29
Makalah Kapita Selekta Sejarah Perkembangan Industri Elektronik di Indonesia Disusun oleh EKO ADITIYA 111.06.0009 INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Makalah Kapita Selekta

Sejarah Perkembangan

Industri Elektronik di Indonesia

Disusun oleh

EKO ADITIYA

111.06.0009

INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

SERPONG

2010

Page 2: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1962 telah lahirnya tonggak baru dalam dunia elektronika.

Waktu itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta

olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Tak kurang dari alm. M. Thayeb

Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih

pertama di Indonesia, di samping radio. Kendati hanya dadakan, produksi televisi

tersebut telah menandai lahirnya industri elektronik di persada Nusantara.

Sebetulnya, sebelum itu sudah ada pabrik radio Philip di Bandung dan

Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda. Kemudian,

pabrik radio Philips di Surabaya berubah menjadi pabrik bohlam. Tahun 1956 Pak

Gobel juga sudah mendirikan PT Transistor Radio Mfg. Co., yang memproduksi

radio merek Tjawang. Kemudian, di Medan tahun 1962 lahir pula radio merek

Nusantara yan diproduksi PT Nusantara Polaar.

Sampai tahun 1960-an industri elektronik kita memang masih belum

kelihatan atau masih dalam proses menjadi bayi. Yang muncul hanyalah kegiatan

reparasi, seperti yang sudah dilakukan Bos Toa Galva, Uripto Wijaya sejak tahun

1950-an. Produksi televisi yang dilakukan, misalnya, hanya sebatas memenuhi

kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah

memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan

lanjutan dari Pemerintah.

Saat itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor. Sehingga,

tahun 1950-an sudah terbentuk Persatuan Pedagang Radio Indonesia (PPRI).

Selain dari hasil produksi Philips di Bandung dan Surabaya, kebutuhan radio

masih diimpor.  Pemerintah menyadari bahwa kondisi itu tidak menguntungkan

Page 3: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk

elektronik. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang

elektronik, tapi juga dengan bidang lain,. Sehingga, waktu itu pemerintah

mengeluarkan kebijakan substitusi impor. 

Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam

negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan

barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai

awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor

sampai pertengahan tahun 1985.

Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri

elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mereka ini boleh

dibilang pioner dalam dunia elektronik. 

Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal

Asing), munculah beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal

dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek

terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT. Sampai 1973 saja sudah 15

Perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun

yang memproduksi dengan merek lokal. 

Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi dengan

merek Sharp dari Jepang ; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio,

televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National

Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek

National dari Jepang; PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi

merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yang memproduksi merek lokal adalah

seperti PT Galindra Electric Ltd. Yang juga merakit radio, televisi, tape recorder

dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah

perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai

merek produksi. 

Page 4: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari

Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang

dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan

yang merakit beberapa produk alat-alat rumah tangga. Setelah tahun 1973, jenis

produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga. 

Di samping itu juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, PT Wily

Antariksa Electronics yang merakit televisi merek Toshiba; PT Alfa Intone

Internasional yang merakit televisi merek ITT dari Jerman; PT Adab Alam

Electronics yang merakit amplifier, tape deck speaker system dengan merek

Pioner dari Jepang; PT Ben Elektronik Nasional merakit radio merek Belna; PT

Hartono Istana Electronics merakit merek Polytron; PT Scortius Jaya yang

memproduksi merek video; PT Panggung Elektronik yang memproduksi merek

Intel dan sebagainya. 

Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi

ketergantungan kita terhadap barang impor. Untuk memperkuat posisi

perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan "larangan

impor". Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU

(Completely Buit Up) dilarang. Dan, di samping itu, ketentuan CKD (Completely

Knocked Down) diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang

industri perakitan. 

Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan elektronik

tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar melakukan

perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi

perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk

bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri. 

Secara garis besar terlihat bahwa industri elektronika Indonesia sangat

bertumpu pada industri elektronika konsumsi dan pada sektor-sektor pendorong

Page 5: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

pertumbuhan yang pesat di industri elektronika dunia kurang dikembangkan, hal

ini merupakan salah satu kelemahan dari industri elektronika Indonesia.

Tingginya ketergantungan terhadap barang impor juga merupakan

kelemahan industri elektronika indonesia. Kandungan impor berkisar 80-90

persen, hanya sekitar 10-20 persen dari kebutuhan bahan baku dan bahan

penolong pada industri ini yang dapat dipasok dari dalam negeri. Tingginya

kandungan impor ini menunjukkan bahwa keterkaitan industri ini dengan industri

lainnya sangat lemah.

Berdasarkan data laporan mingguan BI, nilai ekspor non-migas menurut

kelompok barang tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, industri elektronika

hampir selalu berada pada posisi ketiga dalam enam besar ekspor hasil industri,

setelah tekstil dan kayu. Meskipun industri elektronika selalu berada pada posisi

ke tiga dari nilai ekspor di sektor industri tapi pertumbuhannya jauh melampaui

pertumbuhan sektor industri lainnya.

Dan makalah ini akan membahas perkembangan industri elektronika,

struktur industri elektronika di indonesia dan menganalisis industri elektronika di

indonesia.

Page 6: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

PEMBAHASAN

STRUKTUR INDUSTRI ELEKTRONIKA

Analisa saya industri elektronika di indonesia paling besar adalah pada sub

sektor industri alat komunikasi, selanjutnya yang tidak kalah tinggi indutri

TV/Radio Pada tahun 1999 tingkat konsentrasi industri ini mengalami penurunan

bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998), hal ini disebabkan semakin

banyak perusahaan yang masuk sehingga kondisi persaingan meningkat.

Sedangkan subsektor industri komponen masuk dalam industri dengan persentasi

yang masih kecil. Artinya, rata-rata empat perusahaan terbesar menguasai sekitar

46 persen pangsa pasar. Jika menggunakan klasifikasi rasio empat perusahaan

terbesar menurut Biro Census USA, industri alat komunikasi termasuk dalam

struktur industri yang mempunyai kekuatan monopoli tinggi.

Industri TV/Radio termasuk dalam struktur industri yang mempunyai

kekuatan monopoli menengah, dan industri komponen termasuk dalam struktur

industri yang mempunyai kekuatan monopoli rendah yang pada tahun 1999

cenderung ke arah monopoli menengah. Perubahan kecenderungan subsektor ini

disebabkan karena menurunnya jumlah perusahaan yang ada dari 181 pada tahun

1998 menjadi 66 pada tahun 1999.

Page 7: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

TABEL 1.

Industri Elektronika dan Jumlah Perusahaan, 1990 – 1999

ISIC

Subsektor1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

Rata

-rata

ISIC 38321 0.48 0.65 0.39 0.67 0.63 0.65 0.74 0.65 0.68 0.54 0.61

Total

firm

48 52 48 44 49 51 56 45 36 65

ISIC 38322 1.00 0.97 0.89 0.89 0.88 0.86 0.86 0.96 0.97 0.91 0.92

Total

firm

6 9 11 14 14 15 16 16 18 9

ISIC 38322 0.71 0.66 0.35 0.45 0.45 0.37 0.36 0.37 0.39 0.52 0.46

Total

firm

26 36 56 57 90 110 123 172 181 66

0.73 0.76 0.54 0.67 0.65 0.63 0.65 0.66 0.68 0.66 0.66

Ket : Isic 38321 = Subsektor Industri TV/Radio

Isic 38322 = Subsektor Alata Komunikasi

Isic 38324 = Subsektor Industri Komponen

“Sumber : Dihitung dari data BPS”

Indikator konsentrasi industri berdasarkan pangsa pasar berbagai

perusahaan elektronika dengan menggunakan indikator, hasilnya dapat dilihat

pada tabel 1. Tabel-1. menunjukkan bahwa rata-rata rasio konsentrasi di sektor

industri elektronika cukup tinggi walaupun terjadi penurunan. Pada tahun 1990

rata-rata CR4 ialah 73 persen dan turun menjadi 66 persen pada tahun 1999.

Artinya, secara umum kondisi persaingan meningkat karena selama periode 1990

hingga 1999 terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang masuk.

Berdasarkan subsektor, industri alat komunikasi merupakan subsektor

yang paling tinggi konsentrasi industrinya, selama tahun 1990 hingga 1999 rata-

rata konsentrasi industrinya sebesar 92 persen. Pada tahun 1998 tingkat

konsentrasi subsektor ini turun dari 97 persen di menjadi 91 persen di tahun 1999

Page 8: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

dengan jumlah perusahaan sebanyak 18 di tahun 1998 dan sebanyak 9 perusahaan

di tahun 1999. Penurunan tingkat konsentrasi ini bukan karena bertambahnya

jumlah perusahaan yang masuk melainkan disebabkan keluarnya perusahaan-

perusahaan berskala kecil yang jumlah kapasitasnya lebih kecil daripada kapasitas

perluasan perusahaan besar dan penurunan output empat perusahaan terbesar.

Subsektor industri Radio/TV juga merupakan industri yang tingkat

konsentrasinya tinggi, dengan rata-rata sebesar 61 persen. Dari tahun 1990 hingga

1999 tingkat konsentrasi subsektor ini meningkat dari 48 persen menjadi 54

persen, padahal jumlah perusahaan yang masuk meningkat dari 48 perusahaan di

tahun 1990 menjadi 65 perusahaan di tahun 1999. Hal ini disebabkan banyak

perusahaan yang masuk merupakan perusahaan berskala kecil yang jumlah

kapasitasnya lebih kecil daripada kapasitas perluasan perusahaan besar. Meski

demikian, bukan berarti perubahan tingkat konsentrasi di subsektor ini hanya

disebabkan oleh skala perusahaan melainkan juga dipengaruhi oleh jumlah

perusahaan yang masuk dan keluar. Terlihat bahwa pada tahun 1998 tingkat

konsentrasi industri sebesar 68 persen dan pada tahun 1999 menjadi 54 persen, hal

ini lebih disebabkan karena jumlah perusahaan yang masuk meningkat dari 36

perusahaan menjadi 65 perusahaan.

Menurut standar internasional, suatu industri dikatakan berstruktur

oligopoli bila empat perusahaan terbesar dalam industri yang sama mempunyai

konsentrasi industri di atas 40 persen . Bila demikian, berarti industri elektronik

Indonesia yang diwakili oleh subsektor di atas mempunyai struktur oligopolis

karena rata-rata nya cenderung di atas 60 persen. Subsektor industri elektronika

yang memiliki konsentrasi terendah ialah industri komponen , di mana di bawah

40 persen selama tahun 1995 hingga 1998.

Penyebab rendahnya konsentrasi untuk industri tersebut karena relatif

banyaknya jumlah perusahaan yang aktif dalam subsektor tersebut, dari 26

perusahaan di tahun 1990 menjadi 181 perusahaan di tahun 1998. Meningkatnya

konsentrasi industri dari 39 persen menjadi 52 persen pada tahun 1998 dan tahun

Page 9: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

1999, menggambarkan melemahnya persaingan di subsektor ini karena banyaknya

jumlah perusahaan yang keluar.

Industri yang memiliki konsentrasi yang tinggi biasanya hidup karena

banyak diberi proteksi oleh pemerintah. Mereka juga cenderung tidak efisien

karena lebih suka menggarap pasar dalam negeri dibanding bersaing di pasar

ekspor.

KLUSTER UTAMA INDUSTRI ELEKTRONIKA

Peta1 memperlihatkan bahwa industri elektronika yang berada di

kabupaten/kota di Jawa dan Sumatra berada atau berdekatan dengan empat kota

besar, yaitu: (1) Jakarta dan daerah sekitarnya (Bogor di selatan, Tanggerang-

Serang di barat, dan Bekasi di timur), (2) Surabaya dan daerah sekitar (Sidoarjo),

(3) Bandung, (4) Medan (kabupaten Medan dan Deli Serdang).

Peta 1. Tenaga Kerja Industri Elektronika di Pulau Sumatra dan

Pulau Jawa, 1999

Sementara itu ada industri elektronika di tujuh kabupaten yang tidak

berbatasan langsung dengan kota besar, industri tersebut berada di kabupaten/kota

Kuningan di Jawa Barat, Tegal, Klaten dan Kudus di Jawa Tengah, Malang di

Jawa Timur, Batam dan kepulauan Riau. Dari peta 1 terlihat bahwa kabupaten

Page 10: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Batam dan Bekasi merupakan daerah industri elektronika yang distribusi jumlah

tenaga kerjanya tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di

Indonesia. Kabupaten Batam walaupun tidak berdekatan dengan kota utama di

Indonesia namun memiliki keunggulan tersendiri, seperti lengkapnya fasilitas

yang tersedia di pulau tersebut dan dekatnya wilayah tersebut dengan negara

Singapura (+ 40 menit dari pelabuhan laut Batam).

Berdasarkan nilai tambah, kabupaten/kota yang memiliki nilai tambah

yang sangat dominan cukup banyak, di Jawa seperti Jakarta dan sekitarnya

(Serang, Tanggerang, dan Bekasi) serta Bandung. Di Pulau Sumatra terletak di

kabupaten Deli Serdang (Sumut) dan Batam.

Kasus Fairchild dan National Semiconductors

Tahun 1973 dan 1974 dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan

National Semiconductors membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu memang AS

sedang melakukan relokasi perakitan semi conductor ke lokasi yang upah

buruhnya rendah supaya bisa bersaing dengan Jepang. Keduanya mengekspor

produknya 100%. Hasilnya, ekspor elektronik Indonesia tahun 1978 mencapai

15% dari total ekspor manufaktur Indonesia. 

Tapi, tahun 1985 kedua pabrik itu pindah ke Malaysia. Di samping karena

permintaan komputer pada pertengahan tahun 1980-an menurun, perpindahan

keduanya juga didorong oleh iklim investasi dan usaha dalam negeri yang tidak

menunjang. Padahal, tahun 1984 nilai ekspor semiconductor kita sudah mencapai

$ 135 juta. 

Hengkangnya kedua pabrik tersebut merupakan petaka buat industri

komponen elektronik kita. Kendati produksinya tidak untuk dipasarkan dalam

negeri, keduanya merupakan perintis industri komponen elektronik kita. Dalam

rangka memperkuat struktur industri elektronik nasional, pada tahun 1978

pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Deletion Program. 

Page 11: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Program yang berintikan penjadwalan komponen ini bermaksud

mengembangkan industri komponen dalam negeri. Karena industri elektronik kita

masih sangat tergantung pada industri komponen di negara lain. Dalam kebijakan

itu perusahaan elektronik diharapkan mulai berusaha mengembangkan industri

komponen untuk kebutuhannya sendiri. 

Logikanya, kalau komponennya bisa dipenuhi dalam negeri, secara

ekonomis value yang diperoleh industri elektronik semakin tinggi. Pada

gilirannya, industri elektronika akan semakin berkembang. Ide pemerintah ini

tentu sangat bagus. Beberapa perusahaan langsung terangsang untuk membangun

pabrik komponen. Misalnya, PT National Gobel yang membuat speaker. Lalu, ada

juga perusahaan yang memproduksi mechanical part, trafo, dan kabel. 

Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana dengan perkembangan industri

elektronik? Sampai saat ini ketergantungan ketergantungan terhadap komponen

impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% komponen elektronik kita masih harus

diimpor. Apalagi kebijakan penjadwalan komponen tadi tersandung Inpres No. 5

tahun 1985 yang berkaitan dengan deregulasi bidang tata niaga impor demi

kelancaran arus barang. Akibatnya, larangan impor tadi sudah tidak berlaku lagi. 

Menyadari kepincangan dan kerapuhan struktur berkepanjangan ini, pihak

Asosiasi Gabungan Elektronika memang sudah mengusulkan perlunya sebuah

kawasan industri khusus untuk industri komponen elektronik yang diebut

Lingkungan Industri Komponen Elektronika (LIKE). Kawasan ini diiharapkan

mendapat status EPTE (Entreeport Produk Tujuan Ekspor) plus. Artinya, produksi

komponen dan part dari lingkungan ini boleh dipasarkan secara bebas ke dalam

negeri maupun ekspor. LIKE ini pula yang dianggap akan memiliki daya tarik

besar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengadakan relokasi ke

Indonesia. Hasillnya? Kita masih harus menunggu.

Menggenjot Ekspor

Babak baru perkembangan industri elektronik dimulai tahun 1985. Diawali

dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari

Page 12: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

jepang, Korea dan Taiwan mulai berdatangan terutama dalam bentuk relokasi.

Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar dan

sebagainya mulai menghiasi lembaran elektronik kita. 

Sejak pertengahan tahun 1980-an pemerintah mulai dengan gebrakan

deregulasinya untuk menggalakkan ekspor non migas, karena penerimaan dari

ekspor migas tidak bisa diandalakan lagi. Deregulasi sektor elektronik dalam

paket Mei 1990 ternyata memacu perkembangan industri elektronik. Dengan

deregulasi tersebut, semua barang elektronik dapat diimpor untuk produk akhir

juga diturunkan dari 20-60% menjadi 20-40%. Juga, tarif terhadap komponen

diturunkan menjadi 0-5%. 

Berkat berbagai deregulasi untuk mendorong ekspor non migas tadi,

ekspor elektronik pun mulai meningkat. Ekspor dimulai dengan beberapa

consumer elektronics, seperti radio, tape recorder, dan radio combination yang

diproduksi perusahaan patungan. Perusahaan domestik juga mulai mengekspor. 

Disamping pengaruh deregulasi tadi, perusahaan domestik juga melakukan

ekspor karena mulai lesunya pasar domestik pada pertengahan tahun 1980-an. Di

samping itu, langkah ini diambil sebagai antisipasi menghadapi persaingan

dengan perusahaan di kawasan berikat yang sejak Pakto 1993 boleh memasarkan

produknya 25% ke pasar dalam negeri. Sebelumnya mereka hanya boleh

memasarkan 1% ke pasar domestik. 

Pesatnya perkembangan ekspor elektronik mulai terlihat tahun 1991. Saat

itu, realisasi dari perusahaan-perusahaan Jepang, terutama yang bertujuan ekspor,

memang sudah mulai nampak sejak tahun 1985. Saat itu terjadi apresiasi mata

uang Yen. 

Tahun 1988, negara-negara industri baru Asia Timur juga mulai gerah dan

ingin mengikuti jejak Negeri Sakura merelokasi industrinya. Tapi, realisasi

relokasi industri elektronik itu baru terjadi di Indonesia tahun 1991. Padahal,

negara-negara tetangga seperti malaysia, Tahiland dan RRC sudah lebih dulu

kedatangan tamu relokasi tersebut. 

Page 13: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Lalu, kenapa kita terlambat? Itulah persoalan kita bersama. Sebetulnya, peristiwa

pembantaian korban-korban manusia di Tianiamen oleh kekejaman rejim yang

berkuasa di RRC tahun 1989 merupakan kesempatan buat kit merebut peluang

relokasi. Tapi, ternyata kita masih harus bekerja keras bersaing dengan RRC agar

dilirik para investor asing. 

Menurut data dari Departemen perindustrian, pada tahun 1992 ekspor

perusahaan PMA mencapai 80% dari total ekspor sektor elektronik nasional. 

Secara nasional, perekonomian Indonesia memang membaik pada akhir

tahun 1980-an. Situasi itu rupanya berdampak pada perkembangan industri

elektronika. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Paket Mei

1990. Melalui kebijakan ini tata niaga impor barang jadi elektronika dicabut dan

diganti sistem tarif bea masuk dengan tarif maksimum 40%. Sementara tarif bea

masuk komponen diturunkan menjadi 0-5%. 

Hasil dari recovery ekonomi nasionnal plus Paket Mei 1990 nampak

ignifika. Pertumbuhan produksi elektronik 1990-1992 mencapai 65% per tahun.

Tingkat pertumbuhan 1987-1989 baru mencapai 36.4%. yang tidak berubah

adalah pangsa produksi yang masih didominasi consumer elektronics. 

Tapi kebijakan ini toh ternyata tidak berdaya terhadap barang elektronik

selundupan. Barang selundupan ini masih berseliweran di pasar lokal. Buat

konsumen tidak jadi masalah, karena barang selundupan tersebut dijual dengan

harga murah. Tapi, bagi inustri elektronik lokal, produk haram tersebut justru

merupakan pesaing berat. 

Bahkan, produk lokal kalah bersaing. Apalagi setelah diberlakunya PPn

BM (Pajak Penjualan Barang Mewah) yang dikenakan atas produk elektronik. 

Kebijakan itu mengakibatkan harga produk terpaksa harus dinaikkan 10-

30%. Disamping itu, ada perbedaan perlakuan antara produsen dengan importir

produk elektronik. Produsen harus membayar PPn BM 10-30% ditambah PPN

10%, sedangkan importir tidak perlu membayar. 

Page 14: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

Di lain pihak, pertumbuhan tinggi yang terjadi sejak tahun 1991 juga

disebabkan peningkatan permintaan pasar internasional yang dapat dilihat dari

peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi. Tahun 1987, nilai ekspor hanya

mencapai US$ 59 juta, sedangkan tahun 1992 melonjak menjdai US$ 865 juta dan

tahun 1993 menjadi US$ 1,2 miliar. 

Perkembangan yang demikian, didukung oleh prospek pengembangan

yang dimiliki telah membuka mata pemerintah untuk menetapkan sektor

elektronika ini sebagai salah satu dari enam industri andalan ekspor nasional.

Keenam industri ini ditargetkan memasukkan devisa sebanyak US$ 47 miliar atau

85% dari target nilai ekspr nasional sebesar US$ 55 miliar per tahun pada akhir

Pelita VI. 

Dari target tersebut industri elektronik diharapkan menyumbang sekitar

US$ 5,5 miliar per tahun. Tahun 1994, nilai ekspor industri elektronika mencapai

sekitar US$ 2,2 miliar. Dengan nilai ekspor seperti ini dan perkembangan tahun-

tahun sebelumnya, dipekirakan tearget tersebut dapat dicapai dengan mudah.

Masalahnya, apakah kita mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan 30% per

tahun? 

Banyak kalangan berpendapat, kalau struktur industri elektronika tidak

bertumbuh, maka mustahil mempertahankan tingkat pertumbuhan cukup tnggi

untuk masa depan. Lebih dari itu, investor asing yang selama ini menjadi pilar

utama ekspor elektronika Indonesia,dapat beralih ke RRC atau India yang

diperkirakan 2-3 tahun lagi akan lepas dari kendala struktur yang masih disandang

Indonesia sejauh ini. 

Kondisi lain yang juga parah adalah mengharapkan impor komponen dari

negara tetangga. Justru karena keuntungan terbesar bukan berasal daari produk

akhir tetapi dari komponen dan bagian-bagian itu. 

Waktu terus berganti dan segalanya telah berubah. Tetapi destinasi utama

ekspor elektonikkita secara total tidak banyak berubah. Masih didominasi AS dan

Singapura sebagai pasar utama. Sebagai catatan, besarnya ekspor ke Singapura

Page 15: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

disebabkan posisi negara tersebut sebagai entreport. Kalau dibagi per wilayah,

ekspor elektronik kita didominasi oleh pasar Asia Timur. Ekspor ke Masyarakat

Ekonomi Eropa (MEE) menunjukkan kecenderunganmeningkat. Misarnya, tahun

1989 ekspor elektronik ke MEE mencapai 16% dari total, sedangkan tahun 1992

sudah meningkat manjadi 28%. 

Angka ekspor yang meningkat ini ternyata belum dapat membuat kita

berbangga. Dibandingkan dengan negara ASEAN lain, angka ekspor kita ternyata

masih kecil. Data tahun 1994 menunjukkan bahwa nilai ekspor elektronik

Malaysia mencapai sekitar US$ 18 miliar, Singapura sebesar US$ 30 miliar,

Thailand mencapai US$ 8,5 miliar. Sementara Filipina sudah mampu mendapat

US$ 2,5 miliar dari ekspor elektroniknya tahun 1993. 

Walaupun demikian, dunia elektronika kita semakin marak setelah

dibukanya keran PMA 100% melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1993.

Kini ruang gerak mereka lebih leluasa. Persyaratan yang mengharuskan mereka

mencari partner lokal tidak menjadi kendala lagi. Hasilnya mulai kelihatan.

Beberapa merek terkenal yang dahulu dikembangkan melalui perusahaan

patungan di Indonesia, kini pihak prinsipalnya mulai beroperasi dengan status

PMA murni. 

Lalu, bagaimana nasib perusahaan elektronik nasional yang dulu tumbuh

mekar di tahun 1970-an? Ternyata beberapa di antaranya sudah tidak bernafas

alias cerobongnyatidak berasap lagi. Sementara yanglain masih hidup di tengah

gelombang persaingan yang sangat ketat. Bagaimanapun, merekalah perintis

industri elektronik di bumi pertiwi ini.

Page 16: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

KESIMPULAN

Dari hasil analisa antara struktur pasar, kinerja dan sebaran geografis industri

elektronika Indonesia dengan menggunakan data kode ISIC lima-dijit dari industri

besar dan menengah Biro Pusat Statistik, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Struktur industri elektronika di Indonesia dari tahun 1990 hingga 1999

berdasarkan pangsa pasar secara umum adalah berbentuk oligopoli dengan

tingkat konsentrasi tergolong tinggi. Tingginya nilai rasio konsentrasi ini

berdampak buruk bagi kinerja ekspor. Hasil trend dan trend ekspor per output

menunjukkan bahwa rasio konsentrasi yang tinggi mengakibatkan buruknya

kinerja ekspor.

2. Subsektor industri alat komunikasi dapat dikategorikan dalam struktur industri

oligopoli ketat, sedangkan subsektor industri komponen tergolong oligopoli

dengan konsentrasi yang rendah. Subsektor industri yang memiliki rasio

konsentrasi yang tinggi biasanya memberikan profit yang berlebih dan disinyalir

pada suatu tingkat tertentu dapat menyumbang terhadap masalah inflasi. Hal

tersebut terlihat jelas pada subsektor industri alat komunikasi (tahun 1999),

namun peluang terbesar investasi ada pada industri ini karena memberikan profit

tertinggi dibandingkan dengan industri elektronika lainnya.

3. Kontribusi nilai tambah industri elektronika terhadap total industri manufaktur

selama tahun 1990-1999 hanya mengalami kenaikan 2,41 persen, dari 1,03 persen

menjadi 3,44 persen. Subsektor industri komponen merupakan subsektor

penyumbang terbesar pada pertumbuhan nilai tambah, pertumbuhan tenaga kerja,

dan profit per output. Pada tahun 1999 hanya kinerja ekspor (E/O) subsektor

industri komponen yang membaik, setelah menurun tajam di tahun 1997 dan

1998.

Page 17: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

4. Pada tahun 1999 industri elektronika tersebar di daerah pulau jawa dan pulau

sumatra (berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah). Berdasarkan jumlah

tenaga kerja dominasi terbesar industri ini berada di pulau Batam EIA, yang

selanjutnya disusul oleh daerah Jabotabek EIA, Bandung EIA, Surabaya EIA,

Semarang EIA, Medan EIA. Berdasarkan nilai tambah Medan EIA menduduki

posisi nomor tiga setelah Batam EIA. Skala ini bergeser bila dibandingkan dengan

tahun 1990, berdasarkan tenaga Jabotabek EIA menduduki peringkat pertama

disusul oleh Bandung, Surabaya, Batam EIA. Berdasarkan nilai tambah walaupun

Jabotabek EIA unggul namun hampir disamai oleh Bandung EIA yang

selanjutnya disusul oleh Batam EIA. Yang menarik di tahun 1990 adalah propinsi

Ujung Pandang memberikan kontribusinya dalam industri elektronika khususnya

subsektor industri TV/Radio.

5. Berdasarkan analisis di tahun 1990, kriteria skala, keanekaragaman, dan

spesialisasi setidaknya telah memungkinkan diidentifikasi adanya perbedaan

daerah-daerah industri elektronika di Indonesia dan kluster-kluster industri

elektronika. Kluster ditandai oleh spesialisasi sektoral dan konsentrasi geografis

(Kuncoro, 2000: 69; Kuncoro, 2002: bab 2). Skala sektor yang besar, bersama-

sama dengan keanekaragaman dan spesialisasi yang tinggi, memberikan indikasi

yang kuat bahwa Batam EIA merupakan suatu kluster industri elektronika yang

besar dan beragam. Jabotabek EIA walau memenuhi kriteria skala dan

keanekaragaman, namun karena ia tidak memenuhi kriteria spesialisasi maka

tidak dapat dikatakan sebagai suatu kluster industri elektronika. Meski demikian

Jabotabek EIA memungkinkan memenuhi kriteria kluster, khususnya pada

subsektor industri TV/Radio dilihat dari kecenderungan nilai indeks spesialisasi

subsektor industri ini yang mendekati satu. Di Jawa Barat, Bandung EIA

skalanya jauh lebih kecil dari Batam EIA dan Jabotabek EIA serta kurang

beragamnya struktur industri elektronika di daerah ini, namun demikian Bandung

EIA menunjukkan bahwa ia memenuhi kriteria kluster, yaitu kluster subsektor

industri alat komunikasi dan subsektor industri komponen. Surabaya EIA walau

memenuhi kriteria skala, namun karena industri elektronika di daerah tersebut

tidak terspesialisasi dan kurang beragam, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai

Page 18: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

kluster industri elektronika. Kriteria kluster industri elektronika tidak dipenuhi

oleh Medan EIA dan Semarang EIA, hal ini disebabkan karena daerah tersebut

tidak memenuhi kriteria spesialisasi, disamping itu daerah ini juga memiliki skala

industri yang rendah dan industrinya tidak beragam.

6. Melihat prospek masa depan industri elektronika yang sangat besar, industri

elektronika Indonesia merupakan industri yang belum optimal dikembangkan oleh

bangsa Indonesia. Keunggulan mengembangkan industri ini akan membawa

bangsa Indonesia menjadi Newly Industrial Countries (NICs).

Page 19: Makalah Kapita Selekta Industri Elektronika Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Wie, T.K., Jusmaliani, dan Indrawati, S.M. (1995) “Pengembangan

Kemampuan Teknologi Industri dan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam

Anwar, M.A., Basri, F.H. dan Ikhsan, M. (eds.), Sumber Daya, Teknologi,

dan Pembangunan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2. Pangestu, M. dan Basri, F.H. (1995) “Perdagangan Internasional dan

Strategi Pengembangan Teknologi”, dalam Anwar, M.A., Basri, F.H. dan

Ikhsan, M. (eds.), Sumber Daya, Teknologi, dan Pembangunan, PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta