Upload
astrisi
View
419
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
DBD, klasifikasi 1997,2009,2011
Citation preview
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Pertama kali di temukan
di Indonesia adalah di Surabaya pada tahun 1968 saat itu sebanyak 58 orang
terinfeksi dengan 24 diantaranya meninggal dunia. Jumlah penderita dan luas
penyebarannya semakin lama semakin meluas tiap tahunnya awalnya hanya 2
propinsi tahun 2009 menjadi 32 provinsi, pada tahun 1993-1998 DBD lebih banyak
menyerang usia <15 tahun, sedangkan pada tahun 1999 sampai 2009 DBD lebih
banyak menyerang pada usia >15 tahun.1
Di dunia diperkirakan sekitar 3,6 juta orang berisiko terinfeksi. Awalnya Asia
Tenggara merupakan daerah endemis DBD, saat ini Amerika Selatan dan
Amerika tengah juga merupakan daerah endemis DBD. Sekitar tahun 1960-andi
kawasan Asia Tenggara anak-anak lebih banyak terinfeksi dengue, sedangkan di
Amerika dengue menyerang semua usia, oleh karena hal tersebut pada tahun
1997 dimulailah pembaharuan Guidelines dalam klasifikasi dengue oleh WHO.
Guidelines tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 2, yaitu demam dengue
dan demam berdarah dengue.2 Seiring berjalannya waktu terdapat banyak
kesulitan dalam mengklasifikasikan kasus demam dengue, oleh sebab itu pada
tahun 2009 WHO memperbaharui guidlines demam dengue/demam berdarah
dengue dalam guidelines tersebut pembagian DF/DHF menjadi demam yang tidak
terklasifikasikan, kemungkinan dengue, dengue dengan peringatan, dan dengue
berat. Dan kemudian pada tahun 2011 WHO-SEARO menambahkan kriteria
expand untuk beberapa kasus yang tidak dapat dimasukan ke dalam kriteria
severe dengue.
1.2. Perumusan Masalah
Perkembangan infeksi dengue sangat cepat dan signifikan, sehingga WHO selalu
memperbaharui upaya penanggulangan infeksi dengue.Berdasarkan kondisi
tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut
Adakah perbedaan yang signifikan dari guidelines DHF dari tahun
1997,2009, 2011?
6
Adakah guidelines terbaru mengenai DHF tahun 2012 dari WHO?
1.3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui perbedaan guidelines mengenai pola klinik,
pendekatan diagnosis dan algoritma penatalaksanaan DBD dari tahun
1997, 2009, 2011 serta adakan pembaharuan dari guidelines tersebut?
1.4. Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberi manfaat yang dapat di
aplikasikan bagi pihak yang bekerja disarana kesehatant, antara lain :
A. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan tentang diagnostik dan penatalaksanaan
DBD yang terbaru.
B. Bagi Masyarakat
Penulisan ini dapat dijadikan bahan informasi tentang tanda dan gejala
awal DBD sehingga masasyarakat cepat tanggap apabila dirinya atau
keluarganya mengalami gejala-gejala tersebut segera datang ke sarana
kesehatan terdekat.
C. Bagi Institusi Kesehatan
Memberikan pengetahuan mengenai temuan klinis dalam mendiagnosa
dengue serta algoritma penatalaksanaan DBD, sehingga dalam
melakukan penanganan lebih cepat dan tepat.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan
atau nyeri sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue adalah DBD yang ditandai oleh renjatan/syok.3
B. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga
35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Gambar 1. Epidemiologi infeksi dengue di kawasan Asia Tenggara
Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7
8
.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue
yaitu 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor
di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat
ke tempat lain; 2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan,
suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
C. Etiologi
Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue termasuk family
flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia. Virus DEN termasuk dalam
kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa
viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi
oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.
Jika seseorang ternfeksi dengan satu serotipe akan mendapatkan kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya 2-3 bulan kekebalan untuk
serotipe lain. Apabila terinfeksi dengan serotipe lain atau beberapa serotipe akan
mengakibatkan DHF / DSS.3
D. Patofisiologi / patogenesis3
9
Hipotesis infeksi heterolog sekunder ( the secondary heterologous Infection
hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut
sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang
akan menderita DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus
dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan
sampai 5 tahun. Hipotesis lain yang menentangnya adalah hipotesis virulensi virus,
menurut hipotesis ini perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab
terjadinya DHF.
Kelemahan hipotesis pertama adalah ketika dilaporkan adanya kasus DSS pada
seorang anak wanita berusia 3 tahun di jakarta yang mengalami infeksi primer.
Kelemahan hipotesis kedua adalah tidak adanya bukti eksperimental, baik
percobaan binatang maupun kultur jaringan yang dapat membuktikan perbedaan
virulensi keempat serotiope virus dengue tersebut. Hipotesis teori infeksi sekunder
menyatakan secara tidak langsung bahwa penderita yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1,PAF, IL-6 dan histamine menyebabkan
10
peningkatan permeabilitas vaskuler dan mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma, protein dan elektrolit. Keadaan ini dapat berkembang menjadi hipovolemia
dan syok.
E. Klasifikasi
Dalam kriteria WHO tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 3 besar yaitu
demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue dan demam berdarah dengue
dimana demam berdarah dengue di bagi lagi menjadi 4 derajat menurut keparahan
penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan dengue shock syndrom.
Tabel 1. Derajat penyakit (WHO,1997)
Dikutip dari : World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997
Adanya kesulitan dalam pengklasifikasian dengue menurut WHO 1997 yang
11
ditandai dengan semakin meningkatnya kasus dengue berat diklinis yang tidak
sesuai dengan kriteria WHO 1997 seperti ensefalopati. Hal ini disebabkan karena
klasifikasi ini terlalu luas sehingga menurut WHO, perlu diadakannya
pembaharuan, agar memudahkan diagnosis dan identifikasi penggolongan tingkat
derajat dengue untuk triase dan penanganan awal di rumah sakit, sehingga
penanganan pasien menjadi lebih cepat dan terarah. Gambar dibawah ini
merupakan kriteria WHO 2009.
Gambar 2. Pembagian klasifikasi kasus infeksi dengue menurut WHO 2009
Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2009
Pada tahun 2011 SEARO menambahkan adanya kriteria expand karena pada
beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kriteria WHO 2009,
SEARO juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan infeksi dengue, klasifikasi
tersebut berupa demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue tanpa
manifestasi perdarahan, demam dengue dengan manifestasi perdarahan, demam
12
berdarah dengue dengan kebocoran plasma, demam berdarah dengue tanpa
adanya tanda-tanda syok, demam berdarah dengue diikuti syok, demam dengue
dengan perluasan dari sindroma dengue.
Tabel 2. Pembagian klasifikasi infeksi dengue berdasarkan WHO-SEARO dibandingkan dengan WHO 2009
13
Lanjutan tabel 2
Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7
F. Manifestasi Klinik
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis. Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. pada fase ini
pasien sudah tidak demam, akan tetapi memiliki risiko untuk terjadi syok jika tidak
mendapatkan terapi yang adekuat.3
Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase
1. Fase febris
Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya
sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal
pada seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam
makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa
bekas, serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat nyeri
14
tenggorokan, faringitis, injeksi konjungtiva. Diikuti dengan anoreksia mual
serta muntah yang umumnya selalu diderita pasien. Pada fase ini bila
didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.
2. Fase kritis
Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari
ke 3-7 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan
dengan peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari
fase kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat
pula terjadi efusi pleura dap asites. Syok terjadi ketika terjadi kehilangan
banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis metabolik, DIC.
3. Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi
perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
15
G. Pendekatan Diagnostik1
Pendekatan diagnosis pada pasien dengan febris kurang dari 6 hari, dapat
mendiagnosis infeksi dengue, berupa
a. Isolasi virus
b. Deteksi asam nukleus virus dengan menggunakan RT-PCR
c. Deteksi antigen virus
Sedangkan apabila datang dengan febris > 6hari pilihan metode diagnosis dengan
imunoserologi, yaitu :
a. Hemaglutinasi Inhibisi ( HI)
b. Fiksasi komplemen ( CF)
c. Neutralization Test (NT)
d. MAC-ELISA
e. Indirect IgG ELISA
Tabel 3. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue
Dikutip dari : WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara
adekuat :
16
virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue
masa inkubasi adalah 4-10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada infeksi
primer viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya demam sampai hari ke 4-
5. Antibodi spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari ke 3-6,
kemudian akan menetap dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan setelah
demam. IgG akan meningkat pada hari ke 9-10 yang kemudian akan
bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade dan hal ini dapat
mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue sebelumnya.
jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan manifestasi klinis klinis
pada saat fase demam menunjukan sedang terjadinya viremia, beberapa
komponen virus terdapat dalam darah sehingga pilihan yang tepat adalah
RT-PCR, NS-1 Ag. Saat fase kritis dan penyembuhan dapat kita lihat IgM
spesifik bisa dengan menggunakan rapid Test, ELISA maupun
haemagglutination inhibition assay (HIA).
karakteristik sampel klinis
Virus dengue yang labil mudah dinonaktifkan pada suhu di atas 30 ° C,
sehingga harus berhati-hati selama transportasi dan penyimpanan sampel.
Sampel serum yang dikumpulkan selama 4 hari pertama demam berguna
untuk virus, genom dan deteksi antigen dengue. Sampel harus cepat
diangkut pada suhu 4 ° C ke laboratorium dan diproses secepat mungkin.
Serum steril tanpa antikoagulan berguna. Jika spesimen pengiriman tidak
dapat dilakukan dalam 24-48 jam pertama, pembekuan pada -70 ° C
dianjurkan.
17
Tabel 4. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue disesuaikan dengan sarana kesehatan
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
H. Diagnosis Banding1
Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala mirip demam dengue
maupun severe dengue.
a. Influenza
b. Cikungunya
c. Infeksi primer HIV
d. SARS
e. Malaria
f. Demam tiroid
g. Hepatitis
h. Leptospirosis
18
I. Penatalaksanaan1
Diagnosis yang tepat harus dapat ditegakkan oleh tenaga kesehatan yang bekerja
pada fasilitas kesehatan primer. Protokol WHO untuk manajemen infeksi dengue
dapat dilihat dari tabel dibawah ini
Tabel 5. Manajemen infeksi dengue
Step I − Overall assessmen
1.1
History, including symptoms, past medical and family history
1.2 Physical examination, including full physical and mental assessment
1.3 Investigation, including routine laboratory tests and dengue-specific laboratory Test
Step II − Diagnosis, assessment of disease phase and severity
Step III – Management
III.1 Disease notification
III.2 Management decisions. Depending on the clinical manifestations and other circumstances, patients may (1): - be sent home (Group A) - be referred for in-hospital management (Group B) - require emergency treatment and urgent referral (Group C)
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
Dalam menanyakan riwayat penyakit sekarang harus terkandung :
a. Onset dari demam/ penyakit
b. Banyaknya cairan yang diminum
c. Diare
d. Urine output ( frekuensi, volume, BAK terakhir)
e. Gejala-gejala dari warning sign
f. Perubahan status mental/ adanya kejang/
g. Riwayat perjalanan ke daerah endemik dengue, riwayat keluarga/ tetangga
yang menderita dengue, kondisi kesehatan ataupun penyakit yang dimiliki
19
pasien (ibu menyusui, ibu hamil, obesitas, diabetes melitus, hipertensi, HIV)
Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
a. Status mental
b. Status hidrasi
c. Tanda-tanda vital
d. Pemeriksaan adanya takipneu/ pernapasan kusmaul/ efusi pleura
e. Pemeriksaan abdomen berupa adanya nyeri tekan/ hepatomegali/ asites
f. Periksa adakah kemerahan atau manifestasi perdarahan
g. Periksa Rumplee Leed
Pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada pemeriksaan pertama kali datang
ke tenaga kesehatan, sehingga harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap tiap
hari sampai melewati fase kritis. Apabila tidak tersedia pemeriksaan darah lengkap
atau dalam keadaan epidemi, pemeriksaan darah lengkap dapat diperiksa 3 hari
kemudian. Beberapa tes tambahan perlu diperiksa pada pasien yang memili faktor
risiko, berupa tes fungsi hati, GDS, elektrolit, ureum, kreatinin, AGD, urinalisis serta
EKG. Manajemen dari infeksi dengue dapat dilihat pada gambar dibawah ini,
20
Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Dengue menurut WHO 2012
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
21
Dari gambar diatas, pasien dibagi menjadi 3 kriteria
Kriteria A
Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang adekuat dan
BAK minimal 1x/6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari warning sign. Pasien
diharuskan bed rest, pasien yang datang pada demam >3 hari diharuskan setiap
hari ke sarana kesehatan untuk diperiksa darah lengkap dan monitoring adanya
gejala-gejala dari warning sign, hal ini dilakukan sampai fase kritis terlewati. Berikan
pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10 mg/kgbb/x, kompres air
hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan aspirin, ibuprufen atau
NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal ini dapat menyebabkan gastritis
atau perdarahan. Apabila tidak ada perbaikan maupun timbul gejala tambahan
seperti nyeri perut, muntah-muntah, ekstremitas dingin, sesak napas, tidak BAK
dalam 6 jam, maupun perdarahan segera ke fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi
rawat inap pada pasien dengan manifestasi demam bila tidak mendapatkan
rehidrasi oral yang Ida adekuat, adanya anak kecil dirumah, serta pasien dengan
co-morbid.
Kriteria B
Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut. Dalam
kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi, pasien yang
menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri, serta pasien yang
tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi yang diberikan
Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang digunakan hanya
yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat atau cairan Hartmann’s.
Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam pertama, kemudian kurangi menjadi
3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya, kemudian kurangi lagi menjadi 2-3
22
ml/kgbb/jam atau maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang didapat. Periksa
kembali hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi peningkatan sedikit, ulangi
pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital menurun dan
terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan cairan 5-10ml/kgbb/jam
selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan urine output baik ( 0,5ml/kg/jam)
berikan cairan maintenance untuk 24-48 jam. Monitor vital sign, balance cairan,
hematrokit sebelum dan sesudah pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam
sekali. Cek GDS, profil ginjal, profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi.
Kriteria C
Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat pengobatan
segera karena berada dalam fase kritis, berupa
Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok dengan
adanya ARDS
Perdarahan hebat
Multi organ failure
Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas
transfusi darah. Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid, pada
keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid. Transfusi darah hanya
diberikan apabila adanya perdarahan hebat.
23
Penatalaksanaan syok
Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:
meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer - yaitu penurunan takikardia,
meningkatkan TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda,
waktu pengisian kapiler <2 detik
meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil
dan output urine ≥ 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.
Kapan harus menghentikan infus
Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :
24
• TD, nadi dan perfusi perifer stabil
• hematokrit menurun dengan denyut nadi yang baik
• apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama lebih dari 24-48 jam;
• gejala usus / gejala yang berhubungan dengan abdomen teratasi
• peningkatan produksi urine.
Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan
menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti
tromboflebitis.
J. Penatalaksanaan dengue pada kelompok risiko
a. Dengue pada lansia
Sebuah penelitian surveilans menunjukan bahwa manifestasi klinis dari dengue
pada lansia mirip dengan dewasa muda, namun gejala yang lebih sering timbul
adalah perdarahan saluran cerna dan mikrohematuri. Insiden demam, atralgia
serta ruam lebih rendah pada orang tua. Gagal ginjal akut, perdarahan
gastrointestinal, efusi pleura, serta CHF dan edema pulmonal lebih sering
terjadi pada orang tua. kadar hemoglobin juga lebih rendah dibandingkan
dewasa.
b. Dengue dengan co-morbid
Pasien dengan penyakit diabetes melitus, hipertensi dan renal insufisiensi
berhubungan erat dengan angka kejadian severe dengue. Pada pasien
hipertensi terkadang tidak menunjukan adanya hipotensi jika mengalami syok
sehingga yang perlu diperhatikan adalah angka MAP, Jika terjadi penurunan
MAP 40% dari baseline perlu dicurigai adanya tanda-tanda syok, jika pasien
25
mengalami takikardia dapat diberikan β- bloker, sedangkan bila pasien
mengalami takikardia perlu ditanyakan riwayat pemberian Ca chanel bloker,
karena efek sampingnya bera takitardia, jangan salah mengangap sebagai satu
respons dari keadaan syok hipovelemik, harus diawasi secara ketat pemberian
antihipertensi terutama bila terdapat kebocoran plasma,juga perlu monitoring
urine output. Pasien dengan DM, infeksi dengue dapat mencetuskan KAD atau
hiperglikemik hiperosmolar, dimana manifestasi KAD mirip dengan warning
sign pada demam dengue yang berat, sehingga dapat terjadi kesalahan
diagnostik, pemberian ADO harus dihentikan terutama obat golongan
metformin, karena dapat memperburuk asidosis laktat dan syok dengue
sehingga perlu dipertimbangkan pemakain Short-acting insulin, monitor gula
darah setiap 1-2 jam sampai mencapai target gula darah < 150 mg/dl kemudian
dilanjutkan setiap 4jam. Pasien yang memiliki penyakit CKD tetap dilakukan
terapi cairan yang adekuat sekaligus menstabilkan hemodinamik setelah itu
perlu dilakukan dialisis segera untuk mencegah terjadinya asidosis metabolik
dan elektrolit imbalance. Pada pasien yang memiliki riwayat anemia hemolitik
perlu dilakukan transfusi PRC atau whole blood.
K. Kriteria pemulangan pasien3
Bebas demam dalam 48 jam
Peningkatan keadaan umum dan hemodinamik stabil
Peningkatan trombosit
Nilai hematokrit yang stabil tanpa pemberian cairan infus
Tidak ada distres respirasi
L. Komplikasi3
Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :
26
a. Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama
b. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital
c. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar
d. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam
keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi
e. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat
f. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus
g. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien
Komplikasi dari infeksi dengue berupa :
a. Asidosis metabolik
b. Imbalance elektrolit
c. Efusi pleura dan asites
d. Edema pulmonal
e. ARDS
f. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial
g. Sindrom hemofagositik
M. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi penderita. Prognosis DBD
derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara
cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol
sekitar 40-50%. Tanda- tanda prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran
urine yang cukup serta kembalinya nafsu makan.
27
BAB III KESIMPULAN
Dengue merupakan penyakit dengan manifestasi klinis yang luas serta
perkembangan klinis yang tidak terduga, sehingga deteksi dini pasien yang masih
memiliki gejala ringan dapat mencegah perburukan yang mungkin terjadi. Klasifikasi
dengue menurut WHO 1997 sampai sekarang masih digunakan, dimana terbagi atas
demam dengue, demam berdarah dengue dan demam syok dengue. Berdasarkan
WHO 1997, kasus DHF harus memmenuhi 4 kriteria yaitu, 1.) Demam 2-7 hari, 2.) tes
torniket positif, ptekia/purpura/ekimosis/ perdarahan mukosa atau perdarahan
gastrointestinal 3.) trombositopenia, dengan trombosit <100.000/µl, 4.)
hemokonsentrasi yang ditandai peningkatan hematokrit ≥ 20% atau ada kebocoran
plasma ( asites, efusi pleura, hipoproteinemia).
Di beberapa negara terjadi variasi dan perubahan epidemiologi, banyak klinis yang
kesulitan untuk memakai 4 kriteria klasifikasi WHO, banyak terjadi kegagalan dalam
terapi, sehingga WHO memperbaharui klasifikasi menjadi dengue dan dengue berat,
dimana dengue dibagi menjadi tanpa “warning sign” dan dengue dengan “warning
sign” dikarenakan sekitar 22% pasien dengan shock tidak memenuhi kriteria untuk
demam berdarah dengue, dikarena komplikasi dengue yang bervariatif untuk
mendiagnosis pasien dengan dengue berat, memerlukan intervensi yang mempunyai
sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi.
Dalam kriteria WHO-SEARO 2011 ada penambahan kriteria dari WHO 2009 yaitu
“expanded dengue syndrom” dimana kriteria ini dimaksudkan untuk manifestasi klinis
yang jarang muncul berupa kerusakan organ berat seperti kerusakan hati, ginjal, otak,
dan jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue. Hal ini dikarenakan klinisi
merasa lebih baik dalam melihat manifestasi klinis dan progresivitas penyakitnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,
2012.
2. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997
3. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed
5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735
4. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO-SEARO,
2011. SEARO Technical Publication Series No. 60
5. Srikiatkhachorn Anon et al. Dengue—How Best do Classify It. Clinical
Infectious Disease, 2011, 53(6):563–567
6. Member of The Technical Working Group On The 2012 PPS. Revised
Guidelines on Fluid Management of DF/DHF
7. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management
And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7