Upload
amaasara
View
113
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
Kehamilan Ektopik Terganggu
Pembi
Pembimbing :
Dr. Rianto Sp. OG
dr. R. Slamet S. Sp. OG
Oleh :
Sofia Linda B.M. Makin 06.70.0077
La Ode Purna Alam Firdaus 04.70.0099
Program Pendidikan Dokter Muda
SMF Obstetri Dan Ginekologi
RSUD DR. R. Koesma -Tuban-
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2012-2013
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan berkat-
Nya sehingga pada kesempatan yang di berikan kepada kami sebagai Dokter Muda Fakultas
Kedokteran Univesitas Wijaya Kusuma Surabaya yang melaksanakan kepanitraan klnik di
RSUD dr. Koesma Tuban untuk mengerjakan laporan kasus pada bagian SMF Obstetri dan
Ginekologi dengan judul “Kehamilan Ektopik Terganggu”
Adapun tujuan kami menyusun laporan kasus ini adalah untuk melengkapi tugas yang
diberikan oleh dokter dalam rangka menyelesaikan kepaniteraan klinik di SMF Obstetri dan
Ginekologi. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. R. Slamet S.
Sp.OG dan dr. Rianto, Sp.OG selaku dokter pembimbing dalam pembuatan laporan kasus ini,
sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan. Dan tidak lupa juga kami ucapkan banyak
terima kasih pada orang tua serta teman-teman DM Obstetri dan Ginekoogi atas motifasi,
penyemangat kami dalam menyelesaiakan lapoaran kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, begitu pula laporan kasus yang kami kerjakan ini.
Oleh karena itu apabila ada masukan atau kritikan akan sangat kami hargai.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Atas perhatinnya
kami ucapkan banyak terima kasih.
Tuban, April 2012
Penyusun
Lembar Pengesahan
Judul Laporan Kasus : Kehamilan Ektopik Terganggu
SMF : Obstetri dan Ginekologi
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing,
Tuban, April 2012 Tuban, April 2012
dr. R. Slamet S. Sp.OG dr. Rianto Sp. OG
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa
Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat
yang semestinya”. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini
dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik
terganggu.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga uterus,
tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan
ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,jarang terjadi implantasi pada
ovarium,rongga perut,kanalis servikalis uteri,tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel
pada uterus.(Sarwono Prawiroharjho, 2005)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga uterus.
Tuba fallopi merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik
(lebih besar dari 90 %). (Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal)
Kehamilan ektopik ialah kehamilan di tempat yang luar biasa. Tempat kehamilan
yang normal ialah di dalam cavum uteri. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim
misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di
tempat yang luar biasa misalnya dalam cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk
rudimenter rahim.
BAB II
Laporan Kasus
Identitas Pasien
No. Register : 012704
Nama : Ny. W
Umur : 33 tahun
Pendidikan : SMP
Bangsa/Suku : Indonesia/Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Lama Menikah : 2 tahun
Nama Suami : Tn J
Umur : 35 tahun
Pendidikan : SMA
Bangsa/Suku : Indonesia/Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Masuk kamar bersalin : 15 Maret 2012
Jam : 10:10
Pengantar : Kiriman Puskesmas dengan diagnosa Susp. KET
Dana Persalinan : JAMKESMAS
Subyektif
Anamnesa :
a. Keluhan Utama : Nyeri perut & Pusing
b. Riwayat penyakit sekarang : Nyeri perut, Pusing, mengeluarkan darah dari jalan lahir,
nafas sesak, tidak bisa BAK dan BAB
c. Riwayat penyakit dahulu : -
d. Riwayat penyakit keluarga : -
e. Riwayat haid :
- Menarche : 12 th
- Siklus : 28 hari
- Lamanya : 7 hari
- Dysmenore : ( - )
- HPHT : Lupa
- Tafsiran persalinan : -
f. Riwayat Obstetri :
- Anak pertama lahir spt. B, di tolong bidan, berat badan 3200 gram, umur 13 tahun
- Hamil ini.
Obyektif
Status Generalisata
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Komposmentis
TTV Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,7 0C
RR : 20 x/menit
BB : 79 kg
TB : 158 cm
Kepala dan Leher : A/I/C/D : +/-/-/+
Pembesaran KGB : -
Thorax : Inspeksi : Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Rh -/-, Wh -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
Auskultasi : S1 – S2 tunggal.
Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba.
Nyeri tekan ( + ) seluruh perut (Slight destended)
Genitalia : VT Ø Fluksus (+) sedikit-sedikit
Portio Multipara tertutup
Cavum Douglas menonjol
Adneksa parametrium (D) : massa (+), Nyeri (+)
Adneksa parametrium (S) : massa (-), Nyeri (+)
Extremitas : AH - - Oedem - -
- - - -
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorim ( 15 Maret 2012 )
Hematologi Rutin
Hemogobin : 3,8 g/dl
Laju Endap Darah : 115/155 mm/jam
PCV : 11,3 %
Eritrosit : 1.260.000 jt/cmm
Hitung Jenis Sel : -/-/-/78/20/2
Leukosit : 15.700 /cmm
Trombosit : 141.000 /cmm
Hbs Ag : Negatif
Diagnosa
Kehamilan Ektopik Terganggu komplikasi Syok Hipovolemik
Planning
Advis dr. Jaga :
- Pasang infus RL Tangan kanan & kiri (Grojok 2 flash)
- Injeksi Cefotaxim 1g IV
- Pasang O2
- Pasang DC
- Cek darah lengkap & Hbs Ag
- Persiapan Darah Whole Blood
- Persiapan Cito Laparatomi
Follow Up hari ke 0 Tanggal 15 Maret 2012 jam 12.30
S:Pasien datang dari OK dengan keadaan Umum lemah dan kedinginan
KU: lemah
O:Tensi: 90/60
Nadi: 78
RR: 20
S: 36,3
A: Kehamilan Ektopik Terganggu
P:- injeksi ceftriaxon 2x1g
- injeksi Antrain 3x1ampul
- injeksi Ranitidine 2x1
-Puasa sampai bising usus (+)
-Whole Blood 2 kolf/ hari sampai dengan HB 8
-Observasi keluhan, reaksi transfusi, prediksi urin dan balance cairan
Follow Up Hari 1 Tanggal 16 Maret 2012 jam 06:00
S : Pusing, Mual & Muntah, kentut (+)
O : Status Generalisata
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Komposmentis
T : 100 / 70 mmHg N : 100 x/menit
RR : 28 x/menit S : 36,4 0C
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : VT Ø Fluksus (+) sedikit-sedikit
Prediksi Urine >300 cc/jam
A :Post operasi Kehamilan Ektopik Terganggu + anemia
P : Advis dr. Jaga
- Ceftriaxon 2x1g IV
- Antrain 3x1ampul IV
- Ranitidine 2x1 IV
- Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Tranfusi Whole Blood sampai Hb ≥ 8
- Observasi keluhan, reaksi tranfusi, prediksi urin & balance cairan
Tanggal 16 Maret 2012 jam: 20.55
S: pasien mengeluh nyeri dada, sesak,
O: Tensi: 130/70
Nadi:100
RR: 28
S: 36,7
Pemeriksaan thorax :
Inspeksi: Asimetris, Retraksi (+)
Palpasi: Nyeri tekan (+)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronki: +/ +
Whezing: +/+
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : Fluksus (-)
Lapor dr.Vera sp,og
A/P: - Furosemid 2 Ampul
-O2 4-6 liter permenit
Tanggal 16 Maret 2012 jam: 22.30
S: pasien mengeluh nyeri dada, sesak, sering mengigau
O: Tensi: 120/70
Nadi:96
RR: 24
S: 37,2
Prediksi Urin: 200cc / jam
Status Lokalis: A/I/C/D : +/-/-/+
Pemeriksaan thorax:
Inspeksi: Asimetris, Retraksi (+)
Palpasi: Nyeri tekan (+)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronki: +/ +
Whezing: +/+
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : Fluksus (-)
Lapor dr.Vera sp,og
A/P: - Aminophhylin drip 1 ampul dalam 500 cc D5 (20 tpm)
-EKG
-Lab: - DL
-Bun/ kreatin
-SGOT/ SGPT
-UL
Follow Up Hari 2 Tanggal 17 Maret 2012 jam 06:00
S : Pusing, Nyeri Perut
O : Status Generalisata
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Komposmentis
T : 120/ 70 mmHg N : 84 x/menit
RR : 16 x/menit S : 36,6 0C
Status Lokalis:A/I/C/D: +/-/-/+
Pemeriksaan thorax :
Inspeksi: Asimetris, Retraksi (+)
Palpasi: Nyeri tekan (+)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronki: +/ +
Whezing: +/+
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : Fluksus (-)
A : Post operasi Kehamilan Ektopik Terganggu + anemia
P : Advis dr. Jaga
- Aminophylin drip 1 ampul dalam 500 cc D5( 20 tpm)
- Injeksi furosemid 2 * 2 ampul
- Amoxicilin 3* 500 mg
- Asam mefenamat 2* 500 mg
- Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Tranfusi Whole Blood sampai Hb ≥ 8
- Observasi keluhan, reaksi tranfusi, prediksi urin & balance cairan
Laboratorim ( 17 Maret 2012 )
Hematologi Rutin
Hemogobin : 7,2 g/dl
Laju Endap Darah : 120/140mm/jam
PCV : 21,3 %
Eritrosit : 2.320.000 jt/cmm
Hitung Jenis Sel : -/-/-/80/17/3
Leukosit : 12.700 /cmm
Trombosit : 203.000 /cmm
Hbs Ag : Negatif
HATI
SGOT: 35
SGPT: 23
GINJAL
BUN: 20,2
Kreatinin Serum: 0,95
URINALISIS URIN
PH : 6,5
SG : 1,010
Glukosa Urin : Negatif
Keton : Negatif
Leukosit Urin : Negatif
Nitrit : Negatif
Protein : Negatif
Billirubin Urin : Negatif
Blood : 5+
Urobilinogen : Negatif
Follow Up hari ke 3 18 Maret 2012 jam 06:00
S : Pusing.
O : KU : Cukup
TD : 110/70 mm/Hg
N : 84 x/menit
S : 36,80C
RR : 24 x/menit
Status Lokalis:A/I/C/D: -/-/-/-
Pemeriksaan thorax :
Inspeksi: Asimetris, Retraksi (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronki: +/ -
Whezing: -/-
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : Fluksus (-)
A : Post Operasi Laparatomi Kehamilan Ektopik Terganggu
P : - Aminophylin drip 1 ampul dalam 500 cc D5( 20 tpm)
- Injeksi furosemid 2 * 2 ampul
- Amoxicilin 3* 500 mg
- Asam mefenamat 2* 500 mg
- Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Tranfusi Whole Blood sampai Hb ≥ 8
Follow Up hari ke 4 19 Maret 2012 jam 06:00
S : Pusing sedikit
O : KU : Cukup
TD : 100/70 mm/Hg
N : 76 x/menit
S : 36,60C
RR : 20 x/menit
Status Lokalis:A/I/C/D: -/-/-/-
Pemeriksaan thorax :
Inspeksi: Asimetris, Retraksi (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Ronki: -/ -
Whezing: -/-
Status Ginekologi
Abdomen : Nyeri tekan ( + )
Bising Usus (+)
Genitalia : Fluksus (-)
A : Post Operasi Laparatomi Kehamilan Ektopik Terganggu
P : - Aminophylin drip 1 ampul dalam 500 cc D5( 20 tpm)
- Injeksi furosemid 2 * 2 ampul
- Amoxicilin 3* 500 mg
- Asam mefenamat 2* 500 mg
- Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Tranfusi Whole Blood sampai Hb ≥ 8
-Kontrol ulang 3 hari lagi
BAB III
INJAUAN PUSTAKA
T I. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
A. DEFINISI
Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan hasil konsepsi berimplantasi dan tumbuh
di luar endometrium kavum uteri.1
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) ialah kehamilan ektopik yang mengalami gangguan, dapat
berupa abortus atau ruptur tuba, dan hal ini dapat berbahaya bagi wanita tersebut.2
B. KLASIFIKASI
Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu;
1. Tuba Fallopii (95%-98% dari seluruh kehamilan ektopik), yaitu pada:
- Pars interstisialis (2%)
- Istmus (25%)
- Ampulla (55%)
- Infundibulum (1%)
- Fimbria (17%)
2. Uterus, yaitu pada :
- Kanalis servikalis (<1%)
- Divertikulum
- Kornu (1-2%)
- Tanduk rudimenter
3. Ovarium (<1%)
4. Intraligamenter (<1%)
5. Abdominal (1-2%)
- Primer
- Sekunder
6. Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic pregnancy).3
C. ETIOLOGI
Sebagian besar etiologi kehamilan ektopik tidak diketahui, tetapi ada beberapa
faktor yang mempengaruhi peningkatan angka kejadian terjadinya kehamilan ektopik. Tiap
kehamilan ektopik dimulai dengan pembuahan telur di bagian ampula tuba, dan dalam
perjalanan ke uterus mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau
nidasinya di tuba dipermudah.
Faktor-faktor yang mungkin sebagai penyebabnya adalah;
Faktor Uterus
1. Tumor rahim yang menekan tuba
2. Uterus hipoplastis
Faktor Tuba
1. Faktor dalam lumen
a. Lumen tuba menyempit karena
i. Endosalphingitis
ii. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna
b. Pada hipoplasia uteri lumen sempit dan berlekuk-lekuk, sering disertai gangguan silia
endosalphing
2. Faktor dinding tuba
b. Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba
c. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius dapat menahan telur yang dibuahi
di tempat itu
3. Faktor di luar dinding tuba
b. Perlengketan perituba dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur
c. Tumor yang menekan dinding tuba.
Faktor Ovum
1. Migrasi eksterna ovum, yaitu perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya, dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus, pertumbuhan
telur yang terlalu cepat menyebabkan prematur.
2. Fertilisasi Invitro.4
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor resiko yang berperan
dalam kejadian kehamilan ektopik.
1. Penyakit radang panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease)
2. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
3. Riwayat pembedahan tuba ataupun sterilisasi
4. Riwayat endometriosis
5. Riwayat akseptor IUD
6. Riwayat penggunaan obat untuk induksi ovulasi.5
D. DIAGNOSIS
Pada kehamilan ektopik belum terganggu kadang menimbulkan kesulitan diagnosis
karena biasanya penderita menyampaikan keluhan yang tidak khas. Yang penting dalam
pembuatan diagnosis kehamilan ektopik adalah supaya pada pemeriksaan penderita selalu
waspada terhadap kemungkinan kehamilan ini.
Gejala-gejala yang perlu diperhatikan adalah;
a. Nyeri perut, merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu Pada kehamilan
ektopik yang terganggu rasa nyeri perut bawah bertambah sering dan keras. Rasa nyeri
mungkin unilateral atau bilateral pada abdomen bagian bawah atau pada seluruh abdomen,
atau malahan di abdomen bagian atas. Dengan adanya hemiperitoneum , rasa nyeri akibat
iritasi diafragma bisa dialami pasien. Diperkirakan bahwa serangan nyeri hebat pada ruptura
kehamilan ektopik, ini disebabkan oleh darah yang mengalir ke kavum peritonei.6
b. Perdarahan. Gangguan kehamilan sedikit saja sudah dapat menimbulkan perdarahan yang
berasal dari uterus. Perdarahan dapat berlangsung kontinyu dan biasanya berwarna hitam.
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak
ditemukan, tetapi bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi,
mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit,
berwarna coklat gelap dan dapat terputus-putus atau terus menerus. Meskipun perdarahan
vaginal yang masif lebih menunjukkan kemungkinan abortus inkompletus intrauteri daripada
kehamilan ektopik, tetapi perdarahan semacam ini bisa terjadi pada kehamilan tuba.
c. Adanya Amenorea, amenorea sering ditemukan walau hanya pendek sebelum diikuti
perdarahan, malah kadang-kadang tidak amenorea. Tidak ada riwayat haid yang terlambat
bukan berarti kemungkinan kehamilan tuba dapat disingkirkan. Salah satu sebabnya adalah
karena pasien menganggap perdarahan pervaginam sebagai periode menstruasi yang
normal, dengan demikian memberikan tanggal haid yang keliru.
d. Keadaan Umum, tergantung dari banyaknya darah yang keluar dari tuba, keadaan umum
ialah kurang lebih normal sampai gawat dengan syok berat dan anemia. Hb dan hematokrit
perlu diperiksa pada dugaan kehamilan ektopik terganggu.1
e. Perut, pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah di sisi uterus.
Hematokel retrouterina dapat ditemukan. Pada ruptur tuba perut menegang dan nyeri
tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Tanda Cullen dapat
terlihat di sekitar pusat atau linea alba terlihat biru hitam dan lebam.
Pada pemeriksaan dalam didapatkan kavum Douglas menonjol karena darah yang
terkumpul di tempat tersebut. Baik pada abortus tuba maupun pada ruptur bila serviks
digerakan akan terasa nyeri sekali (slinger pain). Douglas crise: nyeri pada penekanan kavum
Douglas.3
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium: Pemeriksaan Hb serial setiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar Hb,
ditemukan juga adanya leukositosis.
b. Tes Kehamilan: Apabila tesnya positif, itu dapat membantu diagnosis khususnya terhadap
tumor-tumor adneksa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan.
c. Ultrasonografi: Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi di luar uterus yang di
dalamnya tampak denyut jantung janin.
d. Kuldosintesis: Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum
Douglas ada darah. Jika darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk, sedangkan darah tua
berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil;
darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.
e. Laparoskopi: Hanya digunakan sebagai alat diagnosis terakhir untuk kehamilan ektopik.
Dikerjakan apabila pada pemeriksaan klinik tidak dijumpai tanda klasik dari kehamilan
ektopik yang pecah, ataupun hasil kuldosintesis tidak positif.
f. Dilatasi dan kuretase: Biasanya dilakukan apabila setelah amenorea terjadi perdarahan yang
cukup lama tanpa ditemukan kelainan nyata di samping uterus, sehingga dipikirkan abortus
inkompletus atau perdarahan uterus disfungsional. Apabila pada spesimen kuretase itu tidak
dijumpai villus korealis sekalipun terdapat desidua dengan atau tanpa reaksi Arias-Stella
pada endometriumnya, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat ditegakkan.5
F. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial ialah: 1) Infeksi pelvik, 2) Abortus
iminens atau abortus inkompletus, dan 3) Torsi kista ovarium, 4) Appendisitis. Biasanya
anamnesis, gambaran klinik, dan beberapa metode pemeriksaan dapat menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik. Ruptur korpus luteum dapat menimbulkan gejala yang menyerupai kehamilan
ektopik terganggu. Anamesis yang cermat mengenai siklus haid penderita dapat menduga ruptur
korpus luteum. Jika keadaan mengizinkan dengan laparoskopi dapat diperoleh kepastian apa
yang menyebabkan perdarahan intraperitoneal.3
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik berupa pembedahan atau medikamentosa.
1. Operatif
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Namun, harus
diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu;
a. Kondisi Pasien saat itu
b. Kondisi anatomik organ pelvis
c. Keinginan penderita akan organ reproduksinya
d. Lokasi kehamilan ektopik
e. Kemampuan teknik pembedahan mikro operator
f. Kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat.2,3
Hasil pertimbangan tersebut menentukan apakah perlu dilakukan salphingektomi
pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya
dilakukan salphingostomi atau reanostomosis tuba. Apabila kondisi pasien buruk, misalnya
syok, lebih baik dilakukan salphingektomi.
Pada kehamilan tuba dilakukan salphingostomi, partial salphingektomi,
salphingektomi, atau salphingo-ooforektomi, dengan mempertimbangkan jumlah anak, umur,
lokasi kehamilan ektopik, umur kehamilan, dan ukuran produk kehamilan.5
2. Kemoterapi
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis yang belum pecah pernah dicoba
ditangani dengan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan.
Kriteria kasusnya, yaitu:
a. Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah
b. Diameter kantung gestasi < 4 cm
c. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml
d. Tanda vital baik dan stabil.
Obat yang digunakan adalah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum faktor 0,1
mg/kg IM berselang-seling selama 8 hari.4 Methotrexat merupakan antagonis asam folat (4-
amino-10-methylfolic acid). Methotrexat bekerja mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi
sel dengan menginhibisi kerja enzim dihydrofolate reduktase, maka selanjutnya akan
menghentikan proliferasi trofoblas.
H. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis, dan
tindakan yang tepat. Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun
dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Prognosis juga tergantung dari
cepatnya pertolongan, jika pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi
I. VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK
1. Kehamilan Abdominal
Kebanyakan kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat
ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di
dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih
tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas
maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC),
emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan
abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat
perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan
perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan
implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal
dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut
di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang
tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera
membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus
antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin
dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion
antara plasenta dan janin.
Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu.
Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar
untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin
yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan
berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses,
dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat
merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin
yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga
abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi.
Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta
untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium.4 Sebelum operasi, cairan resusitasi dan
darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup
besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya
jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan
diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering
mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan
kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat
dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta
diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.7 Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah
ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta,
serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan pencitraan ultrasonografi dan
pengukuran kadar b-hCG serum. Pemberian methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta
tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan
akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per
angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang
baik.8
2. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Spiegelberg merumuskan kriteria
diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus
menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii,
dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum faktor
risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium
umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai
manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium
pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan
ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila
hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate
dapat pula digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu.3
3. Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang.
Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan
bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum
siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase
mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi
yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya
hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada
sindroma Asherman.9 Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer
embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang
dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi.
Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat
tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa
sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan
serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks,
seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati
usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.
Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan
hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti
miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini
menjadi dilema, terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya.
Beberapa metode-metode nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain
pemasangan kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina,
embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah
kuretase, dan balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan.
Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada
jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi
angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil
yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia.2,4 Sebelum kuretase
dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi.
Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti
pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks.
Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis
kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil
yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara
intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.10
BAB IV
PEMBAHASAN
INJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi Dan Klasifikasi1,4,5
Berikut klasifikasi hipertensi dalam kehamilan :
o Hipertensi Gestasional: Desakan Darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya
pada kehamilan, proteniuria (-) dan desakan darah kembali normal < 12 minggu pasca
persalinan.
o Preeclampsia ringan: Desakan Darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20
minggu, proteniuria ≥ 300mg/24jam atau dipstick ≥1+.
o Preeclampsia berat: Desakan Darah ≥ 160/110 mmHg setelah usia kehamilan 20
minggu, proteniuria ≥ 5g/24jam atau 4+ dengan pemeriksan kualitatif
o Eclampsia: Preeklamsia yang disertai kejang-kejang dan/ koma
o Hipertensi kronik dengan superimposed preeclamsia: Timbulnya proteinuria ≥
300mg/24jam setelah kehamilan 20 minggu pada wanita hamil yang sudah mengalami
hypertensi sebelumnya.
o Hipertensi kronik: Desakan Darah ≥ 140/90 mmHg, proteniuria-, sebelum
kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12
minggu pasca persalinan.
3.1.2 Faktor Resiko5
1. Paritas terutama pada primigravida atau nulipara.
2. Umur 35 tahun ke atas.
3. Multigravida dengan kondisi klinis yaitu ; hamil ganda, penyebab vaskuler termasuk
hipertensi essensial kronik dan DM.
4. Hiperplacentosis (Mola hidatidosa, hamil ganda, hidrops foetalis, bayi besar, DM).
5. Riwayat keluarga pernah preeklamasi/eklamsia.
6. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.
7. Obesitas.
Bebeberpa peneliti menyimpulkan bahwa wanita yang sosioekonomi lebih maju lebih
jarang terjangkit preeklamsia3.
3.1.3 Patofisilogi
Patofisiologi dan preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor yang
mungkin menyebabkan preeklampsia antara lain :
1. Vasospasme
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah yang mengakibatkan
terjadinya hipertensi arterial. Kemungkinan vasospasme juga membahayakan pembuluh
darah, karena peredaran darah dalam vasa vasorum terganggu, sehingga terjadi kerusakan dan
hipoksia pada endotel pembuluh darah2.
Kemudian angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang membuatnya
berkontraksi. Semua faktor ini menimbulkan kebocoran sel antar endotel, sehingga unsur-
unsur pembentuk darah seperti trombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel.
Kerusakan vasikuler disertai hipoksia jaringan menyebabkan pendarahan nekrosis dan
kelainan organ2
2. Respon Presor yang meningkat
Pada keadaan normal, wanita hamil memiliki resistensi efek presor angiotensin II.
Gant (1998) menyatakan bahwa wanita hamil yang mempunyai kecenderungan menderita
preeklampsia terhadap peningkatan kepekaan terhadap efek presor angiotensin II setelah
kehamilan 18 minggu dan adanya faktor ketiga yang mengontrol kepekaan vaskuler terhadap
angiotensin II yang bersifat individual yaitu banyaknya reseptor angiotensin II spesifik pada
endotel pembuluh darah dan peranan prostaglandin sebagai mediator poten reaktifitas
vaskuler. Penurunan siistesis prostagladin dan peningkatan pemecahan prostagladin akan
meningkat kepekaan vaskuler terhadap angiotensin II. Gant dkk. Cuningham dan Everett
berkesimpulan bahwa pada wanita hamil berkurangnya kepekaan terhadap angiotensin II
disebabkan oleh penurunan daya responsif vaskuler.2,3
3. Faktor Utero Plasenter
Iskemia plasenta akan mengakibatkan penurunan produksi progesteron yang
merupakan antagonis dari aldosteron. Sehingga secara relatif aldosteron meningkat dan
menyebabkan retensi natrium dan cairan.2
4. Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin.
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Keadaan ini diterangkan secara immunologik bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan “Blocking antibodies” terhadap antigen plasenta tidak sempurna,
sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan terhadap histoinkompalibitas
plasenta. Pada kehamilan berikutnya pembentukan blocking antibodies lebih banyak akibat
respon imunitas pada kehamilan sebelumnya2.
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami sebelumnya. Seks oral
mempunyai resiko rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan
seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi
dalam kehamilan5.
5. Faktor Hormon
Penurunan hormon progesteron menyebabkan penurunan aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan aldosteron secara relatif yang menyebabkan retensi natrium
dan cairan sehingga terjadi hipertensi dan edema2.
6. Genetik
Menurut chesley dan Cooper (1996) meneliti bahwa preeklampsia eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen residif tunggal2,3.
7. Faktor Gizi
Chesley (1978), menduga bahwa faktor nutrisi memegang peranan. Diet yang kurang
mengandung asam lemak essensial terutama asam arachidonat (prekursor sintesis
prostaglandin) dapat menyebabkan “loss angiotensin refractoriness” yang kemudian
menimbulkan preeklampsia2.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak
ada satu pun teori tesebut yang dianggap mutlak benar5.
3.2.1 Aspek Klinik PreEklamsia Berat
Kriteria4 :
· Tekanan darah 160/110 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
· Proteinuria 5 gr dalam 24 jam atau pemeriksaan kualitatif atau 4+
· Oliguria (urine 500 cc atau kurang dalam 24 jam)
· Keluhan serebral (sakit kepala, gangguan penglihatan)
· Nyeri di daerah epigastrium
· Edema paru-paru atau sianosis
· Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat
· HELLP Syndrome
Pembagian Preeklamsia Berat5 :
Preeklamsia berat tanpa gejala impending eklamsia
Preeklamsia berat dengan gejala impending eklamsia.
Penanganan2 :
Tujuan penanganan adalah :
1. Untuk melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah progresifitas
penyakit menjadi eklampsia dengan segala komplikasinya.
2. Untuk mengatasi atau menurunkan resiko janin termasuk terjadinya solusio plasenta
pertumbuhan janin terlambat dan kematian janin intra uterus.
3. Untuk melahirkan janin dengan cara yang paling aman.
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia selama
perawatan, maka penanganan PEB dibagi dua yaitu aktif dan konservatif. Penanganan aktif
berarti kehamilan segala diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medisinal. Penanganan konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medisinal2.
Perawatan Aktif2,4, :
1. Indikasi :
a. Ibu :
· Kehamilan 37 minggu
· Impending eklampsia
· Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
- Dalam waktu atau setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medisinial terjadi kenaikan
TD.
- Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada perbaikan gejala-
gejala.
b. Janin :
· Adanya tanda-tanda fetal distress
· Adanya tanda-tanda IUFGR
c. Laboratorik : Adanya HELLP Syndrome.
2. Pengobatan medisinal2,4
a. Segera masuk rumah sakit
b. Tirah baring miring ke kiri
c. Infus dekstrose / RL 2 (60-125cc)/ jam
d. Antasida
e. Diet : - Cukup protein
- Rendahnya KH, lemak dan garam
f. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4)
Cara pemberian :
- Loading dose, 4 gr MgSO4 20% IV selama 4-5 menit. Disertai 10 gr MgSO4 40% yang
diberikan 5 gr pada bokong kiri dan 5 gr pada bokong kanan IM.
- Dosis pemeliharaan
Diberikan 5 gr MgSO4 40% setiap 6 jam bergantian.
Syarat pemberian Mg SO42,4,5 :
o Refleks pattela normal
o Respirasi >16x/ mnt
o Produksi urine dalam 6 jam minimal 150 cc
o Siapkan ampul Kalsium Glukonat 10%
o Antidotum : Bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO4.7H2O maka diberi
injeksi Kalsium Glukonat 10%/10 cc
g. Kateter menetap
h. Diuretik, hanya diberikan bila ada :
- Edema paru
- Payah jantung kongesif
- Oedem anasarka
i. Antihipertensi
Jika tekanan diastolik 110 mmHg, berikan obat anti hipertensi. Tujuannya untuk
mempertahankan diastolik diantara 90 - 100 mmHg dan mencegah pendarahan serebral.
j. Kardiotonika
Indikasi pemberian bila ada tanda-tanda menjurus ke arah payah jantung. Perawatan
dilakukan bersama dengan bagian penyakit jantung.
k. Lain-lain
- Anti piretik bila suhu rectal di atas 38,50C, dapat kompres dingin atau alkohol.
- Antibiotika, diberikan atas indikasi
- Antinyeri, bila penderita kesakitan atau / gelisah karena kontraksi rahim dapat diberikan
pethidin HCI 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2-3 jam sebelum janin lahir.
3. Pengobatan Obstetrik2,4
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan
persalinan meningkatkan resiko ibu dan janin.
1. Belum inpartu
Periksa serviks, Bila mana :
a. Serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin. Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam, lakukan
seksio-sesarea. Demikian halnya jika DJJ £ 100 kali /menit atau 180 kali / menit lakukan
seksio-sesarea.
b. Serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio-sesarea.
Jika anastesi untuk seksio-sesarea tidak tersedia atau jika janin mati atau terlalu kecil maka :
- Usahakan lahir pervaginam.
- Matangkan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley.
2. Inpartu
Fase laten : 6 jam tidak masuk fase aktif ® SC
Fase aktif : - amniotomi kalau perlu drip oksitosn
- bila 6 jam pembukaan belum lengkap ® SC
Kala II dipercepat, bila syarat partus pervaginam dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum
atau ekstraksi forcep. Persalinan harus sudah selesai kurang dari 12 jam setelah dilakukan
amniotomi dan drip oksitosin. Tetapi bila dalam 6 jam tidak menunjukkan kemajuan yang
nyata, pertimbangkan SC. Ergometrin tidak boleh diberika kecuali pada PPH oleh karena
atonia uteri2.
Perawatan Konservatif
1. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa tanda-tanda impending eklampsia dan janin baik1,2,4,5.
2. Pengobatan medisinial :
Sama dengan penglolaan aktif MgSO4 dihentikan bila sudah tercapai tanda-tanda
preeklampsia ringan, tetapi disini 4 gr MgSO4 20 0/0 secara i.v tidak diberikan. Selama
perawatan konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan preeklampsia berat 37
minggu, hanya di sini penderita boleh dipulangkan jika selama tiga hari dalam perawatan
keadaan preeklampsia ringan2.
3. Pengobatan konservatif.
Kalau setelah 24 jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan terminasi kehamilan.
Namun bila ada perbaikan dan yakni 2:
1. Mencapai kriteria preeklamsia ringan maka :
- SM Regim dihentikan
- Rawat seperti preeklamsia ringan
- Monitoring ibu dan janin terus-menerus
2. Belum mencapai kriteria preeklamsia ringan dan anak belum viabel for life dan sangat
berharga maka dipertimbangkan dengan cermat apakah
- Langsung termiasi kehamilan sesudah pemberian SM Regim 2 x 24 jam.
- Dicoba mempertahankan kehamilan dengan dosis SM Regim yang lebih kecil,
umpamanya suntikan SM Regim 1 x 8 jam atau 1 x 12 jam.
Bila terjadi impending eklampsia maka penanganannya adalah sebaiknya segera
dilakukan seksio caesar setelah diberi dosis awal (loading dosis) suntikan SM Regim untuk
mencegah terjadinya eklampsia, pendarahan serebral / intrakranial atau kematian janin.
4. Pengobatan konservatif dianggap gagal bila4 :
Ada tanda-tanda impending eklamsia.
Kenaikan progresif tekanan darah.
Ada HELLP syndrome.
Ada kelainan fungsi ginjal.
Penilaian kesejahteraan janin jelek.
3.2.2 Impending eklamsia
Kritria:
Preeklamsia berat disertai tanda-tanda2,5 :
1. Nyeri kepala berat
2. Gangguan visus
3. Muntah-muntah
4. Nyeri epigastrium
5. Kenaikan progresif tekanan darah (sistolis > / = 200 mmHg.
Sebagian dari tanda gejala tersebut di atas sudah termasuk kriteria diagnosis pree
klampsia berat. Seperti gangguan visus dan serebral dan nyeri epigastrium edema paru-paru
dan sianosis juga termasuk tanda / gejala preeklampsia berat atau “imminent eclampsia”2,4,5
Penanganan : Sectio Caesar
3.2.3 HELLP Syndrome
Syndrome HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Kematian ibu bersalin pada syndrome
HELLP cukup tinggi yaitu 24 0/0. Penyebab kematian dapat berupa kegagalan
kardiopulmonar, gangguan pembekuan darah, perdarahan otak, ruptur hepar, dan kegagalan
organ multiple. Demikian juga kematian perinatal cukup tinggi, terutama disebabkan oleh
persalinan preterm.5
Hasil laboratorium dapat menunjukkan sebagai berikut 2 :
1. Hapus darah perifer akan menunjukkan gambaran sistiosit, burr cells,
helmet cells yang menunjukan keadaan adanya kerusakan eritrosit.
2. Meningkatnya LDH (Lactic dehydrogenase) dan penurunan haptoglobin
terjadi sebelum peningkatan kadar bilirubin indirek dan penurunan kadar Hb.
3. Trombositopenia menunjukkan terjadinya abnormalitas sistem koagulasi.
4. Kelainan prothrombin time, partial thromboplastin time dan fibrinogen
pada proses lanjut.
5. Peningkatan kadar SGOT, SGPT dan LDH. Kadar bilirubin indirek
meningkat pada kasus yang lanjut.
6. Kadar asam urat > 7,8 mg/dl, ureum > 200 IU/L dan kreatinin > 1,0.
Klasifikasi HELLP Syndrome 5:
Klas 1 : Kadar trombosit < 50.000 /ml, LDH > 600 IU/l, AST dan/ ALT 40 IU/
Klas 2 : Kadar trombosit 50.000 – 100.000 / ml, LDH > 600 IU/l,
AST dan/ ALT 40 IU
Klas 3 : Kadar trombosit 100.000 – 150.000 / ml, LDH > 600 IU/l,
AST dan/ ALT 40 IU/
Penanganan :
Pengelolaan obstetri : Sikap terhadap kehamilan pada syndoma HELLP ialah aktif, yaitu
kehamilan diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat diakukan
pervaginam atau perabdominam2,5.
Terapi medikamentosa 5 : pemberian dexamethasone rescue diberikan dalam bentuk
strength dexamethasone ( double dose ).
- Untuk dosis doublestrength dexamethasone diberikan 10 mg i.v tiap 12 jam segera
setelah sindrome HELLP di tegakkan.
- Dosis post partum 10 mg i.v tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v tiap 12
jam 2 kali. Terapi dihentikan bila trombosit > 100.000 /ml dan penurunan LDH
serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklamsia.
BAB IV
PEMBAHASAN
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah 160/110 mmHg disertai
proteinuria dan atau edema, pada kehamilan 20 minggu. Penyebab pasti preeklamsia masih
belum diketahui dengan jelas. Disebut impending eklamsia bila preeklamsia berat dsertai
gejala-gejala subjektif berupa : nyeri kepala berat , gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium, kenaikan progresif tekanan darah. HELLP syndrome adalah preeklamsia-
eklamsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia.
4.1 Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah 160/110 mmHg disertai
proteinuria lebih dari 5 g /24 jam dan atau edema, pada kehamilan 20 minggu. Penyebab pasti
preeklamsia masih belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut dianggap mutlak benar.
Tetapi preeklamsia berat mempunyai faktor resiko yaitu primigravida atau nulipara, umur 35
tahun ke atas, riwayat keluarga pernah preklamsia / eklamsia, hiperplasentosis, penyakit-
penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, obesitas. Bebeberpa peneliti
menyimpulkan bahwa wanita yang sosioekonomi lebih maju lebih jarang terjangkit
preeklamsia (3).
Pada pasien ini hamil ke 2, umurnya 32 tahun, tidak mempunyai riwayat keluarga
preeklamsia / eklamsia, tidak mempunyai penyakit ginjal dan hipertensi sebelumnya, berat
badan pasien 64 kg, tidak disertai hiperplasentosis. Pasien ini kemngkinan dari kalangan
sosioekonomi rendah. Dapat disimpulkan pasien ini faktor resikonya adalah wanita
sosioekonomi rendah yang berarti dalam kehamilan pasien ini kekurangan nutrisi. Chesley
(1978), menduga bahwa faktor nutrisi memegang peranan. Diet yang kurang mengandung
asam lemak essensial terutama asam arachidonat (prekursor sintesis prostaglandin) dapat
menyebabkan “loss angiotensin refractoriness” yang kemudian menimbulkan preeklampsia2.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet wanita hamil
mengakibatkan resiko terjadinya preeklamsia/eklamsia.5
Diagnosa ditegakannya preeklamsia berat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisisk
serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa hipertensi didapatkan pada usia kehamilan lebih
dari 20 minggu. Pemeriksaan urine didapatkan proteinuria lebih dari 5g/24 jam atau 4+ dalam
pemeriksaan kualitatif. Tekanan darah 160/110 mmHg, oliguria ( produksi urine < 500 cc
dalam 24 jam ). Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema.
Pada pasien ini didiagnosa preeklamsia berat oleh karena :
1. Tekanan darah meningkat pada umur kehamilan 8 bulan, tekanan darahnya 180/110
mmHg. Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna ( hipervolemia ),
guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas
pada preeklamsia terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40% dibanding hamil
normal, disebut hipovolemi. Hipovolemi diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga
terjadi hipertensi.
2. Pada pasen ini evaluasi produksi urin tidak dilakukan.
3. Hasil dari pemeriksaan urine didapatkan proteinuria 3+. Ini disebabkan oleh kerusakan sel
glomerulus yang mengakibatkan meningkatya permeabilitas membran basalis sehingga
terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Hasil ini tidak sesuai dengan kriteria
PEB karena harus 4+, tetapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan,
sehingga sering di jumpai preeklamsia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir lebih
dulu.
4.2 Impending Eklamsia
Impending eklamsia adalah preeklamsia berat disertai tanda-tanda :
1. Nyeri kepala hebat : hal ini disebakan oleh ganguan neurologik yaitu akibat tekanan darah
yang tinggi mengakibatkan hiperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
2. Gangguan visus : terjadi akibat spasme arteri retina dan edema retina.
3. Nyeri epigastrium : terjadi bila perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi
nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di
bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematom. Subkapsular hematom
menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruputr hepar.
4. Muntah-muntah
5. Kenaikan progresif tekanan darah (sistolis > / = 200 mmHg.
Pada pasien ini didapatkan beberapa gejala impending eklamsia yaitu : nyeri kepala,
penglihatan kabur, nyeri epigastrium.
4.3 HELLP Syndrom
Syndrome HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Kematian ibu bersalin pada syndrome
HELLP cukup tinggi yaitu 24 0/0. Penyebab kematian dapat berupa kegagalan
kardiopulmonar, gangguan pembekuan darah, perdarahan otak, ruptur hepar, dan kegagalan
organ multiple. Demikian juga kematian perinatal cukup tinggi, terutama disebabkan oleh
persalinan preterm.
1. Hemolisis : terjadi akibat sel endotel yang terpapar terhadap peroksida
lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur endotel.
2. Elevated liver enzim : disebabkan oleh kerusakan sel hepatosit hepar
yang ditandai dengan kenaikan ALT, AST, LDH. Dasar perubahan pada hepar ialah
vasospasme, iskemi, dan perdarahan. Bila perdarahan pada sel periportal lobus perifer,
akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar.
3. Low platelet : disebabkan oleh kerusakan sel endotel. Akibat
kerusakan sel endotel terjadi agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di
lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Pada sebagian besar studi, agregasi
trombosit berkurang dibandingkan pertambahan yang biasanya dijumpai pada kehamilan
normal3. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh ‘kelelahan’ trombosit setelah
aktivasi in vivo3. Walaupun penyebabnya tidak diketahui, proses imunologis atau
pengendapan trombosit di lokasi endotel yang rusak mungkin berperan3.
Pada pasien ini di diagnosa HELLP syndrom oleh karena pada hasil laboratorium
didapatkan peningkatan fungsi hepar.
4.4 Penanganan
Tujuan penanganan adalah :
1. Untuk melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah progresifitas
penyakit menjadi eklampsia dengan segala komplikasinya.
2. Untuk mengatasi atau menurunkan resiko janin termasuk terjadinya solusio plasenta
pertumbuhan janin terlambat dan kematian janin intra uterus.
3.Untuk melahirkan janin dengan cara yang paling aman.
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia selama
perawatan, maka penanganan PEB dibagi dua yaitu aktif dan konservatif. Penanganan aktif
berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medisinal. Penanganan konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medisinal.
Perawatan Aktif, :
1. Indikasi :
a. Ibu :
· Kehamilan 37 minggu
· Impending eklampsia
· Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
- Dalam waktu atau setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medisinial
terjadi kenaikan tekanan darah.
- Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada perbaikan
gejala-gejala.
b. Janin :
· Adanya tanda-tanda fetal distress
· Adanya tanda-tanda IUFGR
c. Laboratorik : Adanya HELLP Syndrome.
2. Pengobatan medisinal.
a. Segera masuk rumah sakit
b. Tirah baring miring ke kiri
c. Infus dekstrose / RL 2 (60-125cc)/ jam
d. Antasida
e. Diet : - Cukup protein
- Rendahnya KH, lemak dan garam
f. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4)
Cara pemberian :
- Loading dose, 4 gr MgSO4 20% IV selama 4-5 menit. Disertai 10 gr MgSO4 40% yang
diberikan 5 gr pada bokong kiri dan 5 gr pada bokong kanan IM.
- Dosis pemeliharaan : diberikan 5 gr MgSO4 40% setiap 6 jam bergantian pada bokon kanan
dan bokong kiri.
g. Kateter menetap
h. Diuretik, hanya diberikan bila ada : Edema paru, payah jantung kongesif, oedem anasarka
i. Antihipertensi
j. Kardiotonika
Indikasi pemberian bila ada tanda-tanda menjurus ke arah payah jantung. Perawatan
dilakukan bersama dengan bagian penyakit jantung.
k. Lain-lain
- Anti piretik bila suhu rectal di atas 38,50C, dapat kompres dingin atau alkohol.
- Antibiotika, diberikan atas indikasi
- Antinyeri, bila penderita kesakitan atau / gelisah karena kontraksi rahim dapat diberikan
pethidin HCI 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2-3 jam sebelum janin lahir.
3. Pengobatan Obstetrik
Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil. Penundaan
persalinan meningkatkan resiko ibu dan janin.
1. Belum inpartu
Periksa serviks, Bila mana :
a. Serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin. Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam, lakukan
seksio-sesarea. Demikian halnya jika DJJ £ 100 kali /menit atau 180 kali / menit lakukan
seksio-sesarea.
b. Serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio-sesarea.
Jika anastesi untuk seksio-sesarea tidak tersedia atau jika janin mati atau terlalu kecil maka :
- Usahakan lahir pervaginam.
- Matangkan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley.
2. Inpartu
Fase laten : 6 jam tidak masuk fase aktif ® SC
Fase aktif : - amniotomi kalau perlu drip oksitosn
- bila 6 jam pembukaan belum lengkap ® SC
Kala II dipercepat, bila syarat partus pervaginam dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum
atau ekstraksi forcep. Persalinan harus sudah selesai kurang dari 12 jam setelah dilakukan
amniotomi dan drip oksitosin. Tetapi bila dalam 6 jam tidak menunjukkan kemajuan yang
nyata, pertimbangkan SC.
Perawatan Konservatif
1. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa tanda-tanda impending eklampsia dan janin baik.
2. Pengobatan medisinial :
Sama dengan penglolaan aktif MgSO4 dihentikan bila sudah tercapai tanda-tanda
preeklampsia ringan, tetapi disini 4 gr MgSO4 20 0/0 secara i.v tidak diberikan. Selama
perawatan konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan preeklampsia berat 37
minggu, hanya di sini penderita boleh dipulangkan jika selama tiga hari dalam perawatan
keadaan preeklampsia ringan.
3. Pengobatan konservatif.
Kalau setelah 24 jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan terminasi kehamilan.
Namun bila ada perbaikan dan yakni :
1. Mencapai kriteria preeklamsia ringan maka :
- SM Regim dihentikan
- Rawat seperti preeklamsia ringan.
- Monitoring ibu dan janin terus-menerus
2. Belum mencapai kriteria preeklamsia ringan dan anak belum viabel for life dan sangat
berharga maka dipertimbangkan dengan cermat apakah :
- Langsung termiasi kehamilan sesudah pemberian SM Regim 2 x 24 jam.
- Dicoba mempertahankan kehamilan dengan dosis SM Regim yang lebih kecil, umpamanya
suntikan SM Regim 1 x 8 jam atau 1 x 12 jam.
Bila terjadi impending eklampsia maka penanganannya adalah sebaiknya segera
dilakukan seksio caesar setelah diberi dosis awal (loading dosis) suntikan SM Regim untuk
mencegah terjadinya eklampsia, pendarahan serebral / intrakranial atau kematian janin.
3. Pengobatan konservatif dianggap gagal bila :
Ada tanda-tanda impending eklamsia.
Kenaikan progresif tekanan darah.
Ada HELLP syndrome.
Ada kelainan fungsi ginjal.
Penilaian kesejahteraan janin jelek.
Pada pasien ini mengalami kegagalan perawatan konervatif oleh karena :
Kemungkinan terlambatnya diberikan antihipertensi pada saat diterapi pertama kali (saat
MRS tekanan darah pasien 180/110). Jika tekanan diastolik 110 mmHg, berikan obat anti
hipertensi. Tujuannya untuk mempertahankan diastolik diantara 90 - 100 mmHg dan
mencegah pendarahan serebral.
Kemungkinan saat pemberian terapi MgSO4 konservatif pada bokong kanan dan bokong
kiri pengambilan dosisnya pada spuit 10 cc tidak sesuai dosis. Sehingga kadar magnesium
plasma tidak sesuai yang diharapkan yaitu antara 4 dan 7 mEq/l.
Pelahiran janin adalah penyembuhan bagi preeklamsia. Nyeri kepala, gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium merupakan petunjuk bahwa akan terjadi kejang. Bila terjadi
impending eklamsia maka penanganannya adalah sebaiknya segera dilakukan seksio caesar
setelah diberi dosis awal (loading dosis) suntikan SM Regim untuk mencegah terjadinya
eklampsia, pendarahan serebral / intrakranial atau kematian janin.
Pada pasien ini terdapat tanda-tanda impending eklamsia, yaitu pengelihatan kabur,
nyeri kepala, nyeri perut bagian atas. Kalau sudah ada tanda-anda impending eklamsia maka
kehamilan harus segera diterminasi karena merupakan tanda-tanda prodoma dari eklamsia.
Tujuan utama adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial, kerusakan serius pada organ
vital lain, serta melahirkan bayi yang sehat.
Pengelolaan obstetri : Sikap terhadap kehamilan pada syndrom HELLP ialah aktif,
yaitu kehamilan diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat diakukan
pervaginam atau perabdominam.
Terapi medikamentosa : pemberian dexamethasone rescue diberikan dalam bentuk
double strength dexamethasone ( double dose ).
- Untuk dosis doublestrength dexamethasone diberikan 10 mg i.v tiap 12 jam segera
setelah sindrome HELLP di tegakkan.
- Dosis post partum 10 mg i.v tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v tiap 12
jam 2 kali. Terapi dihentikan bila trombosit > 100.000 /ml dan penurunan LDH
serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklamsia.
Pada pasien ini pemberian dexamethasone setelah diagnosa HELLP Syndrome
ditegakan. Pemberian glukokortikoid pada HELLP syndrome menurut “Thiagajarah dkk”
berperan dalam pengobatan kelainan laboratorium pada HELLP Syndrome3. Tomkins dan
Thiagarajah baru-baru ini melaporkan bahwa glukokortikoid menimbulkan perbaikan yang
signifikan.3
4.4 Prognosa
Prognosa pada pasien ini adalah dubia ad malam karena preeklamsia bertat sudah
disertai dengan gejala impending eklamsia yaitu gangguan pada fungsi hepar dapat
menyebabkan subkapsular hematom yang menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium
dapat menyebabkan ruptur hepar. Pada pasien ini juga terdapat HELLP syndrome yang
prognosis untuk kehamilan berikutnya kurang baik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pada pasien ini didiagnosa preeklamsia berat dengan gejala impending eklamsia dan
HELLP syndrome oleh karena :
a) Terdapat beberapa kriteria pree klamsia berat yaitu :
a. Tekanan darah meningkat pada umur kehamilan 8 bulan.
b. Tekanan darahnya 180/110 mmHg.
b) Terdapat beberapa gejala impending eklamsia :
Nyeri kepala.
Nyeri perut bagian atas.
Penglihatan kabur.
c) Terdapat HELLP syndrome, yaitu hasil pemeriksaan laboratorium terdapat
Elevated Liver Enzim
2. Yang menyebabkan kegagalan perawatan konservatif pada pasien ini yaitu :
Kemungkinan terlambatnya diberikan antihipertensi pada saat diterapi pertama kali
( saat MRS teka nan darah pasien 180/110)
Kemungkinan saat pemberian terapi MgSO4 konservatif pada bokong kanan dan
bokong kiri pengambilan dosisnya pada spuit 10 cc tidak sesuai dosis.
3. Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan karena ada tanda-tanda impending
eklamsia, yaitu pengelihatan kabur, nyeri kepala, nyeri perut bagian atas. Kalau sudah ada
tanda-anda impending eklamsia maka kehamilan harus segera diterminasi karena
merupakan tanda-tanda prodoma dari eklamsia. Tujuan utama adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, kerusakan serius pada organ vital lain, serta melahirkan bayi yang
sehat.
Saran
1) Agar tidak terjadi kegagalan perawatan konservatif pada pasien dengan preeklamsia
berat tersedia sarana dan prasarana berupa : ruang isolasi khusus preeklamsia berat,
adanya alat monitoring yang lengkap untuk mengurangi keterlambatan penanganan.
2) Dilakukan KIE pada pasien sebelum keluar rumah sakit agar pasien mengetahui
bagaimana resiko kehamilan selanjutnya sehingga jika terjadi preeklamsia saat
kehamilan lagi pasien dapat sedini mungkin diterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://dokterblog.wordpress.com/2009/05/17/pengelolaan-preeclampsia-dan-
eclampsia/
2. http://jcgirlonthemove.blogspot.com/2011/08/hellp-syndrome.html
3. Cunningham F.G, 1995. Obstetri Williams. Edisi 18. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSU Dokter Soetomo. Surabaya.2008
5. Sarwono Prawirohardjo, 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta. P.T Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.