makalah KVA

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related Diseases yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang (Departemen Kesehatan. 2003). Perkiraan World Health Organization (WHO), jumlah orang buta di seluruh dunia saat ini 45 juta penderita. Diperkirakan terdapat 6-7 juta kasus baru xeroftalmia pada anak-anak prasekolah tiap tahunnya. Sepertiga berada di Asia Tenggara. WHO juga memperkirakan 12 orang menjadi buta setiap menit di dunia, dan empat orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara (Siswanto. 2007). Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat ( 1% > 0,05% > 0,01% > 0,05 % > 5%

Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras. Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 510g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi retinol. Kurang energi protein dapat menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A. Tabel 2. Klasifikasi status vitamin A Kadar Serum g/dl mol/l

Status Vitamin A

4

20 10 20 < 10Sumber: Sommer dan West (1996).

0,0 0,35 0,69 < 0,35

Normal Low Defisiens

Metabolisme Vitamin A Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro mempunyai manfaat yang sangat penting bagi tubuh manusia, terutama dalam penglihatan manusia. Seperti diketahui. Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara umum,vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologis sebagai retinol (Azrimaidaliza, 2007). Secara kimia, vitamin A berupa kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan, vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alcohol), retinal (aldehida) dan asam retinoat (bentuk asam). Retinol bila dioksidasi berubah menjadi retinal dan retinal dapat kembali direduksi menjadi retinol. Selanjutnya, retinal dapat dioksidasi menjadi asam retinoat. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan precursor (provitamin) vitamin A (Azrimaidaliza, 2007). Diantara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya bentuk alfa, beta dan gama serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Beta-karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang terdapat atas dua molekul retinol yang saling berkaitan. Karotenoid terdapat di dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator dalam fotosintesis yang dilakukan oleh klorofil. Karotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau tua (Azrimaidaliza, 2007) Pencernaan dan absorpsi karoten dan retinoid membutuhkan empedu dan enzim pankreas seperti halnya lemak. Vitamin A yang di dalam makanan

5

sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi dari pada ester retinil. Sebagian dari karotenoid, terutama betakaroten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol (Azrimaidaliza, 2007). Retinol di dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyeberangi sel-sel vili dinding usus halus untuk kemudian diangkut oleh kilomikron melalui sistem limfe ke dalam aliran darah menuju hati. Dengan konsumsi lemak yang cukup, sekitar 80-90% ester retinil dan hanya 40-60% karotenoid yang diabsorpsi. Hati berperan sebagai tempat menyimpan vitamin A utama di dalam tubuh. Dalam keadaan normal, cadangan vitamin A dalam hati dapat bertahan hingga enam bulan. Bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil vitamin A dalam darah yang aktif dalam deferensiasi sel dan pertumbuhan. Bila tubuh memerlukan, vitamin A dimobilasi dari hati dalam bentuk retinol yang diangkut oleh Retinol BindingProtein (RBP) yang disintesis di dalam hati. Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding-Protein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan. Di dalam sel mata retinol berfungsi sebagai retinal dan di dalam sel epitel sebagai asam retinoat (Azrimaidaliza, 2007). Alur transport vitamin A di dalam tubuh dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Ester retinil (makanan) Retinol (mukosa usus) Ester retinil

-karoten (makanan)

retinal (usus halus)

Kilomikron -lipoprotein (limfe)

6

Sel- RBP Reseptor permukaan (sel sasaran)

Retinol-binding protein (RBP) prealbumin (darah)

ester retinil (hati)

Retinal (mata)

Asam retinoat (sel epitel)

Sumber: Mahan, L.K. dan M.T. Arlin, Krauses Food, Nutrition and Diet Therapy, 1992, hlm. 72 Kurang lebih sepertiga dari semua karotenoid dalam makanan diubah menjadi vitamin A. Sebagian dari karotenoid diabsorpsi tanpa mengalami perubahan dan masuk ke dalam peredaran darah dalam bentuk karoten. Sebanyak 15-30% karotenoid di dalam darah adalah beta-karoten, selebihnya adalah karotenoid nonvitamin. Karotenoid ini diangkut di dalam darah oleh berbagai bentuk lipoporotein. Karotenoid disimpan di dalam jaringan lemak dan kelenjar adrenal. Konsentrasi vitamin A di dalam hati yang merupakan 90% dari simpanan di dalam tubuh mencerminkan konsumsi vitamin tersebut dari makanan. Vitamin A diekskresikan melalui feses (70%) dengan bantuan asam empedu dan urine (30%) (Almatsier, 2010).

7

Angka kecukupan vitamin A yang dianjurkan untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 3. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk vitamin A Golongan Umur AKA* (RE) Golongan Umur AKA* (RE) 0 6 bln 7 11 bln 1 3 thn 4 6 thn 7 9 thn Pria: 10 12 thn 13 15 thn 16 18 thn 19 29 thn 30 49 thn 50 64 thn 65 thn Menyusui: 0 6 bln 7 12 bln Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 * Angka Kecukupan Vitamin A + 350 + 350 600 600 600 600 600 600 375 400 400 450 500 Wanita: 10 12 thn 13 15 thn 16 18 thn 19 29 thn 30 49 thn 50 64 thn 65 thn Hamil: 600 600 600 500 500 500 500 + 300

Sumber Vitamin A Vitamin A dalam makanan sebagian besar manusia berasal dari sumbersumber nabati dan hewani dengan variasi yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan harian manusia. Di negara industri, lebih dari dua per tiga asupan vitamin A berasal dari sumber makanan hewai sebagai vitamin A yang sudah terbentuk sebelumnya. Sementara itu, masyarakat dalam negara berkembang

8

bergantung terutama pada senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber makanan nabati. Populasi penduduk di negara berkembang menghadapi risiko yang lebih tinggi untuk mengalami defisiensi vitamin A, khususnya jika beras menjadi bahan makanan pokok dan terdapat kemiskinan. Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (preformed) dalam makanan, meliputi hati, susu dan produk susu, telur, serta ikan. Sumber vitamin A yang paling kaya adalah minyak ikan seperti hiu, halibut, serta cod, pada hewan yang hidup dari laut, seperti beruang kutub. Pada ikan laut, senyawa alkohol vitamin A1 (retinol) merupakan bentuk simpanan vitamin A, sementara itu simpanan vitamin A dalam ikan tawar berupa senyawa alkohol vitamin A2 (3-dehidroretinol) hanya memiliki 40%

aktivitas retinol. Hati binatang seperti sapi, domba, anak sapi atau ayam juga mengandung vitamin A dengan konsentrasi yang sebanding dengan minyak hati ikan cod. Telur, susu dan produk susu lainnya seperti mentega dan keju, merupakan sumber vitamin A dengan konsentrasi sedang (moderat). Daging seperi daging sapi, kambing, dan babi hanya memiliki sedikit sumber vitamin A yang telah terbentuk sebelumnya (performed) (Ahmed Fahruk dan Ian DarntonHill, 2008). Senyawa karotenoid provitamin A ditemukan pada banyak makanan nabati seperti jeruk, sayuran yang berwarna kuning serta jingga dan sayuran yang berwarna hijau gelap seperti amaranth dan bayam, sekalipun warna buah dan sayuran bukan indikator yang menunjukkan konsentrasi provitamin A. Buahbuahan yang berwarna kuning seperti pepaya, mangga serta jeruk dan sayuran seperti wortel, labu kuning, ubi yang berwarna jingga serta singkong kuning memiliki karotenoid provitamin A dengan jumlah yang cukup. Minyak kelapa sawit merupakan sumber alami karotenoid yang paling kaya. Biji-bijian sereal, khususnya yang digiling, hanya memiliki sumber yang hanya mengandung sedikit karotenoid (Ahmed Fahruk dan Ian Darnton-Hill, 2008). Vitamin A preformed dari sumber makanan hewani, terutama terdapat dalam makanan sebagai retinil ester jika diperkirakan pada umumnya takaran memiliki lazim.

bioavailabilitas

70-90%

dikonsumsi

dengan

yang

Bioavailabilitas atau ketersediaan hayati yang meliputi absorpsi dan biokonversi

9

senyawa karotenoid provitamin A dalam makanan jauh lebih kecil bergantung pada jenis makanan, penyiapan dan cara memasaknya (Ahmed Fahruk dan Ian Darnton-Hill, 2008). Dalam dedaunan hijau, senyawa karotenoid ditemukan di dalam kloroplas sebagai pigmen dan protein yang saling berkaitan, sementara dalam sayuran tertentu dan buah-buahan, senyawa karotenoid terdapat di dalam butiran lipid. Memasak dapat sangat mengurangi efek matriks, dengan demikian membantu melepaskan karotenoid kendati pemanasan yang lama dapat mengakibatkan degradasi oksidatif senyawa karotenoid tersebut. Absorpsi karotenoid tidak hanya bergantung pada jumlah lemak yang cukup dalam makanan, tetapi juga pada jumlah protein tertentu dan zink yang memadai, sementara itu sejumlah besar serat pangan seperti pektin ternyata dapat mengurangi bioavailabilitas karotenoid. Infeksi sistemik atau parasit akan mengurangi bioavailabilitas karotenoid, dengan demikian memiliki signifikansi yang lebih besar di negara berkembang yang angka infeksi parasitnya tinggi (Ahmed Fahruk dan Ian Darnton-Hill, 2008).

Fungsi Vitamin A

1. Penglihatan

10

Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari cahaya terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A (Almatsier, 2010). 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat (Almatsier, 2010). 3. Reproduksi Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan

meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kandung kemih (Almatsier, 2010). 4. Fungsi Kekebalan Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2010). 5. Diferensiasi Sel Diferensiasi sel terjadi bila sel-sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu

11

karakteristik dari kekurangan vitamin A yang terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh, seperti tahap pembentukan sperma dan sel telur, pembuahan, pembentukan struktur dan organ tubuh, pertumbuhan dan perkembangan janin, masa bayi, anak-anak, dewasa dan masa tua. Vitamin A dalam bentuk asam retinoat diduga memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel yaitu dalam pengaturan faktor penentu keturunan/gen yang berpengaruh terhadap sintesis protein. Pada diferensiasi sel terjadi perubahan dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan dengan perubahan perwujudan gen-gen tertentu. Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus, terutama sel-sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Mukus melindungi sel-sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Bila terjadi infeksi, sel-sel goblet akan mengeluarkan lebih banyak mucus yang akan mempercepat pengeluaran mikroorganisme tersebut. Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel-sel kelenjar yang

mengeluarkan mucus dan digantikan oleh sel-sel epitel bersisik dan kering (keratinized). Kulit menjadi kasar dan luka sukar sembuh. Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna sehingga mudah terserang bakteri (infeksi) (Azrimaidaliza, 2007). 6. Pencegahan kanker dan penyakit jantung Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kantung kemih. Di samping itu beta karoten yang bersama vitamin E dan C berperan sebagai antioksidan diduga dapat mencegah kanker paru-paru (Almatsier, 2010).

Patomekanisme terjadinya KVA Gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A dalam hati dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A dalam serum mencapai bawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan

12

metabolik mata. Deplesi vitamin A dalam

tubuh merupakan proses yang

memakan waktu lama. Diawali dengan habisnya persediaan vitamin A di dalam hati, menurunnya kadar vitamin A plasma (kelainan biokimia), kemudian terjadi disfungsi sel batang pada retina (kelainan fungsional), dan akhirnya timbul perubahan jaringan epitel (kelainan antomis). Penurunan vitamin A pada serum tidak menggambarkan defisiensi vitamin A dini, karena deplesi telah terjadi jauh sebelumnya. Mahdalia (2003) menyatakan bahwa tanda-tanda khas pada mata karena kekurangan vitamin A dimulai dari rabun senja (XN) dimana penglihatan penderita akan menrun pada senja hari bahkan tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya. Pada tahap ini penglihatan akan membaik dalam waktu 2 4 hari dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila dibiarkan dapat berkembang menjadi xerosis konjungtiva (X1A). Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, berkeriput, dan berubah warna menjadi kecoklatan dan kusam. Xerosis konjungtiva akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam waktu 2 minggu dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila tidak ditangani akan tampak bercak putih seperti busa sabun atau keju yang disebut bercak bitot (X1B) terutama di daerah celah mata sisi luar. Pada keadaan berat akan tampak kekeringan pada seluruh permukaan konjungtiva atau bagian putih mata, serta konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut- kerut. Bila tidak segera diberi vitamin A dapat terjadi kebutaan dalam waktu yang sangat cepat. Tetapi dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar dan dengan pengobatan yang benar bercak bitot akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam 2 minggu (Mahdalia, 2003). Tahap selanjutnya bila tidak ditangani akan terjadi xerosis kornea (X2) dimana kekeringan akan berlanjut sampai kornea atau bagian hitam mata. Kornea tampak suram dan kering dan permukaannya tampak kasar. Pemberian kapsul vitamin A dan pengobatan akan menyebabkan keadaan kornea membaik setelah 2-5 hari dan kelainan mata sembuh setelah 2-3 minggu. Bila tahap ini berlanjut terus dan tidak segera diobati akan terjadi keratomalasia (X3A) atau kornea melunak seperti bubur dan ulserasi kornea (X3B) atau perlukaan. Selain itu

13

keadaan umum penderita sangat buruk, pada tahap ini kornea dapat pecah. Kebutaan yang terjadi bila sudah sampai tahap ini tidak bisa disembuhkan. Selanjutnya akan terjadi jaringan parut pada kornea yang disebut xeropthalmia scars (XS) sehingga kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengempis (Mahdalia, 2003).

Dampak Kekurangan Vitamin A Berikut beberapa dampak KVA diantaranya (Almatsier, 2010): 1. Buta senja Salah satu tanda awal kekurangan vitamin A adalah buta senja (niktalopia), yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya terang ke cahaya samar-samar /senja, seperti bila memasuki kamar gelap dari kamar terang. Konsumsi vitamin A yang tidak cukup menyebabkan simpanan dalam tubuh menipis, sehingga kadar vitamin A tidak cukup diperoleh oleh retina mata untuk membentuk pigmen penglihatan rodopsin. Kemampuan melihat dalam keadaan samar-samar, dihubungkan dengan ujung-ujung saraf (rod dan cone) yang terdapat dalam retina. Cone terutama berperan dalam cahaya siang dan membedakan warna sedangkan rod mengontrol penglihatan pada malam hari. 2. Perubahan pada mata Kornea mata terpengaruh secara dini oleh kekurangan vitamin A. kelenjar air mata tidak mampu mengeluarkan air mata sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Ini diikuti oleh tanda-tanda: atrofi kelenjar mata, keratinisasi konjungtiva, pemburaman, pelepasan sel-sel epitel kornea yang akhirnya akan melunak berakibat pecahnya kornea. 3. Infeksi Fungsi kekebalan tubuh menurun pada kekurangan vitamin A sehingga mudah terserang infeksi. Di samping itu lapisan sel yang menutupi trakea dan paruparu mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau bakteri dan virus sehingga menyebabkan

14

infeksi saluran pernapasan. Bila terjadi pada permukaan dinding usus dapat menimbulkan diare. Perubahan pada permukaan saluran kemih serta vagina. Perubahan ini dapat pula meningkatkan endapan kalsium yang menyebabkan batu ginjal dan gangguan kandung kemih. Kekurangan vitamin A pada anakanak di samping itu dapat menyebabkan komplikasi pada campak yang dapat menyebabkan kematian. 4. Perubahan pada kulit Kulit menjadi kasar dan kering. Folikel rambut menjadi kasar, mengeras dan mengalami keratinisasi yang dinamakan hipereratosis folikular. Mula-mula terkena lengan dan paha, kemudian dapat menyebar ke seluruh tubuh. Asam retinoat sering diusapkan ke kulit untuk menghilangkan kerutan kuli, jerawat dan kelainan kulit lain. 5. Gangguan pertumbuhan Kekurangan vitamin A menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel-sel tulang. Fungsi sel-sel membentuk email pada gigi terganggu dan terjadi atrofi sel-sel yang membentuk dentin sehingga gigi mudah rusak. 6. Lain-lain Perubahan lain yang dapat terjadi adalah keratinisasi sel-sel rasa pada lidah yang menyebabkan berkurangnya nafsu makan dan anemia.

Vitamin A, Imunitas dan Penyakit Infeksi 1. Vitamin A dan Imunitas Kaitan vitamin A dalam fungsi sistem imun dapat dilihat dari asosiasi defisiensi vitamin A dengan penyakit infeksi. Dari eksperimen diketahui retinoat dapat menstimulasi respon imun (McLaren, 2001). Studi pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A mempengaruhi imunitas humoral, dimana imunitas sel-mediated rusak. Produksi dan maturasi limphosit menurun dengan kurangnya vitamin A. Studi di Indonesia menemukan bahwa rasio sel T hubungan dengan antigen CD4+ dan CD8+ rendah dalam limphosit darah peripheral pada anak yang menderita xerophthalmia dibandingkan dengan kontrol non xerophthalmia (Semba,

15

Muhilal, Ward et al, 1993). Setelah suplementasi vitamin A, proporsi CD4+ sampai CD8+ sel T dan persentase CD4+ limphosit T meningkat. Mekanisme vitamin A terhadap fungsi respon imun masih belum jelas. Bentuk aktif level seluler adalah asam retinoat, dan bisa jadi metabolit retinol lain juga aktif (McLaren, 2001). Vitamin A dalam bentuk retinol dan retinoat memelihara integritas permukaan epithelial (seperti paru-paru dan kulit) dan produksi sekresi mukosa. Defisiensi vitamin A menyebabkan menurunnya jumlah leukosit, sirkulasi komplemen dan antibodi, rusaknya fungsi sel T dan menurunnya resisten immunogenik tumor. Beta-karoten secara langsung melindungi sel dari oksidasi dan meningkatkan limphosit proliferasi, fungsi sel T, produksi sitokin dan toksik sel mediated, contohnya sitotoksiksitis sel Natural Killer (NK). Karotenoid dapat menghambat proksidan seperti aktivitas antioksidan (Wahlqvist, 2002). Vitamin A merupakan faktor esensial untuk perkembangan sistem limpoid dan perkembangan permukaan mukosa saluran pencernaan, pernapasan dan genitourinary (Clausen, 1934; Robertson, 1934 dalam Semba, 2002) dan tingginya morbiditas serta mortalitas pada anak di Eropa dan Amerika pada awal abad 20 dan sekarang ditemukan di negara sedang berkembang. Vitamin A mempunyai peran mengatur berbagai aspek dari fungsi imun, termasuk komponen imunitas non spesifik (seperti phagositosis, pemeliharaan permukaan mucosal) dan imunitas spesifik (seperti perubahan respon antibodi). Ross & Hammerling (1994) dalam Olson (2004), menyebutkan bahwa pada defisiensi vitamin A, mekanisme protektif spesifik dan non spesifik rusak, yaitu respon humoral terhadap bakteri, imunitas

mucosal, aktivitas sel NK dan phagositosis. Respon imun terhadap antigen pada deplesi vitamin A anak ditingkatkan dengan suplementasi vitamin A. Sel T-helper merupakan tempat utama peran vitamin A dalam respon imun. Retinol, melalui 14-hydroksiretroretinol (HRR) juga terlibat dalam proliferasi sel B normal dan sel T. Berbagai jenis Sitokin dapat mempengaruhi proses, tapi tidak dapat menggantikan HRR dalam proses tersebut. Efek kekurangan vitamin A terhadap pertahanan tubuh sebagai berikut (Semba, 2002):

16

1) Keratin yang abnormal pada saluran pernapasan, saluran genitourinary dan permukaan mata. 2) Kehilangan silia dari respiratori epithelium. 3) Kehilangan mikrofili dari usus kecil. 4) Penurunan sel goblets dan produksi mucin dalam mucosal epitel. 5) Rusaknya fungsi neutropil. 6) Rusaknya fungsi sel Natural Killer (NK) dan penurunan jumlah sel NK. 7) Rusaknya aspek hematopoisis. 8) Perubahan T helper tipe 1 dalam respon imun. 9) Penurunan jumlah dan fungsi limfosit B. 10) Rusaknya respon antibodi terhadap T-cell dependen dan antigen independen. a) Imunitas mukosal Defisiensi vitamin A merusak fungsi mucosal sebagai salah satu aspek dari fungsi imun melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui kehilangan silia pada saluran pernapasan, kehilangan mikrofili pada saluran genitourinary, hilangnya mucin dan goblets pada saluran pernapasan, gastrointestinal dan genitourinary, metaplasia dengan keratinisasi

abnormal pada saluran pernapasan dan genitourinary, alterasi antigen spesifik sekretori konsentrasi immunoglobulin A (IgA), rusaknya mucosal yang berkaitan dengan fungsi sel imun dan penurunan fungsi usus. b) Sel Natural Killer (NK) Defisiensi vitamin A menurunkan jumlah sirkulasi sel NK dan rusaknya aktifitas sitolitik sel NK. Sel ini berperan dalam imunitas anti-viral dan anti-tumor serta terkait dalam regulasi respon imun. Dari penelitian pada anak yang menderita AIDS yang menerima 2 dosis vitamin A secara oral (60 mg Retinol Equivalent/RE) diketahui meningkatkan jumlah sirkulasi sel NK dibandingkan dengan yang menerima placebo (Hussey et al, 1996 dalam Semba,2002). c) Neutrophil.

17

Fungsi neutropil akan rusak bila terjadi defisiensi vitamin A. Neutropil berperan sebagai imunitas non spesifik karena pagositosis kemudian membunuh bakteri, parasit, sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Asam retinoat sendiri berperan dalam maturasi normal neutropil. d) Haematopoiesis Defisiensi vitamin A merusak hematopoisis dari beberapa lineages, seperti CD4 + limposit, sel NK dan eritrosit. Pada manusia, defisiensi vitamin A ini ditandai dengan penurunan jumlah total limposit dan CD4+ limposit pada darah peripheral. Retinoid diimplikasikan dalam maturasi sel pluripoten menjadi sel lineages yang menghasilkan sel hematoputik, seperti limposit, granulosit dan megakariosit. Retinoid juga berperan dalam maturasi diferensiasi sel pluripoten menjadi koloni multipotenbentuk sel unit gabungan granulosit-eritroid-makropag (CFUGEMM) dan diferensiasi dan CFU-GEMM menjadi eritroid-bentuk unit dan kemudian menjadi koloni eritroid bentuk unit. e) Limphosit T dan B Vitamin A menjaga keseimbangan T-helper tipe-1 dan T-helper tipe-2. Defisiensi vitamin A merusak pertumbuhan, aktivasi dan fungsi limphosit B. Limphosit B untuk penggunaan metabolit retinol,14-hidroksi-4, 14retro-retinol, termasuk asam retinoat sebagai mediator pertumbuhan (Buck et al,1991 dalam Semba, 2002). Antigen sel dependen-T digunakan untuk diferensiasi dari sensitisasi limphosit B menjadi immunoglobulin-sekresi sel dan semua trans asam retinoat meningkatkan sintesis IgM dan IgG. Tingginya limphosit T inkubasi dengan asam retinoat meningkatkan sintesis IgM oleh limphosit B, menunjukkan bahwa asam retinoat mempengaruhi sel T melalui produksi sitokin (Ballow et al, 1996 dalam Semba, 2002). f) Monosit/makropage Retinoat berperan dalam diferensiasi dan aktifitas sel monosit/makropage. Dari banyak studi diketahui efek all-trans-asam retinoat terhadap fungsi

18

murine macrophage (Dillehay et al, 1988 dalam Semba, 2002) atau sel myeloid. g) Respon antibodi Tanda defisiensi vitamin A dapat diketahui dengan rusaknya kapasitas untuk menghasilkan antibodi respon terhadap antigen sel T-dependen (Smith and Hayes, 1987; Semba et al, 1992, 1994; Wiederman et al, 1993) dan antigen sel T-independen tipe 2, seperti polysaccharide pneumococcal (Pasatiempo et al, 1989). Respon antibodi dikaitkan dengan proteksi immunitas terhadap banyak tipe infeksi dan merupakan basis utama untuk proteksi immunological untuk banyak tipe vaksin. Turunnya respon antibodi terhadap tetanus toxoid diobservasi pada anak yang mengalami defisien vitamin A (Semba et al, 1992) dan pada hewan (Lavasa et al, 1988; Pasatiempo et al, 1990 dalam Semba, 2002). Peran Vitamin A Terhadap Penyakit Infeksi Defisiensi vitamin A adalah salah satu masalah gizi utama yang dihadapi oleh penduduk di dunia, menyebabkan kebutaan melalui xerophthalmia, tapi juga meningkatkan resiko penyakit infeksi (Wahlqvist, 2002). Ross (1996) dalam McLaren (2001) menyebutkan 2 hipotesis untuk menjelaskan proteksi vitamin A melawan infeksi, sebagai berikut: Tabel 4. Dua Hipotesis Kontras dari Peran Protektif Vitamin A melawan Infeksi Hipotesis Epithelial Barrier Reaksi dasar adalah serangan Melindungi dari invasi infeksi Hipotesis Respon Immunologic Reaksi dasar adalah pertahanan Meningkatkan terhadap pathogen Integritas struktural adalah yang Integritas fungsional adalah paling penting, sebagai differensiasi sel infeksi turun Resisten terhadap proliferasi infeksi menurun apabila defisiensi vitamin A pertahanan tubuh

paling penting Resisten terhadap

apabila defisiensi vitamin A

Efek utama intervensi vitamin A Efek utama intervensi vitamin A akan akan menurunkan insiden infeksi menurunkan durasi/severitas infeksi

19

Sel epitel organ dan jaringan mempunyai fungsi pertahanan. Ross (1996) menyatakan bahwa disamping peran menyerang (offensif) juga respon immunologic yaitu respon pertahanan (defensif) melawan infeksi. Proteksi offensif akan menurunkan insidens infeksi sedangkan mekanisme defensif akan menurunkan durasi/severitas infeksi (McLaren, 2001). Defisiensi vitamin A meningkatkan susceptibilitas beberapa tipe infeksi. Oomen et al (1964) dalam Semba (2002) mengatakan bahwa defisiensi vitamin A berperan terhadap rendahnya resisten terhadap infeksi dan sebaliknya penyakit infeksi berpengaruh terhadap terjadinya xerophthalmia. Lebih dari 100 penelitian klinis tentang vitamin A yang dilakukan pada manusia (Azrimaidaliza, 2007). Beberapa studi ini menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas karena penyakit campak dan diare, morbiditas malaria Plasmodium falciparum dan morbiditas dan mortalitas ibu saat hamil. Suplementasi vitamin A tidak menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi saluran pernapasan bawah akut atau menurunkan transmisi HIV tipe 1 ibu ke anak (Azrimaidaliza, 2007). 1) Penyakit Campak Suplementasi vitamin A menurunkan morbiditas dan mortalitas campak akut pada bayi dan anak di negara berkembang. Suplementasi vitamin A mengatur respon antibodi terhadap campak dan meningkatkan total limposit. Anak dengan infeksi campak akut dan menerima suplementasi vitamin A dosis tinggi (60 mg RE) secara signifikan tinggi IgG dan merespon virus campak dan tingginya sirkulasi limposit selama follow-up, dibandingkan dengan anak yang menerima placebo (Coutsoudis et al, 1992 dalam Semba, 2002). Suplementasi vitamin A yang diberikan secara simultan dengan vaksin campak, menimbulkan efek antibodi terhadap campak bila antibodi ibu juga ada. Pada bayi umur 6 bulan di Indonesia, pemberian vitamin A (30 mg RE) pada saat imunisasi dengan standar titre Schwarz vaksin campak mengganggu serokonversi terhadap campak pada bayi yang memperoleh antibodi ibunya, dan secara signifikan menurunkan insiden campak (Semba et al, 1995). Pada uji klinik lain menunjukkan bahwa vitamin A (30 mg RE)

20

menurunkan respon antibodi terhadap virus campak pada bayi umur 9 bulan yang memperoleh antibodi dari ibunya, tapi tidak mengganggu serokonversi campak. (Semba et al,1997). 2) Penyakit Diare Di negara berkembang, penyakit diare diantara anak yang disebabkan oleh patogen, termasuk rotavirus, Escherichia coli, Shigela, Vibrio cholerae, Salmonella dan Entamoeba histolytica. Dari segi epidemiologi, klinik, immunologi dan patogenesis diare mungkin berbeda tergantung karakteristik patogen, seperti produksi toksin, invasi jaringan, kehilangan cairan dan elektrolit dan lokasi infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A atau fortifikasi menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit diare pada anak (Beato et al, 1993; Barreto et al, 1994 dalam Semba, 2002). Defisiensi vitamin A diasosiasikan dengan penyakit diare pada anak (Sommer et al, 1984; Briliant et al, 1985; DeSole et al, 1987; Gujral et al, 1993; Schaumberg et al, 1996 dalam Semba, 2002). Keluarnya vitamin A lewat urin selama infeksi Shigella pada beberapa anak (Mitra et al, 1998) dan suplementasi vitamin A (60 mg RE) menurunkan morbiditas pada anak dengan shigellosis akut (Hossain el, 1998 dalam Semba, 2002). Walaupun perbaikan terhadap status vitamin A dapat mencegah penyakit diare, tapi masih belum jelas apakah dapat memberikan efek pada semua pathogen diare atau hanya pada beberapa tipe pathogen saja. 3) Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) ISPA merupakan penyebab utama kematian anak di negara berkembang dan penyebab utama dari ISPA termasuk infeksi pernapasan virus syncytial, parainfluenza, Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Bordetella pertussis. Studi di rumah sakit menunjukkan bahwa tinggi dosis suplementasi vitamin A tidak memberikan efek teraputik terhadap morbiditas ISPA pada anak (Kjolhede et al, 1995; Nacul et al, 1997; Fawzi et al, 1998 dalam Semba, 2002). Di Chile dan Amerika, uji di rumah sakit menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A memberikan dampak kecil

21

terhadap infeksi pernapasan virus syncytical pada bayi dan anak (Bresee et al, 1996; Dowell et al, 1996; Quinlan dan Hayani, 1996 dalam Semba, 2002). Clinical trial controlled terbaru di Quito, Ecuador menunjukkan suplementasi vitamin A pada anak umur 6-36 bulan, secara signifikan menirukan insiden ISPA pada anak yang underweight (berat badan per umur Z score < -2), tapi signifikan meningkatkan insiden ISPA pada anak dengan berat badan normal (berat badan per umur Z score > -1), dibandingkan dengan placebo (Sempertegui et al, 1999 dalam Semba, 2002). Walaupun status vitamin A berkaitan dengan severitas ISPA pada anak (Dudley et al, 1997), tapi masih belum jelas mengapa terapi vitamin A tidak memberikan efek pada beberapa penelitian morbiditas ISPA pada anak. Usia yang muda mungkin salah satu faktor berkurangnya efek, seperti studi pada komunitas yang besar menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A mempunyai efek kecil terhadap morbiditas dan mortalitas pada bayi (West et al, 1995; WHO/CHD studi grup imunisasi suplementasi vitamin A, 1998 dalam Semba, 2002). 4) Malaria Adanya bukti bahwa suplementasi vitamin A menurunkan morbiditas P. falciparum malaria. Penelitian klinik randomized placebo-controlled dilakukan pada anak-anak Papua New Guinea umur 6-60 bulan yang menderita penyakit malaria dengan memberikan suplementasi vitamin A (60 mg RE setiap 3 bulan). Setelah diikuti selama 1 tahun, vitamin A menurunkan insidens malaria 20-50% kecuali level parasetemia tinggi. Suplementasi vitamin A memberikan efek yang sedikit pada anak umur dibawah 12 bulan dan efek yang besar dari umur 13 sampai 36 bulan. (Shankar, et al, 1999 dalam Semba, 2002) 5) Infeksi HIV Suplementasi vitamin A memberikan beberapa manfaat pada anak terinfeksi HIV dan ibu hamil di negara sedang berkembang. Rendahnya konsentrasi plasma/serum vitamin A atau intake vitamin A diasosiasikan dengan peningkatan penyakit infeksi dan mortalitas dan tingginya transmisi HIV

22

dari ibu ke anak (Kennedy et al, 2000 dalam Semba, 2002). Periodik suplementasi vitamin A dosis tinggi menurunkan morbiditas anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV (Coutsoudis et al 1995) dan morbiditas penyakit diare pada anak yang terinfeksi HIV dirawat di rumah sakit karena ISPA (Fawzi et al, 1999). Suplementasi vitamin A tidak menurunkan transmisi HIV ibu ke anak (Coutsoudis et al, 1999; Fawzi et al, 2000 dalam Semba, 2002). 6) Tuberculosis Walaupun malnutrisi dan defisiensi vitamin A merupakan faktor resiko utama peningkatan tuberculosis, manajemen klinis biasanya melibatkan kemoprophylaxis dan kemoterapi daripada status gizi host. Minyak codliver, sumber kaya vitamin A dan D, digunakan sebagai strategi pengobatan terhadap tuberculosis selama lebih 100 tahun (Williams dan Williams, 1871 dalam Semba, 2002). Dari penelitian klinik menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dosis tinggi mempengaruhi morbiditas tuberculosis pada anak. (Hanekom et al, 1997 dalam Semba, 2002). 7) Infeksi pada ibu hamil dan ibu menyusui. Data dari Nepal menunjukkan bahwa ibu hamil dengan defisiensi vitamin A secara klinik (seperti buta senja) merupakan resiko tinggi morbiditas penyakit infeksi (Christian et al, 1998 dalam Semba, 2002) dan mortalitas (Christian et al, 2000 dalam Semba, 2002). Suplementasi vitamin A atau B karoten setiap minggunya menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada wanita, hal ini karena status vitamin A penting bagi kehamilan.

Interaksi Vitamin A dan Zink terhadap Penyakit Infeksi Banyak enzim yaitu zink-dependen dan diantaranya adalah retinol dehydrogenase yang berperan dalam fungsi rod. Di beberapa kasus buta senja yang kekurangan vitamin A juga mengalami kekurangan zink. Kekurangan ini terkait dengan sintesis retinol-binding protein. Sejumlah studi menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dengan Zink mempunyai efek yang bermanfaat

23

terhadap diare dan beberapa penyakit infeksi lainnya. Respon limphosit dapat meningkat dengan vitamin A dan zink (Kramer, Udomkesmalee, Dhanamitta et al, 1993 dalam McLaren, 2001).

Faktor determinasi KVA Jika ditinjau dari teori food choice, maka beberapa faktor determinasi KVA sebagai berikut: 1. Terdapat tabu makanan berupa makan-makanan hewani sumber vitamin A pada ibu hamil. Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil tidak boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak boleh dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan minyak. Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa garam/nganyep, dilarang banyak makan dan minum, makanan harus disangan/dibakar, bahkan setelah maghrib samasekali ibu tidak diperbolehkan makan (Dinkes Pemalang,2000). 2. Kurangnya pengetahuan ibu bahwa bioavailabilitas vitamin A pada sumber hewani lebih tinggi daripada biovailabilitas pada nabati. 3. Kurangnya ketersediaan pangan hewani sumber vitamin A pada keluarga miskin. 4. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai pangan sumber vitamin A. 5. Kurangnya pengetahuan ibu bahwa interaksi serat pangan seperti pektin dapat menghambat penyerapan karotenoid pada sumber vitamin nabati. 6. Kurangnya pengetahuan ibu bahwa penyerapan vitamin A dapat lebih banyak jika mengkonsumsi cukup zink. 7. Ada beberapa agama yang mengharamkan mengkonsumsi pangan hewani contohnya agam Buddha. Jika ditinjau dari teori Hendrik L. Bloom maka beberapa faktor determinan KVA sebagai berikut: 1. Faktor gen Terganggunya gen receptor RBP. 2. Faktor lingkungan

24

Lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya KVA dibagi menjadi 3, yaitu: a) Lingkungan fisik. Lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap terjadinya KVA, yaitu: Kurang tersedianya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak sehat. Daerah tandus, sering paceklik, atau rawan pangan. Keadaan darurat karena bencana alam, perang dan kerusuhan. Sulitnya akses ke sarana pelayanan kesehatan.

b) Lingkungan kimia. Lingkungan kimia yang berpengaruh terhadap terjadinya KVA, yaitu: Interaksi serat pangan dalam makanan contohnya pektin mengurangi menghambat penyerapan karotenoid pada sumber A vitamin nabati. Kurangnya konsumsi protein dan lipid dapat menghambat penyerapan vitamin A. Kurangnya konsumsi zink dapat menghambat penyerapan vitamin A.

c) Lingkungan biologis. Lingkungan biologis yang berpengaruh terhadap terjadinya KVA, yaitu: Bayi berat lahir rendah (< 2,5 kg). Anak yang kurang gizi (KEP). Anak yang menderita penyakit infeksi (contohnya campak, diare, TBC, dan pneumonia) serta cacingan. 3. Faktor perilaku 1. Ibu tidak memberikan ASI ekslusif kepada anak dan tidak diberi ASI selama 2 tahun. 2. Ibu tidak memberikan anak MP-ASI yang cukup baik mutu maupun jumlahnya 3. Ibu tidak membawa anak untuk imunisasi secara rutin dan pemberian kapsul vitamin A. 4. Ibu tidak membawa anak untuk diperiksakan secara teratur ke puskesmas/posyandu. 5. Faktor pelayanan kesehatan25

Faktor pelayanan kesehatan yang berpengaruh terhadap KVA adalah: 1. Kurang terdistribusinya kapsul vitamin A. 2. Tidak diadakannya program imunisasi pada anak secara merata. 3. Kurangnya pelayanan kesehatan (puskesmas) terhadap penyakit infeksi dan diare di daerah terpencil (desa).

Program Intervensi KVA Upaya penanggulangan KVA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Promosi kesehatan Promosi vitamin A merupakan proses pemberdayaan masyarakat agar tahu, mau dan mampu mengkonsumsi sumber vitamin A alami dan suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi untuk kelompok sasaran bayi, balita dan ibu nifas. Untuk itu perlu dilakukan serangkaian kegiatan advokasi bina suasana dan pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1) Melakukan advokasi kepada para pengambil kebijakan di daerah guna memperoleh dukungan kebijakan untuk: Promosi peningkatan konsumsi sumber vitamin A alami Gerakan pemanfaatan lahan pekarangan Penyediaan kebutuhan kapsul vitamin A Promosi kapsul vitamin A Promosi dan pemasaran makanan-makanan yang diperkaya dengan vitamin A 2) Menggalang kemitraan dengan mitra potensial (lintas sektor terkait, organisasi masyarakat, LSM, swasta, dunia usaha) untuk melakukan promosi sumber vitamin A alami, kapsul vitamin A dan makananmakanan yang diperkayan dengan vitamin A dan penggerakan masyarakat/sasaran. 3) Melakukan orientasi petugas kesehatan dan kader. 4) Mengembangkan atau mempersiapkan media dan promosi sumber vitamin A alami, kapsul vitamin A dan makanan-makanan yang diperkaya dengan vitamin A dengan kesatuan pesan dan desain dalam kurun waktu tertentu.26

5) Melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai media dan metode sesuai situasi setempat: Penyuluhan media massa elektronik (radio, TV) dan media ccetak (poster, spanduk, leaflet) Penyuluhan kelompok dan kunjungan rumah Bulan promosi kapsul vitamin A Menggalang gerakan masyarakat untuk pemanfaatan lahan pekarangan Lomba-lomba (lomba balita sehat, lomba pemanfaatan pekarangan, lomba lingkungan sehat dll). 2. Suplementasi Suplementasi pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi merupakan rencana program jangka pendek. Prioritas program pemberian kapsul vitamin A adalah wilayah dengan: 1) Prevalensi KEP cukup tinggi 2) Cakupan imunisasi rendah 3) Cakupan pemberian ASI eksklusif rendah. 4) Kejadian Luar Biasa (KLB) campak, ISPA dan diare tinggi. 5) Keluarga miskin 6) Konsumsi sumber vitamin A rendah. Kapsul vitamin A dosis tinggi adalah kapsul yang mengandung vitamin A: 1) 100.000 Satuan Internasional (SI) yang berwarna biru. 2) 200.000 Satuan Internsional (SI) yang berwarna merah. Adapun kapsul vitamin A dosis tinggi diberikan kepada: 1) Bayi: Bayi berumur 6-11 bulan diberikan kapsul vitamin A 100.000 SI warna biru pada bulan Februari atau Agustus. 2) Anak balita: Bayi umur 6-11 bulan dan balita umur 12-59 bulan diberikan kapsul vitamin A 200.000 SI warna merah pada bulan Februari atau Agustus. 3) Bayi dan anak balita sakit: bayi berumur 6-11 bulan yang sedang terkena campak, diare, gizi buruk atau xeroftalmia perlu diberikan kapsul vitamin A dosis tinggi dengan dosis sesuai umur. 4) Ibu nifas27

Ibu nifas (0-42 hari) setelah melahirkan diberikan segera 1 kapsul vitamin A 200.000 SI warna merah dan 1 kapsul lagi diberikan dengan selang waktu minimal 24 jam. Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan sebesar 69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (91,1%). Persentase tertinggi pada kelompok umur 12-23 bulan (74,8%). Ada kecenderungan semakin tinggi kelompok umur semakin rendah cakupan yang menerima vitamin A, khususnya pada anak balita 48-59 bulan. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A di perkotaan (74,0%) lebih tinggi daripada di perdesaan (65,3%). Sedangkan menurut jenis kelamin anak tidak tampak adanya perbedaan. Persentase menurut tingkat pendidikan kepala keluarga dan status ekonomi, terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga dan status ekonomi, semakin tinggi cakupan pemberian kapsul vitamin A (Riskesdas, 2010). Terdapat 52,2 persen ibu yang melahirkan anak terakhir mendapat vitamin A dengan persentase tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah (65,8%) sedangkan Sumatera Utara menunjukkan persentase yang paling rendah (33,2%). Cakupan Ibu nifas yang mendapatkan kapsul tertinggi adalah pada kelompok usia 20-34 tahun (52,8%) dibanding kelompok lainnya. Semakin banyak urutan anak semakin kecil persentase Ibu nifas yang mendapat vitamin A. Semakin tinggi pendidikan dan status ekonomi, semakin besar ibu nifas yang mendapat vitamin A (Rikesdas, 2010). 3. Fortifikasi Fortifikasi adalah upaya untuk meningkatkan mutu gizi makanan dengan menambahkan pada makanan tersebut satu atau lebih zat gizi mikro tertentu seperti menambahkan yodium, zat besi, vitamin A, seng dan zat gizi mikro lain.

28

Terdapat dua jenis fortifikasi, yaitu: 1) Fortifikasi sukarela (voluntary). Fortifikasi sukarela atas prakarsa produsen sendiri tanpa diharuskan oleh peraturan yang ada. Contoh: mie instan, margarin, susu yang telah difortifikasi dengan vitamin A dll. 2) Fortifikasi wajib (mandatory) Fortifikasi wajib adalah fortifikasi yang diharuskan oleh peraturan yang ada untuk melindungi masyarakat dari masalah kurang gizi. Contoh: tepung terigu difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2, garam dapur difortifikasi dengan yodium. 4. Penyediaan pelayanan kesehatan. Penyediaan merata sarana pelayanan kesehatan diderah-derah terpencil (desa-desa). 5. Pemberian ASI esklusif dan MP-ASI yang tepat (PMT). 6. Peningkatan kesehatan lingkungan terutama penyediaan air bersih. Penyediaan air bersih di daerah yang sulit ditemukan air bersih dengan melakukan kerjasama dengan bidang swasata contohnya: pengadaan air bersih oleh AQUA di daerah Papua.

Epidemologi Kekurangan Vitamin A Perkiraan World Health Organization (WHO), jumlah orang buta di seluruh dunia saat ini 45 juta penderita. Diperkirakan terdapat 6-7 juta kasus baru xeroftalmia pada anak-anak prasekolah tiap tahunnya. Sepertiga berada di Asia Tenggara. WHO juga memperkirakan 12 orang menjadi buta setiap menit di dunia, dan empat orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara (Siswanto. 2007). Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (