Upload
dhanty-widyanisita
View
73
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH OB – 6
Pengaruh Mastikasi Terhadap Fungsi Otak
Disusun Oleh :
DHANTY WIDYANISITA
04101004029
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
Pengaruh Mastikasi Terhadap Fungsi Otak
Abstrak
Mastikasi atau pengunyahan adalah salah satu proses penghancuran makanan secara
mekanik yang terjadi di dalam rongga mulut.1 Tujuan akhir dari proses ini adalah
terbentuknya bolus yang kecil sehingga mempermudah proses penelanan.1,2 Proses mastikasi
terjadi secara alamiah pada masa kehidupan dan melibatkan organ di dalam mulut seperti :
gigi-geligi, rahang, lidah, palatum, dan otot-otot mastikasi. Mastikasi merupakan gerakan
rumit yang dihasilkan dari sekumpulan saraf di batang otak dan jaringan saraf yang
melibatkan beberapa daerah di otak. Penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara mastikasi, usia, dan penurunan fungsi kognitif pada manusia.6
Penelitian pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa pengunyahan atau
mastikasi dapat mempertahankan fungsi kognitif di hipokampus, yaitu area otak yang penting
dalam proses belajar dan daya ingat. Berkurangnya aktivitas pengunyahan,merupakan sebuah
faktor resiko berkembangnya demensia pada manusia, melemahkan ingatan spasial dan
menyebabkan neuron pada hipokampus memburuk secara morfologis dan fungsional.7 Hal ini
sering terjadi pada orang dengan usia lanjut, dimana biasanya pada usia lanjut akan terjadi
perubahan-perubahan dalam rongga mulut, misalnya tooth loss yang dapat mengurangi fungsi
mastikasi pada orang-orang yang lanjut usia sehingga menyebabkan mereka mengalami
demensia atau penurunan fungsi otak. 6,7
Kata Kunci : Mastikasi, Tooth Loss, Fungsi Otak, Hipokampus, Demensia
Pendahuluan
A. Mastikasi
Mastikasi merupakan sebuah proses penghancuran makanan dan persiapan untuk proses
penelanan.3 Mastikasi juga merupakan tahap awal dari pencernaan, dimana makanan
dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil sehingga memudahkan penelanan. Gerakan
mengunyah meliputi kegiatan kegiatan otot saraf yang sangat kompleks dan terkoordinasi,
yang selain melibatkan gerakan mandibula juga melibatkan gigi geligi dengan kekuatan
menggigit yang tepat. Gerakan mandibula pada pengunyahan merupakan kontraksi
serangkaian otot yang melekat pada tulang mandibula, dan sifatnya terkoordinasi. Otot-otot
wajah, lidah dan bibir juga berperan penting dalam mempertahankan bolus makanan di antara
gigi geligi. 3
Proses mastikasi merupakan suatu proses gabungan gerak antar dua rahang yang terpisah,
termasuk proses biofisik dan biokimia dari penggunaan bibir, gigi, pipi, lidah, langit-langit
mulut, serta seluruh struktur pembentuk oral, untuk mengunyah makanan dengan tujuan
menyiapkan makan agar dapat ditelan. 3 Lidah berfungsi mencegah tergelincirnya makanan,
mendorong makanan kepermukaan kunyah, membantu mencampur makanan dengan saliva,
memilih makanan yang halus untuk ditelan, membersihkan sisa makanan, membantu proses
bicara dan membantu proses menelan. 3 Pada waktu mengunyah kecepatan sekresi saliva 1.0
– 1.5 liter/hari, pH 6 – 7.4. Saliva berfungsi mencerna polisakarida, melumatkan makanan,
menetralkan asam dari makanan, melarutkan makanan, melembabkan mulut dan anti bakteri.
Pada proses mastikasi terjadi beberapa stadium antara lain stadium volunter dimana
makanan diletakkan diatas lidah kemudian didorong ke atas dan belakang pada palatum lalu
masuk ke pharynx, di mana hal ini dapat dipengaruhi oleh kemauan. Selanjutnya pada
stadium pharyngeal bolus pada mulut masuk ke pharynx dan merangsang reseptor sehingga
timbul refleks-refleks antara lain terjadi gelombang peristaltik dari otot-otot konstriktor
pharynx sehingga nafas berhenti sejenak. Proses ini sekitar 1 – 2 detik dan tidak dipengaruhi
oleh kemauan. Kemudian pada stadium esophangeal terjadi gelombang peristaltik primer
yang merupakan lanjutan dari gelombang peristaltik pharynx dan gelombang peristaltik
sekunder yang berasal dari dinding esophagus sendiri. Proses ini sekitar 5 – 10 detik dan
tidak dipengaruhi oleh kemauan. Setelah melalui proses ini makanan siap untuk ditelan.3
B. Memori
Memori merupakan istilah umum dari suatu proses mental yang menyebabkan seseorang
dapat menyimpan informasi untuk recall selanjutnya. Jangka waktu untuk panggilan atau
recall dapat singkat beberapa detik, atau panjang dalam beberapa tahun.2
Proses memori terdiri dari 3 tahapan:
1. Registrasi
Pada tahap ini informasi diterima dan diregistrasi oleh suatu modalitas sensorik tertentu
seperti sentuhan, pendengaran atau penglihatan. Setelah informasi sensorik diterima dan
diregistrasi, informasi tersebut dipertahankan sementara dalam working memory (memori
jangka pendek).2
2. Penyimpanan
Pada tahap ini informasi disimpan dalam bentuk yang lebih permanen (memori jangka
panjang). Proses penyimpanan ini dapat ditingkatkan dengan pengulangan, sehingga
dikatakan bahwa penyimpanan adalah suatu proses aktif yang memerlukan usaha berupa
latihan dan pengulangan.2
3. Pemanggilan kembali (recall)
Merupakan tahap akhir dari proses memori. Pada tahap ini informasi yang sudah
disimpan dipanggil kembali sesuai permintaan atau kebutuhan (disebut memori deklaratif).2
Klasifikasi Memori
A. Berdasarkan jenis materi yang diingat, memori dibagi atas :
1. Memori Prosedural
Disebut juga memori implisit. Merupakan bentuk memori yang tidak dapat dinyatakan
atau dibawa ke fikiran melalui penglihatan. Bentuk memori ini lebih menekankan pada
kemahiran dan recall keahlian kognitif dan motorik setelah suatu prosedur khusus (misal
belajar berjalan, mengendarai sepeda, atau mobil). Daerah yang berperan adalah neostriatum,
serebellum dan korteks sensorimotor.2
2. Memori Deklaratif
Disebut juga memori eksplisit. Berupa pengetahuan yang dapat dinyatakan dan dibawa ke
dalam fikiran selama penglihatan sadar, seperti fakta- fakta, kata, nama dan wajah seseorang,
yang dapat dipanggil kembali dari memori, ditempatkan dalam fikiran,dan dilaporkan. Jenis
memori ini sangat erat kaitannya dengan fungsi hipokampus dan struktur lobus temporal
mesial lainnya. Terbagi menjadi memori episodik dan memori semantik. Memori semantik
contohnya mengingat kejadian khusus atau pengalaman.2
B. Berdasarkan modalitas materi yang diingat, terdiri dari :
1. Memori Verbal
Berkenaan dengan proses belajar dan recall informasi yang didapat dari bahasa.
2. Memori Non Verbal
Berhubungan dengan proses belajar dan recall informasi visual, melodi, sensasi sentuh
dan bau.
C. Berdasarkan jangka waktu materi diingat, dibagi menjadi :
1. Immediate Memory
Istilah yang digunakan bila memori dipanggil kembali setelah jangka waktu beberapa
detik. Disebut juga immediate recall. Immediate memory sangat bergantung pada atensi dan
konsentrasi. Contoh memori ini adalah mengingat nama baru yang baru saja didengar. Daerah
yang berperan adalah daerah asosiasi neokorteks dan prefrontal.2
2. Recent Memory
Berkaitan dengan recall memori setelah beberapa menit, jam atau hari. Memori ini
ditingkatkan dengan proses belajar dan pengulangan. Beberapa peneliti telah menemukan
adanya perubahan pada sinaps, yang disebut dengan long term synaptic potentiation yang
dapat menjelaskan keadaan ini. Contoh dari memori ini adalah mempelajari materi baru dan
memanggil materi itu setelah beberapa menit, jam, atau hari. Daerah yang berperan adalah
lobus temporal medial (hipokampus, amigdala) dan diencephalon (nucleus dorsomedial
thalamus dan corpus mamilare dari hipotalamus).2
3. Remote Memory
Menunjuk kepada recall kejadian yang telah terjadi bertahun- tahun sebelumnya,
misalnya mengingat nama- nama guru, dan teman - teman sekolah yang lama, tanggal lahir,
dan fakta sejarah. Pada pasien yang mengalami gangguan pada recent memory, remote
memory menunjuk kepada recall kejadian- kejadian sebelum onset terjadinya gangguan
recent memory. Struktur otak yang terlibat dalam remote memory adalah korteks asosiasi
kanan dan kiri.2
Gangguan Memori
Gangguan memori adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu untuk
mempelajari informasi baru atau tidak mampu untuk memanggil kembali informasi yang
sudah didapat sebelumnya. Gangguan memori merupakan salah satu keluhan kognitif yang
paling sering terjadi pada seseorang dengan sindrom behavioral organik. Hampir seluruh
pasien demensia menunjukkan gangguan memori pada awal gejala timbulnya penyakit.
Gangguan pada memori episodik paling sering terjadi pada penuaan normal. Area
yang paling sensitif pada penuaan adalah area hipokampus.7 Disfungsi hipokampus dapat
menyebabkan gangguan pada memori episodik. Pembelajaran informasi baru dan
pemanggilan kembali informasi dari memori menjadi lebih sulit pada proses penuaan.
Dengan demikian kemampuan untuk mengikat potongan informasi bersama-sama dengan
konteks episodik dalam kesatuan yang koheren telah berkurang pada orang usia lanjut.5
Masalah memori pada usia lanjut dapat dikaitkan dengan penyebab fisik dan
psikologis umum seperti : kecemasan, dehidrasi, depresi, infeksi, efek samping obat, gizi
buruk, kekurangan vitamin B12, stres psikologis, penyalahgunaan zat, alkoholisme kronis,
ketidakseimbangan tiroid, dan perdarahan pada otak.
Pembahasan
Pengaruh Mastikasi Terhadap Fungsi Otak
Mastikasi merupakan sebuah proses penghancuran makanan dan persiapan untuk
proses penelanan.3 Mastikasi juga merupakan tahap awal dari pencernaan, dimana makanan
dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil sehingga memudahkan penelanan. Mastikasi
merupakan gerakan rumit yang dihasilkan dari sekumpulan saraf di batang otak dan jaringan
saraf yang melibatkan beberapa daerah di otak.6 Penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara mastikasi, usia, dan penurunan fungsi kognitif pada manusia.
Penelitian pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa pengunyahan atau mastikasi
dapat mempertahankan fungsi kognitif di hippocampus, yaitu area otak yang penting dalam
proses belajar dan daya ingat. Berkurangnya aktivitas pengunyahan,merupakan sebuah faktor
resiko berkembangnya demensia pada manusia, melemahkan ingatan spasial dan
menyebabkan neuron pada hipokampus memburuk secara morfologis dan fungsional.6,7
Mastikasi atau pengunyahan yang aktif dapat lebih meningkatkan aktivitas
hipokampus dan korteks prefrontal, yang merupakan daerah yang paling penting dalam
proses pengolahan kognitif. Studi terbaru dengan menggunakan Functional Magnetic
Resonance Imaging (fMRI) dan Positron Emission Topography (PET) mengungkapkan
bahwa mastikasi dapat meningkatkan aliran darah kortikal, thalamus, dan serebelum.
Melakukan proses mastikasi atau pengunyahan sebelum mengerjakan tugas kognitif dapat
meningkatkan oksigen darah di daerah prefrontal korteks dan hipokampus.7,8 Penelitian ini
menunjukkan bahwa mastikasi merupakan terapi yang sederhana untuk mencegah demensia
yang sering dikaitkan dengan gangguan atau disfungsi kognitif (memori) seperti gangguan
ingatan spasial dan amnesia. Kenyataan bahwa stimulasi pengunyahan dapat
mempertahankan fungsi kognitif juga dijelaskan melalui studi epidemiologi yang
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah kehilangan gigi dan menurunnya kekuatan gigit
berkaitan dengan berkembangnya demensia.4
Kurangnya stimulasi pengunyahan dapat mengganggu proses pembelajaran dan
ingatan di hipokampus serta dapat menyebabkan demensia. Kehilangan gigi misalnya gigi
molar yang diakibatkan oleh ekstraksi atau pengurangan mahkota, serta soft-diet jangka
panjang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar dan mengingat. Tooth loss
atau kehilangan gigi dapat mengganggu proses mengunyah, menelan, berbicara, defisiensi
nutrisi, dan depresi. Pada kasus penyakit periodontal yang berat molekul inflamasi dapat
menyebabkan inflamasi sistemik dan dapat menjadi akses ke otak melalui sirkulasi sistemik.
Molekul inflamasi dapat berasal dari jaringan periodontal yang dapat menstimulasi serabut
nervus trigeminus dan dapat menyebabkan meningkatnya sejumlah sitokin-sitokin di otak.
Sitokin ini dapat mengaktifkan sel- sel glia yang menyebabkan suatu reaksi dan mungkin
berlanjut pada Alzheimers Disease. Sitokin dapat memproduksi protein beta amyloid yang
ditemukan pada plak senilis. Interleukin – 1 (IL 1) dan sitokin –sitokin lain yang
berhubungan dengan penyakit periodontal berhubungan dengan patogenesis terjadinya
Alzheimers. 7
Peranan acethylcholin ( ACh )
Dalam sistem saraf pusat, ACh memiliki berbagai efek sebagai neuromodulator pada
plastisitas dan arousal. ACh memiliki peran penting dalam peningkatan persepsi sensorik
saat kita bangun dan saat sadar. Kerusakan pada sistem kolinergik di otak telah terbukti
dikaitkan dengan defisit memori dan berhubungan dengan penyakit Alzheimer.
Acethylcholin terlibat dengan plastisitas sinaptik, khususnya dalam belajar dan memori
jangka pendek. Acethylcholin telah diketahui adalah untuk meningkatkan amplitudo potensi
sinaptik berikut potensiasi jangka panjang di banyak daerah, termasuk girus dentatus, CA1
(Cornu Ammonis 1 ), korteks dan neokorteks. Efek ini paling mungkin terjadi baik melalui
peningkatan arus melalui reseptor NMDA (N-methyl D-aspartate) atau tidak langsung
dengan menekan adaptasi. Penekanan adaptasi telah ditunjukkan dalam irisan otak daerah
CA1, cingulate korteks, dan piriform korteks, serta somatosensori dan korteks motorik
dengan menurunkan konduktansi ion Ca2 +, dan K+. Pada hewan percobaan , ada bukti yang
mengatakan bahwa tooth loss berhubungan dengan belajar dan memori . Mekanisme
terjadinya adalah peranan dari sistem kholinergik sentral.7
Peranan trkB (tirosin kinase B) dan BDNF (brain derived neutropic factor)
Reseptor TrkB juga dikenal sebagai tirosin kinase TrkB atau BDNF/NT-3 atau
neurotropik tirosin kinase reseptor tipe 2 adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh
gen NTRK2. Fungsi TrkB adalah reseptor yang mempunyai afinitas tinggi untuk beberapa
katalitik "neurotrophins" dan merupakan faktor pertumbuhan protein yang menyebabkan
kelangsungan hidup dan diferensiasi pada sel . Neurotropin - neurotrophin yang
mengaktifkan TrkB adalah: BDNF , NT- 4 (neurotrophin-4), dan NT-3 (neurotrophin-3).
Dengan demikian, TrkB memediasi beberapa efek dari faktor-faktor neurotropik, yang
mencakup diferensiasi neuronal dan kelangsungan hidup . Brain derived neurotropic factor
(BDNF) , seperti neurotrophins lainnya, adalah faktor polypeptidic yang dianggap
bertanggung jawab untuk neuron proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan hidup, melalui
transportasi retrograde dari terminal saraf ke sel tubuh. Brain derived neurotropic factor
(BDNF) diproduksi oleh neuron, terutama di hipokampus dan korteks dan dapat diangkut ke
dendrit dan juga dapat disintesis secara lokal di tulang belakang. Selain berperan dalam
kelangsungan hidup neuron dan ketahanan terhadap cedera, BDNF juga memiliki peran yang
kuat dalam memfasilitasi kegiatan plastisitas, yang mendasari kapasitas untuk belajar dan
memori. Daerah Otak dimana plastisitas sangat penting adalah di hipokampus dan korteks,
yang merupakan pusat untuk belajar dan memori. Pengurangan BDNF terlihat pada
hipokampus dalam dua mekanisme : melemahkan kekuatan sinaptik dan membuat
hipokampus neuron lebih rentan . 4,5,7
Belum ada definisi yang jelas mengenai hubungan transmisi sinaptik pada jalur
signaling dari nervus trigeminus melalui perantara reseptor pada jaringan-jaringan yang
berhubungan dengan mastikasi. Diduga adanya peningkatan trkB dan BDNF berhubungan
dengan peningkatan kapasitas transmisi saraf. Pada penelitian ditemukan adanya ekspresi
trkB- mRNA efektif sebagai marker untuk peningkatan transmisi sinaptik pada jalur
signaling yang berhubungan dengan proses belajar dan memori. Gangguan memori pada
tikus mempunyai hubungan dengan penurunan trkB pada jalur dari nervus trigeminal ke
hipokampus.7
Penurunan respon di hipokampus akan menyebabkan penurunan frekuensi gerakan
rahang. Ini menjelaskan mekanisme bahwa tooth loss menurunkan input sensori dan somatik
sensori korteks dari reseptor yang menghubungkan ke mastikasi dan hubungan mastikasi ke
gerakan rahang. Hubungan antara otot-otot mastikasi , temporomandibular joint dan ligamen
periodontal dikenal mempunyai efek facilitatory pada transmisi sinaptik di korteks serebri.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa mengunyah dapat meningkatkan aliran
darah ke cortical region.7
Peranan GFAP ( glial fibrous acidic protein )
Glial fibrous acidic protein (GFAP) adalah filamen intermediat protein yang dianggap
spesifik untuk astrosit dalam sistem saraf pusat (SSP). Ekspresi protein GFAP dipengaruhi
oleh berbagai proses, seperti perubahan sitokin dan tingkat hormon. Peningkatan ekspresi
protein ini terbukti dalam sejumlah keadaan, dan umumnya disebut sebagai "aktivasi
Astrocytic". Fungsi selular GFAP dinyatakan dalam sistem saraf pusat terutama dalam sel
astrosit. Hal ini melibatkan fungsi seluler dalam banyak proses, seperti struktur sel dan
gerakan, komunikasi sel, dan fungsi sawar darah otak . 5,7
Glial fibrous acidic protein (GFAP) telah diketahui mempunyai peran dalam mitosis.
Selama mitosis, ada peningkatan jumlah GFAP terfosforilasi, dan aktifitas protein ini
menunjukkan aktifitas pembelahan. Kurangnya filamen intermediate dalam hipokampus dan
di white matter menunjukkan proses degeneratif multiple termasuk mielinasi yang abnormal,
kerusakan struktur white matter , dan perubahan dalam sawar darah-otak . Data ini
menunjukkan bahwa GFAP terlibat dalam pemeliharaan SSP dan integritas mielin . Glial
fibrous acidic protein (GFAP) juga diketahui berperan dalam interaksi astrosit-neuron.
Adanya gangguan yang dikaitkan dengan regulasi GFAP dan luka dapat menyebabkan sel
glial untuk bereaksi dengan cara yang merugikan. Glial jaringan parut adalah konsekuensi
dari beberapa kondisi neurodegenerative, serta cedera materi yang saraf yang berat. Bekas
luka dibentuk oleh astrosit berinteraksi dengan jaringan fibrosa untuk memperbaiki sel glia di
sekitar pusat cedera dan sebagian disebabkan oleh pengaruh GFAP. Bekas luka itu bertindak
sebagai penghalang fisik dan kimia untuk pertumbuhan saraf, dan mencegah regenerasi saraf
Pada penelitian terdapat evaluasi mengenai mekanisme gangguan fungsi kognitif sebagai
akibat dari menurunnya mastikasi, efek hilangnya gigi molar menunjukkan adanya ekspresi
glial fibrous acidic protein ( GFAP) pada hipokampus. Pada analisa immunohistochemical
menunjukkan keadaan hilangnya gigi molar meningkatkan densitas dan hipertrophi astrosit
pada regio CA1 di hipokampus. Efek ini meningkat pada keadaan hilangnya gigi molar yang
menetap. 5,6,7
Kesimpulan
Dari beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa mastikasi atau pengunyahan
mempunyai fungsi yang efektif dalam mengirimkan sejumlah besar informasi sensorik ke
otak serta dapat meningkatkan ingatan dalam kaitannya dengan fungsi hipokampus.
Penelitian pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa pengunyahan atau mastikasi
dapat mempertahankan fungsi kognitif di hipokampus, yaitu area otak yang penting dalam
proses belajar dan daya ingat. Berkurangnya aktivitas pengunyahan,merupakan sebuah faktor
resiko berkembangnya demensia pada manusia. Kondisi kehilangan gigi (tooth loss) yang
kaitannya dengan proses penuaan dapat melemahkan atau menyebabkan menurunnya fungsi
hipokampus. Ketidakharmonisan oklusi juga dapat berpengaruh pada penurunan fungsi otak.
Oleh karena itu, mempertahankan oklusi yang normal dan mepertahankan fungsi
pengunyahan mungkin dapat memberikan kontribusi pada kesehatan umum dari sudut
pandang kedokteran gigi.
Referensi
1. Guyton AC. Function of the Human Body. 2th ed, Philadelphia : WB Saunders,
1986 :328.
2. Wade, Carole and Carol Travis. Psikologi. Ed.9. 2001. Jakarta : Erlangga
3. Una Soboļeva, Lija Lauriņa, Anda Slaidiņa. The masticatory system - an overview.
Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 7:77-80, 2005.
4. Miura H, Yamasaki K, Kariyasu M, Miura K, Sumi Y. Relationship between
cognitive function and mastication in elderly females. J Oral Rehabil. 2003;30:808–
811.
5. Scherder E, Posthuma W, Bakker T, Vuijk PJ, Lobbezoo F. Functional status of
masticatory system, executive function and episodic memory in older persons. J Oral
Rehabil. 2008;35:324–336.
6. Sakamoto Kiwako, Nakata H. Effect of mastication on Human Brain Activity. Review
Article. 2010
7. Ono Y, Yamamoto T, Kubo K. Occlusion and Brain Function : Mastication as a
prevention of cognitive Dysfunction. J Oral Rehabil. 2010 37;624-640.
8. Onozuka M, Fujita M, Watanabe K, et al: Age-related changes in brain regional
activity during chewing: a functional magnetic resonance imaging study. J Dent Res
82; 657-660: 2003