-hari) yang

ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal dipasaran teknik ELISA atau EMIT terdapat

dalam bentuk single test maupun multi test. Untuk laboratorium toksikologi dengan beban

kerja yang kecil pemilihan teknik single test immunoassay akan lebih tepat ketimbang teknik

multi test, namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal.

Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, bukan untuk

menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat bereaksi dengan

berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir

sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang

mengandung pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay

Page 32: Makalah forensik 3

dari anti bodi- metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay (screening test) harus

dilakukan uji pemastian (confirmatori test).

b) kromatografi lapis tipis (KLT)

KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun KLT

kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Untuk meningkatkan

sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji penapisan dengan

KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem pengembang dengan penampak noda

yang berbeda. Dengan menggunakan spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah

dengan KLT dapat dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya

akan meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan metode

KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian.

3.3.3. Uji pemastian “confirmatory test”

Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya. Konfirmatori

test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun harus lebih spesifik. Umumnya uji

pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi dengan teknik detektor

lainnya, seperti: kromatografi gas - spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair

kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri

massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat

spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat

menentukan secara spesifik toksikan yang ada.

Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah analit dipisahkan

menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan identitasnya menggunakan

teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi dari matrik biologik, kemudian jika

perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima

toksikan dan metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa

segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks

retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini

belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki

spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS, analit

akan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik untuk

Page 33: Makalah forensik 3

setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular dari

suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka

identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.

Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor akan memungkinkan secara simultan

mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti

pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum UV-Vis analit,

maka dapat mengenali identitas analit.

Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji penapisan), pada uji

ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. Data analisis kuantitatif analit akan sangat

berguna bagi toksikolog forensik dalam menginterpretasikan hasil analisis, dengan kaitannya

dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul baik dari penyidik maupun hakim

sehubungan dengan kasus yang terkait. Misal analisis toksikologi forensik ditegakkan

bertujuan untuk memastikan dugaan kasus kematian akibat keracunan atau diracuni,

pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul pada kasus ini adalah:

- senyawa racun apa yang terlibat?

- berapa besar dosis yang digunakan?

- kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan korban)?

- melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?

Dalam praktis analisis menggunakan teknik GC-MS, LC-MS, atau HPLC-Diode array

detektor memerlukan biaya analisis yang relatif mahal ketimbang KLT-

Spektrofotodensitometri. Sehingga disarankan dalam perencanaan pengadaan/pemilihan

peralatan suatu laboratorium toksikologi seharusnya mempertimbangkan biaya operasional

penanganan sampel. Hal ini pada kenyataannya sering menjadi faktor penghambat dalam

penyelenggaraan laboratorium toksikologi. Karena pada kenyataanya telah diatur dalam

KUHAP, bahwa biaya yang ditimbulkan akibat pemeriksaan atau penyidikan dibebankan

pada negara, namun pada kenyataanya sampai saat negara belum mampu memikul beban

tersebut.

3.4. Interpretasi temuan analisis

Page 34: Makalah forensik 3

Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak dijelaskan makna

dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban menerjemahkan temuan

tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat atau laporan, yang dapat

menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang muncul berkaitan dengan

permasalahan/kasus yang dituduhkan.

Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengacu pada hukum yang

berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang spikotropika dan UU no 22 th 1997 tentang

Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang toksikolog forensik adalah merupakan

suatu keharusan (Wirasuta, 2005). Heroin menurut UU no 22 tahun 1997 termasuk narkotika

golongan I, namun metabolitnya (morfin) masuk ke dalam narkotika golongan II. Dilain hal

kodein (narkotika golongan III) di dalam tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi

morfin. Namun pada kenyataannya heroin illegal juga mengandung acetilkodein, yang

merupakan hasil asetilasi dari kodein, sehingga dalam analisis toksikologi forensik pada

pembuktian kasus penyalahgunaan heroin ilegal akan mungkin diketemukan morfin dan

kodein. Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa penyalahgunaan

narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga

interpretasi temuan analisis toksikologi forensik, khususnya dalam kaitan menjawab

pertanyaan narkotika apa yang telah dikonsumsi, adalah sangat mutlak dalam penegakan

hukum.

Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh toksikolog forensik dalam melakukan

analisis:

a. Senyawa apa yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut (senyawa apa yang

menyebabkan keracunan, menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan dalam

berlalulintas, atau narkoba apa yang telah disalah gunakan)?

b. Berapa besar dosisnya?

c. Efek apa yang ditimbulkan?

d. Kapan tubuh korban terpapar oleh senyawa tersebut?

Page 35: Makalah forensik 3

e. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terungkap dari hasil analisis toksikologi dan

didukung oleh penguasaan ilmu pendukung lainnya seperti farmakologi dan toksikologi,

biotransformasi, dan farmakokinetik.

Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan

bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang. Sedangkan hasil uji

pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik

kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan obat terlarang yang dituduhkan. Pernyataan

ini terdengar sangatlah mudah, namun pada praktisnya banyak faktor yang mempengaruhi.

Untuk lebih jelasnya disini akan diberikan suatu perumpamaan kasus, misal dari hasil uji

penapisan menggunakan teknik immunoassay diperoleh dalam sampel darah dan urin

tertuduh memberikan reaksi positif terhadap golongan opiat. Hasil ini tidak cukup untuk

membuktikan (menuduh) terdakwa telah mengkonsumsi obat terlarang narkotika golongan

opiat, karena obat batuk dekstrometorfan HBr mungkin memberikan reaksi positif. Dilain hal

senyawa golongan opiat terdistribusi ke dalam golongan narkotika I sampai III, dimana

menurut UU Narkotika, penyalahgunaan golongan tersebut memiliki konsekuen hukum yang

berbeda. Metabolit glukuronida dari morfin dan kodein tidak dimasukkan ke dalam senyawa

narkotika. Kenyataan ini akan membuat interpretasi toksikologi forensik, yang hanya

berdasarkan data hasil analisis uji penapisan, menjadi lebih komplek.

Dilain hal banyak senyawa obat, dimana metabolitnya memungkinkan memberi reaksi positif

(reaksi silang) terhadap test anti-amfetamin-antibodi. Senyawa obat tersebut antara lain: a)

golongan obat bebas yang digunakan sebagai dekongestan dan anoreksia, seperti: efedrin,

pseudoefedrin dan fenilpropanolamin; b) golongan keras (dengan resep): benzofetamin,

fenfluramine, mefentermin, fenmeterzine, dan fentermine; c) obat / senyawa obat, dimana

amfetamin atau metamfetamin sebagai metabolitnya, seperti: etilamfetamin, clobenzorex,

mefenorex, dimetilamfetamin, dll (United Nation, 1995).

Pada interpretasi hasil analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog forensik dituntut

mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti: rute pemakaian toksikan, apakah konsentrasi

toksikan yang ditetapkan cukup sebagai menyebabkan kematian atau penyebab keracunan.

Penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh dari analisis berbagai spesimen, dimana pada

umumnya konsentrasi toksikan yang lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian. Jika

ditemukan toksikan dalam jumlah besar di saluran pencernaan dan hati, maka dapat ditarik

Page 36: Makalah forensik 3

kesimpulan bahwa paparan melalui jalur oral. Demikian juga apabila konsentrasi yang tinggi

ditemukan di paru-paru atau pada organ viseral lainnya mengindikasikan paparan melalui

inhalasi. Bekas suntikan yang baru pada permukaan tubuh (seperti telapak tangan, lengan,

dll), yang ditemukan pada kasus kematian akibat penyalahgunaan narkotika, merupakan

petujuk paparan melalui injeksi.

Ditemukannya toksikan dalam konsentrasi yang cukup tinggi baik di saluran pencernaan

maupun di darah, dapat dijadikan cukup bukti untuk menyatakan toksikan tersebut sebagai

penyebab kematian. Seorang toksikolog forensik dituntut juga dapat menerangkan absorpsi

toksikan dan transportasi/distribusi melalui sirkulasi sistemik menuju organ-jaringan sampai

dapat menimbulkan efek yang fatal. Interpretasi ini diturunkan dari data konsentrasi toksikan

baik di darah maupun di jaringan-jaringan.

Hasil analisis urin biasanya kurang berarti dalam menentukan efek toksik/psikologi dari suatu

toksikan. Secara umum hasil analisis urin menyatakan adanya paparan toksikan sebelum

kematian. Dari jumlah volume urin dan konstelasi jumlah toksikan dan metabolitnya di dalam

kantung kemih, dengan berdasarkan data laju eksresi toksikan dan metabolitnya, maka

dimungkinkan untuk menurunkan informasi lamanya waktu paparan telah terjadi sebelum

kematian (Wirasuta 2004).

Kebanyakan efek farmakologik/psikologi xenobiotika berhubungan dengan tingkat

konsentrasinya di darah dan tempat kerjanya (reseptor). Oleh sebab itu tingkat konsentrasi di

darah adalah sebagai indikator penting dalam mencari faktor penyebab kematian/keracunan.

Dalam menginterpretasikan tingkat konsentrasi di dalam darah dan jaringan sebaiknya

memperhatikan tingkat efek spikologis yang sebenarnya dan semua faktor yang berpengaruh

dari setiap tingkat konsentrasi yang diperoleh dari spesimen. Interpretasi tingkat konsentrasi

dalam darah dan jaringan dapat dibagi menjadi tiga katagori: normal atau terapeutik, toksik,

dan lethal. Tingkat konsentrasi normal dinyatakan sebagai keadaan, dimana tidak

menimbulkan efek toksik pada organisme. Tingkat konsentrasi toksik berhubungan dengan

gejala membahayankan nyawa, seperti: koma, kejang-kejang, kerusakan hati atau ginjal.

Tingkat konsentrasi kematian dinyatakan sebagai konsentrasi yang dapat menyebabkan

kematian. Contoh: sianida pada konsentrasi yang tinggi (0,17-2,22 mg/l, diketemukan pada

kematian akibat keracunan sianida), dinyatakan sebagai penyebab keracunan. Sedangkan

pada konsentrasi yang sangat kecil (0,004 mg/l pada orang sehat dan 0,006 mg/l pada

perokok), sianida berperan dalam pembentukan vitamin B12. Dalam jumlah kecil sianida

Page 37: Makalah forensik 3

juga diabsorpsi dan dibangkitkan selama merokok. Oleh sebab itu mendeteksi sianida di

darah pada tingkat dibawah konsentrasi toksik, masih dapat ditolerir sebagai tanpa efek

toksik. Beberapa logam berat, seperti arsen, timbal, dan merkuri tidak diperlukan untuk

fungsi normal tubuh. Keberadaan logam tersebut dibawah tingkat konsentrasi toksik

mengindikasikan bahwa korban telah terpapar logam berat akibat polusi lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat konsentrasi toksik

(seperti: usia, jenis kelamin/status hormonal, berat badan, status nutrisi, genetik, status

immunologi, kelainan patologik dan penyakit bawaan, kelainan fungsi organ, sifat

farmakokinetik dari toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan dalam menginterpretasikan

hasil analisis, yang bertujuan mencari faktor penyebab keracunan. Faktor lain yang juga harus

mendapat perhatian adalah fenomena farmakologi seperti toleransi. Toleransi adalah suatu

keadaan menurunnya respon tubuh terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang

sebelumnya, biasanya dalam waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan oleh

adaptasi selular pada suatu konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat pada penekanan efek

farmakologis yang diinginkan. Hal ini sering dijumpai pada kasus kematian akibat

menyalahgunaan heroin, dimanakan ditemukan tumpang tindih rentang konsentrasi morfin di

darah pada kasus “lethal related heroine (0,010 - 2,200 µg/ml, rataan: 0,277 µg/ml)” dan

“non-lethal related heroine (0,010 -0,275 µg/ml, rataan: 0,046 µg/ml)” (Wirasuta 2004).

Konsetrasi morfin yang tinggi mungkin tidak mengakibatkan efek toksik pada junkis yang

telah berulang memakai heroin, sedangkan pada konsentrasi yang sama mungkin

menimbulkan efek kematian pada orang yang baru menggunakan. Bahaya kematian sering

dijumpai pada pemakaian dosis tinggi oleh pencadu, yang memulai kembali menggunakan

heroin setelah lama berhenti menggunakannya, dimana dosisnya didasarkan pengalaman

pribadi saat efek tolerasi masih timbul.

Melalui pengamatan ulang riwayat kasus, memperhatikan semua faktor toksokinetik,

toksodinamik, dan dengan membandingkan hasil analisis dengan laporan kasus yang sama

dari beberapa pustaka atau pengalaman sendiri, seorang ahli toksikologi membuat interpretasi

akhir dari suatu kasus.

Contoh-contoh di atas dengan jelas memaparkan, bahwa hasil reaksi positif dengan teknik

immunoassay belum cukup bukti untuk memastikan/menuduh seseorang telah mengkonsumsi

obat terlarang. Lebih lanjut berikut ini diberikan ilustrasi kasus dan interpretasi dari hasil

analisis toksikologi forensik yang lengkap:

Page 38: Makalah forensik 3

Contoh: Ilustrasi kasus toksikologi forensik (data dikutif dari kasus yang masuk ke Institut of

Legal Medicine of Goerg August University, Göttingen, Germany):

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dari penyidik dilaporkan telah diketemukan mayat di

kamar mandi sebuah cafe. Dilengan kanannya masih tertancap jarum suntik. Hasil otopsi

melaporkan terdapat baik bekas suntikan yang masih baru maupun yang sudah menua

dilengan kanan dan kiri, telapak tangan, kaki. Terdapat udema paru-paru, dan bau aromatis

dari organ tubuh seperti saluran cerna. Dokter spesialis Forensik menyimpulkan kematian

diduga diakibatkan oleh keracunan obat-obatan.

Hasil analisis toksikologi forensik:

Uji skrining menggunakan teknin immonoassay test (EMIT) terdeteksi positif golongan opiat

dan benzodiazepin. Dari penetapan kadar alkohol di darah dan urin terdapat alkohol 0,1

promil dan 0,1 promil.

Pada uji konfirmasi dengan menggunakan alat GC-MS diperoleh hasil:

- darah sebelum di hidrolisis: - morfin: 0,200 µg/ml, - kodein: 0,026 µg/ml

- darah setelah hidrolisis: - morfin: 0,665 µg/ml, - kodein: 0,044 µg/ml

- urin sebelum hidrolisis: - 6-asetilmorfin: 0,060 µg/ml, - morfin: 0,170 µg/ml, - kodein:

0,040 µgml

- urin setelah hidrolisis : - morfin: 0,800 µg/ml, - kodein: 0,170 µg/ml

Golongan benzodiazepin yang terdeteksi di darah adalah: diazepam: 1,400 µg/ml;

nordazepam: 0,086 µg/ml; oxazepam: 0,730 µg/ml; temazepam: 0,460 µg/ml

Dalam menginterpretasikan hasil temuannya seorang toksikolog forensik harus mengulas

kembali efek toksik dan farmakologi yang ditimbulkan oleh analit, baik efek tunggal dari

opiate dan benzodiazepin maupun efek kombinasi yang ditimbulkan dalam pemakaian

bersama antara opiat dan benzodiazepin. Menyacu informasi konsentrasi toksik (“lethal

concentration”) dapat diduga penyebab kematian dari korban.

Page 39: Makalah forensik 3

Efek toksik yang ditimbulkan oleh pemakaian heroin adalah dipresi saluran pernafasan.

Keracunan oleh heroin ditandai dengan adanya udema paru-paru. Sedangkan pemakaian

diazepam secara bersamaan akan meningkatkan efek heroin dalam penekanan sistem

pernafasan. Hal ini akan mempercepat kematian.

Guna mengetahui obat apa yang telah dikonsumsi oleh korban, berdasarkan hasil analisis dan

alur metabolisme dari suatu senyawa obat, seorang toksikolog forensik akan merunut balik

apa yang telah dikonsumsi korban.

Di darah dan urin terdapat morfin dan kodein baik dalam bentuk bebas maupun terikat

dengan glukuronidnya namun di urin terdeteksi juga 6-asetilmorfin. Heroin di dalam tubuh

dalam waktu yang sangat singkat akan termetabilisme menjadi 6-asetilmorfin, dan kemudian

membentuk morfin. Morfin akan terkonjugasi menjadi morfin-glukuronidanya. Dari hasil

analisis seorang toksikolog forensik sudah dapat menyimpulkan bahwa korban telah

mengkonsumsi heroin.

Di dalam tubuh diazepam akan termetabolisme melalui N-demitelasi membentuk

desmitldiazepam (nordazepam) dan kemudian akan terhidrolisis membentuk oksazepam,

sebagaian kecil akan termetabolisme membentuk temazepam. Sehingga dari temuan analisis

dapat disimpulkan korban juga telah mengkonsumsi diazepam.

Berdasarkan data farmakokinetik dari heroin serta metabolitnya dan juga konstelasi dari

konsentrasi morfin bebas dan terikatnya dapat diambil duga kematian terjadi lebih kurang

dari satu sampai dua jam setelah pemakaian heroin (perkiraan ini didasarkan atas model

farmakokinetik dari Wirasuta 2004).

Semua temuan dan hasil interpretasi ini dibuat dalam suatu laporan (berita acara

pemeriksaan) yang akan diserahkan kembali ke polisi penyidik. Berkas berita acara

pemeriksaan ini dikenal dengan keterangan ahli.

Interpretasi akan menjadi benar secara ilmiah apabila didasarkan pada data analisis yang

valid, dan harus didukung oleh pemahaman ilmu toksikologi-farmakologi, farmakokinetik,

biotransformasi yang baik. Untuk mendapatkan data analisis yang valid/sahih, harus

dilakukan validasi terhadap semua prosedur analisis dan mengevalusai sumber-sumber yang

mungkin memberikan kesalahan analisis. Mengevaluasi/menganalisis validasi dari hasil

Page 40: Makalah forensik 3

analisis dapat ditinjau dari tiga tingkat faktor utama yang menentukan hasil analisis (DFG,

1990, 1995), yaitu:

1) Tataran teknis analisis yang menghasilkan data analisis. Dalam tataran ini kesalahan

dapat diakibatkan oleh faktor metode analisis. Untuk mendapatkan data analisis yang

valid, perlu dilakukan validasi prosedur analisis, sesuai dengan kentuan yang diatur

secara international (misal mengikuti ketentuan validasi prosedur analisis yang dimuat

dalam Farmakope International, USP, AOAC, dll).

2) Tataran biologis, variansi matrik biologis dari sampel memungkinkan ikut memberikan

sumbangan kesalahan terhadap hasil analisis. Terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan

dalam mengevaluasi data analisis dari sudut pandang tataran biologis, yaitu: kontrol

plausibilitas, evaluasi longitudinal dan transversal.

Kontrol plausibilitas mencangkup:

- Kontrol data ekstrim, data ini dikontrol berdasarkan data medikal misalnya data analisis

tidak sesuai dengan data yang telah diperoleh dari populasi manusia atau sangat jauh

menyimpang secara statistik.

- Kontrol konstelasi yaitu membandingkan dari berbagai data analisis, yang diperoleh dari

matrik biologis yang berbeda tetapi seri data tersebut masih memiliki parameter yang

saling bergantungan. Misal membandingkan data analisis toksikan dan metabolitnya di

darah dan di urin, konstelasi data yang ditimbulkan dikontrol berdasarkan sifat

farmakokinetik dari toksikan dan metabolitnya.

- Kontrol trend data: data analisis yang diperoleh dari satu pasien (korban) dievalusi

terhadap perubahan waktu, hal ini bertujuan untuk mengetahui sifat perubahan biologis

(misal: laju eliminasi) yang terjadi pada pasien tersebut.

Tujuan dari krontrol plausibilitas adalah untuk mencari kesalahan analisis, dimana dari

tataran teknik analitik tidak teridentifikasi, sehingga diharapkan diperolehnya data analsis

yang sahih.

Analisis tongitodinal, evaluasi ini didasarkan terhadap sifat farmakokinetik (toksokinetik)

dan reaksi biotransformasi dari toksikan dan metabolitnya. Data analisis (toksikan dan

Page 41: Makalah forensik 3

metabolitnya) dari pasien yang sama, yang diperoleh dari selang waktu pengambilan

sampel (penerokan) yang berbeda dibandingkan satu sama lainnya. Dari hasil

pembandingan data analisis tersebut, dengan didasarkan sifat farmakokinetik, maka dapat

dijadikan dasar untuk menduga/mengontrol konsentrasi aktuel (waktu terjadinya

keracunan). Lebih lanjut data ini dapat dijadikan dasar untuk memperkirakan waktu

terjadinya eksposisi.

Analisis transversal, data analisis yang diperoleh dari satu pasien dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Data dari kelompok kontrol mungkin dapat berupa data konsentrsi

toksikan/obat, yang diambil dari interval waktu tertentu, seperti interval waktu

konsentrasi efek terapeutik, interval konstrasi toksik atau “lethal dosis”.

3) Tataran nosologi (ilmu pengelompokan penyakit), kesalahan dapat ditimbulkan akibat

kesalahan dalam mendiagnose keracunan atau mungkin muncul akibat kesalahan

menginterpretasikan temuan patologis atau psiologis pasient (korban). Kesalahan ini

mungkin muncul karena keracunan dapat menampakkan kelainan patoligis.

3.5. Kesimpulan

Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam

tindak kriminal, dengan tujuan mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun

dan bentuk metabolitnya dari dalam cairan biologi dan akhirnya menginterpretasikan temuan

analisis dalam suatu argumentasi tentang penyebab keracunan dari suatu kasus.

Analisis toksikolog forensik (klinik) dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1)

penyiapan sampel, 2) Analisis meliputi uji penapisan dan uji konfirmasi yang meliputi uji

identifikasi dan kuantifikasi, dan 3) interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan

analisis.

Data temuan hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan

bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang. Sedangkan hasil uji

pemastian (confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik

kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan obat terlarang yang dituduhkan

Page 42: Makalah forensik 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Kerrigan, S, (2004), Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore Impaired

Drivers, New Mexico Department of Health Scientific Laboratory Division Toxicology

Bureau, New Mexico.

2. Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press,

Semarang

3. Lowry, W.T., Garriot, J.C. (1979), Forensic Toxicology Controlled Substances and

Dangerous Drugs, Plenum Press, New York.

4. Moffat, Ac., Jackson, J.V., Moss, M.S. and Widdop, B., 1986, Clark’s isolation and

indentification of drugs in pharmaceuticals, body fluids, and post-mortem material, 2nd Ed.

The Pharmaceutical Press, London

5. Perdanakusuma, P., 1984, Bab-bab tentang kedokteran forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta

6. Poklis, A. (1980), Forensic Toxicology, in Eckert, W.G., (Ed), Introduction to Forensic

sciences, The C.V. Mosby Company, St. Louis, Missori

7. Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-

Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan

Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada

Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

8. Saferstein R:, 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic Science, 5th Ed., A Simon

& Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey.

9. Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana Pembuktian Ilmiah,

dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan

Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada

Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

10. SOFT (Society of Forensic Toxicologist, Inc.) and AAFS (the American Academy of

Forensic Sciences, Toxicology Section), (2002), Forensic Toxicology Laboratory Guidelines,

SOFT / AAFS.

11. Subandi, N. (2005), Peranan Labfor Polri Dalam Penanganan Kasus-Kasus Toksikologi

Forensik, Workshop Analisis Toksikologi Forensik 7-8 Desember 2005,

BPOM RI., Jakarta

12. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan

Analisis, Workshop Analisis Toksikologi Forensik 7-8 Desember 2005, BPOM RI., Jakarta

Page 43: Makalah forensik 3

13. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Hambatan dalam pengegakan Undang-Undang No 22 th

1997 tentang Narkotika, khususnya pada penyalahgunaan narkotika golongan opiat ditinjau

dari sifat farmakokinetiknya, dalam Wirasuta, I M.A.G., et al. (Ed.) (2005), Peran kedokteran

forensik dalam penegakan hukum di Indonesia. Tantangan dan tuntuan di masa depan,

Penerbit Udayana, Denpasar

14. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Peran Toksikologi forensik dalam penegakan hukum

kesehatandi Indonesia, dalam Wirasuta, I M.A.G., et al. (Ed.) (2005), Peran kedokteran

forensik dalam penegakan hukum di Indonesia. Tantangan dan tuntuan di masa depan,

Penerbit Udayana, Denpasar